Anda di halaman 1dari 14

Adapun dalam penerapannya azaz legalitas itu dapat dikelompokkan menurut klasifikasi sebagai

berikut:

A. Kelompok Hudud
1. Jarimah zina
Zina adalah setiap persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang berlainan jenis tanpa
melalui akad nikah yang sah, bukan karena semu-nikah atau bukan karena pemilikan
(terhadap hamba). Dalam menentukan hokum zina secara syara’ dapat dibedakan antara
zina yang dilakukan oleh orang yang muhshon (yang sudah pernah kawin), dan gholiu
muhshon (yang belum pernah kawin). Secara legalitas orang yang belum pernah kawin
diungkapkan dalam al-qur’an surat An-Nur ayat 2 sebagai berikut:

ِ ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ِمائَةَ َج ْل َد ٍة ۖ َواَل تَأْ ُخ ْذ ُك ْم بِ ِه َما َر ْأفَةٌ فِي ِد‬
َ‫ين هَّللا ِ إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُون‬ ِ ‫ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِي فَاجْ لِ ُدوا ُك َّل َو‬
َ‫ِباهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۖ َو ْليَ ْشهَ ْد َع َذابَهُ َما طَائِفَةٌ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِين‬

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Selain ayat tersebut diatas terdapat pula di dalam hadits nabi yang mengatakan sebagai berikut:
“terimalah dariku, terimalah dariku, terimalah dariu, allah telah memberi jalan kepada mereka
wanita wanita gadis, jilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, dan janda (orang yang
telah pernah kawin) dijilid seratus kali dan dirajam dengan batu.

Dari ayat dan hadis diatas tegas dinyatakan bahwa sanksi zina itu dijilid seratus kali bahkan
dapat pula tambahan hukuman dengan pengasingan selama satu tahun, sekalipun hukuman
pengasingan itu masih terdapat perbedaan pendapat ulama, terutama bagi pezina perempuan,
sebab sangat dikhawatirkan akan bertambah parah situasinya di tempat pengasingan tersebut.
Dalam syariat islam tidak hanya zinanya itu yang diharamkan, melainkan jalan-jalan yang
ditempuh untuk terwujudnya perbuatan itupun tetap diharamkan sebagaimana yang diungkapkan
dalam firman allah dalam surat Al-Isra’ ayat 32:

‫يل أَاَّل تَتَّ ِخ ُذوا ِم ْن ُدونِي َو ِكياًل‬


َ ِ‫َاب َو َج َع ْلنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِس َْرائ‬
َ ‫َوآتَ ْينَا ُمو َسى ْال ِكت‬

Artinya: Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi
Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku

Dalam penerapan legalitas ini perlu juga diketahui bahwa didalam kasus zina yang telah
berlurang-ulang dilakukan oleh pelaku kemudian baru tertangkap, maka dalam penerapan sanksi
hukumannya berlaku teori tadakhul, sanksi yang diterapkan hanya satu kali saja. Lain halnya
kalau berulang-ulang pada setiap ia berbuat kemudia tertangkap; hal ini tetap dihukum dan
manakala kali yang lain ia berbuat lagi dan tertangkap maka akan dikenakan sanksi lagi.

Teori tadakhul hanya berlaku untuk perbuatan jarimah sejenis, tetapi apabila perbuatan jarimah
itu berbeda-beda jenisnya, maka tidak berlaku lagi teori tadakhul ini pada masing-masing jenis
jarimah itu dikenakan sanksi nya seperti seseorang berzina, kemudian mencuri dan meminum-
minuman keras. Maka seseorang itu akan diterapkan ketiga tiga sanksi tersebut.

2. Tuduhan zina
Tuduhan itu sendiri berarti kata kata yang dilontarkan yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Dalam pidana islam dijelaskan bahwa setiap orang yang menuduh seseorang
berbuat sesuatu yang diharamkan syara’, maka ia wajib membuktikan tuduhannya itu,
manakala ia tidak dapat membuktikan tuduhannya itu maka ia wajib dikenai hukuman,
maka masalah pembuktian adalah sangat menentukan sanksi hukuman.

