Preliminary Study On Piyungan Landfill PDF
Preliminary Study On Piyungan Landfill PDF
Sampah dan limbah B3, baik dari sumber domestik maupun industri, masih
merupakan masalah yang dihadapi dunia saat ini, terutama negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Persoalan sampah sangat erat kaitannya dengan
kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang menghasilkan sampah tersebut. Jumlah,
jenis, dan karakteristik sampah sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah
lainnya. Oleh karena itu, teknologi dan sistem pengelolaan sampah dan limbah B3
yang telah terbukti berhasil di negara-negara maju, tidak bisa serta-merta
diaplikasikan di Indonesia.
Masalah sampah dan limbah B3 di DIY sudah sangat mendesak untuk
dikelola dengan pendekatan modern baik dari sisi aplikasi teknologi maupun
mekanisme manajemen pengelolaannya. Mekanisme konvensional pengelolaan
sampah yang mengandalkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Piyungan
yang dikelola Pemerintah DIY, sudah tidak memadai untuk mengatasi masalah
sampah, termasuk komponen B3-nya, yang semakin kompleks.
TPA Regional Piyungan terletak di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. TPA Regional Piyungan
melayani pembuangan sampah dari seluruh wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman dan Kabupaten Bantul. Jarak dengan daerah pelayanan terjauh lebih kurang
35 km. Rata-rata per hari sampah yang dibuang ke TPA adalah 450-550 ton/hari
dengan jenis sampah dominan adalah sampah organik sebesar kurang lebih 72%
dari total sampah yang ada.
TPA Regional Piyungan mempunyai luas area 12,5 ha, dengan rincian 10 ha
merupakan luas lahan landfill yang terdiri dari 3 sel. Sel I mencakup area seluas 3
ha, sel II seluas 3 ha dan sel III seluas 4 ha. Di samping ketiga sel tersebut, terdapat
2,5 ha untuk sarana pendukung yaitu kantor, bengkel, IPL, jembatan timbang dan
zona penyangga (buffer zone). Pada tahun 2016 ada perluasan lahan kurang lebih
2,3 ha.
Kondisi TPA Regional Piyungan pada saat ini masih jauh dari kondisi ideal.
Pada TPA Regional Piyungan tumpukan sampah terlihat menggunung disebabkan
belum adanya penataan sel sampah secara optimal. Selain itu jumlah sapi yang
digembalakan di TPA Regional Piyungan cukup banyak sehingga dari pagi sampai
sore zona aktif pembuangan sampah dipadati oleh sapi. Pada saat unloading truk
sampah, sampah yang diturunkan langsung jatuh ke bawah disambut oleh ratusan
pemulung dan sapi. Selain gangguan pada daerah zona pembuangan sampah,
rombongan sapi yang menuju ke TPA pada pagi hari dan meninggalkan TPA pada
siang dan sore hari juga kadang-kadang mengganggu antrian truk sampah yang
hendak membuang sampah. TPA Regional Piyungan saat ini memerlukan perbaikan
dan optimalisasi dari berbagai aspek permasalahan yang ada dengan harapan
permasalahan-permasalahan TPA akan terselesaikan bahkan meningkatnya kinerja
dari TPA Regional Piyungan itu sendiri.
Dalam jangka pendek, diperlukan segera upaya optimalisasi lokasi TPA
Regional Piyungan berupa pengurukan pada beberapa lokasi,
perbaikan/pemasangan geomembran, dan pemanenan gas metan (landfill gas).
Upaya ini perlu menjadi bagian dari solusi jangka panjang yang akan dibangun di
TPA Regional Piyungan karena teknologi yang akan diterapkan akan berada di
tengah lokasi TPA lama, sehingga perlu dirancang lingkungan TPA yang tidak
kumuh/bau serta secara estetik tampak serasi dengan sistem pengolahan sampah
modern yang akan diterapkan.
Kompleksitas masalah sampah dan limbah B3 di DIY terutama bersumber
pada Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) sebagai penghasil sampah dan limbah
B3 yang dominan di Provinsi tersebut. Luasan KPY sebesar 19.651,8 (Sembilan
Belas Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu Koma Delapan) hektar dan terdiri dari 71
(tujuh puluh satu) Desa/Kelurahan saat ini dihuni oleh 1.074.714 penduduk dengan
tingkat pertumbuhan kurang lebih 1,50% per tahun. Dengan rata-rata timbulan
sampah 0,7-0,8 kg/orang/hari, maka jumlah sampah domestik saja sudah mencapai
kurang-lebih 700 ton/hari. Dari jumlah ini, baru kurang-lebih 60% yang terkelola di
TPA Piyungan, itu pun masih dalam kondisi tidak terpilah antara sampah non B3 dan
sampah B3.
Walaupun berbagai program telah dijalankan oleh Pemerintah untuk
mengurangi sampah di sumbernya, belum terlihat efektivitas upaya-upaya tersebut
dalam menurunkan jumlah sampah yang masuk ke TPA Piyungan. Sementara itu,
umur TPA Piyungan yang sudah melebihi umur desainnya, sebetulnya sudah tidak
memadai untuk mengelola timbunan sampah, baik dari sisi teknologi yang sudah
kuno maupun luasan TPA yang sudah sangat sulit untuk diperluas mengingat
kawasan pemukiman yang sudah semakin mendekat di sekeliling TPA. Oleh karena
itu, beban Pemerintah sebagai pengelola TPA saat ini sudah sangat berat, baik dari
sisi operasional maupun pembiayaan yang bergantung pada APBD.
Selain masalah sampah domestik, seiring dengan pertumbuhan ekonomi,
tuntutan terhadap kesejahteraan pun semakin tinggi, terutama dari aspek pelayanan
kesehatan dan ketersediaan lapangan kerja. Hal ini mendorong pertumbuhan jumlah
fasilitas layanan kesehatan dan perkembangan industri di wilayah DIY, yang
tentunya membawa konsekuensi peningkatan limbah B3 yang harus dikelola.
Selama ini, pengelolaan limbah B3 mengandalkan pihak ketiga. Mekanisme ini
bukan solusi ideal karena ketergantungan yang sangat besar pada pihak lain dan
kebutuhan biaya yang sangat tinggi. Sebagai contoh, untuk pengelolaan limbah B3
dari fasilitas pelayanan kesehatan saja, jumlah limbah B3 mencapai 4-5 ton/hari dari
199 rumah sakit dan puskesmas yang tersebar di kawasan DIY. Timbulan limbah B3
ini belum termasuk dari sumber-sumber lain yang selama ini juga masih
mengandalkan pihak ketiga, yaitu fasilitas pendidikan dan industri.
1
Uraian di atas menggarisbawahi pentingnya dilakukan kajian untuk
menganalisis kebutuhan-kebutuhan inovasi dalam pengelolaan sampah di TPA
Regional Piyungan sekaligus memperluas fungsinya sebagai fasilitas pengelolaan
limbah B3 dengan memperhatikan ketentuan sesuai regulasi yang berlaku. Selain itu,
kajian ini juga mengevaluasi kemungkinan nilai ekonomi dari proyek ini, yang
memungkinkan mekanisme baru pengelolaan sampah dan limbah B3 di DIY dengan
skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Keterbatasan lahan
yang tersedia menjadi tantangan tersendiri untuk mengoptimalkan pilihan teknologi
dan skema operasional dalam rencana modernisasi TPA Regional Piyungan,
dengan menambahkan fungsi sebagai pengolah limbah B3. Kajian ini diharapkan
dapat mengakselerasi upaya Pemerintah DIY untuk mengatasi problem sampah dan
limbah B3 serta menjadikan DIY model percontohan dan rujukan di Indonesia untuk
keberhasilan pengelolaan sampah dan limbah B3.
2
DAFTAR ISI
3
DAFTAR TABEL
Tabel 1-1 Ruang Lingkup Proyek KPBU TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan .... 8
Tabel 2-1 Cakupan Wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta ................................ 11
Tabel 2-2 Jumlah Penduduk di KPY dan Pertumbuhannya .................................... 13
Tabel 2-3 Jumlah Penduduk KPY perlima tahun ..................................................... 13
Tabel 2-4 Kepadatan Penduduk Kawasan Perkotaan Yogyakarta tahun 2015 ....... 14
Tabel 2-5 Proyeksi Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) .............................................. 16
Tabel 2-6 Jumlah limbah B3 yang dihasilkan UGM (2012-2017) beserta biaya
pengolahan oleh pihak ketiga ..................................................................... 19
Tabel 2-7 Potensi Timbulan Limbah B3 Fasyankes ................................................ 21
Tabel 2-8 Timbulan Sampah 5 Tahun Terakhir ....................................................... 26
Tabel 2-9 Komposisi dan berat timbulan sampah domestik di TPA Piyungan ........ 26
Tabel 2-10 Proyeksi volume timbulan sampah di KPY (m3/hari) ............................ 27
Tabel 2-11 Proyeksi Timbulan Sampah dan Penambahan Infrastruktur
Persampahan. Sumber: Bappeda DIY (2014) ............................................ 29
Tabel 2-12 Sebaran Cakupan Seluruh Jenis Infrastruktur di KPY ........................... 37
Tabel 2-13 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Anaerobic Digester
(Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............ 41
Tabel 2-14 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Material Recovery
Facility (MRF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda
DIY, 2017)) ................................................................................................. 42
Tabel 2-15 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Anaerobic Digestion
(AD) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .... 42
Tabel 2-16 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Biogas (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............................ 43
Tabel 2-17 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Komposting dari
Anaerobic Digestion (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan,
(Pemda DIY, 2017)) .................................................................................... 43
Tabel 2-18 Karakteristik dan Efisiensi Residu yang Menuju Landfill (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............................ 43
Tabel 2-19 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan
Anaerobic Digestion (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan,
(Pemda DIY, 2017)) .................................................................................... 44
Tabel 2-20 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Refuse Derived Fuel
(Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............ 44
Tabel 2-21 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Refused Derived
Fuel (RDF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY,
2017)) ......................................................................................................... 45
Tabel 2-22 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Materials Recovery
Facility (MRF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda
DIY, 2017)) ................................................................................................. 45
4
Tabel 2-23 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan
Refused Derived Fuel (RDF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA
Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ................................................................... 46
Tabel 2-24 Komparasi kualitatif kemungkinan aplikasi teknologi di TPA Sampah
dan Limbah B3 Piyungan............................................................................ 46
Tabel 2-25 Kode dan Keterangan Limbah B3 (Sumber: data Dinas Kesehatan
DIY) ............................................................................................................ 47
Tabel 2-26 Biaya Investasi Fasilitas Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas
Kesehatan DIY) .......................................................................................... 48
Tabel 2-27 Spesifikasi Alat Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas
Kesehatan DIY) .......................................................................................... 49
Tabel 2-28 Teknologi yang diperlukan untuk pengembangan TPST ideal
(dengan visi waste to energy dan tidak ada residu/zero-waste) ................. 50
Tabel 2-29 Analisa SWOT Pengolah limbah B3 di DIY ........................................... 52
Tabel 2-30 Pilihan Strategi berdasarkan analisa SWOT ......................................... 52
Tabel 2-31 Bentuk dukungan pemangku kepentingan di daerah ............................ 56
Tabel 3-1 Sasaran RPJMN 2015-2019 untuk DIY Tahun 2017-2019 ..................... 63
Tabel 3-2 Penekanan 5 Tahun RPJPD DIY dan RPJMD DIY ................................. 66
Tabel 3-3 Daftar Proyek-Proyek Besar Pembangunan Sarana Prasarana ............. 68
Tabel 3-4 Hirarki Kota dan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Primer .... 75
Tabel 3-5 Jalan Nasional Jalan Tol Pulau Jawa ...................................................... 79
Tabel 3-6 Proyeksi kebutuhan listrik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta hingga
tahun 2037.................................................................................................. 83
Tabel 3-7 Proyeksi Kebutuhan Sambungan Telepon di Kawasan Perkotaan
Yogyakarta hingga tahun 2037 ................................................................... 84
Tabel 3-8 Proyeksi Kebutuhan Air Minum DIY s.d. 2030 ........................................ 85
Tabel 4-1 Analisis Value for Money untuk Proyek TPA Sampah dan Limbah B3
(Arti lambang: = manfaat nilai uang relatif kecil, = manfaat nilai
uang relatif sedang, = manfaat nilai uang relatif besar) ...................... 91
Tabel 5-1 Pendapatan dari Retribusi Sampah yang masuk ke TPA Piyungan ........ 97
Tabel 5-2 Harga yang Harus Dibayarkan oleh Pihak Ketiga per Satuan Massa
Limbah B3 .................................................................................................. 98
Tabel 6-1 Perbandingan dari Beberapa Skema KPBU.......................................... 101
Tabel 6-2 Tahapan Kegiatan KPBU ...................................................................... 104
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2-1 KSP (Kawasan Strategis Provinsi) Kawasan Perkotaan Yogyakarta ... 12
Gambar 2-2 Peta spasial Sarana perdagangan di Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP
KPY, 2017) .......................................................................................... 17
Gambar 2-3 Peta spasial Sarana perhotelan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017) . 18
Gambar 2-4 Peta spasial Sarana pendidikan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
(Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017) .. 20
Gambar 2-5 Peta spasial sarana fasilitas pelayanan kesehatan di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta (Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan
RTR DIY KSP KPY, 2017) .................................................................. 22
Gambar 2-6 Jumlah timbulan limbah medis dan jumlah limbah medis yang belum
terkelola di DIY (Diolah dari data Kepala Seksi Penyehatan
Lingkungan) ........................................................................................ 23
Gambar 2-7 Jumlah industri di Provinsi DIY (mencakup 4 kabupaten dan 1
kotamadya) yang berpotensi menghasilkan limbah pencemar
(Sumber: olahan data Badan Lingkungan Hidup DIY, 2012) .............. 24
Gambar 2-8 Aliran materi limbah B3 di wilayah Kabupaten Sleman (Sumber:
Iswanto, 2016 (Disertasi)) ................................................................... 25
Gambar 2-9 Pertumbuhan Timbulan Sampah yang masuk ke TPA Piyungan
(Sumber: Laporan Akhir Review Masterplan TPA Piyungan, 2017) .... 28
Gambar 2-11 Detail Gambar Pipa Portable Penangkap Gas Metan (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .................... 39
Gambar 2-12 Rencana Peta Titik Pipa Gas Metana TPA Piyungan (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .................... 39
Gambar 2-13 Rencana Pemanfaatan Biogas........................................................... 40
Gambar 2-14 Skema Umum Teknologi Anaerobic Digester (Sumber: Studi
Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............................. 41
Gambar 2-15 Skema Umum Teknologi Refused Derived Fuel (RDF) (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .................... 45
Gambar 3-1 Peta Rencana Kawasan Strategis di DIY (Sumber: Peninjauan
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun
2010 tentang RTRW DIY (2015)) ........................................................ 71
Gambar 3-2 Jaringan infrastruktur jalan yang dapat mendukung akses ke lokasi
TPST Piyungan Kab Bantul (Sumber: Fakta dan Analisa
Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ............................................. 74
Gambar 3-3 Visualisasi Sistem Jaringan Jalan Primer dan Sekunder (Sumber :
Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ................ 74
Gambar 3-4 Sistem Jaringan Jalan Primer (Sumber : Fakta dan Analisa
Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ............................................. 75
6
Gambar 3-5 Skema hubungan transportasi dan guna lahan di dalam kawasan
perkotaan (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP
KPY, 2017) .......................................................................................... 78
Gambar 3-6 Skema sistem jaringan pergerakan penumpang (Sumber : Fakta dan
Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ................................. 80
Gambar 3-7 Jalan Nasional Jalan Tol Pulau Jawa (Sumber: Kepmen PU Nomor
369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY
KSP KPY, 2017).................................................................................. 80
Gambar 3-8 Jalan Tol yang melewati DI Yogyakarta (Sumber: Kepmen PU
Nomor 369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017) .................................................................. 81
Gambar 3-9 Struktur ruang sistem jaringan transportasi antar wilayah (Sumber :
Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ................ 82
Gambar 3-10 Skema sistem Bantar dan Kebonagung di Sungai Progo ((Sumber :
Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DOY KSP KPY, 2017) .............. 86
Gambar 5-1 Komposisi APBD DIY Rentang Tahun 2012 – 2016 (Sumber:
Raperda, RPJMD DIY Tahun 2017-2022)........................................... 95
Gambar 5-2 Pendapatan Asli Daerah DIY dan Perbandingannya dengan
Realisasi Anggaran Pendapatan (Sumber: Raperda, RPJMD DIY
Tahun 2017-2022)............................................................................... 96
Gambar 6-1 Struktur DBFOT ................................................................................. 102
Gambar 6-2 Skema Stakeholder dalam KPBU ...................................................... 103
7
1 BAB I. RUANG LINGKUP PROYEK
Tabel 1-1 Ruang Lingkup Proyek KPBU TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan
8
2 BAB II. ANALISA KEBUTUHAN
Pemikiran teknis dan ekonomi KPBU Pengelolaan TPA Sampah dan Limbah
B3 Piyungan didasarkan pada pertimbangan visi dan filosofi pembangunan di DIY
dengan mengacu pada cakupan wilayah yang akan menjadi wilayah operasional
ekonomis KPBU, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sumber-sumber sampah
domestik dan limbah B3 baik dari segi jenis maupun jumlah, serta kondisi TPA
Piyungan saat ini. Berikut ini uraian terperinci dari masing-masing aspek dasar
pemikiran teknis dan ekonomi KPBU Pengelolaan TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan.
