Anda di halaman 1dari 107

KATA PENGANTAR

Sampah dan limbah B3, baik dari sumber domestik maupun industri, masih
merupakan masalah yang dihadapi dunia saat ini, terutama negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Persoalan sampah sangat erat kaitannya dengan
kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang menghasilkan sampah tersebut. Jumlah,
jenis, dan karakteristik sampah sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah
lainnya. Oleh karena itu, teknologi dan sistem pengelolaan sampah dan limbah B3
yang telah terbukti berhasil di negara-negara maju, tidak bisa serta-merta
diaplikasikan di Indonesia.
Masalah sampah dan limbah B3 di DIY sudah sangat mendesak untuk
dikelola dengan pendekatan modern baik dari sisi aplikasi teknologi maupun
mekanisme manajemen pengelolaannya. Mekanisme konvensional pengelolaan
sampah yang mengandalkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Piyungan
yang dikelola Pemerintah DIY, sudah tidak memadai untuk mengatasi masalah
sampah, termasuk komponen B3-nya, yang semakin kompleks.
TPA Regional Piyungan terletak di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan,
Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. TPA Regional Piyungan
melayani pembuangan sampah dari seluruh wilayah Kota Yogyakarta, Kabupaten
Sleman dan Kabupaten Bantul. Jarak dengan daerah pelayanan terjauh lebih kurang
35 km. Rata-rata per hari sampah yang dibuang ke TPA adalah 450-550 ton/hari
dengan jenis sampah dominan adalah sampah organik sebesar kurang lebih 72%
dari total sampah yang ada.
TPA Regional Piyungan mempunyai luas area 12,5 ha, dengan rincian 10 ha
merupakan luas lahan landfill yang terdiri dari 3 sel. Sel I mencakup area seluas 3
ha, sel II seluas 3 ha dan sel III seluas 4 ha. Di samping ketiga sel tersebut, terdapat
2,5 ha untuk sarana pendukung yaitu kantor, bengkel, IPL, jembatan timbang dan
zona penyangga (buffer zone). Pada tahun 2016 ada perluasan lahan kurang lebih
2,3 ha.
Kondisi TPA Regional Piyungan pada saat ini masih jauh dari kondisi ideal.
Pada TPA Regional Piyungan tumpukan sampah terlihat menggunung disebabkan
belum adanya penataan sel sampah secara optimal. Selain itu jumlah sapi yang
digembalakan di TPA Regional Piyungan cukup banyak sehingga dari pagi sampai
sore zona aktif pembuangan sampah dipadati oleh sapi. Pada saat unloading truk
sampah, sampah yang diturunkan langsung jatuh ke bawah disambut oleh ratusan
pemulung dan sapi. Selain gangguan pada daerah zona pembuangan sampah,
rombongan sapi yang menuju ke TPA pada pagi hari dan meninggalkan TPA pada
siang dan sore hari juga kadang-kadang mengganggu antrian truk sampah yang
hendak membuang sampah. TPA Regional Piyungan saat ini memerlukan perbaikan
dan optimalisasi dari berbagai aspek permasalahan yang ada dengan harapan
permasalahan-permasalahan TPA akan terselesaikan bahkan meningkatnya kinerja
dari TPA Regional Piyungan itu sendiri.
Dalam jangka pendek, diperlukan segera upaya optimalisasi lokasi TPA
Regional Piyungan berupa pengurukan pada beberapa lokasi,
perbaikan/pemasangan geomembran, dan pemanenan gas metan (landfill gas).
Upaya ini perlu menjadi bagian dari solusi jangka panjang yang akan dibangun di
TPA Regional Piyungan karena teknologi yang akan diterapkan akan berada di
tengah lokasi TPA lama, sehingga perlu dirancang lingkungan TPA yang tidak
kumuh/bau serta secara estetik tampak serasi dengan sistem pengolahan sampah
modern yang akan diterapkan.
Kompleksitas masalah sampah dan limbah B3 di DIY terutama bersumber
pada Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) sebagai penghasil sampah dan limbah
B3 yang dominan di Provinsi tersebut. Luasan KPY sebesar 19.651,8 (Sembilan
Belas Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu Koma Delapan) hektar dan terdiri dari 71
(tujuh puluh satu) Desa/Kelurahan saat ini dihuni oleh 1.074.714 penduduk dengan
tingkat pertumbuhan kurang lebih 1,50% per tahun. Dengan rata-rata timbulan
sampah 0,7-0,8 kg/orang/hari, maka jumlah sampah domestik saja sudah mencapai
kurang-lebih 700 ton/hari. Dari jumlah ini, baru kurang-lebih 60% yang terkelola di
TPA Piyungan, itu pun masih dalam kondisi tidak terpilah antara sampah non B3 dan
sampah B3.
Walaupun berbagai program telah dijalankan oleh Pemerintah untuk
mengurangi sampah di sumbernya, belum terlihat efektivitas upaya-upaya tersebut
dalam menurunkan jumlah sampah yang masuk ke TPA Piyungan. Sementara itu,
umur TPA Piyungan yang sudah melebihi umur desainnya, sebetulnya sudah tidak
memadai untuk mengelola timbunan sampah, baik dari sisi teknologi yang sudah
kuno maupun luasan TPA yang sudah sangat sulit untuk diperluas mengingat
kawasan pemukiman yang sudah semakin mendekat di sekeliling TPA. Oleh karena
itu, beban Pemerintah sebagai pengelola TPA saat ini sudah sangat berat, baik dari
sisi operasional maupun pembiayaan yang bergantung pada APBD.
Selain masalah sampah domestik, seiring dengan pertumbuhan ekonomi,
tuntutan terhadap kesejahteraan pun semakin tinggi, terutama dari aspek pelayanan
kesehatan dan ketersediaan lapangan kerja. Hal ini mendorong pertumbuhan jumlah
fasilitas layanan kesehatan dan perkembangan industri di wilayah DIY, yang
tentunya membawa konsekuensi peningkatan limbah B3 yang harus dikelola.
Selama ini, pengelolaan limbah B3 mengandalkan pihak ketiga. Mekanisme ini
bukan solusi ideal karena ketergantungan yang sangat besar pada pihak lain dan
kebutuhan biaya yang sangat tinggi. Sebagai contoh, untuk pengelolaan limbah B3
dari fasilitas pelayanan kesehatan saja, jumlah limbah B3 mencapai 4-5 ton/hari dari
199 rumah sakit dan puskesmas yang tersebar di kawasan DIY. Timbulan limbah B3
ini belum termasuk dari sumber-sumber lain yang selama ini juga masih
mengandalkan pihak ketiga, yaitu fasilitas pendidikan dan industri.

1
Uraian di atas menggarisbawahi pentingnya dilakukan kajian untuk
menganalisis kebutuhan-kebutuhan inovasi dalam pengelolaan sampah di TPA
Regional Piyungan sekaligus memperluas fungsinya sebagai fasilitas pengelolaan
limbah B3 dengan memperhatikan ketentuan sesuai regulasi yang berlaku. Selain itu,
kajian ini juga mengevaluasi kemungkinan nilai ekonomi dari proyek ini, yang
memungkinkan mekanisme baru pengelolaan sampah dan limbah B3 di DIY dengan
skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Keterbatasan lahan
yang tersedia menjadi tantangan tersendiri untuk mengoptimalkan pilihan teknologi
dan skema operasional dalam rencana modernisasi TPA Regional Piyungan,
dengan menambahkan fungsi sebagai pengolah limbah B3. Kajian ini diharapkan
dapat mengakselerasi upaya Pemerintah DIY untuk mengatasi problem sampah dan
limbah B3 serta menjadikan DIY model percontohan dan rujukan di Indonesia untuk
keberhasilan pengelolaan sampah dan limbah B3.

Yogyakarta, Agustus 2018

2
DAFTAR ISI

1 BAB I. RUANG LINGKUP PROYEK .................................................................. 8


2 BAB II. ANALISA KEBUTUHAN ......................................................................... 9
2.1 Kepastian KPBU Memiliki Dasar Pemikiran Teknis dan Ekonomi ............... 9
2.2 Kepastian KPBU Mempunyai Permintaan yang Berkelanjutan ................. 38
2.3 Kepastian KPBU Mendapatkan Dukungan dari Pemangku Kepentingan
yang Berkaitan ..................................................................................................... 54
3 BAB III. ANALISA KEPATUHAN ...................................................................... 60
3.1 Analisa Kesesuaian dengan Peraturan Perundang-undangan ................. 60
3.2 Analisa Penentuan Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) ......... 61
3.3 Kesesuaian KPBU dengan Dokumen RPJMN dan RPJMD Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta ............................................................................... 63
3.4 Analisa Kesesuaian Lokasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah .......... 69
3.5 Analisa Keterkaitan antar Sektor-sektor Infrastruktur dan Antar Wilayah . 72
4 BAB IV. ANALISA FAKTOR PENENTU MANFAAT UANG (VALUE FOR
MONEY) .................................................................................................................. 90
4.1 Sektor Swasta Memiliki Keunggulan dalam Pelaksanaan KPBU
Termasuk dalam Pengelolaan Resiko ................................................................. 92
4.2 Terjaminnya Efektifitas, Akuntabilitas dan Pemerataan Pelayanan Publik
dalam Jangka Panjang ........................................................................................ 93
4.3 Alih Pengetahuan dan Teknologi .............................................................. 93
4.4 Terjaminnya Persaingan Sehat, Transparansi dan Efisiensi dalam
Proses Pengadaan .............................................................................................. 94
5 BAB V. ANALISA POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA PEMBIAYAAN
PROYEK ................................................................................................................. 95
5.1 Kemampuan Fiskal Keuangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta 95
5.2 Kemampuan Pengguna untuk Membayar ................................................. 96
5.3 Potensi Pendapatan Lainnya .................................................................... 97
5.4 Bentuk Dukungan Pemerintah .................................................................. 99
6 BAB VI. RENCANA TINDAK LANJUT ........................................................... 100
6.1 Rekomendasi Bentuk KPBU ................................................................... 100
6.2 Struktur Proyek dengan Skema KPBU ................................................... 102
6.3 Rekomendasi Kriteria Utama dalam Pemilihan Badan Usaha ................ 103
6.4 Rencana Jadwal Kegiatan Penyiapan dan Traksaksi KPBU .................. 104
7 PENUTUP ...................................................................................................... 105
8 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 106

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1-1 Ruang Lingkup Proyek KPBU TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan .... 8
Tabel 2-1 Cakupan Wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta ................................ 11
Tabel 2-2 Jumlah Penduduk di KPY dan Pertumbuhannya .................................... 13
Tabel 2-3 Jumlah Penduduk KPY perlima tahun ..................................................... 13
Tabel 2-4 Kepadatan Penduduk Kawasan Perkotaan Yogyakarta tahun 2015 ....... 14
Tabel 2-5 Proyeksi Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) .............................................. 16
Tabel 2-6 Jumlah limbah B3 yang dihasilkan UGM (2012-2017) beserta biaya
pengolahan oleh pihak ketiga ..................................................................... 19
Tabel 2-7 Potensi Timbulan Limbah B3 Fasyankes ................................................ 21
Tabel 2-8 Timbulan Sampah 5 Tahun Terakhir ....................................................... 26
Tabel 2-9 Komposisi dan berat timbulan sampah domestik di TPA Piyungan ........ 26
Tabel 2-10 Proyeksi volume timbulan sampah di KPY (m3/hari) ............................ 27
Tabel 2-11 Proyeksi Timbulan Sampah dan Penambahan Infrastruktur
Persampahan. Sumber: Bappeda DIY (2014) ............................................ 29
Tabel 2-12 Sebaran Cakupan Seluruh Jenis Infrastruktur di KPY ........................... 37
Tabel 2-13 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Anaerobic Digester
(Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............ 41
Tabel 2-14 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Material Recovery
Facility (MRF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda
DIY, 2017)) ................................................................................................. 42
Tabel 2-15 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Anaerobic Digestion
(AD) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .... 42
Tabel 2-16 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Biogas (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............................ 43
Tabel 2-17 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Komposting dari
Anaerobic Digestion (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan,
(Pemda DIY, 2017)) .................................................................................... 43
Tabel 2-18 Karakteristik dan Efisiensi Residu yang Menuju Landfill (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............................ 43
Tabel 2-19 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan
Anaerobic Digestion (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan,
(Pemda DIY, 2017)) .................................................................................... 44
Tabel 2-20 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Refuse Derived Fuel
(Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............ 44
Tabel 2-21 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Refused Derived
Fuel (RDF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY,
2017)) ......................................................................................................... 45
Tabel 2-22 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Materials Recovery
Facility (MRF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda
DIY, 2017)) ................................................................................................. 45

4
Tabel 2-23 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan
Refused Derived Fuel (RDF) (Sumber: Studi Pendahuluan TPA
Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ................................................................... 46
Tabel 2-24 Komparasi kualitatif kemungkinan aplikasi teknologi di TPA Sampah
dan Limbah B3 Piyungan............................................................................ 46
Tabel 2-25 Kode dan Keterangan Limbah B3 (Sumber: data Dinas Kesehatan
DIY) ............................................................................................................ 47
Tabel 2-26 Biaya Investasi Fasilitas Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas
Kesehatan DIY) .......................................................................................... 48
Tabel 2-27 Spesifikasi Alat Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas
Kesehatan DIY) .......................................................................................... 49
Tabel 2-28 Teknologi yang diperlukan untuk pengembangan TPST ideal
(dengan visi waste to energy dan tidak ada residu/zero-waste) ................. 50
Tabel 2-29 Analisa SWOT Pengolah limbah B3 di DIY ........................................... 52
Tabel 2-30 Pilihan Strategi berdasarkan analisa SWOT ......................................... 52
Tabel 2-31 Bentuk dukungan pemangku kepentingan di daerah ............................ 56
Tabel 3-1 Sasaran RPJMN 2015-2019 untuk DIY Tahun 2017-2019 ..................... 63
Tabel 3-2 Penekanan 5 Tahun RPJPD DIY dan RPJMD DIY ................................. 66
Tabel 3-3 Daftar Proyek-Proyek Besar Pembangunan Sarana Prasarana ............. 68
Tabel 3-4 Hirarki Kota dan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Primer .... 75
Tabel 3-5 Jalan Nasional Jalan Tol Pulau Jawa ...................................................... 79
Tabel 3-6 Proyeksi kebutuhan listrik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta hingga
tahun 2037.................................................................................................. 83
Tabel 3-7 Proyeksi Kebutuhan Sambungan Telepon di Kawasan Perkotaan
Yogyakarta hingga tahun 2037 ................................................................... 84
Tabel 3-8 Proyeksi Kebutuhan Air Minum DIY s.d. 2030 ........................................ 85
Tabel 4-1 Analisis Value for Money untuk Proyek TPA Sampah dan Limbah B3
(Arti lambang:  = manfaat nilai uang relatif kecil,  = manfaat nilai
uang relatif sedang,  = manfaat nilai uang relatif besar) ...................... 91
Tabel 5-1 Pendapatan dari Retribusi Sampah yang masuk ke TPA Piyungan ........ 97
Tabel 5-2 Harga yang Harus Dibayarkan oleh Pihak Ketiga per Satuan Massa
Limbah B3 .................................................................................................. 98
Tabel 6-1 Perbandingan dari Beberapa Skema KPBU.......................................... 101
Tabel 6-2 Tahapan Kegiatan KPBU ...................................................................... 104

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-1 KSP (Kawasan Strategis Provinsi) Kawasan Perkotaan Yogyakarta ... 12
Gambar 2-2 Peta spasial Sarana perdagangan di Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP
KPY, 2017) .......................................................................................... 17
Gambar 2-3 Peta spasial Sarana perhotelan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017) . 18
Gambar 2-4 Peta spasial Sarana pendidikan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
(Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017) .. 20
Gambar 2-5 Peta spasial sarana fasilitas pelayanan kesehatan di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta (Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan
RTR DIY KSP KPY, 2017) .................................................................. 22
Gambar 2-6 Jumlah timbulan limbah medis dan jumlah limbah medis yang belum
terkelola di DIY (Diolah dari data Kepala Seksi Penyehatan
Lingkungan) ........................................................................................ 23
Gambar 2-7 Jumlah industri di Provinsi DIY (mencakup 4 kabupaten dan 1
kotamadya) yang berpotensi menghasilkan limbah pencemar
(Sumber: olahan data Badan Lingkungan Hidup DIY, 2012) .............. 24
Gambar 2-8 Aliran materi limbah B3 di wilayah Kabupaten Sleman (Sumber:
Iswanto, 2016 (Disertasi)) ................................................................... 25
Gambar 2-9 Pertumbuhan Timbulan Sampah yang masuk ke TPA Piyungan
(Sumber: Laporan Akhir Review Masterplan TPA Piyungan, 2017) .... 28
Gambar 2-11 Detail Gambar Pipa Portable Penangkap Gas Metan (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .................... 39
Gambar 2-12 Rencana Peta Titik Pipa Gas Metana TPA Piyungan (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .................... 39
Gambar 2-13 Rencana Pemanfaatan Biogas........................................................... 40
Gambar 2-14 Skema Umum Teknologi Anaerobic Digester (Sumber: Studi
Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) ............................. 41
Gambar 2-15 Skema Umum Teknologi Refused Derived Fuel (RDF) (Sumber:
Studi Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017)) .................... 45
Gambar 3-1 Peta Rencana Kawasan Strategis di DIY (Sumber: Peninjauan
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun
2010 tentang RTRW DIY (2015)) ........................................................ 71
Gambar 3-2 Jaringan infrastruktur jalan yang dapat mendukung akses ke lokasi
TPST Piyungan Kab Bantul (Sumber: Fakta dan Analisa
Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ............................................. 74
Gambar 3-3 Visualisasi Sistem Jaringan Jalan Primer dan Sekunder (Sumber :
Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ................ 74
Gambar 3-4 Sistem Jaringan Jalan Primer (Sumber : Fakta dan Analisa
Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ............................................. 75

6
Gambar 3-5 Skema hubungan transportasi dan guna lahan di dalam kawasan
perkotaan (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP
KPY, 2017) .......................................................................................... 78
Gambar 3-6 Skema sistem jaringan pergerakan penumpang (Sumber : Fakta dan
Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ................................. 80
Gambar 3-7 Jalan Nasional Jalan Tol Pulau Jawa (Sumber: Kepmen PU Nomor
369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY
KSP KPY, 2017).................................................................................. 80
Gambar 3-8 Jalan Tol yang melewati DI Yogyakarta (Sumber: Kepmen PU
Nomor 369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017) .................................................................. 81
Gambar 3-9 Struktur ruang sistem jaringan transportasi antar wilayah (Sumber :
Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017) ................ 82
Gambar 3-10 Skema sistem Bantar dan Kebonagung di Sungai Progo ((Sumber :
Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DOY KSP KPY, 2017) .............. 86
Gambar 5-1 Komposisi APBD DIY Rentang Tahun 2012 – 2016 (Sumber:
Raperda, RPJMD DIY Tahun 2017-2022)........................................... 95
Gambar 5-2 Pendapatan Asli Daerah DIY dan Perbandingannya dengan
Realisasi Anggaran Pendapatan (Sumber: Raperda, RPJMD DIY
Tahun 2017-2022)............................................................................... 96
Gambar 6-1 Struktur DBFOT ................................................................................. 102
Gambar 6-2 Skema Stakeholder dalam KPBU ...................................................... 103

7
1 BAB I. RUANG LINGKUP PROYEK

Ruang lingkup proyek dirangkum dalam Tabel 1-1.

Tabel 1-1 Ruang Lingkup Proyek KPBU TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan

No. Rincian Proyek Keterangan


1. Nama Proyek KPBU Tempat Pemrosesan Akhir Sampah dan Limbah
B3 Piyungan
2. Penanggung Jawab Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Proyek Kerjasama
(PJPK)
3. Lokasi Proyek TPA Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY
4. Cakupan Proyek
a. Pengembangan TPA - Instalasi teknologi pemanenan gas metana (landfill gas)
dengan penambahan dan utilisasinya
teknologi baru - Unit produksi Refuse Derived Fuel (RDF)
- Optimalisasi lahan sanitary landfill

b. Integrasi Pengolahan - Pemisahan penampungan sampah B3 dan non B3


Limbah B3 - Instalasi insinerator dengan kapasitas minimal 7
ton/hari
- Pengolahan limbah B3 dapat melayani limbah B3 dari
luar DIY juga, dengan melalui pengajuan perijinan
kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Pengelola juga berfungsi sebagai transporter dengan
perijinan dan persyaratan mengikuti regulasi yang
berlaku
- Pengelola juga memanfaatkan limbah daur ulang
5. Rekomendasi bentuk DBFOT (Design-Build-Finance-Operate-Transfer)
KPBU
6. Dasar pemikiran - Kapasitas TPA sudah terlampaui sementara terus
terjadi peningkatan volume sampah yang masuk ke TPA
Sampah dan Limbah B3 Piyungan, sehingga diperlukan
aplikasi teknologi yang sesuai dan manajemen
operasional oleh personel yang profesional
- Penghasil limbah B3 di DIY yang berasal dari fasilitas
layanan kesehatan (fasyankes) seperti Rumah Sakit,
Puskesmas dan Klinik Kesehatan relatif besar.
- Pertumbuhan industri kecil di DIY perlu difasilitasi
dengan instalasi pengolahan limbah B3 dengan biaya
yang terjangkau sehingga menjamin kepatuhan
pengusaha pada regulasi lingkungan.
- Pemisahan sampah rumah tangga kategori B3 perlu
ditertibkan mulai dari sumbernya, sehingga diperlukan
fasilitas pengolahan limbah B3 untuk sampah rumah
tangga kategori B3.

8
2 BAB II. ANALISA KEBUTUHAN

2.1 Kepastian KPBU Memiliki Dasar Pemikiran Teknis dan Ekonomi

Pemikiran teknis dan ekonomi KPBU Pengelolaan TPA Sampah dan Limbah
B3 Piyungan didasarkan pada pertimbangan visi dan filosofi pembangunan di DIY
dengan mengacu pada cakupan wilayah yang akan menjadi wilayah operasional
ekonomis KPBU, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sumber-sumber sampah
domestik dan limbah B3 baik dari segi jenis maupun jumlah, serta kondisi TPA
Piyungan saat ini. Berikut ini uraian terperinci dari masing-masing aspek dasar
pemikiran teknis dan ekonomi KPBU Pengelolaan TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan.

2.1.1 Visi dan Filosofi Pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Sampah tidak lepas dari kemajuan kegiatan manusia. Semakin maju manusia,
semakin banyak jenis dan jumlah sampah yang dihasilkannya. Infrastruktur
pengelolaan sampah bukan lagi sekedar menyediakan syarat minimum kondisi
kesehatan lingkungan (sanitasi) domestik/rumah tangga masyarakat namun sampah
industri, pelayanan kesehatan dan sektor pariwisata.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai tujuan wisata yang
diperhitungkan di Asia Tenggara dan kota Pendidikan, menjadi andalan penting bagi
peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat. Sebagai kota pariwisata menuntut
kondisi lingkungan yang asri indah dan bersih; sebagai salah satu kota target Smart
City tentunya butuh kelengkapan infrastruktur pengelolaan sampah yang baik,
apalagi dengan dicanangkannya program Indonesia bebas sampah tahun 2020 oleh
Wakil Presiden RI pada Hari Peduli Sampah Nasional tanggal 23 November 2017 di
Surabaya.
Semua itu selaras dengan makna filosofi pembangunan di DIY yaitu
Hamemayu Hayuning Bawana, pembangunan dan kegiatan perekonomian serta tata
ruang yang mampu melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia,
bukan hanya manusianya namun juga lingkungan alam yang perlu dikonservasi,
dijaga dan dipelihara oleh manusia (Naskah KPY, 2017). Salah satu kawasan
strategis Provinsi bagi pertumbuhan ekonomi yang dibentuk dalam (Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2010 di DIY adalah Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY).
Meningkatnya kegiatan perekonomian dari sektor pendidikan, pariwisata,
pelayanan kesehatan dan industri dibarengi dengan semakin tingginya jumlah
penduduk, dan padatnya bangunan-bangunan untuk tempat tinggal di kawasan
tersebut maka peningkatan pelayanan dasar pengelolaan sampah dan jaringan
sistem persampahannya perlu dilakukan untuk mendukung visi pembangunan di DIY.

9
Adanya perkembangan serta percepatan di beberapa sektor kegiatan ternyata
sampah tanpa disadari telah menjadi salah satu penyebab timbulnya permasalahan
baru dalam pengelolaan lingkungan hidup.

2.1.2 Kawasan Strategis DIY yaitu Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Lingkup kajian perencanaan Pengelolaan Sampah dan B3 berada di


Kawasan Strategis Provinsi (KSP) (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 14
dan pasal 27) Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) menurut Peraturan Daerah
Nomor 2 Tahun 2010, pasal 98 huruf a tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009–2029.
Menurut Perda tersebut cakupan kegiatan di kawasan tersebut menangkup
kegiatan utama bukan pertanian yakni fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial
dan kegiatan ekonomi, yang menjadi ranah kewenangan provinsi atau kewenangan
kota. Kawasan tersebut adalah daerah strategis dengan tingkat perkembangan
pembangunan dan perekonomian yang sangat pesat (Fakta dan Analisa
Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, 2017).
Rencana Tata Ruang Wilayah KPY memiliki konsekuensi logis yang bisa
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah,
dan lintas pemangku kepentingan, yaitu antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan juga masyarakat. Secara geografis, Kawasan Perkotaan Yogyakarta ini
terletak antara sekian derajat bujur timur dan lintang selatan. Adapun batas-batas
dari Kawasan Perkotaan Yogyakarta yakni:
a. Sebelah Utara Kecamatan Ngaglik dan Kecamatan Mlati;
b. Sebelah Selatan Kecamatan Sewon dan Kecamatan Pleret;
c. Sebelah Timur Kecamatan Kalasan; dan
d. Sebelah Barat Kecamatan Godean dan Kecamatan Gamping.

