Anda di halaman 1dari 7

Apa yang Bisa Kita Harapkan dari Kebijakan Merdeka Belajar?

29 Desember 2019   08:34 Diperbarui: 21 Januari 2020   08:29 989 3 1

doc.pribadi

Usai diketuk palu kebijakan merdeka belajar oleh Nadiem Makarim, Mendikbud RI Kabinet Indonesia
Maju, beragam respon bermunculan terkait gagasan mantan bos Gojek tersebut, apakah itu respon
yang menolak atau respon yang menerima. Hal yang ramai diperbincangkan di lini masa adalah
penghapusan Ujian Nasional.

Ada yang berargumen "tidak ada tantangan bagi siswa jika Ujian Nasional dihapus"."Bagaimana
Kemendikbud mengukur prestasi anak, apakah meningkat dari tahun ke tahun?".

Merespon hal itu, Nadiem menegaskan bahwa Ujian Nasional tidak dihapuskan tetapi sistimnya saja
yang berubah dengan assesment standar Nasional, medianya tetap menggunakan teknologi,
sasarannya tidak untuk menilai prestasi siswa tetapi menilai sekolah secara global (mengetahui data
umum), aspek kognitif yang dinilai adalah kemampuan minimum meliputi literasi, numerasi dan
aspek lainnya adalah survey karakter.

Apabila sekolah belum mencapai batas minimum, rekomendasi dari hasil penilaian tersebut akan
digunakan oleh pihak berwenang untuk membantu sekolah tersebut.

Ada pula yang menanggapi agar konsepnya benar - benar matang, agar ketika berganti menteri
pendidikan, arah kurikulum tidak berubah - ubah. Terpisah dari itu, mantan bos Gojek tersebut
menyampaikan bahwa dirinya dan jajarannya membutuhkan waktu 6 bulan untuk mempersiapkan
'blue print' kurikulum pendidikan merdeka belajar yang sudah dikemas dalam suatu strategi.

Adapun yang menerima dengan senang hati ide ini, mereka mulai mempersiapkan diri menghadapi
tantangan - tantangan baru dalam penerapan kebijakan merdeka belajar. 

Apa yang Bisa Kita Harapkan dari Kebijakan Merdeka Belajar?

Nadiem membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa alasan, pasalnya penelitian Programme
for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil penilaian pada siswa
Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah, untuk bidang matematika dan literasi,
Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 Negara.

Menyikapi hal itu, Nadiem pun membuat gebrakan penilaian dalam kemampuan minimum meliputi:
literasi, numerasi dan survei karakter. Literasi bukan hanya kemampuan membaca, namun
kemampuan menganalisis isi bacaan beserta memahami konsep dibaliknya (tidak sekedar membaca
tetapi mengetahui maksud bacaan secara mendalam), sedangkan untuk kemampuan numerasi, yang
dinilai bukan pelajaran matematika namun penilaian terhadap kemampuan siswa dalam
menerapkan konsep numeric dalam kehidupan nyata, soalnya pun tidak njelimet.

Satu aspek sisanya yakni survei karakter, bukanlah sebuah tes melainkan mengetahui sejauh mana
penerapan asas - asas Pancasila oleh siswa. Kurang lebih begitu yang disampaikan Nadiem mengenai
gambaran assesment kemampuan minimum dan survey karakter.
Lahirnya kebijakan merdeka belajar berarti sebelumnya ada fenomena siswa dan guru tidak merdeka
dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar, sederhananya demikian. Baik, mari kita amati sejenak
praktik pembelajaran yang menggunakan pola lama.

Dalam tradisi pendidikan di Indonesia, tolak ukur siswa dianggap berprestasi saat SD sampai SMA
adalah berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN), sedangkan untuk kenaikan kelas adalah Penilaian
Tengah Semester (PTS) dan Penilaian Akhir Semester  (PAS).

