Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337293066

Ali Shariati dan Tugas Cendekiawan Muslim

Article · November 2019

CITATIONS READS
0 834

1 author:

Nirwansyah Putra
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
24 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Filsafat dan Pemikiran View project

Kajian Media dan Budaya View project

All content following this page was uploaded by Nirwansyah Putra on 16 November 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Ali Shariati dan Tugas Cendekiawan Muslim

Nirwansyah Putra

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan, November 20191

Ini versi Dr Muchtar Effendi Harahap2, yang dikatakan langsung kepada saya soal
kandungan buku Tugas Cendekiawan Muslim (1994) karangan Dr. Ali Shariati yang
diterjemahkan Prof. Muhammad Amien Rais. Menurutnya, ada empat tipikal manusia,
terutama dan dikhususkan pada manusia Islam, yang membuatnya berbeda dengan
manusia-manusia lainnya.

Tipikal pertama adalah ilmuwan. Seorang manusia mesti mencari tahu soal kehidupan dan
alam semesta dalam serangkaian penelitian ilmiah. Ilmu pengetahuan menjadi prasyarat
pertama sebelum seorang manusia dikatakan sebagai manusia. Ia berbicara tidak hanya
berlandaskan asumsi-asumsi, praduga-praduga subjektif, dan emosional belaka, tapi
berdasarkan bukti-bukti kongkret melalui serangkaian metode keilmuan. Ia belajar mulai
dari dasar, dari ketidaktahuannya akan sesuatu dan kemudian menjadi tahu akan sesuatu.

Beranjak dari tipikal pertama, ia memasuki tahap kedua, yaitu intelektual. Di sini,
persinggungannya dengan masyarakat sudah dimulai. Ia mulai memberikan
pengetahuannya kepada masyarakat dan terutama sekali kepada pihak penguasa. Seorang
intelektual bertugas membimbing masyarakatnya untuk mencari tahu dan mengarahkan
kepada tujuan yang ingin digapai, sebuah tujuan yang bukan didasarkan atas konsensus
bersama atau orang banyak (kuantitatif) tapi berdasarkan tujuan-tujuan murni dari
kemanusiaan. Ia memperingatkan penguasa bila jalan yang diambil penguasa mematikan
kadar positif manusia, menghempang kreativitas manusia, ataupun menindas kebenaran dan
keadilan.

1
Tulisan ini sebelumnya diperuntukkan sebagai dasar bahan diskusi di kuliah Sejarah Pemikiran Islam. Ditulis pertama
kali pada 2007, dan mengalami editing pada November 2019.
2
Muchtar Effendi Harahap, lahir di Medan pada 1954 dan wafat pada 20 Februari 2019. Dia adalah seorang aktivis,
dosen, dan alumni FISIP UGM Yogyakarta. Muchtar merupakan Ketua Dewan Pendiri Network for South East Asian
Studies (NSEAS).

1
Kaum intelektual bukanlah bagian dari penguasa tapi merupakan bagian dari masyarakat
yang tidak hanya melakukan kritik dan kontrol sosial, tapi juga melakukan dan
menawarkan ide-ide baru yang bisa membuat masyarakat berubah dari kondisi kejumudan,
taqlid, menjadi suatu generasi kreatif yang bergerak maju ke depan. Kaum intelektual tidak
pernah takut akan pengorbanan, dan malahan pengorbanan dan resiko merupakan salah satu
jalan yang harus dilalui.

Dari intelektual, ia memasuki tahap ketiga yaitu ideolog. Ideolog bukanlah orang yang
menguasi mimpi-mimpi kosong berdasarkan interest politik sesaat. Tapi ia merupakan
orang yang mendasarkan gerakannya pada ilmu pengetahuan dan kebenaran sejati. Ia
memobilisasi massa dan mengorganisirnya dalam suatu kelompok untuk melakukan
perubahan. Kebanyakan ideolog akan tidak tertarik pada konsep evolutif atau kompromis
dengan kekuasaan tapi berusaha menerjang kekuasaan dan menjungkirkannya. Ia
memberikan pencerahan dan kekuatan kepada masyarakat dan bersatu serta memimpin
mereka untuk melakukan perubahan.

Tahap terakhir dari manusia adalah menjadi seorang ulama. Muchtar mengatakan, ulama
yang dimaksud bukanlah dalam kategori “ustadz”. Saya harus memberi tanda petik pada
kata “ustadz” supaya tidak disalahpahami, karena menurut Muchtar, di Indonesia tidak ada
ulama, tapi hanya “guru-guru ngaji”. Para “guru-guru ngaji” ini lebih memandang penting
persoalan berapa kali Anda menuangkan air ke wajah Anda ketika berwudu tapi sama
sekali tidak mengetahui kalau ketidakadilan sedang terjadi pada orang yang berwudu itu. Ia
sama sekali menutup mata pada kemiskinan yang menimpa pengunjung tetap mesjid dan
musala. Ia tergoda dengan golongan berdasi yang melakukan korupsi tapi menyumbang
besar pada pembangunan mesjid. Ini merupakan pandangan yang cukup tajam dari
Muchtar. Tentu saja, Anda boleh mendebatnya.

Bagi Muchtar, dalam interpretasinya terhadap pemikiran Ali Shariati, seorang ulama adalah
pemimpin besar dalam masyarakat yang sudah melampaui ketiga tahap sebelumnya.
Muchtar tanpa ragu menunjuk figur Ayatullah Ali Khomeini, pemimpin revolusi Iran 1979,
sebagai figur ulama di zaman modern yang mampu menyandang predikat itu. Ia sekaligus
seorang ilmuwan, intelektual, dan ideolog. Lagi-lagi, Anda boleh setuju atau tidak dengan
Muchtar.

