Anda di halaman 1dari 11

PENGERTIAN BANK SYARIAH

Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS).1

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN BANK SYARIAH DI DUNIA

Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada empat
tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:

1. Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal
dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan
sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka
berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus meninggalkan
hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Masa ini dimulai kira-kira pada
pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade
1950-an dan awal dekade 1960-an.
2. Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom
Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di
Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari
sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga)
dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi
dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali
dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim.
3. Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan
dan lembaga-lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor
pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material
para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki
kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan
bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas

1
Kautsar Riza Salman, Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah, (Jakarta:Penerbit Indeks, 2017) Hlm
98
dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan
adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia.
4. Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan
sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama
lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat. pengetahuan
(knowledge) dan inovasi dianggap sebagai pendorong utama (the driving force) bagi
pembangunan ekonomi. Suatu sistem ekonomi mengandung 2 sektor, yakni sektor riil dan
keuangan. Dalam perkembangannya, sektor keuangan dalam ekonomi Islam lebih cepat
berkembang daripada sektor riilnya. Bahkan dalam empat puluh tahun terakhir, keuangan
Islam telah bertumbuh dengan pesat dan saat in telah menjadi industri yang memiliki
kontribusi penting dalam perekonomian nasional tidak hanya di negara-negara Muslim,
namun juga di berbagai negara di seluruh dunia. Keuangan Islam telah membuat terobosan
signifikan dalam lingkungan global dengan memfasilitasi diversifikasi resiko dan
berkontribusi dalam stabilitas keuangan global. Kini keuangan Islam telah menjadi bagian
integral dalam sistem keuangan internasional. Di beberapa negara, termasuk Indonesia,
Malaysia dan lain-lain, sistem ekonominya menganut dual economic system, sistem
keuangannya pun juga dual financial system.

Saat ini Sistem Ekomomi Islam dan Perbankan Syariah sudah banyak digunakan oleh
bergabai negara di dunia. Dalam Global Islamic Finance Report 2015, dengan menetapkan 5
kriteria yaitu Advocacy, Infrastructure, Human Resource,Linkages. Regulation, ditetapkan ada
10 negara yang disebut sebagai the top 10 Centres of Excellence in Islamic Banking and
Finance18, yaitu:.

1. Kuala Lumpur – Malaysia


2. Manama - Bahrain
3. Dubai - UAE
4. London - United Kindom
5. Doha - Qatar
6. Kuwait - Kuwait
7. Karachi - Pakistan
8. Riyadh - Saudi Arabia
9. Jakarta - Indonesia
10. Istanbul – Turkey

Dari data tersebut, nomor 1 ternyata masih Malaysia, sedangkan Indonesia berada pada
nomor 9.

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN BANK SYARIAH DI INDONESIA

Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, terdapat
sekitar 250 juta penduduk dengan komposisi Muslim mencapai sekitar 83%. Keberadaan
penduduk Muslim mayoritas menjadi potensi tersendiri bagi pengembangan ekonomi syariah di
Indonesia. Praktek ekonomi syariah di Indonesia sudah berlangsung cukup lama seiring dengan
kedatangan para saudagar Muslim yang menjadi penyebar agama Islam untuk pertama kalinya.
Dalam catatan sejarah Indonesia juga pernah eksis organisasi-organisasi pedagang Islam seperti
Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada tahun 1905.
Organisasi ini merupakan organisasi yang pertama kali lahir di Indonesia yang menjadi
perkumpulan bagi pedagang-pedagang Islam pada saat itu. Praktek ekonomi syariah sudah eksis
seiring dengan kehadiran Islam itu sendiri di Indonesia. Akan tetapi, kelembagaan ekonomi
syariah khususnya pada sektor perbankan dan keuangan masih relatif baru di Indonesia. Sistem
perbankan syariah di Indonesia baru dikenal pada awal tahun 1990 melalui kajian intensif yang
dilakukan oleh para ulama dan cendikiawan Muslim yang tergabung dalam organisasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kedua lembaga ini
mengadakan beberapa konferensi dengan tema sekitar sistem perbankan tanpa bunga. Konferensi
ini didasarkan pada desakan umat Islam untuk membentuk suatu bank yang bisa menawarkan
produk dan jasa yang tidak mengandung riba. Akhirnya pada konferensi ke-4 pada tanggal 22-25
Agustus 1990 disepakati untuk membentuk tim kerja pendirian bank syariah pertama di
Indonesia. Konsep bank syariah pada awal tahun 1990-an belum terlalu dikenal dikalangan para
bankir dan regulator. Undang-Undang Perbankan No. 14/1968 belum mengenal istilah bank
syariah. Undang-undang tersebut hanya membolehkan suatu bank beroperasi dengan sistem
bunga. Namun demikian dikarenakan adanya desakan dari masyarakat dan dari berbagai
perkumpulan organisasi Islam, utamanya dari MUI dan ICMI maka Undang-Undang Bank No.
7/1992 disahkan. Pemerintah kemudian mendukung melalui Peraturan Pemerintah No. 72/1992.
Dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut diakui adanya suatu bentuk bank
berbasis bagi hasil. Dengan adanya regulasi tersebut memungkinkan hadirnya suatu sistem
perbankan yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Hasilnya, bank syariah pertama
dengan nama Bank Muamalat Indonesia diresmikan pada bulan November 1992.

