Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam Dosen
Pengampuh:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
Disusun Oleh :
Nama : Endah Surti Hapsari
Nim : C1G020073
Fakultas/Prodi : Pertanian/Agribisnis
Semester : 1 ( SATU)
Page 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah dihaturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Karena atas berkat rahmat-Nya
lah penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancer.
Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
atas perjuangan beliau yang telah membawa kita keluar dari zaman kegelapan menuju
ke zaman yang terang benderang seperti saat ini, yakni agama islam.
Semoga kita semua selalu mendapatkan syafaatnya pada yaumil akhir amin.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam atas
bimbingan bapak penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan lancer.
Dengan ini penulis mempersembahkan tugas artikel ini dengan penuh rasa terimakasih
pada pihak yang membantu dan semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya agar
tugas ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca.
Page 2
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER…………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….ii
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..... 35
LAMPIRAN………………………………………………………………………………..…36
Page 3
BAB I
Tauhid Keistimewaan & Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam
Iman kepada Allah Stw merupakan konsep dasar seorang meyakini, mempercayai
tentang keberadaan tuhan Sang pencipta alam. Hal ini merupakan pondasi dasar
keberagamaan seseorang. Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini
sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha
Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha
Kuasa.Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu
tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji
keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya.
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang
personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia.
Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa
pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang
diridhai-Nya”.
1. Filsafat Ketuhanan dalam Islam
Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah Telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya
Page 4
untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin,
1989: 56).
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa saja,
yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai
sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-Tuhan juga.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan
dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan
yang bernama Allah
Konsepsi Tauhid
Page 5
2. Pentingnya Tauhid
Tauhid sebagai intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi tersebut
adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang Esa,
pencipta yang mutlak dan penguasa segala yang ada. Keterangan ini merupakan
bukti, tak dapat diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban memiliki
suatu esensi pengetahuan yaitu tauhid.
3. Tingkatan Tauhid
Tauhid menurut Islam ialah tauhid I,tiqadi-„ilmi (keyakinan teoritis) dan Tauhid
amali-suluki (tingkahlaku praktis). Dengan katalain ketauhidan antara ketauhidan
teoritis dan ketauhidan praktis tak dapat dipisahkan satu dari yang lain; yakni
tauhid bentuk makrifat (pengetahuan), itsbat (pernyataan), I‟tiqad (keyakinan),
qasd (tujuan) dan iradah (kehendak). Dan semua itu tercermin dalam empat
tingkatan atau tahapan tauhid yaitu;
a. Tauhid Rububiyah
Secara etimologis kata Rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata rabb ini
sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan,
mengembangkan, mencipta, memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki
dan lain-lain. Secara Terminolgis Tauhid Rububiyah ialah keyakinan bahwa
Allah Swt adalah Tuhan pencipta semua mahluk dan alam semesta. Dia-lah
yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan hidup serta mengendalikan
segala urusan. Dia yang memberikan manfaat, penganugerahan kemuliaan
dan kehinaan.
Tauhid Rububiyah ini tergambar dalam ayat al-Quran antara lain QS.