Namun, tulisan ini diperbuat bukanlah untuk mengupas secara jauh dan mendalam
pemikiran Ali Shariati yang terdapat dalam buku Tugas Cendekiawan Muslim. Sungguh
saya harus mengatakan, saya pun tidak terlalu jauh memahami pemikiran Shariati. Seperti
diketahui, buku ini sendiri merupakan kumpulan ceramah kuliah yang disampaikan oleh Ali
Shariati yang berjudul Man and Islam (1981) yang kemudian diterjemahkan Amien Rais.

Pun demikian, makalah ini bukanlah sebuah resensi tapi lebih merupakan penafsiran semata
yang cukup singkat atas pemikirannya. Tentu, sejauh yang saya ketahui.

2
Meski demikian, ada juga beberapa hal yang membuat penasaran dalam buku ini, misalnya
mengapa Amien Rais harus mencantumkan kalimat berikut dalam kata pengantar-nya,
yaitu:

“Dr. Ali Shariati adalah seorang Muslim Syi’i sedangkan penerjemah adalah seorang
Muslim Sunni. Dorongan untuk menerjemahkan buku ini bukanlah untuk menawarkan
percikan-percikan pemikiran Syi’ah di Indonesia. Bagi penerjemah, perbedaan Syi’ah-
Sunnah adalah warisan historis kuno yang telah menyebabkan lemahnya umat Islam
sebagai satu keseluruhan. Yang perlu kita kerjakan bukan membongkar-bongkar konflik
politik masa silam yang jelas tidak akan ada manfaatnya.”

Ali Shariati
Menurut Ali Rahnema dalam kata pengantar bukunya An Islamic Utopian, A Political
Biography of Ali Shariati (2000), untuk memahami Shariati, seseorang harus memahami
spirit dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masa dan tempatnya berada. Masyarakat
di mana Shariati hidup dan dibesarkan adalah masyarakat yang menjunjung tinggi sikap
ksatria, kehormatan dan pengorbanan. Mereka berkorban untuk mengejar kehormatan dan
hal itu menimbulkan rasa sakit yang cukup dalam. Namun justru rasa sakit itu dinikmati
dan menjadi penggerak kehidupan. Mereka hidup dalam luka itu, tidak mengungkapnya
secara langsung dan bekas luka itulah yang menjadikannya sebagai seorang laki-laki.
Begitu kira-kira komentar Ali Rahnema.

Shariati lahir pada 23 November 1933 di Mazinan, Sabzevar, Iran. Ayahnya, Muhammad
Taqi adalah seorang guru agama Islam sekaligus aktivis. Sementara ibunya berasal dari
keluarga yang cukup sederhana. Pada 1947, Taqi membuka lembaga Pusat Penyebaran
Kebenaran Islam di Masyhad, Khurasan. Lembaga ini terlibat dalam gerakan nasionalisme
minyak Iran di kurun 1950-an. Shariati hidup dalam konteks ini.

Dia kuliah di Dāneshgāh-e Ferdowsi-ye Mashhad atau Universitas Firdausi Mashhad,


Khurasan. Shariati sempat menjadi Asisten Profesor di alma maternya ini antara 1966-1971
meski kemudian mengundurkan diri dari jabatan itu.

Selagi kuliah, dia mulai menulis di suratkabar lokal, Khurasan. Konteks ekonomi yang
rendah di Iran waktu itu, pergaulannya dengan kalangan kelas bawah dan menengah, turut
memengaruhi pemikiran dan tulisan-tulisannya. Bacaan-bacaan tentang pemikiran Islam
modern seperti Jalaluddin Rumi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Iqbal berjalin
dengan pemikir-pemikir Eropa. Kelihatan kalau Shariati melahap seluruh mazhab
pemikiran Eropa. Namun, pemikiran kelas dari Karl Marx dan Hegel, juga tampak melekat
dalam tulisan-tulisan Shariati, meski dia juga mengecam para cendekiawan yang membeo
begitu saja pada Marx.

Pasca sarjana, dia melanjut ke Universitas Paris. Dia sempat menjadi anggota Front
Nasional yang didirikan mantan Perdana Menteri Iran, Muhammad Musaddeq, pada 1949.

3
Pasca kejatuhan Musaddeq, Shariati mendirikan Gerakan Pembebasan Iran pada 1961. Dia
mengikuti kuliah Louis Massignon, Jacques Berque dan Georges Gurvitch, dan berkenalan
dengan Jean Paul Sartre, filsuf populer zaman itu dan kini.

Pasca memeroleh doktor sosiologi dalam sejarah agama pada 1964, Shariati pulang ke Iran
dan mengajar di Universitas Mashhad. Lalu, dia melanjut ke ke ibukota Iran, Teheran, di
mana dia mengajar di Institut Hussainiah Irsyad. Di sini, Shariati memberikan kuliah dan
pidato-pidato yang langsung memikat banyak orang. Seperti yang ditulis Amien Rais dalam
kata pengantar buku ini, di antara ciri khas Shariati adalah keterusterangannya. Bahasanya
mudah dicerna, bergelora dan mengunggah orang banyak. Di antara topik yang sering
dibicarakannya adalah anti rezim Shah Pahlevi. Tak pelak, institut ini ditutup oleh Shah
Pahlevi pada 1972, dan Shariati ditangkap. Berita penangkapannya menyebar dan membuat
popularitas Shariati semakin luas. Akibat tekanan publik dan dunia internasional, Shariati
dibebaskan pada 20 Maret 1975 setelah ditahan kurang lebih 18 bulan.