Sebagai gambaran luasan wilayah yang mendasari pemikiran teknis dan


ekonomi terkait pengelolaan sampah dan B3, berikut ini diuraikan cakupan wilayah
sumber utama sampah dan B3 di DIY, yaitu wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta.
Berdasarkan administrasi Kawasan Perkotaan Yogyakarta merupakan gabungan
dari tiga wilayah, yaitu seluruh Kecamatan di Kota Yogyakarta, sebagian Kabupaten
Bantul, dan Sebagian Kabupaten Sleman. Kawasan Perkotaan Yogyakarta memiliki
luas 19.651,8 (Sembilan Belas Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu Koma Delapan)
hektar, terdiri dari 71 (tujuh puluh satu) Desa/Kelurahan, dengan rincian pada Tabel
2.1.
Lahan yang dimaksud dalam Tabel 2.1. di atas ditunjukkan dalam Peta pada
Gambar 2.1.

10
Tabel 2-1 Cakupan Wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta

Kabupaten No. Kecamatan Desa/Kelurahan


Kota Yogyakarta 14 Kecamatan 45 Kelurahan
1 Sewon Bangunharjo
2 Sewon Panggungharjo
3 Banguntapan Banguntapan
4 Banguntapan Tamanan
5 Banguntapan Singosaren
Bantul 6 Banguntapan Wirokerten
7 Banguntapan Potorono
8 Banguntapan Baturetno
9 Kasihan Ngestiharjo
10 Kasihan Tirtonirmolo
11 Kasihan Tamantirto
12 Depok Catur tunggal
13 Depok Maguwoharjo
14 Depok Condong catur
15 Mlati Sendangadi
16 Mlati Sinduadi
17 Ngaglik Sinduharjo
18 Ngaglik Minomartani
Sleman 19 Ngaglik Sariharjo
20 Kalasan Purwomartani
21 Ngemplak Wedomartani
22 Gamping Trihanggo
23 Gamping Nogotirto
24 Gamping Banyuraden
25 Gamping Ambarketawang
26 Godean Sidoarum
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

11
Gambar 2-1 KSP (Kawasan Strategis Provinsi) Kawasan Perkotaan Yogyakarta

(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

12
2.1.3 Sumber sampah domestik dan sampah B3 serta Kondisi Fisik Tempat
Pengolahan Akhir (TPA) Sampah Piyungan

Sampah kawasan perkotaan berasal dari kegiatan domestik rumah tangga,


perdagangan (pasar tradisional dan modern), kegiatan pariwisata, kegiatan
pendidikan, kegiatan pelayanan kesehatan, kegiatan industri. Jenis dan
komponen sampah dibedakan antara a) sampah organik non B3 seperti sisa
makanan, sampah sayur mayur, daging dan buah-buahan, b) sampah inorganik
non B3 seperti plastik, kaca, kertas, logam, c) sampah B3 baik organik dan
inorganik. Potensi besaran timbulan sampah perkotaan dan jenis/komponen
sampah dari KPY yang dapat menjadi suplai untuk dikelola ke TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan dijelaskan berikut ini.

A. Timbulan sampah domestik dan sampah B3 dari rumah tangga dan


perdagangan

Gambaran perkembangan penduduk dan kegiatan perekonomian


memberikan gambaran perkiraan timbulan sampah dari rumah tangga dan
kegiatan perdagangan. Beberapa informasi kependudukan dijelaskan berikut ini.
Kawasan Perkotaan Yogyakarta secara keseluruhan mengalami dinamika
pertambahan penduduk yang cukup besar dari tahun ke tahun. Berdasarkan
catatan data tahun 2010 dan 2015 jumlah penduduk di KPY mengalami rerata
peningkatan sebesar 1.5% pertahun (Tabel 2-2).
Tabel 2-2 Jumlah Penduduk di KPY dan Pertumbuhannya

Kota/Kabupaten Jumlah Jumlah Rata-rata


Penduduk Penduduk 2015 Pertumbuhan
2010 (Jiwa) (Jiwa) Penduduk
Kota Yogyakarta 396.389 409.661 0,652%
Kabupaten Sleman 359.935 382.357 1,648%
Kabupaten Bantul 254.802 282.696 2,191%
Jumlah Penduduk KPY 1.011.126 1.074.714 1,50%
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Tabel 2-3 Jumlah Penduduk KPY perlima tahun

Tahun Proyeksi Jumlah Penduduk


2017 1.105.214
2022 1.194.692
2027 1.304.651
2032 1.437.564
2037 1.596.698
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

13
Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah Kota
Yogyakarta, disusul oleh Kabupaten Sleman dan Bantul. Adßapun kepadatan
penduduk di KPY pada tahun 2015 (Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP
KPY, 2017) disajikan dalam Tabel 2-4. Sementara proyeksi jumlah penduduk
disajikan pada Tabel 2-3. Adapun proyeksi kepadatan penduduk di kawasan
perkotaan Yogyakarta disajikan dalam Tabel 2-5
Tabel 2-4 Kepadatan Penduduk Kawasan Perkotaan Yogyakarta tahun 2015
No KABUPATEN KECAMATAN DESA Luas Jumlah Kepadatan
Kawasan Penduduk Penduduk
Terbangun (Jiwa)* Netto (Jiwa
2
(Ha) /Km )

1 Bantul Banguntapan Banguntapan 759,306 54.910 7.232


2 Bantul Banguntapan Tamanan 373,270 14.669 3.930
3 Bantul Banguntapan Singosaren 104,899 4.913 4.684
4 Bantul Banguntapan Wirokerten 422,693 14.953 3.538
5 Bantul Banguntapan Potorono 386,504 13.932 3.605
6 Bantul Banguntapan Baturetno 385,550 18.756 4.865
7 Bantul Kasihan Ngestiharjo 466,649 39.959 8.563
8 Bantul Kasihan Tirtonirmolo 570,861 26.339 4.614
9 Bantul Kasihan Tamantirto 643,379 28.408 4.415
10 Bantul Sewon Bangunharjo 704,016 30.695 4.360
11 Bantul Sewon Panggungharjo 548,159 35.162 6.415
12 Kota Yogyakarta Danurejan Suryatmajan 31,069 4.786 15.404
13 Kota Yogyakarta Danurejan Bausasran 33,418 7.420 22.203
14 Kota Yogyakarta Danurejan Tegal panggung 29,413 9.271 31.520
15 Kota Yogyakarta Gedongtengen Pringgokusuman 47,056 12.742 27.078
16 Kota Yogyakarta Gedongtengen Sosromenduran 44,525 7.791 17.498
17 Kota Yogyakarta Gondokusuman Klitren 84,774 9.359 11.040
18 Kota Yogyakarta Gondokusuman Baciro 109,643 12.036 10.977
19 Kota Yogyakarta Gondokusuman Demangan 67,875 8.607 12.681
20 Kota Yogyakarta Gondokusuman Kotabaru 70,908 2.659 3.750
21 Kota Yogyakarta Gondokusuman Terban 81,821 9.108 11.132
22 Kota Yogyakarta Gondomanan Prawirodirjan 66,561 9.308 13.984
23 Kota Yogyakarta Gondomanan Ngupasan 35,754 5.770 16.138
24 Kota Yogyakarta Jetis Bumijo 62,946 10.283 16.336
25 Kota Yogyakarta Jetis Cokrodiningratan 66,897 8.915 13.326
26 Kota Yogyakarta Jetis Gowongan 48,162 8.252 17.134
27 Kota Yogyakarta Kotagede Rejowinangun 133,876 12.161 9.084
28 Kota Yogyakarta Kotagede Purbayan 87,807 9.942 11.323
29 Kota Yogyakarta Kotagede Prenggan 95,992 10.922 11.378
30 Kota Yogyakarta Kraton Panembahan 74,444 9.309 12.505
31 Kota Yogyakarta Kraton Patehan 40,035 5.885 14.700

14
No KABUPATEN KECAMATAN DESA Luas Jumlah Kepadatan
Kawasan Penduduk Penduduk
Terbangun (Jiwa)* Netto (Jiwa
2
(Ha) /Km )

32 Kota Yogyakarta Kraton Kadipaten 43,425 6.842 15.756


33 Kota Yogyakarta Mantrijeron Gedongkiwo 91,863 13.838 15.064
34 Kota Yogyakarta Mantrijeron Mantrijeron 96,619 10.205 10.562
35 Kota Yogyakarta Mantrijeron Suryodiningratan 89,782 10.897 12.137
36 Kota Yogyakarta Mergangsan Wirogunan 103,962 10.665 10.259
37 Kota Yogyakarta Mergangsan Brontokusuman 100,938 9.923 9.831
38 Kota Yogyakarta Mergangsan Keparakan 41,986 11.245 26.783
39 Kota Yogyakarta Ngampilan Ngampilan 42,614 10.481 24.595
40 Kota Yogyakarta Ngampilan Notoprajan 32,420 8.185 25.247
41 Kota Yogyakarta Pakualaman Purwokinanti 48,237 6.219 12.892
42 Kota Yogyakarta Pakualaman Gunung ketur 31,030 4.439 14.306
43 Kota Yogyakarta Tegalrejo Kricak 89,401 12.996 14.537
44 Kota Yogyakarta Tegalrejo Tegalrejo 86,778 9.009 10.382
45 Kota Yogyakarta Tegalrejo Karangwaru 78,430 9.832 12.536
46 Kota Yogyakarta Tegalrejo Bener 62,780 4.784 7.620
47 Kota Yogyakarta Umbulharjo Muja muju 159,713 10.564 6.614
48 Kota Yogyakarta Umbulharjo Giwangan 138,100 7.346 5.319
49 Kota Yogyakarta Umbulharjo Sorosutan 161,968 14.843 9.164
50 Kota Yogyakarta Umbulharjo Pandeyan 142,409 11.961 8.399
51 Kota Yogyakarta Umbulharjo Warungboto 76,741 9.020 11.754
52 Kota Yogyakarta Umbulharjo Tahunan 74,259 9.035 12.167
53 Kota Yogyakarta Umbulharjo Semaki 63,142 5.113 8.098
54 Kota Yogyakarta Wirobrajan Pakuncen 76,542 10.735 14.025
55 Kota Yogyakarta Wirobrajan Patangpuluhan 37,606 7.554 20.087
56 Kota Yogyakarta Wirobrajan Wirobrajan 68,719 9.404 13.685
57 Sleman Depok Catur tunggal 1057,677 46.613 4.407
58 Sleman Depok Maguwoharjo 1535,786 34.204 2.227
59 Sleman Depok Condong catur 880,984 42.335 4.805
60 Sleman Gamping Trihanggo 579,577 17.580 3.033
61 Sleman Gamping Nogotirto 334,148 17.015 5.092
62 Sleman Gamping Banyuraden 403,450 16.237 4.025
63 Sleman Gamping Ambarketawang 685,083 21.252 3.102
64 Sleman Godean Sidoarum 374,619 14.465 3.861
65 Sleman Kalasan Purwomartani 1205,000 35.769 2.968
66 Sleman Mlati Sinduadi 691,059 38.575 5.582
67 Sleman Mlati Sendangadi 569,396 18.658 3.277
68 Sleman Ngaglik Sinduharjo 598,230 18.845 3.150
69 Sleman Ngaglik Sariharjo 611,170 20.610 3.372
70 Sleman Ngaglik Minomartani 158,602 13.128 8.277
71 Sleman Ngemplak Wedomartani 1300,496 27.071 2.082
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

15
Data dan perhitungan proyeksi jumlah penduduk di atas menggunakan data
yang bersumber pada data BPS, belum memasukan jumlah penduduk yang
merupakan pendatang namun menetap di KPY. Para pendatang tersebut seperti,
mahasiswa, wisatawan, dan pekerja. Sarana prasarana yang aksesibel di
sekitaran kawasan perkotaan yang lengkap serta terus berkembang menjadikan
penduduk terus bertambah untuk tinggal di daerah perkotaan. Kegiatan MICE,
pendidikan dan pariwisata yang semakin marak dan kelengkapan sarana
prasaean menjadi faktor penarik penduduk sementara/tamu dan penduduk untuk
berdatangan. Meskipun bersifat penduduk sementara, jumlah sampah yang
dihasilkan dan proyeksi jumlah timbulan sampah tentu disesuaikan dengan
padatnya aktivitas-aktivitas kekotaan agar dapat terwujud pengelolaan sampah
yang lebih nyata di lapangan.

Tabel 2-5 Proyeksi Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)


Kabupaten Proyeksi Kepadatan Penduduk (netto)
2017 2022 2027 2032 2037
Kabupaten Bantul 60.581 65.306 72.713 80.989 90.239
Kota Yogyakarta 671.217 684.556 735.930 800.544 881.001
Kabupaten Sleman 60.332 65.650 71.827 79.520 88.941
Jumlah 792.130 815.512 880.470 961.053 1.060.180

(Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Departemen Pekerjaan Umum telah menetapkan SK SNI S-04- 1993-03


tentang Spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang, di mana
besarnya timbulan sampah untuk kota sedang adalah sebesar 2,75-3,25
liter/orang/hari atau 0,7- 0,8 kg/orang/hari. Berdasarkan Hasil Kajian Rencana
Induk Persampahan Kabupaten Bantul (KDP-1), diperoleh bahwa jumlah timbulan
sampah rata-rata Kabupaten Bantul adalah 1,95 liter/orang/hari. Berdasarkan
kajian PTMP Kota Yogyakarta, diperoleh bahwa timbulan sampah sampah rata –
rata Kota Yogyakarta (2016) mencapai 2,12 liter/orang/hari dan dijadikan asumsi
timbulan sampah Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Dengan perkiraan jumlah
penduduk dan besar timbulan sampah setiap orang dalam 1 hari, maka dapat
diperkirakan proyeksi jumlah sampah dari penduduk di KPY.
Sumber sampah domestik selain dari rumah tangga juga datang dari sektor
perdagangan dan jasa di Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang saat ini semakin
berkembang pesat. Terdapat total pasar sebanyak 175 pasar, dimana 27 pasar
berada di Kota Yogyakarta, 8 pasar berada di wilayah Kabupaten Bantul, dan
sebanyak 140 pasar berada di Kabupaten Sleman. Selain keberadaan pasar,
sektor perdagangan juga didominasi oleh pertokoan sebanyak 1777 buah, ada
890 toko berada di Kabupaten Sleman, 692 toko berada di Kota Yogyakarta, dan
195 toko berada di Kabupaten Bantul. Saat ini telah tumbuh pula beberapa pusat
perdagangan modern (Mall, super/hipermarket).

16
Prosentase jenis sampah yang dihasilkan dari sektor rumah tangga dan
perdagangan umumnya mayoritas sampah organik sisa makanan yang cepat
busuk dan berbau, selebihnya adalah sampah inorganik berupa plastik kertas kain
kaca dan lainnya yang sulit terurai secara biologi. Timbulan sampah inorganik
kategori B3 dari rumah tangga serta perdagangan umumnya berupa tissue toilet,
pembalut, popok kertas yang bersifat infeksius dan bahan berbahaya lain seperti,
baterai, sisa obat terbuang, komponen komputer atau peralatan elektronik lainnya;
komponen kendaraan bermotor dari usaha bengkel seperti suku cadang bekas,
minyak/oli, aki bekas, dan usaha perdagangan lain di kawasan pemukiman misal
percetakan, usaha loundry dan lainnya. Berdasarkan tinjauan lapangan (Mei
2018) pada beberapa toko pusat perbaikan peralatan komputer dan elektronik lain
ada banyak potensi sampah elektronik dan lainnya menumpuk, belum dapat
terkuantifikasikan berat dan volumenya. Sampah kertas toilet bekas, pembalut,
popok kertas sudah menjadi masalah penyebab banjir dan pencemaran air karena
dibuang di saluran-saluran air (drainase, irigasi dls) serta di sumber-sumber air
permukaan (sungai, danau dan lainnya). Peta sebaran sektor perdagangan yang
ditunjukkan oleh pasar dan pertokoan/mall ditunjukkan oleh Gambar 2-2.

Gambar 2-2 Peta spasial Sarana perdagangan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta


(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

17
Dengan gambaran cakupan wilayah dan kependudukan sebagaimana telah
diuraikan, selanjutnya pada bagian berikutnya disajikan evaluasi timbulan sampah
domestik dan B3 dari beberapa sektor yang mendominasi dari sisi jumlah entitas
bisnis/institusinya di KPY, yaitu sektor pariwisata, sektor pendidikan, sektor
pelayanan kesehatan, dan sektor industri lain.
B. Timbulan sampah domestik dan sampah B3 sektor Pariwisata

Gambar 2-3 Peta spasial Sarana perhotelan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta


(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Yogyakarta menjadi kota tujuan pariwisata penting di Asia Tenggara menjadi


salah satu pendorong banyaknya bangunan hotel dan restoran. Banyaknya hotel
di Kawasan Perkotaan Yogyakarta yaitu 306 bangunan, dimana 236 berada di
Kota Yogyakarta, 10 hotel berada di Kabupaten Bantul, dan 60 hotel berada di
Kabupaten Sleman. Sarana hotel yang paling banyak terdapat di Kecamatan
Gedong Tengen sebanyak 50 hotel, yang dipengaruhi oleh adanya kawasan
Malioboro sebagai pusat pariwisata dan perdagangan Kota Yogyakarta (KPY,
2017). Selain hotel berbintang dan non bintang saat ini ada banyak bertumbuh
apartemen/condominium serta maupun penginapan skala rumah tangga (Home
Stay). Jenis sampah yang dihasilkan dari sektor ini yaitu a) sampah organik, b)
sampah inorganik berupa plastik/styrofoam dll, kertas, kaleng, botol kaca dan
lainnya. Hotel juga menghasilkan sampah inorganik tergolong infeksius yang

18
berasal dari kertas toilet, popok/pembalut dan lain sebagainya. Sementara itu
sampah organik dan inorganik dihasilkan dari pelengkap jasa pariwisata yaitu
restauran besar dan kecil serta skala UKM.
Gambar 2-3 menunjukkan peta sebaran sarana perhotelan di wilayah
Kawasan Perkotaan Yogyakarta serta peta sebaran restauran di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta.

C. Timbulan sampah domestik dan sampah B3 Fasilitas Pendidikan

Jumlah perguruan tinggi di Kota Yogyakarta telah mencapai 65 (KPY,


2017). Sementara, pertumbuhan sarana pendidikan didominasi oleh wilayah utara
Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Jumlah perguruan tinggi yang terdapat di
Sleman saat ini berjumlah 30 perguruan tinggi swasta serta 5 perguruan tinggi
negeri. Beberapa perguruan tinggi yang menempati lahan di pinggiran kota,
antara lain Sanata Dharma di Paingan di wilayah Kabupaten Sleman dan STIE
Kerja Sama di Jalan Parangtritis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di
Gamping di wilayah Kabupaten Bantul. Dari hasil analisis, sarana pendidikan dari
tingkat SD sampai perguruan tinggi menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta
memiliki 547 Sarana pendidikan yang tersebar di 14 kecamatan. Sementara di
wilayah Kabupaten Sleman memiliki 495 Sarana pendidikan, dan sisanya hanya
180 fasilitas pendidikan yang berada di wilayah Kabupaten Bantul.
Jumlah fasilitas pendidikan mulai SMP hingga Perguruan Tinggi (PT) selain
memunculkan sampah organik dan inorganik, juga menjadi timbulan sampah
untuk sampah organik/inorganik B3 dari layanan laboratorium. Sampah B3 dari
sarana pendidikan diduga masih banyak masuk ke TPA Piyungan tanpa dikelola
secara baik dan benar, sementara limbah cair dari Laboratorium dari sarana
pendidikan diduga saat ini hanya diolah dengan sistem Septic Tank (Anaerob
proses).
Tabel 2-6 Jumlah limbah B3 yang dihasilkan UGM (2012-2017) beserta biaya
pengolahan oleh pihak ketiga

No Periode Drum Jumlah Limbah (kg) Pallet Bekas kemasan (kg) Biaya (Rp)
1 2012 100 9,980 52 1,280 198,330,000
2 2013 100 13,520 10 1,320 190,108,000
3 2014 50 8,000 7 700 106,425,000
4 2015 (1) 53 8,220 10 1,180 118,888,000
5 2015 (2) 100 12,640 10 1,400 197,505,000
6 2016 (1) 50 6,160 5 620 119,047,000
7 2016 (2) 40 4,700 3 640 93,750,000
8 2017 (1) 60 6,340 8 1,140 149,077,500
9 2017 (2) 70 800 12 1,300 182,187,000

623 70,360 117 9,580 1,355,317,500

(Sumber : UGM, 2017)

19
Gambaran jumlah sampah (dan limbah cair B3) yang dihasilkan perguruan
tinggi diwakili oleh kondisi di UGM (Tabel 2-6) yang saat ini dikerjasamakan
dengan pihak lain untuk transportasi dan pengolahannya ke IPAL limbah B3 di
Cilengsi Bogor. Jika dianggap bahwa seluruh perguruan tinggi di Provinsi DIY
menghasilkan kurang lebih sejumlah sama limbah B3, maka sudah dirasa sangat
perlu Provinsi DIY memiliki unit pengolahan limbah B3 sendiri. Hal ini tidak hanya
dalam rangka menjamin bahwa seluruh limbah B3 ini akan tertangani dengan
benar, tetapi juga untuk mengurangi resiko tercecer di jalan jika pengelolaan
limbah B3 harus dikerjasamakan dengan pihak ketiga yang lokasinya jauh dari
Yogyakarta.
Adapun peta Sebaran Sarana pendidikan dari tingkat SD sampai
perguruan tinggi di wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta ditunjukkan pada
Gambar 2-4.

Gambar 2-4 Peta spasial Sarana pendidikan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta


(Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

D. Timbulan sampah dan limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Sarana kesehatan dapat berupa rumah sakit, puskesmas, poliklinik


ataupun praktek dokter. Persebaran rumah sakit paling banyak terdapat di Kota
Yogyakarta yang merupakan pusat Kawasan. Rumah sakit yang tersedia berupa

20
rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus yang menangani dalam bidang
ibu dan anak ataupun kejiwaan. Sarana kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah di tiap kecamatan berupa puskesmas. Untuk wilayah yang jauh dari
jangkauan puskesmas maka disediakan puskesmas pembantu. Total Sarana
kesehatan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) sebesar 62 buah, dimana 33
berada di Kota Yogyakarta, 10 lokasi berada di Kabupaten Bantul, dan 19 lokasi
berada di Kabupaten Sleman. Selain sampah domestik, Fasyankes menghasilkan
sampah B3. Berdasarkan data pada tanggal 2 Januari 2018, potensi timbulan
limbah B3 medis yang ada di DIY disajikan pada Tabel 2-7.
Tabel 2-7 Potensi Timbulan Limbah B3 Fasyankes

No. Jenis Fasyankes Jumlah Timbulan limbah ( kg/hari )


1. Rumah Sakit 78 3.761
2. Puskesmas 121 307
Jumlah 4.008
(Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Timbulan limbah B3 dari fasyankes diperkirakan lebih dari 4 ton/hari,


dengan prediksi timbulan sekitar 4,5 - 5 ton/hari karena data di atas belum
termasuk dari layanan kesehatan lainnya seperti klinik kesehatan, laboratorium,
dokter/dokter gigi praktek dan bidan praktek mandiri. Peta sebaran rumah sakit
dan puskesmas (Sarana kesehatan) di wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta
ditunjukkan pada Gambar 2-5.

21
Gambar 2-5 Peta spasial sarana fasilitas pelayanan kesehatan di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta (Sumber: Fakta dan Analisa Penyusuan RTR DIY KSP KPY,
2017)

Saat ini, sampah B3 fasyankes menimbulkan problema pelik bagi mereka,


hampir seluruh fasyankes yang ada di DIY menyerahkan pengolahan limbahnya
kepada pihak ketiga yang lokasinya ada di luar DIY. Berdasarkan pengalaman
yang ada, ketika pengolah limbah B3 tergantung dari pihak lain, maka akan timbul
potensi permasalahan sebagai berikut :
1. Penghasil limbah B3 di DIY akan memusnahkan limbah B3 nya sangat
tergantung kuota yang tersedia dari pengolah atau pihak 3, sehingga beresiko
terjadi penumpukan di Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS)
yang ada di penghasil.
2. Harga pengolahan limbah sangat fluktuatif dan jika terjadi kenaikan, maka
penghasil di DIY tidak punya alternatif lain selain menyetujui tarif tersebut,
sehingga biaya pengolahan limbah menjadi tidak rasional.
3. Penghasil limbah cenderung tidak mentaati peraturan pengelolaan limbah,
karena untuk beberapa limbah B3 yang seharusnya maksimal disimpan dalam
waktu 48 jam, namun karena pengangkut (transporter) dan atau pengolah
mengambil limbah dari penghasil lebih dari 48 jam, maka limbah tersebut
menumpuk di TPS dan berpotensi menimbulkan pencemaran terutama limbah
medis infeksius dan mengganggu estetika.

22
Gambar 2-6 Jumlah timbulan limbah medis dan jumlah limbah medis yang belum
terkelola di DIY (Diolah dari data Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan)

Gambar 2-6 menggarisbawahi problem serius dalam pengelolaan limbah medis di


DIY mengingat tingginya jumlah timbulan setiap harinya dan kenyataan bahwa
masih ada sisa limbah medis yang belum terkelola dengan baik.

E. Timbulan sampah dan sampah B3 dari Industri

Menurut definisi pada UU RI No. 32 th.2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup; PP No. 101 th. 2014 tentang Pengelolaan
Limbah B3, limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifatnya,
konsentrasinya atau jumlahnya baik langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan, merusakkan/membahayakan: lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia/makhluk hidup lain. Menurut karakternya adalah
mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi,
bersifat korosif, Uji TCLP nya. Sumber limbah B3 bisa berasal dari sumber
spesifik dan sumber non spesifik ataupun bahan kimia kadaluwarsa. Pengelolaan
limbah B3 sejak mulai pewadahan, pengangkutan, penyimpanan sementara,
pengolahan dan pemanfaatan kembali limbah B3 sesuai peruturan perundangan
yang berlaku.
Berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup DIY, jumlah industri yang
berpotensi menimbulkan limbah pencemar (baik B3 maupun non B3) disajikan
dalam Gambar 2-7.
Gambar 2-7 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, jumlah industri yang
berpotensi mencemari lingkungan di DIY mencapai lebih dari 600 industri. Jumlah
ini belum mencakup industri kecil atau mikro yang juga berpotensi menghasilkan
limbah, misalnya industri laundry dan berbagai industri kerajinan.

