Anda di halaman 1dari 4

Pilkada di Tengah Pandemi, Demokrasi Tak

Boleh Mati
Amal Abrar S.Pd Ketum IMM Cabang Mataram 2018-2019
Editor:M Islamudin

26 Juni 2020 08:55 am

Amal Abrar S.Pd

DALAM sejarah perkembangannya, Indonesia menganut sistem demokrasi langsung.


Artinya rakyat menjadi penentu pada setiap perhelatan pesta demokrasi. Untuk itu,
pada episode yang kesekian kalinya, di 9 Provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota,
Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan jumlah total 270
daerah. Jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan Pilkada-Pilkada
sebelumnya.

Di beberapa media, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai  penyelenggara teknis


telah mengungkapkan beberapa alasan kenapa Pilkada harus tetap dilaksanakan di
tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

Sedikitnya ada empat alasan kenapa KPU tetap melaksanakan Pilkada. Menurut KPU,
yang pertama adalah soal amanat peraturan yakni dengan dikeluarkannya Perppu
Nomor 2 Tahun 2020 sebagai landasan hukum. Artinya KPU harus menjalankan
amanat undang-undang. Kedua, Jika Pilkada dihentikan dengan alasan Pandemi, maka
tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir.

Ketiga, adalah hak konstitusional (memilih & dipilih) pada periode pergantian
kepemimpinan di tingkat daerah (Provinsi & Kabupaten/Kota) harus terus dilakukan.
Kemudian yang keempat adalah soal tata kelola anggaran, jika Pilkada ditunda
melewati tahun 2021 maka anggaran yang cair tahun 2020 akan percuma karena
melewati tahun anggaran.

Selain empat alasan tersebut, Pemerintah lewat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
juga mengungkapkan bahwa akan ada 270 Pelaksana tugas kepala daerah, jika Pilkada
ditunda pada tahun berikutnya.

Menurut penulis, dengan adanya pelaksana tugas di 270 daerah akan berakibat pada
tidak maksimalnya pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat. Kenapa
demikian. Karena Pelaksana tugas tidak akan bisa melaksanakan tugasnya secara
maksimal karena menurut undang-undang nomor30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan pelaksana tugas dibatasi wewenang dan tindakannya.
Misal, pada pasal 14 ayat 7 undang-undang tersebut mengatur bahwa badan dan atau
pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang
mengambil keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada
perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi anggaran.

Artinya, pelaksana tugas tidak punya wewenang dan tindakan pada perubahan rencana
kerja pemerintah baik pada alokasi anggaran, pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian pegawai. Semua hal tersebut berpengaruh pada dinamika
pemerintahan daerah.

Merujuk pada alasan di atas Pilkada tahun 2020 penting untuk dilaksanakan, karena
demokrasi tak boleh berhenti karena pandemi. Maka pelaksanaan Pilkada harus
memperhatikan sejumlah protokol kesehatan. Demi menjaga stabilitas demokrasi.

Demi Keselamatan, KPU dan Bawaslu Harus Mengikuti Protokol Kesehatan.

DPR, KPU, dan Pemerintah terkait telah mengambil sebuah keputusan politik, bahwa
Pilkada serentak akan dihelat tanggal 9 Desember 2020.

Menyambut keputusan politik tersebut, KPU & Bawaslu mengaktifkan kembali


seluruh jajaran penyelenggara Pemilu Adhoc(PPK, PPS, Panwaslu Kecamatan dan
Panwaslu Kelurahan) yang sempat dibekukan karena Covid-19. Pelaksanaan Pilkada
yang berbeda dari sebelumnya membuat penyelenggara, baik dari penyelenggara
teknis (KPU) maupun penyelenggara pengawasan (Bawaslu) harus bekerja ekstra.

Pada Pilkada tahun 2020 ini, ada beberapa perubahan yang wajib diketahui secara
bersama oleh masyarakat. Pada saat tahapan Pilkada berlangsung, KPU dan Bawaslu
harus memperhatikan protokol kesehatan selama menjalankan tugasnya. Membatasi
giat yang menghadirkan banyak massa, wajib menggunakan masker, dan harus
mencuci tangan jika bersentuhan dengan aktifitas luar.
Bahkan saat melaksanakan kegiatan Rapat Koordinasi (Rakor) yang biasanya secara
langsung (tatap muka), sekarang harus menggunakan metode daring (online) guna
membatasi penyebaran Covid-19.

Namun tidak semua kegiatan bisa dilaksanakan dengan metode daring, contohnya


adalah verifikasi faktual (Verfak) Bakal Pasangan Calon (Bapaslon) Perseorangan.
Verfak tidak mungkin dilakukan dengan metode daring. Karena verfak modelnya
adalah tatap muka langsung. Ada komunikasi langsung di situ guna mendapatkan
keterangan dukungan pada pendukung Bapaslon yang bersangkutan.

Walau tatap muka langsung sejumlah protokol kesehatan harus tetap di ikuti,
bagaimana protokolnya? Yakni dengan cara menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
saat verifikasi faktual dilaksanakan.

Semua hal tersebut merupakan upaya penyelenggara pemilu (KPU & Bawaslu)
membatasi terjadinya penyebaran Covid-19. Karena kita tidak mau
ada klaster Pilkada, setelah banyaknya istilah klaster yang terjadi pada
penyebaran Covid-19 di Indonesia. (*)

https://lombokpost.jawapos.com/opini/26/06/2020/pilkada-di-tengah-pandemi-demokrasi-tak-boleh-
mati/

Anda mungkin juga menyukai