Shariati kemudian berangkat ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 18 Juni 1977 dia
ditemukan wafat di rumah sakit Southampton. Kematiannya mengundang berbagai versi.
Sebagian mengatakan penyebabnya adalah serangan jantung meski sebagian versi yang
lebih populer di publik adalah Shariati dibunuh oleh agen polisi rahasia rezim Shah Pahlevi,
Sāzemān-e Ettelā'āt va Amniyat-e Keshvar (SAVAK). Shariati dimakamkan di dalam
kompleks Masjid Sayyidah Zainab, cucu nabi, di Damascus, Syiria 3. Konon, Shariati
semasa hidup sempat menyatakan ingin dikuburkan di dekat makam Sayyidah Zainab.

Manusia dan Islam


Sebagai seorang yang memahami filsafat, sosiolog dan sejarah, Shariati memahami Islam
dan manusia dalam kerangka keilmuwan ini. Ia membahas soal manusia dari dasar-
dasarnya dan memulai penjelajahannya dari ranah ilmiah barat serta kemudian
memperbandingkannya dengan Islam.

Ia mengatakan, persoalan manusia adalah masalah yang paling penting dari seluruh
masalah yang ada. Problematika yang timbul dalam sejarah semuanya ditimbulkan oleh
manusia. Persoalan dunia adalah persoalan manusia, memahami manusia, sikap manusia,
dan reaksi manusia terhadap alam.

Pemahaman dan penghargaan manusia juga menjadi isu sentral di Eropa (barat), sebagai
salah satu kutub pemikiran di dunia. Salah satu yang memperjuangkan manusia dan
kemanusiaan adalah humanisme.

3
Sabrina Mervin, "Sayyida Zaynab, Banlieue de Damas ou nouvelle ville sainte chiite?", dalam Cemoti: Cahiers
d'etudes sur la Mediterranee Orientale et le Monde Turco-Iranien, 22 | 1996, diposting 4 Maret 2005. (sumber:
https://journals.openedition.org/cemoti/138, diakses 15 November 2019).

4
Namun, menurut Sharia’ti, humanisme tidak memberi jawab yang memuaskan terhadap
pencarian soal makna manusia. Peradaban dewasa ini telah mendasarkan fondasi agamanya
pada humanisme dalam bingkai martabat manusia dan pemujaan manusia.

Alasan pokok mengapa humanisme memajukan kultus pada manusia adalah karena agama-
agama di masa lalu merendahkan kepribadian manusia, meremehkan posisinya di atas
dunia, dan memaksa agar mengorbankan dirinya di hadapan para dewa atau Tuhan. Agama-
agama lama memaksa manusia untuk memandang kemauannya sendiri sebagai sepenuhnya
tanpa daya jika dihadapkan dengan Kemauan Ilahi, dan pendekatan manusia padaNya harus
disertai sikap merendah dan penyerahan mutlak dengan berbagai sembahyang dan doa.
Pendegradasian atas manusia, atas esensinya dan atas statusnya di alam semesta ini,
sebagaimana diakibatkan oleh keyakinan-keyakinan lama, mau tidak mau membangkitkan
humanisme di zaman Renaissance.

Sejak itu humanisme seringkali dipandang sebagai suatu paham modern yang tujuan
pokoknya adalah mengagungkan manusia itu sendiri serta esensialitasnya di tengah jagat
raya – suatu elemen penting di masa renaissance yang diabaikan oleh agama-agama zaman
pertengahan. Akar-akar humanisme berasal dari Athena, namun sebagai suatu faham
unviersal, ia telah menjadi fondasi peradaban modern di Barat. Pada hakekatnya
humanisme merupakan reaksi keras terhadap filsafat skolastik dan agama kristen zaman
pertengahan.

Di tengah situasi itu, Shariati menyatakan Islam telah memberi jawab terhadap
“kebingungan” yang dialami peradaban dan kebudayaan. Sebagai sosiolog agama, maka
humanisme yang dimaksud Shariati adalah pemaknaannya terhadap manusia berdasar
agama. Ia menyatakan Islam merupakan “kontinuasi atau kelanjutan dari agama-agama
Musa, Isa, dan Ibrahim.” Karena, pencarian hakekat mengenai manusia harus dicari dalam
sejarah manusia itu sendiri versi agama.

Dalam Islam, penciptaan manusia diceritakan dalam kisah Adam. Adam berposisi dalam
dua status sekaligus, sebagai manusia dan nabi pertama. Hanya saja, menurut Shariati,
penafsiran atas penciptaan Adam dalam Al-quran tidak bisa diletakkan dalam arti harfiah.

Menurutnya, bahasa yang ditampilkan Alquran adalah bahasa simbolik. Ia mengatakan,


penafsiran tekstual terhadap Alquran hanya membatasi kandungan dan makna alquran itu
sendiri.

Ia memberikan argumentasi, bahasa simbolik dipergunakan karena bahasa ini adalah suatu
bahasa tidak basi karena perjalanan waktu dan pergantian dalam kebudayaan dan peradaban
manusia. Bahasa simbolik juga adalah kekuatan sentral dalam agama yang melestarikan
evolusinya yang potensial, menguak kebenaran-kebenarannya yang lebih dalam dan lebih
tersembunyi dengan cara bertahap. Banyak makna-makna dalam agama yang tidak jelas
pada masa pemunculannya, maka agama tidak mengirimkan pesan-pesannya dengan bahasa

5
yang awam dan sudah dikenal pada waktu itu, agama tersebut akan sulit sekali dimengerti
oleh manusia pada zamannya.

Ia mengatakan: “Akan tetapi, sebaliknya jika agama memilih untuk mengekspresikan


berbagai maknanya dengan bahasa awam, ia tidak akan memiliki arti baru dan kehilangan
makna pada masa-masa berikutnya.”

Dengan argumentasi ini, Shariati pada dasarnya mengatakan relevansi Islam bukanlah
hanya berlaku pada umat terdahulu saja. Di titik ini pula, faktor bahasa menjadi salah satu
faktor untuk menafsir Al-quran. Dengan logika ini, Shariati menjawab kritik bahwa Al-
Quran tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Yang terjadi adalah penafsiran tidak bisa
dimonopoli mutlak kebenarannya pada seluruh zaman, karena kebenaran yang terkandung
dalam Al-Quran akan terus terurai satu persatu secara terus-menerus dan tak pernah
berhenti.

Dalam kerangka bahasa simbolik ini juga, Shariati menyatakan bahwa penciptaan Adam
juga diceritakan dengan simbolik. Dengan argumen ini, maka luntur juga pandangan bahwa
proses penciptaan Adam hanya seperti penciptaan kue oleh tangan-tangan koki-koki masak,
penciptaan sebuah patung oleh pemahat, penciptaan sebuah novel oleh sastrawan, ataupun
seperti lahirnya telur dari induk ayam.

Mari kutip ayat Alquran yang menceritakan proses penciptaan ini seperti dalam Al-Quran
Surat Al-Baqarah ayat 30-32:

(30) Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan
orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-
Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.” (31) Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya,
kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku
nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (32) Mereka menjawab, “Mahasuci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”

Shariati memberikan tafsirnya terhadap penciptaan alam sembari mengkritik pandangan


humanisme Eropa terhadap manusia. Menurutnya, adalah Islam memberi pandangan dan
nilai yang sangat mulia dan sangat suci terhadap manusia, tidak seperti humanisme Eropa
memandang manusia. Argumen Shariati jelas tertumbuk pada anugerah luar biasa yang
diberikan Tuhan, pencipta dan penguasa jagat raya, telah memilih manusia sebagai
wakilNya di muka bumi. Adakah penghormatan yang lebih besar dari itu?

Referensi kedua Shariati adalah “bahan” dasar manusia itu. Seperti diketahui, manusia
terdiri dari bentuk tubuh dan ruh, dengan asal yang berbeda. Tubuh dijadikan dari tanah

6
liat, sedangkan jiwa dijadikan dari tiupan ruh Tuhan. Arti penciptaan fisik menurut Alquran
tidak hanya diberikan dalam makna diciptakan dari tanah, tapi juga dari air mani
(sementara yang lain mengatakan air yang kotor dan hina). Dengan dua hakikat yang
berbeda ini, tanah dan ruh yang suci, maka seorang manusia menjadi sosoknya yang
sekarang. Ali Shariati memandang, seluruh manusia memandang ruh atau jiwa, merupakan
wilayah yang paling suci dari manusia.

Maka menyangkut level kesucian itu, Allah sendiri menyatakan dengan tegas dalam Al Hijr
29: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan
roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”

Dengan demikian, sesungguhnya ruh yang ditiupkan itu adalah Ruh Yang Maha Suci
adalah spirit yang maha sempurna, yang paling suci di antara semua spirit dan di antara
seluruh entitas yang ada di dalam semesta. Level kesucian ini tidak diberikan kepada
makhluk lain di seluruh alam semesti, mulai dari malaikat, jin, hewan, tumbuh-tumbuhan,
dan seluruh makhluk alam semesta lainnya.

Dengan argumen ini, maka humanisme yang dibawa Eropa (dan Barat) sungguh mengalami
pertanyaan besar ketika mereka dalam pandangannya mengenai manusia, justru
mendudukkan dan menjatuhkan martabat manusia pada sesuatu yang diciptakan oleh alam
(naturalisme), lingkungan (behavioralisme), pikiran (rasionalisme), sampai pada manusia
itu sendiri (egosentrisme dan eksistensialisme).

Ali Shariati menulis dengan tegas, “Ini adalah arti sebenarnya dari humanisme.”

Dengan bahasa simbol itu juga, Shariati memberikan tafsirnya bahwa penciptaan wanita
dari “rusuk” pria, seperti yang selalu dituduhkan bahwa Islam memandang remah terhadap
wanita, merupakan tidak tepat sama sekali. Ia memberikan pandangan, bahwa wanita
diciptakan dari esensi yang sama dengan pria.

Dengan penciptaan yang sedemikian luar biasa dan suci itu, menurut Shariati, manusia
kemudian mendapatkan dan mempunyai kemampuan untuk memegang sebuah tugas suci
sebagai pemegang amanat-Nya, yang mulanya ditolak oleh seluruh alam semesta untuk
mengembannya. Keterpengaruhan Shariati terhadap Jalaluddin Rumi tampak ketika ia
menyetujui pandangan Rumi bahwa salah satu amanat yang diberikan Tuhan itu adalah free
will atau kehendak bebas.

Manusia mempunyai kekuatan kemauannya atau kekuatan iradahnya, ia adalah satu-


satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instinknya – sesuatu yang hewan
dan tumbuh-tumbuhan tidak mampu melakukannya. Ia mencontohkan, hewan dan tumbuh-
tumbuhan tidak pernah ingin berpuasa ataupun ingin melakukan bunuh diri atau
berkelompok melakukan kejahatan. Hanya manusia saja yang dapat melawan dirinya,

7
menentang hakekatnya, dan memberontak tehradap kebutuhan-kebutuhan fisik dan
spiritualnya.

Di titik ini, ia memandang bahwa kedekatan antara manusia dan Tuhan adalah karena
manusia lahir dari ruh Tuhan. Hanya Tuhanlah yang mempunyai kehendak bebas, yang
mempunyai kemampuan untuk melakukan apa pun yang diinginkannya, yang mempunyai
kemampuan mutlak, dan kejadian yang sama juga terdapat pada manusia. “Manusia dapat
berbuat mirip dengan Tuhan, tapi ia tidak bisa menjadi Tuhan,” kata Shariati .

Dalam kesimpulannya mengenai filsafat manusia, Shariati mengatakan, seluruh manusia


tidak saja sama, tapi juga bersaudara. Menurutnya, perbedaan antara persamaan (ekualitas)
dan persaudaraan (brotherhood) adalah sangat jelas. Persamaan adalah istilah hukum,
sedangkan persaudaran adalah penegasan esensi yang identik dalam diri seluruh umat
manusia terlepas dari latar belakang ras, seks dan warna kulit; persaudaraan berarti bahwa
seluruh umat manusia berasal dari asal-usul manusia. Dengan argumen ini, ia menyindir
sekaligus mengkritik filsafat Nietsczhe yang mengunggulkan ras Aria dibanding bangsa
lainnya di seluruh dunia, yang kemudian diterapkan secara membabi buta dalam fasisme
Nazi.

Dengan dua esensi ini, ruh dan tanah, maka manusia mempunyai kewajiban pada dua hal
yang menjadi “bahan” penciptaannya. Bumi (tanah) merupakan kehidupan dunia yang
penuh dengan intrik, manipulasi, dan ketidakadilan sosial, sementara nilai-nilai dan amanat
ketuhanan menjadi tujuan di satu pihak lagi. Nabi merupakan pengejawantahan dari kedua
dimensi ini dalam tubuh manusia. Sebagai nabi, ia bertugas ia memerangi ketidakadilan
sosial dan membawa pada kesejahteraan dan keadilan sosial, sementara itu ia juga
menyampaikan amanat dan perintah-perintah Allah di muka bumi.

Sejarah Manusia
Sebagai sosiolog, Shariati juga memahami sejarah manusia dan masyarakat. Ia memandang
materialisme yang digunakan masyarakat zaman sekarang, sebagai pembodohan dan
degradasi dari hakekat manusia yang sebenarnya. Meletakkan pada alam yang berdiri
sendiri dan terdiri dari mater-materi sehingga diperebutkan manusia, justru menjadikan
manusia pada titik yang serendah-rendahnya.

Namun di sisi lain, ia juga memandang religiusitas yang diperlihatkan pada masa abad
pertengahan, yang meletakkan “akhirat” sebagai tujuan, juga merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan, yang membuat manusia seperti mayat hidup (zombie) yang sedemikian taqlid
terhadap pendeta (dan ulama) yang ironisnya bermotif politik kekuasaan. Ia menyerang
dominasi gereja sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap intelektualisme.
Contoh-contoh seperti pembunuhan terhadap Gallilleo Galilei yang kemudian membuat
orang menjadi miris dan skeptis terhadap agama, dengan mengatasnamakan firman-firman
Tuhan, merupakan penyebab timbulnya materialisme.

8
Shariati menyadari renaissance merupakan kebangkitan terutama dari intelektual dan
semangat kemanusiaan, tapi di sisi lain, pengejaran materi yang berlebihan membuat
manusia menjadi kering dan tidak berjiwa lagi, sehingga melupakan esensi sebenarnya dari
manusia. Robot-robot manusia menjadi pemandangan sehari-sehari; manusia dan sejarah
kemudian disibukkan mengenai pencarian dan pemenuhan sarana kebutuhan hidup.
Teknologi dan mesin, serta ekonomi menjadi tujuan dari revolusi industri yang terjadi di
Inggris dan ini kemudian menyebar ke seluruh dunia. Meminjam bahasa Murthada
Mutahhari, manusia dalam pandangan barat telah diruntuhkan sampai tingkat mesin.

Secara menarik, Shariati menggambarkan sejarah manusia dan pandangan hidupnya, dari
kisah anak Adam, Qabil dan Habil. Bila Adam disebutnya sebagai asal muasal manusia,
maka kisah Habil dan Qabil merupakan kisah awal “sejarah manusia”.

Cerita bermula dari pertunangan Habil dan Qabil dalam pertunangan saudara mereka
masing-masing. Tetapi Qabil tidak puas; ia lebih memilih saudara perempuan yang telah
diperuntukkan bagi Habil, daripada tunangannya sendiri. Ketidakpuasannya berkembang
menjadi pemberontakan dan ia menemukan dirinya telah melanggar apa yang menjadi
milik saudaranya itu. “Secara demikian, mulailah perang pertama antara kedua manusia
itu,” kata Shariati .

Adam kemudian mendengarkan tuntutan-tuntutan tersebut dan kemudian mengusulkan agar


mereka memersembahkan pengorbanan dan kemudian disetujui oleh kedua pihak. Habil
mempersembahkan seekor onta muda yang gemuk, hewan yang terbaik di antara
ternaknya’; sedangkan Qabil membawa seonggok gandum yang tipis, layu, dan tanpa isi.
Habil diterima sedang Qabil ditolak. Penolakan ini membuat Qabil menjadikan sejarah
manusia diisi dengan pembunuhan, dan merupakan pertumpahan darah pertama dalam
sejarah manusia; pembunuhan seorang saudara terhadap saudaranya sendiri.

Menurut Shariati , cerita ini menunjukkan bagaimana persatuan kemanusiaan yang berasal
dari orang tua yang sama berubah menjadi konflik dan pertentangan yang abadi. Cinta
sesama saudara berubah menjadi permusuhan, persatuan menjadi perpecahan. Shariati
menelurusi sebab-sebab sosiologis dari perpecahan umat manusia yang pertama itu.

Tulisnya, orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarganya,


pendidikannya, dan masyarakatnya berbeda dengan Habil. Namun apakah perbedaan itu?
Menurut Shariati, perbedaan itu terletak pada pekerjaan mereka, persembahan Qabil yang
berupa gandum menunjukkan bahwa ia seorang petani, sedangkan persembahan Habil yang
berupa seekor unta menunjukkan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya
mewakili tahap sejarah ketika eksistensi manusia tergantung pada alam –berburu, mencari
ikan dan menjinakkan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakil zaman
kepemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber dimonopoli oleh sebuah
kelas penugasa. Juga pada zaman monopolisme inilah perjuangan untuk merebut kekuasaan
sosial, ekonomik, dan kultural mulai mempengaruhi manusia.

9
Menurutnya, zaman pertama kehidupan manusia di muka bumi adalah zaman pastoralisme
(penggembalaan), zaman berburu dan mencari ikan. Pada zaman ini tidak ada sesuatu pun
yang dimiliki secara pribadi atau dimonopoli, oleh karena sumber-sumber produksi
melimpah terdapat di lautan, sungan-sungai, hutan, dan padang belantara. Alam merupakan
pasar terbuka, penuh dengan berbagai kurnia dan kekayaan yang tersedia bagi semua orang
untuk menikmatinya. Ini adalah zaman Habil dalam sejarah ketika seluruh manusia secara
bebas dapat menjangkau seluruh sumber-sumber alam. Ketamakan, monopolisme,
pemilikan pribadi, keakuan masih belum terdapat dalam masyarakat manusia. sebaliknya
Qabil, mewakili periode sejarah di mana alam, tanah Tuhan, dimiliki dan dinamakan
dengan nama pemiliknya.

Dalam rangka menambah milik pribadinya, manusia kemudian memperlemah dan


merampas manusia-manusia lain sehingga mereka dapat dijadikan hamba dan budaknya.
Karena manusia ingin memiliki alam, masyarakat manusia terbagi menjadi dua, antara tuan
dan budak, antara penguasa dan yang dikuasai, antara penindas dan yang tertindas, antara
pembunuh dan yang jadi korban. “Sejak Qabil hidup sepeninggal Habil, kita sayang sekali
ditakdirkan menjadi anak cucu Qabil,” tulis Shariati .

Wajah-wajah Qabil yang hidup hingga sekarang terbagi pada tiga bagian, yaitu emas,
kekuasaan, dan agama. Inilah yang terjadi pada imperialisme barat terhadap dunia timur
dengan slogan gold, gospel, and glory. Dalam Islam, menurut Shariati, wajah ini berbentuk
Qarun (emas), Fir’aun (kekuasaan), dan Balaam Bauri (kelas pendeta penguasa). Agama
sesungguhnya menjadi kekuatan potensial yang ada dalam hati manusia, akan tetapi agama
Qabil selalu digunakan alat di tangan para penguasa dalam setiap masyarakat manusia. Hal-
hal ini juga merupakan tiga wajah Trinitarianisme, di mana Tuhan adalah satu tetapi pada
saat yang sama juga terdiri tiga pribadi. Masing-masing dari tiga pribadi ini membentuk
kesatuan tunggal, tetapi ketiga-tiganya menjadi satu pada saat yang sama. "Kita sering
melihat trinitas dalam beberapa agama sebagai konsep dari satu Tuhan dalam tiga pribadi.
Namun adalah kelas penguasa dalam sejarah yang berwatak trinitarian," tulisnya. Demikian
juga dengan pemujaan Tiga Api Ahuramazda dalam agama pra Islam di Persia, trinitarian
dalam Yahudi, dan lain-lain.

Dalam meneliti masyarakat, Shariati kemudian memakai analisis marxis. Ia memandang,


ketiga hal tersebut (agama, kekuasaan, dan emas/kekayaan), dimobilisir menjadi kelas
penguasa. Tuhan menjadi alat untuk menyangga kekuasaannya. Namun, kemudian Shariati
memajukan teorinya sendiri setelah meneliti lebih dalam soal sejarah. Ia menyatakan, pada
abad 18 dan 19, di mana Renaissance mengalami zaman keemasannya, kaum intelektual
banyak yang tertipu ketika agama, setelah kehilangan esensi sesungguhnya, diubah menjadi
suatu bentuk spritualitas palsu, atau ia diubah menjadi semacam humanisme yang sesuai
dengan ilmu positif dan rasionalisme dengan elemen-elemen yang diturunkan dari logika
dialektik dan instink manusia. Dengan tegas Shariati menyatakan bahwa pandangan-
pandangan dunia yang materialistik dan anti agama adalah juga dualistik dan semua ini

10
merupakan pandangan hidup praktis dari kelas penguasa modern dalam berbagai
masyarakat dunia.

Faktor pertama yang memajukan suatu pandangan materialistik adalah ilmu atau sains.
Faktor kedua adalah sosialisme, setelah mendasarkan prinsip-prinsip pokoknya atas
materialisme, sosialisme muncul sebagai suatu kekuatan yang tangguh dalam melawan
agama pada abad ke-19. Pada zaman pertengahan, feodalisme yang dibangun dan
dibenarkan oleh agama, merupakan infrastuktur, sedangkan agama menjadi
superstrukturnya. Namun kemudian, feodalisme berangsur-angsur turun dan diganti dengan
kelas borjuis.

Kiranya tak perlu saya perpanjang uraian tersebut di sini, tapi cukuplah bila dikatakan,
pemikiran Shariati soal pandangan hidup meletakkan Islam sebagai pandangan hidup yang
meletakkan posisi manusia pada martabat sebenar-benarnya.

Penjara Manusia dan Ideologi


Manusia dalam kesempurnaannya, memiliki tiga sifat (atribut) yang saling berkaitan yaitu
kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas. Sekilas pandangan ini sangat mirip dengan
aliran eksitensialisme dalam filsafat seperti diutarakan oleh Jean-Paul Sartre. Namun bagi
Shariati, eksitensialisme sebagai ideologi nampaknya telah mengorbankan realitas manusia
yang tertinggi.

Shariati mengemukakan empat penjara yang mengungkung manusia ke arah kemajuan,


yaitu materi, alam, sejarah, dan masyarakat.

Secara ringkas, di sini diungkapkan bahwa ilmu pengetahuan dapat mengatasi manusia
untuk mengatasi determinasi materi dan alam. Shariati memandang, bahwa determinasi
sejarah dengan pola tahapan-tahapan dapat dilompati dengan gerak revolusi. Shariati tidak
percaya pada tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh masyarakat. Determinasi historis
hanya dapat diatasi oleh suatu masyarakat, bila manusia mau mempelajari sejarah secara
utuh, detail, dan komprehensif, sehingga ia menemukan bagaimana cara untuk melopati
tahapan-tahapan sejarah seperti yang sering diungkapkan para ilmuwan. Kungkungan
sejarah ini begitu besarnya, hingga setiap manusia yang berusaha merubah dirinya, pun
harus tunduk pada kemauan sejarah.

Namun, bagi Shariati kesulitan terbesar pada umat manusia adalan mengatasi penjara
keempat yaitu egonya sendiri. Manusia menjadi tawanan oleh dirinya sendiri. Walaupun ia
sudah menjadi manusia modern yang telah membebaskan dirinya, ia masih tetap
terbelenggu di dalam penjara gelapnya ego, tanpa mengetahu bahwa cara ke luar dari
penjara tersebut.

Penjara ego tidak mempunyai dinding, sehingga ia sendiri tidak mengetahui batasan-
batasan penjara tersebut, seperti penjara-penjara yang lain. Ia menyebut eksitensialisme dan

11
“hippi-isme” telah menemui jalan buntu untuk memecahkan persoalan ini. Eksistensialisme
telah berhasil dalam mengangkat kemauan dan gerak bebas tiap manusia, tapi kemudian
tertumbuk pada absurditas yang tidak terelakkan. Kalaupun ia dapat mencari esensi dari
hidupnya, ke mana esensi itu akan diarahkan. Seorang mahasiswa mungkin menemukan
bahwa ijazah kuliahnya adalah esensinya tapi kemudian ketika ijazah itu tidak bisa dipakai
dalam mencari lapangan pekerjaan, maka ia akan meratapi dan menyesali dirinya dan
kembali pada stress berkepanjangan. Jawaban Shariati terhadap persoalan ini sungguh
tidak disangka-sangka, yaitu cinta!

Dalam cinta, ia menemukan sebuah kehangatan dan kekuatan perkasa yang bisa
membuatnya melawan dirinya sendiri. Shariati mencontohkan kehidupan Nietszche yang
menurutnya harus membongkar ulang seluruh filsafatnya pada akhir hidupnya.

Suatu hari Nietszche berjalan menyusuri dan menemukan seekor kuda yang terperosok ke
dalam parit dan berusaha ke luar dari parit itu. Kuda itu bernafas terengah-engah karena
tidak bisa keluar disebabkan muatan barang-barang yang ada di di atas badannya. Nietszche
mengamati si pemilik kuda berusaha mengeluarkan kuda dari parit itu dengan memaksanya
ke luar dari himpitan itu. Tapi si pemilik kemudian mengayunkan cemetinya kepada kuda
dengan bengis agar kuda tadi mau berusaha ke luar sendiri. Si kuda bisa bergerak sedikit
tapi kemudian terperosok kembali. Marah menyaksikan pandangan yang mengerikan akibat
brutalitas manusia itu, Nietszche memberitahukan agar si pemilik menghentikan
cambukannya dan menyarankan agar muatannya diambil terlebih dahulu. Si pemilik tidak
menggubris dan Nietszche pun marah dan menghardik dan mengatakan, “Saya tak akan
membiarkan mu mencambuk binatang malang ini dengan kejam!”

