Anda di halaman 1dari 16

TAUHID

 
MAKALAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi
Tugas mata kuliah: AIK
Dosen Pembina: Mewa Zabeta, M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok 4 :
1. Ela Rahma Wati
2. Wahyu Pratiwi
3. Ratna Dwi Irayanti
4. Holis
Kelas E : 1BW1

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
MUHAMMADIYAH OKU TIMUR
OKTOBER 2020
Daftar Isi
A. Pendahuluan
B. Pengertian Tauhid
 Tauhid Rububiyah
 Tauhid Uluhiyah
 Makna Tauhid Asma wa Sifat
C. Makna Kalimat Laa Ilaaha IlIa-Allah ()
 Syarat-syarat Laa Ilaaha IlIa-Allah ()
 Konsekuensi laa ilaaha illa-Allah

D. Tauhid sebagai Landasan bagi Semua Aspek kehidupan


E. Jaminan Allah Bagi Ahli Tauhid
 Ahli Tauhid Mendapatkan Keamanan dan Petunjuk
 Ahli Tauhid Djamin Masuk Surga.
 Ahli Tauhid Diharamkan dari Neraka
 Ahli Tauhid Diampuni Dosa-dosanya.
 Jaminan Bagi Masyarakan yang Bertauhid
F. Penutup
A. Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas mengenai Tauhid dan Urgensinya bagi Kehidupan Manusia. Dari
pembahasan ini diharapkan memiliki pemahaman tentang hal-hal berikut:
1. Pengertian Tauhid,
2. Makna laa ilaaha illa-Allah dan konsekuensinya dalam kehidupan,
3. Tauhid sebagai landasan kehidupan,
4. Jaminan Allah bagi ahli Tauhid.

B. Pengertian Tauhid
Secara bahasa, tauhid berasal dari kata dasar yang maknanya sesuatu itu satu (esa). Sedangkan
secara syar’i tauhid bermakna mengesakan Allah dalam ibadah, bersamaan dengan keyakinan
keesaanNya dalam dzat, sifat dan perbuatan-perbuatanNya.

Pembagian Tauhid:

Tauhid menurut ulama dibagi menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma
wa sifat¹.

1. Tauhid Rububiyah

Artinya kita meyakini keesaan Allah dalam hal penciptaan, pemilik, pengatur, pemberi rizeki dan
pemelihara alam semesta beserta isinya. Keyakinan seperti iini juga diyakini oleh kaum musyrikin
Makkah sebagai firman Allah:

‫ َدبِّ ُر‬Cُ‫ ِر ُج ْال َميِّتَ ِمنَ ْال َح ِّي َو َم ْن ي‬C‫ت َوي ُْخ‬
ِ ِّ‫ي ِمنَ ْال َمي‬
َّ ‫ ِر ُج ْال َح‬C‫ا َر َو َم ْن ي ُْخ‬C‫ْص‬
َ ‫ ْم َع َواأْل َب‬C‫الس‬
َّ ‫ك‬ُ Cِ‫ض أَ َّم ْن يَ ْمل‬
ِ ْ‫ َما ِء َواأْل َر‬C‫الس‬
َّ َ‫رْ ُزقُ ُك ْم ِمن‬Cَ‫قُلْ َم ْن ي‬
َ
‫اأْل ْم َر‬

Artinya : “Katakanlah: siapa yang member rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan pengelihatan dan mengeluarkan yang hidup dari yang
mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan ?
Maka mereka (musyrikin Makkah) menjawab : “Allah”. Maka katakanlah (hai Muhammad)
“mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya”. (QS. Yunus:31).

Ayat diatas senada dengan ayat dalam surat Al-Mu’minun: 84-89, Az-Zumar:38, Az-Zukhruf: 87
terkait orang-orang musyrik Makkah yang meyakini tauhid rububiyah, namun mereka tetap
diklasifikasikan sebagai kaum musyrikin oleh Allah dan Rasul-Nya.

Hal itu karena hati manusia telah difitrahkan untuk mengakui rububiyyah Allah SWT, sehingga
orang yang meyakininya belum menjadi ahli tauhid sebelum dia beriman kepada tauhid yang
kedua. Hal ini menegaskan bahwa seseorang tidak dikatakan beriman dengan hanya meyakini
tauhid rububiyah.

2. Tauhid Uluhiyah

Artinya kita meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak disembah (diibadahi).
Ibadah di sini adalah istilah yang meliputi segala apa yang Allah cintai dan ridhai baik berupa
ucapan serta amalan-amalan yang lahir maupun yang batin.