Adapun hukum secara legalitas qadzaf ini adalah firman Allah SWT dalam suart An-Nur
ayat 4:

ۚ ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَأْتُوا بِأَرْ بَ َع ِة ُشهَدَا َء فَاجْ لِ ُدوهُ ْم ثَ َمانِينَ َج ْل َدةً َواَل تَ ْقبَلُوا لَهُ ْم َشهَا َدةً أَبَدًا‬ َ ْ‫َوالَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ ْال ُمح‬
ِ ‫صنَا‬
َ‫اسقُون‬ ِ َ‫َوأُو ٰلَئِكَ هُ ُم ْالف‬
artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan
mereka itulah orang-orang yang fasik.

3. Meminum khamar
Khamar (minuman keras) adalah jenis minuman yang mengandung alcohol di dalamnya.
Bahkan majelis ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa setetes saja
dalam minuman hukumnya haram. Islam melarangkan khamar atau minuman keras itu
karna dapat merusak akal, larangan ini tertuju pada setiap minuman keras yang potensial
dapat memabukkan dan biasanya memang dipergunakan untuk mabuk-mabukan. Apakah
peminum sampai mabuk atau tidak tapi hukumnnya tetap haram.

Secara legalitas banyak ayat-ayat yang mengangkat hal ini, antara lain surat Al-Maidah
ayat 90:

‫نصابُ َوٱأْل َ ْز ٰلَ ُم ِرجْ سٌ ِّم ْن َع َم ِل ٱل َّش ْي ٰطَ ِن فَٱجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم‬
َ َ ‫ٰ َيٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا إِنَّ َما ْٱلخَ ْم ُر َو ْٱل َمي ِْس ُر َوٱأْل‬
َ‫تُ ْفلِحُون‬

artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 91 dijelaskan pula sebagai berikut:

ُ َ‫ضا َء فِي ْالخَ ْم ِ–ر َو ْال َمي ِْس ِر َوي‬


‫ص َّد ُك ْم ع َْن ِذ ْك ِر هَّللا ِ َوع َِن‬ َ ‫َاوةَ َو ْالبَ ْغ‬
َ ‫ان أَ ْن يُوقِ َع َب ْينَ ُك ُم ْال َعد‬ ُ َ‫إِنَّ َما ي ُِري ُد ال َّش ْيط‬
َ‫صاَل ِة ۖ فَهَلْ أَ ْنتُ ْم ُم ْنتَهُون‬
َّ ‫ال‬

Artinya: Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)
Di dalam ayat diatas allah tidak mengungkapkan secara tegas tentang sanksi hukuman pidana
minuman keras, akan tetapi ketegasan sanksi itu diungkap dalam hadits sebagai berikut: “nabi
telah menjilid atu telah memukul peminum khamar itu dengan pelepah khamar dan sandal
demikian pula abu bakar telah menjilid empat puluh kali jilid”. Bahkan ada pendapat ulama yang
menambahnya sampai delapan puluh kali dera seperti yang diungkapkan oleh Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik.

4. Pencurian
Pencurian adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi / diam-diam.
Unsur yang sangat menonjol dalam itu adalah mengambil dengan jalan sembunyi-
sembunyi dan sangat takut dilihat, atau diketahui orang lain, apalagi oleh pemiliknya.
Suatu pencurian baru dianggap sempurna apabila memenuhi:
 Pencuri mengeluarkan barang dari hirz / tempat penyimpanannya.
 Barang yang dicuri itu telah dipindah tangankan kepada pencuri, dan ia telah
memilikinya.
 Barang yang dicuri telah lepas dari tangan pemiliknya.
Ketiga hal tersebut di atas harus menyatu dalam membentuk tindak pidana pencurian atau
berdiri secara komulatif, artinya apabila salah satu diantaranya tidak maka sanksi
hukumnya berpindah dari yang seharusnya had (potong tangan) menjadi hokum ta’zir.
Secara legalitas, masalah pencurian diatur dalam surat Al-Maidah ayat 38

