Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap perusahaan berkepentingan dengan pengukuran kinerja keuangannya.

Pengertian dari kinerja keuangan sendiri adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu

yang dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba

(Sucipto, 2003:2). Didalam pengukuran dan penilaian terhadap kinerja keuangan

perusahaan, perlu ditetapkan pernyataan yang jelas tentang tujuan yang akan dicapai

dengan demikian diperoleh hasil yang diinginkan.

Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba merupakan fokus utama

dalam penilaian kinerja keuangan perusahaan. Laba bukan saja sebagai indikator

kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban penyandang dana tetapi juga

sebagai unsur penciptaan nilai (creation value) perusahaan yang memperlihatkan

prospek perusahaan dimasa mendatang. Penilaian kinerja keuangan perusahaan harus

didasarkan pada data keuangan yang dipublikasikan yang dibuat sesuai dengan

prinsip akuntansi keuangan yang berlaku umum.

Laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan merupakan salah satu

informasi yang dapat digunakan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan karena

laporan keuangan ini mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya dalam

kurun waktu tertentu. Sucipto (2003) menyatakan bahwa laporan keuangan

merupakan data paling umum yang tersedia untuk menilai prestasi suatu perusahaan

dalam menghasilkan laba, walaupun seringkali tidak mewakili hasil dan kondisi

1
2

ekonomi. Menganalisis laporan keuangan perusahaan bertujuan untuk menilai atau

mengevaluasi suatu kinerja keuangan perusahaan dalam suatu periode akuntansi.

Kinerja keuangan perusahaan dapat dijadikan sebagai tolak ukur yang

menunjukkan kondisi perusahaan dalam keadaan baik atau buruk. Saat kondisi

keuangan perusahaan dalam keadaan buruk, para stakeholder akan memakai analisis

laporan keuangan untuk menilai kinerja di masa lalu, posisi perusahaan sekarang

serta menilai potensi dan resiko perusahaan di masa mendatang. Apabila kinerja

keuangan suatu perusahaan baik maka investor akan tertarik untuk menginvestasikan

dana yang mereka miliki kepada perusahaan sehingga nilai perusahaan juga akan

meningkat. Keadaan ini akan membuat perusahaan dapat bertahan dalam menghadapi

persaingan yang saat ini semakin ketat.

Penilaian kinerja keuangan perusahaan penting dilakukan baik oleh

manajemen, pemegang saham maupun pemerintah. Tujuan penilaian kinerja

keuangan perusahaan adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran

organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya,

agar memperoleh tindakan dan hasil yang diinginkan. Selain itu penilaian mengenai

kinerja keuangan perusahaan akan menjadi salah satu informasi yang sangat

mempengaruhi berinventasi.

Penilaian kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dengan beberapa

pendekatan rasio keuangan, baik likuiditas, profitabilitas, solvabilitas, aktivitas

maupun rasio pasar. Salah satu rasio yang dinilai bisa memberikan informasi yang

paling baik adalah Tobin’s Q. Tobin’s Q digunakan sebagai ukuran penelitian pasar

(Klapper dan Love, 2002 dalam Darmawati, dkk. 2004). Nama Tobin’s Q berasal
3

dari James Tobin dari Yale University setelah dia memperoleh hadiah nobel. Morck,

et al. (1988) dan McConnell, et al. (1990) dalam Ndaruningputri (2005)

menggunakan Tobin’s Q sebagai pengukuran kinerja keuangan perusahaan dengan

alasan bahwa dengan Tobin’s Q, maka dapat diketahui nilai pasar perusahaan, yang

mencerminkan keuntungan masa depan perusahaan seperti laba saat ini.

Semakin besar nilai rasio Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki

prospek pertumbuhan yang baik dan memiliki intangible asset (aktiva tidak

berwujud) yang semakin besar. Hal ini bisa terjadi karena semakin besar nilai pasar

aset perusahaan, semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan

yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut. Brealey dan Myers (2000) dalam

Sukamulja (2004) menyebutkan bahwa perusahaan dengan nilai Tobin’s Q yang

tinggi biasanya memiliki brand image perusahaan yang sangat kuat, sedangkan

perusahaan yang memiliki nilai Tobin’s Q yang rendah umumnya berada pada

industri yang sangat kompetitif atau industri yang mulai mengecil.