Tauhid uluhiyyah merupakan implementasi dari kalimat tauhid “laa ilaaha illa-Allah”. Makna
kalimat ini adalah tidak ada sesembahan yang hak untuk disembah melainkan Allah. Kalimat tauhid
ini mengandung dua unsur yaitu unsur penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah serta
menetapkan segala bentuk ibadah ditunjukan hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang
merupakan inti dari pengutusan para rasul seperti yang termasuk dalam firman Allah:

Artinya : “Dan tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami
wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah Aku olehmu sekalian”. (QS. Al-Anbiya’: 25).

Dalam hal memahami makna “laa ilaaha illa-Allah” ada sebagian orang memaknainya dengan
( tidak ada hakim tertinggi melainkan Allah). Ini adalah makna yang sempit dan kurang tepat sebab
dakwah Rasullullah ketika pertama kali diutus bukan masalah hakimiyah, namun masalah tauhid
ibadah dan menjauhi kesyirikan sebagaimana firman Allah:

Artinya : “Sungguh kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat agar mereka
(memerintahkan) umatnya menyembah Allah dan menjauhi Thaghut”². (QS. An-Nahl:36).

Tauhid uluhiyyah adalah misi dakwah semua Rasul. Pengingkaran terhadap tauhid inilah yang
menjerumuskan umat-umat terdahulu ke dalam jurang kehancuran. Tauhid ini adalah pembuka dan
penutup agama. Ia adalah pembeda antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, antara
penduduk surga dan penghuni neraka.

Tauhid rububiyyah termasuk konsekuensi dari tauhid uluhiyyah, karena orang-orang musyrik tidak
menyembah tuhan yang satu. Akan tetapi, mereka menyembah bermacam-macam tuhan dengan
anggapan bahwa tuhan-tuhan tersebut lebih mendekatkan mereka kepada Allah. Padahal mereka
mengakui bahwa tuhan-tuhan itu tidak mendatangkan mudharat dan manfaat. Karena itu, Allah
tidak menganggap mereka sebagai orang-orang mukmin, kendati mereka mengakui tauhid
uluhiyyah. Mereka tetap kafir, sebab mereka masih menyekutukan Allah dan selain-Nya dalam
beribadah.
3. Makna Tauhid Asma wa Sifat (meng-esakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya)
Ialah meyakini secara mantab bahwa Allah menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci
dari segala sifat kekurangan, dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya.

Caranya adalah dengan menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Dia
sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah dengan tidak melakukan tahrif
(pengubahan) lafazh atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau
sebagaian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan
kondisinya, dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk.

Dari definisi diatas jelaslah bahwa tauhid asma wa sifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa
menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang meng-esakan Allah dalam hal nama sifat-Nya.
Ketiga asas itu adalah:³

a. meyakini bahwa Allah SWT maha suci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segala kekurangan.
b. Mengimani seluruh nama dan sifat Allah SWT yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
tanpa mengurangi atau menambah-nambahi dan tanpa mengubah atau mengabaikannya.
c. Menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah (kondisi) sifat-sifat itu.

Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan mahluk
dalam sifat-sifat-Nya, ini didasarkan pada firman Allah SWT:

Artinya : “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya”. (QS. Al-Ikhlash: 4)

Al-Qurthubi, saat menafsirkan firman Allah, “Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apa
pun,”mengatakan, “Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah SWT, dalam hal keagungan,
kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifat-Nya, tidak satupun dari makhluk-Nya
yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupai dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat
disandangkan kepada Pencipta dengan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya berbeda meskipun
lafazhnya sama. Sebab, sifat Allah Yang tidak Berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat
makhluk-Nya.

Termasuk dalam asas pertama ini ialah menyucikan Allah SWT dari segala yang bertentangan dengan
sifat yang disandangkan oleh Rasullulah Saw. Jadi mengesakan AllahcSWT dalam hal sifat-sifat-Nya
menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah SWT tidak mempunyai istri, teman,
tandingan, pembantu, dan syafi’ (pemberi syafa’at), kecuali atas izin-Nya. Dan juga menuntut seorang
Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk,
dan sifat-sifat kekurangan lainya.

Sedangkan asas kedua, mewajibkan untuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang telah
ditetapkan dal al-Qur’an dan As-Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan
wahyu, bukan logika. Jadi, tidak boleh menyandangkan sifat atau nama kepada Allah SWT kecuali
sejauh ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Sebab Allah SWT maha tau tentang Dirinya sifat-sifat-Nya, dan
nama-nama-Nya. Ia berfirman :

Artinya : “Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah ?”. (QS. Al-Baqarah : 140)

Nah, bila Allah SWT yang lebih mengetaahui tentang Dirinya dan para Rasul-Nya adalah orang-orang
jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya, pasti mereka tidak akan menyampaikan selain
dari apa yang diwahyukan oleh-Nya kepada mereka. Karenanya, dalam urusan mengukuhkan atau
menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT wajib merujuk kepada informasi dari Allah dan Rasul-
Nya.