Sampah tidak lepas dari kemajuan kegiatan manusia. Semakin maju manusia,
semakin banyak jenis dan jumlah sampah yang dihasilkannya. Infrastruktur
pengelolaan sampah bukan lagi sekedar menyediakan syarat minimum kondisi
kesehatan lingkungan (sanitasi) domestik/rumah tangga masyarakat namun sampah
industri, pelayanan kesehatan dan sektor pariwisata.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai tujuan wisata yang
diperhitungkan di Asia Tenggara dan kota Pendidikan, menjadi andalan penting bagi
peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat. Sebagai kota pariwisata menuntut
kondisi lingkungan yang asri indah dan bersih; sebagai salah satu kota target Smart
City tentunya butuh kelengkapan infrastruktur pengelolaan sampah yang baik,
apalagi dengan dicanangkannya program Indonesia bebas sampah tahun 2020 oleh
Wakil Presiden RI pada Hari Peduli Sampah Nasional tanggal 23 November 2017 di
Surabaya.
Semua itu selaras dengan makna filosofi pembangunan di DIY yaitu
Hamemayu Hayuning Bawana, pembangunan dan kegiatan perekonomian serta tata
ruang yang mampu melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia,
bukan hanya manusianya namun juga lingkungan alam yang perlu dikonservasi,
dijaga dan dipelihara oleh manusia (Naskah KPY, 2017). Salah satu kawasan
strategis Provinsi bagi pertumbuhan ekonomi yang dibentuk dalam (Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2010 di DIY adalah Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY).
Meningkatnya kegiatan perekonomian dari sektor pendidikan, pariwisata,
pelayanan kesehatan dan industri dibarengi dengan semakin tingginya jumlah
penduduk, dan padatnya bangunan-bangunan untuk tempat tinggal di kawasan
tersebut maka peningkatan pelayanan dasar pengelolaan sampah dan jaringan
sistem persampahannya perlu dilakukan untuk mendukung visi pembangunan di DIY.
9
Adanya perkembangan serta percepatan di beberapa sektor kegiatan ternyata
sampah tanpa disadari telah menjadi salah satu penyebab timbulnya permasalahan
baru dalam pengelolaan lingkungan hidup.
10
Tabel 2-1 Cakupan Wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta
11
Gambar 2-1 KSP (Kawasan Strategis Provinsi) Kawasan Perkotaan Yogyakarta
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)
12
2.1.3 Sumber sampah domestik dan sampah B3 serta Kondisi Fisik Tempat
Pengolahan Akhir (TPA) Sampah Piyungan
13
Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah Kota
Yogyakarta, disusul oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Adßapun kepadatan
penduduk di KPY pada tahun 2015 (Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP
KPY, 2017) disajikan dalam Tabel 2-4. Sementara proyeksi jumlah penduduk
disajikan pada Tabel 2-3. Adapun proyeksi kepadatan penduduk di kawasan
perkotaan Yogyakarta disajikan dalam Tabel 2-5
Tabel 2-4 Kepadatan Penduduk Kawasan Perkotaan Yogyakarta tahun 2015
No KABUPATEN KECAMATAN DESA Luas Jumlah Kepadatan
Kawasan Penduduk Penduduk
Terbangun (Jiwa)* Netto (Jiwa
2
(Ha) /Km )
14
No KABUPATEN KECAMATAN DESA Luas Jumlah Kepadatan
Kawasan Penduduk Penduduk
Terbangun (Jiwa)* Netto (Jiwa
2
(Ha) /Km )
15
Data dan perhitungan proyeksi jumlah penduduk di atas menggunakan data
yang bersumber pada data BPS, belum memasukan jumlah penduduk yang
merupakan pendatang namun menetap di KPY. Para pendatang tersebut seperti,
mahasiswa, wisatawan, dan pekerja. Sarana prasarana yang aksesibel di
sekitaran kawasan perkotaan yang lengkap serta terus berkembang menjadikan
penduduk terus bertambah untuk tinggal di daerah perkotaan. Kegiatan MICE,
pendidikan dan pariwisata yang semakin marak dan kelengkapan sarana
prasaean menjadi faktor penarik penduduk sementara/tamu dan penduduk untuk
berdatangan. Meskipun bersifat penduduk sementara, jumlah sampah yang
dihasilkan dan proyeksi jumlah timbulan sampah tentu disesuaikan dengan
padatnya aktivitas-aktivitas kekotaan agar dapat terwujud pengelolaan sampah
yang lebih nyata di lapangan.
(Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)
16
Prosentase jenis sampah yang dihasilkan dari sektor rumah tangga dan
perdagangan umumnya mayoritas sampah organik sisa makanan yang cepat
busuk dan berbau, selebihnya adalah sampah inorganik berupa plastik kertas kain
kaca dan lainnya yang sulit terurai secara biologi. Timbulan sampah inorganik
kategori B3 dari rumah tangga serta perdagangan umumnya berupa tissue toilet,
pembalut, popok kertas yang bersifat infeksius dan bahan berbahaya lain seperti,
baterai, sisa obat terbuang, komponen komputer atau peralatan elektronik lainnya;
komponen kendaraan bermotor dari usaha bengkel seperti suku cadang bekas,
minyak/oli, aki bekas, dan usaha perdagangan lain di kawasan pemukiman misal
percetakan, usaha loundry dan lainnya. Berdasarkan tinjauan lapangan (Mei
2018) pada beberapa toko pusat perbaikan peralatan komputer dan elektronik lain
ada banyak potensi sampah elektronik dan lainnya menumpuk, belum dapat
terkuantifikasikan berat dan volumenya. Sampah kertas toilet bekas, pembalut,
popok kertas sudah menjadi masalah penyebab banjir dan pencemaran air karena
dibuang di saluran-saluran air (drainase, irigasi dls) serta di sumber-sumber air
permukaan (sungai, danau dan lainnya). Peta sebaran sektor perdagangan yang
ditunjukkan oleh pasar dan pertokoan/mall ditunjukkan oleh Gambar 2-2.
17
Dengan gambaran cakupan wilayah dan kependudukan sebagaimana telah
diuraikan, selanjutnya pada bagian berikutnya disajikan evaluasi timbulan sampah
domestik dan B3 dari beberapa sektor yang mendominasi dari sisi jumlah entitas
bisnis/institusinya di KPY, yaitu sektor pariwisata, sektor pendidikan, sektor
pelayanan kesehatan, dan sektor industri lain.
B. Timbulan sampah domestik dan sampah B3 sektor Pariwisata
18
berasal dari kertas toilet, popok/pembalut dan lain sebagainya. Sementara itu
sampah organik dan inorganik dihasilkan dari pelengkap jasa pariwisata yaitu
restauran besar dan kecil serta skala UKM.
Gambar 2-3 menunjukkan peta sebaran sarana perhotelan di wilayah
Kawasan Perkotaan Yogyakarta serta peta sebaran restauran di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta.
No Periode Drum Jumlah Limbah (kg) Pallet Bekas kemasan (kg) Biaya (Rp)
1 2012 100 9,980 52 1,280 198,330,000
2 2013 100 13,520 10 1,320 190,108,000
3 2014 50 8,000 7 700 106,425,000
4 2015 (1) 53 8,220 10 1,180 118,888,000
5 2015 (2) 100 12,640 10 1,400 197,505,000
6 2016 (1) 50 6,160 5 620 119,047,000
7 2016 (2) 40 4,700 3 640 93,750,000
8 2017 (1) 60 6,340 8 1,140 149,077,500
9 2017 (2) 70 800 12 1,300 182,187,000
19
Gambaran jumlah sampah (dan limbah cair B3) yang dihasilkan perguruan
tinggi diwakili oleh kondisi di UGM (Tabel 2-6) yang saat ini dikerjasamakan
dengan pihak lain untuk transportasi dan pengolahannya ke IPAL limbah B3 di
Cilengsi Bogor. Jika dianggap bahwa seluruh perguruan tinggi di Provinsi DIY
menghasilkan kurang lebih sejumlah sama limbah B3, maka sudah dirasa sangat
perlu Provinsi DIY memiliki unit pengolahan limbah B3 sendiri. Hal ini tidak hanya
dalam rangka menjamin bahwa seluruh limbah B3 ini akan tertangani dengan
benar, tetapi juga untuk mengurangi resiko tercecer di jalan jika pengelolaan
limbah B3 harus dikerjasamakan dengan pihak ketiga yang lokasinya jauh dari
Yogyakarta.
Adapun peta Sebaran Sarana pendidikan dari tingkat SD sampai
perguruan tinggi di wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta ditunjukkan pada
Gambar 2-4.
20
rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus yang menangani dalam bidang
ibu dan anak ataupun kejiwaan. Sarana kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah di tiap kecamatan berupa puskesmas. Untuk wilayah yang jauh dari
jangkauan puskesmas maka disediakan puskesmas pembantu. Total Sarana
kesehatan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) sebesar 62 buah, dimana 33
berada di Kota Yogyakarta, 10 lokasi berada di Kabupaten Bantul, dan 19 lokasi
berada di Kabupaten Sleman. Selain sampah domestik, Fasyankes menghasilkan
sampah B3. Berdasarkan data pada tanggal 2 Januari 2018, potensi timbulan
limbah B3 medis yang ada di DIY disajikan pada Tabel 2-7.
Tabel 2-7 Potensi Timbulan Limbah B3 Fasyankes
21
Gambar 2-5 Peta spasial sarana fasilitas pelayanan kesehatan di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta (Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY,
2017)
22
Gambar 2-6 Jumlah timbulan limbah medis dan jumlah limbah medis yang belum
terkelola di DIY (Diolah dari data Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan)
23
Data terperinci tentang jumlah sampah B3 dari masing-masing industri
belum terdokumentasi dengan akurat. Untuk mendapatkan gambaran kasar
tentang aliran limbah B3 yang selama ini masuk ke TPA Piyungan (dari berbagai
sumber), Gambar 2-8 mengilutrasikan data dari Kabupaten Sleman.
24
SEKTOR SEBAGAI
INFORMAL PENCEMAR
(daur ulang) LINGKUNGAN
Pola Perdesaan
1,14 ton/hari
2,4 ton/hari
(47,55%)
(85,52%)
1,26 ton/hari
(52,45%)
Dibakar/ditimbun
Timbulan limbah
Pola Perkotaan 0,265 ton/hari
B3 di sumbernya
0,33 ton/hari (80,3%)
2,81 ton/hari
(11,85%)
(100%)
0,065 ton/hari
(19,70%)
Ke TPA Piyungan
0,01 ton/hari
(14,29%)
Ke TPA Piyungan
Gambar 2-8 adalah data kasar yang diperoleh untuk keperluan studi
(disertasi) sehingga belum terjamin akurasinya. Walaupun demikian, data yang
tercantum pada Gambar 2-8 mengindikasikan bahwa jumlah sampah domestik
yang dikategorikan B3 (misalnya batu baterai bekas, neon dan bohlam bekas,
kemasan cat, kosmetik atau pelumas kendaraan yang umumnya mengandung
bahan-bahan yang menyebabkan iritasi atau gangguan kesehatan lainnya seperti
logam merkuri yang terkandung di dalam batu baterai pada umumnya) mencapai
2,81 ton/hari di satu kabupaten saja, yaitu Kabupaten Sleman. Kondisi di ketiga
kabupaten dan satu kotamadya diperkirakan kurang lebih sama, dengan
kecenderungan lebih tinggi di Kotamadya Yogyakarta jika mengacu pada
kepadatan penduduk. Oleh karena itu, secara total di seluruh DIY, jumlah
timbulan sampah B3 diperkirakan bisa mencapai kurang lebih 6-8 ton/hari
(termasuk limbah B3 yang berasal dari Fasyankes). Gambar 2-8 juga memberikan
informasi bahwa aliran limbah B3 ini belum termonitor dengan baik. Sejumlah kecil
masuk TPA Piyungan, tetapi di sana pun belum ada unit khusus pengolahan
sampah B3. Dengan mencermati angka timbulan yang cukup besar, maka
kebutuhan pengolahan limbah B3 di DIY sudah sangat mendesak. Data yang
lebih akurat perlu diperoleh dengan survey yang lebih mendalam pada saat studi
kelayakan untuk pengolahan limbah B3 di TPA Piyungan.
