Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Wahyu, Akal dan Instink


 “ Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ilmu Alam Dasar (IAD) “

Siti Mayangsari
Sayyidah Sulthoniyatul Azijah
Elza Yuliyani

STAI AL-AULIA
JL.KH Abdul Hamid –Cemplang KM 03Situ Ilir
Cibungbulang -Bogor

Fakultas Tarbiyah

Tahun Ajaran 2020-2021

i
KATA PENGANTAR

Makalah Ilmu Alamiah Dasar “ wahyu akal dan insting “yang


disajikan dihadapan pembaca adalah sebuah makalah yang dipersiapkan secara
khusus untuk mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar yang diperuntukkan bagi
mahasiswa .
Tujuan dari Pembelajaran IAD adalah agar memahami alam dimana
kita hidup,memanfaatkan alam ini sesuai dengan hokum-hukum alam. Selain
daripada itu sasaran pembelajaran Ilmu Alamiah Dasar adalah agar bisa
memecahkan masalah-masalah kehidupan sehari-hari dengan Metode ilmiah.
Metode ilmiah adalah metode yang asal-usulnya dari Ilmu Alamiah sehingga
dengan mempelajari Ilmu Alamiah akan lebih mudah menerapkan untuk
masalah-masalah lain yang bersifat empirik. Selanjutnya, dalam pembentukan
sikap ilmiah, Ilmu Alamiah merupakan sarana yang baik karena
mereka yang mempelajari Ilmu Alamiah akan terbiasa melakukan langkah-
langkah yang pada akhirnya akan terbina pula sikap Ilmiah.
Akhir kata saya ingin menyampaikan sebuah pepatah cina “ Orang
yang menghargai dan mencintai orang lain akan dihargai dan dicintai juga
sebagai balasannya” . Sebagai pribadi yang berintelektual maka perlulah kita
untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan kehidupan semua Mahluk Hidup
dimuka bumi ini untuk menciptakan keseimbangan alam. All starts from
your !!!.
Semoga dari yang “kecil” ini akan muncul sesuatu yang besar dan bermanfaat
bagi banyak orang.

                                                                                                      Bogor, 23 September 2020

                                                                                                                      Penulis

ii
Daftar Isi

Kata pengantar...............................................................................................i
Daftar isi.........................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan.......................................................................................1
Latar belakang....................................................................................1
Rumusan masalah..............................................................................2
Tujuan................................................................................................2
BAB II Pembahasan.......................................................................................3
            Pengertian Wahyu, Akal dan Insting.................................................3
            Fungsi Wahyu, Akal dan Insting.......................................................10
            Kedudukan Wahyu, Akal dan Insting dalam Islam...........................11
BAB III Penutup............................................................................................15
Kesimpulan........................................................................................16
Daftar pustaka....................................................................................17

iii
BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan
kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada
manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara
optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban
taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun
tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena
beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal
primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana
kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan
terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Agama mengajarkan  dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan.
Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan
kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan
yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai
pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui 
akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan
pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution,
1986: 1).
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul
pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang
diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang
diperoleh melalui kedua-duanya.  Karena itu,  masalah hubungan  akal dan
wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur dan paling mendalam
dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih dua ribu tahun
(Harun Nasution, 1986: 1).

1
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia
tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah,
Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak
tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat.

2.    Rumusa Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wahyu, akal dan insting ?
2.      Apakah fungsi wahyu, akal dan insting ?
3.      Bagaimana kedudukan wahyu, akal dan insting dalam islam ?

3.    Tujuan
-         Menambah wawasan akan ilmu alamiah dasar
-         Memberi tahu pentingnya wahyu, akal dan insting

2
BAB II
Pembahasan
A.    Pengertian Wahyu, Akal dan Insting

1.    Pengertian Wahyu
Wahyu secara Etimologis kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-
wahy yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan,
paham dan juga api. Ttp ada juga yang mengartikan bisikan  yang tersembunyi
dan cepat. Dengan demikian, pengertian wahyu secara etimologis  adalah
penyampaian sabda tuhan kepada manusia piihan-nya tanpa diketahui orang
lain , agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan
hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Ar-Raghib menuliskan, "Wahyu adalah sebuah petunjuk yang sangat
cepat. Wahyu terkadang dengan perkataan simbolik, terkadang dalam bentuk
suara tanpa susunan, terkadang dengan isyarah sebagian anggota badan, dan
terkadang dengan tulisan."
Menurut Ibnu Atsir, "Kata wahyu dalam hadis sering dimaknakan
sebagai tulisan, isyarat, risalah, ilham dan bisikan."
Dari kedua pemaknaan di atas dapat duitarik kesimpulan bahwa wahyu
memiliki enam makna sebagai berikut:
1.  Bisikan;                                                                         
2.  Suara yang tak terdengar;
3.  Isyarat;
4.  Tulisan;
5.  Risalah dan utusan;
6.  Ilham.
Setiap makna di atas mengandung dua unsur: kecepatan dalam
pemahaman dan rahasia.

Wahyu secara Terminologis pemberitahuan Allah swt kepada


hambanya yang terpilih mengenai segala sesuatu yang ia kehendaki untuk
dikemukakannya, baik berupa petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya

3
secara rahasia dan tersembunyi serta tidak terjadi pada manusia biasa. Sedang
wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar’i  definisikan sebagai kalam
Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan
pengertian maf’ul, yaitu almuha (yang diwahyukan). Ustad Muhammad
Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah pengetahuan
yang didapati oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan
bahawa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak.
Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara
sama sekali. Beza antara wahyu dengan ilham adalah bahawa ilham itu intuisi
yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta,
tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan
lapar, haus, sedih, dan senang.
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bahagian
awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara
hati atau kasyaf,
tetapi pembezaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal
ini. Sebagaimana pengakuan al-Qur’an bahwa wahyu merupakan sebuah
hakikat dan kebenaran dan dalam beberapa ayat al-Qur’an hal tersebut
dinisbahkan kepada Nabi saw. Akan tetapi, al-Qur’an, dalam menjelaskan
esensi wahyu, hanya sekedar mengisyaratkan saja dan tidak memaparkan
sedetail mungkin. Al-Qur’an menyatakan: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-
Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi
salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (Qs. asy-
Syu’araa’ ayat 192-194).
Wahyu adalah pilar dan pondasi kenabian serta termasuk salah satu
dari rukun agama–agama samawi. Wahyu merupakan jalur khusus dan rahasia
yang menghubungkan antara Tuhan dan manusia-manusia pilihan (baca: nabi
dan rasul). Tuhan "berhubungan" dengan nabi dan rasul, baik secara langsung
maupun tak langsung, dengan perantaraan wahyu. Dan Tuhan menurunkan
wahyu yang mengandung, pengetahuan, hukum-hukum, dan undang-undang
ke dalam hati nabi dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikannya
kepada seluruh umat manusia. Para nabi mendapatkan hakikat-hakikat dari
alam gaib dengan perantaraan hubungan malakuti dan transenden yang
4
tercipta melalui hati bukan dengan menggunakan indra-indra lahiriah, akal,
pemikiran, dan silogisme logikal.
Wahyu adalah sebuah eksistensi transendental yang berada di luar
ranah dan wilayah akal pikiran manusia, karena itu manusia mustahil
mengetahui esensi dan hakikat wahyu dengan perantaraan akal. Wahyu
bukanlah sebuah eksistensi yang bersifat material atau berhubungan dengan
alam natural sehingga manusia bisa mengetahuinya dengan menggunakan
perangkat-perangkat indrawi dan alat-alat ilmu empirik.
Hakikat wahyu tidaklah bisa dideskripsikan oleh akal dan tidak bisa
didefenisikan dengan apapun. Para nabi memahami hakikat wahyu dan
menyaksikannya dengan keluasan dan kesucian batinnya.

2.    Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql
(‫)العـقـل‬, yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk
kata kerjanya ‘aqaluuh (‫ )عـقـلوه‬dalam 1 ayat, ta’qiluun (‫ )تعـقـلون‬24 ayat, na’qil (
‫ )نعـقـل‬1 ayat, ya’qiluha (‫ )يعـقـلها‬1 ayat dan ya’qiluun (‫ )يعـقـلون‬22 ayat, kata-kata
itu datang dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal
adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah
dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai
dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah
psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala
mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad
Abduh berpendapat bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki
manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk
lain.

Ibnu mandzur dalam lisanul-Arab menyatakan bahwa akal adalah sifat; 'uqila


lahu shay'un berarti dijaga atau diikat (hubisa) akalnya dan dibatasi. U'tuqila

5
lisanuhu idha hubisa wa muni'a l-kalam (u'tuqila lidahnya, jika ia dibatasi dan
dilarang  berbicara).  'aqaltu  l-
ba'ir,  berarti  saya  telah  mengikat  keempat  kaki  unta dan hal ini
pun senada dengan al-Jarjani dalam kitabnya al-Ta’rifat dengan tambahan
bahwa akal itu adalah sesuatu yang mengikat hakikat berbagai hal; dan itu
tempat dikepala tetapi ada juga yang mengatakan adanya dalam hati.
Selanjutnya  dijelaskan  bahwa  akal  berarti  kepastian 
(verification,making  sure,  certitude)  dalam segala perkara. akal, karena dua
alasan:
a. Mencegah pemiliknya (manusia) untuk terjerumus kedalam jurang
kehancuran.
b. Pembedaan yang membedakan manusia dari semua hewan.
Makna  kata  akal  yang  berarti  suatu  yang  terikat  atau  ikatan, hal
ini diperkuat dengan hadist dimana  beliau  berkata:  "Ketika  turun  ayat 
(QS.  2:187)  sehingga  menjadi  jelas  bagimu  antara 'benang putih' dan 
'benang hitam', aku segera menyiapkan benang  ('iqal) hitam dan benang
putih, lalu  aku  letakkan  di  bawah  bantal.  Kemudian  aku melihatnya  di
malam  hari,  maka  tidak  jelas bagiku.  Lalu  aku  pergi  ke Rasulullah 
SAW,  aku  pun menceritakan  hal  itu  kepada  beliau. Maka beliau pun
bersabda: Sesungguhnya (ayat) itu (berarti) hitamnya malam dan terangnya
siang"
Aqala menurut sebagian orang adalah bentuk kekuatan untuk
mentransfer ilmu; sehingga dengan kekuatan akal tersebut manusia bisa
mengambil faidah dari ilmunya itu. Amirul mukminin telah berkata, “akal itu
terdiri dari dua macam, yaitu akal dari tabi’at manusia itu sendiri dan akal
yang dihasilkan dari mendengar, pendidikan dsb. Maka tidak bermanfaat dari
apa yang kita dengar kalau kita tidak punya akal secara tab’i. Seperti tidak
bermanfaatnya mata kalau tidak ada cahaya matahari”. Unsur pertama dalam
akal, tergambar dalam sabda Nabi yang menyatakan ‘tidaklah Allah
menciptakan makhluk yang paling mulia kecuali padanya dikaruniai akal’
makanya kalau tidak terdapat unsur ini, dalam Islam manusia tidak memiliki
kewajiban (taklif). sedangkan unsur kedua dalam akal, tergambar dalam sabda
Rasul yang menyatakan ‘tidak ada seorng pun yang paling utama berusaha
mengenai sesuatu dari akalnya kecuali yang mengantarkannya pada hidayah
6
dan menolaknya pada hal-hal yang membuatnya murtad’. Atau sebagaimana
isyarat al-Qur’an ‘....dan tidak akan ada yang berakal kecuali orang yang
berilmu (al-Ankabut: 43)’. Makanya, orang kafir divonis oleh Allah tidak
berakal karena tidak memiliki unsur yang kedua ini, Allah Swt berfirman ‘....
(mereka orang-orang kafir) tuli, bisu dan buta maka mereka tidak berakal (al-
Baqarah: 171)’.
Dalam analisa Al-Ghazali menurutnya akal memiliki banyak
pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang
dan yang menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan
teoritis. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna oleh seorang anak yang
telah mendekati usia dewasa. Misalnya, dua itu lebih banyak dari satu. Makna
ketiga dari akal menurut al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh
seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya yang pada akhirnya dapat
memperhalus budi pekertinya. Menurut kebiasaan orang yang tidak berbudi
pekerti yang baik dinamakan orang tidak berakal. Makna ke empat dari akal
adalah kekuatan insting yang menjadikan seseorang mengetahui dampak
semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan hawa nafsunya serta
mengatasinya agar tidak terbawa larut olehnya.

Akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk


membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan
tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia
pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan
rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan,
menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah.
Namun, karena kemampuan manusia dalam menyerap pengalaman dan
pendidikan tidak sama. Maka tidak ada kemampuan akal antar manusia yang
betul-betul sama.
Akal terbagi dua:
 Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi
melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
 Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada
dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.

7
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam  materi,  sedang
akal  teoritis  kepada  alam  metafisik.  Dalam  diri  manusia
terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang  terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu
Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak  meneruskan
arti-arti,  yang  diterimanya  dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis.  Tetapi  kalau  ia  teruskan akal teoritis akan
berkembang dengan baik.
Jadi, Akal sejatinya akan kita fahami definisinya sejalan dengan
memahami makna kebahasannya yaitu aqala yang berarti tali pengikat. Ia
adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang
menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal semacam itulah
yang menjadi tujuan dan yang harus diusahakan untuk meraihnya, karena yang
demikian itulah yang akan menyelamatkan seseorang. Tanpa akal, siapapun
akan terjerumus walau memiliki pengetahuan teoritis yang sangat dalam.

3.    Pengertian Insting
Naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu
rangsangan tertentu yang tidak dipelajari tapi telah ada sejak kelahiran suatu
makhluk hidup dan diperoleh secara turun-temurun (filogenetik). Dalam
psikoanalisis, naluri dianggap sebagai tenaga psikis bawah sadar yang dibagi
atas naluri kehidupan (eros) dan naluri kematian (thanos).
Insting adalah kemampuan berbuat sesuatu yang dibawa sejak lahir yang
dituju pada pemuasan dorongan-dorongan nafsu dan dorongan lain. Insting
bisa disebu juga naluri atau garizah. Insting juga dapat diartikan sebagai pola
tingkah laku yang bersifat turun temurun yang dibawa sejak lahir tanpa
pengalaman sebelumnya atau tanpa tujuan yang mendasar seperti pada hewan
misalnya terdapat insting pembuatan tempat tinggal yang khas, mendapat dan
menyimpan serta mencernakan makanannya yang mungkin bisa dimanfaatkan
pada musim hujan.
Bersama-sama dengan dorongan-dorongan, insting menjadi faktor
penggerak bagi segala tingkah laku dan aktifitas manusia dan menjadi tenaga
dinamis yang tertanam sangat dalam pada peribadi manusia.

8
Biasanya orang suka salah pengertian dan asal sebut saja kata-kata feeling,
insting ataupun intuisi. Padahal semua itu berbeda. Ketiga kalimat itu hampir
sama pemahamannya. Tapi kalau dilihat dari pngertiannya jelas berbeda.
Istilah insting, feeling dan intuisi berasal dari Bahasa Inggris. Penjelasan
secara singkat insting berkaitan dengan sinyal pada tubuh manusia, konon
orang yan berlatih bela diri instingnya lebih tajam. Feeling adalah perasaan
misalnya sedih, marah, gembira, takut, cemas, dan lainnya. Sedang instuisi
adalah bukan sebuah sinyal, karena bentuknya mengalir ke arah kreatifitas
menggunakan otak kanan seperti banyak dipakai oleh para seniman.
Dalam islam insting lebih ke arah qalbu, kalau qolbu kita tertutup,
maka kita tidak bisa memahami apa yang terkandung dalam ayat-ayat Al-
Qur’an. Manusia diciptakan mempunyai telinga untuk mendengar, mata untuk
melihat dan qolbu untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an. Kebersihan qolbu
sangat penting agar  feeling, insting dan instuisi mengarah ke arah yang benar.
Teori insting yang dikemukakan oleh Mc. Douhgall sebagai pelopor
dari psikologi sosial yang menerbitkan buku psikologi yang pertama kali, dan
mulai saat itu Psikologi Sosial mulai jadi pembicaraan yang cukup menarik.
Mc. Doughall menyatakan bahwa insting merupakan kecondongan khusus dari
pada jiwa yang terbawa sejak lahir dan pembuatan yang timbul daripada
kecondongan tersebut.
Selanjutnya Mc. Doughall berpendapat bahwa di dalam insting
terdapat tiga unsur kekuatan yaitu :
1. Coguisi (mengenal)
2. Conasi  (kehendak)
3. Emosi  (merasa)
            Selanjutnya Mc. Doughall mengemukakan tujuan macam-macam
insting yang mempunyai dorongan dalam tujuan macam emosi.
No Insting No. Insting
.
1. Melarikan diri 1. Takut
2. Menolak 2. Jiji
3. Ingin tahu 3. Takjub
4. Perlawanan 4. Kemarahan
5. Merendahkan diri 5. Tunduk

9
6. Menonjolkan diri 6. Menjaga harga diri
7. Orang tua 7. Halus budi
    
            Selain insting di atas terdapat pula insting lain, seperti insting sexual,
membangun dan menarik perhatian. Yang semua itu merupakan tendensi
pembawaan yang tidak dapat dirubah tetapi dapt dikembangkan. Insting
merupakan perilaku yang innate. Perilaku yang bawaan dan  insting akan
mengalami perubahan karena pengalaman. Pendapat Mc. Doughall ini
mendapat tanggapan dari Allport  yang menerbitkan buku Psikologi Sosial
pada tahun 1994, yang berpendapat bahwa perilaku manusia itu disebabkan
karena banyak faktor termasuk orang-orang yang ada disekitarnya dengan
perilakunya.

B.    Fungsi Wahyu,Akal dan Insting


1.    Fungsi Wahyu

Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam


tradisional, akal  manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini
berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal
manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran
Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka
menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban
berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan
menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam
pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkand wahyu tetaplah perlu.
             Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara
berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik
dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di
terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional
karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini
adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui
mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi
kewajibannya.

10
2.    Fungsi Akal
beberapa fungsi akal yaitu:
1. Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
3. Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah
sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang
akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya
dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan  Akal adalah jalan untuk
memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal
iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang
menjadi sumber keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.

3.    Fungsi Insting
Fungsi insting antara lain :
1. Mendorong uuk memprtahankan diri
2. Mempertahankan diri
3. Mengembangkan diri

C.    Kedudukan wahyu akal dan insting dalam islam

1.    Akal dalam perspektif islam


Al-Harits bin Asad al-Muhasiby, seorang sufi besar, sekaligus pakar
hukum dan hadits serta sastrawan yang wafat di Baghdad pada tahun 857 M
berkata bahwa:
“Akal adalah insting yang diciptakan Allah swt pada kebanyakan
makhluk-Nya, yang (hakikatnya) oleh hamba-hamba-Nya – baik melalui
(pengajaran) sebagian untuk sebagain yang lain, tidak juga mereka secara
berdiri sendiri – (mereka semua) tidak dapat menjangkaunya dengan
pandangan, indera, rasa, atau cicipan. Allah yang memperkenalkan (insting
itu) melalui akal itu (dirinya sendiri).”

11
Lebih lanjut al-Muhasiby berkata, “Dengan akal itulah hamba-hamba Allah
mengenal-Nya. Mereka menyaksikan wujud-Nya dengan akal itu, yang
mereka kenal dengan akal mereka juga. Dan dengannya mereka mengetahui
apa yang bermanfaat bagi mereka dan dengannya pula mereka mengetahui apa
yang membahayakan bagi mereka. Karena itu siapa yang mengetahui dan
dapat membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya baginya
dalam urusan kehidupan dunianya, maka dia telah mengetahui bahwa Allah
telah menganugerahinya dengan akal yang dicabutnya dari orang gila atau
yang tersesat dan juga dari sekian banyak orang picik yang hanya sedikit
memiliki akal.”
Ada lagi yang berpendapat bahwa akal terdiri dari dua macam. Akal
yang merupakan anugerah Allah dan akal yang dapat diperoleh dan
dikembangkan oleh manusia melalui penalaran, pendidikan, dan pengalaman
hidup.
Al-Ghazali, sufi yang filosof itu, mengingatkan bahwa kata “akal”
mempunyai banyak pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan
manusia dari binatang dan yang menjadikan manusia mampu menerima
berbagai pengetahuan teoritis. Makna ini tidak jauh berbeda dengan pendapat
al-Muhasiby di atas. Akal juga berarti pengetahuan yang dicerna oleh seorang
anak yang telah mendekati usia dewasa, di mana – misalnya – ia dapat
mengetahui sesuatu tidak mungkin ada pada sesuatu yang pada saat yang sama
ia tidak ada juga di tempat itu, atau dua itu lebih banyak dari satu. Makna
ketiga dari akal, menurut al-Ghazali, adalah pengetahuan yang diperoleh
seseorang berdasar pengalaman yang dilaluinya dan yang pada gilirannya
memperhalus budinya. Menurut kebiasaan, orang yang demikian ini dinamai
“orang berakal”, sedang orang yang kasar budinya dinamai “tidak berakal”.
Makna keempat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan seseorang
mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan
hawa nafsunya serta mengatasinya agar tidak terbaur larut olehnya.           