Sementara asas ketiga, menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama
yang ditegaskan oleh al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan
tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai mankala
mengetahui kaifiyyah Dzat. Padahal Dzat Allah SWT tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-
Nya.

Karena itu, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa’ (cara Allah SWT bersemayam),
mereka menjawab’ “Istiwa’ itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak diketahui; mengimani istiwa’
adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”

Jika ada seseorang bertanya kepada kita, ”Bagaimana cara Allah SWT turun ke langit dunia ?” Maka
kita tanyakan kepadanya,”Bagaimana dia ?” jika ia mengatakan, “Saya tidak tau kaifiyyah Dia”. Maka
kita jawab “ Makanya kita tidak tau kaifiyyah turunya Allah. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat
harus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifsti itu. Karena, sifat itu adalah cabang dan
mengikuti yang disifati. Maka, bagaimana Anda menuntut istiwa’, padahal Anda tidak tahu bagaimana
kaifiyyah Dzat-Nya. Jika Anda mengakui bahwa Allah SWT adalah wujud yang hakiki yang pasti
memiliki segala sifat kesempurnaan dan tidak ada yang menandinginya, maka mendengar, melihat,
berbicara dan turunya Allah tidak dapat digambarkan dan tidak bisa disamakan dengan mahluk-Nya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhid asmawa sifat ini dapat rusak dengan
beberapa hal berikut :

1. Tasybih, yakni menyerupakn sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Seperti yang dilakukan
orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih bin Maryam dengan Allah SWT, orang Yahuda
menyerupakan ‘Uzair dengan Allah, orang-orang musyrik menyerupakan patung-patung mereka
dengan Allah, dan beberapa kelompok yang menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk ,
tangan Allah dengan tangan makhluk, pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk, dan lain
sebagainya.
2. Tahrif, yaitu mengubah atau mengganti. Artinya mengubah lafazh-lafazh nama Allah SWT dengan
menambah atau mengurangi atau mengubah artinya, yang oleh para ahli bid’ah diklaim sebagai
takwil, yaitu memahami satu lafazh dengan makna yang rusak dan tidak sejalan dengan makna yang
digunakan dalam bahasa Arab. Seperti pengubahan kata dalam firman Allah SWT “Wakallamallahu
musa taklima” menjadi “Wakallamallaha”. Dengan demikian, mereka bermaksud menafikan sifat
kalam (berbicara) dari Allah SWT.
3. Ta’thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi). Yakni menampik sifat Allah dan menyagkal
keberadaannya pada Dzat Allah SWT, semisal menampik kesempurnaan-Nya dengan cara
membantah nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan ibadah kepada-Nya, atau menampik
sesuatu sebagai ciptaan Allah SWT, seperti orang yang menyatakan bahwa makhluk-makhluk ini
qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah menciptakan dan membuatnya).
4. Takyif (menentukan kondisi dan menetapkan esensinya). Metode dalam memahami nama dan sifat
Allah SWT yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melakukan tasybih, tahrif,
ta’thil dan takyif ini merupakan mazhab salaf. Asy-Syaikani mengatakan, “Sesungguhnya, mazhab
salaf, yakni kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, adalah memberlakukan dalil-dalil tentang
sifat-sifat Allah SWT sesuai dengan zhahirnya tanpa melakukan tahrif, ta’wil yang dipaksakan, dan
tidak pula ta’thil yang mengakibatkan terjadinya banyak ta’wil. Dan jika mereka ditanya tentang
sifat-sifat Allah SWT, mereka membacakan dalil lalu menahan diri dari mengatakan pendapat itu
dan ini seraya mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui lebih dari itu.

Ulama salaf tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak mereka ketahui dan apa yang
tidak yang tidak Allah SWT izinkan untuk meraka lampaui. Jika ada seorang penanya menginginkan
penjelasan melebihi dari zahir, maka mereka segera mencegahnya dari apa yang tidak mungkin merfeka
capai selain terjerumus dalam bid’ah dan melarangnya dari hal yang tidak tidak diajarkan Rasulullah
SAW, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in.

C. Makna Kalimat Laa Ilaaha IlIa-Allah

Kalimat Laa Ilaaha IlIa-Allah mengandung dua makna, yaitu :

Makna penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah SWT, dan makna menetapkan bahwa satu-
satunya sesembahan yang benar hanyalah Dia semata. Berkaitan dengan kalimatini Allah SWT
berfirman :

ُ ‫فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هَّللا‬

Artinya :"Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah".
(Qs. Muhammad : 19)

Berdasarkan ayat di atas, bahwa memahami makna syahadat adalah wajib hukumnya dan mesti
didahulukan dari pada rukun-rukun Islam yang lain. Rasulullah SAW juga menegaskan :"Barang siapa
yang mengucapkan laa ilaaha illa-Allah dengan ikhlas maka akan masuk ke datang surga."(HR.
Ahmacl). Yang dimaksud dengan ikhlas di sini adalah memahami, mengamalkan dan mendakwahkan
kalimat tersebut sebelum yang lainnya.
Rasulullah sendiri mengajak paman beliau Abu Thalib menjelang detik-detik kematiannya dengan
ajakan :"Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaaha illa-Allah, sebuah kalimat yang aku akan jadikan ia
sebagai nutfah di hadapan Allah". Akan tetapi, Abu Thalib enggan untuk mengucapkan dan meninggal
datam keadaan musyrik.