25
TPA Regional Piyungan yang terletak di Desa Sitimulyo, Kecamatan
Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai
luas area 12,5 Ha.
Saat ini di TPA Piyungan jumlah sampah domestik masih menjadi
penyumbang terbesar sampah, yang umumnya berasal dari rumah tangga,
perkantoran, pendidikan, dan perdagangan, jasa pariwisata, dan sampah organik
dan inorganik serta sampah B3 dari rumah tangga, sebagian industri kecil
menengah (IKM) dan fasilitas pelayanan kesehatan juga ditampung di lokasi
tersebut. Berdasarkan studi Kajian PTMP Kota Yogyakarta Tahun 2016 dan
Kajian Rencana Induk Persampahan Kabupaten Bantul tahun 2016, timbulan
sampah domestik sebagian besar masih didominasi oleh sampah organik sekitar
60 - 70% volume, akan tetapi sampah anorganik secara total bisa mencapai 30 –
40% volume dari total sampah secara keseluruhan. Kondisi ini mengindikasikan
adanya pergeseran konsumsi masyarakat di perkotaan. Hal ini disebabkan karena
peningkatan produk – produk baru, sehingga meningkat pula daya beli
masyarakat di perkotaan.
Tabel 2-8 menyajikan data timbulan sampah yang masuk di TPA Piyungan
untuk 5 tahun terakhir dan Tabel 2-9 menyajikan komposisi rerata dari timbulan
sampah domestik.
Tabel 2-8 Timbulan Sampah 5 Tahun Terakhir
No. Daerah Asal Total berat sampah tiap Tahun (kg)
2012 2013 2014 2015 2016
1 Kodya 71.316.347 64.286.172 53.222.836 51.867.590 65.278.911
Yogyakarta
2 Kabupaten 41.715.669 43.824.419 40.357.808 48.146.670 55.020.910
Sleman
3 Kabupaten 13.668.456 15.880.509 15.522.800 17.241.210 21.335.040
Bantul
4 Non Dinas Kodya 677.063 13.553.969 18.323.719 22.723.512 11.013.872
Yogyakarta
5 Non Dinas 2.110.080 5.249.530 7.155.015 5.708.855 3.664.115
Sleman
6 Non Dinas Bantul 1.338.080 5.016.450 4.646.915 3.226.260 932.975
Jumlah 130.826.234 147.811.049 139.229.093 148.914.097 157.245.823
(Sumber: TPST Piyungan, 2017)
Tabel 2-9 Komposisi dan berat timbulan sampah domestik di TPA Piyungan
26
Karet 0,03 21,40
Besi 0,01 6,26
B3 0,1 77,87
100 672,13
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan)
Rata-rata per hari sampah yang dibuang ke TPA adalah 450-550 ton (Fakta dan
Analisa KPY, 2017) dengan jenis sampah dominan adalah sampah organik
sebesar kurang lebih 72% dari total sampah yang ada. Namun berdasarkan studi
pengelolaan dan teknologi pengolahan sampah (2017), diketahui berat ton
sampah dan komposisi sampah (% berat) di TPA Piyungan sebagaimana tersaji
dalam Tabel 2-9.
Menurut Tabel 2-9 ada 672,13 ton sampah perhari yang akan dikelola oleh
TPA Piyungan, dimana diperkirakan 37% berupa sampah organik, ± 54% sampah
inorganik sementara ± 10 % atau 77,87 ton/hari berupa sampah B3. Sementara
data lain menunjukkan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan di DIY sebesar 230
ribu ton/hari atau dalam pencatatan selama setahun total ada 2,8 juta ton.
Permasalahan yang ada di TPA Piyungan juga tidak hanya keterbatasan lahan
saja akan tetapi masih banyaknya sarana prasarana yang rusak dan tidak
berfungsi optimal sehingga memerlukan pergantian atau perbaikan sarana dan
prasarana. Permasalahan lain selain dari segi teknis adalah ketersediaannya
SDM dan sistem operasi yang ada di TPA Piyungan. Kurangnya SDM yang
mengoperasionalkan TPA Piyungan baik secara kuantitas maupun kualitas
sehingga mempengaruhi operasional sehari-hari.
Sementara itu data proyeksi volume timbulan sampah di TPA Piyungan
disajikan pada Tabel 2-10 dan Gambar 2-9.
Tabel 2-10 Proyeksi volume timbulan sampah di KPY (m3/hari)
27
2032 3259.5 1189717.5 1770.0 646050.0
(Sumber: Laporan Akhir Review Masterplan TPA Piyungan, 2017)
4000.0
3000.0
Volume (m3/hari)
2000.0
1000.0
0.0
2017 2022 2027 2032
Tahun
Dengan luas lahan area 12,5 Ha, TPA Piyungan hanya bisa menampung
sampah hingga tahun 2019. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan pengelolaan
tepat guna untuk mengatasi permasalahan tersebut. Perencanaan yang perlu
dilakukan terkait pengelolaan sampah di TPA Piyungan secara umum adalah
sebagai berikut:
a. Rencana sistem jaringan persampahan diarahkan sesuai dengan
arah pengembangan atau rencana pemanfaatan ruang KPY,
khususnya pada daerah perdagangan, pasar, terminal serta obyek-
obyek wisata.
b. Pelibatan peran masyarakat dalam pengolahan persampahan
mandiri atau sistem 3R. Fasilitas sarana dan prasarana perlu
dikembangkan, antara lain Bank Sampah, TPS-3R, dan TPST.
c. Pengembangan atau pengolahan sampah di TPA Piyungan
diarahkan berbasis teknologi dan bernilai ekonomi dengan membuka
peluang investasi atau kersajama swasta. Studi detail perlu
dilakukan guna mengetahui kelayakannya.
d. Alternatif TPA diarahkan berlokasi di wilayah yang berada di KPY
yang belum padat penduduknya, yaitu di Kabupaten Sleman
ataupun Kabupaten Bantul. Studi lebih lanjut mengenai pengadaan
TPA perlu dilakukan.
28
Tabel 2-11 Proyeksi Timbulan Sampah dan Penambahan Infrastruktur Persampahan. Sumber: Bappeda DIY (2014)
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
- -
54.910 57702 73935 94735 184,4 237,9 LDU
1 Bantul Banguntapan Banguntapan 2,51 6 190,42 243,99 312,63 2 9 -306,63 S 8 10 13
- - LDU
4.913 5165 6631 8513
2 Bantul Banguntapan Singosaren 2,53 6 17,04 21,88 28,09 11,04 15,88 -22,09 S 0 1 1
- - LDU
18.756 19714 25284 32429
3 Bantul Banguntapan Baturetno 2,52 0 65,06 83,44 107,02 65,06 83,44 -107,02 S 3 3 4
- - LDU
14.953 15717 20158 25854
4 Bantul Banguntapan Wirokerten 2,52 6 51,87 66,52 85,32 45,87 60,52 -79,32 S 2 3 3
- - LDU
14.669 15418 19775 25363
5 Bantul Banguntapan Tamanan 2,52 6 50,88 65,26 83,70 44,88 59,26 -77,70 S 2 2 3
- - LDU
13.932 14646 18803 24140
6 Bantul Banguntapan Potorono 2,53 6 48,33 62,05 79,66 42,33 56,05 -73,66 S 2 2 3
- -
39.959 41566 50619 61643 125,1 155,0 LDU
7 Bantul Kasihan Ngestiharjo 1,99 12 137,17 167,04 203,42 7 4 -191,42 S 5 6 8
-
28.408 29550 35986 43824 - 106,7 LDU
8 Bantul Kasihan Tamantirto 1,99 12 97,52 118,75 144,62 85,52 5 -132,62 S 4 4 6
29
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
- - LDU
26.339 27398 33365 40632
9 Bantul Kasihan Tirtonirmolo 1,99 24 90,41 110,10 134,09 66,41 86,10 -110,09 S 3 4 5
- -
1 30.695 31629 36743 42684 104,3 121,2 LDU
0 Bantul Sewon Bangunharjo 1,51 0 104,38 121,25 140,86 8 5 -140,86 S 4 5 6
-
1 35.162 36232 42091 48896 - 114,9 LDU
1 Bantul Sewon Panggungharjo 1,51 24 119,57 138,90 161,36 95,57 0 -137,36 S 4 5 6
1 Yogyakart
4328 4599 4887 0 0 0
2 a Danurejan Suryatmajan 4.275 0,61 100 14,28 15,18 16,13 85,72 84,82 83,87 -
1 Yogyakart Tegal - -
7905 8401 8927
3 a Danurejan Panggung 7.809 0,61 7,56 26,09 27,72 29,46 18,53 20,16 -21,90 TPST 2 3 3
1 Yogyakart
6496 6903 7336
4 a Danurejan Bausasran 6.417 0,61 18,36 21,44 22,78 24,21 -3,08 -4,42 -5,85 TPST 0 1 1
1 Yogyakart
8395 9019 9690 0 0 0
5 a Gondomanan Prawirodirjan 8.275 0,72 100 27,70 29,76 31,98 72,30 70,24 68,02 TPST
1 Yogyakart
4864 5226 5614
6 a Gondomanan Ngupasan 4.794 0,72 16,2 16,05 17,25 18,53 0,15 -1,05 -2,33 - 0 0 0
30
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
1 Yogyakart Gondokusum
12981 13877 14835 0 0 0
9 a an Baciro 12.808 0,67 118,36 42,84 45,79 48,96 75,52 72,57 69,40 -
2 Yogyakart Gondokusum
9327 9971 10660 0 0 0
0 a an Terban 9.203 0,67 128,68 30,78 32,90 35,18 97,90 95,78 93,50 -
2 Yogyakart Gondokusum - -
10459 11181 11954
1 a an Klitren 10.320 0,67 10,32 34,51 36,90 39,45 24,19 26,58 -29,13 TPST 3 4 4
2 Yogyakart Gondokusum - -
11143 11913 12735
2 a an Demangan 10.995 0,67 18,96 36,77 39,31 42,03 17,81 20,35 -23,07 TPST 2 3 3
2 Yogyakart Gondokusum
2540 2716 2903 0 0 0
3 a an Kotabaru 2.506 0,67 30,84 8,38 8,96 9,58 22,46 21,88 21,26 -
2 Yogyakart
8964 9255 9555
4 a Jetis Bumijo 8.906 0,32 24,36 29,58 30,54 31,53 -5,22 -6,18 -7,17 TPST 1 1 1
2 Yogyakart Cokrodiningrat - -
7949 8207 8474
5 a Jetis an 7.898 0,32 6 26,23 27,08 27,96 20,23 21,08 -21,96 TPST 3 3 3
2 Yogyakart - -
6610 6824 7046
6 a Jetis Gowongan 6.567 0,32 4,32 21,81 22,52 23,25 17,49 18,20 -18,93 TPST 2 2 3
2 Yogyakart
4742 4785 4828 0 0 0
7 a Kraton Patehan 4.733 0,09 112,96 15,65 15,79 15,93 97,31 97,17 97,03 -
31
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
2 Yogyakart - -
5543 5594 5644
8 a Kraton Kadipaten 5.533 0,09 6,48 18,29 18,46 18,63 11,81 11,98 -12,15 TPST 2 2 2
2 Yogyakart
7353 7419 7486
9 a Kraton Panembahan 7.339 0,09 15,72 24,26 24,48 24,70 -8,54 -8,76 -8,98 TPST 1 1 1
3 Yogyakart
11795 15128 19403 0 0 0
0 a Kotagede Prenggan 11.222 2,52 106 38,92 49,92 64,03 67,08 56,08 41,97 -
3 Yogyakart - -
12692 16278 20878
1 a Kotagede Rejowinangun 12.075 2,52 4,32 41,88 53,72 68,90 37,56 49,40 -64,58 TPST 5 7 9
3 Yogyakart - -
9590 12300 15776
2 a Kotagede Purbayan 9.124 2,52 0 31,65 40,59 52,06 31,65 40,59 -52,06 TPST 4 5 7
3 Yogyakart
12633 13899 15292 0 0 0
3 a Mantrijeron Gedongkiwo 12.393 0,96 122,2 41,69 45,87 50,46 80,51 76,33 71,74 -
3 Yogyakart Suryodiningrata - -
10493 11545 12702
4 a Mantrijeron n 10.294 0,96 12,96 34,63 38,10 41,92 21,67 25,14 -28,96 TPST 3 3 4
3 Yogyakart - -
8921 9816 10800
5 a Mantrijeron Mantrijeron 8.752 0,96 16,2 29,44 32,39 35,64 13,24 16,19 -19,44 TPST 2 2 3
3 Yogyakart
8887 9491 10136 0 0 0
6 a Mergangsan Keparakan 8.770 0,66 104,32 29,33 31,32 33,45 74,99 73,00 70,87 -
3 Yogyakart - -
11192 11953 12765
7 a Mergangsan Wirogunan 11.045 0,66 0 36,93 39,44 42,12 36,93 39,44 -42,12 TPST 5 5 6
32
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
3 Yogyakart - -
9835 10504 11218
8 a Mergangsan Brontokusuman 9.706 0,66 16,2 32,46 34,66 37,02 16,26 18,46 -20,82 TPST 2 2 3
3 Yogyakart
7603 8088 8603 0 0 0
9 a Ngampilan Notoprajan 7.509 0,62 119,44 25,09 26,69 28,39 94,35 92,75 91,05 -
4 Yogyakart - -
9059 9636 10251
0 a Ngampilan Ngampilan 8.947 0,62 6,48 29,89 31,80 33,83 23,41 25,32 -27,35 TPST 3 3 4
4 Yogyakart
5274 5295 5316
1 a Pakualaman Purwo Kinanti 5.269 0,04 9,72 17,40 17,47 17,54 -7,68 -7,75 -7,82 TPST 1 1 1
4 Yogyakart
4195 4212 4229
2 a Pakualaman Gunung Ketur 4.191 0,04 14,04 13,84 13,90 13,96 0,20 0,14 0,08 - 0 0 0
4 Yogyakart - -
12849 14634 16669
3 a Tegalrejo Kricak 12.518 1,31 15,72 42,40 48,29 55,01 26,68 32,57 -39,29 TPST 4 4 5
4 Yogyakart
8511 9694 11042 0 0 0
4 a Tegalrejo Tegalrejo 8.292 1,31 109,72 28,09 31,99 36,44 81,63 77,73 73,28 -
4 Yogyakart - -
5073 5778 6581
5 a Tegalrejo Bener 4.942 1,31 6 16,74 19,07 21,72 10,74 13,07 -15,72 TPST 1 2 2
4 Yogyakart -
9623 10960 12484
6 a Tegalrejo Karangwaru 9.375 1,31 23,22 31,76 36,17 41,20 -8,54 12,95 -17,98 TPST 1 2 2
4 Yogyakart
9450 12026 15305 0 0 0
7 a Umbulharjo Tahunan 9.005 2,44 106,48 31,19 39,69 50,51 75,30 66,79 55,97 -
33
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
4 Yogyakart - -
15139 19266 24518
8 a Umbulharjo Pandeyan 14.426 2,44 9,24 49,96 63,58 80,91 40,72 54,34 -71,67 TPST 5 7 10
4 Yogyakart
8782 11176 14222 0 0 0
9 a Umbulharjo Giwangan 8.368 2,44 121 28,98 36,88 46,93 92,02 84,12 74,07 -
5 Yogyakart - -
12265 15608 19863
0 a Umbulharjo Warungboto 11.687 2,44 6,48 40,47 51,51 65,55 33,99 45,03 -59,07 TPST 5 6 8
5 Yogyakart - -
16915 21526 27394
1 a Umbulharjo Sorosutan 16.118 2,44 40,86 55,82 71,04 90,40 14,96 30,18 -49,54 TPST 2 4 7
5 Yogyakart -
5540 7050 8972
2 a Umbulharjo Semaki 5.279 2,44 9,72 18,28 23,27 29,61 -8,56 13,55 -19,89 TPST 1 2 3
5 Yogyakart
11686 12468 13303
3 a Umbulharjo Muja Muju 11.535 0,65 31,92 38,56 41,14 43,90 -6,64 -9,22 -11,98 TPST 1 1 2
5 Yogyakart - -