Kehadiran regulasi dan Bank Muamalat Indonesia mengantarkan Indonesia pada sebuah
sistem perbankan yang menganut dual banking system, yakni suatu sistem yang memungkinkan
terjadinya perbankan syariah dan konvensional beroperasi secara bersamasama sesuai dengan
karakteristiknya masing-masing dalam kerangka sistem perbankan nasional Indonesia.
Keberadaan bank Muamalat sebagai bank syariah pertama di Indonesia yang dilegitimasi oleh
UU Perbankan No. 7/1992 memberikan alternatif produk dan jasa perbankan kepada masyarakat
Indonesia. Bank syariah hidup berdampingan dengan bank konvensional. Kedua sistem tersebut
masing-masing berfungsi sebagai lembaga intermediasi dengan cara mengumpulkan dana dari
masyarakat kemudian disalurkan dalam bentuk pembiayaan atau kredit pada sektor-sektor
ekonomi. Rentang waktu dari periode 1992-1998, perkembangan bank syariah di Indonesia
secara kuantitas kurang membahagiakan. Hanya terdapat satu bank syariah dan 78 Badan
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang beroperasi dalam kurun waktu enam tahun. Namun
dari segi kualitas, bank syariah menunjukkan kinerja yang sangat baik. Mereka tidak terkena
dampak krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, sementara pesaingnya, bank konvensional justru
sebaliknya. Terdapat sekitar 17 bank konvensional yang mengalami kebangkrutan dan akhirnya
harus ditutup demi menghindari dampak serius akibat krisis keuangan 1997 tersebut. Untuk
menyelamatkan sistem keuangan saat itu, pemerintah melalui Bank Indonesia harus memberikan
bail out sekitar Rp 650 trilliun atau US$ 69 milliar atas nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
demi menghindari dampak krisis yang semakin parah terhadap bank-bank konvensional. Bank
syariah mulai mendapatkan pengakuan dari para bankir, regulator dan publik setelah sukses
menunjukkan kinerja positif dan daya tahan kuat terhadap krisis keuangan yang melanda negara-
negara Asia tahun 2007. Namun sayangnya, meskipun memiliki kinerja yang sangat baik, UU
Perbankan No. 7/1992 yang ada pada saat itu sangat tidak cukup untuk mendukung
perkembangan bank syariah di tanah air.
Salah satu kelemahan dari UU Perbankan tersebut adalah keberadaan bank syariah hanya
diakui sebagai bank bagi hasil, tidak sebagai bank syariah. Sebagai bentuk respon atas
kelemahan ini, pada tahun 1998 dikeluarkan UU No. 10/1998 sebagai amandemen dari UU
Perbankan No. 7/1992 sebelumnya untuk memperkuat legalitas pengembangan sistem perbankan
syariah di Indonesia. Dalam UU yang baru tersebut, term bank syariah secara jelas disebutkan,
yaitu berbunyi bahwa bank umum di Indonesia bisa beroperasi secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah. UU yang telah diamandemen ini membolehkan bank konvensional
untuk membuka Unit Usaha Syariah dalam rangka mempercepat pengembangan industri
perbankan syariah. UU Bank Sentral yang baru No. 23/1999 diterbitkan untuk memberikan
otoritas kepada Bank Indonesia selaku bank sentral untuk mengatur, mengawasi dan
mengembangkan bank syariah. Sebagai bentuk keseriusan untuk mengembangkan bank syariah
di Tanah air, Bank Indonesia kemudia membentuk Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia
tahun 2001 yang kemudian meningkat menjadi Direktorat Perbankan Syariah dua tahun
kemudian. Hasilnya, industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang cepat di tanah air.
Hal lain yang juga sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan industri perbankan syariah di
Indonesia adalah ketika Bank Indonesia melaunching “Cetak Biru Pengembangan Perbankan
Syariah Indonesia” tahun 2002. Dalam cetak biru tersebut dijelaskan visi dan misi dan inisiatif
strategi pengembangan perbankan syariah yang mengelaborasi nilai-nilai dasar ekonomi syariah
yang perlu dijiwai dalam pengembangan perbankan syariah baik dari perspektif mikro maupun
makro. Salah satu target yang tertuang adalah industri perbankan syariah Indonesia menargetkan
mencapai 5% pangsa pasar dari total perbankan nasional pada tahun 2010.

