Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif
Dosen Pengampu :
Dr. Rita Benya Adriani, S.Kp.,M.Kes
Di Susun Oleh :
Kelompok 4
Puji syukur kami ucapkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas rahmat
dan karunianya kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul “ Asuhan
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, dengan segala
mata kuliah Keperawatan Paliatif yang telah membimbing kami dalam proses
Penyusun menyadari makalah ini masih belum sempurna, baik dari isi maupun
sistematika penulisannya. Maka dari itu penyusun berterimaksih apabila ada kritik
seperjuangan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar belakang...................................................................................1
B. Rumusan masalah..............................................................................2
C. Tujuan................................................................................................2
D. Manfaat.............................................................................................2
A. Pengkajian..........................................................................................19
C. Intervensi Keperawatan......................................................................24
BAB IV PENUTUP.............................................................................................30
A. Kesimpulan.............................................................................................30
B. Saran........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................37
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap
mahluk hidup dan meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan.
Namun sering kali harapan dan dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam
masyarakat kita, umur harapan hidup semakin bertambah dan kematian
semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit kronis seperti penyakit
diabetes militus, penyakit cordpulmonaldeases, penyakit arthritis.
Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses
pengobatan dan perawatan yang panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka
suatu saat akan dicapai stadium terminal yang ditandai dengan oleh
kelemahan umum, penderitaan, ketidak berdayaan, dan akhirnya kematian.
Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya
mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan
spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan
terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif atau
palliative care.
Dalam perawatan paliatif maka peran perawat adalah memberikan
Asuhan Keperawatan pada Pasien kronis untuk membantu pasien menghadapi
penyakitnya.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari dari penyakit kronis?
2. Bagaimana dampak-dampak yang terjadi pada klien penyakit kronis?
3. Bagaimana respon klien terhadap penyakit kronis?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada klien penyakit kronis?
5. Bagaimana konsep penyakit diabetes mellitus?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien diabetes mellitus?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah mahasiswa
diharapkan mampu mengenal dan mengetahui tentang asuhan keperawatan
pada klien yang mengalami Diabetes Mellitus.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini, yaitu :
a. Agar mahasiswa dapat mengatahui dan memahami dampak-dampak
yang terjadi pada klien penyakit kronis
b. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Respon Klien
Terhadap Penyakit Kronis
c. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan
pada klien penyakit kronis
d. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai penyakit
diabetes mellitus.
e. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami asuhan
keperawatan pada klien diabetes mellitus
D. Manfaat
paliatif.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
3. Dampak Penyakit Kronik Terhadap Klien
Dampak yang dapat ditimbulkan dari penyakit kronik terhadap
klien diantaranya (Purwaningsih dan kartina, 2009) adalah :
a. Dampak psikologis
Dampak ini dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, yaitu :
1) Klien menjadi pasif
2) Tergantung
3) Kekanak-kanakan
4) Merasa tidak nyaman
5) Bingung
6) Merasa menderita
b. Dampak somatic
Dampak somatic adalah dampak yang ditimbulkan oleh tubuh
karena keadaan penyakitnya. Keluhan somatic sesuai dengan keadaan
penyakitnya. Contoh : DM adanya Trias P
1) Dampak terhadap gangguan seksual
Merupakan akibat dari perubahan fungsi secara fisik
(kerusakan organ) dan perubahan secara psikologis (persepsi klien
terhadap fungsi seksual).
2) Dampak gangguan aktivitas
Dampak ini akan mempengaruhi hubungan sosial sehingga
hubungan social dapat terganggu baik secara total maupun
sebagian.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit kronik
a. Persepsi klien terhadap situasi
b. Beratnya penyakit
c. Tersedianya support social
d. Temperamen dan kepribadian
e. Sikap dan tindakan lingkungan
f. Tersedianya fasilitas kesehatan
4
5. Respon Klien Terhadap Penyakit Kronik
Penyakit kronik dan keadaan terminal dapat menimbulkan respon
Bio-Psiko-Sosial-Spritual ini akan meliputi respon kehilangan.