10498 11200 11950
4 a Wirobrajan Pakuncen 10.362 0,65 0 34,64 36,96 39,44 34,64 36,96 -39,44 TPST 5 5 5
5 Yogyakart - -
10304 10994 11730
5 a Wirobrajan Wirobrajan 10.171 0,65 4,32 34,00 36,28 38,71 29,68 31,96 -34,39 TPST 4 4 5
5 Yogyakart - -
6521 6958 7424
6 a Wirobrajan Patangpuluhan 6.437 0,65 6 21,52 22,96 24,50 15,52 16,96 -18,50 TPST 2 2 2
5 115,9 110,1
62.454 62805 64586 66417 0 0 0
7 Sleman Depok Catur Tunggal 0,28 323,24 207,26 213,13 219,18 8 1 104,06 -
34
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
5 - - LDU
34.204 37052 55270 82444
8 Sleman Depok Maguwoharjo 4,08 96 122,27 182,39 272,07 26,27 86,39 -176,07 S 1 4 7
5 158,3
42.335 45360 64046 90430 0 0
9 Sleman Depok Condong Catur 3,51 308 149,69 211,35 298,42 1 96,65 9,58 - 0
6 Ambarketawan - - LDU
21.252 21645 23721 25996
0 Sleman Gamping g 0,92 48 71,43 78,28 85,79 23,43 30,28 -37,79 S 1 1 2
6
16.237 16633 18759 21156
1 Sleman Gamping Banyuraden 1,21 60 54,89 61,90 69,81 5,11 -1,90 -9,81 - 0 0 0
6
17.015 17039 17159 17279 0 0 0
2 Sleman Gamping Nogotirto 0,07 72 56,23 56,62 57,02 15,77 15,38 14,98 -
6 146,6 139,7
17.580 17973 20071 22413 0 0 0
3 Sleman Gamping Trihanggo 1,11 206 59,31 66,23 73,96 9 7 132,04 -
6 - - LDU
14.465 15017 18110 21838
4 Sleman Godean Sidoarum 1,89 6 49,56 59,76 72,07 43,56 53,76 -66,07 S 2 2 3
- -
6 35.769 36669 41520 47011 121,0 137,0 LDU
5 Sleman Kalasan Purwomartani 1,25 121,01 137,02 155,14 1 2 -155,14 S 5 6 6
-
6 38.575 41283 57953 81354 - 131,2 LDU
6 Sleman Mlati Sinduadi 3,45 60 136,23 191,24 268,47 76,23 4 -208,47 S 3 5 9
35
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)
6 - - LDU
18.658 19783 26510 35523
7 Sleman Mlati Sendangadi 2,97 48 65,28 87,48 117,23 17,28 39,48 -69,23 S 1 2 3
6 - - LDU
12.488 13021 16044 19770
8 Sleman Mlati Tlogoadi 2,11 42,97 52,95 65,24 42,97 52,95 -65,24 S 2 2 3
6 - - LDU
15.381 16113 20326 25640
9 Sleman Ngaglik Minomartani 2,35 36 53,17 67,08 84,61 17,17 31,08 -48,61 S 1 1 2
7 - LDU
18.845 20470 30947 46787
0 Sleman Ngaglik Sinduharjo 4,22 78 67,55 102,13 154,40 10,45 24,13 -76,40 S 0 1 3
7 - - LDU
20.610 22451 34434 52814
1 Sleman Ngaglik Sari Harjo 4,37 30 74,09 113,63 174,29 44,09 83,63 -144,29 S 2 3 6
7 132,0 117,9
27.071 27857 32138 37078 0 0 0
2 Sleman Ngemplak Wedomartani 1,44 224 91,93 106,06 122,36 7 4 101,64
- -
1.088.71 1.128.05 1.357.34 1.654.99 3722,5 4479,2 5461,4 145,8 902,5
Jumlah Total 5 3.577 5 5 6 8 4 9 6 2 -1884,77
*Keterangan: Data ini masih menggunakan istilah “LDUS” karena mengambil data dari tahun 2014. Sejak tahun 2015, LDUS di DIY hanya ada di UGM
sebagai konsep akademik untuk TPST dengan residu yang tidak habis.
36
Penyediaan prasarana persampahan merupakan salah satu aspek penting
di dalam operasional pengelolaan persampahan. Teknik operasional persampahan
meliputi pewadahan sampah, penumpulan sampah, pemindahan sampah,
pengolahan dan pembuangan akhir. Pewadahan sampah adalah kegiatan
menampung sampah sementara sebelum sampah dikumpulkan, dipindahkan,
diangkut, diolah, dan dilakukan pemrosesan akhir sampah di TPA. Tujuan
Pewadahan yaitu (1) untuk menghindari terjadinya sampah yang berserakan
sehingga tidak berdampak buruk kepada kesehatan, kebersihan lingkungan, dan
estetika (2) memudahkan proses pengumpulan sampah dan tidak membahayakan
petugas pengumpul sampah.
Bantul Banguntapan 5 2 5
Bantul Kasihan 4 3 5
Bantul Sewon 4 1 4
Bantul Total 13 0 0 6 0 14
Sleman Depok 8 2 8 9 28
Sleman Gamping 3 1 7 11
Sleman Godean 1 1
Sleman Mlati 6 1 1 4 11
Sleman Ngaglik 4 1 4 9
Sleman Ngemplak 1 1 2
Sleman Total 22 5 3 19 13 62
Yogyakarta Danurejan 1 7 8
Yogyakarta Gedongtengen 1 9 10
Yogyakarta Gondokusuman 4 2 24 30
Yogyakarta Gondomanan 1 1 4 5
Yogyakarta Jetis 3 6 8
Yogyakarta Kotagede 1 1 1 3
Yogyakarta Kraton 1 1 9 11
Yogyakarta Mantrijeron 2 1 14 16
Yogyakarta Mergangsan 1 5 6
Yogyakarta Ngampilan 1 8 9
Yogyakarta Pakualaman 1 7 7
Yogyakarta Tegalrejo 4 1 9 1 14
Yogyakarta Umbulharjo 5 4 19 3 27
Yogyakarta Wirobrajan 1 1 2
Yogyakarta Total 23 15 0 123 4 156
Jumlah 58 20 3 148 17 232
(Sumber: BAPPEDA DIY (2014))
37
Sebaran infrastruktur persampahan di KPY tidak merata atau tidak semua
kecamatan memiliki minimal satu infrastruktur untuk semua ukuran atau jenis yang
memadahi. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 4.19 Sebaran Cakupan Seluruh Jenis
Infrastruktur per Kecamatan dan Kabupaten/kota di KPY tersaji pada Tabel 2-12.
Pembangunan sistem persampahan di KPY tertuang dalam Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang menyebutkan bahwa Pengembangan
atau pengolahan sampah di TPA Piyungan diarahkan berbasis teknologi dan bernilai
ekonomi dengan membuka peluang investasi atau kerjasama swasta. Studi
detail perlu dilakukan guna mengetahui kelayakannya
38
Gambar 2-10 Detail Gambar Pipa Portable Penangkap Gas Metan (Sumber: Studi
Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
Gambar 2-11 Rencana Peta Titik Pipa Gas Metana TPA Piyungan (Sumber: Studi
Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
39
Gambar 2-12 Rencana Pemanfaatan Biogas
Proses anaerobic digestion adalah proses produksi gas bio dari material
organik dengan bantuan bakteri dengan kondisi tidak adanya oksigen. Sebagian
besar gas yang dihasilkan berupa metana. Proses anaerobic digestion ini dibagi
menjadi dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama material
organik akan diurai menjadi asam lemah. Setelah material organik berubah menjadi
asam maka bakteri kedua menguraikan asam lemah menjadi gas metana.
40
Tabel 2-13 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Anaerobic Digester
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
41
Tabel 2-14 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Material Recovery Facility
(MRF) (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY,
2017))
Tabel 2-15 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Anaerobic Digestion (AD)
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
42
Tabel 2-16 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Biogas (Sumber: Studi
Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
Tabel 2-17 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Komposting dari
Anaerobic Digestion (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan,
(Pemda DIY, 2017))
Tabel 2-18 Karakteristik dan Efisiensi Residu yang Menuju Landfill (Sumber: Studi
Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
43
Tabel 2-19 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan Anaerobic
Digestion (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY,
2017))
Refuse Derived Fuel (RDF) merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari daur
ulang material yang menghasilkan energi panas yang tinggi dan sering juga disebut
dengan istilah briket ataupun pellet. Istilah lain untuk bahan bakar dari sampah padat
kota seperti bahan bakar daur ulang (Recovered Fuel), bahan bakar dari
pembungkus (Packaging Derived Fuel), bahan bakar dari potongan kertas dan
plastik (Paper and Plastic Fraction), dan bahan bakar dari proses mesin (Process
Engineered Fuel).
Potensi reduksi sampah menggunakan metode ini dapat dilihat pada Tabel
2-20. Untuk skema umum pengolahan sampah menggunakan teknologi RDF dapat
dilihat pada Gambar 2-14. Karakteristik, efisiensi, dan biaya investasi dengan
metode RDF dapat dilihat pada Tabel 2-20 sampai Tabel 2-23.
Tabel 2-20 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Refuse Derived Fuel
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
44
Gambar 2-14 Skema Umum Teknologi Refused Derived Fuel (RDF) (Sumber: Studi
Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
Tabel 2-21 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Refused Derived Fuel
(RDF) (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY,
2017))
Tabel 2-22 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Materials Recovery
Facility (MRF) (Sumber Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda
DIY, 2017))
45
Tabel 2-23 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan Refused
Derived Fuel (RDF) (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan,
(Pemda DIY, 2017))
46
dikombinasikan dengan sistem pemanenan biogas landfill untuk mengurangi biaya
energi, 2) teknologi digester anaerobik untuk fraksi organik jika sisa lahan
memungkinkan. Pilihan spesifikasi teknologi dan perhitungan keekonomian perlu
dikaji dengan lebih mendalam pada studi kelayakan, dengan disarankan mengacu
pada saran-saran dan pertimbangan yang disajikan pada bagian Penutup kajian ini.
Terkait ketersediaan lahan yang saat ini tersedia 2.3 ha di lokasi TPA
Piyungan, perlu dipertimbangkan juga hal-hal berikut ini:
1. Dengan aplikasi teknologi pengolahan yang sesuai, lahan yang masih tersedia
tidak perlu dialokasikan sebagai landfill karena sampah akan terolah dengan
teknologi yang dipilih.
2. Jika sampah tidak lagi dikelola dengan metode landfill, maka problem lindi yang
selama ini menjadi problem TPA akan sangat berkurang. Air lindi yang masih
muncul adalah air lindi dari sel-sel sampah lama yang akan semakin berkurang
jumlahnya jika tidak ada lagi tumpukan sampah baru. Dengan demikian, kolam-
kolam penampung lindi yang memakan area TPA cukup besar bisa secara
bertahap dikonversi menjadi area untuk teknologi baru di masa depan TPA.
D. Insinerasi limbah B3
Limbah B3 yang dapat diolah dalam insinerator meliputi limbah dengan kode
dan keterangan dalam Tabel 2-25. Gambaran spesifikasi insinerator disajikan dalam
Tabel 2-27, sementara estimasi investasi disajikan di Tabel 2-26.
Tabel 2-25 Kode dan Keterangan Limbah B3 (Sumber: data Dinas Kesehatan DIY)
47
3. Fasyankes A 337-1 Limbah klinis memiliki
karakteristik infeksius
4. Fasyankes A 337-2 Produk farmasi kedaluwarsa
5. Fasyankes A 337-3 Bahan kimia kedaluawarsa
6. Fasyankes A 337-4 Peralatan lab terkontaminasi B3
7. Fasyankes A 337-5 Peralatan medis mengandung
logam berat
8. Fasyankes B 337-1 Kemasan produk farmasi
9. Laboratorium riset dan A 338-1 Bahan kimia kedaluwarsa
komersial
10. Laboratorium riset dan A 338-2 Peralatan lab terkontaminasi B3
komersial
11. Laboratorium riset dan A 338-4 Sludge IPAL
komersial
12. Fotografi A 339-1 Larutan developer, fixer bekas
fotografi
13. Fotografi B 339-1 Off set
14. Fotografi B 339-2 Tinta toner
15. Fotokopi B 353-1 Toner bekas
Tabel 2-26 Biaya Investasi Fasilitas Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas
Kesehatan DIY)
48
11. Ruang Tamu 1 Unit 20.000.000 20.000.000
12. Kendaraan roda 4 5 Unit 250.000.000 1.250.000.000
mobil box dengan
pendingin
13 Kendaraan roda 3 5 Unit 25.000.000 125.000.000
14. Forklift 2 Unit 150.000.000 300.000.000
15. Pos Keamanan 1 Unit 10.000.000 10.000.000
16. Dispobin 240 liter 200 Buah 1.500.000 300.000.000
merk Maspion
17. Sewa Coldstorage 20 1 Buah 20.000.000 20.000.000
feet
18. Sarana Penampung 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Abu
19. Sarana Cuci 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Peralatan
20. Biaya Pembuatan 1 dokumen 500.000.000
AMDAL
Jumlah Total 6.245.000.000
Perlu digarisbawahi bahwa biaya investasi seperti tersebut pada Tabel 2-26 perlu
dikaji ulang pada tahapan studi kelayakan karena beberapa biaya investasi sarana
pendukung masih merupakan “harga perkiraan” berdasarkan informasi pada website
penyedia jasa instalasi peralatan.