alBaqarah 21-22
Page 6
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu
bagi Allah padahal kamu mengetahui. “
b. . Tauhid Mulkiyah
Kata mulkiyah berasal dari kata malaka. Isim fa‟ilnya dapat dibaca dengan
dua macam cara: Pertama, malik dengan huruf mim dibaca panjang; berarti
yang memiliki, kedua, malik dengan huruf mim dibaca pendek; berarti, yang
menguasai. Secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan
bahwa Allah swt., adalah satu-satunya Tuhan yang memiliki dan menguasai
seluruh mahluk dan alam semesta. Keyakinan Tauhid Mulkiyah ini tersurat
dalam ayat-ayat al-Quran seperti berikut ini:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada dalamnya, dan
Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu “ ( QS. al-Maidah ; 120 )
c. . Tauhid Uluhiyah
Kata Uluhiyah adalah masdar dari kata alaha yang mempunyai arti tentram,
tenang, lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling mendasar
adalah abada, yang berarti hamba sahaya („abdun), patuh dan tunduk
(„ibadah), yang mulia dan agung (al-ma‟bad), selalu mengikutinya („abada
bih). Tauhid Uluhiyah merupakan keyakinan bahwa Allah swt., adalah
satusatunya Tuhan yang patut dijadikan yang harus dipatuhi, ditaati,
digungkan dan dimuliakan. Hal ini tersurat dalam QS. Thaha: 14
Page 7
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku
d. Tauhid Ubudiyah
Kata „ubudiyah berasal dari akar kata abada yang berarti menyembah,
mengabdi, menjadi hamba sahaya, taat dan patuh, memuja, yang diagungkan
(al-ma‟bud.) Dari akar kata diatas, maka diketahui bahwa Tauhid
Ubudiyah adalah suatu keyakinan bahwasanya Allah Swt. Merupakan Tuhan
yang patut disembah, ditaati, dipuja dan diagungkan. Tiada sesembahan
yang berhak dipuja manusia melainkan Allah semata. Tauhid Ubudiyah
tercermin dalam ayat dibawah ini
Pemikiran terhadap tuhan melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam atau Ilmu Ushuludin
dikalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhamad saw.,. Secara garis besar
ada aliran bersifat liberal, tradisional dan ada pula bersifat diantaranya. Kedua corak
pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam islam. Aliranaliran
tersebut adalah :
1) Mu‟tazilah
Mu‟tazilah merupakan kaum rasionalis dikalangan Muslim. Dalam menganalisis
ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika yunani, yaitu sistem Teologi
untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu‟tazilah
yang bercorak rasional adalah munculnya abad kemajuan ilmu pengetahuan
dalam islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan
kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum ortodoks.
Page 8
2) Qadariah
Qadariah berpandapat bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak
dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau
mukmin dan hal itu menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya.
3) Jabariah
Yang merupakan pecahan dari murjiah berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku
manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
Berikut beberapa keistimewaan dan keindahan agama Islam yang akan diraih oleh
seorang hamba di dlm kehidupan dunia n akhirat
1. Memeluk agama Islam akan menghapuskan seluruh dosa dan kesalahan
orangorang kafir yang dilakukan sebelum masuk Islam.
Page 9
dilakukannya, akan ditulis (oleh Allah)satu kali (saja) sampai ia berjumpa dengan
Allah (maksudnya hingga ia mati, pent).”. (HR. Muslim di dalam Kitab Al-Iman,
I/118 nomor. 129).
Oleh karena itu Proses perkembangan pemikiran tentang tuhan. Tanda-tanda orang
beriman adalah; jika disebut nama tuhan bergetar hatinya, senantiasa tawakkal, tertib
dalam melaksanakan shalat, menafkahkan rezeki yang diterimanya,menghindari
perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan, memelihara amanah dan
menepati janji, serta berjihad dijalan Allah.
Page 10
BAB II
Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani Umayyah
mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam
pada masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah mengambil kebijakan
dengan mengangkat orang - orang Persia menjadi pejabat-pejabat penting di istana,
terutama dari keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama bersentuhan
dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme yang mempengaruhi umat Islam untuk
belajar dan mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata setelah penguasa
dari Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional
sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini pendidikan Islam mencapai zaman
keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains dan pemikiran Islam mencapai
kemajuan yang sangat pesat sehingga menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang
tiada tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya menjadi kiblat dunia
pada saat itu. Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu
klasik yang sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme.
Tetapi, Islam tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-
Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang
mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau
penyelidikan –penyelidikan ilmiah. jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang integral
dari ke seluruhan sistem Islam di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan
terhadap yang lainnya.Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca gejala alam
dan merenungkannya. Al-Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi,ilmu
kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh manusia.
Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur’anyang
mendorong orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan menyelidiki dengan
kemampuan akal budinya serta berusaha memperoleh pengetahuan dan pemahaman
alamiah sebagai TA’DIB bagian dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik memperoleh
ilham dan semangat untuk mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-
Qur’an, di samping dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan sampai batas-
batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat
ajaran al-Qur’an, para lmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam setiap
bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak saja diakui oleh kalangan
Page 11
ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al Ghazali, (1983:45-48 ) dan al-Suyuthi, (
Dhahabi, 1961: 420) bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R. Levy (1975:400)
(1975: 400) dan George Sarton. (tt:23).