Nadiem mengakui bahwa sistim penilaian Ujian Nasional yang selama ini diterapkan, semua materi
masuk, sehingga dengan banyaknya materi, jalan yang dilakukan siswa adalah dengan menghapal.
Merujuk pada istilah'Merdeka belajar' jika dipahami secara makna kebahasaan menurut KBBI
adalah:

1. Bebas (dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya), berdiri sendiri.

2. Tidak terkena atau lepas dari tuntutan.

3. Tidak terikat, bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa.

Sedangkan makna belajar menurut KBBI adalah:

1. Berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.

2. Berubah tingkah atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.

Makna merdeka yang relevan untuk konteks pembahasan ini adalah makna no.2 dan no.3. Dengan
sistim Ujian Nasional, siswa sudah dinyatakan tidak merdeka dalam belajar menurut tinjauan
bahasa.

Karena prestasinya diukur dari tuntutan nilai ujian, jalannya dengan menghapal materi. Guru juga
tidak merdeka karena tuntutan itu membuat guru harus saklek sesuai tuntutan, memberikan materi
dan soal yang banyak.

Padahal sebagai manusia yang dikaruniai kehendak bebas untuk memilih yang terbaik bagi dirinya
sedangkan alat untuk memilih yang terbaik adalah analisa, tentunya sistim Ujian yang merdeka
adalah yang membuat siswa bisa menuangkan pengalaman belajarnya lewat analisa, dengan
ungkapan berupa lisan atau tulisan, dengan analisis masalah yang diyakininya.

Jawaban terhadap soal yang dijadikan ujian, tidaklah hitam dan putih  karena setiap peserta didik
satu dan yang lainnya memiliki pengalaman belajar masing -masing. Yang terpenting guru mengukur
sejauh mana siswa menerapkan pengetahuannya untuk analisis masalah.

Penggantian UN dengan dengan assesment hanyalah salah satu instrument yang mengarahkan
sistim yang tidak memerdekakan menjadi sistim pembelajaran yang memerdekakan.

Pertama, Diharapkan dengan assesment kemampuan minimum, bagaimana seluruh elemen


pembelajaran merubah metode hapalan menjadi analisis. Kemampuan dasar ini jika diibaratkan
mentreatment anak, anak merupakan potensi dan tunas, dimana potensi adalah hal yang melekat
dalam hal ini adalah daya kognitif, afektif dan konatif  potensi yang sudah ada tersebut harus
dikembangkan untuk menjadi tunas.

Tunas yang bermunculan itulah yang disebut dengan kemampuan minimum (literasi dan numerasi),
kemampuan analisis sesuai dengan level sekolahnya. Maksud dari kognitif adalah penggunaan logika
untuk memahami, Afektif adalah menginternalisasi hasil pemahaman sehingga mampu timbul kesan
yang mendalam,dan konasi adalah kemauan atau semangat untuk mencari tahu dan semangat
untuk menerapkan.

Dengan mempotensikan ketiga potensi itu lewat metode pembelajaran berbasis analisis, tentu
masih terbuka kemungkinan bahwa nantinya ada sekolah - sekolah yang melebihi target minimum.

Kedua, tentunya sistem penilaian terhadap beragam analisis siswa menjadi lebih fleksibel, tidak
saklek . Sedangkan survey karakter, bagaimana nantinya hasil survey karakter digunakan untuk
pijakan membenahi praktik nilai nilai pancasila yang diterapkan di sekolah bila hasil survey belum
memuaskan. 

Merdeka belajar, bila penulis ungkapkan dengan Bahasa yang penulis susun dalam suatu kalimat
pernyatan "Biarkan siswa yang nantinya menentukan terhadap pilihan sendiri, Tugas guru
memberikan rangsangan yang menggerakkan siswa untuk mengembangkan konsep".

Selama ini siswa kurang merdeka karena disuruh menghapal, bukannya mempelajari konsep atas
kemauan sendiri. Sistimnya bersifat behavioristik. Ketidakmerdekaan siswa yang bisa diamati lagi
adalah kejenuhan dan stress yang tinggi, tugas dan ujian sekolah merupakan momok bagi siswa
karena intensitasnya sangat sering dan ujung ujungnya membuat bosan,jenuh, dan semangat belajar
menurun, atau bahkan ada yang apatis.