Tabel 2-27 Spesifikasi Alat Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas Kesehatan DIY)
49
2.2.2 Estimasi kapasitas ekonomis teknologi pengolahan di TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan
Tabel 2-28 Teknologi yang diperlukan untuk pengembangan TPST ideal (dengan visi
waste to energy dan tidak ada residu/zero-waste)
Kapasitas Jumlah
Unit Peralatan komersial (terbukti sampah/limbah Keterangan
ekonomis) dari internal DIY
Anaerobic 300 ribu – 2 juta 125 ribu ton Mengkonversi
digestion ton sampah sampah sampah organik
organik/tahun1) organik/tahun2) menjadi biogas
Produksi Refuse- Sangat bervariasi 125 ribu ton Mengkondisikan
Derived Fuel (RDF) (kalkulasi sampah anorganik fraksi non-
keekonomian perlu non logam/tahun2) biodegradable
mempertimbangkan sebagai bahan
market size RDF di bakar padat
Indonesia)
Insinerator untuk Sangat bervariasi 7-8 ton/hari3) Mengeliminasi
residual MSW dan (kalkulasi limbah B3 dan
limbah B3 (tidak keekonomian perlu fraksi sampah yang
untuk penimbunan) mempertimbangkan tidak bisa diproses
kebutuhan bahan dengan anaerobic
bakar yang juga digestion dan RDF
sangat bervariasi
pada berbagai
insinerator)
50
Catatan:
1) Sumber: Anaerobic digestion of food waste (L. Arsova, tesis Columbia University, 2010)
2) Asumsi 50% sampah masuk TPA Piyungan adalah fraksi organik biodegradable dan 50%
berupa sampah non-biodegradable non-logam non-B3
3) Data Dinas Kesehatan DIY
1 http://www.mongabay.co.id/2017/03/15/indonesia-bebas-sampah-2020-kemandirian-pengelolaan-
sampah-harus-dilakukan/, 10 May 2018
51
bahwa sangat perlu kebutuhan pengembangan dan penyempurnaan TPA
Piyungan menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) untuk sampah
non B3 dan sampah B3.
Membangun TPST memerlukan biaya yang cukup besar, namun
produsen/penghasil sampah dan sampah B3 jelas (antara lain Fasyankes dls) yang
membutuhkan pengolahan sampah B3 jelas. Ada kelemahan dan kelebihan lainnya
juga peluang dan tantangan yang perlu dikaji sesuai dalam Tabel 2-29.
Tabel 2-29 Analisa SWOT Pengolah limbah B3 di DIY
STRENGTH WEAKNESS
Produsen sampah jelas High cost
Peraturan dan Perundangan tersedia cukup High technology
Kebijakan ada Lokasi dengan persya-ratan khusus
OPPORTUNITY THREATS
Usaha sejenis belum ada di wilayah DIY Pesaing
Biaya produksi lebih rendah (biaya transport Perubahan peraturan perundangan
berkurang)
Kepatuhan penghasil limbah lebih terjamin
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))
52
2. Pengolah juga sebagai transporter dengan melakukan pengangkutan/
penjemputan limbah di TPS penghasil.
3. Pengolah melakukan penyimpanan sementara limbah di depo yang ada di tiap
kab/kota untuk mengumpulkan limbah dari penghasil yang volume limbahnya
kecil.
4. Pengolah melakukan daur ulang beberapa limbah yang masih dapat
dimanfaatkan setalah ada perlakuan (treatment) sesuai regulasi yang mengatur
untuk daur ulang limbah B3.
Hal tersebut akan menjadi masalah jika:
1. Jumlah konsumen sedikit namun potensi cakupan wilayah layanan tersebar
sehingga biaya transportasi cukup tinggi,
2. Penyimpanan sementara pada depo membutuhkan lahan dan TPS yang besar
atau bisa jadi membutuhkan coldstorage,
3. Pengolah juga harus mempunyai ijin transporter dan menyediakan kendaraan
yang sesuai regulasi,
4. Pengolahan limbah dengan insinerasi dan metode maju lainnya membutuhkan
lahan yang luas dan uji emisi yang ketat.
Oleh karenanya TPST sampah dan limbah diperlukan model kemitraan dengan
KPBU dengan catatan semua kelemahan tersebut di atas diatasi sehingga
kesinambungan pasokan dari konsumen sarana TPST terjadi, yaitu antara lain
dengan:
1. Menyelesaikan permasalahan sistem transportasi lalulintas dan sistem jaringan
jalan, dan aksesibilitas menuju lokasi TPA Piyungan dan pengolahan sampah
B3 terpusat.
2. Menyiapkan sistem jaringan mulai pewadahan dan pengambilan sampah B3 dan
sampah lain, yang efektif dan efisien dan memenuhi syarat, serta
3. Bekerjasama dan memotivasi pemerintah kota dan kabupaten dalam membuat
sistem pengumpulan yang terintegrasi untuk sampah B3 dari rumah tangga dan
perdagangan.
4. Menjalin kerjasama dengan pemerintah Jawa Tengah, untuk menjaga
kesinambungan pasokan sampah B3 dari produsen2/ usaha komersial misal
industri besar, bengkel besar, fasyankes besar dan usaha komersial lainnya,
yang lokasinya berdekatan dengan DIY, agar Badan Usaha dapat melakukan
pengelolaan dan pengembangan TPST dengan baik.
5. Dukungan perijinan dari pemerintah pusat dan kementerian terkait dibangunnya
TPST sampah B3
6. Dukungan regulasi terkait pengolahan sampah B3 dan usaha Reuse, Recycle
sampah non B3 dan sampah B3
7. Pemberian instentif dari pemerintah bagi pengelolaan sampah non B3 dan
sampah B3 dari domestik dan industri kecil.
53
8. Bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk memotivasi pemerintah kota dan
kabupaten dalam mensukseskan program reduksi sampah domestik hingga 30%
sehingga jumlah sampah non B3 yang dikelola dalam TPST sesuai dengan
kapasitas rencana pengelolaan dan pengolahan.
54
7. Keputusan No. 255/BAPEDAL/08/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas
8. Edaran Keputusan BAPEDAL No. 08/SE/02/1997 tentang Penyerahan Minyak
Pelumas Bekas
9. Keputusan No. 02/BAPEDAL/01/1998 tentang Tata Laksana Pengawasan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah
10. Keputusan No. 03/BAPEDAL/01/1998 tentang Penetapan Kemitraan Dalam
Pengolahan Limbah B3
11. Keputusan No. 04/BAPEDAL/01/1998 tentang Penetapan Prioritas Limbah B3
12. Keputusan Menteri LH No. 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh
Minyak Bumi Secara Biologis
13. Peraturan Menteri LH No. 3 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pengumpulan dan
Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Pelabuhan
14. Peraturan Menteri LH No. 2 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
15. Peraturan Menteri LH No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol
dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun
16. Peraturan Menteri LH No. 5 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Limbah di
Pelabuhan
17. Peraturan Menteri LH No. 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
18. Peraturan Menteri LH No. 30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan
Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Serta
Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun Oleh Pemerintah Daerah
19. Peraturan Menteri LH No.33 Tahun 2009 tentang Tata cara pemulihan lahan
terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun
20. Peraturan Menteri LH No.02 Tahun 2010 tentang Penggunaan Sistem Elektronik
Registrasi bahan berbahaya dan beracun dalam Rangka Indonesia Nasional
Single window di kementerian Lingkungan Hidup.
Adapun dukungan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sampah dan limbah
B3 sebagaimana tercantum dalam pasal 5 wewenang Pemerintah Daerah dalam
Peraturan Daerah no 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
adalah:
55
4. memfasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pengembangan prasarana dan sarana persampahan
kabupaten/kota; dan
5. menetapkan retribusi pelayanan atau kontribusi Pemerintah Kabupaten/Kota
sesuai dengan tingkatan pelayanan yang diberikan.
56
B3 mulai dari RT hingga ke TPS, agar
mudah diakses oleh transporter ke TPA
Piyungan. Operator transportasi sampah
domestik dan limbah B3 ke
TPS/Depo/Storage.
3. Dinas Pendapatan Daerah Pembiayaan dalam pembangunan dan
pengoperasian pengolahan sampah dan
limbah B3 sesuai Dokumen kerjasama
Pemda dengan KPBU.
4. Dinas Lingkungan Hidup Menetapkan standar/baku mutu target
Prop/Kab/Kota pengolahan, lingkungan hidup di daerah
dengan mengacu pada peraturan
perundangan yang ada. Melakukan
Melakukan pengawasan dan pemantauan
terhadap pengumpulan sementara limbah
B3 dan pengumpulan dalam 1 kabupaten,
kinerja dan pelayanan dan hasil
pengolahan TPA Sampah dan Limbah B3
oleh swasta, Pemantauan lingkungan hidup
dan Pembinaan/penyuluhan dan insentif
kepada masyarakat. Membantu pemda
menyediakan TPS limbah B3 domestik di
setiap lokasi strategis yang aman dan
representatif.
5. Dinas PUP ESDM Menyediakan sistem pengelolaan sampah
dengan standar tertentu sesuai dengan
kondisi dan situasi masing-masing daerah
dalam upaya mensukseskan program
Pemerintah Pusat dalam pengurangan
sampah di sumber sampah hingga 30%
untuk meningkatkan pelayanan kinerja TPA
sampah dan limbah B3.
Menjamin penyediaan layanan jalan,
sumber energi dan kelistrikan, penyediaan
sistem drainase kota/kabupaten dan
pengendalian banjir dll..
6. Dinas Perhubungan Meningkatkan pelayanan aksesibilitas
(mengendalikan titik jenuh pelayanan jalan)
dari sumber timbulan sampah ke TPA
Piyungan
7. Dinas Pendidikan dan Mendidik siswa dan mahasiswa peduli
57
Kebudayaan, serta Perguruan sampah dan limbah B3 dan dalam
Tinggi menerapkan pemilahan sampah dan limbah
B3 serta melakukan penelitian aplikatif
peningkatan teknologi pengelolaan sampah
dan limbah B3 serta melakukan “capacity
building” para pemangku kepentingan di
daerah
8. Dinas Perdagangan dan Mendorong setiap industri besar dan IKM
Industri dalam mengelola, memilah dan 3 R
sampah dan limbah B3 ke TPA Sampah
dan Limbah B3
9. Dinas Pariwisata Menyediakan infrastruktur tempat sampah
yang terpilah-pilah di setiap lokasi
pariwisata, membantu menyampaikan
pesan “sadar dan buang sampah” pada
tempat yang ditentukan.
10. Dinas Kesehatan Mendorong setiap Fasyankes melakukan
pemilahan, pewadahan dan kontribusi
limbah B3 ke TPA Sampah dan Limbah B3.
Pengawasan dan pembinaan kepada
fasyankes dalam tertib pengelolaan limbah
B3 RS.
11. Industri, domestik/masyarakat, Pemilahan sampah dan limbah B3. Rumah
RS, Sekolah/PT, dll tangga, Industri, RS, melakukan
pewadahan sampah dan limbah B3 sesuai
standar dan tata cara pengangkutan ke
TPS dan atau TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan.
Menerapkan usaha 3 R di sumber sampah
dalam usaha membantu mengurangi 30%
volume sampah.
Industri besar dan Fasyankes besar
mendukung dalam pembiayaan retrubusi
pengolahan sampah/limbah B3.
12. Swasta/BU Mencari sumber dukungan dana,
Membangun infrastruktur Pengolahan
Sampah dan Limbah B3. Operatot
Transportasi limbah B3 dari sumber
timbulan industri/RS dan TPS/Depo/LDUS
ke TPA Sampah dan Limbah B3.
58
Operator Pengelolaan dan Pengolahan
Sampah dan Limbah B3. Peningkatan
Kompetensi (Capacity Building) SDM di
TPA Sampah dan Limbah B3
59
3 BAB III. ANALISA KEPATUHAN
60
15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan no : P.56 tahun 2015
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknik Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
16. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1204 tahun 2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
17. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi Serta Tatakerja
Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi
Sumber Daya Mineral.
18. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.
Secara khusus untuk rencana TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan dalam rangka
memenuhi UU No 8 tahun 2008, PP no 81 tahun 2012, dan PP No 101 tahun 2014,
serta pelaksanaan Perda DIY no 3 tahun 2013. Adapun yang perlu mendapat
perhatian sebelum rencana tersebut dibangun adalah perlunya izin lingkungan (PP
No 27 tahun 2012) dan melakukan Analisis mengenai Dampak Lingkungan
(PerMenLH no 5 tahun 2012).
61
Pemerintahan Daerah pasal 11 adalah Infrastruktur dalam Bidang Pekerjaan Umum
dan Tata Ruang yang menjadi Urusan Pemerintahan Wajib berkaitan dengan
Pelayanan Dasar.
Lebih spesifik tentang kewenangan pengelolaan limbah B3, Lampiran UU No.
23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pengelolaan B3 dan limbah B3 termasuk
bidang lingkungan hidup. Pasal 12 UU 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa bidang
lingkungan hidup termasuk urusan pemerintahan konkuren, yaitu urusan yang dibagi
kewenangannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut
Lampiran UU 23 Tahun 2014, pengelolaan B3 dan limbah B3 adalah kewenangan
Pemerintah Pusat, sementara pengumpulannya adalah kewenangan Pemerintah
Daerah. Pembagian kewenangan ini bukan hal yang kaku, karena dalam Pasal 13
ayat 3 UU 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa suatu urusan bisa menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah jika penggunaan sumber daya akan lebih efisien
jika dijalankan oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal pengelolaan limbah B3 dalam
kajian ini, sumber daya terkait lokasi akan lebih efisien jika dikelola Pemerintah
Daerah karena akan sangat mengurangi biaya transportasi limbah B3 yang sangat
mahal jika lokasi pengolahannya berada dalam Provinsi DIY sendiri. Selanjutnya
Pasal 19 UU 23 Tahun 2014 membuka peluang bahwa urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dimungkinkan untuk
diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Pusat atau dilimpahkan kepada gubernur.
Menurut RPJMN DIY 2017-2022 Pengembangan TPA Sampah dan Limbah
B3 Piyungan bukan program strategis pembangunan infrastruktur nasional karena
utamanya untuk mengolah sampah dan limbah B3 dari Kawasan Strategis Provinsi
yaitu Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang lintas kota/kabupaten. Upaya
keberlanjutan dan peningkatan operasional TPA Sampah dan Limbah B3 di
Piyungan dapat juga dikembangkan untuk menampung sampah dan limbah B3 dari
kawasan strategis lainnya di DIY maupun wilayah Jawa Tengah yang berdekatan.