Cetak biru ini memiliki peran yang penting sebagai pedoman bagi Bank Indonesia dalam
mengembangkan perbankan syariah. Cetak biru ini juga menjadi referensi bagi perbankan
syariah dan lembaga keuangan lainnya. Selanjutnya, untuk memperkuat basis legal
pengembangan bank syariah di Indonesia, pemerintah bersama DPR RI mensahkanUU Bank
Syariah No. 21/2008. UU ini terpisah dari UU Perbankan yang sudah ada. Salah satu tambahan
penting dalam UU Bank Syariah yang baru tersebut adalah pengaturan konversi UUS (Unit
Usaha Syariah) pada bank konvensional menjadi BUS (Bank Umum Syariah). UU tersebut
menyatakan “Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah
mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan
pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.” Kelebihan lain yang dimiliki oleh UU
Perbankan Syariah ini adalah memberikan peluang kepada bank syariah untuk menawarkan
inovasi dan beragam produk dan jasa perbankan dibandingkan dengan bank konvensional. Sejak
disahkannya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2012, pengembangan dan
pengawasan perbankan termasuk bank syariah di dalamnya di bawah otoritas tersebut. OJK akan
melanjutkan program-program pengembangan bank syariah yang sudah dilakukan oleh Bank
Indonesia sebelumnya. Lembaga yang berkontribusi besar dalam pengembangan bank syariah di
Indonesia selain Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan adalah Dewan Syariah Nasional
(DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Lembaga ini dibentuk oleh MUI yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI
dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan
syariah termasuk bank syariah. Lembaga ini memiliki otoritas untuk mengkaji, menggali dan
merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan
pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga. keuangan syariah. Fatwa tentang keuangan
syariah yang telah dikeluarkan oleh DSN telah mencapai sekitar 80 fatwa (lihat Kumpulan Fatwa
MUI 2011). Fatwa-fatwa tersebut menjadi pedoman bagi lembaga keuangan syariah termasuk
bank syariah dalam transaksi-transaksi bisnisnya. DSN-MUI bertindak sebagai otoritas tinggi
yang mengeluarkan fatwa yang berkedudukan pada level nasional. Untuk menjalankan fungsi
pengawasan pada level perusahaan dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank
syariah. Lembaga ini bertugas untuk mengawasi kegiatan usaha bank syariah dimana fungsi
utamanya adalah sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan bank syariah
(BUS dan UUS) terkait dengan aspek syariah dan sebagai mediator antara bank syariah dengan
DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank
syariah yang memerlukan kajian fatwa dari DSN (Rama, 2014).