Buat apa menghapal semua ini, toh nanti di dunia Industri tidak menerapkan materi hapalan.

Sebagai ilustrasi praktik pembelajaran di kelas pada pelajaran Matematika SMP, akan saya
sampaikan sekilas sebuah contoh soal dan bagaimana secara umum guru mengajarkannya.

Dalam sebuah proyek pembangungan gedung diperkirakan memakan waktu sekian hari, dengan
pekerja yang tersedia sekian orang, dengan beban kerja yang ada diperkirakan akan selesai dalam
waktu sekian hari, tetapi karena hujan pekerjaan terhenti selama 2 hari, berapa tenaga kerja
tambahan yang dibutuhkan untuk mengerjakan proyek tersebut? (soal matematika dalam latihan
persiapan menghadapi Ujian Nasional, materi perbandingan, kelas VII SMP)

Disini penulis menyoroti bagaimana guru dalam mengajarkan materi dan latihan soal yang seringkali
terjadi. Biasanya guru menyampaikan materi perbandingan dan memberikan variasi latihan soal,
umumnya pembelajaran matematika seperti itu.

Tanpa guru sadari seolah sudah terbentuk sebuah pakem bahwa siswa diberikan materi, latihan soal
yang banyak, nantinya dengan banyaknya latihan soal tersebut siswa menjadi terbiasa, hapal di luar
kepala pola - polanya.

Entah berapa jumlah dan model kasus yang harus dipepersiapkan guru. (contoh di atas hanyalah
salah satu model kasus yang pernah ada). Saking banyaknya materi (BAB), jumlah soal, dan model
model soal, maka jalan menyampaikan dan memberi latihan soal yang banyak seolah menjadi
praktik yang dibenarkan.

Aspek tersebut yang menurut kacamata penulis, ada hal - hal detail yang perlu diperhatikan oleh
guru namun luput dari pengamatan guru.

Misalnya aspek mental image.   Mental image meliputi sampai seberapa jauh siswa bersinggungan
dengan obyeknya, pernah melihat pemandangan atau kejadiannya, pernah terlibat dalam
pengalaman menghitung gaji karena ayahnya seorang pemborong mungkin, sehingga perlu
menghitung dana dan tenaga yang diperlukan.
Aspek aspek semacam itu sangat penting agar siswa seolah hadir, terlibat dalam kasus yang sedang
dipelajarinya. Namun jika hal itu luput dari pengamatan guru maka bagi siswa kebanyakan, aspek
konasinya menjadi belum terlatih, seolah soal tersebut hanya berlalu begitu saja, tidak menggelitik
siswa untuk mencari tau latihan soal atau studi kasus dalam dunia nyata yang dia alami. Urusan
siswa hanya soal -soal terkerjakan, mengerjakan tidak salah, nilai bagus, beres.

Bagaimana jika penulis mengusulkan ide metode kepengajaran guru, bagi anak anak yang masa
masa perkembangan berpikir abstraknya belum seperti orang dewasa diperbanyak di aspek praktik?,
mengenal lapangan secara langsung dan menemukan berbagai konsep dari sana, "mestinya
menyenangkan bukan?" Dari lapangan mereka menemukan sesuatu yang baru, bahkan menemukan
sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh gurunya.

Namun pada praktiknya siswa - siswa tersebut mengenal konsep dari konsep yang sudah jadi.
penulis tidak menafikkan adanya konsep yang tidak bisa menjadi studi lapangan, tetapi yang penulis
jadikan penekanan disini adalah, mengapa harus dipukul rata dengan metode pembelajaran yang
tidak membuat siswa terinternalisasi, sehingga hilang kemauan untuk mempelajari secara mandiri.