Dengan demikian Pengelolaan sampah dan Limbah B3 di Piyungan berskala
regional dimana kewenangan pengelolaan ada di tingkat Provinsi sebagaimana
diatur dalam pasal No 13 menurut UU No. 23 tahun 2014, dan PJPK Pembangunan
Prasarana TPA Sampah dan limbah B3 adalah Gubernur DIY.
Gubernur DIY telah menindaklanjuti pesan Pasal 7 PP No 81 tahun 2012
dengan menetapkan Perda no 3 tahun 2013, khusus terkait TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan tercantum pada Pasal 26, yang menyebutkan sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah menyelenggarakan Pengolahan Sampah di TPST dan/atau
TPA.
2. TPST atau TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah TPST dan/atau
TPA yang dimiliki dan dikelola Pemerintah Daerah.
3. Pengolahan sampah di TPST dan/atau TPA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh merusak lingkungan dan/atau merugikan kepentingan
masyarakat.
62
3.3 Kesesuaian KPBU dengan Dokumen RPJMN dan RPJMD Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun
Sasaran
2017 2018 2019
2
Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri PPn/Kepala Bappenas Nomor 050/4936/SJ dan Nomor
0430/M.PPN/12/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelarasan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengeh Nasional 2015-
2019
63
Pertumbuhan ekonomi (%) 5,9 – 6,3 6,1 – 6,7 6,2 – 6,9
Tingkat kemiskinan (%) 10,8 – 10,2 9,6 – 8,8 7,6 – 6,9
Tingkat Pengangguran (%) 4,4 – 4,1 4,3 – 3,9 4,2 – 3,8
(Sumber: RPJMD DIY 2017-2022)
64
Pembangunan sarana prasana TPA Sampah dan pengolahan B3 terdapat
dalam Rencana Pembangunan Panjang Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
(RPJPD DIY) 2005-2025 dimana memiliki visi “Daerah Istimewa Yogyakarta pada
Tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Budaya dan Daerah Tujuan Wisata
Terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri dan
Sejahtera” dengan misi “Mewujudkan kepariwisataan yang kreatif dan inovatif”.
Pembangunan infrastruktur strategis yang akan dikembangkan pada Tahun
2017-2022 sebagai keberlanjutan implementasi RPJMN yaitu:
a. Pembangunan Bandar Udara Kulon Progo (New Yogyakarta International
Airport)
b. Tindaklanjut Pembangunan Pelabuhan Perikanan Tanjung Adikarto
(penyelesaian breakwater)
c. Penyelesaian Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS)
d. Pengembangan Transportasi Umum Massal (Kereta Api Pendukung Bandara
termasuk dalam hal ini pembangunan Mono Rail Transport, Pengembangan
Bus Rapid Transit)
e. Pembangunan jalan lingkar Kota Yogyakarta (Jogja Outer Ring Road)
65
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang dapat diilustrasikan pada
Tabel 3-2.
66
Penekanan 5 Penekanan 5 Penekanan 5 Penekanan 5
Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga Tahun Keempat
2005-2009 2010-2014 2015-2019 2020-2025
RPJMD DIY RPJMD DIY Visi Misi
2009 -2013 2012 -2017 Gubernur DIY
“Jogja 2017 -2022
Renaisans” “Abad
Samudera
Hindia”
(Rancangan
Awal)
Visi “Pemerintah “Daerah “Menyongsong
daerah yang Istimewa “Abad Samudera
katalistik dan Yogyakarta Yang Hindia” untuk
masyarakat Lebih kemuliaan
mandiri yang Berkarakter, martabat
berbasis Berbudaya, manusia Jogja”
keunggulan daerah Maju, Mandiri
serta sumberdaya dan Sejahtera
manusia yang Menyongsong
berkualitas unggul Peradaban Baru”
dan beretika”.
(Sumber: Sudaryono (2017), Bahan Rapat Visi Misi Gubernur DIY 2017-2022, dalam Dokumen
RPJMD DIY 2017-2012)
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY telah dilantik pada tanggal 10 Oktober
2017. Periodesasi RPJMD Daerah Istimewa Yogyakarta disesuaikan dengan masa
jabatan kepala daerah, yakni 2017-2022. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2017-2022 disusun dengan
mempertimbangkan hasil kajian dan konsepsi Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2005- 2025, dan
rnemperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2015-2019. Selain itu juga mempertimbangkan asas kesinambungan dengan
program-program pembangunan yang termuat dalam RPJMD Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2012-2017, serta mempertimbangkan arah pembangunan
kewilayahan sebagaimana dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Visi Gubernur DIY 2017 - 2022 dalam rumusan Panca Mulia, adalah
“Terwujudnya Peningkatan Kemuliaan Martabat Manusia Jogja, Misi Meningkatkan
Kualitas Hidup, Kehidupan dan Penghidupan Masyarakat Yang Berkeadilan dan
Berkeadaban” dengan tatanan sosial yang menjamin menjamin ke-bhineka-tunggal-
ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mampu menjaga
dan mengembangkan budaya Yogyakarta dengan sasaran Meningkatnya aktivitas
perekonomian yang berkelanjutan.
67
Pembangunan Sarana Prasarana sebagai bagian dari Pemenuhan
Infrastruktur Dasar, tercermin dalam Visi Gubernur DIY tersebut. Meningkatkan
penyediaan infrastruktur dasar yang berketahanan dan berkelanjutan bertujuan untuk
mengatasi isu strategis pembangunan berkelanjutan dalam hal Pengelolaan
pencemaran dan kerusakan lingkungan,
Pembangunan Prasarana Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 adalah upaya
untuk menyelesaikan salah satu dari 5 Isu Strategis Pembangunan Berkelanjutan di
DIY (Perpres Nomor 59 Tahun 2017 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB))
yaitu isu pencemaran lingkungan, dimana sasaran tujuan TPB ke-11 yaitu
penanganan sampah dan limbah perkotaan. Pembangunan Prasarana tersebut juga
merupakan salah satu upaya mitigasi terkait KLHS semua pembangunan yang
termaktub dalam RPJMD.
Pengembangan Pengelolaan Sampah merupakan pengembangan dan
pembangunan infrastruktur yang antara lain terprogram di dalam Program
Pembangunan Daerah, instrumen arah kebijakan untuk mencapai sasaran RPJMD
2017 -2022, yang selaras dengan arah kebijakan program strategis nasional,
sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 3-3.
68
No. Kelompok Rincian Kegiatan
Pembangunan
Infrastruktur
5 Pembangunan Stasiun Pengembangan Stasiun KA Palbapang,
Interchange Stasiun Kedundang dan Stasiun
Pathukan
6 Pembangunan Terminal Pembangunan Terminal Angkutan
Angkutan Barang Barang
7 Pengembangan Pengembangan TPA Regional
Pengelolaan Sampah Piyungan
8 Pengembangan Jalan Pembangunan jalan tol Jogjakarta –
Bebas Hambatan Solo, Bawen - Jogjakarta dan
Jogjakarta – Cilacap
(Sumber : RPJMD DIY, 2017-2022)
4 Pasal 5 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723).
69
keistimewaan akan dilakukan revitalisasi dalam rangka memperkuat karakter
wilayah (kawasan cagar budaya dan kawasan pendukungnya).
Arahan Perencanaan Sistem Jaringan Sampah Domestik dan Limbah B3
dalam RPJMD DIY adalah rencana sistem jaringan persampahan dan limbah B3
diarahkan sesuai dengan arah pengembangan atau rencana pemanfaatan ruang
KPY, khususnya pada daerah perdagangan (-pasar pertokoan), pemukiman,
pariwisata, industri, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Pelibatan peran
masyarakat dalam pengolahan persampahan mandiri atau sistem 3R. Fasilitas
sarana dan prasarana perlu dikembangkan, antara lain Bank Sampah, TPS-3R, dan
TPST. Pengembangan atau pengolahan sampah di TPST Piyungan diarahkan
berbasis teknologi dan bernilai ekonomi dengan membuka peluang investasi atau
kersajama swasta. Lokasi TPST Piyungan diarahkan berlokasi di wilayah yang
berada di KPY yang belum padat penduduknya, yaitu di Kabupaten Bantul yang
mendukung pengembangan kawasan strategis Provinsi di Kawasan Perkotaan DIY.
KPY menuju smart city merupakan arahan dari RTRW Yogyakarta mengenai
strategi DIY dalam menuju smart province, yang diungkapkan oleh Menteri PUPR
(2015) terdiri dari beberapa elemen sebagai berikut: Smart development planning,
Smart green open space, Smart transportation, Smart waste management, Smart
water Management, Smart Building, Smart energy.
Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) merupakan kawasan strategis dari
sudut kepentingan ekonomi. Kawasan ekonomi lainnya Kawasan Temon-
Prambanan, Kawasan Tempel-Parangtritis, dan Kawasan Pantai Selatan DIY.
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial dan budaya terdiri atas
kawasan strategis kasultanan dan kawasan strategis kadipaten. Kawasan strategis
dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup terdiri atas
Kawasan Bentang Alam Karst dan Kawasan Gumuk Pasir Parangtritis. Kawasan
strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tinggi terdiri atas Kawasan Pantai Selatan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
dan Gelombang Laut di Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten
Gunungkidul.
70
Gambar 3-1 Peta Rencana Kawasan Strategis di DIY (Sumber: Peninjauan Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY (2015))
71
Subosukawonosraten meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo,
Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Potensi regional yang dimiliki wilayah
pengembangan Subosukowonosraten adalah potensi: (1) primer meliputi
pertambangan, pertanian, perkebunan, peternakan; (2) sekunder terdiri dari industri
kayu, Tekstil Produk Tekstil, batik, jamu, kerajinan; dan (3) tersier berupa
perdagangan dan pariwisata.; serta (2) Purwomanggung meliputi Kabupaten
Purworejo, Wonosobo, Magelang, Kota Magelang dan Kabupaten Temanggung.
Simpul utama sebagai penggerak ekonomi adalah Kota Magelang dan sekitarnya
sebagai pusat kegiatan berskala nasional, didukung oleh koridor perkotaan
Magelang-Mungkid Borobudur-Muntilan-Salam, koridor perkotaan Purworejo-
Kutoarjo, koridor perkotaan Temanggung-Parakan, Wonosobo, Kertek, dan Wadas
Lintang. Sedangkan potensi regional yang dimiliki antara lain berupa industri kayu
dan pengolahan buah; dan berupa pariwisata (termasuk dalam rangka mendukung
Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Borobudur).
72
Sistem transportasi dapat menghubungkan pusat-pusat sub wilayah dan
pusat-pusat pertumbuhan guna meningkatkan perkembangan wilayah. Dengan
adanya transportasi suatu wilayah akan mudah untuk berinteraksi dengan wilayah
tersebut maupun antar wilayah lainnya. Fungsi utama sistem jaringan transportasi
adalah mewadahi pola hubungan kegiatan dan pergerakan yang diwujudkan dalam
jalur jalan sehingga kegiatan dan pergerakan saling terkait secara utuh dan terpadu.
Tujuan pengembangan sistem jaringan pergerakan tersebut mensyaratkan adanya
pengembangan yang terpadu meliputi sistem transportasi darat, udara di dalam
tatanan struktur tata ruang kawasan perkotaan (Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Provinsi yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang No. 37 Tahun 2016). Pembangunan infrastruktur khususnya aspek
aksesibilitas jalan diperlukan untuk meningkatkan/ mengembangkan keterpaduan
antar wilayah di KPY maupun antar daerah dan nasional perlu terkoneksikan secara
maksimal. Rencana jaringan transportasi didasarkan pada rumusan konsep struktur
ruang Kawasan Perkotaan sebagaimana disajikan dalam Gambar 3-2.
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Yogyakarta, tujuan
pengembangan sistem jaringan pergerakan dapat dijelaskan ke dalam hal berikut:
1. Mendukung pertumbuhan wilayah secara terpadu yang meliputi:
Meningkatkan eksternalitas Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Menunjang perkembangan sektor – sektor utama, meliputi kegiatan
perdagangan dan jasa, serta pendidikan yang telah terangkum dalam sistem
pelayanan perkotaan.
2. Memeratakan pembangunan yang meliputi
Memperlancar distribusi barang dan jasa dan mobilitas penduduk
Mempermudah akses ke wilayah-wilayah yang didorong untuk berkembang.
Sistem jaringan pergerakan secara internal di KPY ditunjukkan dengan
jaringan jalan primer dan sekunder yang terdiri atas arteri yang melayani angkutan
utama antar kota dan kolektor yang berfungsi sebagai pengumpul/pembagi,
keduanya membujur arah utara-selatan dan barat-timur (Gambar 3-3).
Sistem angkutan penumpang regional telah melayani Kota Yogyakarta dan
daerah sekitarnya. Sementara yang dikembangkan di lingkup internal Kota
Yogyakarta merupakan sebuah sistem yang masih bercampur karena beragam jenis
moda angkutan kerap berada di jalan yang sama.
Menurut peranan pelayanan jasa distribusinya, sistem jaringan jalan terdiri
dari:
a. Sistem jaringan jalan primer, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud kota
b. Sistem jaringan jalan sekunder, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota.
73
Gambar 3-2 Jaringan infrastruktur jalan yang dapat mendukung akses ke lokasi TPST
Piyungan Kab Bantul (Sumber: Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY,
2017)
Gambar 3-3 Visualisasi Sistem Jaringan Jalan Primer dan Sekunder (Sumber : Fakta
dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
74
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4444), terdapat beberapa klasifikasi fungsi jalan yang
akan direncanakan untuk dikembangkan guna memperlancar sistem pergerakan dan
distribusi manusia dan barang, yaitu jaringan jalan arteri primer, arteri sekunder,
kolektor sekunder, lokal dan lingkungan, sementara jaringan jalan yang lain hanya
ditingkatkan kualitasnya saja untuk pengembangan. Jaringan jalan merupakan suatu
sistem yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan
wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hubungan hirarki.
Sistem Pelayanan Wilayah terdiri atas: Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Wilayah Promosi, dan Pusat Kegiatan
Lokal (PKL), seperti dapat dilihat pada Gambar 3-4 dan Tabel 3-4.
Tabel 3-4 Hirarki Kota dan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Primer
Gambar 3-4 Sistem Jaringan Jalan Primer (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017)
75
Pembagian kelas jalan berdasarkan ukuran lebar, panjang kendaraan dan
muatan kendaraan, tersebut adalah Jalan kelas I (jalan arteri dengan kendaraan
lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦ 10.000 mm, muatan ≦10 ton), Jalan kelas II (jalan
arteri dengan kendaraan lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦ 18.000 mm, muatan ≦ 10
ton), Jalan kelas IIIA (Jalan kolektor, kendaraan lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦
18.000 mm,. muatan ≦ 8 ton, Jalan kelas III (Jalan kolektor kendaraan lebar ≦ 2.500
mm, panjang ≦12.000 mm, muatan ≦ 8 ton, Jalan kelas III (Jalan kolektor
kendaraan lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦ 9.000 mm, muatan ≦ 8 ton).