2.    Wahyu dalam perspektif islam

12
Kedudukan antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena
islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua
hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam
hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum
islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah
menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu
tindakan yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu
itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-
orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan
akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber
dari Allah SWT, pribadi N a b i Muhammad SAW yang
menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat  penting
dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku
umum atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan waktu,
baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. A p a
yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan
akal, bahkan i a   sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu
merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah. W a h y u
itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia.
baik p e r i n t a h   maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang
berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-
angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang. pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu
yang menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban
manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk,
serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Maka para aliran islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain
I. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional,
berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui
empat Karena Masalah akal dan wahyu dalam konsep tersebut.
II.   Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk
pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban

13
menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan
mengetahui ketiga hal tersebut.
III. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam
  

tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui


tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih
kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik
dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu
IV. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan
kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari
keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang
baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya
yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat
diketahui dengan wahyu.

14
BAB III
PENUTUP
1.    KESIMPULAN
Akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk
membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan
tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia pemiliknya.
Wahyu adalah sebuah eksistensi transendental yang berada di luar
ranah dan wilayah akal pikiran manusia, karena itu manusia mustahil
mengetahui esensi dan hakikat wahyu dengan perantaraan akal.
Naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu
rangsangan tertentu yang tidak dipelajari tapi telah ada sejak kelahiran suatu
makhluk hidup dan diperoleh secara turun-temurun (filogenetik). Dalam
psikoanalisis, naluri dianggap sebagai tenaga psikis bawah sadar yang dibagi
atas naluri kehidupan (eros) dan naluri kematian (thanos).
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam
tradisional, akal  manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini
berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal
manusia sebelumnya.
     fungsi akal yaitu, Tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan, Alat untuk
mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar, Alat penemu solusi
ketika permasalahan datang. Fungsi insting yaitu, Mendorong untuk
memprtahankan diri, Mempertahankan diri, Mengembangkan diri.
Menurut Al-Harits bin Asad al-Muhasiby “Akal adalah insting yang
diciptakan Allah swt pada kebanyakan makhluk-Nya, yang (hakikatnya) oleh
hamba-hamba-Nya – baik melalui (pengajaran) sebagian untuk sebagain yang
lain, tidak juga mereka secara berdiri sendiri – (mereka semua) tidak dapat
menjangkaunya dengan pandangan, indera, rasa, atau cicipan. Allah yang
memperkenalkan (insting itu) melalui akal itu (dirinya sendiri).”
Kedudukan antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena
islam tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua
hal ini sangat berpengaruh dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam

15
hukum islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum
islam berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah
menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu
tindakan yang terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu
itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-
orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan
akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.

16
DAFTAR PUSTAKA
 An-Najar, Abdul Majid. 1993. Khilafah-tinjauan wahyu dan akal. Cet. 2.
Beirut, dar al-Gharb al-Islami.
 Ag., Nurjanah. 2012. Psikologi Umum. Ciamis: Institut Agama Islam
Darussalam (IAID).
 Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, cetakan
kedua, 1986.
 Nasution, Harun Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), UI Press, Jakarta,cet.V,1986.
 www.google.com// pengertian akal dan wahyu.ic.id
 Nasution, Harun, Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid
I,II.
 Atang, Metodologi Study Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

17

Anda mungkin juga menyukai