23
Data terperinci tentang jumlah sampah B3 dari masing-masing industri
belum terdokumentasi dengan akurat. Untuk mendapatkan gambaran kasar
tentang aliran limbah B3 yang selama ini masuk ke TPA Piyungan (dari berbagai
sumber), Gambar 2-8 mengilutrasikan data dari Kabupaten Sleman.

Gambar 2-7 Jumlah industri di Provinsi DIY (mencakup 4 kabupaten dan 1


kotamadya) yang berpotensi menghasilkan limbah pencemar (Sumber: olahan data
Badan Lingkungan Hidup DIY, 2012)

24
SEKTOR SEBAGAI
INFORMAL PENCEMAR
(daur ulang) LINGKUNGAN
Pola Perdesaan
1,14 ton/hari
2,4 ton/hari
(47,55%)
(85,52%)

1,26 ton/hari
(52,45%)
Dibakar/ditimbun

Timbulan limbah
Pola Perkotaan 0,265 ton/hari
B3 di sumbernya
0,33 ton/hari (80,3%)
2,81 ton/hari
(11,85%)
(100%)

0,065 ton/hari
(19,70%)
Ke TPA Piyungan

Pola Mandiri 0,06 ton/hari


0,07 ton/hari (85,71%)
(2,63%)

0,01 ton/hari
(14,29%)
Ke TPA Piyungan

Gambar 2-8 Aliran materi limbah B3 di wilayah Kabupaten Sleman (Sumber:


Iswanto, 2016 (Disertasi))

Gambar 2-8 adalah data kasar yang diperoleh untuk keperluan studi
(disertasi) sehingga belum terjamin akurasinya. Walaupun demikian, data yang
tercantum pada Gambar 2-8 mengindikasikan bahwa jumlah sampah domestik
yang dikategorikan B3 (misalnya batu baterai bekas, neon dan bohlam bekas,
kemasan cat, kosmetik atau pelumas kendaraan yang umumnya mengandung
bahan-bahan yang menyebabkan iritasi atau gangguan kesehatan lainnya seperti
logam merkuri yang terkandung di dalam batu baterai pada umumnya) mencapai
2,81 ton/hari di satu kabupaten saja, yaitu Kabupaten Sleman. Kondisi di ketiga
kabupaten dan satu kotamadya diperkirakan kurang lebih sama, dengan
kecenderungan lebih tinggi di Kotamadya Yogyakarta jika mengacu pada
kepadatan penduduk. Oleh karena itu, secara total di seluruh DIY, jumlah
timbulan sampah B3 diperkirakan bisa mencapai kurang lebih 6-8 ton/hari
(termasuk limbah B3 yang berasal dari Fasyankes). Gambar 2-8 juga memberikan
informasi bahwa aliran limbah B3 ini belum termonitor dengan baik. Sejumlah kecil
masuk TPA Piyungan, tetapi di sana pun belum ada unit khusus pengolahan
sampah B3. Dengan mencermati angka timbulan yang cukup besar, maka
kebutuhan pengolahan limbah B3 di DIY sudah sangat mendesak. Data yang
lebih akurat perlu diperoleh dengan survey yang lebih mendalam pada saat studi
kelayakan untuk pengolahan limbah B3 di TPA Piyungan.

F. TPA Piyungan, Proyeksi Sampah dan Permasalahan serta arah


pembangunan

25
TPA Regional Piyungan yang terletak di Desa Sitimulyo, Kecamatan
Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai
luas area 12,5 Ha.
Saat ini di TPA Piyungan jumlah sampah domestik masih menjadi
penyumbang terbesar sampah, yang umumnya berasal dari rumah tangga,
perkantoran, pendidikan, dan perdagangan, jasa pariwisata, dan sampah organik
dan inorganik serta sampah B3 dari rumah tangga, sebagian industri kecil
menengah (IKM) dan fasilitas pelayanan kesehatan juga ditampung di lokasi
tersebut. Berdasarkan studi Kajian PTMP Kota Yogyakarta Tahun 2016 dan
Kajian Rencana Induk Persampahan Kabupaten Bantul tahun 2016, timbulan
sampah domestik sebagian besar masih didominasi oleh sampah organik sekitar
60 - 70% volume, akan tetapi sampah anorganik secara total bisa mencapai 30 –
40% volume dari total sampah secara keseluruhan. Kondisi ini mengindikasikan
adanya pergeseran konsumsi masyarakat di perkotaan. Hal ini disebabkan karena
peningkatan produk – produk baru, sehingga meningkat pula daya beli
masyarakat di perkotaan.
Tabel 2-8 menyajikan data timbulan sampah yang masuk di TPA Piyungan
untuk 5 tahun terakhir dan Tabel 2-9 menyajikan komposisi rerata dari timbulan
sampah domestik.
Tabel 2-8 Timbulan Sampah 5 Tahun Terakhir
No. Daerah Asal Total berat sampah tiap Tahun (kg)
2012 2013 2014 2015 2016
1 Kodya 71.316.347 64.286.172 53.222.836 51.867.590 65.278.911
Yogyakarta
2 Kabupaten 41.715.669 43.824.419 40.357.808 48.146.670 55.020.910
Sleman
3 Kabupaten 13.668.456 15.880.509 15.522.800 17.241.210 21.335.040
Bantul
4 Non Dinas Kodya 677.063 13.553.969 18.323.719 22.723.512 11.013.872
Yogyakarta
5 Non Dinas 2.110.080 5.249.530 7.155.015 5.708.855 3.664.115
Sleman
6 Non Dinas Bantul 1.338.080 5.016.450 4.646.915 3.226.260 932.975
Jumlah 130.826.234 147.811.049 139.229.093 148.914.097 157.245.823
(Sumber: TPST Piyungan, 2017)

Tabel 2-9 Komposisi dan berat timbulan sampah domestik di TPA Piyungan

Komponen Komposisi Berat (ton/hari)


Organik 0,37 277,37
Plastik 0,22 166,09
Kertas 0,15 111,97
Kayu 0,02 12,54
Kaleng 0,01 0,65
Kaca/gelas 0,02 14,81
Kain 0,08 57,05

26
Karet 0,03 21,40
Besi 0,01 6,26
B3 0,1 77,87
100 672,13
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan)

Rata-rata per hari sampah yang dibuang ke TPA adalah 450-550 ton (Fakta dan
Analisa KPY, 2017) dengan jenis sampah dominan adalah sampah organik
sebesar kurang lebih 72% dari total sampah yang ada. Namun berdasarkan studi
pengelolaan dan teknologi pengolahan sampah (2017), diketahui berat ton
sampah dan komposisi sampah (% berat) di TPA Piyungan sebagaimana tersaji
dalam Tabel 2-9.
Menurut Tabel 2-9 ada 672,13 ton sampah perhari yang akan dikelola oleh
TPA Piyungan, dimana diperkirakan 37% berupa sampah organik, ± 54% sampah
inorganik sementara ± 10 % atau 77,87 ton/hari berupa sampah B3. Sementara
data lain menunjukkan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan di DIY sebesar 230
ribu ton/hari atau dalam pencatatan selama setahun total ada 2,8 juta ton.
Permasalahan yang ada di TPA Piyungan juga tidak hanya keterbatasan lahan
saja akan tetapi masih banyaknya sarana prasarana yang rusak dan tidak
berfungsi optimal sehingga memerlukan pergantian atau perbaikan sarana dan
prasarana. Permasalahan lain selain dari segi teknis adalah ketersediaannya
SDM dan sistem operasi yang ada di TPA Piyungan. Kurangnya SDM yang
mengoperasionalkan TPA Piyungan baik secara kuantitas maupun kualitas
sehingga mempengaruhi operasional sehari-hari.
Sementara itu data proyeksi volume timbulan sampah di TPA Piyungan
disajikan pada Tabel 2-10 dan Gambar 2-9.
Tabel 2-10 Proyeksi volume timbulan sampah di KPY (m3/hari)

Tahun Volume Volume Berat Berat


3 3
(m /hari) (m /tahun) (ton/hari) (ton/tahun)
2017 1013.1 369781.5 550.1 200786.5
2018 1105.7 403580.5 600.4 219146.0
2019 1206.7 440445.5 655.2 239148.0
2020 1316.9 480668.5 715.1 261011.5
2021 1437.2 524578.0 780.4 284846.0
2022 1568.5 572502.5 851.7 310870.5
2023 1711.8 624807.0 929.5 339267.5
2024 1868.2 681893.0 1014.4 370256.0
2025 2038.9 744198.5 1107.1 404091.5
2026 2225.2 812198.0 1208.3 441029.5
2027 2428.5 886402.5 1318.7 481325.5
2028 2650.3 967359.5 1439.1 525271.5
2029 2818.0 1028570.0 1530.2 558523.0
2030 2965.2 1082298.0 1610.1 587686.5
2031 3112.4 1136026.0 1690.0 616850.0

27
2032 3259.5 1189717.5 1770.0 646050.0
(Sumber: Laporan Akhir Review Masterplan TPA Piyungan, 2017)

4000.0

3000.0
Volume (m3/hari)

2000.0

1000.0

0.0
2017 2022 2027 2032
Tahun

Gambar 2-9 Pertumbuhan Timbulan Sampah yang masuk ke TPA Piyungan


(Sumber: Laporan Akhir Review Masterplan TPA Piyungan, 2017)

Dengan luas lahan area 12,5 Ha, TPA Piyungan hanya bisa menampung
sampah hingga tahun 2019. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan pengelolaan
tepat guna untuk mengatasi permasalahan tersebut. Perencanaan yang perlu
dilakukan terkait pengelolaan sampah di TPA Piyungan secara umum adalah
sebagai berikut:
a. Rencana sistem jaringan persampahan diarahkan sesuai dengan
arah pengembangan atau rencana pemanfaatan ruang KPY,
khususnya pada daerah perdagangan, pasar, terminal serta obyek-
obyek wisata.
b. Pelibatan peran masyarakat dalam pengolahan persampahan
mandiri atau sistem 3R. Fasilitas sarana dan prasarana perlu
dikembangkan, antara lain Bank Sampah, TPS-3R, dan TPST.
c. Pengembangan atau pengolahan sampah di TPA Piyungan
diarahkan berbasis teknologi dan bernilai ekonomi dengan membuka
peluang investasi atau kersajama swasta. Studi detail perlu
dilakukan guna mengetahui kelayakannya.
d. Alternatif TPA diarahkan berlokasi di wilayah yang berada di KPY
yang belum padat penduduknya, yaitu di Kabupaten Sleman
ataupun Kabupaten Bantul. Studi lebih lanjut mengenai pengadaan
TPA perlu dilakukan.

28
Tabel 2-11 Proyeksi Timbulan Sampah dan Penambahan Infrastruktur Persampahan. Sumber: Bappeda DIY (2014)
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

- -
54.910 57702 73935 94735 184,4 237,9 LDU
1 Bantul Banguntapan Banguntapan 2,51 6 190,42 243,99 312,63 2 9 -306,63 S 8 10 13

- - LDU
4.913 5165 6631 8513
2 Bantul Banguntapan Singosaren 2,53 6 17,04 21,88 28,09 11,04 15,88 -22,09 S 0 1 1

- - LDU
18.756 19714 25284 32429
3 Bantul Banguntapan Baturetno 2,52 0 65,06 83,44 107,02 65,06 83,44 -107,02 S 3 3 4

- - LDU
14.953 15717 20158 25854
4 Bantul Banguntapan Wirokerten 2,52 6 51,87 66,52 85,32 45,87 60,52 -79,32 S 2 3 3

- - LDU
14.669 15418 19775 25363
5 Bantul Banguntapan Tamanan 2,52 6 50,88 65,26 83,70 44,88 59,26 -77,70 S 2 2 3

- - LDU
13.932 14646 18803 24140
6 Bantul Banguntapan Potorono 2,53 6 48,33 62,05 79,66 42,33 56,05 -73,66 S 2 2 3

- -
39.959 41566 50619 61643 125,1 155,0 LDU
7 Bantul Kasihan Ngestiharjo 1,99 12 137,17 167,04 203,42 7 4 -191,42 S 5 6 8

-
28.408 29550 35986 43824 - 106,7 LDU
8 Bantul Kasihan Tamantirto 1,99 12 97,52 118,75 144,62 85,52 5 -132,62 S 4 4 6

29
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

- - LDU
26.339 27398 33365 40632
9 Bantul Kasihan Tirtonirmolo 1,99 24 90,41 110,10 134,09 66,41 86,10 -110,09 S 3 4 5

- -
1 30.695 31629 36743 42684 104,3 121,2 LDU
0 Bantul Sewon Bangunharjo 1,51 0 104,38 121,25 140,86 8 5 -140,86 S 4 5 6

-
1 35.162 36232 42091 48896 - 114,9 LDU
1 Bantul Sewon Panggungharjo 1,51 24 119,57 138,90 161,36 95,57 0 -137,36 S 4 5 6

1 Yogyakart
4328 4599 4887 0 0 0
2 a Danurejan Suryatmajan 4.275 0,61 100 14,28 15,18 16,13 85,72 84,82 83,87 -

1 Yogyakart Tegal - -
7905 8401 8927
3 a Danurejan Panggung 7.809 0,61 7,56 26,09 27,72 29,46 18,53 20,16 -21,90 TPST 2 3 3

1 Yogyakart
6496 6903 7336
4 a Danurejan Bausasran 6.417 0,61 18,36 21,44 22,78 24,21 -3,08 -4,42 -5,85 TPST 0 1 1

1 Yogyakart
8395 9019 9690 0 0 0
5 a Gondomanan Prawirodirjan 8.275 0,72 100 27,70 29,76 31,98 72,30 70,24 68,02 TPST

1 Yogyakart
4864 5226 5614
6 a Gondomanan Ngupasan 4.794 0,72 16,2 16,05 17,25 18,53 0,15 -1,05 -2,33 - 0 0 0

1 Yogyakart Gedongtenge Pringgokusuma


10860 11973 13199 0 0 0
7 a n n 10.650 0,98 108,64 35,84 39,51 43,56 72,80 69,13 65,08 -

30
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

1 Yogyakart Gedongtenge Sosromendura


6363 7015 7734 0 0
8 a n n 6.240 0,98 29,16 21,00 23,15 25,52 8,16 6,01 3,64 - 0

1 Yogyakart Gondokusum
12981 13877 14835 0 0 0
9 a an Baciro 12.808 0,67 118,36 42,84 45,79 48,96 75,52 72,57 69,40 -

2 Yogyakart Gondokusum
9327 9971 10660 0 0 0
0 a an Terban 9.203 0,67 128,68 30,78 32,90 35,18 97,90 95,78 93,50 -

2 Yogyakart Gondokusum - -
10459 11181 11954
1 a an Klitren 10.320 0,67 10,32 34,51 36,90 39,45 24,19 26,58 -29,13 TPST 3 4 4

2 Yogyakart Gondokusum - -
11143 11913 12735
2 a an Demangan 10.995 0,67 18,96 36,77 39,31 42,03 17,81 20,35 -23,07 TPST 2 3 3

2 Yogyakart Gondokusum
2540 2716 2903 0 0 0
3 a an Kotabaru 2.506 0,67 30,84 8,38 8,96 9,58 22,46 21,88 21,26 -

2 Yogyakart
8964 9255 9555
4 a Jetis Bumijo 8.906 0,32 24,36 29,58 30,54 31,53 -5,22 -6,18 -7,17 TPST 1 1 1

2 Yogyakart Cokrodiningrat - -
7949 8207 8474
5 a Jetis an 7.898 0,32 6 26,23 27,08 27,96 20,23 21,08 -21,96 TPST 3 3 3

2 Yogyakart - -
6610 6824 7046
6 a Jetis Gowongan 6.567 0,32 4,32 21,81 22,52 23,25 17,49 18,20 -18,93 TPST 2 2 3

2 Yogyakart
4742 4785 4828 0 0 0
7 a Kraton Patehan 4.733 0,09 112,96 15,65 15,79 15,93 97,31 97,17 97,03 -

31
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

2 Yogyakart - -
5543 5594 5644
8 a Kraton Kadipaten 5.533 0,09 6,48 18,29 18,46 18,63 11,81 11,98 -12,15 TPST 2 2 2

2 Yogyakart
7353 7419 7486
9 a Kraton Panembahan 7.339 0,09 15,72 24,26 24,48 24,70 -8,54 -8,76 -8,98 TPST 1 1 1

3 Yogyakart
11795 15128 19403 0 0 0
0 a Kotagede Prenggan 11.222 2,52 106 38,92 49,92 64,03 67,08 56,08 41,97 -

3 Yogyakart - -
12692 16278 20878
1 a Kotagede Rejowinangun 12.075 2,52 4,32 41,88 53,72 68,90 37,56 49,40 -64,58 TPST 5 7 9

3 Yogyakart - -
9590 12300 15776
2 a Kotagede Purbayan 9.124 2,52 0 31,65 40,59 52,06 31,65 40,59 -52,06 TPST 4 5 7

3 Yogyakart
12633 13899 15292 0 0 0
3 a Mantrijeron Gedongkiwo 12.393 0,96 122,2 41,69 45,87 50,46 80,51 76,33 71,74 -

3 Yogyakart Suryodiningrata - -
10493 11545 12702
4 a Mantrijeron n 10.294 0,96 12,96 34,63 38,10 41,92 21,67 25,14 -28,96 TPST 3 3 4

3 Yogyakart - -
8921 9816 10800
5 a Mantrijeron Mantrijeron 8.752 0,96 16,2 29,44 32,39 35,64 13,24 16,19 -19,44 TPST 2 2 3

3 Yogyakart
8887 9491 10136 0 0 0
6 a Mergangsan Keparakan 8.770 0,66 104,32 29,33 31,32 33,45 74,99 73,00 70,87 -

3 Yogyakart - -
11192 11953 12765
7 a Mergangsan Wirogunan 11.045 0,66 0 36,93 39,44 42,12 36,93 39,44 -42,12 TPST 5 5 6

32
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

3 Yogyakart - -
9835 10504 11218
8 a Mergangsan Brontokusuman 9.706 0,66 16,2 32,46 34,66 37,02 16,26 18,46 -20,82 TPST 2 2 3

3 Yogyakart
7603 8088 8603 0 0 0
9 a Ngampilan Notoprajan 7.509 0,62 119,44 25,09 26,69 28,39 94,35 92,75 91,05 -

4 Yogyakart - -
9059 9636 10251
0 a Ngampilan Ngampilan 8.947 0,62 6,48 29,89 31,80 33,83 23,41 25,32 -27,35 TPST 3 3 4

4 Yogyakart
5274 5295 5316
1 a Pakualaman Purwo Kinanti 5.269 0,04 9,72 17,40 17,47 17,54 -7,68 -7,75 -7,82 TPST 1 1 1

4 Yogyakart
4195 4212 4229
2 a Pakualaman Gunung Ketur 4.191 0,04 14,04 13,84 13,90 13,96 0,20 0,14 0,08 - 0 0 0

4 Yogyakart - -
12849 14634 16669
3 a Tegalrejo Kricak 12.518 1,31 15,72 42,40 48,29 55,01 26,68 32,57 -39,29 TPST 4 4 5

4 Yogyakart
8511 9694 11042 0 0 0
4 a Tegalrejo Tegalrejo 8.292 1,31 109,72 28,09 31,99 36,44 81,63 77,73 73,28 -

4 Yogyakart - -
5073 5778 6581
5 a Tegalrejo Bener 4.942 1,31 6 16,74 19,07 21,72 10,74 13,07 -15,72 TPST 1 2 2

4 Yogyakart -
9623 10960 12484
6 a Tegalrejo Karangwaru 9.375 1,31 23,22 31,76 36,17 41,20 -8,54 12,95 -17,98 TPST 1 2 2

4 Yogyakart
9450 12026 15305 0 0 0
7 a Umbulharjo Tahunan 9.005 2,44 106,48 31,19 39,69 50,51 75,30 66,79 55,97 -

33
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

4 Yogyakart - -
15139 19266 24518
8 a Umbulharjo Pandeyan 14.426 2,44 9,24 49,96 63,58 80,91 40,72 54,34 -71,67 TPST 5 7 10

4 Yogyakart
8782 11176 14222 0 0 0
9 a Umbulharjo Giwangan 8.368 2,44 121 28,98 36,88 46,93 92,02 84,12 74,07 -

5 Yogyakart - -
12265 15608 19863
0 a Umbulharjo Warungboto 11.687 2,44 6,48 40,47 51,51 65,55 33,99 45,03 -59,07 TPST 5 6 8

5 Yogyakart - -
16915 21526 27394
1 a Umbulharjo Sorosutan 16.118 2,44 40,86 55,82 71,04 90,40 14,96 30,18 -49,54 TPST 2 4 7

5 Yogyakart -
5540 7050 8972
2 a Umbulharjo Semaki 5.279 2,44 9,72 18,28 23,27 29,61 -8,56 13,55 -19,89 TPST 1 2 3

5 Yogyakart
11686 12468 13303
3 a Umbulharjo Muja Muju 11.535 0,65 31,92 38,56 41,14 43,90 -6,64 -9,22 -11,98 TPST 1 1 2

5 Yogyakart - -
10498 11200 11950
4 a Wirobrajan Pakuncen 10.362 0,65 0 34,64 36,96 39,44 34,64 36,96 -39,44 TPST 5 5 5

5 Yogyakart - -
10304 10994 11730
5 a Wirobrajan Wirobrajan 10.171 0,65 4,32 34,00 36,28 38,71 29,68 31,96 -34,39 TPST 4 4 5

5 Yogyakart - -
6521 6958 7424
6 a Wirobrajan Patangpuluhan 6.437 0,65 6 21,52 22,96 24,50 15,52 16,96 -18,50 TPST 2 2 2

5 115,9 110,1
62.454 62805 64586 66417 0 0 0
7 Sleman Depok Catur Tunggal 0,28 323,24 207,26 213,13 219,18 8 1 104,06 -

34
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

5 - - LDU
34.204 37052 55270 82444
8 Sleman Depok Maguwoharjo 4,08 96 122,27 182,39 272,07 26,27 86,39 -176,07 S 1 4 7

5 158,3
42.335 45360 64046 90430 0 0
9 Sleman Depok Condong Catur 3,51 308 149,69 211,35 298,42 1 96,65 9,58 - 0

6 Ambarketawan - - LDU
21.252 21645 23721 25996
0 Sleman Gamping g 0,92 48 71,43 78,28 85,79 23,43 30,28 -37,79 S 1 1 2

6
16.237 16633 18759 21156
1 Sleman Gamping Banyuraden 1,21 60 54,89 61,90 69,81 5,11 -1,90 -9,81 - 0 0 0

6
17.015 17039 17159 17279 0 0 0
2 Sleman Gamping Nogotirto 0,07 72 56,23 56,62 57,02 15,77 15,38 14,98 -

6 146,6 139,7
17.580 17973 20071 22413 0 0 0
3 Sleman Gamping Trihanggo 1,11 206 59,31 66,23 73,96 9 7 132,04 -

6 - - LDU
14.465 15017 18110 21838
4 Sleman Godean Sidoarum 1,89 6 49,56 59,76 72,07 43,56 53,76 -66,07 S 2 2 3

- -
6 35.769 36669 41520 47011 121,0 137,0 LDU
5 Sleman Kalasan Purwomartani 1,25 121,01 137,02 155,14 1 2 -155,14 S 5 6 6

-
6 38.575 41283 57953 81354 - 131,2 LDU
6 Sleman Mlati Sinduadi 3,45 60 136,23 191,24 268,47 76,23 4 -208,47 S 3 5 9

35
Selisih Proyeksi
Penambahan
Proyeksi Jumlah Proyeksi Timbulan
Timbulan Dan
Kondisi Eksisting (Tahun 2015) Infrastruktur Sampah
Penduduk (Jiwa) Sampah Harian (M3)
Kapasitas Infrastruktur 2014
Kabupaten (Buah)
No Kecamatan Desa/ Kelurahan (M3/Hari)
/Kota
Kapasitas
Jumlah Pertmbhn
Infr.
Penddk Penduduk 2017 2027 2037 2017 2027 2037 2017 2027 2037 JENIS* 2017 2027 2037
Persmphn
(Jiwa) (%)
(M3)

6 - - LDU
18.658 19783 26510 35523
7 Sleman Mlati Sendangadi 2,97 48 65,28 87,48 117,23 17,28 39,48 -69,23 S 1 2 3

6 - - LDU
12.488 13021 16044 19770
8 Sleman Mlati Tlogoadi 2,11 42,97 52,95 65,24 42,97 52,95 -65,24 S 2 2 3

6 - - LDU
15.381 16113 20326 25640
9 Sleman Ngaglik Minomartani 2,35 36 53,17 67,08 84,61 17,17 31,08 -48,61 S 1 1 2

7 - LDU
18.845 20470 30947 46787
0 Sleman Ngaglik Sinduharjo 4,22 78 67,55 102,13 154,40 10,45 24,13 -76,40 S 0 1 3

7 - - LDU
20.610 22451 34434 52814
1 Sleman Ngaglik Sari Harjo 4,37 30 74,09 113,63 174,29 44,09 83,63 -144,29 S 2 3 6

7 132,0 117,9
27.071 27857 32138 37078 0 0 0
2 Sleman Ngemplak Wedomartani 1,44 224 91,93 106,06 122,36 7 4 101,64

- -
1.088.71 1.128.05 1.357.34 1.654.99 3722,5 4479,2 5461,4 145,8 902,5
Jumlah Total 5 3.577 5 5 6 8 4 9 6 2 -1884,77

*Keterangan: Data ini masih menggunakan istilah “LDUS” karena mengambil data dari tahun 2014. Sejak tahun 2015, LDUS di DIY hanya ada di UGM
sebagai konsep akademik untuk TPST dengan residu yang tidak habis.

36
Penyediaan prasarana persampahan merupakan salah satu aspek penting
di dalam operasional pengelolaan persampahan. Teknik operasional persampahan
meliputi pewadahan sampah, penumpulan sampah, pemindahan sampah,
pengolahan dan pembuangan akhir. Pewadahan sampah adalah kegiatan
menampung sampah sementara sebelum sampah dikumpulkan, dipindahkan,
diangkut, diolah, dan dilakukan pemrosesan akhir sampah di TPA. Tujuan
Pewadahan yaitu (1) untuk menghindari terjadinya sampah yang berserakan
sehingga tidak berdampak buruk kepada kesehatan, kebersihan lingkungan, dan
estetika (2) memudahkan proses pengumpulan sampah dan tidak membahayakan
petugas pengumpul sampah.