Arahan pengembangan jaringan jalan dan sarana transportasi didasarkan
pada hal berikut :
a. Perencanaan jaringan jalan serta angkutan memenuhi persoalan transportasi
b. yang saat ini ada maupun diprediksi dengan tetap memperhatikan perannya
sebagai bagian integral dari proses pengembangan wilayah kota.
c. Perencanaan jaringan transportasi merespon arahan pembangunan regional di
mana Kawasan Perkotaan Yogyakarta memiliki koneksi dengan kawasan
sekitarnya dalam perannya sebagai PKN untuk wilayah Jawa bagian selatan.
d. Perencanaan sistem transportasi didasarkan pada pendekatan ekonomi, sosial-
budaya dan teknis.
76
3) Jalan yang menghubungkan pusat Kota Yogyakarta dengan pusat
pelayanan primer Terminal Giwangan yaitu Jalan Pramuka dan
Jalan Imogiri Timur;
4) Jalan yang menghubungkan pusat Kota Yogyakarta dengan pusat
pelayanan primer Terminal Jombor yaitu Jalan Magelang;
5) Jalan yang menghubungkan pusat Kota Yogyakarta dengan pusat
pelayanan primer Bandara Adisucipto yaitu Jalan Laksda Adisucipto;
dan
6) Jalan yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan
peruntukan industri yaitu Jalan Godean
c. Kolektor Sekunder, yaitu
1) Pengembangan jalan kolektor arah utara – selatan di bagian barat
kawasan yang menghubungkan ring road utara dan ring road
selatan yaitu Jalan Kabupaten dimulai dari ring road utara menuju ke
Jalan Godean, dari Jalan Godean menuju Jalan Wates, dan dari
Jalan Wates menuju ring road selatan;
2) Jalan Sugeng Jeroni, Jalan Letjend MT Haryono, Jalan Mayjend
Sutoyo, Jalan Kolonel Sugiono, Jalan Menteri Supeno, Jalan Perintis
Kemerdekaan;
3) Jalan Gambiran dan Jalan Veteran;
4) Jalan Kusumanegara, Jalan Sultan Agung, Jalan P. Senopati, Jalan
KH. Ahmad Dahlan, Jalan RE Martadinata;
5) Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Diponegoro;
6) Jalan Tentara Pelajar, Jalan Tentara Rakyat Mataram, Jalan Letjen
Suprapto, Jalan KH Wakhid Hasyim, Jalan Suryowijayan, dan Jalan
Dongkelan;
7) Jalan Sisingamangaraja dan Jalan DI Panjaitan;
8) Jalan Tri Tunggal, Jalan Sorogenen dan Jalan Tegal Turi;
9) Jalan Lowanu, Jalan Tamansiswa, Jalan Suryopranoto, Jalan Dr.
Sutomo, Jalan Ki Mangun Sarkoro, Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo,
dan Jalan Prof. Ir. Herman Yohanes;
10) Jalan Affandi, Jalan Timoho, Jalan Ipda Tut Harsono, dan Jalan
Warungboto;
11) Jalan Kaliurang, Jalan Cik Di Tiro, Jalan Suroto, Jalan Yos Sudarso,
Jalan Abu Bakar Ali, Jalan Kleringan, Jalan Pangeran Mangkubumi;
12) Jalan Pasar Kembang, Jalan Malioboro, Jalan Mataram, Jalan
Brigjen Katamso, dan Jalan Parangtritis; dan
13) jalan kolektor sekunder dari pertigaan Janti menuju ring road utara
77
pola jaringan jalan yang ada, yang layak di tingkatkan sebagai outer
ring road dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bagian Selatan dimulai dari jalan arteri primer di Prambanan ke
selatan, melalui Pleret belok ke barat melalui beberapa desa di
utara Kota Bantul, kemudian ke utara lewat Bangunjiwo dan
bertemu dengan jalan arteri primer Yogya-Bandung di Gamping.
Bagian Utara, di mana daerah utara yang berfungsi sebagai
area tangkapan air akan mensyaratkan pengendalian perubahan
wilayah-wilayah di sekitar penetapan jalan arteri tersebut.
2) Jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Bantul
ditingkatkan fungsinya menjadi jalan arteri primer.
b. Peningkatan kapasitas serta penataan geometri jalan pada sistem
jaringan jalan arteri dan kolektor
Pertambahan jalan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta sangat kecil
sekali baik pembukaan jalan baru, ataupun peningkatan atau pelebaran
jalan yang sudah ada. Bagi tempat-tempat yang dibangun fasilitas baru
dan mempunyai skala pelayanan luas, baru ada
pembangunan/pengembangan jalan sebagai wadah arus
transportasinya, seperti :
Pembangunan Stadion Maguwoharjo di Paingan, Desa
Maguwoharjo, jalan lebar bermedian ke arah timur menyambung
jalan kolektor.
Pembangunan terminal Kelas A Giwangan dan Pasar Induk
Giwangan, jalan yang menuju pusat Kota Yogyakarta ditingkatkan
menjadi arteri sekunder.
Pembangunan JEC (Jogja Expo Center), di Wonocatur, maka jalan
di utaranya yang terhubung ke ringroad timur ditingkatkan menjadi
kolektor sekunder.
Zona industri
industri Fasilitas
perdagangan
jalur kendaraan skala regional
besar
Arteri primer
atau by pass
Fasilitas
perdagangan
skala kota Arteri sekunder
Gambar 3-5 Skema hubungan transportasi dan guna lahan di dalam kawasan
perkotaan (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
78
c. Penurunan fungsi beberapa ruas jalan
Jalan yang perlu diturunkan fungsinya adalah arteri primer yang
mengeliling kota, yaitu ring road menjadi arteri sekunder ketika Jogja
Outer Ringroad (JORR) telah direalisasikan sepenuhnya. Pembangunan
ini juga akan berimplikasi pada penggal jalan yang berada di antara
kedua ring road tersebut.
Panjang (km)
No Nama Ruas Jalan Tol Operasi
Rencana
Utama Akses
1 Yogyakarta-Bawen V 104
2 Yogyakarta-Solo V 46
(Sumber: Kepmen PU Nomor 369/KPTS/M/2005 dalam Dokumen Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017)
79
Gambar 3-6 Skema sistem jaringan pergerakan penumpang (Sumber : Fakta dan
Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
KPY
Gambar 3-7 Jalan Nasional Jalan Tol Pulau Jawa (Sumber: Kepmen PU Nomor
369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
Keberadaan lintasan jalan tol yang berada di Yogyakarta bagian utara (Desa
Purwomartani, Kecamatan Kalasan) adalah seperti tampak pada Gambar 3-8.
Kws. APY
80
Gambar 3-8 Jalan Tol yang melewati DI Yogyakarta (Sumber: Kepmen PU Nomor
369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
81
Gambar 3-9 Struktur ruang sistem jaringan transportasi antar wilayah (Sumber : Fakta
dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
82
tahun dari tahap perencanaan) dengan beberapa asumsi (KPY, 2017). Tabel 3-6
menyajikan hasil analisis proyeksi kebutuhan energi listrik di Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (KPY) tahun 2022, 2027, 2032, dan 2037 (selama 20 tahun ke depan).
Dari hasil proyeksi kebutuhan energi listrik di wilayah Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (KPY) sampai dengan tahun 2037 (20 tahun dari tahap perencanaan),
dimana perkembangan kebutuhan listrik total di wilayah Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (KPY) diperkirakan sekitar 2,01 % per tahun. Nilai tersebut masih terlalu
kecil dibandingkan dengan peningkatan kebutuhan listrik secara keseluruhan di
wilayah DI. Yogyakarta. Sampai dengan tahun 2037, kebutuhan listrik di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta sudah mencapai 701.383.293 VA. Jika mengacu analisa dari
RTRW Provinsi DI. Yogyakarta didapatkan bahwa kebutuhan listrik DI. Yogyakarta
tahun 2035 sudah mencapai 1.336.466.288,68 VA. Hal ini artinya bahwa kebutuhan
listrik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) mencapai 52,48 % dari total
kebutuhan listrik di DI. Yogyakarta secara keseluruhan. Kecenderungan
pertumbuhan rumah tangga serta kebutuhan daya, di masa mendatang pasokan
listrik harus ditingkatkan lagi untuk dapat memenuhi kebutuhan daya di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta. Hingga tahun 2017, mungkin pasokan yang tersedia masih
lebih banyak dibandingkan dengan jumah pelanggan dan masih memiliki kapasitas
berlebih untuk kepentingan pengembangan kegiatan-kegiatan baru.
Tabel 3-6 Proyeksi kebutuhan listrik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta hingga tahun
2037
Tahun
Uraian
2017 2022 2027 2032 2037
Proyeksi Penduduk
1.248.647 1.369.999 1.507.894 1.665.004 1.844.459
(Jiwa)
Jumlah RT (KK) 312.180 342.519 376.988 416.268 461.133
Cakupan Pelayanan (%) 90 90 90 90 90
Kebutuhan Daya (VA/KK) 1.300,00 1.300,00 1.300,00 1.300,00 1.300,00
Kebutuhan domestik (VA) 365.250.600 400.747.230 441.075.960 487.033.560 539.525.610
Kebutuhan Bisnis dan
91.312.650 100.186.808 110.268.990 121.758.390 134.881.403
Industri (VA)
Kebutuhan Pelayanan
18.262.530 20.037.362 22.053.798 24.351.678 26.976.281
Umum (VA)
Kebutuhan Listrik Total
474.825.780 520.971.399 573.398.748 633.143.628 701.383.293
(VA)
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
83
Menengah) dan SUTR (Saluran Udara Tegangan Rendah) sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Pengembangan energi listrik tenaga air di Waduk Sermo,
dan saluran irigasi Kalibawang Kabupaten Kulon Progo, pengembangan energi listrik
tenaga bayu dan tenaga surya di pantai selatan, peningkatan kapasitas terpasang
listrik pada kawasan peruntukan industri dan kawasan industry, pengembangan
energi baru terbarukan di seluruh DIY.
Tahun
Uraian
2022 2027 2032 2037
84
Proyeksi Penduduk (Jiwa) 1.260.834 1.387.677 1.532.206 1.697.310
Jumlah Rumah Tangga (KK) 315.226 346.931 383.067 424.344
Sambungan Telepon Rumah (/jiwa) 0,13 0,13 0,13 0,13
Sambungan Telepon Umum (/jiwa) 0,004 0,004 0,004 0,004
Kebutuhan Telepon Rumah (Unit) 163.908 180.398 199.187 220.650
Kebutuhan Telepon Fasilitas
5.043 5.551 6.129 6.789
Umum (Unit)
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)
Kondisi pelayanan air minum di DIY menurut data RISPAM Kab./Kota dan
Roadmap MDGs DIY baru mencapai sekitar 72,78%. Padahal, kebutuhan air minum
di wilayah DIY mengalami peningkatan di tiap tahunnya. Tabel 3-8 menyajikan
proyeksi kebutuhan air minum DIY menurut data RISPAM Kab./Kota dan Roadmap
MDGs DIY.
Tabel 3-8 Proyeksi Kebutuhan Air Minum DIY s.d. 2030
85
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
No Kabupaten/Kota 2030 (l/dt)
2013 (l/dt) 2015 (l/dt) 2020 (l/dt) 2025 (l/dt)
1 Kulon Progo 271 597 853 1166 1966
2 Sleman 486 1073 1491 2044 2682
3 Bantul 392 534 1050 1628 2518
4 Gunungkidul 658 968 993 1020 1047
5 Yogyakarta 550 328 558 815 1142
Total 2357 3500 4945 6673 9355
(Sumber: data RISPAM Kab./Kota dan Roadmap MDGs DIY dalam Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017)
Gambar 3-10 Skema sistem Bantar dan Kebonagung di Sungai Progo ((Sumber : Fakta
dan Analisa Penyusunan RTR DOY KSP KPY, 2017)
86
Kolam pengumpul air hujan adalah kolam atau wadah yang dipergunakan
untuk menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan (rumah, gedung
perkantoran atau industri) yang disalurkan melaluitalang. Kebutuhan kolam
pengumpul air hujan baik di atas permukaan tanah maupun dibawah permukaan
tanah yaitu sebesar 1 unit (1,5 m3) per 50 m2luas tutup bangunan dan setiap
tambahan 25- 50 m2 luas tutup bangunan diperlukan tambahan 1 unit atau volume
1,5 m3.
87
9) Kali Widuri wilayah yang dilalui adalah Kec.Tegalrejo, Kec.Wirobrajan (Kota
Yogyakarta), Ds.Ngestiharjo, Ds.Tirtonirmolo (Kab.Bantul).
10) Kali Ngalang wilayah yang dilalui adalah Ds.Tlogoadi, Ds.Sidomulyo, Ds.
Nogotirto, Ds.Sidoarum, Ds.Banyuraden (Kab.Sleman) Ds. Ambarketawang,
Ds.Tamantirto (Kab.Bantul).
11) Kali Konteng wilayah yang dilalui adalah Ds.Sidomoyo, Ds.Sidokarto, Ds.
Sidoagung, Kec. Gamping (Kab.Sleman).
12) Kali Prangkok wilayah yang dilalui adalah Ds.Sidoagung (Kab.Sleman).
13) Kali Krusuk wilayah yang dilalui adalah Ds.Sidoluhur (Kab.Sleman).
88
3.5.5 Sistem jaringan persampahan
89
4 BAB IV. ANALISA FAKTOR PENENTU MANFAAT UANG (VALUE
FOR MONEY)
a) APBN/APBD
Pembiayaan dilakukan secara penuh oleh Pemerintah melalui persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, proses penyusunan
anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang melibatkan banyak
pihak, termasuk semua departemen dan lembaga, dan DPR sehingga
memakan proses persetujuan yang sangat lama.
Saat ini, banyak proyek pengembangan infrastruktur yang akan dilakukan di
Indonesia. Di sisi lain, kemampuan APBN untuk membiayai kegiatan
tersebut sangat terbatas. Tata kelola yang rendah dengan akuntabilitas yang
rendah sering terjadi dalam pengelolaan APBN dimana gaya pengelolaan
bersifat regulator ditambah kurang berpengalaman dalam mengelola resiko.
Proses pengadaan yang buruk mengakibatkan biaya pembangunan
cenderung tinggi ditambah dengan pengelolaan operasional tidak
profesional memberikan efek rugi dan kurangnya layanan (level of services).
b) Pembiayaan dengan KPBU
Dalam skema KPBU, pembiayaan, pelaksanaan, dan operasional dan
perawatan dapat dilakukan oleh Badan Usaha dengn adanya dukungan dari
Pemerintah, baik berupa dukungan dana maupun pembagian penjaminan risiko
antara Pemerintah dan Badan Usaha.
