Anda di halaman 1dari 4

Astraksi Kasus I

Menyibak Kabut Fenomena Orang Gila Serang Ustaz


Kasus penyerangan ustaz atau pemuka agama oleh orang dengan gangguan jiwa atau orang
gila dalam tempo sekitar sebulan terakhir menjadi fenomena tersendiri yang cukup menyita perhatian
masyarakat.

Kasus pertama menimpa Kiai Umar Basri, pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah,


Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada akhir Januari lalu. Kiai Umar Basri dianiaya usai
salat subuh di masjid Al Mufathalah. Berselang seminggu penganiayaan kembali terjadi pada
pengurus Persis ustaz Prawoto hingga mengakibatkan korban meninggal dunia.

Meski tidak menyerang ustaz, kasus lain yang juga menyorot perhatian terjadi di Tuban, Jawa
Timur, ketika seorang pria paruh baya diketahui mengamuk dan melakukan perusakan di Masjid Jami
Baiturrahim, Selasa (13/2) sekira pukul 01.30 WIB.  

Pihak kepolisian dengan cepat menyatakan para pelaku mengalami gangguan jiwa sehingga
tak bisa dijerat pidana.

Kesimpulan tersebut berdasarkan rujukan dari dokter spesialis kesehatan jiwa yang


menyatakan pelaku berperilaku kurang sopan, tidak menjawab pertanyaan dengan baik, dan memiliki
riwayat pernah dirawat di rumah sakit jiwa.
(Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180214184547-20-276247/menyibak-kabut-
fenomena-orang-gila-serang-ustaz).

Kesimpulan: Kasus 1 merupakan penghapusan pidana dengan alasan pemaaf, alasan pemaaf adalah
alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap
melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Dalam kasus
ini dikarenakan pelakunya tidak waras atau gila sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu, hal ini diatur dalam pasal 44 KUHP Ayat 1 dan 2.

Abstraksi Kasus II
Kasus Begal Bekasi, Tentang Membela Diri hingga Membuat Orang Tewas
Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Pol Indarto menerangkan ada dua kasus yang berbeda
dalam satu peristiwa ini. Pertama upaya pembegalan yang dilakukan Aric dan Indra (kini sudah
ditahan dan dijadikan tersangka). Kedua, "kasus karena melawan yang mengakibatkan [pelaku]
meninggal."

"Statusnya [MIB] sekarang masih jadi saksi. Hasil gelar perkara kemarin itu diperlukan saksi ahli
pidana," kata Indarto kepada Tirto, Senin (28/5/2018).

Keterangan saksi ahli pidana dibutuhkan untuk merekomendasikan apakah tindakan MIB
melanggar hukum atau tidak. Mereka perlu memastikan tindakan MIB membacok Aric sebagai
"pembelaan terpaksa" atau bukan. Apabila termasuk pembelaan terpaksa, polisi akan langsung
melepasnya sesuai Pasal 49 KUHP.

"Kalau ahli mengatakan itu kasus bela paksa, berarti yang bersangkutan tidak bisa dipidana. Tapi
kalau nanti ahli mengatakan itu tidak masuk kategori bela paksa, maka dia akan jadi tersangka," kata
Indarto.
(Sumber:https://tirto.id/kasus-begal-bekasi-tentang-membela-diri-hingga-membuat-orang-tewas-cLi1)
Kesimpulan: Kasus 2 merupakan penghapusan pidana dengan alasan pembelaan darurat atau
pembelaan terpaksa (noodweer) untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat
dekat sesuai dengan pasal 49 KUHP.Menurut pasal ini, orang yang melakukan pembelaan darurat
tidak dapat dihukum. Pasal ini mengatur alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar karena
perbuatan pembelaan darurat bukan perbuatan melawan hukum.

Abstraksi Kasus III


Kasus Ibu Bunuh Anak Kandung Dihentikan, Polisi: Pelaku Sakit Jiwa
Proses hukum terhadap Lisa (22), pelaku pembunuhan terhadap anak kandungnya, SH (3),
dihentikan. Alasan polisi, pelaku dinyatakan mengalami gangguan jiwa oleh tim dokter RS Polri
Kramat Jati.

Ibu muda ini sebelumnya tega menganiaya anak kandungnya yang masih berusia tiga tahun
hingga tewas. SH tewas dengan sejumlah luka tusuk senjata tajam di tubuhnya.

Penganiayaan dilakukan Lisa di rumah kontrakannya di Jalan Cakung Barat, RT 002/09,


Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, pada Kamis, 28 Februari 2019 malam.
(Sumber: https://metro.sindonews.com/berita/1390898/170/kasus-ibu-bunuh-anak-kandung-
dihentikan-polisi-pelaku-sakit-jiwa)

Kesimpulan: Kasus 3 merupakan penghapusan pidana dengan alasan pemaaf, alasan pemaaf adalah
alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap
melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Menurut
pasal 44 KUHP Ayat 1 yang berbunyi “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya
atau sakit berubah akal.” Oleh karena itu, dalam kasus ini pelaku dibebaskan berdasarkan alasan
pemaaf dikarenakan tidak sehat akalnya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 44 ayat 1diatas.