Selama 13 tahun di Makkah. Nabi Muhammad SAW mengaiak orang-orang dengan perkataan
beliau :"Katakan laa ilaaha illa-Allah”.Kemudian orang-orang kafir menjawab :"Beribadah kepada
sesembahan yang satu. Tidak pernah kami dengar dari orang tua kami". Orang Quraisy di zaman
Rasulullah sangat paham makna kalimat tersebut, dan barang siapa yang mengucapkannya tidak akan
menyeru/berdoa kepada selain Allah.

1. Syarat-syarat Laa Ilaaha IlIa-Allah


Bersaksi dengan laa ilaaha illa-Allah harus dengan tujuh syarat.Tanpa syarat-syarat itu kesaksian
tersebut tidak akan bermanfaat bagi yang mengikrarkannya. Secara singkat tujuh syarat itu ialah :
‘ilmu (mengetahui), yang menafikan jahl (Kebodohan)
Yaqin (yakin), yang menafikan syak (keraguan)
Qabul (menerima), yang menafikan radd (penolakan)
Inqiyad (patuh), yang menafikan tark (meninggalkan)
Ikhlash, yang menafikan syirik
Shidq (jujur), yang menafikan kidzb (dusta)
Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha’ (kebencian).

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :

Syarat pertama :'llmu (Mengetahui)

Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang
ditetapkan serta menafikan ketidaktahuannya tentang hal tersebut.

ِّ ‫ك الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ ِم ْن دُونِ ِه ال َّشفَا َعةَ إِال َم ْن َش ِه َد بِ ْال َح‬


َ‫ق َوهُ ْم يَ ْعلَ ُمون‬ ُ ِ‫َوال يَ ْمل‬

Artinya :"Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafaat ;
akan tetapi (orang yang dapat nemberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan
mereka meyakini (nya)”. (QS. Az-Zukhruf : 86)

Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illa Allah dan memahami dengan hatinya apa
yang diikrarkan oleh lisannya seandainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maknanya,
maka persaksiaan itu tidak sah dan tidak berguna.

Syarat kedua: Yaqin (yakin)

Orang yang mengingkarkannya harus meyakini kandungan kalimat laa ilaaha illa-Allah itu.
Manakala ia meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu. Allah SWT berfirman:

َ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ الَّ ِذينَ آ َمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه ثُ َّم لَ ْم يَرْ تَابُوا َو َجاهَدُوا بِأ َ ْم َوالِ ِه ْم َوأَ ْنفُ ِس ِه ْم فِي َسبِي ِل هَّللا ِ ۚ أُو ٰلَئِكَ هُ ُم الصَّا ِدقُون‬
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu", (Qs. Al-Hujurat : 15)

Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi Muhammad Saw besabda:”Siapa yang engkau temui
di balik tembok (kebun) ini, yang menyaksikan bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang
menyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan) surga” (HR. Al-Bukhari). Maka siapa
yang tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk surga.

Syarat ketiga: Qabul (Menerima)

Menerima kandungan dan konsekuensi dari laa ilaaha illa-Allah, menyembah Allah semata dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Siapa yang mengucapkannya, tetapi tidak menerima dan
mentaati, maka ia germasuk orang-orang yang difirmankan Allah:

ِ ‫إِنَّهُ ْم َكانُوا إِ َذا قِي َل لَهُ ْم اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ يَ ْستَ ْكبِرُونَ َويَقُولُونَ أَئِنَّا لَت‬
ٍ ُ‫َار ُكو آلِهَتِنَا لِ َشا ِع ٍر َمجْ ن‬
‫ون‬

Artinya : “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illa-
Allah”(Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan
mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembah-sembahan kami karena
seorang penyair gila?”.(QS. Ash-Shafat: 35-36)

Syarat keempat: Inqiyaad (Tunduk dan Patuh)

Allah SWT berfirman:


ُ
ِ ‫ك بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْثقَ ٰى ۗ َوإِلَى هَّللا ِ عَاقِبَةُ اأْل ُم‬
۞ ‫ور‬ َ ‫َو َم ْن يُ ْسلِ ْم َوجْ هَهُ إِلَى هَّللا ِ َوهُ َو ُمحْ ِس ٌن فَقَ ِد ا ْستَ ْم َس‬