Analisis Value for Money (VFM) dilaksanakan untuk menilai apakah skema KPBU
lebih baik daripada pembiayaan melalui APBN/APBD dengan memperhatikan aspek
ekonomis, efektifitas dan akuntabilitas, alih pengetahuan dan teknologi serta
transparansi dan efiensi. Error! Reference source not found. merangkum analisis
FM secara kualitatif untuk proyek TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan.
90
Tabel 4-1 Analisis Value for Money untuk Proyek TPA Sampah dan Limbah B3
(Arti lambang: = manfaat nilai uang relatif kecil, = manfaat nilai uang relatif
sedang, = manfaat nilai uang relatif besar)
Bergantung pada
Pengelolaan Mempunyai
Anggaran Belanja
Manajemen pendapatan usaha
Daerah
Lebih fleksibel,
Pengelolaan bergantung pada
Kurang fleksibel
Anggaran kebutuhan dan
orientasi profit
Inovasi desain
Mendapatkan berbagai
Terbatas pada dan atau
opsi teknologi dari
kemampuan tim praktik
peserta lelang
konstruksi
Kemudahan
Lebih fleksibel dalam
Bergantung pada dan
pencairan pendanaan
APBD Pengelolaan
pembangunan proyek
Pembiayaan
91
Konvensional Isu Terkait KPBU
pencairan APBD penalti
Optimasi
Antara Kualitas
dan Biaya
Pekerjaan
Risiko keterlambatan
proyek dan kegagalan
Alokasi Risiko operasional menjadi
tanggung jawab Badan
Usaha Mitra
Kesimpulan:
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk proyek pembangunan TPA
Sampah dan Limbah B3 Piyungan akan memberikan Value For Money (VFM) yang
lebih baik jika menggunakan skema KPBU daripada menggunakan skema
konvensional.
Swasta mempunyai peluang yang lebih besar dan dapat lebih fleksibel menarik dana
dari luar negeri yang terkena pengaruh negative interest yield untuk dapat
diinvestasikan dengan imbal hasil investasi yang lebih menarik di Indonesia
dibandingkan apabila hal tersebut harus dilakukan sendiri oleh Pemerintah
Indonesia (karena adanya pembatasan lebar defisit anggaran).
92
Korporasi swasta dapat melakukan proses leveraging secara lebih efisien
dibandingkan Pemerintah sehingga dengan pendanaan yang sama dapat digunakan
untuk melakukan investasi beberapa kali lebih besar dibandingkan apabila kegiatan
investasi tersebut dilakukan sendiri oleh Pemerintah. Swasta yang sehat, kuat, dan
tumbuh berkembang secara wajar dengan dukungan regulasi pengawasan dan
pengendalian yang kondusif dari Pemerintah merupakan sumber dan mitra
pertumbuhan ekonomi yang menciptakan nilai tambah dan menciptakan lapangan
pekerjaan secara berkelanjutan.
Hal ini yang menjadi pertimbangan untuk melibatkan pihak Swasta dalam
mengembangkan kinerja TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan. Di samping Pihak
Swasta memiliki keunggulan dalam mengelola baik aktifitas operasi dan resiko-
resikonya. Oleh karena itu Pihak swasta yang dilibatkan dalam pengembangan
kinerja TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan harus memiliki pengalaman.
Keterlibatan Pihak Swasta ini, diharapkan kecukupan modal untuk investasi
peningkatan kinerja TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan bisa terpenuhi dan
peningkatan standard layanan pengelolaan di TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan.
Proses pengadaan pada Proyek KPBU mengacu pada Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perka LKPP) No. 19 Tahun 2015,
sehingga dapat terjaminnya beberapa aspek berikut:
1. Efektifitas, Badan Usaha akan berupaya untuk melakukan optimasi antara dana
dan kualitas pekerjaan.
2. Akuntabilitas, Badan usaha harus dapat mempertanggungjawabkan segala
sesuatunya sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
93
3. Pihak Swasta dipersyaratkan untuk menggunakan tenaga kerja local. Tenaga
kerja lokal tersebut harus dikembangkan dengan melakukan pelatihan.
Untuk menjamin bahwa pemilihan Pihak Swasta untuk mengelola TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan, proses seleksi dilakukan dengan persaingan yang sehat,
transparansi dan efisien dengan merujuk kepada Perpres No. 38 Tahun 2015 dan
Perka LKPP No.19 Tahun 2015.
94
5 BAB V. ANALISA POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA
PEMBIAYAAN PROYEK
Kemampuan daerah dalam hal keuangan dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) yang meliputi penerimaan atau pendapatan daerah,
pengeluaran atau belanja daerah dan pembiayaan daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi aspek Pendapatan dan
Aspek Belanja, serta aspek Pembiayaan. Aspek Pendapatan terdiri dari Pendapatan
Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah, Aspek Belanja
terdiri dari Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung dan Aspek Pembiayaan
terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan.
Gambar 5-1 Komposisi APBD DIY Rentang Tahun 2012 – 2016 (Sumber: Raperda,
RPJMD DIY Tahun 2017-2022)
95
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara belanja langsung
merupakan belanja yang dianggarkan yang terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Dalam kurun waktu 2012 – 2016, realisasi
belanja Pemerintah DIY mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 22,31 persen per tahun.
Pertumbuhan rata-rata yang baik dari APBD DIY menunjukkan kesehatan fiskal
Pemda DIY yang juga dapat dijadikan dasar bahwa Pemda DIY mempunyai
kemampuan fiskal untuk Availability Payment (AP) pada skema KPBU.
Gambar 5-2 Pendapatan Asli Daerah DIY dan Perbandingannya dengan Realisasi
Anggaran Pendapatan (Sumber: Raperda, RPJMD DIY Tahun 2017-2022)
Dalam era otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan menjadi
pendorong utama bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah,
pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan publik. Semakin tinggi
Pendapatan Asli Daerah maka semakin kecil tingkat ketergantungan daerah
terhadap dana transfer pusat ke daerah. Dalam jangka waktu 2012-2016,
96
Pendapatan Asli Daerah Pemerintah DIY tumbuh dengan baik dengan rata-rata
sebesar 13,85 persen per tahun. Pada tahun 2012, Pendapatan Asli Daerah adalah
sebesar Rp 1.004.063.125.812,33 sedangkan di tahun 2016 penerimaan PAD
mencapai Rp 1.673.749.196.521,51. Selama lima tahun terakhir (2012-2016)
pendapatan asli daerah tumbuh rata-rata 16,42 persen per tahun, sedangkan total
pendapatan daerah tumbuh rata-rata sebesar 20,64 persen per tahun. Adanya
peningkatan pendapatan daerah berarti Pemerintah DIY memiliki kinerja yang bagus
dalam menggali potensi-potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah.
Pendapatan Daerah terdiri dari tiga elemen utama yakni Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah.
Kondisi keuangan yang sehat tersebut dapat menjadi salah satu ruang fiskal untuk
pengadaan pembayaran ketersediaan layanan Availability Payment untuk skema
KPBU.
Berdasarkan kondisi aktual operasional TPA Piyungan saat ini, anggaran untuk
pembiayaan operasional TPA Piyungan bersumber dari APBD Pemda DIY melalui
DIP Balai PISAMP. Pembayaran retribusi oleh Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman
dan Kabupaten Bantul dilakukan sesuai dengan perjanjian kerjasama.
Selain itu untuk besaran tarif setiap tonase sampah yang dibuang oleh orang pribadi
dan atau lembaga swasta di TPA Piyungan sebesar Rp. 24.383,- (Dua Puluh Empat
Ribu Tiga Ratus Delapan Puluh Tiga Rupiah). Pemungutan retribusi harus langsung
dibayarkan setelah truk sampah masuk dan ditimbang secara tunai.
Jumlah pendapatan yang diperoleh dari retribusi sampah yang masuk ke TPA
Piyungan dapat dilihat pada Tabel 5-1.
Tabel 5-1 Pendapatan dari Retribusi Sampah yang masuk ke TPA Piyungan
Potensi pendapatan lainnya yang dapat diperoleh dari hasil operasional TPA
Sampah dan Limbah B3 Piyungan adalah apabila TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan dapat menghasilkan energi (mandiri energi), maka:
97
1. Dapat mengurangi biaya operasional untuk energi, dan;
2. Jika terdapat surplus energi, dapat dijual kepada sektor terkait sehingga
dapat menghasilkan pendapatan tersendiri.
Sedangkan berdasarkan fakta lapangan untuk limbah B3, fasyankes (fasilitas
pelayanan kesehatan) DIY sebagai penghasil limbah mempunyai kemampuan untuk
membayar (ability to pay) yang dilihat dari harga yang harus dibayarkan kepada
pihak ketiga dapat dilihat pada Tabel 5-2.
Tabel 5-2 Harga yang Harus Dibayarkan oleh Pihak Ketiga per Satuan Massa Limbah
B3
Rata-rata 18.000
Kemampuan membayar pada situasi tidak biasa saat ini paling murah Rp. 13.000
dan paling mahal Rp. 25.000, sedangkan rata-rata sebesar Rp. 18.000/kg limbah.
Potensi untuk membayar ini masih bisa dihitung dengan pendekatan lain.
Dua peraturan daerah yang terkait dengan retribusi dan denda, terdapat pada Perda
DIY No. 3 Tahun 2013. Pada Pasal 5, tentang Wewenang Pemerintah Daerah, pada
poin k, disebutkan bahwa “menetapkan retribusi pelayanan atau kontribusi
Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatan pelayanan yang diberikan”.
Selain itu, peraturan terkait dengan denda, disebutkan pada Pasal 30 tentang
Pengurangan Sampah, yaitu:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19, Pasal 20 dan/atau Pasal 24 diberi sanksi administratif berupa teguran.
(2) Jika pelanggar mengabaikan teguran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan mengulangi pelanggaran maka dikenakan denda administratif sebesar
3 (tiga) kali biaya operasional pemilahan.
98
(3) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
perkalian antara belanja operasi per 1 (satu) meter kubik dengan jumlah
volume sampah.
(4) Besaran belanja operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
99
6 BAB VI. RENCANA TINDAK LANJUT
Rekomendasi:
Untuk pembangunan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan, skema KPBU dapan
berupa skema berbasis ketersediaan layanan infrastruktur dan SDM untuk
operasional. Skema KPBU yang direkomendasikan pada proyek pembangunan TPA
dan Pengolahan Limbah B3 Piyungan adalah DBFOT (Design-Build-Finance-
Operate-Transfer) atau BOT yang lebih diperluas lingkupnya. Pada opsi ini PJPK
akan mendelegasikan dalam mendesain, membangun, mencari pembiayaan,
melaksanakan pemeliharaan pada masa tertentu dan transfer pada akhir perjanjian
kerjasama.
100
Tabel 6-1 Perbandingan dari Beberapa Skema KPBU
101
Setelah PJPK mengalokasikan berbagai fungsi dan risiko proyek, selanjutnya
diagram struktur hukum dan keuangan proyek indikatif juga dibuat. Diagram struktur
tersebut bermanfaat untuk memperoleh pengaturan aspek keuangan dan hukum
sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu contoh struktur standar dari sebuah
proyek DBFOT sederhana adalah sebagaimana diuraikan dalam Gambar 6-1
dibawah ini.
Opsi KPBU pada pengelolaan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan telah memiliki
landasan yuridis pada Perda DIY No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pasal 38 huruf b
mengatur bahwa penyelenggaraan sistem pengelolaan persampahan dapat
dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS). Bentuk kerjasama
tersebut dirinci dalam Pasal 39 ayat (2) meliputi:
a. Pembangunan infrastruktur prasarana dan sarana;
b. Pembiayaan pengoperasian dan pemeliharaan;
c. Pengaturan tentang pengelolaan persampahan pada kawasan yang dilalui
dan terlayani oleh sistem terpusat;
d. Peningkatan manajemen dan kelembagaan pengelola persampahan;
102
e. Peningkatan kemampuan pendanaan untuk pengoperasian dan
f. Pemeliharaan; dan/atau
g. Peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan persampahan.
Aktivitas yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian dalam kerangka strategi
ini adalah Call for Proposals dan Penyusunan Perjanjian Kerjasama Pemerintah DIY
dan Badan Usaha. Badan Usaha yang berhak untuk berpartisipasi dalam proses
pengadaan KPBU adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), Perseroan Terbatas Swasta, Badan Hukum Asing, maupun
Koperasi.
Sesuai dengan skema KPBU yang direkomendasikan untuk proyek Pembangunan
TPA dan Pengolahan Limbah B3 adalah DBFOT (Design-Build-Finance-Operate-
Transfer), maka ditetapkan beberapa kriteria kualifikasi Badan Usaha uang dapat
berpartisipasi dalam lelang KPBU tersebut:
103
1. Badan Usaha berkewajiban untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan untuk menjalankan kegiatan/usaha.
2. Badan Usaha/Perusahaan diharuskan memiliki neraca keuangan yang sehat
dan arus kas yang memadai sehingga memiliki kemampuan dalam
pembiayaan dan pelaksanaan Proyek KPBU.
3. Badan Usaha sudah memiliki pengalaman pelaksanaan Proyek KPBU.
4. Badan Usaha memahami regulasi dan perundangan yang berlaku terkait
limbah B3 dan berkomitmen untuk memenuhi segala aspek yuridis terkait
transportasi, penyimpanan dan pengloahan limbah B3.
5. Badan Usaha memiliki tenaga ahli bersertifikat keahlian (SKA) kualifikasi ahli
madya 1 orang sebagai Penanggung Jawab Teknik (PJT) dan minimal 1
orang sebagai Penanggung Jawab Klasifikasi (PJK) telah memliki SKA
Madya selama 3 tahun.
104
8 PENUTUP
Berdasarkan kajian pendahuluan yang telah diuraikan, berikut ini dirangkum saran-
saran untuk dikaji lebih mendalam dalam studi kelayakan (FS):
5. Diperlukan kajian fisik lokasi areal TPA Sampah dan limbah B3 dalam mendukung
syarat kelayakan sebagai lokasi pengolahan sampah B3. Hal ini juga menyangkut
revisi AMDAL TPA Piyungan untuk mengakomodasi perubahan fungsinya yang
tidak lagi hanya mengelola sampah tetapi juga mengelola limbah B3.
7. Dibutuhkan kajian sistem transportasi lalulintas dan sistem jaringan jalan, dan
aksesibilitas menuju lokasi TPA Piyungan dan pengolahan sampah B3.
105
9 DAFTAR PUSTAKA
106