(Purwaningsih dan kartina, 2009).
a. Kehilangan kesehatan
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kesehatan dapat
berupa klien merasa takut, cemas dan pandangan tidak realistic,
aktivitas terbatas.
b. Kehilangan kemandirian
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kemandirian dapat
ditunjukan melalui berbagai perilaku, bersifat kekanak-kanakan,
ketergantungan
c. Kehilangan situasi
Klien merasa kehilangan situasi yang dinikmati sehari-hari
bersama keluarga dan kelompoknya
d. Kehilangan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat gangguan fungsi
tubuh seperti panas, nyeri, dll
e. Kehilangan fungsi fisik
Contoh dampak kehilangan fungsi organ tubuh seperti klien
dengan gagal ginjal harus dibantu melalui hemodialisa
f. Kehilangan fungsi mental
Dampak yang dapat ditimbulkan dari kehilangan fungsi mental
seperti klien mengalami kecemasan dan depresi, tidak dapat
berkonsentrasi dan berpikir efisien sehingga klien tidak dapat berpikir
secara rasional
g. Kehilangan konsep diri
Klien dengan penyakit kronik merasa dirinya berubah
mencakup bentuk dan fungsi sehingga klien tidak dapat berpikir secara
rasional (bodi image), peran serta identitasnya. Hal ini dapat akan
mempengaruhi idealisme diri dan harga diri rendah
5
h. Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga
i. Klien menarik diri dari lingkungan
Hubungan sosial klien dapat terganggu sebagian maupun yang
total. Contohnya hubungan terganggu sebagian, klien masih
berhubungan dengan lingkungan sekitar, tetapi klien malu-malu dan
tidak percaya diri untuk bergaul dengan orang secara berkelompok.
Apabila terganggu total, klien sudah tidak ingin berinteraksi lagi
dengan lingkungan sekitar, klien hanya ingin menyendiri (menarik diri
dari lingkungan).
6
daerah dada, akan memberikan reaksi emosional tersendiri. Perubahan
fisik yang terjadi dengan cepat akan memicu reaksi cemas pada
individu dengan penyakit kanker.
c. Depresi
Depresi juga merupakan reaksi yang umum terjadi pada
penderita penyakit kronis. Kurang lebih sepertiga dari individu
penderita stroke, kanker dan penyakit jantung mengalami depresi.
7. Respon keluarga
Keluarga juga mengalami respons yang sama dengan pasien atas
penyakit yang diderita oleh klien atau individu (Purwaningsih dan kartina,
2009), yaitu :
a. Penolakan (Denial)
Sama halnya dengan pasien atau individu, keluarga yang tidak
siap atau tidak menerima dengan kondisi yang ada pada pasien.
Keluarga mengangap penyakit yang diderita tidak terlalu berat dan
menyakini bahwa penyakit kronis ini akan segera sembuh dan hanya
akan memberi efek jangka pendek.
b. Cemas
Keluarga akan memperlihakan ekspresi cemas akan diagnose
yang telah divonis oleh pihak medis. Pihak keluarga cemas akan tidak
bisa sembuh penyakit tersebut dan takut ditinggalkan dalam jangka
waktu dekat oleh pesien.
c. Depresi
Keluarga yang terkejut dan tidak bisa menerima keadaan
terhadap situasi yang dialami pasien akan mengalami depresi.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang optimal pada klien dengan kondisi kronis
adalah sangat penting. Penatalaksanan harus melibatkan kesehatan mental,
memantau perkembangan klien, dan melibatkan keluarga. Pengobatan
sederhana tidak cukup.