Yang siswa dapatkan di sekolah dengan model pembelajaran seperti yang lazim terjadi adalah aspek
kognitif. Lalu bagaimana dengan potensi siswa pada asepek afeksi dan konasi? Jika metode
pembelajaran pada level anak - anak yang belum terlalu mahir dalam analisis, lebih banyak praktik,
dari metode studi lapangan, siswa akan mengetahui hal baru.

Kadang melalui pengalaman itu bisa menghadirkan kesan positif pada level afeksi dan konasi. Kesan
bahwa meskipun belajar itu susah, tapi ada hal yang baru yang didapatkan oleh siswa, sehingga hal
itu akan mendidik siswa untuk semangat menemukan konsep - konsep baru lewat kasus kasus baru
yang ia dapatkan lewat pengalaman belajar.

Mengapa potensi afeksi dan konasi  masih sangat kurang untuk diberdayakan dalam proses belajar?,
Apakah selama ini guru kita tidak sempat?, ataukah guru kita kurang kreatif?, atau memang
kurikulum kita terlalu luas dan mendetail teori - teorinya?, mari kita berevaluasi!

Mari kita terus berevaluasi dengan merasakan praktik pembelajaran yang terjadi. Jumlah bidang
studi yang banyak, dengan pola belajar yang menilai dari hasil (bukannya mengukur keberhasilan
dari proses, dengan indikator seberapa tinggi antusias siswa untuk mendapatkan ilmu melalui
pengalaman keilmuwan yang dirasakan oleh dirinya).

Kemauan siswa memproses itulah yang sejatinya nanti membentuk anak bisa
mengkonseptualisasikan suatu kasus, mentalnya tetap fokus pada masalah, dan daya nalarnya
bermain untuk penyelesaian masalah. Bukan sekedar penguasaan logika formal yang cenderung
sudah pasti semua variabelnya.

Banyaknya pelajaran sekolah dan metode pembelajarannya yang cenderung berhenti pada tataran
kognitif tentu kegiatan belajar di sekolah bukan lagi hal menyenangkan bagi siswa.

Kalau kita bertanya pada orang tua siswa, khususnya ibu - ibu rumah tangga yang mendampingi
buah hatinya ketika mengerjakan PR atau ketika belajar mereka akan menjawab " Pelajarannya
njelimet, saya bingung mengajari anak saya, karena kelamaan dan anak sulit mencerna juga, ya
sudah PR nya saya yang mengerjakan ", itulah yang terjadi.

Bagi mereka yang idealis akan proses pembelajaran akan berkomentar, "Nilai pelajarannya bagus
tetapi kok sampai lulus SMA belum menunjukkan inisiatif untuk sedikit lebih berani dengan
mengembangkan metodenya sendiri meningkatkan skill di bidang yang dia sukai, ada apa
ya?"Sebagai ilustrasi dalam bidang sastra misalnya, hal itu ditunjukkan dengan berlatih banyak
menulis, membenahi tulisannya, meriset lagi target pembacanya bila memang kurang diminati
karyanya, dan mencoba berkirim ke redaksi dan semacamnya.

Mereka yang idealis tersebut akan bertanya pada ilustrasi tersebut, "mengapa hal kecil semacam itu
belum dilakukan tetapi teori teori jenis jenis bacaan yang menjadi pekerjaan besar di kalangan
akademisi selalu ada dalam pelajarannya dan nilainya juga bagus?" ibaratnya mengapa hal kecil saja
belum bisa atau belum sempat dia jalankan tetapi sudah terlalu jauh berbicara yang besar, lagi pula
hal kecil tersebut juga masih berhubungan dengan pekerjaan besar tersebut".

Demikian ilustrasi singkatnya, pada intinya idealnya selama proses pembelajaran 12 tahun sudah
nampak potensi yang menonjol, skill yang dipilih oleh siswa untuk dipelajari dan dipersiapkan untuk
masa depan.

