sudah menggelora di bumi pertiwi tercinta ini, bahkan beberapa kerajaan zaman itu
mampu menguasai lautan dengan armada perang dan dagang yang besar. Namun,
semangat maritim tersebut menjadi luntur tatkala Indonesia mengalami penjajahan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Pola hidup dan orientasi bangsa “dibelokkan” dari orientasi
maritime ke orientasi agraris (darat).
Permasalahan yang muncul kemudian adalah sejauh mana bangsa ini memanfaatkan
peluang yang begitu fantastis itu. Pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno sebagai
presiden selalu terkumandang semangat maritim, namun dalam implementasi kebijakan
pembangunan khusus dibidang laut sepertinya tidak serius, namun paling tidak sudah
ada upaya menggelorakan semangat maritim. Salah satu pernyataan Soekarno pada
National Maritime Convention (NMC) 1963 adalah “Untuk membangun Indonesia
menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan
national building bagi negara Indonesia. Maka negara dapat menjadi kuat jika dapat
menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang
seimbang.
Beberapa elemen bangsa yang memahami betul potensi terbesar Indonesia sebagai
Negara Kepulauan terus berjuang untuk menggelorakan semangat untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Maritim. Sebagai catatan, bahwa pengertian Negara Kepu-
lauan dan Negara Maritim sangatlah jauh berbeda. Negara Kepulauan adalan ciri
sebuah negara yang secara geografis terdiri atas banyak pulau yang terikat dalam suatu
kesatuan negara. Sedangkan Negara Maritim adalah sebuah negara yang menguasai
semua kekuatan strategis di lautan yang didukung oleh kekuatan maritim baik itu
aramada perdagangan, armada perang, Industri maritim serta kebijakan pembangunan
negara yang berbasis maritim.
Jika mencermati istilah tentang Negara Maritim, maka saat ini Indonesia belum bisa
dikatagorikan sebagai Negara Maritim tapi masih sebatas Negara Kepulauan. Namun
jika ada kesepahaman dan ada komitmen para pemimpin bangsa ini untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Maritim yang besar dan kuat serta disegani dunia
Internasional, peluangnya sangatlah besar. Modal dasar sebagai Negara Kepulauan
dengan posisi strategis serta kekayaan sumberdaya alam yang begitu melimpah
memberikan peluang yang sangat besar bagi Indonesia untuk merealisasikan “Kodrat
Tuhan” untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan paling strategis di
dunia. Selain itu juga bisa lebih dimaksimalkan pencapaian cita-cita bangsa Indonesia
menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Perjuangan menuju Negara Maritim memang tidak mudah, namun jika seluruh bangsa
ini memiliki kesamaan visi dan kebulatan tekad maka hal tersebut bukanlah hal yang
mustahil. Deklarasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982 memberikan peluang yang besar
bagi bangsa Indonesia untuk diimplementasikan secara serius melalui kebijakan-
kebijakan pembangunan nasional yang memprioritaskan orientasi yang berbasis
maritim. Melahirkan kebijakan pembangunan melaui perundang-undangan,
pembangunan kekuatan armada pertahanan, armada perdagangan, industri dan jasa
maritim yang ditunjang dengan penguasaan IPTEK merupakan upaya serius yang harus
segera dilakukan menuju Indonesia sebagai NEGARA MARITIM... “Jaya di laut,
Sejahtera di darat dan perkasa di udara”.
Maritime Policy:
Langkah Menuju Negara Maritim
Saat ini kebijakan pembangunan kelautan Indonesia belum dilaksanakan secara parsial.
Masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri. Sebagai contoh Undang-undang
(UU) No 17/2008 ,tentang Pelayaran, motornya adalah Kementerian Perhubungan; UU
No 27/2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-
Undang No 31/2004, tentang Perikanan, di bawah komando Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP).
Total potensi ekonomi maritim Indonesia sangat besar. Diperkirakan mencapai Rp7.200
triliun per tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp1.299 triliun) dan satu setengah
kali PDB saat ini (Rp5.000 triliun). Ditaksir lapangan kerja yang tersedia sekitar 30 juta
orang.
Ke depan ekonomi maritim akan semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat
ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini sudah terlihat 70 persen
perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen
produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai
sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.
Mengenai sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas bumi
diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung
migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan.
Potensi cekungan-cekungan tersebut diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak
bumi. Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik.
Di lepas pantai Barat Sumatera, Jawa Barat bagian selatan dan bagian utara Selat
Makassar telah ditemukan pula jenis energi baru pengganti BBM, berupa gas hidrat dan
gas biogenik dengan potensi melebihi seluruh potensi migas.
Tidak hanya itu, Indonesia memiliki potensi budidaya rumput laut yang besar. Walau
hanya mengusahakan 32.000 ha (kurang lebih 30 persen total potensi), ditaksir dapat
memproduksi sekitar 160 juta kg rumput laut kering per tahun, dengan nilai sebesar Rp
1,1 triliun per tahun (harga Rp 7.000/kg). Jika dikelola intensif produksinya bisa
mencapai 2-3 kali lipat.
Untuk itu, strategi dan kebijakan di bidang maritim (Maritime Policy) harus segera
dibenahi guna mengoptimalkan potensi yang dimiliki, baik menyangkut sumber daya
laut, industri maupun bisnis transportasi. Sektor maritim juga butuh pemihakan lewat
kebijakan fiskal dan moneter.
Saat ini sektor maritim masih ditempatkan di halaman belakang sebagai sektor yang
termarjinalkan. Agar laut bisa menjadi halaman depan, perlu kesadaran politik yang
kuat. Sebenarnya langkah ini sudah dirintis saat pemerintahan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dengan mendirikan Departemen Eksplorasi Laut yang kini menjadi
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri 0,3 juta km2 perairan teritorial,
2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE), dikelilingi lebih dari 17.504 pulau, dengan panjang pantai 81.000 kilometer, ini
adalah potensi kekayaan yang luar biasa. Potensi ekonomi maritim Indonesia
diperkirakan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun, yang dikembangkan
kurang dari 10 persen.