Para ilmuwan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam merespon sains dan
teknologi Pertama, kelompok yang menganggap bahwa sains modern bersifat universal
dan netral dan semua sains tersebut dapat diketemukan dalam al-Qur’an. Kelompok ini
disebut kelompok Bucaillian, pengikut Maurice Bucaille, seorang ahli bedah Perancis
dengan bukunya yang sangat populer, The Bible, the Quran and Science; Kedua,
kelompok yang berusaha untuk memunculkan persemakmuran sains di negara-negara
Islam, karena kelompok ini berpendapat, bahwa ketika sains berada dalam masyarakat
Islam, maka fungsinya akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam (lihat Sardar, 1988:167-171). Tokop-tokoh
seperti Ismail Raji Al-Farauqi, Naquib Al-Attas, Abdussalam dan kawan-kawan bisa
diklasifikasikan dalam kelompok ini, dengan konsep Islamisasi-nya. Ketiga, kelompok
yang ingin membangun paradigma baru (epistemologi) Islam, yaitu paradigma
pengetahuan dan paradigma perilaku. Paradigma pengetahuan memusatkan perhatian
pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam yang menyangkut pencarian bidang tertentu;
dan paradigma perilaku menentukan batasan-batasan etika di mana para ilmuwan dapat
dengan bebas bekerja (Sardar, 1988:102). Paradigma ini berangkat dari al-Qur’an,
bukan berakhir dengan al-Qur’an sebagaiman yang diterapkan oleh Bucaillisme (lihat,
Sardar:169). Kelompok ini diwakili oleh Fazlurrahman, Ziauddin Sardar dan
kawankawan.
Upaya pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam memang bukan hal baru, melainkan
sudah dilakukan oleh ulama-ulama sejak dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif
mereka mengenai ”apakah al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan atau hanya
sebagai petunjuk agama saja?” Dari sini lantas muncul dua kelompok. Kelompok
pertama misalnya seperti yang dikatakan Al-Ghazali (lihat Ihya’ Ulumuddin, jilid V : 1).
Beliau mengatakan, bahwa seluruh ilmu tercakup dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah,
dan al-Qur’an adalah penjelasan esensi-esensi, sifat–sifat dan perbuatan-Nya. al-
Qur’an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan jika sekiranya lautan itu menjadi tinta
untuk menjelaskan kata-kata Tuhanku, niscaya lautan itu akan habis sebelum kata-kata
Tuhan itu berakhir (lihat Al-Ghazali, 11329 H: 9, 32).
Berikut beberapa ilmu sains dan teknologi dalam al-quran dan al-hadist
Page 12
A. BIOLOGI dalan AL QUR’AN
Perhatikan firman Allah dalam QS 39:6
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya
isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari
binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi
kejadian dalam tiga kegelapan[1306]. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah,
Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia;
maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
Dalam tafsir dijelaskan dijelaskan bahwa tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam
perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak
dalam rahim. Dalam Biologi dijelaskan bahwa sebenarnya embrio dalam rahin
mengalami tiga fase perkembangan yang disebut dengan fase morula, blastula,
gastrula
Perhatikan QS 21:30
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?
Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama lain.
Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang
Page 13
diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional
mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari
observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan
manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains,
dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis. Al-Qur’an, sebagai kalam Allah,
diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis.Olehsebab itu, secara
obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak
menyatakan hal itu secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li
al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulant mengenai fenomena alam dalam porsi
yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat(Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan,
pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAWmengandung indikasi pentingnya
proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena alam ini,
menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta
alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan
merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat
kepada-Nya (Ghulsyani, 1993).Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah
tandatandakekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan
membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya.Pandangan al-Qur’an tentang sains
dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah
meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin
dalam surat al-Mujadalah ayat 11
:“... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
mutlak muncul dalam maknanya yang generik dengan bukti al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai berikut ini:
“Dia mengajarkan manusia apa yang belum ia ketahui” (QS. Al-‘Alaq: 5).