Tabel 2-12 Sebaran Cakupan Seluruh Jenis Infrastruktur di KPY


Kabupaten Kecamatan JENIS Jumlah
Kontainer Depo LDUS TPS TPST

Bantul Banguntapan 5 2 5
Bantul Kasihan 4 3 5
Bantul Sewon 4 1 4
Bantul Total 13 0 0 6 0 14
Sleman Depok 8 2 8 9 28
Sleman Gamping 3 1 7 11
Sleman Godean 1 1
Sleman Mlati 6 1 1 4 11
Sleman Ngaglik 4 1 4 9
Sleman Ngemplak 1 1 2
Sleman Total 22 5 3 19 13 62
Yogyakarta Danurejan 1 7 8
Yogyakarta Gedongtengen 1 9 10
Yogyakarta Gondokusuman 4 2 24 30
Yogyakarta Gondomanan 1 1 4 5
Yogyakarta Jetis 3 6 8
Yogyakarta Kotagede 1 1 1 3
Yogyakarta Kraton 1 1 9 11
Yogyakarta Mantrijeron 2 1 14 16
Yogyakarta Mergangsan 1 5 6
Yogyakarta Ngampilan 1 8 9
Yogyakarta Pakualaman 1 7 7
Yogyakarta Tegalrejo 4 1 9 1 14
Yogyakarta Umbulharjo 5 4 19 3 27
Yogyakarta Wirobrajan 1 1 2
Yogyakarta Total 23 15 0 123 4 156
Jumlah 58 20 3 148 17 232
(Sumber: BAPPEDA DIY (2014))

Jenis infrastruktur persampahan di KPY terdiri dari 2 kewenangan yaitu


kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Infrastruktur persampahan yang menjadi
kewenangan provinsi adalah TPST dan TPA. Di dalam KPY infrastruktur
persampahan yang ada hanya TPST yang terbagi menjadi 3 kapasitas, yaitu
kapasitas 7,5 m3 berjumlah 3 unit, kapasitas 12 m3 berjumlah 13 unit dan kapasitas
22,5 m3 berjumlah 1unit. Infrastruktur persampahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota terbagi menjadi 4 jenis yaitu TPS, container, Depo dan lahan daur
ulang sampah (LDUS). TPS dibagi menjadi 4 kapasitas yaitu 3 m 3, 4 m3 dan 24 m3.
Depo dibagi menjadi 2 kapasitas yaitu 100 m3 dan 200 m3

37
Sebaran infrastruktur persampahan di KPY tidak merata atau tidak semua
kecamatan memiliki minimal satu infrastruktur untuk semua ukuran atau jenis yang
memadahi. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 4.19 Sebaran Cakupan Seluruh Jenis
Infrastruktur per Kecamatan dan Kabupaten/kota di KPY tersaji pada Tabel 2-12.
Pembangunan sistem persampahan di KPY tertuang dalam Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang menyebutkan bahwa Pengembangan
atau pengolahan sampah di TPA Piyungan diarahkan berbasis teknologi dan bernilai
ekonomi dengan membuka peluang investasi atau kerjasama swasta. Studi
detail perlu dilakukan guna mengetahui kelayakannya

2.2 Kepastian KPBU Mempunyai Permintaan yang Berkelanjutan

2.2.1 Konsep Pengembangan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan

Dalam bagian ini akan diuraikan konsep pengembangan TPA Piyungan


menjadi TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan terlebih dahulu sebagai gambaran
potensi-potensi pendapatan yang dimungkinkan untuk diperoleh dari teknologi yang
diaplikasikan. Berdasarkan evaluasi oleh pengelola TPA Piyungan saat ini, yaitu
Dinas PUP ESDM, dan dengan memperhatikan masukan dari Dinas Kesehatan
akan perlunya DIY memiliki instalasi pengolahan Limbah B3, maka konsep
pengembangan TPA Piyungan menjadi TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan
mencakup:
a. Penambahan teknologi baru
b. Instalasi insinerator dan kelengkapannya sebagai sarana pengolahan limbah
B3
Uraian untuk masing-masing komponen teknologi dalam konsep pengembangan
TPA Piyungan ini disajikan berikut ini

A. Pengelolaan gas metana

Pengelolaan gas metana akan dilaksanakan dengan pemasangan pipa


portable dan tahap awal akan dipasang di area rencana awal penimbunan sel. Detail
pipa portable yang dibutuhkan adalah pipa HDPE. Jumlah titik pipa gas metana
untuk tahap awal dibutuhkan sebanyak 154 titik. Untuk detail gambar pipa portable
dan peta titik pipa gas dapat dilihat pada Gambar 2-10 dan Gambar 2-11.

38
Gambar 2-10 Detail Gambar Pipa Portable Penangkap Gas Metan (Sumber: Studi
Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

Gambar 2-11 Rencana Peta Titik Pipa Gas Metana TPA Piyungan (Sumber: Studi
Pendahuluan TPA Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

Gas metan kemudian direncanakan untuk dimanfaatkan sebagai biogas. Biogas


pada tahap pertama akan diujicoba pemakaiannya untuk keperluan sebagai berikut:
1. Penerangan area TPA pada malam hari
2. Bahan bakar kompor gas metana untuk memasak
3. Apabila gas yang dihasilkan cukup besar dapat di distribusikan ke
masyarakat sekitar TPA
Rencana pemanfaatan biogas dapat dilihat pada Gambar 2-12.

39
Gambar 2-12 Rencana Pemanfaatan Biogas

B. Pilihan penambahan teknologi baru di TPA Regional Piyungan

B.1. Anaerobic digester

Proses anaerobic digestion adalah proses produksi gas bio dari material
organik dengan bantuan bakteri dengan kondisi tidak adanya oksigen. Sebagian
besar gas yang dihasilkan berupa metana. Proses anaerobic digestion ini dibagi
menjadi dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama material
organik akan diurai menjadi asam lemah. Setelah material organik berubah menjadi
asam maka bakteri kedua menguraikan asam lemah menjadi gas metana.

Potensi reduksi sampah menggunakan metode anaerobic digester dapat


dilihat pada Tabel 2-13. Umumnya materi yang diolah di anaerobic digester adalah
materi organik. Oleh karena itu sebelum diolah harus dilakukan pemilahan sampah
agar efisiensi pengolahan menjadi lebih besar. Skema umum teknologi aerobic
digester dapat dilihat pada Gambar 2-13. Untuk karakteristik, efisiensi, dan biaya
investasi masing-masing unit pada proses Aerobic Digester dapat dilihat pada Tabel
2-14 sampai Tabel 2-19.

40
Tabel 2-13 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Anaerobic Digester
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

Gambar 2-13 Skema Umum Teknologi Anaerobic Digester (Sumber: Studi


Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

41
Tabel 2-14 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Material Recovery Facility
(MRF) (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY,
2017))

Tabel 2-15 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Anaerobic Digestion (AD)
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

42
Tabel 2-16 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Biogas (Sumber: Studi
Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

Tabel 2-17 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Komposting dari
Anaerobic Digestion (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan,
(Pemda DIY, 2017))

Tabel 2-18 Karakteristik dan Efisiensi Residu yang Menuju Landfill (Sumber: Studi
Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

43
Tabel 2-19 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan Anaerobic
Digestion (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY,
2017))

B.2. Refuse derived fuel (RDF)

Refuse Derived Fuel (RDF) merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari daur
ulang material yang menghasilkan energi panas yang tinggi dan sering juga disebut
dengan istilah briket ataupun pellet. Istilah lain untuk bahan bakar dari sampah padat
kota seperti bahan bakar daur ulang (Recovered Fuel), bahan bakar dari
pembungkus (Packaging Derived Fuel), bahan bakar dari potongan kertas dan
plastik (Paper and Plastic Fraction), dan bahan bakar dari proses mesin (Process
Engineered Fuel).

Potensi reduksi sampah menggunakan metode ini dapat dilihat pada Tabel
2-20. Untuk skema umum pengolahan sampah menggunakan teknologi RDF dapat
dilihat pada Gambar 2-14. Karakteristik, efisiensi, dan biaya investasi dengan
metode RDF dapat dilihat pada Tabel 2-20 sampai Tabel 2-23.

Tabel 2-20 Potensi Reduksi Sampah dengan Metode Refuse Derived Fuel
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

44
Gambar 2-14 Skema Umum Teknologi Refused Derived Fuel (RDF) (Sumber: Studi
Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

Tabel 2-21 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Refused Derived Fuel
(RDF) (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY,
2017))

Tabel 2-22 Karakteristik, Efisiensi, dan Biaya Investasi Unit Materials Recovery
Facility (MRF) (Sumber Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda
DIY, 2017))

45
Tabel 2-23 Total Biaya Investasi untuk Keseluruhan Sistem Pengolahan Refused
Derived Fuel (RDF) (Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan,
(Pemda DIY, 2017))

C. Komparasi prioritas teknologi

Di antara ketiga teknologi di yang telah diuraikan di atas, perlu


dipertimbangkan keterbatasan ketersediaan lahan yang memungkinkan untuk
instalasi teknologi ini, yaitu hanya sebesar 2.3 ha. Oleh karena itu, perlu dipikirkan
prioritas teknologi yang akan direalisasikan terlebih dahulu. Sebagai bahan
pertimbangan, disajikan komparasi kualitatif di Tabel 2-24.

Tabel 2-24 Komparasi kualitatif kemungkinan aplikasi teknologi pengolahan sampah


di TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan

Aspek Komparasi Pengelolaan landfill Anaerobic digester RDF


gas dan utilisasi
Luas lahan << >>> <
(hanya memerlukan (memerlukan area (peralatan mekanis tidak
jejaring pemipaan) besar untuk loading memakan banyak tempat
dan ukuran reaktor JIKA sampah organik
besar) sudah terpilah di
sumbernya, lahan di TPA
diperlukan untuk
peralatan dan gudang
RDF).
Biaya operasional << >>> <
(blower/kompresor (diperlukan (peralatan mekanis relatif
dan generator listrik) penghancuran, sederhana jika sampah
mekanisme terpilah)
pengadukan, dan
pengeringan sludge)
Kerumitan teknologi << >> <
(sangat sederhana (belum ada best (sudah ada beberapa
berupa jaringan practice teknologi contoh teknologi dengan
pemipaan) lokal dengan skala komponen lokal tinggi di
besar di TPA Indonesia)
Indonesia)
Potensi manfaat >> >> >
teknologi (biogas bisa langsung (biogas bisa langsung (RDF bisa dijual tetapi
digunakan untuk digunakan untuk tergantung market, bisa
mengurangi biaya mengurangi biaya digunakan sendiri di TPA
energi di TPA) energi di TPA) tetapi memerlukan
investasi tambahan
untuk
gasifikasi/pembakaran)

Berdasarkan analisis kualitatif di Tabel 2-24, maka teknologi yang disarankan


adalah dengan urutan prioritas sebagai berikut: 1) teknologi produksi RDF

46
dikombinasikan dengan sistem pemanenan biogas landfill untuk mengurangi biaya
energi, 2) teknologi digester anaerobik untuk fraksi organik jika sisa lahan
memungkinkan. Pilihan spesifikasi teknologi dan perhitungan keekonomian perlu
dikaji dengan lebih mendalam pada studi kelayakan, dengan disarankan mengacu
pada saran-saran dan pertimbangan yang disajikan pada bagian Penutup kajian ini.

Terkait ketersediaan lahan yang saat ini tersedia 2.3 ha di lokasi TPA
Piyungan, perlu dipertimbangkan juga hal-hal berikut ini:
1. Dengan aplikasi teknologi pengolahan yang sesuai, lahan yang masih tersedia
tidak perlu dialokasikan sebagai landfill karena sampah akan terolah dengan
teknologi yang dipilih.
2. Jika sampah tidak lagi dikelola dengan metode landfill, maka problem lindi yang
selama ini menjadi problem TPA akan sangat berkurang. Air lindi yang masih
muncul adalah air lindi dari sel-sel sampah lama yang akan semakin berkurang
jumlahnya jika tidak ada lagi tumpukan sampah baru. Dengan demikian, kolam-
kolam penampung lindi yang memakan area TPA cukup besar bisa secara
bertahap dikonversi menjadi area untuk teknologi baru di masa depan TPA.

D. Insinerasi limbah B3

Dalam konteks TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan, insinerator limbah B3


adalah komponen yang diprioritaskan karena keperluan di pengolahan limbah B3,
terutama dari fasilitas pelayanan kesehatan, sudah sangat mendesak. Teknologi
pembakaran merupakan salah satu teknologi yang sering digunakan di industri di
Indonesia. TPS pada skala kecamatan maupun rumah sakit sering menggunakan
insinerasi untuk membakar beberapa jenis sampah yang sulit didegradasi secara
biologis. Energi yang dihasilkan dari insinerasi juga dapat digunakan untuk
membangkitkan listrik dan sebagai pemanas melalui uap.

Limbah B3 yang dapat diolah dalam insinerator meliputi limbah dengan kode
dan keterangan dalam Tabel 2-25. Gambaran spesifikasi insinerator disajikan dalam
Tabel 2-27, sementara estimasi investasi disajikan di Tabel 2-26.

Tabel 2-25 Kode dan Keterangan Limbah B3 (Sumber: data Dinas Kesehatan DIY)

No. Jenis Industri Kode Uraian Limbah


Limbah
1. Baterai kering, Baterai bekas, A 326-1 Baterai bekas, baterai tidak
baterai tidak memenuhi memenuhi spesifikasi teknis,
spesifikasi teknis, baterai baterai kadaluwarsa
kadaluwarsa
2. Industri penyamak kulit A 334-1 Limbah dari proses taning dan
finishing yang mengandung Cr

47
3. Fasyankes A 337-1 Limbah klinis memiliki
karakteristik infeksius
4. Fasyankes A 337-2 Produk farmasi kedaluwarsa
5. Fasyankes A 337-3 Bahan kimia kedaluawarsa
6. Fasyankes A 337-4 Peralatan lab terkontaminasi B3
7. Fasyankes A 337-5 Peralatan medis mengandung
logam berat
8. Fasyankes B 337-1 Kemasan produk farmasi
9. Laboratorium riset dan A 338-1 Bahan kimia kedaluwarsa
komersial
10. Laboratorium riset dan A 338-2 Peralatan lab terkontaminasi B3
komersial
11. Laboratorium riset dan A 338-4 Sludge IPAL
komersial
12. Fotografi A 339-1 Larutan developer, fixer bekas
fotografi
13. Fotografi B 339-1 Off set
14. Fotografi B 339-2 Tinta toner
15. Fotokopi B 353-1 Toner bekas

Tabel 2-26 Biaya Investasi Fasilitas Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas
Kesehatan DIY)

No. Kebutuhan Satuan Volume Harga satuan Harga Total


1. Ruang Persiapan 1 Unit 30.000.000 30.000.000
2. Ruang Incinerator 1 Unit 90.000.000 90.000.000
3. Incinerator dengan 1 Unit 3.000.000.000 3.000.000.000
anti polusi udara (harga
(dengan kapasitas kapasitas 3m³
pengolahan per hari ± 3 miliar)
7 ton maka hanya data dari
butuh 1 incenerator sebuah
sebagai investasi penawaran
awal)
4. CCTV pemantau 3 Unit 35.000.000 105.000.000
asap yang terkoneksi
dengan KLHK
5. Alat pemantau emisi 3 Unit 120.000.000 360.000.000
digital
6. Alat timbang sampah 2 Unit 15.000.000 30.000.000
7. IPAL 1 Unit 50.000.000 50.000.000
8. Alat 1 paket 10.000.000 10.000.000
kebersihan/desinfeksi
9. APD 10 paket 500.000 5.000.000
10. Kamar mandi/WC 1 Unit 10.000.000 10.000.000
petugas

48
11. Ruang Tamu 1 Unit 20.000.000 20.000.000
12. Kendaraan roda 4 5 Unit 250.000.000 1.250.000.000
mobil box dengan
pendingin
13 Kendaraan roda 3 5 Unit 25.000.000 125.000.000
14. Forklift 2 Unit 150.000.000 300.000.000
15. Pos Keamanan 1 Unit 10.000.000 10.000.000
16. Dispobin 240 liter 200 Buah 1.500.000 300.000.000
merk Maspion
17. Sewa Coldstorage 20 1 Buah 20.000.000 20.000.000
feet
18. Sarana Penampung 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Abu
19. Sarana Cuci 1 Unit 15.000.000 15.000.000
Peralatan
20. Biaya Pembuatan 1 dokumen 500.000.000
AMDAL
Jumlah Total 6.245.000.000

Perlu digarisbawahi bahwa biaya investasi seperti tersebut pada Tabel 2-26 perlu
dikaji ulang pada tahapan studi kelayakan karena beberapa biaya investasi sarana
pendukung masih merupakan “harga perkiraan” berdasarkan informasi pada website
penyedia jasa instalasi peralatan.

Tabel 2-27 Spesifikasi Alat Pengolah Limbah B3 (Sumber: data Dinas Kesehatan DIY)

No. Data Teknis Spesifikasi


1. Primary Chamber 10 m3
2. Temperatur Primary Chamber 800 – 1.200 oC
3. Temperatur Secondary Chamber 1.000 – 1.200 oC
4. Tinggi Cerobong 18 meter
5. Sampling Emisi 8D
6. Fuel Kerosene/|Oil Diesel/Natural Gas
7. Waste Type Solid/Liquid/Sludge Waste
8. Electrical SHP/220-380V/3ph
9. Body Fame Mild-Steel
10. Insulation Material Ceramic Fiber
11. Refractory Castable/Fire Brick
12. Fuel Tank 200 liter
Sumber : Spesifikasi alat yang sesuai Permen LHK No. P/56 Tahun 2015

49
2.2.2 Estimasi kapasitas ekonomis teknologi pengolahan di TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengelolaan TPA Sampah dan Limbah B3


Piyungan memerlukan aplikasi teknologi yang berbiaya tinggi baik untuk investasi
peralatan maupun biaya operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menjamin
keberlanjutan operasional teknologi yang diinvestasikan, diperlukan skala operasi
yang cukup besar untuk mencapai kelayakan ekonominya. Besarnya skala
operasional ini harus dihitung dengan terperinci dalam proses pemilihan teknologi
yang akan digunakan dan seyogyanya menjadi studi tersendiri.
Dalam kajian awal ini, disajikan estimasi kapasitas ekonomis teknologi-
teknologi persampahan berdasarkan data ukuran komersial peralatan yang lazim
digunakan saat ini. Dengan membandingkan kapasitas ekonomis tersebut dan
jumlah sampah/limbah B3 yang berasal dari DIY akan diperoleh gambaran apakah
timbulan sampah/limbah B3 dari DIY sendiri sudah memenuhi kapasitas ekonomis
tersebut atau harus mengolah sampah/limbah B3 dari area di sekitar DIY agar
mencapai keekonomian peralatan.

Tabel 2-28 Teknologi yang diperlukan untuk pengembangan TPST ideal (dengan visi
waste to energy dan tidak ada residu/zero-waste)

Kapasitas Jumlah
Unit Peralatan komersial (terbukti sampah/limbah Keterangan
ekonomis) dari internal DIY
Anaerobic 300 ribu – 2 juta 125 ribu ton Mengkonversi
digestion ton sampah sampah sampah organik
organik/tahun1) organik/tahun2) menjadi biogas
Produksi Refuse- Sangat bervariasi 125 ribu ton Mengkondisikan
Derived Fuel (RDF) (kalkulasi sampah anorganik fraksi non-
keekonomian perlu non logam/tahun2) biodegradable
mempertimbangkan sebagai bahan
market size RDF di bakar padat
Indonesia)
Insinerator untuk Sangat bervariasi 7-8 ton/hari3) Mengeliminasi
residual MSW dan (kalkulasi limbah B3 dan
limbah B3 (tidak keekonomian perlu fraksi sampah yang
untuk penimbunan) mempertimbangkan tidak bisa diproses
kebutuhan bahan dengan anaerobic
bakar yang juga digestion dan RDF
sangat bervariasi
pada berbagai
insinerator)

50
Catatan:
1) Sumber: Anaerobic digestion of food waste (L. Arsova, tesis Columbia University, 2010)
2) Asumsi 50% sampah masuk TPA Piyungan adalah fraksi organik biodegradable dan 50%
berupa sampah non-biodegradable non-logam non-B3
3) Data Dinas Kesehatan DIY

Tabel 2-28 menunjukkan daftar teknologi yang diaplikasikan pada sebuah


tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) ideal. Dalam kondisi riil di berbagai
daerah/negara, tidak selalu semua komponen teknologi tersebut harus dipasang,
karena tergantung pada karakteristik dan jumlah sampah yang sangat bervariasi
antar daerah. Untuk pemilihan teknologi yang tepat, akan diperlukan studi tersendiri.

2.2.3 Analisis SWOT pilihan skema KPBU untuk menjamin keberlanjutan


operasional Proyek TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan

Belajar dari pengalaman sukses kota Surabaya mengelola sampah domestik


di sumber-sumber sampah dengan melibatkan masyarakat, hanya mampu
mengurangi 10 hingga 20% dari 1500 ton sampah setiap hari yang dikelola di TPA
Benowo Surabaya1. Artinya ada sejumlah 80 -90% sampah perkotaan yang tetap
memerlukan penanganan sampah akhir, apalagi dengan pencanangan Indonesia
Bebas Sampah 2030 sebesar 30 % sejak dari sumber sampah,
Ada sejumlah proyeksi sampah domestik (organik dan inorganik) dari
pemukiman, perdagangan, pendidikan, jasa pariwisata dimana berdasarkan data
survei 2017 paling tidak 10% berat diantaranya berupa sampah B3. Timbulan
sampah B3 dari fasyankes diperkirakan sekitar 4,5 - 5 ton/hari belum termasuk dari
layanan kesehatan lainnya seperti klinik kesehatan, laboratorium, dokter/dokter gigi
praktek dan bidan praktek mandiri. Juga sampah industri berupa sisa bahan baku B3,
lumpur B3 dari IPAL di setiap industri misal pabrik kulit, pabrik gula, pabrik susu,
juga limbah B3 industri kecil menengah (IKM) dari sentra-sentra kulit, batik, kerajinan
perak dan logam lainnya, limbah B3 dari fasilitas laboratorium sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi-perguruan tinggi yang sampai saat ini belum tertangani.
Adanya permasalahan-permasalahan teknis dan sosial serta keterbatasan
kapasitas tampungan TPA Piyungan saat ini, serta banyaknya penghasil limbah B3
di DIY yang jika semua penghasil sampah/limbah B3 harus melakukan pengolahan
sendiri-sendiri tentu sangat tidak efektif dan efisien. Belum lagi potensi pencemaran
terhadap lingkungan tinggi serta sulitnya melakukan pengawasan atas pengolahan
limbah B3 di masing-masing industri tersebut. Permasalahan sampah B3 dari
fasyankes yang tidak mampu lagi terkelola dengan baik oleh pihak ke tiga
(pengolahan sampah B3 di Jawa Barat) oleh karena DIY belum memiliki Instalasi
Pengolahan sampah B3 terpusat. Berdasarkan pertimbangan teknis disimpulkan

1 http://www.mongabay.co.id/2017/03/15/indonesia-bebas-sampah-2020-kemandirian-pengelolaan-
sampah-harus-dilakukan/, 10 May 2018

51
bahwa sangat perlu kebutuhan pengembangan dan penyempurnaan TPA
Piyungan menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) untuk sampah
non B3 dan sampah B3.
Membangun TPST memerlukan biaya yang cukup besar, namun
produsen/penghasil sampah dan sampah B3 jelas (antara lain Fasyankes dls) yang
membutuhkan pengolahan sampah B3 jelas. Ada kelemahan dan kelebihan lainnya
juga peluang dan tantangan yang perlu dikaji sesuai dalam Tabel 2-29.
Tabel 2-29 Analisa SWOT Pengolah limbah B3 di DIY
STRENGTH WEAKNESS
 Produsen sampah jelas  High cost
 Peraturan dan Perundangan tersedia cukup  High technology
 Kebijakan ada  Lokasi dengan persya-ratan khusus
OPPORTUNITY THREATS
 Usaha sejenis belum ada di wilayah DIY  Pesaing
 Biaya produksi lebih rendah (biaya transport  Perubahan peraturan perundangan
berkurang)
 Kepatuhan penghasil limbah lebih terjamin
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

Strategi penyelesaian masalah dengan mengkombinasikan komponen SWOT


tersebut dan menghasilkan kesimpulan perlunya model kemitraan kerjasama antara
pemerintah dan badan usaha (KPBU) sebagai pemisahan regulator-operator dengan
menempatkan badan usaha sebagai operator dalam pembangunan dan pengelolaan
TSPT sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2-30.

Tabel 2-30 Pilihan Strategi berdasarkan analisa SWOT


S-O W-O
 Membangun pengolah limbah B3 di DIY  Menetapkan badan usaha sebagai operator
 Menetapkan skema KPBU dengan langsung yang mengelola pendapatan
pemerintah sebagai regulator dan badan dengan tarif yang ditentukan pemerintah
usaha sebagai operator daerah
 Menetapkan badan usaha sebagai operator
dalam skema KPBU beserta tanggungjawab
peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia di dalamnya
S-T W-T
 Mengatur model kemitraan badan usaha  Menggandeng asosiasi para penghasil
sebagai operator dan beberapa penghasil limbah untuk mengolah limbah B3 di DIY
limbah  Memberikan inovasi layanan pengolah limbah
 Mengatur perencanaan pengembangan
kelembagaan KPBU selanjutnya
(Sumber: Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan, (Pemda DIY, 2017))

Pengelolaan dan pengolahan sampah non B3 dan B3 dengan teknologi insinerator


dan atau teknologi maju lainnya, memerlukan kegiatan pelayanan antara lain:
1. Pengolah menempatkan wadah limbah B3 di penghasil yang menjadi konsumen
dengan ketentuan sesuai regulasi. Ukuran dan jenis wadah tergantung volume
limbah yang dihasilkan penghasil.