Artinya : “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh”.(QS.
Luqman : 22)

Syarat kelima: Shidq (Jujur)

Yaitu mengucapakan kalimat laa ilaaha illa-Allah dan hatinya juga membenarkannya. Manakala
lisannya mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta. Allah
SWT berfirman:

َ‫ ُعرُوْ ن‬C‫هُ ْم َو َمايَ ْش‬C‫ َد ُعوْ نَ إِآل أَ ْنفُ َس‬C‫وْ ا َو َمايَ ْخ‬CCُ‫ ِد ُعوْ نَ ٱهللَ َوٱلَّ ِذ ْينَ ٰأ َمن‬C‫ؤ ِمنِ ْينَ ۝ي ُٰخ‬C ٰ ‫ٱليَوْ م‬C
ْ C‫اهُ ْم بِ ُم‬CC‫ ِر َو َم‬C‫ٱأل ِخ‬ ٰ
ِ ْ Cِ‫وْ ُل أ َمنَّابِٱهللِ َوب‬CCُ‫اس َم ْن يَّق‬
ِ َّ‫َو ِمنَ ٱلن‬
َ‫۝فِى قُڶوبِ ِه ْم َّم َرضٌ فَ َزا َدهُ ُم ٱڶڶهُ َم َرضًا ۖ َوڶَهُ ْم َع َذابٌ أَڶِ ْي ٌم بِ َما َكنُوْ يَ ْك ِذبُوْ ن‬ ُ

Artinya : “Di antara manusia ada yang mengatakan:”Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian”. Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak
menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang
mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siska yang pedih, disebabkan mereka berdusta”.(QS. Al-Baqarah: 8-10)
Syarat keenam : Ikhlas

Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syrik, dengan jalan tidak mengucapkannya karena
mengingkari isi dunia, riya’ atau sum’ah. Dalam hadis Rasulullah dikatakan:”Sesungguhnya Allah
mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illa-Allah karena mengiginkan
ridha Allah”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syarat ketujuh : Mahabbah (Kecintaan)

Maksudnya mencintai kalimat laa ilaaha illa-Allah, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan
konsekuensinya. Allah SWT berfirman:

َ‫ َّوة‬C ُ‫اب أَ َّن ْالق‬


َ ‫ َذ‬C‫ًّا هَّلِل ِ ۗ َولَوْ يَ َرى الَّ ِذينَ ظَلَ ُموا إِ ْذ يَ َروْ نَ ْال َع‬C²‫ُون هَّللا ِ أَ ْندَادًا يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا ِ ۖ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ َش ُّد ُحًب‬
ِ ‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن د‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
‫ب‬ِ ‫د ْال َع َذا‬Cُ ‫هَّلِل ِ َج ِميعًا َوأَ َّن هَّللا َ َش ِدي‬

Artinya : “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tanding-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Allah”.(QS. Al-Baqarah: 165)

Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih sedangkan ahli syrik mencintai
Allah dan mencintai yang lain. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan laa ilaaha illa-
Allah.

2. Konsekuensi laa ilaaha illa-Allah


Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala macam yang dipertuhankan sebagai
keharusan dari peniadaan laa ilaaha illa-Allah. Dan beribadah kepada Allah semata tanpa unsur
kesyirikan sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan ilaa-Allah.
Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehungga mereka menetapkan
ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa makhluk, kuburan, pepohonan, bebatuan serta para
thaghut lainnya. Dengan kata lain, orang tersebut mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah
dan menjauhi segala yang dilarang-Nya.

D. Tauhid sebagai Landasan bagi Semua Aspek kehidupan


Tauhid dalam pandangan islam merupakan akar yang melandasi setiap aktivitas manusia.
Kekokohan dan tegaknya tauhid mencerminkan luasnya pandangan, timbulnya semangat beramal
dan lahirnya sikap optimistik. Sehingga tauhid dapat digambarkan sebagai sumber segala perbuatan
(amal shalih) manusia.
Sebetulnya formulasi tauhid terletak pada realitas sosial. Adapun bentuknya, tauhid menjadi titik
sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas
historis-empiris. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan
merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif yang lebih anggun dan segar.

Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Itu sebabnya, dehumanisasi merupakan tantangan
tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid, yaitu memberikan perubahan terhadap
masyarakat. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis
sebagaimana tertera dalam firman Allah:

ِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬


ِ ‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل‬ ْ ‫ُك ْنتُ ْم َخ ْي َر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلن‬
Artinya :“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan
kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah”.(QS. Ali’Imran: 110).

Kuntowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik,
yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujuannya supaya diarahkan untuk
merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.