Namun pada ilustrasi siswa sastra tersebut pengalaman pembelajarannya seolah tidak membuat
siswa hadir, teori penulisan level yang tinggi yang biasanya  dilakukan oleh kalangan ilmuwan
tersebut masih dikenali dari pengalaman kognitif dan kesempatan yang ada nyata kurang
teroptimalkan atau saya menyebutnya pengalaman kognitif yang pinggiran.

Mari kita renungkan, bagaimana siswa menguasai suatu skill jika dalam praktiknya dia tidak ada
keterlibatan, penalaran yang hadir, sejumlah proses trial error yang telah dilakukan, prosedur yang
keliru karena belajar, abstraksi yang hadir dalam pembelajaran, kesan afeksi yang didapatkan.
Kenapa selama ini praktik yang terjadi sering kali dengan sistim kebut materi, siswa belum enjoy
dengan materi sudah hadir materi baru lagi.

Sejauh proses pengajaran guru, kurikulum dan tujuan akhir pendidikan sudah tepat, Hal itu
membuat potensi yang sudah dikarunikan tuhan kepada anak akan berkembang secara optimal.

Ketika siswa sudah mencapai perkembangan psikologis, saat dimana berpikir abstraknya  sudah
mulai terlihat karena data data yang dimiliki serta metode analisisnya juga sudah baik  tentu
kurikulum akan mengarahkan siswa tersebut pada level yang bersifat lebih luas.

Kalau dahulu kejadian yang ditemui adalah hasil praktik, masa kuliah atau SMA mulai diajarkan
adanya referensi kejadian yang belum kita alami dan potensi kita temui pada lapangan Industri,
karier dan pemecahan bidang terkait. Itulah perbedaan treatmentnya.

Mereka dengan bekal dasar analisa dan data yang sudah ia pelajari ketika duduk di bangku SMP,
sudah siap menerima konsep yang abstrak. pembelajaran saklek atau model hapalan sebenarnya
sistimnya dalam memperlakukan peserta didik hampir tidak ada perubahan. Entah kita sudah
mengalami berapa dasawarsa pada sistim pembelajaran saklek ini?

Saklek berarti interaksi antar siswa dan guru tidak memunculkan interaksi keilmuwan yang lebih.
Gampangannya guru bisa merasakan gejala - gejalanya, kenapa tidak ada pertanyaan yang lahir dari
orisinalitas ide siswa ya? sekedar untuk diketahui bekerjanya ketiga potensi tersebut bermula dari
kognitif, namun proses merdeka belajar mengandalkan guru sebagai perangsang pembelajaran.

Sehingga pertanyaan pertanyaan orisinil dari pengalaman siswa, bukan karena ingin mencari nilai
atau tekanan lain akan muncul,tetapi karena dorongan kebutuhan.

Karena saking semangatnya bahkan, ada kemungkinan siswa ingin belajar sesuatu yang selangkah
lebih maju, yang sebenarnya interdisipliner (lintas ilmu yang sebenarnya belum dia pelajari, dan
belum waktunya untuk dipelajari) Itu adalah siswa siswa spesial yang menjadikan gurunya terasa
marem (dalam bahasa jawa) atau menjadi investasi ibadah yang pahalanya terus mengalir . 
Dalam interaksi pembelajaran akhirnya ada suatu konsultasi dari pengalaman siswa. Jika ada
kesalahan - kesalahan dalam prosedur, data dan analisis guru akan memberikan bimbingan.

Bila ada sesuatu yang kurang realistis karena ilmu yang dibutuhkan masih butuh perjalanan yang
lama, guru harus bisa memotivasi siswa tersebut, bukannnya mengendorkan semangat.

Bukankah esensi belajar memang harus mengarahkan tial error, prosedur yang salah ke jalan yang
benar?, "La selama ini mereka punya tetangga ilmuwan ya? kok pada tidak ada yang diluruskan,
lancar lancar saja tuh prosedurnya, paling paling hanya masalah angka yang kurang teliti dalam
perhitungan atau cuman penggunaan rumus nya tidak sesuai", iya kayaknya.