ِ ‫َّارقَةُ– فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َجزَ ا ًء ِب َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Tentang tanagan mana yang dipotong itu dalam penjelasan hadits nabi, yakni pergelangan
tangan kanan. Dalam jarimah pencurian ini pelaksanaan potong tangan itu adalah apabila
nilai barang yang dicuri tersebut sudah bernilai sati mijan yang seukuran dengan tiga
dirham atau satu nisab. Adapun syarat-syarat hukuman potong tangan atas pencurian
adalah:
 Pencurinya telah baligh
 Pencuri benar benar telah mengambil harta orang lain yang tidak ada syubhat
milik baginya.
 Pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semestinya sesuai dengan
harta yang dicurinya.
 Harta yang dicuri memenuhi nisab
 Pencurian tidak terjadi karena desakan daya paksa, seperti wabah kelaparan yang
memang mencuri untuk menyelamatkan nyawanya. Maka yang dapat
dilaksanakan disini bukan had tetapi Ta’zir.

5. Perampokan
Perampokan dalam istilah jinayat disebut juga dengan hirabah. Maksudnya adalah
kejahatan merampas harta di jalan umum dengan ancaman kekerasan. Umumnya jarimah
hirabah ini dilakukan oleh sekolompok orang yang bersenjata api atau bersenjata tajam,
yang digunakan untuk pencegatan lalu lintas, apakah di siang maupun di mlam hari
dengan bermacam-macam variasi. Ada yang mengambil harta secara terang-terangan dan
mengadakan penekanan-penekanan terhadap korban dan tidak membunuh, adapula
langsung merampok mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
Kesemua bentuk-bentuk variasi tersebut di atas termasuk jarimah perampok yang
menitikberatkan kepada adanya kekuatan yang luar biasa, apakah itu bersifat fisik atau
senjata yang canggih dan sulit untuk dikalahkan. Secara legalitas dalam menentukan
besarnya sanksi jarimah perampokan ini adalah terdepat dalam firman Allah surat Al-
Maidah ayat 33:

‫ُصلَّبُوا أَوْ تُقَطَّ َع أَ ْي ِدي ِه ْم‬


َ ‫ض فَ َسادًا أَ ْن يُقَتَّلُوا أَوْ ي‬
ِ ْ‫اربُونَ هَّللا َ َو َرسُولَهُ َويَ ْس َعوْ نَ فِي اأْل َر‬
ِ ‫إِنَّ َما َجزَ ا ُء الَّ ِذينَ ي َُح‬
ٌ ‫ض ۚ ٰ َذلِكَ لَهُ ْم ِخ ْز‬
ِ ‫ي فِي ال ُّد ْنيَا ۖ َولَهُ ْم فِي اآْل ِخ َر ِة َع َذابٌ ع‬
‫َظي ٌم‬ ِ ْ‫ف أَوْ يُ ْنفَوْ ا ِمنَ اأْل َر‬
ٍ ‫َوأَرْ ُجلُهُ ْم ِم ْن ِخاَل‬
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar.