E. Jaminan Allah Bagi Ahli Tauhid


Tidak diragukan lagi bawa tauhid memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Oleh
karena itu, bagi siapa yang mampu merealisasikan tauhid dengan benar akan mendapat beberapa
keistimewaan. Bagi orang-orang yang termasuk ahli tauhid, Allah janjikan banyak sekali
kebahagian,baik di dunia, lebih-lebih di akhirat. Itu semua hanya khusus diberikan bagi ahli tauhid.

1. Ahli Tauhid Mendapatkan Keamanan dan Petunjuk


Seorang yang bertauhid dengan benar akan mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Allah SWT
menegaskan dalam firman-Nya :

َ ِ‫الَّ ِذينَ آ َمنُوا َولَ ْم يَ ْلبِسُوا إِي َمانَهُ ْم بِظُ ْل ٍم أُولَئ‬


َ‫ك لَهُ ُم األ ْمنُ َوهُ ْم ُم ْهتَ ُدون‬

Artinya : “ Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman meraka dengan
kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapa keamanan dan mereka itu adalah –orang-orang
yang mendapatkan petunjuk’. (QS. Al-An’am: 82).

Kezhaliman meliputi tiga perkara, yaitu kezhaliman terhadap hak Allah yaitu dengan berbuat
syirik, kezhaliman seseorang terhadap dirinya sendiri yaitu dengan berbuat maksiat, dan
kezhaliman seseorang terhadap orang lain yaitu dengan menganiaya orang lain.

Kezhaliman adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kesyirikan disebut kezhaliman
karna menunjukan ibadah kepada yang tidak berhak menerimanya. Ini merupakan kezhaliman
yang paling zhalim. Hal ini karena pelaku syirik menunjukan ibadah kepada yang tidak berhak
menerimanya, mereka menyamakan Al-Khaliq (Sang Pencipta) dengan makhluk, menyamakan
yang lemah dengan Maha Perkasa.
Yang dimaksud dengan kezhaliman dalam ayat di atas adalah syirik, sebagaimana dijelaskan oleh
Rasulallah SAW ketika menafsirkan ayat ini. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “ Ketika
ayat ini turun,terasa beratlah di hati para sahabat, mereka mengatakan siapakah di antara kita yang
tidak pernah menzhalimi dri sendiri (berbuat maksiat), maka rasulallah SAW bersabda : “Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “ Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya , mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezhaliman yang besar.(QS. Lukman : 13)”

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan keimanan mereka dengan kezhaliman
(kesyirikan). Mereka akan mendapatkan rasa aman di dunia dan di akhirat serta mendapatkan
keamanan di dunia berupa ketenangan hati, dan keamanan di akhirat dari hal-hal yang ditakti yang
akan terjadi di Hari Akhir. Petunjuk yang mereka dapatkan di dunia berupa ilmu yang bermanfaat
dan amal shalih, sedangkan petunjuk diakhirat berupa petunjuk yang mereka dapatkan sesuai
dengan kadar tauhidnya. Semakin sempurna Tauhid seseorang, semakin besar keamanan dan
petunjuk yang akan diperoleh.

2. Ahli Tauhid Djamin Masuk Surga.

Rasulullah SAW bersabda :

‫ك لَهُ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُهُ َوأَ َّن ِعي َسى َع ْب ُد هَّللا ِ َو َرسُولُهُ َو َكلِ َمتُهُ أَ ْلقَاهَا‬
َ ‫َم ْن َش ِه َد أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري‬

‫ق أَ ْد َخلَهُ هَّللا ُ ْال َجنَّةَ َعلَى َما َكانَ ِم ْن ْال َع َم ِل‬ ٌّ ‫إِلَى َمرْ يَ َم َورُو ٌح ِم ْنهُ َو ْال َجنَّةُ َح‬
ٌّ ‫ق َوالنَّا ُر َح‬

Artinya :” Barangsiapa yang bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada ilah (sesembah) yang berhak
disembah selain allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan rosul-Nya, dan ‘Isa adalah hamba dan rasul-Nya, dan kalimat yang disampaikan-Nya
kepada Maryam serta ruh dari-Nya dan bersaksi bawha surga dan neraka benar adanya, maka Allah
akan memasukkannya ke dalam surga, sesuai amal yang telah dikerjakannya”.

Ini merupakan janji dari Allah SAW untuk ahli Tauhid bawha mereka akan dimasukkan ke dalam
surga. Ahli Tauhid adalah mereka yang bersyahadat (bersaksi) dengan persaksian yang disebut
dalam hadis diatas. Maksud syahadat yang benar harus terkandung tiga hal, yaitu mengucapkannya
dengan lisan, memahami maknanya, dan mengamalkan segala konsekuensinya. Tidak cukup hanya
sekedar mengucapkan saja.

