Anda di halaman 1dari 2

Sejarah kesehatan reproduksi

Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam
Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on
Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi
tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan
pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan
yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi
(Widyastuti,2009:1). Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih
luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan
sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender,
pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-
laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.

Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek
dalam ber-KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penanganan kesehatan ibu dan anak,
kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk
HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi usia lanjut, yang dibahas dalam konteks kesehatan dan hak
reproduksi. Dengan paradigma baru ini diharapkan kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat
dicapai dengan lebih baik.

Definisi kesehatan reproduksi

Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan: kesehatan adalah keadaan
sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesahatan Dunia ( WHO )
yang paling baru ini, memang lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang
mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak
hanya bebas dari penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu, kesehataan itu hanya mencakup tiga
aspek, yakni : fisik, mental, dan sosial, tetapi menurut Undang-Undang No. 23/1992, kesehatan itu
mencakup 4 aspek yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti kesehatan
seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari
produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi (Notoatmodjo,
2007:3).

Dalam Konfrensi Kependudukan di Kairo 1994, disusun pula definisi kesehatan reproduksi yang
dilandaskan kepada definisi sehat menurut WHO: keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik,
mental dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit disegala hal yang berkaitan dengan sistem
reproduksi, fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri (Widyastuti dkk, 2009:1; Suyono, 1997:1).
Hak Reproduksi

Sebelum tahun 1960, beberapa konsensus PBB tentang populasi tidak menfokuskan pada hak. Demikian
pula dengan konvensi tentang perempuan, juga belum memberi penekanan pada Hak Asasi Manusia
atau isu yang mempedulikan reproduksi dan seksualitas. Pada konfrensi Hak Asasi Manusia I yang
diselenggarakan di Teheran tahun 1960, mulai menyebutkan adanya hak untuk menentukan dan jumlah
dan jarak anak. Konfrensi Hak Asasi Manusia II pada tahun 1993 di Viena mulai membuat tahapan
mengenai hasil konvensi di Kairo dan Beijing yang menegaskan bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi
Manusia yang memangkas semua bentuk diskriminasi berdasarkan seks harus menjadi prioritas
pemerintah. Dari konvensi ini akhirnya perempuan mempunyai hak untuk menikmati standar tertinggi
dari kesehatan fisik dan psikis sepanjang kehidupan termasuk hak untuk akses dan pelayanan kesehatan
yang adekuat. Ada beberapa hak yang digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan gender
dalam kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual (Wiknjosastro, 2006:18).

Hak-hak reproduksi yang dituliskan oleh Widyastuti dkk (2009:3) menurut kesepakatan dalam
Konferensi International Kependudukan dam Pembangunan bertujuan untuk mewujudkan kesehatan
bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani, meliputi:

1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan dan reproduksi.

2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.

3. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.

4. Hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan.

5. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.

6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.

7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan,
kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual.

8. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi.

9. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.

10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.

Anda mungkin juga menyukai