7
Klien harus bekerja sama dengan tim kesehatan, percaya terhadap
pengobatan yang diberikan, dan mempunyai keluarga yang mendukung
dan membantu dalam rencana pengobatan. Beberapa prinsip
penatalaksanaan klien dengan kondisi kronis adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan kesehatan
Menjelaskan kepada klien tentang perjalanan penyakitnya dan
keterbatasan pengobatan. Pendidikan kesehatan harus langsung pada
penderita dan keluarganya dan harus menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti.
b. Merespons terhadap emosi
Dengarkan baik-baik, berikan waktu yang cukup bagi klien dan
keluarganya untuk mengemukakan perasaannya, kekhawatirannya, dan
harapannya.
c. Melibatkan keluarga
Dukungan pada keluarga dan petunjuk penatalaksanaan sangat
penting. Keluarga harus dibantu agar tidak melakukan sikap yang
berlebihan terhadap anak, seperti terlalu melindungi, terlalu khawatir
dan memberikan perhatian berlebihan.
d. Melibatkan pasien
Bila klien dilibatkan dalam penatalaksaan penyakitnya, maka
mereka akan lebih patuh dan bertanggungjawab.
e. Melibatkan tim multidisiplin
Beberapa ahli diperlukan dalam menatalaksana remaja dengan
kondisi kronis, seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, okupasi-terapis,
fisioterapis, ahli gizi, dan ahli lain yang terkait.
f. Menyediakan perawatan yang berkelanjutan
Klien dengan kondisi kronis membutuhkan seseorang yang bisa
dipercaya. Paling sedikit salah satu dari anggota tim, lebih baik dokter
dari pusat kesehatan primer (seperti Puskesmas), yang membina
hubungan jangka panjang dengan penderita dan keluarganya. Peran
dokter disini adalah mengkoordinasi perawatan berbagai spesialis
8
(multidisiplin), memantau tumbuh kembangnya, memberikan petunjuk
yang mungkin diperlukan, dan lain sebagainya.
g. Menyediakan pelayanan rawat jalan yang komprehensif
Diperlukan pelayanan psikologikal, belajar bersosialisasi,
pendidikan, penelitian, dikatakan bahwa klien yang mendapatkan
pelayanan yang komprehensif, dapat menurunkan frekuensi rawat
inap, lama dirawat, biaya di rumah sakit, dan menurunkan
kemungkinan dirawat kembali.
h. Merujuk ke kelompok pendukung (kelompok sebaya atau kelompok
penyakit sejenis).
Ikut dalam kelompok pendukung dapat saling tukar
pengalaman dan informasi antara penderita dan keluarga lain dengan
masalah yang sama.
i. Mengembangkan teknik menolong diri sendiri Pelatihan (terapi
perilaku) Terhadap klien dalam teknik mengatasi stres atau rasa sakit,
dapat membantu klien mengurangi stres terhadap penyakit dan
pengobatan yang diberikan.
j. Pembatasan
Bila kepatuhan atau perilaku yang menjadi masalah, remaja
harus dibuat disiplin, dan tim yang merawat serta keluarganya harus
setuju dan mendukung.
k. Perawatan di rumah sakit
Bila diperlukan perawatan remaja di rumah sakit, terbaik bila
ditangani dalam lingkungan yang kondusif untuk kebutuhan
perkembangan remaja.
9
sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan
primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga
gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya
jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses
nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. ( Askandar, 2001 ).
Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-
hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah
sedang atau besar di tungkai. ( Askandar, 2001).
2. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira –
kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan
beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1
dan 2 di belakang lambung. Pankreas merupakan kelenjar endokrin
terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia.
Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan
yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian
badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah
limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari
segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel
yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus. Pankreas terdiri
dari dua jaringan utama, yaitu :
a. Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
b. Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar,
tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah. Pulau –
pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat
total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar
masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil
adalah 50 µ, sedangkan yang terbesar 300 µ, terbanyak adalah yang
10
besarnya 100 – 225 µ. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas
diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu:
a. Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi
glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang
mempunyai “ anti insulin like activity “.
b. Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
c. Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat
somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan
struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans
ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah
kapiler.
Pada penderita DM, sel beta sering ada tetapi berbeda dengan sel
beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan
untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi. Insulin merupakan
protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul
insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A
dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ),
yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai
B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan
titik isoelektrik pada 5,3.
Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein
reseptor yang besar di dalam membrana sel. Insulin di sintesis sel beta
pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang
berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek
umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah
meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat.
Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak,
dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat
11
berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan
kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel
– sel otot, fibroblas dan sel lemak.
3. Etiologi
a. Diabetes Melitus
DM mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi
dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik
biasanya memegang peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain
yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi DM yaitu :
1) Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai
kegagalan sel beta melepas insulin.
2) Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara
lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan
kehamilan.
3) Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh
autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi
antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel - sel penyekresi
insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
4) Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan
jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang
terdapat pada membran sel yang responsir terhadap insulin.
12
Faktor eksogen :
a. Trauma
b. Infeksi
c. Obat
4. Patofisiologis
a. Diabetes Melitus
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat
dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin
berikut:
1) Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang
mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 –
1200 mg/dl.
2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak
yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal
disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
3) Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak
dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal
atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang
melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar
160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus –
tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa.
Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida,
potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan
timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka
pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat
badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain
adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi
cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya
13
atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan
karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia yang lama akan
menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan
perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya
gangren.
b. Gangren Kaki Diabetik
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik
DM akibat hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.
1) Teori Sorbitol
Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar
glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan dapat mentransport
glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan
termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi
sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah
menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan
tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.
2) Teori Glikosilasi
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya
glikosilasi pada semua protein, terutama yang mengandung
senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada protein membran
basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun
mikro vaskular.
Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh
faktor – faktor disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang
berperan timbulnya KD adalah angiopati, neuropati dan infeksi.
Neuropati merupakan faktor penting untuk terjadinya KD. Adanya
neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan sensorik
maupun motorik.
Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau
menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami
trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada
14
kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi
otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan
ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan
terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi
pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa
sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu.
Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat
berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut
arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati
tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi,
oksigen (zat asam ) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka
sulit sembuh ( Levin,1993).
Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai KD
akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor
angiopati dan infeksi berpengaruh terhdap penyembuhan atau
pengobatan dari KD.
5. Klasifikasi
Wagner ( 1983 ) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam
tingkatan , yaitu :
a. Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan
kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “ claw,callus “.
b. Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
c. Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
d. Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
e. Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau
tanpa selulitis.
f. Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki
menjadi 2 (dua) golongan :
a. Kaki Diabetik akibat Iskemia ( KDI )
15
Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya
makroangiopati ( arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar
ditungkai, terutama di daerah betis.
Gambaran klinis KDI :
1) Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.
2) Pada perabaan terasa dingin.
3) Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.
4) Didapatkan ulkus sampai gangren.
6. Dampak Masalah
Adanya penyakit gangren kaki diabetik akan mempengaruhi
kehidupan individu dan keluarga. Adapun dampak masalah yang bisa
terjadi meliputi :
a. Pada Individu
Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya
penyakit ini, Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan
yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan tersebut.
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan
persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya
pengetahuan tentang dampak gangren kaki diabetuk sehingga
menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan
perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang
benar dan mudah dimengerti pasien.
16
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya
defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan
sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan,
banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
3) Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis
osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan
pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi
relatif tidak ada gangguan.
4) Pola tidur dan istirahat
Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi
rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan
istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita
mengalami perubahan.
5) Pola aktivitas dan latihan
Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada
tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan
aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami
kelelahan.
6) Pola hubungan dan peran
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan
penderita malu dan menarik diri dari pergaulan.
7) Pola sensori dan kognitif
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati /
mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri.
17
Luka yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ).
9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di
organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme.
10) Pola mekanisme stres dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang
kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan
penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
konstruktif / adaptif.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi
tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam
melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.
18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DIABETES MELLITUS
A. PENGKAJIAN
1) Identitas
Nama, usia (DM Tipe 1 Usia < 30 tahun. DM Tipe 2 Usia > 30 tahun,
cenderung meningkat pada usia > 65 tahun), kelompok etnik di Amerika
Serikat golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu memiliki
kemungkinan yang lebih besar, jenis kelamin, status, agama, alamat,
tanggal MRS, diagnosa masuk. Pendidikan dan pekerjaan, orang dengan
pendapatan tinggi cenderung mempunyai pola hidup dan pola makan
yang salah. Cenderung untuk mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung gula dan lemak yang berlebihan. Penyakit ini biasanya
banyak dialami oleh orang yang pekerjaannya dengan aktivitas fisik yang
sedikit.