52
2. Pengolah juga sebagai transporter dengan melakukan pengangkutan/
penjemputan limbah di TPS penghasil.
3. Pengolah melakukan penyimpanan sementara limbah di depo yang ada di tiap
kab/kota untuk mengumpulkan limbah dari penghasil yang volume limbahnya
kecil.
4. Pengolah melakukan daur ulang beberapa limbah yang masih dapat
dimanfaatkan setalah ada perlakuan (treatment) sesuai regulasi yang mengatur
untuk daur ulang limbah B3.
Hal tersebut akan menjadi masalah jika:
1. Jumlah konsumen sedikit namun potensi cakupan wilayah layanan tersebar
sehingga biaya transportasi cukup tinggi,
2. Penyimpanan sementara pada depo membutuhkan lahan dan TPS yang besar
atau bisa jadi membutuhkan coldstorage,
3. Pengolah juga harus mempunyai ijin transporter dan menyediakan kendaraan
yang sesuai regulasi,
4. Pengolahan limbah dengan insinerasi dan metode maju lainnya membutuhkan
lahan yang luas dan uji emisi yang ketat.

Oleh karenanya TPST sampah dan limbah diperlukan model kemitraan dengan
KPBU dengan catatan semua kelemahan tersebut di atas diatasi sehingga
kesinambungan pasokan dari konsumen sarana TPST terjadi, yaitu antara lain
dengan:
1. Menyelesaikan permasalahan sistem transportasi lalulintas dan sistem jaringan
jalan, dan aksesibilitas menuju lokasi TPA Piyungan dan pengolahan sampah
B3 terpusat.
2. Menyiapkan sistem jaringan mulai pewadahan dan pengambilan sampah B3 dan
sampah lain, yang efektif dan efisien dan memenuhi syarat, serta
3. Bekerjasama dan memotivasi pemerintah kota dan kabupaten dalam membuat
sistem pengumpulan yang terintegrasi untuk sampah B3 dari rumah tangga dan
perdagangan.
4. Menjalin kerjasama dengan pemerintah Jawa Tengah, untuk menjaga
kesinambungan pasokan sampah B3 dari produsen2/ usaha komersial misal
industri besar, bengkel besar, fasyankes besar dan usaha komersial lainnya,
yang lokasinya berdekatan dengan DIY, agar Badan Usaha dapat melakukan
pengelolaan dan pengembangan TPST dengan baik.
5. Dukungan perijinan dari pemerintah pusat dan kementerian terkait dibangunnya
TPST sampah B3
6. Dukungan regulasi terkait pengolahan sampah B3 dan usaha Reuse, Recycle
sampah non B3 dan sampah B3
7. Pemberian instentif dari pemerintah bagi pengelolaan sampah non B3 dan
sampah B3 dari domestik dan industri kecil.

53
8. Bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk memotivasi pemerintah kota dan
kabupaten dalam mensukseskan program reduksi sampah domestik hingga 30%
sehingga jumlah sampah non B3 yang dikelola dalam TPST sesuai dengan
kapasitas rencana pengelolaan dan pengolahan.

2.3 Kepastian KPBU Mendapatkan Dukungan dari Pemangku


Kepentingan yang Berkaitan

Pembangunan pengelolaan sampah dan limbah B3 perlu melibatkan


kerjasama pemerintah pusat, Provinsi juga kerjasama antar-pemerintah di tingkat
kabupaten/kota, kerjasama dengan pihak swasta (badan usaha), kerjasama
masyarakat (universitas/NGO) terutama dalam berbagai hal sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi dari setiap pemangku kepentingan. Pembagian urusan Pekerjaan
Umum dan urusan lingkungan hidup terkait pengelolaan sampah dan limbah B3 dan
pembagian wewenang pemerintah pusat, Provinsi, kabupatenkota diatur dalam UU
no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dukungan kementerian Pekerjaan
Umum baik di pusat maupun daerah adalah dalam hal membangun dan
mengembangkan sistem jaringan dan pengelolaan persampahan sebagai mana
tercantum dalam peraturan di bawah ini:
1. Peraturan Menteri PU No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Srategi
Nasional Pengembangan dan Pengelolaan Persampahan.
2. Peraturan Menteri PU No. 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana
dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga

Dukungan Kementerian Lingkungan Hidup sangat diperlukan terkait pengelolaan


limbah B3 khususnya mengenai regulator tata cara penerbitan ijin, standar-standar,
tata cara, pengawasan dan ketentuan lain sebagaimana diatur dalam regulasi
berikut ini:
1. Keputusan No. 68/BAPEDAL/05/1994 tentang Tata Cara Memperoleh Izin
Penyimpangan Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan, Pengolahan
dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
2. Keputusan No. 01/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3
3. Keputusan No. 02/BAPEDAL/09/1995 tentang Dokumen Limbah B3
4. Keputusan No. 03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan
Limbah B3
5. Keputusan No. 04/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan
Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan dan
Lokasi Bekas Penimbunan Limbah B3
6. Keputusan No. 05/BAPEDAL/09/1995 tentang Sampel dan Label Limbah B3

54
7. Keputusan No. 255/BAPEDAL/08/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas
8. Edaran Keputusan BAPEDAL No. 08/SE/02/1997 tentang Penyerahan Minyak
Pelumas Bekas
9. Keputusan No. 02/BAPEDAL/01/1998 tentang Tata Laksana Pengawasan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah
10. Keputusan No. 03/BAPEDAL/01/1998 tentang Penetapan Kemitraan Dalam
Pengolahan Limbah B3
11. Keputusan No. 04/BAPEDAL/01/1998 tentang Penetapan Prioritas Limbah B3
12. Keputusan Menteri LH No. 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh
Minyak Bumi Secara Biologis
13. Peraturan Menteri LH No. 3 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pengumpulan dan
Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Pelabuhan
14. Peraturan Menteri LH No. 2 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
15. Peraturan Menteri LH No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Simbol
dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun
16. Peraturan Menteri LH No. 5 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Limbah di
Pelabuhan
17. Peraturan Menteri LH No. 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
18. Peraturan Menteri LH No. 30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan
Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Serta
Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun Oleh Pemerintah Daerah
19. Peraturan Menteri LH No.33 Tahun 2009 tentang Tata cara pemulihan lahan
terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun
20. Peraturan Menteri LH No.02 Tahun 2010 tentang Penggunaan Sistem Elektronik
Registrasi bahan berbahaya dan beracun dalam Rangka Indonesia Nasional
Single window di kementerian Lingkungan Hidup.

Adapun dukungan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sampah dan limbah
B3 sebagaimana tercantum dalam pasal 5 wewenang Pemerintah Daerah dalam
Peraturan Daerah no 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
adalah:

1. memberikan izin penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan lintas


kabupaten/kota;
2. memfasilitasi kerja sama antar daerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan
jejaring dalam pengelolaan sampah;
3. memfasilitasi penyelesaian sengketa/masalah antar pemerintah
kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah;

55
4. memfasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pengembangan prasarana dan sarana persampahan
kabupaten/kota; dan
5. menetapkan retribusi pelayanan atau kontribusi Pemerintah Kabupaten/Kota
sesuai dengan tingkatan pelayanan yang diberikan.

Hal tersebut merupakan bentuk dukungan daerah merujuk pada beberapa


peraturan/regulasi pemerintah pusat (lihat Bab 3.1.). Dukungan, keterpaduan dan
sinkronisasi perlu dilakukan untuk tujuan peningkatan indeks kualitas lingkungan
hidup mendukung peningkatan ekonomi masyarakat di DIY dari berbagai
sumber/penghasil sampah dan limbah B3 di sektor domestik, industri, perdagangan,
pendidikan, pelayanan kesehatan dan lainnya. Di pihak pemerintah daerah ada
beberapa pemangku kepentingan terkait yaitu dinas PUP ESDM DIY, Dinas
Perdagangan dan Industri, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan,
Dinas Pendapatan Daerah, Dinas ingkungan Hidup dan lainnya. Dukungan dari
stakeholder terkait (Perangkat Daerah) Pengembangan Prasarana Pengelolaan
Sampah Domestik dan Limbah B3 dengan altenatif pembiayaan KPBU tertuang
dalam Rencana Strategis Perangkat Daerah (Renstra PD) 2017-2022 yang
berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
tahun 2017 -2022. Renstra PD disusun untuk mewujudkan capaian visi dan misi
daerah serta tujuan setiap organisasi pemerintahan dalam rangka pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi masing-masing Organisasi Perangkat Daerah. Rencana
Strategis Organisasi Perangkat Daerah (Renstra-OPD) adalah dokumen
perencanaan OPD untuk periode 5 (lima) tahun yang disusun untuk menjamin
adanya konsistensi perencanaan dan pemilihan program dan kegiatan prioritas
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, menjamin komitmen terhadap kesepakatan
program dan kegiatan yang di bahas secara partisipatif dengan melibatkan semua
stakeholders pembangunan dan masyarakat, memperkuat landasan penentuan
program dan kegiatan tahunan daerah secara kronologis, sistematis dan
berkelanjutan. Bentuk dukungan instansi terkait di daerah dijelaskan lebih rinci
dalam Tabel 2-31.

Tabel 2-31 Bentuk dukungan pemangku kepentingan di daerah

No. Pemangku Daerah Bentuk dukungan


1. Pemda DIY Menyediakan Lahan lokasi TPA Sampah
dan Limbah B3. Membantu dukungan
proses ijin pengelolaan limbah B3 ke
Pemerintah Pusat, Penyusunan Regulasi
pengelolaan sampah di daerah (Hak
kewajiban, tata laksana, pembinaan dan
sanksi bagi berbagai pihak.
2. Dinas Pemda Kab/Kota Menyediakan lahan dan Menyusun sistem
jaringan pengumpulan sampah dan limbah

56
B3 mulai dari RT hingga ke TPS, agar
mudah diakses oleh transporter ke TPA
Piyungan. Operator transportasi sampah
domestik dan limbah B3 ke
TPS/Depo/Storage.
3. Dinas Pendapatan Daerah Pembiayaan dalam pembangunan dan
pengoperasian pengolahan sampah dan
limbah B3 sesuai Dokumen kerjasama
Pemda dengan KPBU.
4. Dinas Lingkungan Hidup Menetapkan standar/baku mutu target
Prop/Kab/Kota pengolahan, lingkungan hidup di daerah
dengan mengacu pada peraturan
perundangan yang ada. Melakukan
Melakukan pengawasan dan pemantauan
terhadap pengumpulan sementara limbah
B3 dan pengumpulan dalam 1 kabupaten,
kinerja dan pelayanan dan hasil
pengolahan TPA Sampah dan Limbah B3
oleh swasta, Pemantauan lingkungan hidup
dan Pembinaan/penyuluhan dan insentif
kepada masyarakat. Membantu pemda
menyediakan TPS limbah B3 domestik di
setiap lokasi strategis yang aman dan
representatif.
5. Dinas PUP ESDM Menyediakan sistem pengelolaan sampah
dengan standar tertentu sesuai dengan
kondisi dan situasi masing-masing daerah
dalam upaya mensukseskan program
Pemerintah Pusat dalam pengurangan
sampah di sumber sampah hingga 30%
untuk meningkatkan pelayanan kinerja TPA
sampah dan limbah B3.
Menjamin penyediaan layanan jalan,
sumber energi dan kelistrikan, penyediaan
sistem drainase kota/kabupaten dan
pengendalian banjir dll..
6. Dinas Perhubungan Meningkatkan pelayanan aksesibilitas
(mengendalikan titik jenuh pelayanan jalan)
dari sumber timbulan sampah ke TPA
Piyungan
7. Dinas Pendidikan dan Mendidik siswa dan mahasiswa peduli

57
Kebudayaan, serta Perguruan sampah dan limbah B3 dan dalam
Tinggi menerapkan pemilahan sampah dan limbah
B3 serta melakukan penelitian aplikatif
peningkatan teknologi pengelolaan sampah
dan limbah B3 serta melakukan “capacity
building” para pemangku kepentingan di
daerah
8. Dinas Perdagangan dan Mendorong setiap industri besar dan IKM
Industri dalam mengelola, memilah dan 3 R
sampah dan limbah B3 ke TPA Sampah
dan Limbah B3
9. Dinas Pariwisata Menyediakan infrastruktur tempat sampah
yang terpilah-pilah di setiap lokasi
pariwisata, membantu menyampaikan
pesan “sadar dan buang sampah” pada
tempat yang ditentukan.
10. Dinas Kesehatan Mendorong setiap Fasyankes melakukan
pemilahan, pewadahan dan kontribusi
limbah B3 ke TPA Sampah dan Limbah B3.
Pengawasan dan pembinaan kepada
fasyankes dalam tertib pengelolaan limbah
B3 RS.
11. Industri, domestik/masyarakat, Pemilahan sampah dan limbah B3. Rumah
RS, Sekolah/PT, dll tangga, Industri, RS, melakukan
pewadahan sampah dan limbah B3 sesuai
standar dan tata cara pengangkutan ke
TPS dan atau TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan.
Menerapkan usaha 3 R di sumber sampah
dalam usaha membantu mengurangi 30%
volume sampah.
Industri besar dan Fasyankes besar
mendukung dalam pembiayaan retrubusi
pengolahan sampah/limbah B3.
12. Swasta/BU Mencari sumber dukungan dana,
Membangun infrastruktur Pengolahan
Sampah dan Limbah B3. Operatot
Transportasi limbah B3 dari sumber
timbulan industri/RS dan TPS/Depo/LDUS
ke TPA Sampah dan Limbah B3.

58
Operator Pengelolaan dan Pengolahan
Sampah dan Limbah B3. Peningkatan
Kompetensi (Capacity Building) SDM di
TPA Sampah dan Limbah B3

59
3 BAB III. ANALISA KEPATUHAN

3.1 Analisa Kesesuaian dengan Peraturan Perundang-undangan

Beberapa peraturan perundangan yang menekankan pentingnya sampah dan


limbah B3 untuk dikelola dengan baik:
1. Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 bahwa setiap orang
yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang
dihasilkannya dan pasal 59 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
bahwa dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan
limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang
mengatur tentang kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyediakan sistem
pengelolaan sampah dengan standar tertentu sesuai dengan kondisi dan situasi
masing-masing daerah. kewajiban pemerintah daerah untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan TPA (Tempat Pengolahan Akhir) yang masih menggunakan
sistem terbuka (open dumping) dalam upaya untuk mewujudkan citra lingkungan
kota yang sehat dan bebas dari sampah.
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
4. Undang-Undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
5. Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antar
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
6. Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga
7. Peraturan Pemerintah No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
8. Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan
9. Peraturan Pemerintah no 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
10. Peraturan Presiden no 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Sampah
11. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan
12. Peraturan Menteri PU No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Srategi
Nasional Pengembangan dan Pengelolaan Persampahan
13. Peraturan Menteri PU No. 03/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana
dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pengelolaan Persampahan;

60
15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan no : P.56 tahun 2015
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknik Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
16. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1204 tahun 2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
17. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi Serta Tatakerja
Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi
Sumber Daya Mineral.
18. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.
Secara khusus untuk rencana TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan dalam rangka
memenuhi UU No 8 tahun 2008, PP no 81 tahun 2012, dan PP No 101 tahun 2014,
serta pelaksanaan Perda DIY no 3 tahun 2013. Adapun yang perlu mendapat
perhatian sebelum rencana tersebut dibangun adalah perlunya izin lingkungan (PP
No 27 tahun 2012) dan melakukan Analisis mengenai Dampak Lingkungan
(PerMenLH no 5 tahun 2012).

3.2 Analisa Penentuan Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)

Peran penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) dalam skema


pembiayaan kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU) sangat penting untuk
keberlangsungan proyek pembangunan. Studi komparasi yang bisa dilakukan terkait
penentuan PJPK dapat dijadikan perbandingan siapakah yang menjadi PJPK dalam
proyek KPBU untuk sektor tertentu di daerah dan bagaimana landasan hukumnya.
Perpres KPBU menyebutkan bahwa Penentuan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah sebagai PJPK dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan di bidang sektor. Pada saat ini, peraturan perundang-undangan yang
secara umum mengatur KPBU adalah Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015
(Perpres 38/2015) yang ditetapkan pada bulan Maret 2015. Perpres 38/2015
meliputi KPBU yang dapat merupakan Penyediaan Infrastruktur yang merupakan
gabungan dari 2 (dua) jenis infrastruktur atau lebih. Dalam hal KPBU merupakan
gabungan dari 2 (dua) atau lebih jenis Infrastruktur, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah yang memiliki kewenangan terhadap sektor Infrastruktur yang
dikerjasamakan berdasarkan peraturan perundangundangan, bertindak bersama-
sama sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK). BUMN dan/atau
BUMD dapat bertindak sebagai PJPK, sepanjang diatur dalam peraturan perundang-
undangan sektor. Dalam hal BUMN atau BUMD menjadi PJPK, KPBU dapat
dilaksanakan melalui perjanjian dengan Badan Usaha Pelaksana.
Pengembangan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan bukan merupakan
penggabungan 2 jenis infrastruktur. Pengembangan Prasarana Pengelolaan
Sampah dan Limbah B3 menurut Undang-Undang no 23 tahun 2014 tentang

61
Pemerintahan Daerah pasal 11 adalah Infrastruktur dalam Bidang Pekerjaan Umum
dan Tata Ruang yang menjadi Urusan Pemerintahan Wajib berkaitan dengan
Pelayanan Dasar.
Lebih spesifik tentang kewenangan pengelolaan limbah B3, Lampiran UU No.
23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pengelolaan B3 dan limbah B3 termasuk
bidang lingkungan hidup. Pasal 12 UU 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa bidang
lingkungan hidup termasuk urusan pemerintahan konkuren, yaitu urusan yang dibagi
kewenangannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut
Lampiran UU 23 Tahun 2014, pengelolaan B3 dan limbah B3 adalah kewenangan
Pemerintah Pusat, sementara pengumpulannya adalah kewenangan Pemerintah
Daerah. Pembagian kewenangan ini bukan hal yang kaku, karena dalam Pasal 13
ayat 3 UU 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa suatu urusan bisa menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah jika penggunaan sumber daya akan lebih efisien
jika dijalankan oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal pengelolaan limbah B3 dalam
kajian ini, sumber daya terkait lokasi akan lebih efisien jika dikelola Pemerintah
Daerah karena akan sangat mengurangi biaya transportasi limbah B3 yang sangat
mahal jika lokasi pengolahannya berada dalam Provinsi DIY sendiri. Selanjutnya
Pasal 19 UU 23 Tahun 2014 membuka peluang bahwa urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dimungkinkan untuk
diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Pusat atau dilimpahkan kepada gubernur.
Menurut RPJMN DIY 2017-2022 Pengembangan TPA Sampah dan Limbah
B3 Piyungan bukan program strategis pembangunan infrastruktur nasional karena
utamanya untuk mengolah sampah dan limbah B3 dari Kawasan Strategis Provinsi
yaitu Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang lintas kota/kabupaten. Upaya
keberlanjutan dan peningkatan operasional TPA Sampah dan Limbah B3 di
Piyungan dapat juga dikembangkan untuk menampung sampah dan limbah B3 dari
kawasan strategis lainnya di DIY maupun wilayah Jawa Tengah yang berdekatan.
Dengan demikian Pengelolaan sampah dan Limbah B3 di Piyungan berskala
regional dimana kewenangan pengelolaan ada di tingkat Provinsi sebagaimana
diatur dalam pasal No 13 menurut UU No. 23 tahun 2014, dan PJPK Pembangunan
Prasarana TPA Sampah dan limbah B3 adalah Gubernur DIY.
Gubernur DIY telah menindaklanjuti pesan Pasal 7 PP No 81 tahun 2012
dengan menetapkan Perda no 3 tahun 2013, khusus terkait TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan tercantum pada Pasal 26, yang menyebutkan sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah menyelenggarakan Pengolahan Sampah di TPST dan/atau
TPA.
2. TPST atau TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah TPST dan/atau
TPA yang dimiliki dan dikelola Pemerintah Daerah.
3. Pengolahan sampah di TPST dan/atau TPA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh merusak lingkungan dan/atau merugikan kepentingan
masyarakat.

62
3.3 Kesesuaian KPBU dengan Dokumen RPJMN dan RPJMD Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta

Penyelarasan pencapaian tujuan pembangunan nasional Tahun 2015-2019


didasarkan pendekatan perencanaan pembangunan nasional dan menggunakan
pendekatan holistik-tematik, integratif, dan spasial (HITS) dalam lingkup kewilayahan
secara lintas bidang dan antar bagian urusan pemerintahan. Penyelarasan
perencanaan pembangunan daerah dan nasional dilaksanakan dengan
menggunakan prinsip money follows program. Pendekatan tersebut mengutamakan
pembagian sumber daya (anggaran) berdasarkan program dan kegiatan prioritas
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Penyelarasan RPJMD
dengan RPJMN dilaksanakan dengan:2
1. Penyelarasan isu strategis pembangunan daerah
2. Penyelarasan visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan daerah
3. Penyelarasan Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Daerah
4. Penyelarasan Program Prioritas Pembangunan Daerah
5. Penyelarasan Kerangka Pendanaan Program Pembangunan Daerah dan
6. Penyelarasan Indikasi Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Strategis Nasional di
Daerah

A. Kesesuaian dengan Dokumen RPJMN DIY

Pembangunan RPJMN 2015-2019 diarahkan untuk lebih memantapkan


pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pada
pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan SDA dan
SDM berkualitas serta kemampuan IPTEK yang terus meningkat. Indonesia
menghadapi tiga masalah pokok dan tantangan, yaitu: (1) merosotnya kewibawaan
negara/pemerintah; (2) lemahnya sendi-sendi perekonomian; dan (3) merebaknya
intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. RPJMN 2015-2019 telah mengidentifikasi
beberapa kondisi yang dapat berpengaruh terhadap pembangunan nasional,
termasuk DIY. Sasaran penting pembangunan kewilayahan DIY yang termuat dalam
RPJMN 2015-2019 ialah sasaran makro yang perlu mendapat perhatian yakni
Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pengangguran
Tabel 3-1):

Tabel 3-1 Sasaran RPJMN 2015-2019 untuk DIY Tahun 2017-2019

Tahun
Sasaran
2017 2018 2019

2
Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri PPn/Kepala Bappenas Nomor 050/4936/SJ dan Nomor
0430/M.PPN/12/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelarasan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengeh Nasional 2015-
2019

63
Pertumbuhan ekonomi (%) 5,9 – 6,3 6,1 – 6,7 6,2 – 6,9
Tingkat kemiskinan (%) 10,8 – 10,2 9,6 – 8,8 7,6 – 6,9
Tingkat Pengangguran (%) 4,4 – 4,1 4,3 – 3,9 4,2 – 3,8
(Sumber: RPJMD DIY 2017-2022)

RPJMN 2015-2019 menjadi pedoman bagi RPJMD DIY 2017-2022 untuk


diselaraskan dan disinergikan dalam mendukung pencapaian tujuan nasional.
Kegiatan Pembangunan Pengelolaan Sampah merupakan kegiatan strategis dalam
Program pembangunan di DIY yang sesuai dengan Visi Pembangunan Nasional
Republik Indonesia pada periode tahun 2015-2019 ialah, “Terwujudnya Indonesia
Yang Berdaulat, Mandiri, Dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong”
melalui Misi Pembangunan antara lain yaitu Mewujudkan kualitas hidup manusia
Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera. Pembangunan Pengelolaan Sampah
sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur dasar diarahkan pada tujuan
peningkatan ekonomi masayarakat yang juga selaras dengan Tujuan pembangunan
nasional dalam Nawa Cita Presiden Joko Widodo antara lain meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia serta mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Tema Pembangunan Jawa-Bali dalam RPJMN 2015-2019 dimana DIY
berada di dalamnya ialah, sebagai salah satu pintu gerbang destinasi wisata terbaik
dunia dengan pengembangan ekonomi kreatif dan Percepatan pembangunan
ekonomi berbasis maritim (kelautan) melalui pengembangan industri perkapalan dan
pariwisata bahari. Gerbang destinasi wisata di DIY akan terkait dengan destinasi
Jawa Tengah untuk wisata religi bagi penganut agama Budha Candi Borobudur
Magelang dan pengembangan industri kreatif yang menonjol di DIY antara lain
barang antik, dan seni pertunjukan3. Sementara itu, pembangunan berbasis maritim
selaras dengan tema mendasar dari visi Gubenur DIY dalam “Menyongsong Abad
Samudera.”
Adapun sasaran RPJMD DIY apabila diselaraskan dengan sasaran RPJMN
Indonesia digambarkan dengan tercapainya sasaran indikator/impact Pertumbuhan
Ekonomi dan IKLH (Indeks Kualitas Lingkungan Hidup) dimana Sasaran Pokok:
Ketahanan Air, Infrastruktur Dasar dan Konektivitas; serta aspek Lingkungan :
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).
Penyelarasan RPJMN dan RPJPD DIY tekait dengan Pembangunan TPA
Sampah dan Limbah B3 Piyungan adalah dalam memenuhi Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup dan dalam rangka pemenuhan Visi RPJMN yaitu mewujudkan
kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera, dengan misi
mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari, serta mencapai pemenuhan Visi
Nawacita antara lain meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia serta
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional terhadap
produk-produk hasil industri dan lainnya.

3Buku III RPJMN

64
Pembangunan sarana prasana TPA Sampah dan pengolahan B3 terdapat
dalam Rencana Pembangunan Panjang Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
(RPJPD DIY) 2005-2025 dimana memiliki visi “Daerah Istimewa Yogyakarta pada
Tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Budaya dan Daerah Tujuan Wisata
Terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri dan
Sejahtera” dengan misi “Mewujudkan kepariwisataan yang kreatif dan inovatif”.
Pembangunan infrastruktur strategis yang akan dikembangkan pada Tahun
2017-2022 sebagai keberlanjutan implementasi RPJMN yaitu:
a. Pembangunan Bandar Udara Kulon Progo (New Yogyakarta International
Airport)
b. Tindaklanjut Pembangunan Pelabuhan Perikanan Tanjung Adikarto
(penyelesaian breakwater)
c. Penyelesaian Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS)
d. Pengembangan Transportasi Umum Massal (Kereta Api Pendukung Bandara
termasuk dalam hal ini pembangunan Mono Rail Transport, Pengembangan
Bus Rapid Transit)
e. Pembangunan jalan lingkar Kota Yogyakarta (Jogja Outer Ring Road)

Konsep pembangunan sarana prasarana di atas khususnya pembangunan


jalan/transportasi akan sangat mendukung Program Pembangunan Infrastruktur
lainnya. Arah kebijakan pembangunan infrastruktur dasar akan mempengaruhi
peningkatan nilai tambah produk-produk unggulan terutama pada sector pertanian,
perikanan, kehutanan, industri, perdagangan, pariwisata dan ekonomi kreatif.
Rencana konsep pembangunan sarana prasarana tersebut di atas selanjutnya
dirinci lebih lanjut dalam Dokumen RPJMD DIY ini.

A. Kesesuaian dengan Dokumen RPJMD DIY

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah mengamanatkan kepada daerah untuk menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dokumen RPJMD adalah
dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak dilantik
sampai dengan berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah yang merupakan
penjabaran Visi, Misi, dan Program Kepala Daerah yang berpedoman kepada
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) serta memperhatikan
RPJM Nasional. Rencana Pembangunan Panjang Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta (RPJPD DIY) 2005-2025 memiliki visi “Daerah Istimewa Yogyakarta
pada Tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Budaya dan Daerah Tujuan Wisata
Terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri dan
Sejahtera” dengan Misi antara lain “Mewujudkan kepariwisataan yang kreatif dan
inovatif”. Pada setiap tahapan RPJPD DIY 2005-2025 terdapat Penekanan 5
Tahunan. Penekanan 5 Tahunan tersebut dipedomani dalam Rencana

65
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang dapat diilustrasikan pada
Tabel 3-2.

Tabel 3-2 Penekanan 5 Tahun RPJPD DIY dan RPJMD DIY

Penekanan 5 Penekanan 5 Penekanan 5 Penekanan 5


Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga Tahun Keempat
2005-2009 2010-2014 2015-2019 2020-2025
Pembangunan Pembangunan Pendayagunaan Penguatan
sarana dan fasilitas-fasilitas kapasitas upaya
prasarana dasar pendukung utama keunggulan pencapaian
keunggulan keunggulan daerah daerah melalui keunggulan
daerah, dan yang memiliki daya pengerahan daerah melalui
persiapan dasar dukung berantai SDM dan sarana-sarana
kompetensi SDM positif (backward fasilitas-fasilitas pendukung
yang berdaya effect and forward utama lanjut, penguatan
saing unggul, effect) untuk pendukung orientasi
serta konsolidasi mendorong keunggulan kompetisi pada
potensi-potensi kemajuan daerah daerah, pembangunan
unggulan. dan melanjutkan akselerasi usaha SDM unggul,
Keyword: pembangunan ekonomi dan serta ekspansi
Menyiapkan kompetensi SDM industri perekonomian
fondasi/meletak yang berdaya unggulan, serta dan industri
kan dasar saing unggul penguatan berbasis
secara lebih luas jejaring untuk keunggulan
serta meningkatkan daerah yang
menggerakkan daya saing didukung dengan
potensi ekonomi keunggulan ketersediaan
dan industri daerah. energi.
unggulan. Keyword: Keyword:
Keyword: Mendayagunaka Menguatkan
Membangun/mela n dan dan
njutkan menguatkan mengoptimalka
pembangunan di yang telah n yang telah di
atas dibangun. dayagunakan
fondasi/dasar untuk
yang telah mewujudkan
diletakkan. cita-cita.

Implementasi dalam RPJMD DIY/ Rancangan Awal RPJMD DIY

66
Penekanan 5 Penekanan 5 Penekanan 5 Penekanan 5
Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga Tahun Keempat
2005-2009 2010-2014 2015-2019 2020-2025
RPJMD DIY RPJMD DIY Visi Misi
2009 -2013 2012 -2017 Gubernur DIY
“Jogja 2017 -2022
Renaisans” “Abad
Samudera
Hindia”
(Rancangan
Awal)
Visi “Pemerintah “Daerah “Menyongsong
daerah yang Istimewa “Abad Samudera
katalistik dan Yogyakarta Yang Hindia” untuk
masyarakat Lebih kemuliaan
mandiri yang Berkarakter, martabat
berbasis Berbudaya, manusia Jogja”
keunggulan daerah Maju, Mandiri
serta sumberdaya dan Sejahtera
manusia yang Menyongsong
berkualitas unggul Peradaban Baru”
dan beretika”.
(Sumber: Sudaryono (2017), Bahan Rapat Visi Misi Gubernur DIY 2017-2022, dalam Dokumen
RPJMD DIY 2017-2012)

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY telah dilantik pada tanggal 10 Oktober
2017. Periodesasi RPJMD Daerah Istimewa Yogyakarta disesuaikan dengan masa
jabatan kepala daerah, yakni 2017-2022. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2017-2022 disusun dengan
mempertimbangkan hasil kajian dan konsepsi Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2005- 2025, dan
rnemperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2015-2019. Selain itu juga mempertimbangkan asas kesinambungan dengan
program-program pembangunan yang termuat dalam RPJMD Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2012-2017, serta mempertimbangkan arah pembangunan
kewilayahan sebagaimana dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Visi Gubernur DIY 2017 - 2022 dalam rumusan Panca Mulia, adalah
“Terwujudnya Peningkatan Kemuliaan Martabat Manusia Jogja, Misi Meningkatkan
Kualitas Hidup, Kehidupan dan Penghidupan Masyarakat Yang Berkeadilan dan
Berkeadaban” dengan tatanan sosial yang menjamin menjamin ke-bhineka-tunggal-
ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mampu menjaga
dan mengembangkan budaya Yogyakarta dengan sasaran Meningkatnya aktivitas
perekonomian yang berkelanjutan.

67
Pembangunan Sarana Prasarana sebagai bagian dari Pemenuhan
Infrastruktur Dasar, tercermin dalam Visi Gubernur DIY tersebut. Meningkatkan
penyediaan infrastruktur dasar yang berketahanan dan berkelanjutan bertujuan untuk
mengatasi isu strategis pembangunan berkelanjutan dalam hal Pengelolaan
pencemaran dan kerusakan lingkungan,
Pembangunan Prasarana Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 adalah upaya
untuk menyelesaikan salah satu dari 5 Isu Strategis Pembangunan Berkelanjutan di
DIY (Perpres Nomor 59 Tahun 2017 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB))
yaitu isu pencemaran lingkungan, dimana sasaran tujuan TPB ke-11 yaitu
penanganan sampah dan limbah perkotaan. Pembangunan Prasarana tersebut juga
merupakan salah satu upaya mitigasi terkait KLHS semua pembangunan yang
termaktub dalam RPJMD.
Pengembangan Pengelolaan Sampah merupakan pengembangan dan
pembangunan infrastruktur yang antara lain terprogram di dalam Program
Pembangunan Daerah, instrumen arah kebijakan untuk mencapai sasaran RPJMD
2017 -2022, yang selaras dengan arah kebijakan program strategis nasional,
sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 3-3.

Tabel 3-3 Daftar Proyek-Proyek Besar Pembangunan Sarana Prasarana

No. Kelompok Rincian Kegiatan


Pembangunan
Infrastruktur
1 Pembangunan Jalan Pembangunan Jalur Jalan Lingkar
dan Jembatan Selatan (JJLS)
Pembangunan Jogjakarta Outer Ring
Road (JORR)
Pembangunan Jalan/Jembatan
Prambanan – Gading
Pembangunan Akses Bandara
Internasional baru
Pembangunan Akses Kawasan Industri
Piyungan Bantul
Pembangunan Underpass Gejayan,
Monjali dan Kentungan
Pengembangan Jalan Selokan Mataran
2 Penyediaan Air Baku Pembangunan Bendung Kamijoro

3 SPAM Regional Pembangunan Jaringan Distribusi Air


Baku, Jaringan Distribusi Air Bersih dan
Jaringan Distribusi Utama
4 Pembangunan Pembangunan Sisi Udara dan Sisi
Bandara Darat Airport City
Internasional baru

68
No. Kelompok Rincian Kegiatan
Pembangunan
Infrastruktur
5 Pembangunan Stasiun Pengembangan Stasiun KA Palbapang,
Interchange Stasiun Kedundang dan Stasiun
Pathukan
6 Pembangunan Terminal Pembangunan Terminal Angkutan
Angkutan Barang Barang
7 Pengembangan Pengembangan TPA Regional
Pengelolaan Sampah Piyungan
8 Pengembangan Jalan Pembangunan jalan tol Jogjakarta –
Bebas Hambatan Solo, Bawen - Jogjakarta dan
Jogjakarta – Cilacap
(Sumber : RPJMD DIY, 2017-2022)

3.4 Analisa Kesesuaian Lokasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

Rencana Lokasi Pengembangan Sistem Prasarana wilayah diwujudkan


dalam kebijakan pengembangan, strategi pengembangan dan arahan
pengembangan rencana tata ruang wilayah. Potensi pengembangan wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta sesuai dengan Peraturan Daerah DIY Nomor 2 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DIY tahun 2009-2029, berada pada
kawasan budidaya dan kawasan strategis provinsi. Rencana pola ruang kawasan
budidaya terdiri dari : kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan
pertanian, kawasan peruntukan perkebunan, kawasan peruntukan perikanan,
kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan
peruntukan pariwisata, kawasan peruntukan permukiman, dan kawasan peruntukan
budidaya lainnya. Dijelaskan menurut regulasi tersebut bahwa penataan ruang
berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis
nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota.4 Potensi pengembangan wilayah sesuai dengan kawasan
strategis provinsi terdiri atas: kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan
budaya, kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi, kawasan strategis dari
sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, dan kawasan strategis
dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi.
Program Pemanfaatan Ruang diarahkan untuk mendorong implementasi
pengembangan kawasan, seperti rencana pembangunan fasilitas pada kawasan
strategis provinsi maupun pada kawasan-kawasan yang sesuai dengan kebijakan

4 Pasal 5 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723).

69
keistimewaan akan dilakukan revitalisasi dalam rangka memperkuat karakter
wilayah (kawasan cagar budaya dan kawasan pendukungnya).
Arahan Perencanaan Sistem Jaringan Sampah Domestik dan Limbah B3
dalam RPJMD DIY adalah rencana sistem jaringan persampahan dan limbah B3
diarahkan sesuai dengan arah pengembangan atau rencana pemanfaatan ruang
KPY, khususnya pada daerah perdagangan (-pasar pertokoan), pemukiman,
pariwisata, industri, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Pelibatan peran
masyarakat dalam pengolahan persampahan mandiri atau sistem 3R. Fasilitas
sarana dan prasarana perlu dikembangkan, antara lain Bank Sampah, TPS-3R, dan
TPST. Pengembangan atau pengolahan sampah di TPST Piyungan diarahkan
berbasis teknologi dan bernilai ekonomi dengan membuka peluang investasi atau
kersajama swasta. Lokasi TPST Piyungan diarahkan berlokasi di wilayah yang
berada di KPY yang belum padat penduduknya, yaitu di Kabupaten Bantul yang
mendukung pengembangan kawasan strategis Provinsi di Kawasan Perkotaan DIY.
KPY menuju smart city merupakan arahan dari RTRW Yogyakarta mengenai
strategi DIY dalam menuju smart province, yang diungkapkan oleh Menteri PUPR
(2015) terdiri dari beberapa elemen sebagai berikut: Smart development planning,
Smart green open space, Smart transportation, Smart waste management, Smart
water Management, Smart Building, Smart energy.
Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) merupakan kawasan strategis dari
sudut kepentingan ekonomi. Kawasan ekonomi lainnya Kawasan Temon-
Prambanan, Kawasan Tempel-Parangtritis, dan Kawasan Pantai Selatan DIY.
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial dan budaya terdiri atas
kawasan strategis kasultanan dan kawasan strategis kadipaten. Kawasan strategis
dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup terdiri atas
Kawasan Bentang Alam Karst dan Kawasan Gumuk Pasir Parangtritis. Kawasan
strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tinggi terdiri atas Kawasan Pantai Selatan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
dan Gelombang Laut di Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten
Gunungkidul.

70
Gambar 3-1 Peta Rencana Kawasan Strategis di DIY (Sumber: Peninjauan Peraturan
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY (2015))

TPA Piyungan di Kabupaten Bantul sangat dekat lokasi dengan rencana


pengembangan Kawasan Strategis Provinsi DIY Kawasan Selatan, yang sejalan
dengan tema visi Gubernur DIY 2017-2022 yaitu Menyongsong Abad Samudera
Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja. Kawasan Pantai Selatan Daerah
Istimewa Yogyakarta memiliki nilai strategis yang dapat mempercepat pertumbuhan
ekonomi wilayah DIY, yang terbagi menjadi tiga segmen berdasarkan wilayah
administrasi yaitu Pantai Selatan Kulon Progo dikembangkan dengan basis kegiatan
industri dan energi, juga memiliki potensi pasir besi dan wisata serta diarahkan untuk
kegiatan ekonomi berupa pusat pelelangan ikan di wilayah Pelabuhan Tanjung
Adikarto sehingga menjadi basis perikanan DIY dan kemudahan akses dengan
adanya bandara Temon; Kawasan Pantai Selatan Bantul dikembangkan dengan
basis kegiatan budaya dan ekologi, pariwisata pantai juga pengembangan industri
kreatif di beberapa sentra industri kecli; dan Kawasan Pantai Selatan Gunungkidu
dikembangkan dengan basis kegiatan wisata ekologi dengan wisata pantai dengan
bentang alam karst serta mempunyai potensi energi gelombang laut.
Pembangunan prasarana Sampah dan Limbah B3 di Piyungan Kabupaten
Bantul juga sangat berkaitan dengan strategi pengembangan wilayah Jawa Tengah
yaitu Peningkatan pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah
yang merata dan berhierarki dan arah kebijakan wilayah Jawa Tengah yaitu
Peningkatan kapasitas pelayanan prasarana sarana dasar wilayah. Potensi
pengembangan wilayah di Jawa Tengah terbagi dalam 8 (delapan) sistem
perwilayahan (regionalisasi), 2 (dua) wilayah yang berbatasan dengan DIY, yaitu: (1)

71
Subosukawonosraten meliputi Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukoharjo,
Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Potensi regional yang dimiliki wilayah
pengembangan Subosukowonosraten adalah potensi: (1) primer meliputi
pertambangan, pertanian, perkebunan, peternakan; (2) sekunder terdiri dari industri
kayu, Tekstil Produk Tekstil, batik, jamu, kerajinan; dan (3) tersier berupa
perdagangan dan pariwisata.; serta (2) Purwomanggung meliputi Kabupaten
Purworejo, Wonosobo, Magelang, Kota Magelang dan Kabupaten Temanggung.
Simpul utama sebagai penggerak ekonomi adalah Kota Magelang dan sekitarnya
sebagai pusat kegiatan berskala nasional, didukung oleh koridor perkotaan
Magelang-Mungkid Borobudur-Muntilan-Salam, koridor perkotaan Purworejo-
Kutoarjo, koridor perkotaan Temanggung-Parakan, Wonosobo, Kertek, dan Wadas
Lintang. Sedangkan potensi regional yang dimiliki antara lain berupa industri kayu
dan pengolahan buah; dan berupa pariwisata (termasuk dalam rangka mendukung
Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Borobudur).

3.5 Analisa Keterkaitan antar Sektor-sektor Infrastruktur dan Antar


Wilayah

Untuk mendukung program pembangunan dalam RPJMD DIY yang selaras


dengan RPJMN 2015 dan 2019 Prospek Kerjasama (KPBU) pembangunan
infrastruktur di dalam suatu wilayah pembangunan strategis (WPS) harus berbasis
sudut pandang keterpaduan wilayah dan keterpaduan infrastruktur sehingga
perlu diidentifikasi pembangunan infrastruktur apa saja dalam suatu wilayah yang
diperlukan dan perlu disediakan, dikerjasamakan dan mendukung keterpaduan
infrastruktur wilayah. Pembangunan Prasarana Pengelolaan Sampah dan Limbah
B3 di Piyungan berada di Kabupaten Bantul, sesuai dengan rencana tata ruang
kawasan perkotaan yang tertuang dalam KepMen Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002,
rencana pengembangan sistem utilitas memuat sistem jaringan utilitas dalam
kawasan perkotaan sampai akhir tahun perencanaan. Penyediaan ruang dan
infrastuktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, penyiapan regulasi yang
kondusif untuk perekonomian; pengelolaan pencemaran dan kerusakan lingkungan;
menyediakan regulasi yang memperkuat kerjasama antara Pemerintah Daerah
dengan badan usaha/swasta; pembentukan lembaga yang khusus menangani KPBU
dan inventasi masyarakat lainnya; melakukan capacity building terkait pembiayaan
non APBD dengan intensif
Pengembangan sistem Pengelolaan Sampah dan limbah B3 merupakan
satu dari beberapa sistem infrastruktur yang perlu disediakan untuk pengelolaan
pencemaran dan kerusakan lingkungan serta mendukung kegiatan perekonomian di
KPY. Sektor-sektor infrastruktur lain terkait dengan pengembangan Prasarana
pengelolaan sampah adalah: sektor sistem transportasi darat, sistem drainase,
sistem energi dan kelistrikan, sistem suplai air bersih, dan lainnya sebagaimana
tercantum dalam Rencana Tata Ruang yang diatur dalam KepMen Kimpraswil No.
327/KPTS/M/2002.

72
Sistem transportasi dapat menghubungkan pusat-pusat sub wilayah dan
pusat-pusat pertumbuhan guna meningkatkan perkembangan wilayah. Dengan
adanya transportasi suatu wilayah akan mudah untuk berinteraksi dengan wilayah
tersebut maupun antar wilayah lainnya. Fungsi utama sistem jaringan transportasi
adalah mewadahi pola hubungan kegiatan dan pergerakan yang diwujudkan dalam
jalur jalan sehingga kegiatan dan pergerakan saling terkait secara utuh dan terpadu.
Tujuan pengembangan sistem jaringan pergerakan tersebut mensyaratkan adanya
pengembangan yang terpadu meliputi sistem transportasi darat, udara di dalam
tatanan struktur tata ruang kawasan perkotaan (Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Provinsi yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang No. 37 Tahun 2016). Pembangunan infrastruktur khususnya aspek
aksesibilitas jalan diperlukan untuk meningkatkan/ mengembangkan keterpaduan
antar wilayah di KPY maupun antar daerah dan nasional perlu terkoneksikan secara
maksimal. Rencana jaringan transportasi didasarkan pada rumusan konsep struktur
ruang Kawasan Perkotaan sebagaimana disajikan dalam Gambar 3-2.
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Yogyakarta, tujuan
pengembangan sistem jaringan pergerakan dapat dijelaskan ke dalam hal berikut:
1. Mendukung pertumbuhan wilayah secara terpadu yang meliputi:
 Meningkatkan eksternalitas Kawasan Perkotaan Yogyakarta
 Menunjang perkembangan sektor – sektor utama, meliputi kegiatan
perdagangan dan jasa, serta pendidikan yang telah terangkum dalam sistem
pelayanan perkotaan.
2. Memeratakan pembangunan yang meliputi
 Memperlancar distribusi barang dan jasa dan mobilitas penduduk
 Mempermudah akses ke wilayah-wilayah yang didorong untuk berkembang.
Sistem jaringan pergerakan secara internal di KPY ditunjukkan dengan
jaringan jalan primer dan sekunder yang terdiri atas arteri yang melayani angkutan
utama antar kota dan kolektor yang berfungsi sebagai pengumpul/pembagi,
keduanya membujur arah utara-selatan dan barat-timur (Gambar 3-3).
Sistem angkutan penumpang regional telah melayani Kota Yogyakarta dan
daerah sekitarnya. Sementara yang dikembangkan di lingkup internal Kota
Yogyakarta merupakan sebuah sistem yang masih bercampur karena beragam jenis
moda angkutan kerap berada di jalan yang sama.
Menurut peranan pelayanan jasa distribusinya, sistem jaringan jalan terdiri
dari:
a. Sistem jaringan jalan primer, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud kota
b. Sistem jaringan jalan sekunder, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota.

73
Gambar 3-2 Jaringan infrastruktur jalan yang dapat mendukung akses ke lokasi TPST
Piyungan Kab Bantul (Sumber: Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY,
2017)

Gambar 3-3 Visualisasi Sistem Jaringan Jalan Primer dan Sekunder (Sumber : Fakta
dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

74
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4444), terdapat beberapa klasifikasi fungsi jalan yang
akan direncanakan untuk dikembangkan guna memperlancar sistem pergerakan dan
distribusi manusia dan barang, yaitu jaringan jalan arteri primer, arteri sekunder,
kolektor sekunder, lokal dan lingkungan, sementara jaringan jalan yang lain hanya
ditingkatkan kualitasnya saja untuk pengembangan. Jaringan jalan merupakan suatu
sistem yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan
wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hubungan hirarki.
Sistem Pelayanan Wilayah terdiri atas: Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Wilayah Promosi, dan Pusat Kegiatan
Lokal (PKL), seperti dapat dilihat pada Gambar 3-4 dan Tabel 3-4.

Tabel 3-4 Hirarki Kota dan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Primer

Kota PKN PKW PKL Persil


PKN Arteri Arteri - Lokal
PKW Arteri Kolektor Kolektor Lokal
PKL - Kolektor Lokal Lokal
Persil Lokal Lokal Lokal Lokal
(Sumber: Pedoman Penentuan Klasifikasi Fungi Jalan di Kawasan Perkotaan, 2004 dalam
Dokumen Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DOY KSP KPY, 2017)

Gambar 3-4 Sistem Jaringan Jalan Primer (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017)

75
Pembagian kelas jalan berdasarkan ukuran lebar, panjang kendaraan dan
muatan kendaraan, tersebut adalah Jalan kelas I (jalan arteri dengan kendaraan
lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦ 10.000 mm, muatan ≦10 ton), Jalan kelas II (jalan
arteri dengan kendaraan lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦ 18.000 mm, muatan ≦ 10
ton), Jalan kelas IIIA (Jalan kolektor, kendaraan lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦
18.000 mm,. muatan ≦ 8 ton, Jalan kelas III (Jalan kolektor kendaraan lebar ≦ 2.500
mm, panjang ≦12.000 mm, muatan ≦ 8 ton, Jalan kelas III (Jalan kolektor
kendaraan lebar ≦ 2.500 mm, panjang ≦ 9.000 mm, muatan ≦ 8 ton).
Arahan pengembangan jaringan jalan dan sarana transportasi didasarkan
pada hal berikut :
a. Perencanaan jaringan jalan serta angkutan memenuhi persoalan transportasi
b. yang saat ini ada maupun diprediksi dengan tetap memperhatikan perannya
sebagai bagian integral dari proses pengembangan wilayah kota.
c. Perencanaan jaringan transportasi merespon arahan pembangunan regional di
mana Kawasan Perkotaan Yogyakarta memiliki koneksi dengan kawasan
sekitarnya dalam perannya sebagai PKN untuk wilayah Jawa bagian selatan.
d. Perencanaan sistem transportasi didasarkan pada pendekatan ekonomi, sosial-
budaya dan teknis.

Arahan sistem transportasi di di KPY dan keterpaduannya antar wilayah, menurut


Fungsi jalan ditetapkan sebagai berikut
a. Jalan Arteri Primer, yaitu:
1) Jalan yang melingkari wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta;
2) Jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Kota
Semarang dimulai dari ringroad utara melalui Kecamatan Mlati;
3) Jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta
dimulai dari ringroad timur melalui Kecamatan Kalasan;
4) Jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Kota Cilacap
dimulai dari ringroad barat melalui Kecamatan Gamping;
5) Jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Wonosari
dimulai dari ringroad timur melalui Berbah; dan
6) Jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Bantul dimulai
dari ringroad selatan melalui Panggungharjo
b. Arteri Sekunder, yaitu
1) Jalan di wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta terdiri dari ruas
jalan: Jalan Kyai Mojo, Jalan HOS Cokroaminoto, Jalan Kapten
Pierre Tendean, Jalan Bugisan, Jalan Bantul, Jalan Gambiran, Jalan
Ngeksigondo, Jalan Gedongkuning;
2) Jalan yang menghubungkan pusat Kota Yogyakarta dengan pusat
pelayanan primer pergudangan dan terminal barang yaitu Jalan
Wates;

76
3) Jalan yang menghubungkan pusat Kota Yogyakarta dengan pusat
pelayanan primer Terminal Giwangan yaitu Jalan Pramuka dan
Jalan Imogiri Timur;
4) Jalan yang menghubungkan pusat Kota Yogyakarta dengan pusat
pelayanan primer Terminal Jombor yaitu Jalan Magelang;
5) Jalan yang menghubungkan pusat Kota Yogyakarta dengan pusat
pelayanan primer Bandara Adisucipto yaitu Jalan Laksda Adisucipto;
dan
6) Jalan yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan
peruntukan industri yaitu Jalan Godean
c. Kolektor Sekunder, yaitu
1) Pengembangan jalan kolektor arah utara – selatan di bagian barat
kawasan yang menghubungkan ring road utara dan ring road
selatan yaitu Jalan Kabupaten dimulai dari ring road utara menuju ke
Jalan Godean, dari Jalan Godean menuju Jalan Wates, dan dari
Jalan Wates menuju ring road selatan;
2) Jalan Sugeng Jeroni, Jalan Letjend MT Haryono, Jalan Mayjend
Sutoyo, Jalan Kolonel Sugiono, Jalan Menteri Supeno, Jalan Perintis
Kemerdekaan;
3) Jalan Gambiran dan Jalan Veteran;
4) Jalan Kusumanegara, Jalan Sultan Agung, Jalan P. Senopati, Jalan
KH. Ahmad Dahlan, Jalan RE Martadinata;
5) Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Diponegoro;
6) Jalan Tentara Pelajar, Jalan Tentara Rakyat Mataram, Jalan Letjen
Suprapto, Jalan KH Wakhid Hasyim, Jalan Suryowijayan, dan Jalan
Dongkelan;
7) Jalan Sisingamangaraja dan Jalan DI Panjaitan;
8) Jalan Tri Tunggal, Jalan Sorogenen dan Jalan Tegal Turi;
9) Jalan Lowanu, Jalan Tamansiswa, Jalan Suryopranoto, Jalan Dr.
Sutomo, Jalan Ki Mangun Sarkoro, Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo,
dan Jalan Prof. Ir. Herman Yohanes;
10) Jalan Affandi, Jalan Timoho, Jalan Ipda Tut Harsono, dan Jalan
Warungboto;
11) Jalan Kaliurang, Jalan Cik Di Tiro, Jalan Suroto, Jalan Yos Sudarso,
Jalan Abu Bakar Ali, Jalan Kleringan, Jalan Pangeran Mangkubumi;
12) Jalan Pasar Kembang, Jalan Malioboro, Jalan Mataram, Jalan
Brigjen Katamso, dan Jalan Parangtritis; dan
13) jalan kolektor sekunder dari pertigaan Janti menuju ring road utara

Langkah-langkah penyesuaian fungsi jalan diarahkan sebagai berikut:


a. Peningkatan fungsi beberapa ruas jalan
1) Pembangunan arteri primer berupa JORR yang letaknya setidaknya
5 km dari ring road yang sekarang di sebelah selatan. Berdasarkan

77
pola jaringan jalan yang ada, yang layak di tingkatkan sebagai outer
ring road dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Bagian Selatan dimulai dari jalan arteri primer di Prambanan ke
selatan, melalui Pleret belok ke barat melalui beberapa desa di
utara Kota Bantul, kemudian ke utara lewat Bangunjiwo dan
bertemu dengan jalan arteri primer Yogya-Bandung di Gamping.
 Bagian Utara, di mana daerah utara yang berfungsi sebagai
area tangkapan air akan mensyaratkan pengendalian perubahan
wilayah-wilayah di sekitar penetapan jalan arteri tersebut.
2) Jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan Bantul
ditingkatkan fungsinya menjadi jalan arteri primer.
b. Peningkatan kapasitas serta penataan geometri jalan pada sistem
jaringan jalan arteri dan kolektor
Pertambahan jalan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta sangat kecil
sekali baik pembukaan jalan baru, ataupun peningkatan atau pelebaran
jalan yang sudah ada. Bagi tempat-tempat yang dibangun fasilitas baru
dan mempunyai skala pelayanan luas, baru ada
pembangunan/pengembangan jalan sebagai wadah arus
transportasinya, seperti :
 Pembangunan Stadion Maguwoharjo di Paingan, Desa
Maguwoharjo, jalan lebar bermedian ke arah timur menyambung
jalan kolektor.
 Pembangunan terminal Kelas A Giwangan dan Pasar Induk
Giwangan, jalan yang menuju pusat Kota Yogyakarta ditingkatkan
menjadi arteri sekunder.
 Pembangunan JEC (Jogja Expo Center), di Wonocatur, maka jalan
di utaranya yang terhubung ke ringroad timur ditingkatkan menjadi
kolektor sekunder.

Zona industri

industri Fasilitas
perdagangan
jalur kendaraan skala regional
besar

Arteri primer
atau by pass

Fasilitas
perdagangan
skala kota Arteri sekunder

KAWASAN Pusat kota


PERKOTAAN

Gambar 3-5 Skema hubungan transportasi dan guna lahan di dalam kawasan
perkotaan (Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

78
c. Penurunan fungsi beberapa ruas jalan
Jalan yang perlu diturunkan fungsinya adalah arteri primer yang
mengeliling kota, yaitu ring road menjadi arteri sekunder ketika Jogja
Outer Ringroad (JORR) telah direalisasikan sepenuhnya. Pembangunan
ini juga akan berimplikasi pada penggal jalan yang berada di antara
kedua ring road tersebut.

Wacana Jalan Tol Yogyakarta-Solo dan Yogyakarta Bawen terdapat dalam


rencana umum jaringan jalan nasional yang terdiri dari jaringan jalan nasional bukan
jalan tol dan jaringan jalan nasional jalan tol di Pulau Jawa dengan Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 369/KPTS/M/2005 tanggal 18 Agustus 2005.
Rencana tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran keputusan serta
peninjauan kembali rencana jaringan jalan nasional secara berkala sesuai dengan
perkembangan wilayah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Rencana tersebut sampai dengan tahun 2007 belum ada pengubahannya,
sehingga gambaran jaringan jalan tol yang berada di Pulau Jawa dan melalui
wilayah DI Yogyakarta seperti pada Tabel 3-5 dan Gambar 3-7 jika direalisasikan
akan sangat mendukung prospek ekonomi dari keberlanjutan KPBU Pengelolaan
TSPT Piyungan.

Tabel 3-5 Jalan Nasional Jalan Tol Pulau Jawa

Panjang (km)
No Nama Ruas Jalan Tol Operasi
Rencana
Utama Akses
1 Yogyakarta-Bawen V 104
2 Yogyakarta-Solo V 46
(Sumber: Kepmen PU Nomor 369/KPTS/M/2005 dalam Dokumen Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017)

79
Gambar 3-6 Skema sistem jaringan pergerakan penumpang (Sumber : Fakta dan
Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

KPY

Gambar 3-7 Jalan Nasional Jalan Tol Pulau Jawa (Sumber: Kepmen PU Nomor
369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Keberadaan lintasan jalan tol yang berada di Yogyakarta bagian utara (Desa
Purwomartani, Kecamatan Kalasan) adalah seperti tampak pada Gambar 3-8.

Kws. APY

80
Gambar 3-8 Jalan Tol yang melewati DI Yogyakarta (Sumber: Kepmen PU Nomor
369/KPTS/M/2005 dalam Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Pengembangan sistem jaringan transportasi darat pada sistem jaringan jalan


dilakukan dengan pengembangan jaringan jalan nasional dan pengembangan
jaringan jalan provinsi juga sangat mendukung peningkatan aksesibilitas dan
mobilitas pengangkutan sampah dan limbah B3 dari kawasan sekitar DIY. Sistem
pengembangan jaringan jalan Provinsi dan nasional ditunjukkan dalam Gambar 3-9
Berdasarkan Gambar 3-9, mengamati struktur ruang di DIY dan lokasi TPST
Piyungan di kabupaten Bantul perlu dibangun sistem transportasi yang lebih efisien
dari sisi jarak tempuh dan jalur tempuh tanpa perlu melewati tengah perkotaan KPY.
Pembangunan infrastruktur strategis di kawasan pesisir selatan DIY yang
mendukung aksesibilitas ke pengangkutan sampah dan limbah B3 ke TPST
Piyungan kabupaten Bantul adalah pembangunan JJLS (Jaringan Jalan Lingkar
Selatan). Mega proyek JJLS dibangun dari wilayah Anyer sampai Panarukan. DIY
yang wilayah bagian selatan juga dilalui oleh JJLS ini memanfaatkan momentum
adanya mega proyek yang digagas oleh pemerintah pusat tersebut. Dengan latar
belakang dan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah pantai
selatan pemerintah DIY menggagas JJLS sebagai pintu masuk ke wilayah Provinsi
DIY. Sehingga dengan adanya tujuan tersebut, pemerintah menggagas untuk
membuka pintu masuk ke Provinsi DIY dari sisi selatan. Infrastruktur juga diarahkan
mendukung pengembangan wilayah sebagai upaya mewujudkan Wilayah Selatan
DIY sebagai halaman depan DIY. Namun demikian, berkenaan dengan orientasi
pembangunan tersebut perlu dipertimbangkan berkenaan dengan potensi bisnis dan
hubungan dagang maupun hubungan politik dengan wilayah lain diluar DIY yang
terkoneksi dengan DIY, serta pertimbangan terkait dengan potensi wilayah dan
aspek-aspek kebencanaan mengingat pada Wilayah Selatan DIY rawan gempa
bumi dan tsunami.

81
Gambar 3-9 Struktur ruang sistem jaringan transportasi antar wilayah (Sumber : Fakta
dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

3.5.1 Sistem Jaringan Energi dan Kelistrikan

Pengembangan Sistem jaringan energi diilakukan dengan mengembangkan


jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi serta ketenagalistrikan. Pengembangan
Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi dilakukan dengan cara pengamanan
fungsi Terminal BBM dan Stasiun Rewulu di Kec. Sedayu, pengamanan fungsi jalur
pipa penyalur BBM Cilacap-Boyolali sebagai jalur suplai BBM, pengembangan depot
penyuplai BBM Bandara di Kec. Temon, dan Pengembangan jaringan gas perkotaan
dan industri di DIY.
TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan akan menjadi pelanggan besar
kebutuhan listrik di DIY. Kemampuan produksi listrik DIY hingga saat ini
mengandalkan pasokan listrik dari sistem interkoneksi Pembangkitan Jawa Bali
(PJB), dimana terdapat 8 buah Gardu Induk dengan daya terpasang total sebesar
646 MVA. Beban puncak DIY rerata sebesar 400 MVA sehingga ada cadangan
listrik rerata sebesar + 246 MVA, sehingga rata-rata load factor mencapai 74,20 %.
Sementara rata-rata losses yang disebabkan oleh masalah teknis maupun non
teknis rata-rata sebesar 6,7 %. Distribusi listrik dilakukan melalui jaringan SUTET,
SUTT, dan SKTT. Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik (2015)
dan Profil Kelistrikan PLN Yogyakarta, pasokan listrik di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) dari interkoneksi sistem Pembangkitan Jawa Bali (PJB) tahun
2015 mencapai 2,66 GWH, sedangkan konsumsi listrik yang terjual mencapai 2,48
GWH.
Untuk kebutuhan listrik khusus di wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta
(KPY) diperkirakan sekitar 45% dari total kebutuhan listrik di DIY. Untuk melihat
kondisi perkembangan kebutuhan listrik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY),
maka dilakukan proyeksi kebutuhan energi listrik sampai dengan tahun 2037 (20

82
tahun dari tahap perencanaan) dengan beberapa asumsi (KPY, 2017). Tabel 3-6
menyajikan hasil analisis proyeksi kebutuhan energi listrik di Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (KPY) tahun 2022, 2027, 2032, dan 2037 (selama 20 tahun ke depan).
Dari hasil proyeksi kebutuhan energi listrik di wilayah Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (KPY) sampai dengan tahun 2037 (20 tahun dari tahap perencanaan),
dimana perkembangan kebutuhan listrik total di wilayah Kawasan Perkotaan
Yogyakarta (KPY) diperkirakan sekitar 2,01 % per tahun. Nilai tersebut masih terlalu
kecil dibandingkan dengan peningkatan kebutuhan listrik secara keseluruhan di
wilayah DI. Yogyakarta. Sampai dengan tahun 2037, kebutuhan listrik di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta sudah mencapai 701.383.293 VA. Jika mengacu analisa dari
RTRW Provinsi DI. Yogyakarta didapatkan bahwa kebutuhan listrik DI. Yogyakarta
tahun 2035 sudah mencapai 1.336.466.288,68 VA. Hal ini artinya bahwa kebutuhan
listrik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) mencapai 52,48 % dari total
kebutuhan listrik di DI. Yogyakarta secara keseluruhan. Kecenderungan
pertumbuhan rumah tangga serta kebutuhan daya, di masa mendatang pasokan
listrik harus ditingkatkan lagi untuk dapat memenuhi kebutuhan daya di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta. Hingga tahun 2017, mungkin pasokan yang tersedia masih
lebih banyak dibandingkan dengan jumah pelanggan dan masih memiliki kapasitas
berlebih untuk kepentingan pengembangan kegiatan-kegiatan baru.

Tabel 3-6 Proyeksi kebutuhan listrik di Kawasan Perkotaan Yogyakarta hingga tahun
2037

Tahun
Uraian
2017 2022 2027 2032 2037
Proyeksi Penduduk
1.248.647 1.369.999 1.507.894 1.665.004 1.844.459
(Jiwa)
Jumlah RT (KK) 312.180 342.519 376.988 416.268 461.133
Cakupan Pelayanan (%) 90 90 90 90 90
Kebutuhan Daya (VA/KK) 1.300,00 1.300,00 1.300,00 1.300,00 1.300,00
Kebutuhan domestik (VA) 365.250.600 400.747.230 441.075.960 487.033.560 539.525.610
Kebutuhan Bisnis dan
91.312.650 100.186.808 110.268.990 121.758.390 134.881.403
Industri (VA)
Kebutuhan Pelayanan
18.262.530 20.037.362 22.053.798 24.351.678 26.976.281
Umum (VA)
Kebutuhan Listrik Total
474.825.780 520.971.399 573.398.748 633.143.628 701.383.293
(VA)
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Adapun rencana pengembangan prasarana energi kelistrikan di Kawasan


Perkotaan Yogyakarta (KPY) adalah sebagai berikut mengembangkan jaringan listrik
sesuai dengan rencana pengembangan jaringan listrik nasional; Mengembangkan
jaringan transmisi listrik dengan pembangunan gardu listrik, SUTT (Saluran Udara
Tegangan Tinggi), dan SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) sesuai
dengan kebutuhan dan memperhatikan perkembangan pemanfaatan tata ruang;
Mengembangkan jaringan distribusi listrik melalui SUTM (Saluran Udara Tegangan

83
Menengah) dan SUTR (Saluran Udara Tegangan Rendah) sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Pengembangan energi listrik tenaga air di Waduk Sermo,
dan saluran irigasi Kalibawang Kabupaten Kulon Progo, pengembangan energi listrik
tenaga bayu dan tenaga surya di pantai selatan, peningkatan kapasitas terpasang
listrik pada kawasan peruntukan industri dan kawasan industry, pengembangan
energi baru terbarukan di seluruh DIY.

3.5.2 Sistem Jaringan Telematika

Ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi di wilayah Kawasan


Perkotaan Yogyakarta memegang peranan penting dalam kegiatan masyarakat
sehari – hari, terutama untuk memperlancar kegiatan perekonomian masyarakat
secara lebih luas. Saat ini penyebaran sarana dan prasarana komunikasi tidak
hanya dilayani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT. Telkom, tetapi juga
Badan Usaha Milik Swasta. Layanan telekomunikasi sekarang juga telah tampil
dalam jaringan telepon seluler serta koneksi internet. Permasalahan yang muncul
adalah bagaimana menciptakan regulasi yang dapat mengendalikan peningkatan
pelayanan telekomunikasi, termasuk dalam penyediaan pelayanan jaringan internet.
Strategi operasionalisasi perwujudan sistem jaringan telekomunikasi di wilayah
Kawasan Perkotaan Yogyakarta, diantaranya:
1. Menyusun rencana pengembangan untuk mendukung kebijakan nasional
mengenai sistem jaringan telematika,
2. Mengembangkan jaringan telematika sebagai bagian sistem jaringan nasional
di setiap kawasan permukiman,
3. Merencanakan Kawasan Perkotaan Yogyakarta sebagai pusat jaringan
pelayanan telematika dan teknologi informasi daerah; dan
4. Memfasilitasi aksesibilitas masyarakat untuk memanfaatkan teknologi
informasi, terutama untuk sektor pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata.

Ketersediaan jumlah sambungan saluran telepon di Daerah Istimewa


Yogyakarta mengalami fluktuasi setiap tahun. Kondisi ini dikarenakan trend
penggunaan telepon genggam yang mengakibatkan berpindahnya pengguna
sambungan telepon. Padahal menurut SNI 03-1733-2004, tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, terdapat ketentuan-ketentuan
yang harus dipenuhi terkait penyediaan kebutuhan sambungan telepon, (RPJMD,
2017). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka proyeksi kebutuhan sambungan
telepon di Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) tahun 2022, 2027, 2032, dan 2037
(selama 20 tahun ke depan) dapat dilihat pada Tabel 3-7.

Tabel 3-7 Proyeksi Kebutuhan Sambungan Telepon di Kawasan Perkotaan Yogyakarta


hingga tahun 2037

Tahun
Uraian
2022 2027 2032 2037

84
Proyeksi Penduduk (Jiwa) 1.260.834 1.387.677 1.532.206 1.697.310
Jumlah Rumah Tangga (KK) 315.226 346.931 383.067 424.344
Sambungan Telepon Rumah (/jiwa) 0,13 0,13 0,13 0,13
Sambungan Telepon Umum (/jiwa) 0,004 0,004 0,004 0,004
Kebutuhan Telepon Rumah (Unit) 163.908 180.398 199.187 220.650
Kebutuhan Telepon Fasilitas
5.043 5.551 6.129 6.789
Umum (Unit)
(Sumber : Fakta dan Analisa Penyusunan RTR DIY KSP KPY, 2017)

Berdasarkan perencanaan menurut SNI 03-1733-2004, dari hasil proyeksi


kebutuhan sambungan telepon untuk wilayah Kawasan Perkotaan Yogyakarta
hingga tahun 2037 menunjukkan bahwa total kebutuhan telepon rumah sebesar
220.650 unit, sedangkan untuk kebutuhan telepon fasilitas umum sebesar 6.789 unit.
Dari hasil proyeksi juga didapatkan bahwa rata-rata peningkatan kebutuhan telepon
rumah dan telepon fasilitas umum direncanakan bisa mencapai 2,01 % per tahun.

Rencana pengembangan prasarana jaringan telekomunikasi di Kawasan


Perkotaan Yogyakarta (KPY) adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas sistem jaringan telematika untuk
Mewujudkan Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) sebagai kawasan smart
city. Pengembangan sistem jaringan telematika di KPY menuju smart city
merupakan arahan dari RTRW Yogyakarta mengenai strategi DIY dalam
menuju smart province, yang diungkapkan oleh Menteri PUPR (2015). terdiri
dari beberapa elemen, Smart development planning, Smart green open space,
Smart transportation, Smart waste management , Smart water Management,
Smart Building, Smart energy.
2. Menjaga jaringan telepon kabel tetap berfungsi.
3. Mengembangkan jaringan telematika dengan teknologi serat optik.
4. Mengatur dan mengembangkan menara BTS (Base Transceiver Station)
dengan memperhatikan pertumbuhan industri telekomunikasi dan
perkembangan pemanfaatan tata ruang,
5. Mengembangkan jaringan telematika pada setiap fasilitas pendidikan, fasilitas
kebudayaan, dan di setiap obyek wisata, dan
6. Mengatur dan mengembangkan menara radio komunikasi

3.5.3 Sistem Jaringan Air Minum

Kondisi pelayanan air minum di DIY menurut data RISPAM Kab./Kota dan
Roadmap MDGs DIY baru mencapai sekitar 72,78%. Padahal, kebutuhan air minum
di wilayah DIY mengalami peningkatan di tiap tahunnya. Tabel 3-8 menyajikan
proyeksi kebutuhan air minum DIY menurut data RISPAM Kab./Kota dan Roadmap
MDGs DIY.
Tabel 3-8 Proyeksi Kebutuhan Air Minum DIY s.d. 2030

85
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
No Kabupaten/Kota 2030 (l/dt)
2013 (l/dt) 2015 (l/dt) 2020 (l/dt) 2025 (l/dt)
1 Kulon Progo 271 597 853 1166 1966
2 Sleman 486 1073 1491 2044 2682
3 Bantul 392 534 1050 1628 2518
4 Gunungkidul 658 968 993 1020 1047
5 Yogyakarta 550 328 558 815 1142
Total 2357 3500 4945 6673 9355
(Sumber: data RISPAM Kab./Kota dan Roadmap MDGs DIY dalam Fakta dan Analisa Penyusunan
RTR DIY KSP KPY, 2017)

Adapun rencana pengembangan jaringan air minum diarahkan pada


perluasan pelayanan di Kawasan Perkotaan Yogyakarta:
1. Penambahan sumber air baku baru yang bisa memenuhi kebutuhan untuk
pelayanan Kawasan Perkotaan Yogyakarta pada sistem Bantar, sistem Kebon
Agung, dan sistem Karangtalun di Sungai Progo, dan sumber air lainnya.
Secara umum, penyediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan air minum
domestik dan non domestik meliputi:
a. Penyediaan air baku dari air permukaan, seperti pada sistem Bantar, sistem
Kebon Agung, dan sistem Karang Talun di Sungai Progo (Gambar 3-10).

Gambar 3-10 Skema sistem Bantar dan Kebonagung di Sungai Progo ((Sumber : Fakta
dan Analisa Penyusunan RTR DOY KSP KPY, 2017)

b. Air hujan melalui sistem penampung air hujan

86
Kolam pengumpul air hujan adalah kolam atau wadah yang dipergunakan
untuk menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan (rumah, gedung
perkantoran atau industri) yang disalurkan melaluitalang. Kebutuhan kolam
pengumpul air hujan baik di atas permukaan tanah maupun dibawah permukaan
tanah yaitu sebesar 1 unit (1,5 m3) per 50 m2luas tutup bangunan dan setiap
tambahan 25- 50 m2 luas tutup bangunan diperlukan tambahan 1 unit atau volume
1,5 m3.

3.5.4 Sistem Jaringan Drainase

Sistem jaringan drainase yang terdapat di Kawasan Perkotaan Yogyakarta saat


ini terbagi menjadi 4 tipe, yaitu saluran drainase pembuangan utama (makro),
saluran drainase primer, saluran drainase sekunder, dan saluran drainase tersier.
Saluran pembuang utama (makro) yang ada diwilayah KPY berupa kali-kali yang
alirannya berasal dari utara ke selatan melalui wilayah Kabupaten Sleman, Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut :
1) Kali Kuning, wilayah yang dilalui adalah Desa Maguwoharjo (Kabupaten
Sleman) dan kali Kuning merupakan batas wilayah KPY dengan Kabupaten
Klaten.
2) Kali Tambak Bayan wilayah yang dilalui adalah Desa Condong Catur, Desa
Maguwoharjo (Kec.Depok,Kab.Sleman), Desa Banguntapan, Desa
Baturetno Desa Jagalan (Kab.Bantul).
3) Kali Gajah Wong wilayah yang dilalui adalah Desa Minomartani, Desa
Condong Catur (Kab. Sleman), Desa Banguntapan (Kab.Bantul), Kelurahan
Jagalan, (Kec.Kotagede), Kec.Pakualamam, Kec.Gondokusuman (Kota
Yogyakarta), Desa Singosaren (Kab.Bantul).
4) Kali Belik wilayah yang dilalui adalah Desa Caturtunggal (Kab.Sleman),
Kec.Danurejan, Kec.Gondokusuman, Kec. Pakualaman, Kec.Umbulharjo
(Kota Yogyakarta), Desa Tamanan (Kab. Bantul).
5) Kali Code wilayah yang dilalui adalah Ds.Siduharjo, Ds.Sariharjo,
Kec.Ngaglik (Kab. Sleman), Kec.Jetis, Kec.Danurejan, Kec.Gedongtengen,
Kec.Gondomanan, Kec. Mergangsan, Kec.Umbulharjo (Kota Yogyakarta),
Ds.Bangunharjo
6) Kali Buntung wilayah yang dilalui adalah Ds.Sariharjo, Kec.Ngaglik,
Ds.Sinduadi (Kab.Sleman), Kec.Tegalrejo, Kec.Jetis (Kota Yogyakarta).
7) Kali Winongo wilayah yang dilalui adalah Ds.Sendangadi, Ds.Sariharjo,
Ds.Sinduadi (Kab.Sleman), Kec.Tegalrejo, Kec.Jetis, Kec.Gedongtengen,
Kec.Ngampilan, Kec.Wirobrajan, Kec.Mantrijeron (Kota Yogyakarta),
Ds.Tirtonirmolo, Ds. Panggungharjo, Kec.Sewon, Ds. Pendowoharjo
(Kab.Bantul).
8) Kali Penggung, wilayah yang dilalui adalah Ds.Sendangadi, Ds.Trihanggo
(Kab. Sleman), Kec.Gamping, Kec.Tegalrejo (Kota Yogyakarta).

87
9) Kali Widuri wilayah yang dilalui adalah Kec.Tegalrejo, Kec.Wirobrajan (Kota
Yogyakarta), Ds.Ngestiharjo, Ds.Tirtonirmolo (Kab.Bantul).
10) Kali Ngalang wilayah yang dilalui adalah Ds.Tlogoadi, Ds.Sidomulyo, Ds.
Nogotirto, Ds.Sidoarum, Ds.Banyuraden (Kab.Sleman) Ds. Ambarketawang,
Ds.Tamantirto (Kab.Bantul).
11) Kali Konteng wilayah yang dilalui adalah Ds.Sidomoyo, Ds.Sidokarto, Ds.
Sidoagung, Kec. Gamping (Kab.Sleman).
12) Kali Prangkok wilayah yang dilalui adalah Ds.Sidoagung (Kab.Sleman).
13) Kali Krusuk wilayah yang dilalui adalah Ds.Sidoluhur (Kab.Sleman).

Saluran tersier menerima aliran air langsung dari saluran–saluran


pembuangan rumah–rumah, pada umumnya, berada di kanan kiri jalan perumahan.
Saluran sekunder merupakan saluran terbuka atau tertutup yang berfungsi
menerima aliran dari saluran-saluran tersier dan meneruskan aliran ke saluran
primer. Saluran primer adalah saluran yang menerima masukan aliran dari saluran –
saluran sekunder. Biasanya relatif besar sebab letak saluran paling hilir. Aliran dari
saluran primer langsung dialirkan ke badan air. Penanganan masalah banjir di
perkotaan dilakukan dnegan menyusun Dasar Perencanaan sistem saluran drainase
meliputi kepada kondisi yang terjadi pada ketiga wilayah administrasi dengan
mempertimbangkan kondisi topografis wilayah di mana wilayah Kabupaten Sleman-
Kota Yogyakarta serta Kabupaten Bantul berada pada satu jalur dengan wilayah
Kabupaten Bantul berada pada titik yang terendah. Sistem jaringan drainase perlu
dikembangkan dengan berwawasan lingkungan. Prinsip dasar sistem drainase
berwawasan lingkungan adalah mengendalikan kelebihan air permukaan dan
alirannya serta lebih banyak meresapkannya ke dalam tanah. Pengembangan
sistem drainase tidak boleh meningkatkan permasalahan genangan bagi daerah
yang menerima buangan. Perencanaan sistem dranase harus disesuaikan dengan
tingkat perlindungan yang dibutuhkan.
Arahan Sistem Jaringan Drainase bahwa, Jaringan drainase merupakan
jaringan yang pokok dalam perencanaan tata ruang karena menjadi pengaman bagi
investasi pembangunan yang telah dilakukan dan meningkatkan kualitas lingkungan
permukiman. Drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan
ke badan air dan atau ke bangunan resapan buatan. Drainase perkotaan adalah
drainase di wilayah kota yang berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan,
sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi
kegiatan kehidupan manusia. Arahan dalam perencanaan sistem jaringan drainasi di
Kawasan Perkotaan Yogyakarta yaitu:
a. Mengembangkan prasarana drainase berwawasan lingkungan untuk
mengatasi genangan air yang terjadi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta dan
menata daerah aliran sungai sebagai bagian penting dari sistem drainase.
b. Tidak mengubah peruntukan badan air berupa saluran, sungai, dan embung.