Si pemilik kontak melepaskan dirinya dari Nietszche dan kemudian memukul Nietszche
sehingga terjerembab dan mengakibatkan kematiannya beberapa hari kemudian. Shariati
mengomentari peristiwa itu dengan kalimat: “Filosof yang di masa dimudanya mencintai
kekuasaan dan kekuatan serta memujanya, sekarang berdiri melawan kekuatan itu untuk
menyelamatkan makhluk yang lemah dan terinjak-injak; akhirnya ia mengorbankan dirinya
untuk suatu cita-cita kemanusiaan.”

Bagi orang-orang tertentu, tindakan Nietszche adalah di luar logika. Tapi bagi Shariati,
logika terlalu sempit untuk membenarkannya. Tindakan Nietszche murni dari kesadarannya
atas dasar cinta. Namun, jika cinta digunakan untuk memenuhi ambisi, kepuasan, dan
kepentingan pribadi, jelas itu bukan cinta. “Itu adalah dagang,” tegas Shariati. Cinta adalah
memilih dirinya mati agar yang lain dapat hidup, agar suatu cita-cita dapat menang, agar
suatu impian menjadi kenyataan. Di titik inilah, empat penjara manusia bisa diatasi oleh
manusia itu, dengan cara pengorbanan. Dan, ini pula yang diambil jalannya oleh Imam
Husain dalam tragedi Karbala.

12
Pengorbanan ini tidak terdapat dalam manusia-manusia modern (atau yang mengaku
modern) sekarang. Para ulama tidak berkorban demi umatnya tapi demi kepentingan
penguasa semata.

Shariati memandang, Islam yang ditemukannya bukanlah Islam kebudayaan yang


memajukan kepentingan kaum teolog, akan tetapi Islam sebagai ideologi yang mendorong
para mujahid (pejuang), bukan Islam dalam sekolah-sekolah teologi dan juga bukan dalam
tradisi yang sudah demikian awam. Seperti idolanya, Shariati mengatakan, jalan itu adalah
Islam seperti dalam kehidupan Abu Dzar Al-Ghifari.

Sebuah Indonesia sebagai Kesimpulan


Indonesia tak sama tapi serupa dengan Iran. Iran tidak seperti Indonesia yang beraneka
ragam bentuknya, tapi sama di sisinya yang lain.

Kita adalah makhluk yang tidak punya harga diri dan kemauan bebas, kalaulah para
ulamanya, panutan kita bersama, cenderung hanya menjadi corong kepentingan penguasa.
Kalaulah manusia Indonesia tidak mempunyai jiwa pengorbanan dan memakan sesamanya
seperti diktum Thomas Hobbes. Indonesia bukanlah liberalis dan fundamentalis, karena
manusia Indonesia tidaklah bebas pikirannya dan tidak mempunyai akar perjuangan yang
mau mengorbankan dirinya untuk kepentingan sosialnya.

Kita akan menjadi keturunan paling sah dari Qabil ketika memakan dan menyunat dana-
dana bantuan untuk para korban bencana alam, menyunat gaji-gaji pegawai negeri,
mengkorup dana untuk orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Ketika membiarkan
dirinya minum dari air yang dikeluarkan bumi Allah yang disedot oleh perusahaan-
perusahaan asing dan mesti kita bayar.

Muslim yang diharap-harapkan adalah orang-orang yang mengatakan kebenaran walau ia


tahu resiko menentang kebenaran itu adalah fatal bagi dirinya. Orang-orang yang tidak
berapologi dengan kelemahannya. Orang-orang yang berjuang bangkit untuk menghempas
kelemahannya ke depan muka-muka para musuhnya.

Menurut Amien Rais, dalam pengantarnya di buku Tugas Cendekiawan Muslim ini, muslim
hanya akan memiliki makna dan fungsi bila mereka selalu berada di tengah-tengah massa
rakyat; menerangi massa, membimbing massa dan bersama-sama massa melakukan
pembaharuan ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih islami.

Muslim adalah orang yang tidak berkelahi dengan saudaranya hanya karena sesuap nasi.
Bukankah sudah diingatkan bagi kita, tidaklah dikatakan beriman sebelum ia mencintai
saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri?

Wallahua’lam.

13
View publication stats

REFERENSI
Primer:
Shariati, Ali. (1994). Tugas Cendekiawan Muslim. Cetakan keempat, Jakarta: Raja
Grafindo Perkasa.

Sekunder:
Rakhmat, Jalaluddin. (1998). Islam Alternatif. Cetakan IX. Bandung: Mizan.

Mutahhari, Murthada. (1995). Perspektif Alquran tentang Manusia dan Agama. Cetakan
VIII. Bandung: Mizan.

Ali Rahnema. (2000). An Islamic Utopian, A Political Biography of Ali Shariati. London:
IB Tauris.

Mervin, Sabrina. "Sayyida Zaynab, Banlieue de Damas ou nouvelle ville sainte chiite?",
dalam Cemoti: Cahiers d'etudes sur la Mediterranee Orientale et le Monde Turco-
Iranien, 22 | 1996, diposting 4 Maret 2005. (sumber:
https://journals.openedition.org/cemoti/138, diakses 15 November 2019).

Situs :
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Shariati
https://en.wikipedia.org/wiki/Ali_Shariati
http://www.shariati.com/bio.html

14

Anda mungkin juga menyukai