Lembaga-lembaga pendidikan dan oragnisasi-organisasi ekonomi syariah juga memiliki


peran dan kontribusi signifikan dalam pengembangan perbanlkan dan keuangan syariah di
Indonesia. Kedua lembaga tersebut secara khusus berkontribusi dalam menciptakan SDM yang
dapat bekerja pada bank syariah melalui sistem perkuliahan formal, pelatihan, konferensi,
seminar, penelitian dan sebagainya. Program studi perbankan syariah menjadi program studi
favorit bagi kalangan mahasiswa saat ini. Hal ini terjadi dikarenakan industri perbankan syariah
saat ini mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan.2

PELUANG DAN TANTANGAN PERKEMBANGAN BANK SYARIAH

Perbankan syari’ah, sesungguhnya memiliki peluang yang besar untuk terus


berkembang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdulah menegaskan, ‘prospek perbankan syari’ah di
masa depan, diperkirakan akan semakin cerah.’ Menarik untuk dicatat, Bank Indonesia telah
merevisi proyeksi pertumbuhan aset dan jaringan kantor bank syari’ah. Pada tahun 2011
diperkirakan aset bank syari’ah mencapai Rp 171 triliun dengan share bank syari’ah sekitar 9,10
persen dari total bank di Indonesia dengan jumlah kantor cabang diperkirakan mencapai 817
buah. Untuk tahun 2005, menurut Ketua DSN, KH. Ma’ruf Amin akan ada tiga bank asing dan
14 BPD yang membuka layanan syari’ah

Peluang yang besar dan terbuka lebar bagi perbankan syari’ah di Indonesia, merupakan
sesuatu yang wajar. Setidaknya ada sejumlah argumentasi untuk menguatkan pendapat ini.
Pertama, mayoritas penduduk Islam. Kuantitas ini, merupakan bangsa pasar yang begitu
potensial. Ketika umat Islam mau memanfaatkan maka bank syari’ah akan berkembang lebih
pesat dan dahsyat. Akan tetapi, bukan berarti menafikan pelanggan non-muslim, bahkan menjadi
tantangan tersendiri bagi insan perbankan syari’ah untuk meraihnya. Beberapa perbankan
syari’ah luar negeri, sudah banyak memiliki customer nonmuslim. Kedua, fatwa bunga bank.
Fatwa ini, dapat menjadi legitimasi bagi perbankan syariah dalam mensosialisasikan kiprahnya.
Umat perlu disadarkan bahwa ada alternatif pilihan, bahkan solusi untuk menghindari bunga,
berganti sistem bagi hasil (profit sharing) yang lebih berkeadilan. Walaupun tidak lantas terjebak
dengan sentimen emosional keagamaan tapi tetap mengedepankan rasional profesional dengan
tampilnya bank syariah yang sehat dan terpercaya. Ketiga, menggeliatnya kesadaran beragama.
Hal ini ditandai dengan maraknya acara keagamaan seperti pengajian dan umroh para eksekutif
dan selebritis, diskusi aktual keislaman di kampus atau masjid, termasuk kuliah subuh di radio
dan televisi. Bahkan ada majelis atau instansi mengadakan acara keagamaan secara rutin.
2
Muhammad Yusril Khoir, Jurnal Perkembangan Perbankan Syariah Di Dunia, Asia, Dan Indonesia, (Fakultas
Ekonomi Universitas Djuanda Bogor, 2019) Hlm 3
Tentunya, semua ini memberi andil cukup besar dalam menggugah kesadaran beragama,
termasuk untuk menerapkan perekonomian Islam. Keempat, menjalarnya penerapan ekonomi
Islam. Saat ini, hadir asuransi syariah (takaful), pegadaian syari’ah, MLM syariah (ahad net),
koperasi syariah, pasar modal dan obligasi syari’ah termasuk bisnis hotel syariah. Pada
gilirannya, memberi peluang begitu lebar bagi bank syariah untuk melakukan net working,
sehingga akan lebih berkembang dan bisa saling menguntungkan. Kelima, berkembangnya
lembaga keislaman. Kehadiran partai Islam pasca reformasi, setidaknya berpengaruh terhadap
iklim kehidupan nasional. Terutama ketika politisi muslim tampil sebagai pembuat kebijakan
(law maker). Diharapkan kebijakannya sesuai syariah dan mendukung penuh pada kemajuan
bank syariah. Berdirinya sekolah tinggi ekonomi Islam atau sejumlah perguruan tinggi yang
membuka jurusan ekonomi Islam, serta maraknya sekolah Islam unggulan merupakan saham
berharga untuk mencetak kader-kader ekonom dan bankir Islam.3