88
3.5.5 Sistem jaringan persampahan

Pengembangan dan pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah


Regional di Kec. Piyungan Kabupaten Bantul, dan juga kabupaten lainnya
direncanakan dengan mengembangkan sistem jaringan persampahan dari sumber
timbulan sampah berupa pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat
perkotaan dan perdesaan pembangunan dan pengembangan Tempat
Penampungan Sementara (TPS), TPS 3R (reduce, reuse, recycle), Tempat
Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), dan Intermediate Treatment Facilities (ITF)
untuk mendukung sistem 3R di seluruh Kabupaten dan kota.

89
4 BAB IV. ANALISA FAKTOR PENENTU MANFAAT UANG (VALUE
FOR MONEY)

Dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas umum, Pemerintah memiliki beberapa


pilihan sebagai alternatif pendanaan dan pelaksanaan, yaitu pembiayaan dengan
skema konvensional melalui APBN/APBD dan pembiayaan dengan skema
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Analisis Value for Money
dilaksanakan untuk menilai apakah skema KPBU lebih baik daripada pembiayaan
melalui APBN/APBD dengan memperhatikan aspek ekonomis, efektivitas dan
akuntabilitas, alih pengetahuan dan teknologi serta transparansi dan efiensi.

a) APBN/APBD
 Pembiayaan dilakukan secara penuh oleh Pemerintah melalui persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, proses penyusunan
anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang melibatkan banyak
pihak, termasuk semua departemen dan lembaga, dan DPR sehingga
memakan proses persetujuan yang sangat lama.
 Saat ini, banyak proyek pengembangan infrastruktur yang akan dilakukan di
Indonesia. Di sisi lain, kemampuan APBN untuk membiayai kegiatan
tersebut sangat terbatas. Tata kelola yang rendah dengan akuntabilitas yang
rendah sering terjadi dalam pengelolaan APBN dimana gaya pengelolaan
bersifat regulator ditambah kurang berpengalaman dalam mengelola resiko.
 Proses pengadaan yang buruk mengakibatkan biaya pembangunan
cenderung tinggi ditambah dengan pengelolaan operasional tidak
profesional memberikan efek rugi dan kurangnya layanan (level of services).
b) Pembiayaan dengan KPBU
Dalam skema KPBU, pembiayaan, pelaksanaan, dan operasional dan
perawatan dapat dilakukan oleh Badan Usaha dengn adanya dukungan dari
Pemerintah, baik berupa dukungan dana maupun pembagian penjaminan risiko
antara Pemerintah dan Badan Usaha.
Analisis Value for Money (VFM) dilaksanakan untuk menilai apakah skema KPBU
lebih baik daripada pembiayaan melalui APBN/APBD dengan memperhatikan aspek
ekonomis, efektifitas dan akuntabilitas, alih pengetahuan dan teknologi serta
transparansi dan efiensi. Error! Reference source not found. merangkum analisis
FM secara kualitatif untuk proyek TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan.

90
Tabel 4-1 Analisis Value for Money untuk Proyek TPA Sampah dan Limbah B3
(Arti lambang:  = manfaat nilai uang relatif kecil,  = manfaat nilai uang relatif
sedang,  = manfaat nilai uang relatif besar)

Konvensional Isu Terkait KPBU

Lebih profesional dan


dukungan SDM yang
Operasional
Terbatasnya SDM lebih memadai
dan Capaian
dengan kompetensi sehingga memberikan
 Pemenuhan 
yang sesuai menjadi kepastian akan
Standar Mutu
kendala beroperasinya TPA
Lingkungan
Sampah dan Limbah
B3 dengan baik

Bergantung pada
Pengelolaan Mempunyai
Anggaran Belanja  
Manajemen pendapatan usaha
Daerah

Lebih fleksibel,
Pengelolaan bergantung pada
Kurang fleksibel  
Anggaran kebutuhan dan
orientasi profit

Inovasi desain
Mendapatkan berbagai
Terbatas pada dan atau
  opsi teknologi dari
kemampuan tim praktik
peserta lelang
konstruksi

Lebih baik karena


termotivasi oleh
orientasi profit dan
Kurang berjalan Operasional
  pembayaran
dengan baik dan Perawatan
berdasarkan
pemenuhan kriteria
kepuasan

Kemudahan
Lebih fleksibel dalam
Bergantung pada dan
  pencairan pendanaan
APBD Pengelolaan
pembangunan proyek
Pembiayaan

Bergantung pada Waktu Lebih tepat waktu, jika


mekanisme  Penyelesaian  ada keterlambatan
penganggaran Proyek akan menghasilkan

91
Konvensional Isu Terkait KPBU
pencairan APBD penalti

Optimasi
Antara Kualitas
 
dan Biaya
Pekerjaan

Badan Usaha berhak


Kemudahan untuk menarik retribusi
Dari APBD dan
 Mendapatkan  atas sampah dan
retribusi
Pendapatan limbah B3 yang masuk
ke TPA

Risiko keterlambatan
proyek dan kegagalan
 Alokasi Risiko  operasional menjadi
tanggung jawab Badan
Usaha Mitra

Fleksibilitas Badan Usaha lebih


untuk leluasa dalam
 
Pengembangan menentukan skema
Bisnis bisnis

Kesimpulan:

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk proyek pembangunan TPA
Sampah dan Limbah B3 Piyungan akan memberikan Value For Money (VFM) yang
lebih baik jika menggunakan skema KPBU daripada menggunakan skema
konvensional.

4.1 Sektor Swasta Memiliki Keunggulan dalam Pelaksanaan KPBU


Termasuk dalam Pengelolaan Risiko

Swasta mempunyai peluang yang lebih besar dan dapat lebih fleksibel menarik dana
dari luar negeri yang terkena pengaruh negative interest yield untuk dapat
diinvestasikan dengan imbal hasil investasi yang lebih menarik di Indonesia
dibandingkan apabila hal tersebut harus dilakukan sendiri oleh Pemerintah
Indonesia (karena adanya pembatasan lebar defisit anggaran).

92
Korporasi swasta dapat melakukan proses leveraging secara lebih efisien
dibandingkan Pemerintah sehingga dengan pendanaan yang sama dapat digunakan
untuk melakukan investasi beberapa kali lebih besar dibandingkan apabila kegiatan
investasi tersebut dilakukan sendiri oleh Pemerintah. Swasta yang sehat, kuat, dan
tumbuh berkembang secara wajar dengan dukungan regulasi pengawasan dan
pengendalian yang kondusif dari Pemerintah merupakan sumber dan mitra
pertumbuhan ekonomi yang menciptakan nilai tambah dan menciptakan lapangan
pekerjaan secara berkelanjutan.
Hal ini yang menjadi pertimbangan untuk melibatkan pihak Swasta dalam
mengembangkan kinerja TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan. Di samping Pihak
Swasta memiliki keunggulan dalam mengelola baik aktifitas operasi dan resiko-
resikonya. Oleh karena itu Pihak swasta yang dilibatkan dalam pengembangan
kinerja TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan harus memiliki pengalaman.
Keterlibatan Pihak Swasta ini, diharapkan kecukupan modal untuk investasi
peningkatan kinerja TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan bisa terpenuhi dan
peningkatan standard layanan pengelolaan di TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan.

4.2 Terjaminnya Efektifitas, Akuntabilitas dan Pemerataan Pelayanan


Publik dalam Jangka Panjang

Proses pengadaan pada Proyek KPBU mengacu pada Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perka LKPP) No. 19 Tahun 2015,
sehingga dapat terjaminnya beberapa aspek berikut:
1. Efektifitas, Badan Usaha akan berupaya untuk melakukan optimasi antara dana
dan kualitas pekerjaan.
2. Akuntabilitas, Badan usaha harus dapat mempertanggungjawabkan segala
sesuatunya sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

4.3 Alih Pengetahuan dan Teknologi

Dengan menerapkan Kerjasama dengan Pihak Swasta, akan terjadi alih


pengetahuan dan teknologi. Karena dalam kerjasama tersebut, pihak swasta
diwajibkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Pihak swasta yang terpilih semaksimal mungkin menggunakan local content
dalam pembangunan dan pengelolaan sampah TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan.
2. Pihak swasta yang terpilih wajib menggunakan, memperkenalkan dan
mentransfer teknologi yang mutahir didalam pengelolaan sampah

93
3. Pihak Swasta dipersyaratkan untuk menggunakan tenaga kerja local. Tenaga
kerja lokal tersebut harus dikembangkan dengan melakukan pelatihan.

4.4 Terjaminnya Persaingan Sehat, Transparansi dan Efisiensi dalam


Proses Pengadaan

Untuk menjamin bahwa pemilihan Pihak Swasta untuk mengelola TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan, proses seleksi dilakukan dengan persaingan yang sehat,
transparansi dan efisien dengan merujuk kepada Perpres No. 38 Tahun 2015 dan
Perka LKPP No.19 Tahun 2015.

94
5 BAB V. ANALISA POTENSI PENDAPATAN DAN SKEMA
PEMBIAYAAN PROYEK

5.1 Kemampuan Fiskal Keuangan Pemerintah Daerah Istimewa


Yogyakarta

Kemampuan daerah dalam hal keuangan dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) yang meliputi penerimaan atau pendapatan daerah,
pengeluaran atau belanja daerah dan pembiayaan daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi aspek Pendapatan dan
Aspek Belanja, serta aspek Pembiayaan. Aspek Pendapatan terdiri dari Pendapatan
Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah, Aspek Belanja
terdiri dari Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung dan Aspek Pembiayaan
terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan.

2016 Rp 1,998,595,549,413 Rp 1,849,367,416,434

2015 Rp 1,810,940,126,779 Rp 1,685,485,375,488

2014 Rp 1,560,157,355,822 Rp 1,420,910,964,599

2013 Rp 1,440,462,296,966 Rp 1,069,181,078,252

2012 Rp 1,239,114,375,495 Rp 814,711,583,972

Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung

Gambar 5-1 Komposisi APBD DIY Rentang Tahun 2012 – 2016 (Sumber: Raperda,
RPJMD DIY Tahun 2017-2022)

Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi


kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam struktur APBD, belanja daerah
dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak

95
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara belanja langsung
merupakan belanja yang dianggarkan yang terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Dalam kurun waktu 2012 – 2016, realisasi
belanja Pemerintah DIY mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 22,31 persen per tahun.
Pertumbuhan rata-rata yang baik dari APBD DIY menunjukkan kesehatan fiskal
Pemda DIY yang juga dapat dijadikan dasar bahwa Pemda DIY mempunyai
kemampuan fiskal untuk Availability Payment (AP) pada skema KPBU.

5.2 Kemampuan Pengguna untuk Membayar


Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum
daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun
anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah terdiri
dari pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah, pendanaan dari pemerintah pusat yang disebut sebagai dana transfer
yang meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus serta
lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2016 Rp 3,899,192,985,313 Rp 1,673,749,196,521

2015 Rp 3,400,014,811,777 Rp 1,593,110,769,595

2014 Rp 3,139,871,880,417 Rp 1,464,604,954,200

2013 Rp 2,583,056,763,524 Rp 1,216,102,749,617

2012 Rp 2,171,734,307,663 Rp 1,004,063,125,812

Realisasi Pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Gambar 5-2 Pendapatan Asli Daerah DIY dan Perbandingannya dengan Realisasi
Anggaran Pendapatan (Sumber: Raperda, RPJMD DIY Tahun 2017-2022)

Dalam era otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan menjadi
pendorong utama bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah,
pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan publik. Semakin tinggi
Pendapatan Asli Daerah maka semakin kecil tingkat ketergantungan daerah
terhadap dana transfer pusat ke daerah. Dalam jangka waktu 2012-2016,

96
Pendapatan Asli Daerah Pemerintah DIY tumbuh dengan baik dengan rata-rata
sebesar 13,85 persen per tahun. Pada tahun 2012, Pendapatan Asli Daerah adalah
sebesar Rp 1.004.063.125.812,33 sedangkan di tahun 2016 penerimaan PAD
mencapai Rp 1.673.749.196.521,51. Selama lima tahun terakhir (2012-2016)
pendapatan asli daerah tumbuh rata-rata 16,42 persen per tahun, sedangkan total
pendapatan daerah tumbuh rata-rata sebesar 20,64 persen per tahun. Adanya
peningkatan pendapatan daerah berarti Pemerintah DIY memiliki kinerja yang bagus
dalam menggali potensi-potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah.
Pendapatan Daerah terdiri dari tiga elemen utama yakni Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah.
Kondisi keuangan yang sehat tersebut dapat menjadi salah satu ruang fiskal untuk
pengadaan pembayaran ketersediaan layanan Availability Payment untuk skema
KPBU.

5.3 Potensi Pendapatan Lainnya

Berdasarkan kondisi aktual operasional TPA Piyungan saat ini, anggaran untuk
pembiayaan operasional TPA Piyungan bersumber dari APBD Pemda DIY melalui
DIP Balai PISAMP. Pembayaran retribusi oleh Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman
dan Kabupaten Bantul dilakukan sesuai dengan perjanjian kerjasama.
Selain itu untuk besaran tarif setiap tonase sampah yang dibuang oleh orang pribadi
dan atau lembaga swasta di TPA Piyungan sebesar Rp. 24.383,- (Dua Puluh Empat
Ribu Tiga Ratus Delapan Puluh Tiga Rupiah). Pemungutan retribusi harus langsung
dibayarkan setelah truk sampah masuk dan ditimbang secara tunai.
Jumlah pendapatan yang diperoleh dari retribusi sampah yang masuk ke TPA
Piyungan dapat dilihat pada Tabel 5-1.

Tabel 5-1 Pendapatan dari Retribusi Sampah yang masuk ke TPA Piyungan

Tahun Pendapatan Kota Kabupaten Kabupaten Swasta


dari Retribusi Yogyakarta Bantul (Rp) Sleman (Rp) /Perorangan
(Rp) (Rp) (Rp)

2016 3.561.110.052,- 1.832.401.000,- 1.137.657.000,- 468.879.000,- 122.173.052,-

Sumber: Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset DIY, 2017

Potensi pendapatan lainnya yang dapat diperoleh dari hasil operasional TPA
Sampah dan Limbah B3 Piyungan adalah apabila TPA Sampah dan Limbah B3
Piyungan dapat menghasilkan energi (mandiri energi), maka:

97
1. Dapat mengurangi biaya operasional untuk energi, dan;
2. Jika terdapat surplus energi, dapat dijual kepada sektor terkait sehingga
dapat menghasilkan pendapatan tersendiri.
Sedangkan berdasarkan fakta lapangan untuk limbah B3, fasyankes (fasilitas
pelayanan kesehatan) DIY sebagai penghasil limbah mempunyai kemampuan untuk
membayar (ability to pay) yang dilihat dari harga yang harus dibayarkan kepada
pihak ketiga dapat dilihat pada Tabel 5-2.
Tabel 5-2 Harga yang Harus Dibayarkan oleh Pihak Ketiga per Satuan Massa Limbah
B3

No. Pihak Ketiga Harga/kg Limbah (Rp)

1. PT. Tenang Jaya Sejahtera 25.000

2. PT. Wastec 13.000

3. PT. Jasa Prima Perkasa 20.000

4. PT. Arah 18.000

5. PT. Tiga Putra Berlian 16.000

6. PT. Nur Anisa Kemikal 16.000

7. PT. Sarana Patra Jasa 16.000

Rata-rata 18.000

Kemampuan membayar pada situasi tidak biasa saat ini paling murah Rp. 13.000
dan paling mahal Rp. 25.000, sedangkan rata-rata sebesar Rp. 18.000/kg limbah.
Potensi untuk membayar ini masih bisa dihitung dengan pendekatan lain.
Dua peraturan daerah yang terkait dengan retribusi dan denda, terdapat pada Perda
DIY No. 3 Tahun 2013. Pada Pasal 5, tentang Wewenang Pemerintah Daerah, pada
poin k, disebutkan bahwa “menetapkan retribusi pelayanan atau kontribusi
Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatan pelayanan yang diberikan”.
Selain itu, peraturan terkait dengan denda, disebutkan pada Pasal 30 tentang
Pengurangan Sampah, yaitu:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19, Pasal 20 dan/atau Pasal 24 diberi sanksi administratif berupa teguran.
(2) Jika pelanggar mengabaikan teguran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan mengulangi pelanggaran maka dikenakan denda administratif sebesar
3 (tiga) kali biaya operasional pemilahan.

98
(3) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
perkalian antara belanja operasi per 1 (satu) meter kubik dengan jumlah
volume sampah.
(4) Besaran belanja operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.

5.4 Bentuk Dukungan Pemerintah

Tidak semua kegiatan pemberian layanan di bidang infrastruktur melalui skema


KPBU memberikan tingkat pengembalian yang wajar. Untuk meningkatkan
kelayakan finansial tersebut diperlukan campur tangan Pemerintah Daerah berupa
pemberian dukungan Pemerintah Daerah. Pemberian dukungan pemerintah
dilakukan dalam bentuk :
1. Penyediaan lahan, Pemerintah DIY telah menyediakan lahan untuk proyek
Pembangunan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan di desa Sitimulyo,
Piyungan.
2. Perizinan, Pemerintah DIY berkomitmen akan memberikan perizinan yang
diperlukan oleh investor dalam pelaksanaan proyek Pembangunan dan
Operasional TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan.
3. Dukungan regulasi untuk menjamin kelancaran operasional TPA Sampah dan
Limbah B3 Piyungan.
4. Pembinaan sosial budaya untuk peningkatan peran masyarakat (community
development).
5. Dukungan dalam kebijakan pembangunan keterpaduan infrastruktur terkait
pengelolaan sampah.

99
6 BAB VI. RENCANA TINDAK LANJUT

6.1 Rekomendasi Bentuk KPBU

Di dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa opsi untuk skema Kerjasama


Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Perbandingan antara beberapa skema
KPBU tersaji pada Tabel 6-1.
Penjelasan Tabel 6-1:
BOT: Build-Operate-Transfer
DBFOT: Design-Build-Finance-Operate-Transfer
BT: Build-Transfer
BOOT: Build-Own-Operate-Transfer
BOO: Build-Own-Transfer

Rekomendasi:

Untuk pembangunan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan, skema KPBU dapan
berupa skema berbasis ketersediaan layanan infrastruktur dan SDM untuk
operasional. Skema KPBU yang direkomendasikan pada proyek pembangunan TPA
dan Pengolahan Limbah B3 Piyungan adalah DBFOT (Design-Build-Finance-
Operate-Transfer) atau BOT yang lebih diperluas lingkupnya. Pada opsi ini PJPK
akan mendelegasikan dalam mendesain, membangun, mencari pembiayaan,
melaksanakan pemeliharaan pada masa tertentu dan transfer pada akhir perjanjian
kerjasama.

100
Tabel 6-1 Perbandingan dari Beberapa Skema KPBU

101
Setelah PJPK mengalokasikan berbagai fungsi dan risiko proyek, selanjutnya
diagram struktur hukum dan keuangan proyek indikatif juga dibuat. Diagram struktur
tersebut bermanfaat untuk memperoleh pengaturan aspek keuangan dan hukum
sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu contoh struktur standar dari sebuah
proyek DBFOT sederhana adalah sebagaimana diuraikan dalam Gambar 6-1
dibawah ini.

Gambar 6-1 Struktur DBFOT

6.2 Struktur Proyek dengan Skema KPBU

Opsi KPBU pada pengelolaan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan telah memiliki
landasan yuridis pada Perda DIY No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pasal 38 huruf b
mengatur bahwa penyelenggaraan sistem pengelolaan persampahan dapat
dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS). Bentuk kerjasama
tersebut dirinci dalam Pasal 39 ayat (2) meliputi:
a. Pembangunan infrastruktur prasarana dan sarana;
b. Pembiayaan pengoperasian dan pemeliharaan;
c. Pengaturan tentang pengelolaan persampahan pada kawasan yang dilalui
dan terlayani oleh sistem terpusat;
d. Peningkatan manajemen dan kelembagaan pengelola persampahan;

102
e. Peningkatan kemampuan pendanaan untuk pengoperasian dan
f. Pemeliharaan; dan/atau
g. Peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan persampahan.

Gambar 6-2 Skema Stakeholder dalam KPBU

6.3 Rekomendasi Kriteria Utama dalam Pemilihan Badan Usaha

Aktivitas yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian dalam kerangka strategi
ini adalah Call for Proposals dan Penyusunan Perjanjian Kerjasama Pemerintah DIY
dan Badan Usaha. Badan Usaha yang berhak untuk berpartisipasi dalam proses
pengadaan KPBU adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), Perseroan Terbatas Swasta, Badan Hukum Asing, maupun
Koperasi.
Sesuai dengan skema KPBU yang direkomendasikan untuk proyek Pembangunan
TPA dan Pengolahan Limbah B3 adalah DBFOT (Design-Build-Finance-Operate-
Transfer), maka ditetapkan beberapa kriteria kualifikasi Badan Usaha uang dapat
berpartisipasi dalam lelang KPBU tersebut:

103
1. Badan Usaha berkewajiban untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan untuk menjalankan kegiatan/usaha.
2. Badan Usaha/Perusahaan diharuskan memiliki neraca keuangan yang sehat
dan arus kas yang memadai sehingga memiliki kemampuan dalam
pembiayaan dan pelaksanaan Proyek KPBU.
3. Badan Usaha sudah memiliki pengalaman pelaksanaan Proyek KPBU.
4. Badan Usaha memahami regulasi dan perundangan yang berlaku terkait
limbah B3 dan berkomitmen untuk memenuhi segala aspek yuridis terkait
transportasi, penyimpanan dan pengloahan limbah B3.
5. Badan Usaha memiliki tenaga ahli bersertifikat keahlian (SKA) kualifikasi ahli
madya 1 orang sebagai Penanggung Jawab Teknik (PJT) dan minimal 1
orang sebagai Penanggung Jawab Klasifikasi (PJK) telah memliki SKA
Madya selama 3 tahun.

6.4 Rencana Jadwal Kegiatan Penyiapan dan Traksaksi KPBU

Tabel 6-2 menyajikan jadwal tahapan persiapan dan transaksi proyek


pembangungan TPA Sampah dan Limbah B3 Piyungan:
Tabel 6-2 Tahapan Kegiatan KPBU

No. Tahapan Kegiatan Durasi Pelaksanaan (bulan)


1. Identifikasi Proyek 1
2. Studi Pendahuluan 3
3. Kajian Awal Pra-Studi 5
Kelayakan (OBC)
4. Kajian Akhir Pra-Studi 5
Kelayakan (FBC)
5. Pra Kualifikasi 2
6. Permohonan Proposal 2
7. Penunjukan Pemenang 1
Lelang
8. Penandatanganan Perjanjian 1
KPBU
9. Pemenuhan Pembiayaan 6
10. Konstruksi (mulai) 24

104
8 PENUTUP

Berdasarkan kajian pendahuluan yang telah diuraikan, berikut ini dirangkum saran-
saran untuk dikaji lebih mendalam dalam studi kelayakan (FS):

1. Pemilihan teknologi/inovasi memerlukan kajian mendalam terkait permasalahan


sosial kemasyarakat dan kependudukan masyarakat yang tinggal dan
mendapatkan keuntungan ekonomi dari mengais sampah di TPA Piyungan.

2. Instalasi insinerator untuk limbah B3 memerlukan kajian lebih seksama tentang


potensi jumlah limbah B3 dari wilayah KPY dan wilayah sekitarnya termasuk
Jawa Tengah dalam mendukung keberlangsungan KPBU pengolahan limbah B3.

3. Pemilihan tipe dan kapasitas insinerator limbah B3 memerlukan analisis secara


rinci jumlah sampah B3 dari domestik dan industri kecil menegah (IKM) yang di
masa operasional TPA Sampah dan Limbah B3, mereka potensial mendapatkan
subsidi pembiayaan dalam pengolahan sampah/limbah B3

4. Kajian analisis kelayakan perlu mencakup evaluasi kemampuan Pemda


Kabupaten/Kota dalam meyusun dan membangun sistem jaringan infrastrutur
sampah dan limbah B3 di setiap kabupaten/kota, kemampuan dalam upaya tertib
memilah sampah sejak di sumber timbulan sampah, penyimpanan sementara,
penyimpanan limbah B3 dalam 1 kabupaten dan potensi kerjasama dengan
pemangku kepentingan yang lain dan membangun titik-titik pengolah/pemanfaat
hasil 3R.

5. Diperlukan kajian fisik lokasi areal TPA Sampah dan limbah B3 dalam mendukung
syarat kelayakan sebagai lokasi pengolahan sampah B3. Hal ini juga menyangkut
revisi AMDAL TPA Piyungan untuk mengakomodasi perubahan fungsinya yang
tidak lagi hanya mengelola sampah tetapi juga mengelola limbah B3.

6. Dibutuhkan kajian regulasi di tingkat daerah dalam memayungi ijin, kemudahan


dan keefektifan dalam pengelolaan sampah dan limbah B3

7. Dibutuhkan kajian sistem transportasi lalulintas dan sistem jaringan jalan, dan
aksesibilitas menuju lokasi TPA Piyungan dan pengolahan sampah B3.

105
9 DAFTAR PUSTAKA

1. Naskah KPY, 2017


2. Fakta dan Analisa Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan
Perkotaan, 2017
3. Studi Peningkatan Kinerja TPA Regional Piyungan (Pemda DIY, 2017)
4. Anaerobic digestion of food waste (L. Arsova, tesis Columbia University,
2010)
5. Identifikasi Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3) Rumah Tangga dan
Alternatif Pengelolaannya di Kabupaten Sleman (Iswanto, Disertasi
Universitas Gadjah Mada, 2016)
6. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2017 –
2022 (Pemda DIY, 2018)
7. Laporan Akhir Review Masterplan TPA Piyungan (Dinas Pekerjaan Umum,
Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral, 2017)

106

Anda mungkin juga menyukai