Obyek penelitian dilakukan pada perusahaan manufaktur. Pemilihan

perusahaan manufaktur adalah untuk menghindari perbedaan karakteristik antara

perusahaan manufaktur dan non-manufaktur, dan perusahaan manufaktur cukup

sensitif terhadap setiap perubahan kondisi. Selain itu jumlah perusahaan manufaktur

yang cukup besar sehingga motivasi untuk memperoleh sampel yang cukup dalam

penelitian dapat terpenuhi (Tarjo dan Hartono, 2003). Berikut ini deskriptif rata-rata

kinerja keuangan perusahaan manufaktur:


4

Tabel 1.1 Rata-Rata Penilaian Tobin’s Q pada Perusahaan Manufaktur


Tahun 2003-2006
Tahun Tobin’s Q
2003 0,95
2004 0,51
2005 0,61
2006 0,93
Sumber: data sekuder yang diolah, 2011 (Lampiran 1)

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui rata-rata kinerja keuangan

perusahaan manufaktur yang diukur dengan Tobin’s Q pada tahun 2005 mencapai

0,61. Pada tahun 2005 kinerja keuangan perusahaan cenderung menurun

dibandingkan pada tahun 2003 yang jauh lebih baik, dimana nilai Tobin’s Q

mendekati 1, artinya rasio pasar pada perusahaan manufaktur cenderung sangat baik

mencapai hingga 100%. Nilai Tobin’s Q pada tahun 2003-2006 kurang dari 1

menunjukkan bahwa perusahaan menghasilkan earning dengan tingkat return

dibawah dari harga perolehan aset-asetnya.

Hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan dalam menghasilkan laba yang

tinggi pada umumnya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu: (1)

Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya

secara efektif dan efisien, yang mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya

manusia, akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), (2) Konsistensi terhadap

sistem pemisahan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga secara praktis

perusahaan mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara

manajemen dan pemegang saham dan (3) Perlunya kemampuan perusahaan untuk

menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern


5

tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa

manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, maka perusahaan perlu

memiliki suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, melalui penerapan good

corporate governance (GCG). Darmawati, dkk. (2004) menyatakan bahwa GCG

merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang

meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris,

para pemegang saham dan stakeholder lainnya. GCG juga dapat digunakan untuk

memonitor masalah kontrak dan membatasi perilaku opportunistic manajemen.

Perilaku manipulasi oleh manajer yang berawal dari konflik kepentingan tersebut

dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring yang bertujuan untuk

menyelaraskan berbagai kepentingan tersebut. Perusahaan meyakini bahwa

implementasi GCG merupakan bentuk lain penegakan etika bisnis dan etika kerja

yang sudah lama menjadi komitmen perusahaan, dan implementasi GCG

berhubungan dengan peningkatan citra perusahaan. Perusahaan yang mempraktikkan

GCG akan mengalami perbaikan citra, dan peningkatan nilai perusahaan. Didalam

penelitian ini mekanisme GCG meliputi: kepemilikan institusional, kepemilikan

manajerial, komisaris independen dan komite audit.

Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimalkan kesejahteraan para

pemegang saham. Namun di sisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk

memaksimalkan kesejahteraan dirinya sendiri. Penyatuan kepentingan pihak-pihak

ini sering kali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan.
6

Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Sabrinna (2010), kepemilikan

institusional dan kepemilikan manajerial adalah dua mekanisme utama GCG yang

membantu mengendalikan masalah keagenan. Kepemilikan institusional merupakan

kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum,

institusi luar negeri, dana perwalian serta institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et

al. 2006 dalam Sabrinna, 2010). Menurut Wening (2009), kepemilikan institusional

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.

Adanya kepemilikan oleh investor institusional akan mendorong peningkatan

pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan

saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung

atau sebaliknya terhadap kinerja manajemen. Semakin besar kepemilikan oleh

institusi keuangan maka akan semakin besar kekuatan suara dan dorongan institusi

keuangan untuk mengawasi manajemen dan akibatnya akan memberikan dorongan

yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja keuangan

perusahaan juga akan meningkat.

Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen

perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh

manajemen (Sujono dan Soebiantoro, 2007 dalam Sabrinna, 2010). Pendekatan

keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrumen

atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara beberapa klaim (claim holder)

terhadap perusahaan. Gunarsih (2001) menyatakan bahwa kepemilikan perusahaan

merupakan salah satu mekanisme yang dapat dipergunakan agar pengelola

melakukan aktivitas sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan. Kepemilikan


7

manajerial dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi masalah keagenan yang

kedua. Manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya yang juga

merupakan keinginan dari para pemegang saham. Ross, et al. (1999) dalam Putri

(2006) menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan saham pada

perusahaan maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan

pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham

manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antara manajer dan pemegang

saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan

yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari

pengambilan keputusan yang salah.

Kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga tidak baik untuk perusahaan,

karena dapat menimbulkan masalah pertahanan, yang berarti jika kepemilikan

manajerial tinggi, mereka memiliki posisi yang kuat untuk melakukan kontrol

terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal akan mengalami kesulitan

untuk mengendalikan tindakan manajer. Hal ini disebabkan tingginya hak voting

yang dimiliki manajer (Gunarsih, 2001). Sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh

negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan.

Salah satu permasalahan dalam penerapan GCG adalah adanya CEO (Chief

Executive Officer) yang memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan

dewan komisaris. Fungsi dari dewan komisaris ini adalah untuk mengawasi kinerja

dari dewan direksi yang dipimpin oleh CEO tersebut. Efektivitas dewan komisaris

dalam menyeimbangkan kekuatan CEO tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat

independensi dari dewan komisaris tersebut (Lorsch, 1989; Mizruchi, 1983; Zahra &
8

Pearce, 1989 dalam Wardhani, 2006). Konteks independensi ini menjadi semakin

kompleks dalam perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan.

Pfeffer & Salancik (1978) dalam Wardhani (2006) menyatakan bahwa dengan

semakin meningkatnya tekanan dari lingkungan perusahaan maka kebutuhan akan

dukungan dari luar juga semakin meningkat. Selain itu, Daily & Dalton (1994) dalam

Wardhani (2006) menyatakan bahwa apabila ada resistensi dari CEO untuk

menerapkan strategi yang agresif untuk mengatasi kinerja keuangan perusahaan yang

terus menurun, maka adanya direksi dari luar akan mendorong pengambilan

keputusan untuk melakukan perubahan. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan

bahwa semakin tinggi representasi dewan dalam (insider board) maka keterlibatan

direksi dalam pengambilan keputusan yang strategis akan semakin rendah (Judge &

Zeithaml, 1992 dalam Wardhani, 2006).

Fama dan Jensen (1983) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007), menyatakan

bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai

penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan

mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen.

Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi

monitoring agar tercipta perusahaan yang baik.

Kinerja keuangan perusahaan akan baik jika perusahaan mampu

mengendalikan perilaku para eksekutif puncak perusahaan untuk melindungi

kepentingan pemilik perusahaan (pemegang saham), salah satunya dengan

keberadaan komite audit. Komite audit diharapkan mampu mengawasi laporan

keuangan, mengawasi audit eksternal dan mengawasi sistem pengendalian internal


9

sesuai dengan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: 117/M-

MBU/2002. Karena pertanggung jawaban mereka untuk mengawasi internal kontrol

dan laporan keuangan, GCG memerintahkan bahwa komite audit harus memiliki

tingkat kompetensi dalam keuangan (BRC, 1999 dalam Purwati, 2006).

Mekanisme penerapan GCG diharapkan: Pertama, perusahaan mampu

meningkatkan kinerjanya melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang

lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta mampu

meningkatkan pelayanannya kepada stakeholder. Kedua, perusahaan lebih mudah

memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan

corporate value. Ketiga, mampu meningkatkan kepercayaan investor untuk

menanamkan modalnya di Indonesia. Keempat, pemegang saham akan merasa puas

dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan

dividen.

Bukti penelitian empiris dalam Jurnal Ekonomi & Bisnis (2009) dalam Purba

(2011), menunjukkan bahwa pelaksanaan GCG mempengaruhi kinerja perusahaan,

antara lain: (1) Penelitian yang dilakukan oleh Ashbaugh, et al. (2004) terhadap 1500

perusahaan di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang

melaksanakan GCG mengalami peningkatan peringkat kredit (firm credit rating)

yang signifikan. (2) Penelitian yang dilakukan oleh Alexakis, et al. (2006) terhadap

perusahaan-perusahaan yang listing di pasar modal Yunani menunjukkan bahwa,

perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG secara baik mengalami peningkatan

rata-rata return saham, dan mengalami penurunan risiko yang signifikan. (3)

Penelitian yang dilakukan oleh Firth, et al. (2002) terhadap perusahaan-

perusahaan
10

yang listing di pasar modal Hongkong menunjukkan bahwa, perusahaan-perusahaan

yang melaksanakan GCG mengalami peningkatan kinerja perusahaan (corporate

performance) yang signifikan. (4) Penelitian yang dilakukan oleh Cornett, et al.

(2006) terhadap perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam S&P 100, juga

menunjukkan hasil yang sama dimana perusahaan-perusahaan yang melaksanakan

GCG mengalami peningkatan kinerja keuangan perusahaan yang signifikan. (5)

Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Brown & Caylor (2004) di Georgia,

juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang melaksanakan GCG mengalami

peningkatan kinerja perusahaan (Corporate Performance) yang signifikan.