 Abstraksi Kasus IV

Sakit Jiwa, Pembunuh Bayi Berusia 1,8 Tahun Divonis Bebas

Pengadilan Negeri Putussibau, Kalimantan Barat, membebaskan AR, 40, terdakwa


pembunuhan terhadap bocah berusia 1,8 tahun karena menderita gangguan jiwa.

"Putusan sidang tadi melepaskan terdakwa dari tuntutan karena ada alasan pemaaf dan
terdakwa sakit jiwa, serta menempatkan terdakwa pada rumah sakit jiwa selama satu tahun untuk
perawatan," kata anggota majelis hakim Veronika Sekar Widuri, kepada Antara, di Putussibau,
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Jumat (6/3).

Sekar menjelaskan, bahan pertimbangan dalam putusan tersebut yaitu hasil pemeriksaan
dokter yang menyatakan terdakwa mengalami gangguan jiwa.

Menurut dia, terdakwa tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana dikarenakan alasan
pemaaf sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Tiada dapat
dipidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal."

Sehingga, lanjut dia, majelis hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan
segera mengeluarkan terdakwa dari dari Rumah Tahanan Kelas II B Putussibau. Kemudian, kata
Sekar, terdakwa ditempatkan di rumah sakit jiwa daerah Sungai Bangkong Provinsi Kalimantan Barat
untuk menjalani perawatan untuk waktu paling lama satu tahun.Sidang vonis bebas itu dipimpin oleh
Ketua Pengadilan Negeri Putussibau Cristian Wibowo dengan anggota majelis hakim Veronika Sekar
Widuri dan Yeni Erlita.

Pembunuhan terhadap seorang bayi berusia 1,8 tahun yang dilakukan AR, terjadi sekitar
pukul 11. 30 WIB, Rabu (19/6/2019) di komplek perkebunan kelapa sawit tepatnya di Devisi II PT
Sentra Karya Manunggal, Dusun Piyam, Desa Titin Peninjau, Kecamatan Empanang, wilayah Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat. Saat itu, orangtua korban menitipkan sang bayi ke AR untuk diasuh.
(Sumber:https://today.line.me/id/pc/article/Sakit+Jiwa+Pembunuh+Bayi+Berusia+1+8+Tahun+Divon
is+Bebas-k6r0eq)

Kesimpulan: seperti yang dijelaskan oleh anggota majelis hakim Veronika Sekar, Kasus 4 ini
merupakan penghapusan pidana dengan alasan pemaaf, Menurut pasal 44 KUHP Ayat 1 yang
berbunyi “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” Oleh
karena itu, dalam kasus ini pelaku dibebaskan berdasarkan alasan pemaaf dikarenakan tidak sehat
akalnya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 44 ayat 1diatas. Selain itu, dalam pasal 44 Ayat 2 juga
diatur “Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit , maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan”.

Abstraksi Kasus V
Idap Skizofrenia, Kompol Fahrizal Tak Bisa Dituntut
Sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Medan dengan terdakwa Kompol Fahrizal memasuki
agenda pembacaan tuntutan. Namun, Jaksa Penuntut Umum Randi Tambunan menyatakan tidak dapat
melakukan penuntutan terhadap mantan Wakil Kepala Polres Lombok Tengah itu karena terdakwa
mengalami gangguan jiwa.
Julisman, penasihat hukum terdakwa yang ditanyai wartawan usai persidangan mengatakan,
kliennya terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan sesuai Pasal 338 KUHP. Namun, tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya karena saat kejadian, kondisi kejiwaan terdakwa sedang terganggu.
Hal ini dikuatkan dengan Pasal 44 KUHP.
"Kami mengapreasiasi tuntutan jaksa, sudah sesuai fakta persidangan. Gangguan jiwa yang
dialami terdakwa sesuai dengan keterangan dokter M Ildrem. Jaksa merujuk keterangan ahli kejiwaan
itu," katanya, Senin (21/1/2019).
Kompol Fahrizal yang Tembak Adik Iparnya hingga Tewas Dibawa ke RS Jiwa
Diceritakannya, sebelum memasuki agenda tuntutan, tim penasihat hukum menolak dakwaan jaksa
dengan alasan terdakwa sudah mengalami gangguan jiwa akut atau skizofrenia paranoid sejak 2014.
Dia beberapa kali menjalani perawatan ke Klinik Utama Bina Atma di Jalan HOS Cokroaminoto,
Medan.
Penembakan yang dilakukan terdakwa dilakukannya tanpa sadar dan di luar logika. Saat itu,
terdakwa mendatangi lokasi kejadian untuk menjenguk ibunya Sukartini yang baru pulih dari sakit.
"Penyidik Polda Sumut juga melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr
Muhammad Ildrem, dokter yang memeriksa pada 23 April 2018 menyebutkan terdakwa mengalami
skizofrenia paranoid," ungkap dia.
(Sumber: https://medan.kompas.com/read/2019/01/21/21361911/idap-skizofrenia-kompol-fahrizal-
tak-bisa-dituntut)
Kesimpulan: Kasus 5 merupakan penghapusan pidana dengan alasan pemaaf, yang mana alasan
tersebut menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap
melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Menurut
pasal 44 KUHP Ayat 1 yang berbunyi “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya
atau sakit berubah akal.” Oleh karena itu, dalam kasus ini pelaku dibebaskan berdasarkan alasan
pemaaf dikarenakan pelaku mengidap skizofrenia atau gangguan kejiwaan.

Anda mungkin juga menyukai