Dari industri pengolahan ikan, kurangnya bahan baku menjadi penyebab tidak
berkembangnya industri ini. Utilitas pabrik yang rata-rata hanya 45 persen menjadi
masalah karena banyak hasil tangkapan ikan yang langsung diekspor ke luar negeri,
terutama ke Thailand dan Jepang. Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan
Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 5 /2008 yang melarang ekspor langsung
hasil tangkapan perikanan. Peraturan ini, secara otomatis mewajibkan perusahaan
asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal dalam membangun industri pengolahan
di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan implementasi Permen tersebut tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Sumber permasalahan lainnya adalah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing),
oleh asing yang nilainya ditaksir mencapai Rp 30 triliun per tahun. Hal ini bisa diatasi
bila Indonesia memiliki kapal-kapal tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas.
Saat ini jumlah kapal ukuran tersebut hanya tiga persen dari kebutuhan.
Namun, pada kenyataannya, usaha ini masih high risk. Kementerian Keuangan selaku
pemegang kebijakan seharusnya bisa melihat masalah itu. Pemerintah harus bisa
meyakinkan pihak bank bahwa perusahaan pelayaran nasional mampu mengembalikan
kredit.
Tak heran, jika Indonesia menjadi grand strategy bagi negara-negara besar di dunia.
Ditopang potensi kekayaan alam yang melimpah dan posisinya yang sangat strategis,
membuat mereka sangat memiliki kepentingan terhadap bumi khatulistiwa ini.
Bangkitnya kekuatan baru di bidang kelautan, seperti India, China, Australia dan
Amerika Serikat (yang telah maju) menjadi tantangan bagi Indonesia. Selain berusaha
menancapkan pengaruhnya di kawasan Asia, negara-negara tersebut berlomba mencari
cadangan energi untuk kepentingan mereka.
Di sisi lain, Indonesia telah melupakan visi kelautan dalam Deklarasi Djuanda yang
melahirkan konsep Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang Bangsa Indonesia
terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, meliputi
darat, laut dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya
dan pertahanan keamanan.
Di era kolonial, budaya bangsa bahari dikikis secara perlahan dan sistematik. Selain itu,
belum dimiliki Maritime Policy oleh para pemangku kebijakan yang secara deskriptif
bertujuan membangun negara maritim yang besar dan kuat.
India membangun Maritime Policy dengan mengeluarkan “Freedom to Use the Seas:
Maritime Military Strategy” yang bertujuan meningkatkan pembangunan kekuatan
angkatan laut India. Inggris pun tidak kalah dengan mengeluarkan semboyan “Britain
Rules the Waves” yang bertujuan membangun kekuatan maritim Inggris dalam
menghadapi era globalisasi.
Kini Indonesia berada dalam lingkaran negara-negara besar tersebut. Bahkan, Malaysia
dan Singapura yang merupakan negera kecil berkembang seperti Inggris dengan visi
kemaritimannya. Apakah mereka negara kepulauan? Bukan, tetapi kedua negara itu
memiliki visi dan Maritime Policy.
Ironisnya, Indonesia sebagai negara kepulauan hanya menjadi penonton. Sudah kah
negara ini memilki Maritime Policy sebagai jati diri bangsa kepulauan terbesar di dunia?
Sayang, kekayaan alam yang luar biasa sebagai konsekuensi jati diri bangsa tidak
disertai dengan kesadaran dan kapasitas pengelolaan yang sepadan. Bangsa Indonesia
masih mengidap kerancuan identitas. Di satu sisi masyarakat mempunyai persepsi
kewilayahan tanah air, tetapi secara kultural memposisikan diri sebagai bangsa agraris
dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup disejahterakan. Sementara
kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, karena budaya kerja
yang berkultur agrarian konservatif, diperparah inefisiensi birokrasi dan korupsi.
Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis
kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai perubahan. Pada jangka
pendek, program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan
dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur tersebut. Bisa juga
dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju.
Sepintas Singapura akan ikut terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu
merencanakan berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu mempertahankan
keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana
menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga
corak ekonominya lebih canggih, menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang
tertib, efisien dan membosankan. Menteri Luar Negeri Singapura (di masa lalu),
Rajaratnam bahkan pernah mengatakan mereka harus selalu maju setengah langkah
melebihi negara-negara tetangga. Para ahli geografi ekonomi mereka dapat
memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak.
Ironisnya, sebagai tuan rumah Indonesia tidak bisa memanfaatkan kekayaan laut untuk
kesejahteraan rakyat. Tidak hanya itu, Indonesia juga tidak bisa menjaga wilayahnya,
sehingga mudah disusupi negara lain. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan strategi
Maritime Policy, kebijakan yang mengatur ekonomi berbasis kelautan, pelayaran dan
pertahanan. Namun, pemimpin bangsa ini seakan tidak peduli dengan kebijakan
tersebut. Tak heran, jika di kancah pembangunan laut, Indonesia tertinggal dari negara
luar.
“Selama ini kita banyak menggunakan kapal-kapal Singapura untuk transportasi dan
mendistribusikan barang ke provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Kondisi ini
dimanfaatkan Singapura dengan memperkuat kapal-kapal niaganya. Tidak hanya itu,
mereka juga membangun hub port terbesar dan tercanggih di dunia,” kata Sultan.
Karena itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini mengharapkan pemerintah
mengubah kebijakan-kebijakannya. “Malaysia sebagai negara kontinental strategi yang
digunakannya maritim. Tak heran jika Indonesia selalu dibohongi Malaysia. Pulau-pulau
kita dicaplok terus. Ini terjadi karena orientasi kita kontinental. Bukan laut yang
mempersatukan pulau-pulau,” tegas pemilik nama lengkap Bendara Raden Mas Herjuno
Darpito ini.
Kapan Indonesia bisa dibilang sebagai negara bervisi maritim? Tidak perlu
mendeklarasikan, yang paling penting bagaimana langkah-langkah kebijakan Maritime
Policy diselesaikan. Kalau belum bisa menyelesaikan, presiden harus memutuskan
coast guard. Siapa yang menjadi ujung tombak untuk keamanan negara. Menurut
Sultan, sampai sekarang terlihat Kementerian Kelautan dan Perikanan mengejar kapal.
Pengawas kementerian kan tidak boleh memakai senjata. Yang boleh adalah AL
(angkatan laut). Aturannya begitu.
“Political freedom sudah ada, stabilitas politik juga ada, tapi yang tidak ada adalah
kapastian hukum atau kebijakan. Hari ini kebijakan presiden yang satu A, besok
presiden yang baru bilang B, kondisi tersebut tidak boleh terjadi. Karena yang diperlukan
negara dalam membangun keamanan laut adalah kebijakan jangka panjang. Karena itu,
dalam menjalankan Maritime Policy diperlukan kepastian hukum dan kebijakan yang
didukung DPR sebagai landasan,” ujar Connie.
Menurut Zulficar, Dewan Kelautan Indonesia harus dibangunkan dari tidur panjangnya
agar serius mendorong Kebijakan Kelautan (Maritime Policy). Fondasi kebijakan
sangatlah penting bagi pembangunan nasional. Mereka harus mendorong dan
memfasilitasi terbentuknya strategi pembangunan yang strategis agar Indonesia dapat
menjadi negara maritim yang mandiri dan berdaulat.
Dari sisi ekonomi, Juan Permata Adoe, Wakil Ketua Divisi Maritim dari Kamar Dagang
Indonesia dan Industri (Kadin), di berbagai kesempatan mengemukakan, dalam
menerapkan Maritime Policy pemerintah tidak hanya harus fokus pada kebijakan laut,
mereka juga harus mendorong investor asing terlibat dalam usaha maritim di dalam
negeri.
“Investor juga harus didorong terlibat di sektor lain, seperti industri perkapalan dan
lainnya. Saat ini sudah terlalu banyak lembaga pemerintah yang bertugas melindungi
domain maritim. Hal ini yang mengakibatkan tumpang tindih kewenangan,” kata Juan.
Menurut Sahala, konsep Indonesia sebagai negara kepulauan sudah diakui dengan
adanya UNCLOS. Jika sudah menjadi negara kepulauan, mau tidak mau Indonesia
harus berani bicara maritim. Yang kita tunggu adalah UU Kelautan yang hingga kini
masih menjadi draft. UU tersebut sudah lima tahun kita tunggu. Karena itu, pembahasan
UU Kelautan harus dipacu agar segera disahkan DPR. Dengan UU ini kita akan menuju
Maritime Policy. Selanjutnya, akan ada perpres, kepres, dan permen. Jadi UU itu harus
segera direalisasikan.
Sahala menjelaskan, bicara Ocean dan Maritime Policy ada yang membedakan.
Menurutnya, Ocean Policy secara otomatis bicara laut. Sementara Maritim Policy
cakupannya jauh lebih luas. Soal keseriusan pemerintah sendiri, Sahala mengakui
pemerintah belum serius. Action-nya belum kelihatan. Misal, bicara soal batas laut
dengan negara tetangga, belum selesai semua, dengan Singapura masih belum jelas,
pun dengan 12 negara tetangga lain.
Ia khawatirkan kejadian Sipadan dan Ligitan kembali terjadi. Di ambalat contohnya, ada
sekitar 12 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pemerintah harus
serius menjaga pulau-pulau tersebut sebagai security belt, sabuk pengaman daerah
terluar. Penjagaan bisa dilakukan baik dari dalam maupun dari luar, melalui Maritime
Policy.
Menanggapi Maritime Policy, meskipun bukan kementerian yang secara langsung
menangani kebijakan sektor kelautan nasional, langkah nyata dilakukan Kementerian
Luar Negeri dengan memprakarsai kerjasama kelautan di wilayah ASEAN. Direktur
Jenderal Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI, Djauhari Oratmangun
mengatakan, dalam gagasan kerjasama ASEAN, pihaknya selalu berkoordinasi dengan
kementerian lain. Salah satunya adalah dalam membentuk ASEAN Maritim Forum.
Dalam konteks ini, kita harus jadi leader. Untuk menjadi leader kita harus punya backup
nasional yang kuat, serta punya kebijakan nasional yang memadai. Itulah yang ingin kita
jual. Karena konsep berpikir maritim dalam konteks ini sudah diterima.
Apalagi, kata Djauhari, ASEAN terdiri dari negara-negara yang memiliki pantai (Kecuali
Laos), sehingga memiliki potensi sengketa laut yang cukup besar. Maka itu yang kita ke
depankan adalah kerjasama. Bagaimana membangun wilayah ASEAN yang tenteram,
damai dan maju. Jika ada gesekan jangan sampai terjadi konflik terbuka. Kita sebagai
negara kepulauan semestinya bisa leading dan kita mulai dengan membentuk ASEAN
Maritime Forum.
Melihat luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2
perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE), dikelilingi lebih 17.504 pulau, dengan panjang pantai 81.000
kilometer, ini semua adalah sumber kekayaan yang luar biasa. Namun, di usianya yang
lebih dari setengah abad, Indonesia masih negara berkembang dengan tingkat
pengangguran dan kemiskinan tinggi, GNP per kapita kecil (2.300 dolar AS), serta daya
saing ekonomi rendah. Bahkan, The United Nations Development Programme (UNDP)
menempatkan Indonesia di peringkat 108 untuk indeks pembangunan manusia (IPM).
Padahal, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai Rp7.200 triliun per
tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp1.299 triliun) dan satu setengah kali PDB
saat ini (Rp5.000 triliun). Lapangan kerja yang akan tercipta lebih dari 30 juta orang.
Jika semua potensi tersebut dimanfaatkan dengan benar tanpa dirongrong pihak-pihak
tertentu, rakyat Indonesia akan merdeka dalam arti sebenarnya. Indonesia tidak lagi
menjadi bangsa budak, yang menjadi pembantu di negeri orang dan kuli di negeri
sendiri.
Untuk itu, pemerintah harus segera mengubah paradigma pembangunan agar lebih
berpihak pada rakyat dan bangsa. Apalagi potensi laut Indonesia bisa menggerakkan
roda perekonomian nasional. Mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi,
pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, industri sampai
dengan jasa maritim.
Ke depan ekonomi kelautan akan semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat
ekonomi dunia dari Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan dunia
berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Di mana 75 persen produk dan komoditas yang
diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS
per tahun.
Mengenai sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas bumi
diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung
migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 di daratan.
Potensi cekungan-cekungan tersebut diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak
bumi. Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik. Namun, sangat
disayangkan yang menguasai kekayaan tambang dan energi bangsa ini lagi-lagi
jawabannya adalah perusahaan asing yang merupakan kepanjangan tangan dari
negara-negara yang berkepentingan. Indonesia menjadi grand strategy bagi negara
yang lebih maju.
Negara Indonesia kehilangan jati diri sebagai negara maritim akibat penjajahan panjang
Belanda selama 350 tahun. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia kehilangan
infrastruktur, budaya, politik dan visi ekonomi. Bangsa Indonesia kembali lahir dari titik
nol. Padahal, Indonesia pernah berjaya di era kebesaran Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit.
Momen Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, telah menyatukan kembali generasi muda
Indonesia dalam satu wadah wilayah nusantara. Indonesia pun memproklamasikan
kemerdekaaan pada 17 Agustus 1945, dan mendapat pengakuan kedaulatan dari badan
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1949.
Sejak itu babak baru kehidupan bangsa dimulai dengan terbentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Fondasi dan prasarana kehidupan mulai diletakkan. Ibarat jabang
bayi yang baru lahir, belajar tengkurap, merangkak, dan berjalan tertatih-tatih, kemudian
tumbuh menjadi bocah, remaja dan dewasa.
Perkembangan ekonomi Indonesia sendiri terbagi dalam tiga fase. Fase pertama (1945-
1949), adalah era perang kemerdekaan. Praktis tak ada agenda pembangunan yang
dilaksanakan. Di samping belum ada sumber-sumber pembiayaan domestik, belum bisa
mengharapkan negara sahabat karena Indonesia baru menjadi anggota PBB pada
1949. Lagi pula bantuan negara maju terhadap negara berkembang baru menonjol di
era 1960-an.
Fase kedua (1949-1959), sistem demokrasi parlementer. Selama itu terjadi delapan kali
pergantian kabinet sehingga agenda pembangunan tidak berkesinambungan. Ekonomi
hanya mampu tumbuh sekitar dua persen per tahun.
Fase ketiga (1959-1969), disebut era demokrasi terpimpin. Di mana peran Bung Karno
sangat dominan dan kemudian disebut sebagai Orde Lama. Pada masa itu terjadi krisis
ekonomi dan politik. Terjadi peristiwa berdarah dengan terbunuhnya sejumlah jenderal.
Kondisi ini mendorong Soekarno lengser dari jabatannya.
Fase keempat (1969-1994), era orde baru. Di bawah kendali Soeharto Indonesia mulai
membangun. Namun orientasi pembangunannya agraris. Dalam PJP (Pembangunan
Jangka Panjang), pembangunan direncanakan selama 25 tahun, dan dibagi dalam lima
repelita (5 tahun). Pada Repelita I, Indonesia mendapat dua sumber pembiayaan yang
melimpah, yakni pinjaman luar negeri dan “durian runtuh” harga minyak mentah yang
naik sepanjang 1970-an.
Ekonomi yang tumbuh rata-rata di atas tujuh persen membuat Indonesia pernah tercatat
sebagai salah satu keajaiban ekonomi dunia. Prestasi ekonomi monumental antara lain
pembangunan infrastruktur, jumlah penduduk miskin berkurang dari 50 menjadi 17
persen, dan pendapatan per kapita naik dari 100 menjadi 1.400 dolar AS.
Di seluruh pelosok daerah terdapat pendidikan dasar dan pusat pelayanan kesehatan.
Produksi pangan, sandang dan papan berhasil swasembada. Bahkan, Indonesia
menjadi salah satu negara eksportir garmen yang terkenal. Puncak keberhasilan
memasuki era tinggal landas ditandai dengan terbang perdana pesawat CN-250 pada
10 Agustus 1995. Pesawat bermesin dua dengan kapasitas 50 orang itu merupakan
hasil karya insinyur Indonesia. Saat menyaksikan secara langsung bangsa Indonesia
bangga dan bernapas lega roda pesawat meninggalkan landasan dengan selamat.
Pada tahun 1994-1995, Indonesia mulai memasuki PJP Kedua dengan Repelita VI.
Sayang di tahun ketiga terjadi krisis moneter 1997. Krisis tersebut dimanfaatkan kaum
akademisi dan penggiat demokrasi sebagai momentum menurunkan Soeharto. Sadar
atas keinginan itu Soeharto pun lengser dan menyerahkan mandat kepada wakilnya BJ
Habibie.
Dalam demokrasi suara orang pintar dan orang idiot sama. Karena sebagian besar
bangsa Indonesia masih baru melek huruf, maka kebanyakan wakil dan pemimpin hasil
pilihan rakyat tak mampu berbuat lebih baik dari orde baru. Presiden, Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota dan sampai Kepala Desa hampir setiap hari menyerukan agar rakyat
membuat dan menjaga keadaan supaya tetap kondusif. Makna kestabilan dan
keamanan terasa makin sangat berharga, tetapi kian sulit diciptakan.
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Indonesia harus kembali ketitahnya
sebagai negara kepulauan. Membangun persepsi dan visi masa depan cemerlang
sebagai negara maritim. Demokrasi harus dijadikan modal melepaskan diri dari
belenggu masa lalu dan euforia realita masa kini.
Sebuah teori mengatakan bahwa sistem demokrasi di negara dengan penghasilan per
kapita rendah di bawah 6.600 purchasing power parity (PPP) dolar AS rawan terhadap
kegagalan. Negara-negara dengan pendapatan perkapita 1.500 dolar AS, mempunyai
harapan hidup hanya 8 tahun. Negara dengan tingkat penghasilan per kapita 1.500-
3.000 dolar AS, demokrasi negara tersebut hanya dapat bertahan 18 tahun. Pada
penghasilan per kapita di atas 6.000 dolar AS, daya hidup demokrasi 1/500.
Maka itu Indonesia harus segera meninggalkan daerah penuh resiko tersebut. Pada
saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita
Indonesia pada 2010 mencapai 3.004,9 dolar AS atau Rp27 juta, yang berarti meningkat
sebesar 13 persen dibandingkan dengan PDB per kapita 2009 sebesar Rp23,9 juta atau
2.349,6 AS.
Pertumbuhan ekonomi tersebut harus dibarengi penurunan inflasi sebesar 6,5 persen
pada periode 2011-2014 menjadi tiga persen pada 2025. Model kombinasi pertumbuhan
dan inflasi ini mencerminkan karakteristik menuju negara maju.
Jika itu berjalan pertumbuhan PDB akan mengalami perbaikan, yaitu dari 4,5 persen
pada 2009 menjadi 6,1 persen pada 2010, dan pada 2011 diharapkan mencapai 6,4
persen. Untuk menjadikan Indonesia sebagai high income country dengan pendapatan
per kapita mencapai 14.900 dolar AS pada 2025 diperlukan pertumbuhan ekonomi
tinggi, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus
berada antara 7,5-9 persen per tahun.
MP3EI menjadi pijakan awal menuangkan komitmen bersama antara pemerintah dan
dunia usaha dalam mewujudkan transformasi ekonomi nasional. Upaya ini diharapkan
bisa mempercepat kebangkitan ekonomi serta meningkatkan daya saing perekonomian
nasional di tingkat regional dan global yang semakin kompetitif.
Namun melihat realita, Pengamat Politik Nasional, Fadjroel Rachman menilai, Indonesia
belum sepenuhnya merdeka, terutama di sektor laut. Prinsip negara maritim harus
segera dikembalikan, baik dalam bentuk regulasi, kebijakan maupun peraturan. Ini
berlaku mulai dari tingkat nasional sampai dengan daerah yang ada di perbatasan. Bagi
saya jika kita tidak bisa mengembalikan posisi bangsa sebagai negara maritim, artinya
Indonesia melupakan kekuatannya. Karena memang kekuatan Indonesia ada di laut.
Maraknya pencurian kekayaan laut, bagi Fadjroel, belum menunjukkan Indonesia
digdaya sebagai negara laut. Sudah saatnya Indonesia kembali menjadi negara maritim.
Jika itu terwujud, kata Fadjroel maka pencurian-pencurian ikan bisa teratasi. Karena
dalam konsep negara maritim, pertahanan laut yang diutamakan.
Tapi saat ini pertahanan laut kita keteteran, menjadi negara maritim bagi saya bisa
mengembalikan kejayaan Indonesia. Banyak industri-industri maritim yang bisa digarap,
dan itu sangat luar biasa. Saat ini kan yang diambil hanya sekadar ikan, dan belum
menjadi industrialisasi.
Di era Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid), semangat negara maritim pernah
dibangun. Tetapi, kata Fadjroel, pertarungan politiknya sangat kuat. Ini terjadi karena
upaya mengembalikan negara maritim adalah persoalan politik.
Ditilik dari sejarah, tidak terbantahkan Indonesia adalah negara maritim. Hal ini bisa
dilihat di kerajaan Sriwijaya yang begitu kuat dan disegani bangsa lain. Kesalahan ini
bukan lagi berurusan pada pejabat kecil. Karena pejabat di daerah sebetulnya akan
mengikuti apa yang disampaikan pemerintah pusat. Jika presidennya mengatakan,
Indonesia adalah negara maritim, maka semua alokasi APBN kita arahkan untuk
membangun kelautan.
Menurut Fadjroel, presiden itu tugasnya hanya dua, memilih dan bertindak. Memilih
negara maritim dan bertindak bahwa Indonesia adalah negara maritim. Ke bawahnya,
semua UU, perda dan lainnya pasti akan ikut.
Hal senada dikatakan pakar kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Dietriech G
Bengen. Menurutnya, Indonesia harus kembali ke sejarah. Belum jayanya Indonesia
terutama di laut, karena telah mengingkari sejarah bangsa. Padahal, secara jelas
bangsa ini besar sebagai negara kepulauan yang diwujudkan dalam bentuk negara
maritim. Suka tidak suka, itu adalah realitas yang harus diterima. “Sebagai negara
kepulauan tentu saja bagian terbesar adalah laut. Maka, harus kita bangkitkan bangsa
yang mempunyai kapasitas kemaritiman,” tegas Dietriech.
Sejarah telah menunjukkan bahwa Indonesia punya kapasitas kejayaan seperti era
Sriwijaya. Dietriech menyayangkan setelah sekian lama bangsa ini dijajah, tidak kembali
pada jati dirinya. Sehingga, bisa dikatakan laut terlupakan. Orientasi kita membangun
daratan. Padahal darat ini bagian dari kepulauan. Hubungan antara satu pulau dengan
pulau lain tidak bisa lepas dari laut. Untuk masa depan, wajib segera membangun laut,
dan kita tidak bisa mengingkari itu.
Padahal, menurut Dietriech, ada momentum bagi Indonesia untuk kembali menjadi
bangsa maritim. Bisa diingat krisis Indonesia pada 1998, hampir semua sektor ambruk.
Hanya sektor perikanan dan kelautan yang tumbuh secara positif. Era reformasi, adalah
momentum yang paling tepat kembali pada sejarah bangsa ini. Mari membangun laut
untuk membangkitkan kejayaan bangsa Indonesia. Sayang, momentum yang baik tidak
dibarengi keseriusan. Terlihat pemahaman kita terhadap sektor kelautan sangat kecil.
Padahal orang lain memahami kita mempunyai potensi yang luar biasa, kok tidak bisa
memanfaatkannya.
Indonesia memang sudah merdeka baik secara de facto maupun de jure. Tetapi,
apakah bangsa ini sudah mengisi kemerdekaan? Itulah yang belum terlihat. Belum
dimanfaatkannya kekayaan laut menjadi bukti. Apakah ini kesalahan dari pemimpin
bangsa? Dietriech melihat di zaman Soekarno pernah dilanda krisis. Pada waktu itu,
Soekarno mengatakan, apa yang bisa menyelamatkan bangsa ini. Jawabannya singkat,
lautlah yang bisa menyelamatkan bangsa. Laut inilah yang sebenarnya kekuatan kita.
Pemimpin pasca Gus Dur, kata Dietriech, kurang memahami laut dengan baik. Buktinya
bisa dilihat apakah ada pemimpin yang betul-betul mempunyai pemahaman dan
semangat untuk membangun kekuatan laut, Dietriech tidak melihatnya. Perlu ada
revitalisasi, bukan revolusi.
Revitalisasi untuk membangun kembali bahwa bangsa ini adalah bangsa maritim,
sehingga semangat jiwa, etos maritim betul-betul tergambar dalam setiap langkah.
Semangat untuk membangkitkan itu, lanjut Dietriech, sudah diterapkan di perguruan
tinggi terutama kampus yang berbasis kelautan. Mereka sudah terlihat untuk
mengangkat itu. Tapi, masih ada kesenjangan dalam hal mengaplikasikan tataran teori.
Padahal, para akademisi sebetulnya bisa mendorong. Contohnya, apakah mahasiswa
kelautan sudah melakukan praktik di pulau-pulau terluar agar menjiwai semangat
maritime? Saya katakan belum juga. Harus ada dukungan yang baik dari kementerian
maupun lembaga lain yang membuat mahasiswa bisa kerja lapangan di wilayah terluar.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8
juta km2, terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) 2,7 juta km2. Namun pada kenyataannya, Rancangan Undang-undang
(RUU) Kelautan yang akan memayungi wilayah maritim Indonesia belum juga selesai.
Namun, RUU Kelautan hingga kini belum tuntas. Padahal Undang-undang (UU)
Kelautan atau lebih tepat disebut UU Maritim memiliki fungsi sangat strategis. Jika UU
ini rampung, pemerintah dan stakeholders bisa menjalankan pembangunan di wilayah
laut Indonesia secara terkoordinasi. Lembaga kementerian dalam menjalankan
tugasnya tidak akan tumpang tindih karena sudah diatur dalam UU tersebut.
Karena itu, Indonesia Maritime Institute (IMI) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) RI segera mengesahkan RUU Kelautan dan seharusnya namanya UU Maritim.
Hal tersebut didasari karena Indonesia sejak merdeka, lahir sebagai negara kepulauan
dalam satu wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Bahkan wilayah
Indonesia telah mendapat pengakuan dunia melalui Deklrasi Djuanda 1957 dan
UNCLOS 1982.
Perubahan pimpinan nasional dari orde lama ke orde baru telah mengubah arah
kebijakan pembangunan dari Marine Based Oriented ke Land Based Oriented.
Pemerintah orde baru mengubah Indonesia menjadi negara kepulauan yang
berorientasi daratan.
Tidak hanya itu, sejak era orde baru, kebijakan pembangunan negara kepulauan diubah
menjadi negara agraris yang bervisi kontinental (inward looking). Ini sudah salah arah.
Negara kepulauan sejatinya menganut visi maritim (outward looking).
Undang-undang Kelautan yang akan disahkan itu harus mengembalikan arah kebijakan
pembangunan nasional ke orientasi pembangunan menuju Indonesia sebagai negara
maritim. Bukan lagi negara agraris. Anggota DPR RI khususnya Komisi IV yang
membidangi kelautan agar benar-benar memahami kondisi real Indonesia sebagai
negara kepulauan. Kita (Indonesia) harus menjadi “negara maritime” yang kuat sehingga
martabat kita sebagai bangsa yang besar tidak diinjak-injak negara tetangga. Bahkan,
kita harus memaksa dunia menghormati dan menghargai Indonesia sebagai negara
paling strategis di dunia.
RUU Kelautan merupakan program legislasi DPR yang seharusnya selesai pada 2010,
sesuai dengan Prolegnas 2010-2014. Namun, hingga kini belum ada pembahasan
komprehensif yang dilakukan anggota legislatif.
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis sebagai jalur lalu lintas perdagangan
dunia, memerlukan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut secara
maksimal. Ditambah sumber daya alam hayati dan non hayati yang melimpah,
seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, Deklarasi Djuanda 1957 dan
UNCLOS 1982 menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan potensi
ekonomi maritim sangat besar.
Sudah semestinya dalam penyusunan RUU Kelautan tidak ada aturan yang tumpang
tindih dengan perundang-undangan yang telah ada. RUU Kelautan secara kompleks
mengatur pengelolaan laut, di antaranya terkait perikanan, pertambangan, pelayaran,
industri kelautan, pariwisata, penegakan kedaulatan, dan perlindungan laut.
Diakui Bambang, selama ini pembangunan di bidang kelautan banyak yang tumpang
tindih sehingga sering menimbulkan konflik kewenangan antar sektor. Meski demikian,
pengelolaan bidang kelautan tetap harus ditangani lebih dari satu kementerian.
Sayangnya, saat ini pembangunan nasional di bidang kelautan masih memperoleh porsi
yang relatif kecil dibandingkan sektor-sektor lain.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza
Damanik mengemukakan, RUU kelautan diharapkan meneguhkan kebijakan kelautan.
Namun, substansi RUU tersebut masih berpotensi tumpang tindih dengan undang-
undang yang sudah ada.
Anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Bahar Buasan mengatakan, RUU
Kelautan secara khusus menjadi payung hukum bagi nelayan di daerah, seperti di
Provinsi Bangka Belitung (Babel). Nelayan di sana sering dirugikan akibat
penambangan timah di laut.
RUU Kelautan ini bisa menjadi payung hukum bagi nelayan. Mereka akan terlindungi
atas aktivitas penambangan timah di laut yang menyebabkan kerusakan terumbu
karang. Hal ini berpengaruh atas minimnya hasil tangkapan ikan nelayan.
Bahar mengatakan, dengan RUU ini perusahaan atau penambang yang melakukan
pencemaran lingkungan dapat dikenakan sanksi. Selama ini sanksi yang diberikan
terhadap kerusakan dan pencemaran laut, baru diatur dalam Peraturan Presiden
(Perpres).Karena itu, RUU Kelautan sangat penting, karena negara Indonesia
merupakan wilayah kepulauan yang memiliki potensi laut sangat besar, yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat terutama nelayan.
RUU Kelautan adalah peraturan yang sangat vital. Mengingat Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia. Selain itu, letak geografis Indonesia sangat strategis,
karena merupakan jalur lalu lintas perdagangan dunia.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Babel, Yulistio mengatakan, nelayan harus
dilindungi dengan payung hukum yang sah, sehingga kesejahteraannya lebih terjamin.
Selain adanya kepastian tentang sanksi bagi para penambang yang merusak habitat
laut, RUU Kelautan juga mengatur kepentingan distribusi hasil perikanan. Pemerintah
wajib mengaturnya, sehingga tidak merugikan nelayan dan budidaya laut lainnya.
DPR Sibuk Manuver Politik Lupakan RUU Kelautan
Indra menilai, sangat sulit orang-orang yang ingin memajukan kelautan menjadikan UU
Kelautan menjadi UU Maritim. Ini karena tidak ada kemauan serius dari DPR untuk
membahas RUU Kelautan. DPR sendiri terlihat masih sangat tergantung terhadap
lembaga eksekutif. Selama pemerintah tidak serius dalam pembangunan laut. Sangat
sulit mewujudkan UU Maritim.
Berapa jumlah pulau di Indonesia? Menjadi pertanyaan yang sangat sulit dijawab.
Sebab, pemerintah belum sepakat berapa jumlah pulau yang tersebar di negeri ini. Data
yang dimiliki Kementerian Pertahanan, tercatat ada 17.504 pulau. Di kementerian lain
jumlah ini berbeda.
Pulau-pulau di Indonesia terbentuk pada zaman Miocene (12 juta tahun sebelum
masehi); Palaeocene ( 70 juta tahun sebelum masehi); Eocene (30 juta tahun sebelum
masehi); Oligacene (25 juta tahun sebelum masehi). Seiring dengan datangnya orang-
orang dari tanah daratan Asia, maka Indonesia dipercaya sudah ada pada zaman
Pleistocene (4 juta tahun sebelum masehi).
Pulau-pulau terbentuk sepanjang garis yang berpengaruh kuat antara perubahan
lempengan tektonik Australia dan Pasifik. Lempengan Australia berubah lambat naik ke
dalam jalan kecil lempeng Pasifik, yang bergerak ke selatan, dan antara garis-garis ini
terbentanglah pulau-pulau Indonesia. Ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara
yang paling banyak berubah wilayah geologinya di dunia. Pegunungan-pegunungan
yang berada di pulau-pulau Indonesia terdiri lebih dari 400 gunung berapi, di mana 100
diantaranya masih aktif. Indonesia mengalami tiga kali getaran dalam sehari, gempa
bumi sedikitnya satu kali dalam sehari, serta sedikitnya satu kali letusan gunung berapi
dalam setahun.
Ribuan pulau di Indonesia terbentuk dan tersebar luas. Mulai dari pulau kecil, pulau
besar sampai dengan pulau pasang-surut mewarnai indahnya alam Nusantara. Kondisi
geografis ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Namun, buruknya penataan data mengenai jumlah pulau membuat simpang siur. Data
jumlah pulau yang diyakini selama ini adalah 17.504 pulau dan 17.480 pulau. Namun,
tidak sedikit yang ragu dengan memilih menyebutkan jumlah pulau di Indonesia dengan
kalimat “lebih dari 17.000 pulau″.
Polemik mencuat karena jumlah pulau di Indonesia dari tahun ke tahun sering
mengalami perubahan. Sebagai bukti, pada 1968-1987, pemerintah mengklaim
Indonesia terdiri atas 13.667 pulau. Pada 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) mempublikasikan bahwa hanya 6.127 pulau yang telah mempunyai nama.
Publikasi ini tanpa menyebutkan jumlah pulau secara keseluruhan. Selanjutnya, pada
1987, Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Passurta) menyatakan, jumlah pulau di
Indonesia adalah 17.504. Dari jumlah itu hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama.
Pada 1992, giliran Badan Kordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
menerbitkan ‘Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia’. Mereka mencatat
hanya 6.489 pulau yang telah memiliki nama. Kemudian pada 2002, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), berdasarkan citra satelit mengklaim
jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 buah. Disusul Kementerian Riset dan
Teknologi, pada 2003. Berdasarkan citra satelit mereka menyebutkan Indonesia
memiliki 18.110 pulau.
Pada 2004, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, merilis bahwa jumlah pulau
di Indonesia adalah 17.504 buah, dan 7.870 di antaranya telah memiliki nama, sisanya
9.634 pulau belum dinamai. Pada Agustus 2009, jumlah pulau kembali dikoreksi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menteri KKP saat itu, Freddy Numberi
menyatakan, pulau di Indonesia berjumlah 17.480 buah. Dari jumlah tersebut baru 4.891
pulau yang telah diberi nama dan didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Ironisnya, pada Agustus 2010, Kementerian Kelautan dan Perikanan, merevisi jumlah
pulau di negeri ini, dari 17.480 menjadi hanya 13.000. Lalu, berapa sebenarnya jumlah
pulau yang dimiliki Indonesia. Kenapa datanya berubah-rubah? Kondisi ini tidak hanya
membingungkan masyarakat umum, tapi juga berimbas terhadap sistem pendidikan di
sekolah. Karena setiap pertanyaan jumlah pulau diajukan, tidak ada jawaban yang pasti.
Mereka dibuat bingung.
Hasil kerja Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang masih dikebut hingga kini
adalah penyusunan toponimi geografis Indonesia yang akan dituangkan dalam sebuah
Peraturan Pemerintah tentang Toponimi. Dalam Perpres ini akan menerangkan
penambahan rupa bumi, termasuk mencantumkan jumlah dan nama-nama pulau yang
dimiliki Indonesia. Selain itu tim ini juga bertugas mendaftarkan jumlah dan nama-nama
pulau Indonesia ke PBB.
Hasil survei dan verifikasi terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diketahui
bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang
hingga Merauke. Penurunan jumlah pulau ini tidak berkaitan dengan hilangnya pulau
akibat kenaikan muka air laut, atau karena penggalian pasir laut. Sebelumnya, data
yang sering dijadikan rujukan menyebutkan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
Indonesia memiliki 17.504 pulau.
Jumlah pulau dan nama-nama pulau yang ada di Indonesia masih jadi tanda tanya
besar. Data yang dimiliki pemerintah pun belum sinkron. Sangat disayangkan masih ada
pulau yang belum bernama di sebuah negeri yang 70 persennya diisi lautan. Jangan
sampai kasus Sipadan dan Ligitan terulang kembali.
Tercatat, sekitar tahun 2006-2007 mulai dibentuk tim Toponimi lintas institusi yang
tugasnya mengidentifikasi pulau-pulau RI sesuai dengan kaidah penamaan dan
identifikasi pulau yang diakui oleh PBB. Akhir tahun 2010, jumlah yang diverifikasi oleh
tim Toponimi tersebut adalah 13.487 buah pulau. Ternyata banyak pulau yang selama
ini ada salah identifikasi, nama ganda, termasuk gunakan bahasa daerah. Jumlah inilah
yang kemudian dikirimkan ke PBB untuk mendapatkan pengakuan formal.
Pendataan pulau masih sangat simpang siur. Interpretasi citra satelit juga punya bias,
khususnya ketika awan atau karang yang ada di permukaan laut, kadang
diinterpretasikan sebagai pulau juga. Semenjak hilangnya Sipadan Ligitan dan beberapa
pulau yang tenggelam, data jumlah pulau sekitar 17.504, dengan menggunakan
argumen data dari Kementerian Dalam Negeri.
Pemerintah kala itu mempertimbangkan, PBB tidak begitu saja mengakui klaim sebuah
negara. Ada kaidah mengidentifikasi sebuah pulau, misalnya nama, koordinat, dan
berbagai aturan lainnya. Penamaan pulau harus mengikuti Resolusi PBB yang jadi
prosedur tetap, baik proses, pengumpulan info, dan strategi verifikasinya. Misalnya,
pulau harus dikunjungi dan dianggap sah jika diucapkan minimal dua orang penduduk
lokal dengan penggunaan dialek yang persis. Sementera defenisi tentang pulau yang
dimaksud mengacu UNCLOS, yaitu dikelilingi air laut, alamiah, dan tetap muncul di atas
pasang surut tertinggi.