Sanksi-sanksi yang akan diterapkan sebagai berikut:

 Imam Malik menyatakan bahwa sanksi-sanksi yang disebutkan pada ayat di atas
menfaedahkan At-takhyiir (memilih) artinya, dari keempat sanksi yang disebutkan itu
hakim dapat memilih salah satu darinya.
 As-Syafi’I dan kawan-kawan menyatakan sanksi-sanksi itu dapat dirinci sebagai berikut:
a. Jika pelaku itu membunuh, tetapi tidak mengambil hartanya, maka dijatuhi hukuman
bunuh.
b. Jika mereka (pelaku) membunuh, dan mengambil harta korbannya maka pelakunya
di salib.
c. Jika pelakunya mengambil barang saja tidak membunuh, maka dipotong dan kakinya
secara bersilang.
d. Kalau perampok hanya menakut-nakuti saja, tidak mengambil suatu apapun dan juga
tidak melakukan pembunuhan, maka sanksinya adalah hokum ta’zir.
6. Al-Baghyu (pemberontakan)
Ulama berbeda pendapat dalam memberikan defenisi pemberontakan sebagai berikut:
 Menurut ulama Hanfiyah, pemberontakan itu adalah keluarnya seseorang untuk
tidak patuh kepada pimpinan yang sah.
 Menurut ulama Syafi’iyah, menjelaskan pemberontakan itu adalah orang muslim
yang menyalahi penguasa dengan jalan tidak menta’atinya dan menolak
kewajibannya dengan memiliki kekuatan dan memiliki kepemimpinan.
Dengan demikian dapat atau tidak dapatnya pemberontak itu diperangi adalah apabila
telah terpenuhi syarat-syarat berikut:
 Sekelompok orang yang memiliki kekuatan senjata yang lengkap.
 Benar-benar lari atau keluar dari kekuasaan atau tahanan pemerintah yang sah.
 Mempunyai rencana jahat
Dikalangan para fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai kapan saat dimulainya
boleh membunuh para pemberontak. Menurut ulama mazhab Hanafi, dimulai sejak
adanya tempat pemusatan-pemusatan kekuatan, dan menyatakan ketidak setiaannya
meskipun belum melancarkan peperangan ataupun serangan. Sedangkan menurut mazhab
Syafi’I, Malik, Ahmad, pemberontakan dapat dibunuh sejak adanya peperangan,
penyerangan, sabotase-sabotase. Bagi mereka pemberontakan hanya mengakibatkan
bolehnya diperangi atau hanya sekedar bela diri.
Adapun secara legalitas tentang sanksi pemberontakan itu dapat dijumpai pada surat Al-
Hujarat ayat 9, sebagai berikut:

‫َت إِحْ دَاهُ َما َعلَى اأْل ُ ْخ َر ٰى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَب ِْغي‬ ْ ‫َان ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ا ْقتَتَلُوا فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما ۖ فَإِ ْن بَغ‬ ِ ‫َوإِ ْن طَائِفَت‬
َ‫ت فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َوأَ ْق ِسطُوا ۖ إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬
ْ ‫َحتَّ ٰى تَفِي َء إِلَ ٰى أَ ْم ِر هَّللا ِ ۚ فَإِ ْن فَا َء‬

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Meskipun orang-orang pemberontak bleh diperangi, namun tawanan-tawanan mereka tidak boleh
dibunuh, sedangkan yang mengalami luka-luka harus dirawat dengan sebaik-baiknya, tidak boleh
dipercepat kematiannya, demikian pula harta benda tidak boleh dirampas.

7. Murtad (Riddah)
Murtad artinya keluar dari agama islam. Secara ilmu bahasa berarti arruju’, maksudnya
kembali dari sesuatu kepada lainnya. Menurut An-Nawawi, Riddah adalah terputus islam
oleh karena niat ataupun karena perkataan yang mengkafirkan ataupun perbuatan, sama
saja perbuatan yang memperolok-olokkan ataupun yang melawan.
Sanksi hukum Ridda adalah Ibnu Rusydi menjelaskan, para ulama sepakat pendapatnya
tentang sabda nabi yang mengatakan : “barang siapa yang menukar agamanya, maka
bunuhla ia”
Menurut Absul Qadir Audah, hukuman bunuh tersebut adalah sanksi hukum secara
umum. Apakah yang murtad itu laki-laki atau perempuan, apakah remaja atau orang
sudah tua. Akan tetapi terdapat perbedaan dikalangan ulama tentang perempuan yang
murtad tersebut sebagai berikut:
Ulama jumhur mengatakan bahwa perempuan yang murtad tetap dibunuh. Sedangkan
Abu Hanifah mengatakan tidak dibunuh, demikian dikatan Ibnu Rusydi. Sedangkan Abu
Hanifah beralasan , Rasulullah melarang perempuan yang kafir, apakah kafirnya itu kafir
asli. Sedangkan kafir asli saja dilarang untuk membunuhnya, apalagi membunuh kafir
yang disebabkan oleh berbaliknya dari islam. Dalam pada itu As-Syafi’I tidak
membedakan mereka yang taubat dari murtad, apakah orang tersebut lahir di kalangan
islam dan orang yang tidak dilahirkan dalam kalangan ini, dan apakah orang tersebut
telah beragama yang dizahirakan ataupun yang disembunyikan, oleh karena masing-
masing agama tersebutadalah kafir. Menurut As-Syafi’I yang menyatakan taubatnya
secara zhahir, tidaklah dibunuh. Pendirian Syafi’I ini sesuai dengan pendirian ahli-ahli
madinah dan mekkah. Konsekuensi lain dari riddah ialah terputusnya hubungan warisan.
Hal ini sudah disepakati oleh seluruh ulama dan hukum lainnya yang berkenaan dengan
sifat kemurtadan seseorang adalah tentang memakan hewan yang disembelihnya. Dalam
hukum islam sembelihan orang yang murtad tidak halal dimakan oleh orang islam, sebab
mereka yang murtad sesungguhnya telah menjadi kafir. 1

B. Kelompok Qishas-Diyat

Qhisas berasal dari kata qashasha yang berarti memotong dan dapat pula berarti
mengikuti, maksudnya mengikuti perbuatan pelaku sebagai pembalasan yang sama dari
perbuatannya itu atau disebut juga dengan Al-Mumatsilah.
Rumusnya adalah akibat yang sama yang dikenakan kepada orang yang menghilangkan
nyawa atau melukai atau menghilangkan anggota badan lain seperti yang dibuatnya.
Dengan kenyataan ini, maka hukum qhisas terdapat dua macam. Pertama, qhisas jiwa,
yakni hukum bunuh untuk jarimah pembunuhan. Kedua, hukum qhisas untuk anggota
badan yang terpotong ataupun yang dilukai. Adapun qhisas jiwa dalam jarimah

1
Nasir Cholis, Fiqh Jinayat, (Riau: Suska Press, 2008), Hlm 28
pembunuhan adalah merupakan salah satu dari tujuh macam dosa besar, dan pembunuhan
terletak sesudah dosa kekafiran.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’I, bahwa seseorang telah membunuh orang dengan
batu maka ia dibunuh pula dengan batu pula; yang membunuh dengan tongkat, dibunuh
dengan tongkat, yang mencekik dibunuh pula dengan cekik, yang menenggelamkan
dibunuh pula dengan cara menenggelamkannya.
Menurut Syafi’I jika seseorang mencampakkan orang lain ke dalam api hingga mati,
maka orang itu dicampakkan pula ke dalam api sampai mati, dan jika ia memukul dengan
batu hingga mati maka diberikan kepada walinya batu yang sama supaya ia
membunuhnya dengan batu itu, jika ia tidak mati dengan beberapa kali pukulan, maka ia
dibunuh dengan pedang. Dalam persoalan orang yang dikurung tanpa makanan dan
minuman sampai ia mati, maka ia dikurung pula, dan jika ia tidak mati dalam jangka
waktu yang sama, maka ia dibunuh dengan pedang.
Menurut Abu anifah, pelaksanaan hukum qhisas mestilah dilakukan dengan pedang.
Dalam syariat islam tidak diizinkan adanya tindakan hakim sendiri dalam melaksanakan
hukuman qhisas, sebab pelaksanaan hukum qhisas hanya dapat dilakukan setelah adanya
hukuman hakim yang meyakinkan atas suatu delik pembunuhan, dan kemudia
pelaksanaanya setelah ada izin dari kepala Negara atau Imam.
Ketentuan pidana qhisas dalam jarimah pembunuhan dengan sengaja itu disebutkan
dalam Al-Qur’an suart Al-Baqarah ayat 179 yang berbunyi:

ِ ‫اص َحيَاةٌ يَا أُولِي اأْل َ ْلبَا‬


َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬

artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa.

Ayat ini menegaskan bahwa jika pidana qhisas dilaksanakan dalam jumlah jarimah pembunuhan
sengaja, maka jarimah tersebut akan menjadi berkurang; berkurangnya jarimah pembunuhan
berarti suatu jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia. Sebaliknya jika pidana qhisas tidak
dilaksanakan orang tidak merasa takut untuk melakukan pembunuhan dengan sengaja, ini berarti
hilangnya jaminan terhadap kehidupan manusia.

Pembunuhan tidak sengaja (tersalah) azas legalitasnya diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat 92 sebagai berikut:

‫َو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن أَ ْن َي ْقتُ َل ُم ْؤ ِمنًا إِاَّل خَ طَأ ً ۚ َو َم ْن قَت ََل ُم ْؤ ِمنًا خَ طَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه‬
‫ص َّدقُوا ۚ فَإِ ْن َكانَ ِم ْن قَوْ ٍم َع ُد ٍّو لَ ُك ْم َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة ۖ َوإِ ْن َكانَ ِم ْن قَوْ ٍم بَ ْينَ ُك ْم‬ َّ َ‫إِاَّل أَ ْن ي‬
ِ َ‫ق فَ ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه َوتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة ۖ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
َ‫صيَا ُم َشه َْري ِْن ُمتَتَابِ َعي ِْن تَوْ بَةً ِمن‬ ٌ ‫َوبَ ْينَهُ ْم ِميثَا‬
‫هَّللا ِ ۗ َو َكانَ هَّللا ُ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬

Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka
dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang
tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat ini terdapat dalam beberapa ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

 Seorang mukmin yang membunuh mukmin lain karena salah diwajibkan membayar
kifarat, yakni memerdekan seorang hamba sahaya mukmin, dan dibebani hukuman
pembayaran diyat yang diserahkan kepada keluarga korban
 Keluarga korban dalam pembunuhan tidak sengaja, apabila memberikan maaf kepada si
pelakunya, maka kewajiban membayar diyat menjadi gugur
 Bila seorang mukmin membunuh oleh karena salah pada orang mukmin lain warga harby
hanya diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
 Bila seorang mukmin yang membunuh karena salah pada kafir zinmy, maka ia diberikan
sanksi hukuman diyat yang dibayarkan kepada keluarga korban dan wajib membayar
kifarat berupa memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
 Jika tdiak mungkin memerdekakan hamba sahaya dapat diganti dengan puasa dua bulan
berturut-turut.

Adapun qishas dalam penganiayaannya adalah jarimah melukai anggota badan. Dalam jarimah
ini si korban dapat juga melepaskan haknya untuk menuntut hukum qhisas dan minta ganti
dengan hukum diyat. Diyat penyaniayaan, besar kecilnya disesuaikan dengan kerugian yang
dialami penderita .

Para fuqaha’ membagi anggota badan menjadi tiga golongan beserta diyatnya:

 Anggota badan yang berpasangan, seperti mata, telinga, tangan, kaki, buah dada, dan
buah pelir. Diyatnya jika kedua-duanya rusak dikenai diyat penuh yakni seratus ekor
unta, jika yang dirusak hanya salah satu, dikenai hukuman setengah diyat yakni lima
puluh ekor unta.
 Anggota badan yang tunggal seperti hidung dan mulut. Diyatnya dikenai hukuman diyat
penuh
 Anggota badan yang berbilang banyak, seperti jari tangan dan jari kaki. Hukumannya
akan ditentukan berapa banyak anggota yang dirusaknya.

Jika anggota badan masih utuh, tetapi dirusakkan manfaat dan daya gunanya, seperti
menghilangkan potensi akal, merusakkan kemampuan mata untuk melihat, merusak
kemampuan telinga untuk mendengar, maka masing-masing dikenakan hukuman diyat
penuh.
Penyaniayaan yang menyebabkan luka-luka pada anggota badan, jika penderita tidak
menuntut qishas tetapi menuntut diyat, maka besar kecilnya diyat yang harus dibayarkan
oleh pelaku bergantung kepada pertimbangan hakim sesuai dengan kepantasan. 2

C. Ta’zir

2
Ibid, Hlm 55
Azas legalitas juga ditetapkan oleh Syara’ pada jarimah ta’zir meskipun berbeda dengan
penerapan pada jarimah-jarimah hudud dan qishas-diyat karena penerapan jarimah ta’zir
diperlonggar. Sebab corak jarimah ta’zir ini serta kemaslahatan umum menghendaki
adanya pelonggaran tersebut. Sebagai adanya akibat pelonggaran ini, maka untuk
jarimah-jarimah ta’zir tidak perlu ada penyebutan hukuman secara tersendiri, seperti
yang kita dapati pada jarimah-jarimah hudud dan qishas-diyat. Dalam hal ini seorang
hakim boleh memilih suatu hukuman yang sesuai dengan macamnya jarimah ta’zir dan
perbuatannya, dan kumpulan hukum-hukum yang disediakan untuk jarimah ta’zir. Juga
hakim bias memperingan atau memberatkannya.

Macam-macam hukuman ta’zir


 Hukuman ta’zir atas perbuatan ma’siat. Hukuman ta’zir ini diancam atas perbuatan yang
dilarang oleh syara’ karena perbuatan itu sendiri, dan mengerjakannya dipandang
ma’siat.
 Hukam a’zir mewujudkan kemaslahatan umum. Menurut aturan yang pokok dalam
Syara’ Islam ialah bahwa hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap perbuatan ma’siat,
yaitu perbuatan yang dilarang karena perbuatan itu sendiri. Akan tetapi sebagai
penyimpangan dari aturan pokok tersebut syariat islam membolehkan menjatuhkan
hukuman ta’zir atas perbuatan ma’siat, apabila dikehendaki oleh kepntingan umum,
artinya perbuatan yang sebenarnya tidak dilarang.
 Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah). Yang dimaksud dengan
pelanggaran disini ialah melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan perbuatan
mandub.3

Prinsip-prinsip dan hak-hak dalam hukum pidana islam


Prinsip-prinsip:
 Prinsip Tauhid 
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia
ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah).

3
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:PT Bulan Bintang, 1986), Hlm 67
 Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang
baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
 Prinsip Keadilan 
Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili
bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat
keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan
maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas
prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan
masyarakat.
 Prinsip Kebebasan 
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama atau hukum Islam
disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi,
argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam arti
luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan
komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam
beragama.
 Prinsip Persamaan 
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah),
yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia.
Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan
hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula
mengenal stratifikasi sosial seperti komunis. 

 Prinsip Saling Tolong Menolong


Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan
sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan. 

 Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya dapat diterima
apabila tidak merugikan agama Islam.

Dalam pidana islam orang yang melakukan tindak pidana dihadapkan dengan 3 hak,
yaitu:
 Hak Allah SWT
 Hak ahli waris korban (khususnya tindak pidana pembunuhan)
 Hak korban itu sendiri4

4
Noorwahidah Hafez Anshari, Pidana Mati Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1982), Hlm 41

Anda mungkin juga menyukai