Page 14
Lihat juga misalnya surat Yusuf: 76, Al-Nahl: 70 dan hadis Nabi:
“Barang siapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan ke
surga”.
“Orang yang paling berharga adalah orang yang paling banyak ilmunya…..”.
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus
menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar
daripada manfaatnya (ilmu sihir, forkas dan sebagainya), sebagaimana sabda Nabi:
“sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat” (Ghusyani,1991:44, dan bandingkan
dengan Al-Qardhawi, 1989: 31-32).
Bagi penulis sendiri memang persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tetapi
lebih kepada “kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut (karena ilmu sebagai instrumen,
bukan tujuan). Dan apalagi jika kita sepakat, pada dasarnya sumber ilmu itu dari Allah.
Jadi terminologi “ilmu agama” dan “ilmu umum, non agama” itu peristilahan sehari-hari
dalam pengertian sempit saja. Hanya memang, pertama-tama kita harus punya prioritas
bahwa sebagai seorang Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan
ibadah mahdhah itu, misalnya ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya,
yang ilmu tersebut sering disebut ilmu syar’iah/fiqh; dan ilmu tentang
ketuhanan/keimanan kepada Allah SWT, yang ilmu tersebut sering disebut sebagai ilmu
tauhid/ kalam. Ilmu-ilmu inipun sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan kritis
tampak sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini disebut
“ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam. Karena semua
sistem peribadatan (al-’ibadah, worship) didalam Islam mengandung dimensi ajaran
yang tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan
manusia atau alam sebagai yang dicipta (al-makhluq). Dan hubungan ini dalam al-
Qur’an disebut sebagai hablun min Allah wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan
hubungan horizontal. Di sini rukun iman dalam ajaran Islam lebih berorientasi pada
hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang rukun Islam lebih
berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia dengan manusia yang lain
ataupun alam semesta. Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat dipisahkan tak
ubahnya seperti hubungan ilmu dan amal.
Pada akhirnya semua harus bermuara pada konsep “tauhid”, kesadaran Yang Kudus.
Oleh ebab itu Al-Ghazali juga benar ketika mengatakan, bahwa ilmu muamalah (karena
Page 15
ia juga membagi ilmu yang mukasyafah) yang pertama diwajibkan bagi orang mukallaf
adalah ilmu tauhid, yaitu belajar dua kalimat syahadat meskipun dengan taklid,
kemudian setelah itu belajar thaharah dan shalat (fiqh) (Al-Ghazali, 1975, I,25).
1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera
dalam al-Qur’an dan al-Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya;
2. Ilmu yang dicari (inquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya
(teknologi) yang dapat berkembang secara kualitatif (Quraish Shihab, 1992:
6263).
Oleh sebab itu, orang yang banyak bergelimang dengan maksiat adalah orang yang tidak
mendapat petunjuk al-Qur’an, yaitu orang-orang yang tidak mau dan mampu membaca
dengan benar, tidak mau menghayati maknanya dan tidak pula mengamalkannya.
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut informasi ilmu
pengetahuan maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak. Terkait
dengan informasi ilmu pengetatahuan, tidak sedikit dari para akademisi, baik akademisi
Timur maupun Barat yang mengakui akan kemukjizatan al-Qur’an. Dan tidak sedikit dari
kalangan mereka yang kemudian tunduk, khudhu’ wal- inqiyad, alias menjadi muslim.
Bahkan yang tidak muslim pun bisa mendapatkan informasi ilmiah dari al-Qur’an,
sebagaimana yang dialami oleh para orientalis itu.
Jika para orientalis yang tidak beriman dengan al-Qur’an mereka mau mempelajari
secara serius untuk memperoleh informasi ilmiah, kenapa kita tidak? Kenapa selama ini
kita banyak mengetahui informasi ilmiah justru lewat orang Barat yang sekuler, bukan
dari al-Qur’an yang milik kita sendiri yang nyata-nyata di dekat kita, di telinga kita. Suatu
Page 16
contoh, kita tahu bahwa matahari berputar pada porosnya, bahwa asal muasal alam ini
air, adalah dari ilmuwan Barat dan Filosof Yunani (Thales). Kenapa tidak dari al-Qur’an
yang kita baca setiap hari? Misalnya dalam surat Yasin dan al-Anbiya’ itu Allah
berfirman:
“Dan matahari berputar pada porosnya. Itulah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui” (QS. Yasin:38).
“Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ini berasal dari air” (QS. Al-Anbiya’:
36).
Seorang filosof Perancis yang bernama Al-Kiss Luazon menegaskan: “al-Qur’an adalah
kitab suci, tidak ada satu pun masalah ilmiah yang terkuak di zaman modern ini yang
bertentangan dengan dasar-dasar Islam”. Dr. Reney Ginon --setelah masuk Islam
kemudian berganti nama, Abdul Wahid Yahya-- juga bercerita:
“Setelah saya mempelajari secara serius ayat-ayat al-Qur’an dari kecil yang terkait
dengan ilmu pengetahuan alam dan medis, saya menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang
relevan dan kompatibel dengan ilmu pengetahuan modern. Saya masuk Islam karena
saya yakin bahwa Muhammad saw. datang ke dunia ini dengan membawa kebenaran
yang nyata, seribu tahun jauh sebelum ada guru umat manusia ini”. Selanjutnya ia
menegaskan: “Seandainya para pakar dan ilmuwan dunia itu mau membandingkan
ayatayat al-Qur’an secara serius yang terkait dengan apa yang mereka pelajari, seperti
yang saya lakukan, niscaya mereka akan menjadi muslim tanpa ragu --jika memang
mereka berpikir objektif --katanya” (Abdul Muta’al, La Nuskha fi al-Qur’an, Kairo,
Maktabah alWahbiyyah, 1980 h. .
Itulah kehebatan al-Qur’an, memang benar ia adalah mukjizat Nabi Muhammad saw.
yang terbesar. Al-Qur’an tidak hanya sekadar informasi ilmiah, tetapi ia memiliki fungsi
petunjuk, rahmat dan obat bagi kita. Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa memberikan
syafaat di hari kiamat, Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa menjadi penerang di rumah
kita di tengah-tengah keluarga kita. Janganlah kita termasuk orang yang jauh dari al-
Qur’an sehingga ibarat rumah kosong, tanpa penghuni, sebagaimana yang ditegaskan
Nabi:
Page 17
BAB III
ungkapan “generasi terbaik”, tentunya mengherankan kita semua, apakah benar ada
dalam perjalanan sejarah umat manusia suatu generasi yang mempunyai beragam
kesempurnaan dalam pencapaiannya, sehingga mampu membangun opini sebagai
generasi terbaik.
Namun, ada ungkapan yang mengindikasikan infomasi mengenai generasi Islam terbaik
itu, sebagaimana tercermin dalam 3 hadis berikut,
Riwayat dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan umatku
seperti perumpamaan hujan, tidak diketahui apakah yang terbaik itu ada pada permulaan
atau pada akhirnya.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)
Riwayat dari Imran Ibn Hushain bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik umat ini
adalah generasi yang aku di utus pada mereka.” (H.R. Ahmad)
Riwayat dari ‘Abdullah r.a. dari Nabi saw. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah
mereka, kemudian orang-orang setelah mereka. (H.R. Bukhari Muslim) Berikut Generasi
1. Sahabat
Page 18
dikatakan sebagai sahabat. Derajatnya masing-masing ditentukan dengan
seberapa lama ia menyertai Rasulullah. Para sahabat merupakan orang-orang yang
mewariskan ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang
terbaik adalah para Khulafaur Rasyidin, kemudian 10 orang sahabat yang namanya
disebutkan oleh Rasulullah yang mendapatkan jaminan surga.
2. Tabi’in
Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau setelah
beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta melihat para
sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari
para sahabat Rasulullah. Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais
Al Qarn, yang pernah mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan
menjadi sahabat, tetapi tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn,
pernah disebutkan secara langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang
asing di bumi tapi terkenal di langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya,
Umar dan Ali, untuk mencari Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia
merupakan orang yang memiliki doa yang diijabah oleh Allah. Adapun diantara
orang-orang yang tergolong generasi tabi’in lainnya yakni Umar bin Abdul Aziz,
Urwah bin Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein, Muhammad bin Al Hanafiyah,
Hasan Al Bashri dan yang lainnya.
3. Tabi’ut Tabi’in
Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau setelah
mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan generasi
tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari
para tabi’in. Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah Imam
Malik bin Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Saad
dan yang lainnya. Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita
sebagai umat muslim yang datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil
ilmu dari kitab-kitab yang telah mereka tuliskan.
Page 19
memainkan kesaksian, nazar, dan fatwa sehingga mereka bergelimang harta duniawi
yang dicirikan dengan tubuh mereka yang gemuk sebagai simbol kemakmuran.
Namun, kita juga tidak menafikan bahwa ada segelintir orang di masa Nabi yang dinilai
Munafiq dan banyak melakukan kesalahan, seperti saling membunuh, mabuk-mabukan
dan berzina. Begitu pula di akhir zaman, digambarkan banyak umat manusia yang
terkecoh kehidupan dunia yang megah sehingga mengabaikan nilai-nilai agama.
Berdasarkan hal ini, selayaknya generasi terbaik itu harus ditinjau dari segi individunya.
Oleh karena itu, maka setiap generasi bisa mendapatkan predikat generasi terbaik,
termasuk kita hari ini.
Misalnya di abad ke-2, ada beberapa Imam Mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik Ibn Anas
dan al-Syafi’i, atau di abad ke-3 H, lahir beberapa pakar hadis, seperti Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Ahmad dan lainnya. Mereka semua layak disebut sebagai generasi terbaik.
Bahkan, apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di Uigur, India, Afrika dan lainnya
yang sedang mengalami penindasan dan penderitaan, namun tetap berpegang teguh
dengan agama Islam, mereka juga layak disebut sebagai generasi terbaik.
Oleh karena itu, tak mengherankan jika Muhammad Syahrur dalam karyanya al Sunnah
al-Rasuliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah mengatakan, “Andaikan kita terus menerus
merasa rendah dan selalu beranggapan bahwa yang terbaik hanya ada di masa Nabi
(para sahabat), maka hal itu akan membuat kita berhenti untuk berpikir, takut untuk
berijtihad, dan lebih memilih menyerahkan dan mengait-ngaitkan problematika hari ini
kepada mereka, padahal mereka sendiri tidak merasakan apa yang tengah kita rasakan.”
Page 20
BAB IV
Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits)
secara bahasa Ibnul Faris berkata, “Huruf sin, lam, dan fa’ adalah pokok yang
menunjukkan ‘makna terdahulu’. Termasuk salaf dalam hal ini adalah ‘orang-orang yang
telah lampau’, dan arti dari ‘al-qoumu as-salaafu’ artinya mereka yang telah terdahulu.”
(Mu’jam Maqayisil Lughah: 3/95)
secara istilah ada beberapa pendapat dari para ulama dalam mengartikan istilah “Salaf”
dan terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan. Pendapat tersebut terbagi menjadi 4
perkataan :
1. Di antara para ulama ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para
Sahabat Nabi saja.
2. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para Sahabat
Nabi dan Tabi’in (orang yang berguru kepada Sahabat).
3. Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka adalah
para Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. (Luzumul Jama’ah (hal:
276277)). Dan pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian besar
ulama ahlussunnah berpendapat adalah pendapat ketiga ini.
4. Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama tiga kurun
waktu/periode yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka itulah yang
berada di tiga kurun/periode, yaitu para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Page 21
jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang
sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap
orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang
menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya
pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in
dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah
muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar
adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah
serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia
sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf.
Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang
semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka
maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau
bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal.
33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Page 22
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang
yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan
sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan,
“Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.”
Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah
pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan
lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian-
memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan
oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan
selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan
kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang
muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda
halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan
(kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara
para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al
Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As
Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan
yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai
orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk
membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang
terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum
Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat
Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya
yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai
salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara
mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang
yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka
kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan.
Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.”
(Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah
Page 23
kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan
bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan
Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan
selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-Nya bagi
siapa yang mengikuti jalan mereka.
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang
hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa
berikutnya, kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari
mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.”
(HR Bukhari (3650), Muslim (2533))
Page 24
2. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73
golongan), beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab
telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat)
agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh
puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di
dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”
3. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,
Artinya: “Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan
melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang
dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang
mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia
dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara
baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat” [Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676),
dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (1184, 2549)]
Page 25
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup
sepeninggal beliau disaat terjadi perpecahan dan perselisihan.
Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-Bida’
Wan Nahyu Anha (hal. 13))
Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh
orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup
tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat
Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya,
paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah
untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan
mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))
Artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu
berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan
mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan
tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena
Page 26
sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka.”
(Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/29))
Di akhir tulisan ini saya ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi
dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Salaf bukanlah pabrik atau
partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah
paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan
yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan
istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al
Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al
Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang
yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR.
Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita
sekarang adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita
sudah selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah
baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita
peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan
pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita ikuti jejak
dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman.
Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman
Salaf. Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang
benar, baru saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara
sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar
kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau
akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh,
beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau pergerakan, atau
perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua
menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda
bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah
mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang
artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu
tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti
akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat
Page 27
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan
orangorang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman
kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah
jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu
suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga).
Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi
kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada
sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh
makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku
senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya
yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata]
dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada
keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang
mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan
hujjah yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang
disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi
kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala
urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.”
(Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini
memang masih jauh dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan
yang salah berasal dari kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
kesalahan kami. Dan kami memohon ampun kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik
membangun dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi tegaknya
kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah dari Allah
subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat beriring salam
semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi
Allah Rabb seru sekalian alam.
Page 28
BAB V
shadaqah
Shadaqah atau sedekah adalah mengamalkan atau menginfakan harta di jalan Allah.
Namun, kegiatan ini bukan hanya semata-mata menginfakan harta di jalan Allah atau
menyisihkan sebagian uang pada fakir miskin, tetapi shadaqah juga mencakup segala
macam dzikir (tasbih, tahmid, dan tahlil) dan segala macam perbuatan baik lainnya.
Sedekah menurut KBBI berarti pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak
menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat fitrah sesuai dengan kemampuan
pemberi. Pengertian secara umum shadaqah atau sedekah adalah mengamalkan harta
di jalan Allah dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan, dan semata-mata
mengharapkan ridha-Nya sebagai bukti kebenaran iman seseorang. Istilah lain sedekah
adalah derma dan donasi.
Page 29
Keempat, sedekah menjadi sebab disembuhkannya penyakit. “Obatilah orang-orang
sakit dengan sedekah, bentengilah hartamu dengan zakat, dan sesungguhnya zakat itu
menolak peristiwa mengerikan dan penyakit.” (HR Ad-Dailami dari Ibnu Umar).
Kelima, sedekah itu akan mendapatkan keberkahan dalam hidup dan tambahan rezeki,
“Barang siapa menafkahkan hartanya maka akan diberi keberkahan darinya.” Dalam
hadis lain disebutkan, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan tidaklah pemberian
maaf itu kecuali ditambah kemuliaan oleh Allah dan tidaklah seseorang tawadhu karena
Allah, kecuali Dia akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).
“Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepda-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Berikut merupakan beberapa jenis shadaqah yang bisa kita amalkan sehari-hari:
Page 30
2. Bekerja dan Memberi Nafkah pada Sanak Keluarganya
Sedekah harta salah satunya bisa kamu lakukan untuk membantu pembangunan
lembaga penghafal Al-Quran, salah satunya adalah Lembaga Tahfidz Quran
(LTQ) Al Fatih. Program ini merupakan saran pembibitan santri penghafal
AlQuran binaan Rumah Yatim Dhuafa. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah
memberikan para yatim dhuafa kesempatan untuk belajar gratis. Dengan
bersedekah, kamu bisa bantu wujudkan yatim dhuafa menjadi hafidz Quran
melalui program ini.