Sesuai amal yang telah dikerjakannya ada dua tafsiran :

Pertama, mereka akan masuk surga walaupun memiliki dosa-dosa selain syirik karena dosa-dosa
selain syirik tersebut tidak menghalanginya untuk masuk ke dalam surga, baik masuk surga secara
langsung maupun sempat diazab di neraka lalu akhirnya masuk surga. Ini merupakan keutamaan
tauhid yang dapat menghapuskan dosa-dosa dengan izin Allah dang mnghalangi seseorang dengan
amal shalihnya.
Kedua, ,mereka akan masuk surga, namun kedudukan mereka dalam surga sesuai dengan amalan
merka, karena kedudukan seseorang di surga bertingkat-tingkat sesuai amal shalihanya.

3. Ahli Tauhid Diharamkan dari Neraka

Sungguh, neraka adalah seburuk-buruk tempat kembali. Betapa bahagianya seseorang yang tidak
mnjadi penghuni neraka. Hal ini akan didapatkan oleh sesorang yang bertauhid dengan benar.
Sabda Rasullalah SAW:

ِ ‫ار َم ْن قَا َل الَ إِلَهَ إِالَّ هَّللا ُ يَ ْبتَ ِغ ْي بِ َذلِكَ َوجْ هَ هَّللا‬
ِ َّ‫فَإ ِ َّن هَّللا َ قَ ْد َح َّر َم َعلَى الن‬.
Artinya : “ Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang menatakan La ilaaha illa-
Allah, yang di ucapkan ikhlas mengharapkan wajah Allah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Pengharaman dari neraka ada dua bentuk. Pertama, diharamkan masuk neraka secara mutlak dalam
arti dia tidak akan pernah masuk neraka sama sekali. Boleh jadi dia mempunyai dosa, lalu Allah
SWT mengampuninnya atau dia termasuk golongan orang-orang yang masuk surga tanpa hisab
dan tanpa azab. Kedua, diharamkan kekal masuk neraka dalam arti dikeluarkan dari neraka setelah
sempat dimasukkan ke dalamnya selama beberapa waktu.

4. Ahli Tauhid Diampuni Dosa-dosanya.

Hidup kita tidak luput dari gelimbang dosa dan maksiat. Karena itu pengampunan dosa adaalah
sesuatu yang sangat kita harapkan. Dengan melaksanakan tauhid swcara benar, menjadi sebab
terbesar dapat menghapus dosa-dosa kita. Rasulallah SAW bersabda :

Yang Artinya : “ Allah berfirman : ‘ Wahai anak adam, sesungguhnya sekiranya kamu kamu datang
pada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, keumdian kamu datang kepada-Ku tanpa menyrkutukan
sesuatu pun dengan-Ku, maka aku akan mendtangimu dengan ampun sepenuh bumi pula”. (HR.
Tirmidzi)

Dalam hadist ini Rasulallah mengabarkan tentang luasnya keutamaan dan rahmat Allah. Allah
akan menghapus dosa-dosa yang besar sekalipun selama itu bukan dosa syirik. Semakna dengan
hadist ini seperti difirmankan Allah :

‫إِ َّن هَّللا َ اَل يَ ْغفِ ُر أَ ْن يُ ْش َركَ بِ ِه َويَ ْغفِ ُر َما ُدونَ َذلِكَ لِ َم ْن يَ َشا ُء َو َم ْن يُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ فَقَ ِد ا ْفت ََرى إِ ْث ًما َع ِظي ًما‬

Artinya :’ Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang lain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya, Barangsiapa siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisaa’:48)
5. Jaminan Bagi Masyarakan yang Bertauhid

Kebaikan tauhid ternyata tidak hanya bermanfaat bagi individu. Jika sesuatu masyarakat benar-
benar merealisasikan tauhid dalam kehidupan mereka, Allah SWT akan memberikan jaminan bagi
mereka

Sebagaimana friman-Nya Yang Artinya :

“ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan merka berkuasa di muka
bumi, sebagaimanan Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah dirikhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar(keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka merka itulah orang-orang yang fasik”.(QS.
An-Nur:55)

Dalam ayat di atas Allah SWT memberikan bebrapa jaminan bagi sesuatu masyarakat yang mau
mengimplementasikan nilai-nilai ketauhidan dalam kehidupan, yaitu mendapat kekuasaan di muka
bumi, mendapat kemantapan dan keteguhan dalam beragama, serta mndapat keamanan dan
dijauhkan rasa takut.

Dalam ayat di atas Allah SWT memebrikan beberapa jaminan bagi suatu masyarakat yang mau
mengimplementasikan nila-nilai ketauhidan dalam kehidupan, yaitu mendapat kekuasaan di muka
bumi, mendapat kemantapan dan keteguhan dalam beragama, serta mndapat keamanan dan
dijaukan dari rasa takut.