Pengertian ekosistem, laut, dan ekosistem laut
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak
terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga
suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup
yang saling memengaruhi.
Laut adalah sebuah tubuh air asin besar yang dikelilingi secara menyeluruh atau sebagian
oleh daratan. Dalam arti yang lebih luas, "laut" adalah sistem perairan samudra berair asin
yang saling terhubung di Bumi yang dianggap sebagai satu samudra global atau sebagai
beberapa samudra utama.
Ekosistem laut atau disebut juga ekosistem bahari merupakan ekosistem yang terdapat di
perairan laut, terdiri atas ekosistem perairan dalam, ekosistem pantai pasir dangkal/litoral,
dan ekosistem pasang surut.
Berdasarkan kedalamannya, zona laut dibagi menjadi tiga, yaitu zona litoral, zona neritik, dan
zona oseanik.
Zona litoral berbatasan langsung dengan daratan, paling dangkal, dan paling atas dari lautan.
Adapun hewan yang hidup di zona ini adalah bintang laut, bulu babi, cacing laut, kepiting,
dan udang.
Zona neritik disebut juga sebagai ekosistem pantai pasir dangkal karena letaknya sekitar 200
meter dari permukaan laut. Di sini, hidup beberapa ekosistem kecil, seperti ekosistem pantai
batu, ekosistem pantai lumpur, dan ekosistem terumbu karang. Selain itu, hidup juga berbagai
jenis ikan, ganggang, dan rerumputan laut.
Zona oseanik sebagai zona terdalam dari ekosistem air laut serta terbagi menjadi zona batial
dengan kedalaman 200-2.000 meter yang dihuni oleh nekton dan zona abisal dengan
kedalaman lebih dari 2.000 meter yang dihuni oleh detrivor, predator, dan pengurai.
Berdasarkan intensitas cahaya mataharinya, zona laut dibagi menjadi tiga, yaitu zona fotik,
zona twilight, dan zona afotik.
Zona fotik memiliki kedalaman kurang dari 200 meter sehingga cahaya matahari mudah
masuk.
Zona twilight memiliki kedalaman 200-2.000 meter sehingga cahaya matahari yang masuk
hanya sedikit.
Zona afotik memiliki kedalaman lebih dari 2.000 meter sehingga cahaya matahari tidak dapat
masuk.
Zona Laut Berdasarkan Permukaan Secara Vertikal
Berdasarkan permukaan secara vertikal, zona laut dibagi menjadi lima, yaitu epipelagik,
mesopelagik, batiopelagik, abisalpelagik, dan hadalpelagik.
Pertambangan lepas pantai, yang mebuang limbah dan tumpahan minyak ke laut. Air dan
minyak adalah dua zat yang tidak bisa menyatu. Dengan adanya minyak yang tumpah ke laut,
akan menyebabkan populasi ikan akan mati. Hal ini terjadi akibat tidak adanya CO2 yang
terserap ke laut akibat adanya minyak, sehingga terumbu karang tidak mampu melakukan
fotosisntesis, dan jumlah oksigen menjadi berkurang.
Pembuangan limbah pabrik ke laut, juga menyebabkan laut menjadi tercemar. Limbah pabrik
yang di buang ke laut mengandung logam berat seperti merkuri, timbal, arsenic, kromium,
cadmium, seng, dan nikel. Semua bahan tersebut tidak dapat terurai, dan akan menyatu
kedalam air. Ikan yang berenang di sekitar daerah tercemar, akan mengandung logam berat di
dalamnya. Dan jika manusia memakan ikan yang tercemar secara terus menerus, dapat
menyebabkan banyak penyakit serius seperti kanker.
Sampah adalah salah satu bahan pencemar yang ada di darat maupun laut. Sampah yang
mencemari laut biasanya berasal dari pantai. Sampah yang berserakan di sekitar pantai, akan
terbawa ke laut oleh air pasang, sehingga laut menjadi kotor. Sampah yang tidak dapat diurai
seperti plastic dan karbon, dapat termakan oleh ikan, dan menyebabkan ikan tersebut tidak
sehat untuk dikonsumsi.
Pestisida adalah membunuh hama yang biasa dipakai untuk membunuh hama. Pestisida
bersifat racun dan dapat mengendap di dalam tubuh. Air laut yang terkontaminasi oleh
pestisda, akan diserap oleh ikan dan makhluk laut lainnya. Pestisida yang terserap, akan
mengendap di tubuh ikan, dan menyebabkan ikan tersebut menjadi beracun. Pestisida dapat
mencamari laut melalui air sungai yang telah tercemari pestisida, dan mengalir laut.
Terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi adalah sebuah kejadian dimana tanaman sejenis alga
tumbuh dengan cepat, dan mendominasi perairan. Akibatnya, kadar oksigen di dalam laut
menjadi menipis, karena alga membutuhkan oksigen untuk bernapas. Selain itu, akibat
pertumbuhan alga yang tidak normal, membuat ekosistem menjadi tidak seimbang, dan
membunuh hewan lain di sekitar perairan tersebut. Kejadian ini biasanya terjadi di sekitar
muara yang menjadi tempat bertemunya air tawar dan air laut.
Perubahan tingkat keasaman laut. Hal ini terjadi jika laut terlalu banyak menyerap CO2 tetapi
sangat sedikit menghasilkan O2. Sehingga tingkat keasaman laut menjadi semakin tinggi.
Selain itu, bumi yang mulai memanas akibat adanya pemanasan global, membuat laut tidak
lagi mampu mengatur kondisi suhu. Makhluk hidup yang paling terkena dampak dari
perubahan keasaman laut adalah terumbu karang, serta ikan- ikan yang bergantung hidup
pada terumbu karang.
Kebisingan merupakan salah satu bagian dari pencemaran laut. Beberapa ikan memiliki
penglihatan yang buruk, dan bergantung sepenuhnya pada pendengaran, akan terganggu
dengan suara berisik dari kapal- kapal.
Penangkapan ikan secara berlebihan juga menyebabkan air laut menjadi tercemar. Ekosistem
yang sehat adalah ekosistem yang seimbang, dengan pola interaksi yang sesuai. Jika sebuah
spesies makhluk hidup punah, maka keseimbangan ekosistem manjadi terancam, dan dapat
merusak laut.
Sebagai pembengkit listrik tenaga angin, tenaga ombak, dan tenaga pasang surut.
Sebagai tempat budidaya ikan, kerang mutiara, rumput laut, dan lainsebagainya.