TANTANGAN PERKEMBANGAN BANK SYARIAH

Di samping memanfaatkan peluang, perbankan syari.ah juga dituntut menghadapi


berbagai tantangan, yang semakin kompleks. Seperti yang telah dipaparkan, usia perbankan
syari’ah di Indonesia masih relatif muda, laksana ‘sosok’ remaja yang masih mencari ‘jati diri’.
Tantangan yang dihadapinya pun tidaklah ringan dan mudah. Kalamuddinsjah, Regional
Manager BMI Jateng/DIY, mengibaratkan membangun perbankan syari’ah seperti membangun
jaringan transportasi kereta api yang harus dimulai dari membuat rel. Mengapa? Oleh karena
menciptakan satu landasan ekonomi syari’ah, harus dimulai dari nol. Berbeda dengan bank
nasional yang telah mapan serta dukungan penuh dari pemerintah. Pendapat Kalamuddinsyah ini,
memberi gambaran, betapa tantangan yang dihadapi bank syari’ah di Indonesia masih cukup
berat. Secara umum, tantangan berat yang harus dipecahkan itu adalah bagaimana menjadikan
industri keuangan syari’ah yang mapan (established), yakni perbankan syari’ah yang profesional,
sehat dan terpercaya. Apabila diklasifikasikan, berbagai tantangan tersebut ada yang berasal dari
dalam (internal), dan ada yang datang dari luar (eksternal). Tantangan dari dalam adalah

3
Dewan Syari’ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, (Jakarta: Dewan Syari’ah Nasional, 2001)
Hlm 35
sejumlah tantangan yang harus dipecahkan, berasal dari ‘ diri ‘ bank syari’ah sendiri. Sejumlah
tantangan itu meliputi;

 Pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini, kelembagaan perbankan syari’ah belum


sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih perlu dibenahi, terutama dalam manajemen,
tugas dan wewenang, peraturan, dan struktur keorganisasian. Hubungan antara bank
konvensional dengan unit syari’ahnya (subsystem) perlu diperjelas, agar sinergis. Dual
banking system yang selama ini dijalankan perlu disempunakan, terutama karena belum
adanya Deputi Gubernur khusus syari’ah. Bahkan ke depan perlu dipikirkan adanya BCS
(Bank Central Syari’ah)
 Sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang belum memahami
secara utuh ‘sosok’ bank syariah. Meminjam istilah Adiwarman A. Karim, setidaknya
ada 3 kategori nasabah, yakni loyalis syariah, loyalis konvensional dan pasar
mengambang (floating market). Potensi pasar mengambang mencapai Rp 720 triliun.
Persoalan pada pasar mengambang adalah ada yang sudah tahu tapi belum paham, sudah
paham tapi belum percaya, sudah percaya tapi belum sepenuhnya berpartisipasi. Proses
sosialisasi perlu dilakukan secara continue. Promosi yang gencar dan menarik dengan
memanfaatkan berbagai media, baik media bellow the line (event-event, seminar,
brochure, spanduk, umbul-umbul) maupun media above the line (televisi, radio, koran,
majalah). Promosi via televisi nampaknya masih jarang. Padahal promosi lewat media ini
cukup efektif untuk pembentukan branch image dan branch awareness. Yang perlu
digarisbawahi bahwa, sosialisasi dan promosi itu harus mampu membentuk image dan
dapat mengubah pilihan pasar mengambang pada bank syariah
 Perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang amat luas. Akan tetapi
jumlah kantor syariah yang beroperasi hingga ke pelosok masih kurang. Rizqullah,
praktisi BNI Syariah mengakui, ‘ salah satu kendala pertumbuhan bank syariah adalah
masih terbatasnya jaringan.’ Tantangan ini barangkali dapat dipecahkan dengan cara
mensupport pemerintah mendirikan bank syariah, optimalisasi outlet pada setiap bank
konvensional dan bank asing atau menggolkan konversi bank BUMN besar menjadi bank
syariah.
 Peningkatan SDM. Harus diakui secara jujur, bahwa sumber daya insani perbankan
syariah yang profesional, amanah, dan berkualitas belum sepenuhnya tersedia. Insan
perbankan yang berkualifikasi syariah handal masih jarang. Nampaknya, sebagian besar
SDM terutama level menengah ke atas masih hasil didikan ekonomi konvensional.
Padahal, yang dibutuhkan bukan hanya menguasai ekonomi/perbankan modern, tetapi
sekaligus paham fiqih (syariah) serta mampu berinovasi dalam menyelesaikan ‘pernak-
pernik’ persoalan bank syariah yang sistemnya masih baru. Training, workshop, seminar,
studi banding, serta berbagai pembinaan lain untuk meningkatkan kompetensi SDM
harus mendapat perhatian serius.
 Peningkatan modal. Tantangan ini masih dirasakan oleh bank syariah di Indonesia.
Ungkapan Ma’ruf Amin perlu direnungkan, ‘jika bank-bank syariah berandai melakukan
suatu sindikasi dalam mendanai proyek besar, masih belum mampu.’ Pernyataan seperti
ini sungguh ironis, tetapi itulah kenyataannya. Para stake holder (pemegang saham) bank
syariah perlu menambah modalnya, sehingga risk taking capacity-nya meningkat. Besar
kecilnya kemampuan pembiayaan bankbank syariah, amat tergantung pada kemampuan
modalnya. Perlu juga nampaknya mendesak pemerintah untuk menempatkan dana besar
pada bank syariah.
 Peningkatan pelayanan. Perbankan syariah perlu terus meningkatkan kualitas
pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat dan murah harus menjadi
trade mark bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah dan cepat dalam proses, serta
murah dalam biaya (administrasi). Begitu pula upaya mempermudah akses informasi dan
pengambilan uang atau tabungan harus ditingkatkan. Pemanfaatan online internet dan
ketersedian fasilitas ATM di berbagai lokasi strategis dan mudah terjangkau, merupakan
keniscayaan. Ketujuh, pembinaan dan pengawasan. Dalam operasionalnya di lapangan,
bank syariah harus terus dibina dan sekaligus diawasi. Dibina untuk lebih berkembang,
diawasi agar tidak timbul penyimpangan. Pengawasan pada bank syariah di daerah,
termasuk pada bank konvensional yang membuka syariah perlu dilakukan dengan ketat
dan hatihati. Jangan muncul kesan formalitas identitas syariah, praktek dan sistemnya
tidak berbeda dengan konvensional. Sejumlah tantangan di atas, merupakan tantangan
dari dalam (internal). Usaha perbankan merupakan industri yang menjual kepercayaan.
Berbagai tantangan internal itu perlu dipecahkan, sehingga masyarakat lebih percaya dan
mau berpartisipasi aktif. Selanjutnya ada juga tantangan yang datang dari luar dan tidak
kalah penting untuk diselesaikan.
Kesatu, belum memadainya kerangka hukum. Tantangan ini bersifat mendesak,
karena akan menghambat upaya pengembangan bank syariah. RUU perbankan syariah
yang tengah digodok perlu diperjuangkan untuk segera diundangkan. Aturan tentang
pasar modal syariah, surat utang negara syariah, obligasi syariah serta aturan lain sangat
penting. Intinya, semua aturan yang akan memberikan ruang gerak lebih luas bagi pelaku
bisnis syariah.
Kedua, dukungan pemerintah belum penuh. Pemerintah mendukung keberadaan
perbankan syariah, tetapi dalam tataran kebijakan (political will) dan keseriusan (good
will) belum optimal. Para menteri, gubernur, bupati belum memberi tempat yang layak.
Di BI (bank Indonesia) belum ada Deputi Gubernur khusus syariah. Selayaknya, Dewan
Syariah Nasional dan bankir syariah melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada
pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar dukungan konkret dan nyata pada perbankan
syariah dapat terealisasikan.
Ketiga, sinisme masyarakat. Tidak terelakkan, masih ada masyarakat yang
memandang dengan senyum sinis. Terjadi mis-persepsi, seolah bank syariah itu eklusif
(untuk umat Islam), sistem bagi hasil kurang menguntungkan dan susah prosesnya. Bank
syariah perlu mempromosikan dirinya secara simpatik dan memikat. Berusaha mengubah
mindset mereka dan yang penting mampu menampilkan sosok bank syariah yang
profesional, berkualitas dan menguntungkan. Tantangan dari luar bukan untuk dihindari,
tetapi untuk dihadapi. Berbagai tantangan diharapkan akan memotivasi setiap insan
perbankan syariah untuk terus belajar dan berkarya. 4

4
M. Syafi’i Antonio. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek (Jakarta: Gip, 2001) Hlm 54

Anda mungkin juga menyukai