19
3) Riwayat penyakit sekarang
Dominan muncul adalah sering kencing, sering lapar dan haus, berat badan
berlebih. Biasanya penderita belum tahu kalau itu penyakit DM, baru tahu
setelah memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan Fisik
Gejala: lemah, letih, sulit bergerak atau beijalan, kram otot, tonus otot
menurun, gangguan istirahat dan tidur.
2) Sirkulasi
20
3) Integritas ego
4) Eliminasi
Tanda: urine encer, pucat, kuning, poliuri, bising usus lemah, hiperaktif
pada diare.
6) Neurosensori
7) Pernapasan
21
8) Seksualitas
Gejala: rabas vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.
9) Penyuluhan
Gejala: fakor resiko keluarga DM, PJK, HT, stroke, penyembuhan yang
lambat, penggunaan obat steroid, diuretik, dilantin, fenobarbitol. Mungkin
atau tidak memerlukan obat diabetik.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
22
Kriteria hasil: pasien tidak mengeluh penglihatannya kabur atau diplopia,
visus 6/6, nilai laboratorium terkait eksitasi persarafan dalam batas:
natrium: 135-147 meq/l, kalsium: 9-11 mg/dl, kalium: 3,5-5,5 meq/l,
klorida: 100-106 meq/l.
Kriteria hasil: RR: 18-24 x/menit, pernafasan reguler, tidak berbau keton.
23
Kriteria hasil: mengungkapkan pemahaman tentang penyakit misalnya
dapat menyebutkan penyakit, dapat mengidentifikasi hubungan tanda dan
gejala dengan proses penyakit.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
(2) Kaji suhu, warna, turgor kulit dan kelembaban, pengisian kapiler dan
membran mukosa.
(5) Batasi intake cairan yang mengandung gula dan lemak misalnya cairan
dari buah yang manis.
24
(1) Timbang berat badan.
(2) Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar
gula.
(2) Kaji status persepsi penglihatan seperti menggunakan test visus dengan
snellen card (apabila memungkinkan).
25
R/ untuk mengkaji status persepsi pasien.
26
(2) Kaji area luka setiap kali merawat luka dan mengganti balutan.
27
(2) Lakukan pemberian pendidikan kesehatan secara bertahap dan sesuai
rencana pada satuan acara pembelajaran (SAP).
28
R/: memudahkan pasien untuk melaksanakan diet dan mengarahkan
pasien kemana harusnya bertanya bila mengalami kesulitan dalam
menjalankan diet,
R/: pasien yang setuju akan bertanggung jawab atas dirinya sendiri
dan akan lebih mampu bekerja sama.
29
30
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan penyakit
berlangsung lama sampai bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan
sering kambuh. Respon klien dalam kondisi kronik sangat tergantung kondisi
fisik, psikologis, social yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada
tiap individu juga berbeda.
Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh
pasien kronis. Orang yang telah lama hidup sendiri, menderita penyakit kronis
yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap
penderitaan. Atau sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan
menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang
yang dicintai.
Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan,
ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani
hidup, merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai
kematian itu terjadi. Perhatian utama pasien dengan penyakit kronis sering
bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada kehilangan kontrol terhadap
fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan psikologis
yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
Jadi tugas perawat untuk dapat lebih memahami dan memberi
perawatan yang sesuai dengan kondisi pasien. Perawat juga harus mampu
memberikan asuhan keperawatan yang baik pada klien yang mengalami
penyakit kronis.
B. Saran
1. Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi kronis,
tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien
31
sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya
dapat meninggal dengan tenang dan damai.
2. Ketika merawat klien dengan penyakit kronis, tanggung jawab perawat
harus mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social yang
unik.
32
DAFTAR PUSTAKA
33