Demikian sebagian di antara jaminan yang akan didapatkan oleh ahli tauhid. Mengutip Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di, termasuk keutamaan Tauhid adalah :

a. Dapat menghapus dosa-dosa.


b. Merupakan faktor terbesar dalam melapangkan berbagai kesusuhan serta bisa menjadi
penangkal dari berbagai akibat buruk dalam kehidupan dunia dan akhirat.
c. Mencegah kekekalan dalam api neraka meskipun dalam hati hanya tertanam keimanan sebesar
biji sawi. Juga mencegah masuk neraka secara mutlak bila dia menyempurnakan dalam hati. Ini
termasuk keutamaan tauhid yang paling mulia.
d. Merupakan sebab satu-satunya untuk menggapai ridha Allah SWT dan pahala-Nya. Orang yang
paling bahagia dalam memperoleh syafaat Rasulallah adalah mengucapkan laa ilaaha illa-Allah
dengan ikhlas dari hatinya.
e. Penerimaan seluruh amalan dan ucapan baik yang tampak dan yang tersembunyi
tergantung kepada tauhid seseorang. Demikian pula penyempurnaan dan pemberian
ganjarannya. Perkara-perkara ini menjadi sempurna dan lengkap tatkala tauhid dan keikhlasan
kepada Allah SWT menguat. Ini termasuk keutamaan tauhid yang paling besar.
f. Memudahkan seorang hamba untuk melakukan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan
kemungkaran-kemungkaran serta menghibur tatkala menghadapi berbagai musibah. Sesorang
yang ikhlas kepada Allah SWT dalam beriman dan bertauhid akan merasa ringan untuk
melakukan ketaatan-ketaatan karena dia menghadapkan pahala dan keridhaan Rabb-Nya.
g. Bila tauhid sempurna dalam hati seseorang, Allah menjadikannya mencintai keimanan.
Kemudian Allah menjadikan orang tersebut membenci kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Juga Allah akan menggolongkan ke dalam orang-orang yang terbimbing.
h. Meringankan segala kesulitan dan rasa sakit. Semua itu sesuai dengan menyempurnakan tauhid
dan iman yang dilakukan oleh seorang hamba. Sesuai pula dengan sikap seseorang hamba saat
menerima segala kesulitan dan rasa sakit dengan hati yang lapang, jiwa yang tenang, dan ridha
terhadap ketentuan-ketentuan-Nya.
i. Melepaskan seorang hamba dari ketergantungan dan pengharapan kepada makhluk. Inilah
keagungan dan kemuliaan yang hakiki. Bersamaan dengan itu dia hanya beribadah dan
menghambakan diri kepada Allah, dengan mengharap hanya kepada Allah.
j. Bila tauhid sempurna dalam hati seseorang dan terealisasi lengkap dengan keikhlasan, amal
yang sedikit akan berubah menjadi banyak. Segenap amal dan ucapan berlipat ganda tanpa
batas dan hitungan. Kalimat ikhlas menjadi berat dalam timbangan amal sehingga tidak
terimbangi oleh langit dan bumi beserta seluruh penghuninya.
k. Allah SWT menjamin kemenangan, pertolonga, kemuliaan, kemudahan danpetunjuk d dunia
bagi pemilik tauhid, Cukup banyak dalil yang menguatkan keterangan ini baik dari Al- Qur’an
maupun As-Sunnah.

Dengan demikian cukup besar dan banyak keutamaan yang Allah limpahkan bagi para hamba-Nya
yang bertauhid, Sangat beruntung orang yang bisa menggapai seluruh keutamaannya. Namun
keberhasilan total hanya milik orang-orang yang mampu menyempurnakan tauhid sepenuhnya.
Tentu manusia bertingkat-tingkat dalam wujud tauhid kepada Allah SWT. Mereka tidak berada
pada satu tingkatan. Masing-masing menggapai keutamaan tauhid sesuai dengan prestasi dalam
menerapkan tauhid.

F. Penutup

Setiap muslim hendak meyakini bahwa tauhid adalah dasart Islam yang paling agung dan istimewa.
Jika tauhid yang murni terealisasikan dalam hidup seseorang, baik pribadi maupun jama’ah, akan
memetik buah yang amat manis. Di antara buah yang didapat adalah memerdekakan manusia dari
perbudakan serta tunduk kepada selain Allah, baik benda-benda atau makhluk lainnya, juka akan
memebentuk keperibadian yang kokoh.

Karena itu, siapa pun yang mampu mengamalkan nilai-nilai ketauhidan dengan benar dalam segala
aktivitasnya, niscaya mendapat ketauhidan dengan benar dalam segala aktivitasnya, niscaya
mendapat banyak keistimewaan. Allah SWT menjanjikan bagi para ahli Tauhid aneka kebahagiaan,
baik di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz.Abdul,Pelajaran Tauhid Untuk Pemula, Terj. Ainul Haris Umar Arifin

Anda mungkin juga menyukai