Page 31
Demikian uraian tentang jenis-jenis sedekah yang bisa Anda lakukan, semoga Allah
senantiasa membimbing hati kita untuk terus bergerak menjemput manfaat sedekah
Penegakan Hukum Atas Keadilan Dalam Pandangan Islam
Faktor manusia merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mencapai keadilan
hukum. Keadilan hukum sangat didambakan oleh siapa saja termasuk pelaku kejahatan
sekalipun. Jika dalam suatu negara ada yang cenderung bertindak tidak adil secara
hukum, termasuk hakim, maka pemerintah harus bertindak mencegahnya. Pemerintah
harus menegakkan keadilan hukum, bukan malah berlaku zalim terhadap rakyatnya.
Sehingga keadilan sosial dapat tercipta dalam kehidupan masyarakat, selain terdapat
saling tolong-menolong sesamanya dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri saling
ketergantungan satu dengan yang lain dalam kehidupan sosial (interdependensi)
Penegakan hukum dalam konteks law enforcement sering diartikan dengan penggunaan
force (kekuatan) dan berujung pada tindakan represif. Dengan demikian penegakan
hukum dalam pengertian ini hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.2 Dalam
tulisan ini dikehendaki pengertian penegakan hukum itu dalam arti luas secara represif,
maupun preventif. Konsekuensinya memerlukan kesadaran hukum secara meluas pula
baik warga negara, lebih-lebih para penyelenggara negara terutama penegak
hukumnya. Adapun penegak hukum meliputi instrumen administratif yaitu pejabat
administratif di lingkungan pemerintahan. Sedangkan dalam lingkungan pidana
dimonopoli oleh negara melalui alat-alatnya mulai dari kepolisian, kejaksaan dan
kehakiman sebagai personifikasi negara.
Penegakan hukum saja tidaklah cukup tanpa tegaknya keadilan. Karena tegaknya
keadilan itu diperlukan guna kestabilan hidup bermasyarakat, hidup berbangsa dan
bernegara. Tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian dari masyarakat
bisa mengakibatkan rusaknya kestabilan bagi masyarakat keseluruhan, sebab rasa
keadilan adalah unsur fitrah kelahiran seseorang sebagai manusia.3
Kepastian hukum akan tercapai jika penegakan hukum itu sejalan dengan
undangundang yang berlaku dan rasa keadilan masyarakat yang ditopang oleh
kebersamaan tiap individu di depan hukum (equality before the law). Bahwa hukum
memandang setiap orang sama, bukan karena kekuasaan dan bukan pula karena
kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Persamaan setiap manusia sesuai fitrah
kejadiannya:
Page 32
“Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi
kabar gembira dan peringatan dan beserta mereka Dia turunkan kitab dengan membawa
kebenaran, supaya kitab itu memberi keputusan antara manusia tentang apa yang
mereka perselisihkan (QS.2:213).
Tidak mungkin hukum dan keadilan dapat tegak berdiri keadilan dapat tegak berdiri
kokoh apabila konsep persamaan itu diabaikan. Implementasi keadilan hukum di
Page 33
masyarakat dewasa ini banyak ditemui sandungan yang menyolok atas pandangan lebih
terhadap orang yang punya kedudukan tinggi, yang punya kekayaan melimpah,
sehingga rakyat banyak telah menyimpan imej bertahun-tahun bahwa di negeri ini
keadilan itu dapat dibeli. Lebih jauh kesamaan itu dijabarkan Rachman di bukunya
Political Science and Government dalam Ramly Hutabarat di bukunya Hukum dan
Demokrasi (1999) yaitu, yakni:
a. Manusia secara alamiah dilahirkan sama (Natural Equality)
b. Setiap masyarakat memiliki kesamaan hak sipil
c. Semua warga negara memiliki hak yang sama mendapatkan lapangan pekerjaan
d. Semua warga Negara sama kedudukannya dalam politik.
Seorang raja dan hati pemuda dalam synopsis di awal tulisan ini tak akan ada lagi dalam
alam demokrasi sekarang ini. Namun bisa lebih dari hanya sekedar pembunuhan fisik,
malah sering terjadi pembunuhan karakter dan pengorbanan hati nurani yang paling
dalam. Mudah-mudahan jika bangsa ini mulai berpaling kepada ajaran Islam yang
sempurna, insyaAllah tegaknya hukum dan keadilan itu suatu keniscayaan.
Page 34
DAFTAR PUSTAKA
Page 35
LAMPIRAN
Page 36
Page 37