Tunggu dulu....itu kalau kita posotif thinking, boleh lah kita sedikit nefthink , kita perlu curiga jangan -
jangan tidak ada error prosedur bukan karena sudah dibina tetangga, tetapi mereka belum merdeka,
mereka masih saklek. Mereka kurang berani mencoba dari kasus, taunya semua prosedur atau
konsep didapatkan di kelas, ada sih kehadiran analisanya tapi  sekedarnya.

Itu semua adalah harapan untuk kebijakan merdeka belajar, siswa menghadirkan pertanyaan yang
orisinil dari pengalamannya (dari kebutuhan), guru mengkonseptulisasi hasil pemetaan secara
general yang dihadapi oleh siswa. Guru mensistematiskan pengetahuan mereka, sehingga pemikiran
mereka sistematis. Perangkat kurikulum yang disesuaikan dengan paradigma analisis dan
mempotensikan 3 potensi siswa.

Ringkasnya, harapan terhadap merdeka belajar adalah:

1. Kurikulum dan metode pembelajaran yang berbasis analisis, melibatkan potensi siswa pada aspek
kognisi, afeksi dan konasi.

2. pengembangan metode kepengajaran guru yang bisa menginspirasi dan menggerakkan siswa
untuk bertanya dan mencari jawaban berbasis kebutuhannya, bukan behavioristik.

3. Untuk  tujuan,  indikator yang bisa dikenali lewat penggantian UN daengan assesement
kemampuan minimum, tema untuk guru adalah guru penggerak,sudah bisa kita rasakan  spririt
baiknya kebijakan ini. Namun kita berharap no.1 dan no.2 untuk berikutnya.

Apa Tantangan Merdeka Belajar bagi Guru?

Tentu hal itu bukan perkara mudah. Guru tidak sekedar mengamati indikator -indikator statis,
melainkan bersifat dinamis. Karena obyek yang ditangani adalah manusia. Mereka memiliki mood,
kadang mereka senang, kadang mereka sedih. Mereka begitu cepat berubah dari antusias menjadi
pesimis.

Mereka juga memiliki mental, kecerdasan, kepribadian dan lingkungan. Itu semua saya sebut dengan
kondisi kejiwaan dan yang melingkupinya. Tentu hal ini harus menjadi perhatian yang sangat besar
bagi guru.

Biarpun guru menguasai materi tetapi tidak mampu membaca gejala kejiwaan siswa, penyampaian
materinya cenderung kaku, dalam proses belajarnya menjadi interaksi yang formal, contoh contoh
yang disampaikan seperti kosong dalam angan angan siswa.

Demikian halnya sepandai apapun guru membaca gejala gejala psikologis siswa tetapi tidak tau
bagaimana mengajarkan pengetahuan kepada siswa maka kegiatan pembelajaran hanya sebatas
pembinaan praktis saja, bukan mencetak manusia yang survive memproses pengetahuan.
Apabila guru memadukan keduanya lewat perencanaan yang matang maka siswa secara kesadaran
akan memiliki self motivated,semangatnya didasari kesadaran diri, bukan semangat yang semu alias
moody. Dan tantangan demi tantangan, siswa bisa merdeka mencari jalan.

Tentunya guru dituntut untuk berinovasi. Namun siapkah guru di indonesia? bagaimana guru bisa
keluar dari pola lama yang tidak memerdekakan diri dan siswanya?, seberapa sanggup mereka
memposisikan siswa sebagai manusia seutuhnya? Bisakah guru menghadirkan pembelajaran yang
mendorong siswa untuk mengembangkan pengalaman keilmuwan secara merdeka? Tentu
pertanyaan itu juga merupakan tantangan dalam kebijakan merdeka belajar.

Quote: Guru!!! Agen pembangun sumber daya manusia, di tangannya terlahir cendikiawan,
negarawan, ilmuwan dan orang orang hebat dengan catatan: jika guru mau,mampu,sabar, dan
istiqomah mendidik dengan mempotensikan potensi yang dimiliki siswa. -Inovasi, Strategi dan Aksi-

Anda mungkin juga menyukai