Rogers (2008) yang meneliti tentang Corporate governance and financial

performance of selected commercial banks in Uganda menyatakan bahwa semua

variabel bebas yaitu transparansi keuangan, pengungkapan dan kepercayaan

memiliki hubungan positif dengan kinerja keuangan di bank komersial di Uganda.

Sanda, et al. (2005) menemukan bukti empiris bahwa (1) Kepemilikan saham

secara signifikan negatif terkait dengan ROA, ROE, Rasio PE, dan Tobin’s Q (2)

Ukuran Dewan menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan ROA, ROE, dan

Rasio PE (3) Ukuran Dewan secara signifikan berhubungan positif dengan Tobin’s Q

(4) Kepemilikan Konsentrasi memiliki efek positif yang signifikan dalam semua

kecuali satu kasus, rasio PE (5) Direktur luar tidak menunjukkan hubungan

signifikan dengan kinerja perusahaan (6) Leverage yang memiliki pengaruh positif

yang signifikan pada kinerja perusahaan.

Penelitian yang dilakukan Lastanti (2004) menemukan bukti empiris bahwa

terdapat hubungan positif signifikan antara independensi dewan komisaris dan


11

Tobin’s Q. Sementara variabel lain, struktur kepemilikan terkonsentrasi dan

kepemilikan institusional tidak berpengaruh secara signifikan, baik terhadap Tobin’s

Q, ROA dan ROE.

Hastuti (2005) menyatakan bahwa tidak adanya korelasi tentang struktur

kepemilikan dengan kinerja keuangan perusahaan, tidak adanya korelasi tentang

akuntabilitas dengan kinerja keuangan perusahaan dan terdapat hubungan yang

signifikan tentang transparansi dengan kinerja keuangan perusahaan.

Hidayah (2008) melakukan penelitian dengan obyek perusahaan yang masuk

10 besar Corporate Governance Perception Index (CGPI) menunjukan tidak terdapat

hubungan signifikan antara implementasi good corporate governance terhadap

kinerja perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q.

Penelitian Darmawati, dkk. (2004) menemukan bahwa GCG mempengaruhi

kinerja operasi (ROE) tetapi secara statistik tidak mempengaruhi kinerja pasar

(Tobin’s Q). Wahyudi dan Pawestri (2006) menyatakan bahwa struktur kepemilikan

manajerial berpengaruh terhadap nilai perusahaan baik secara langsung maupun

melalui keputusan pendanaan, sedangkan struktur kepemilikan institusional tidak

berpengaruh terhadap keputusan keuangan maupun nilai perusahaan.

Mengacu pada hasil-hasil penelitian empiris yang telah dilakukan, tampak

bahwa bukti empiris tersebut menunjukkan betapa pentingnya penerapan GCG

dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. Dalam kaitan ini maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Penerapan Good

Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan (Studi pada

Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2007-

2009)”.
12

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di muka, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen

dan komite audit berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur

dengan Tobin's Q?

2. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh secara positif terhadap kinerja

keuangan perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q?

3. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh secara negatif terhadap kinerja

keuangan perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q?

4. Apakah komisaris independen secara positif berpengaruh terhadap kinerja

keuangan perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q?

5. Apakah komite audit berpengaruh secara positif terhadap kinerja keuangan

perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bukti empiris mengenai:

1. Untuk mengetahui pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,

komisaris independen dan komite audit terhadap kinerja keuangan perusahaan

yang diukur dengan Tobin's Q.

2. Untuk mengetahui pengaruh secara positif antara kepemilikan institusional

terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q.


13

3. Untuk mengetahui pengaruh secara negatif antara kepemilikan manajerial

terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q.

4. Untuk mengetahui pengaruh secara positif antara komisaris independen terhadap

kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q.

5. Untuk mengetahui pengaruh secara positif antara komite audit terhadap kinerja

keuangan perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Sebagai upaya untuk mendukung pengembangan ilmu akuntansi pada

umumnya, serta khususnya yang berkaitan mengenai pengaruh pelaksanaan GCG di

Indonesia, terutama pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan (Tobin’s Q).

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Manajemen Institusi

Sebagai saran dan masukan yang dapat dipergunakan bagi manajemen

institusi sebagai bahan dan referensi dalam rangka menetapkan kebijakan

maupun langkah strategis.

b. Bagi Investor

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang

bermanfaat untuk pengambilan keputusan investasi khususnya dalam menilai

kinerja suatu perusahaan.


c. Bagi Masyarakat Umum

Dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai salah

satu dasar untuk menilai tingkat kinerja keuangan

perusahaan melalui laporan keuangan yang

dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai