Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diare merupakan penyebab kematian kedua pada anak-anak di bawah lima


tahun, Menurut data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2017.
Namun itu dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan dan
diobati dengan menggunakan obat antidiare. Setiap tahun diare membunuh sekitar
525 ribu anak balita. Secara global, ada hampir 1,7 miliar kasus penyakit diare
masa kanak-kanak setiap tahun. Dari sekitar 10 juta penduduk DKI Jakarta,
diperkirakan 243 ribu diantaranya menderita diare. Tiga wilayah Kota
Administratif dengan jumlah kasus diare terbesar adalah wilayah Jakarta Barat,
Jakarta Timur dan Jakarta Utara hal ini disebabkan karena lingkungan
permukiman yang padat dengan kebersihan lingkungan yang buruk (Dinkes DKI
Jakarta, 2016).

Diare merupakan keluhan yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi


buang air besar lebih dari 3 kali sehari berupa tinja berbentuk cair atau setengah
cair dan dapat disertai lendir dan darah (Setiati, 2014). Diare masih sering menjadi
Kejadian Luar Biasa (KLB) karena dapat menyebabkan kematian. Penyebab
utama kematian diare adalah dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit
melalui feses. (Christy, 2014).

Pengobatan diare secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu : pengobatan
spesifik dan non spesifik. Pada pengobatan non spesifik adalah zat-zat penekan
peristaltik, menciutkan selaput lendir usus (astringensia), dan menyerap racun
toksin (adsorbensia), sedangkan secara spesifik yakni memberantas bakteri
penyebab diare. Pengobatan diare yang umum diberikan yaitu dengan pemberian
Loperamid untuk pengobatan non spesifik yaitu dengan mengurangi peristaltik,
namun obat ini tidak boleh diberikan pada anak-anak di bawah usia 2 tahun,
sedangkan penggunakan obat antimikroba untuk pengobatan spesifik yakni

Institut Sains dan Teknologi Nasional


2

membrantas bakteri penyebab diare tidak dianjurkan untuk semua pasien diare,
karena kurang efektif (Tjay dan Rahardja, 2007).

Bahan alam yang telah diteliti sebagai obat antidiare dari keluarga
Rutaceae yaitu daun kari (Murraya koenigii) (Verma, 2018). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Das Amar dan Mohhamaad Shahriar secara terpisah, memperkuat
bukti khasiat dari daun Citrus assamensis, keduanya menyimpulkan bahwa
ekstrak daun Citrus assamensis dapat digunakan untuk mengobati diare dan
gangguan pencernaan (Amar, et al, 2013) (Shahriar,M , et al, 2018).

Tanaman lain dari keluarga Rutaceae sebagai antidiare adalah kulit batang
kawista yang memiliki senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, dan
tanin yang digunakan sebagai obat diare oleh masyarakat India dan Srilanka. Pada
kulit batang kawista dalam konsentrasi 200mg/kg memiliki aktivitas antidiare
yang digunakan dalam pengobatan diare (Qureshi Absar, 2010) (Senthilkumar,
2010).

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan pengujian


aktivitas antidiare dari ekstrak metanol kulit buah kawista yang memiliki
metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin, dan saponin belum
pernah diuji sebelumnya terhadap hewan percobaan yaitu mencit jantan yang
dibuat diare yang diinduksi menggunakan oleum ricini selanjutnya dilakukan
pengujian efek antidiare.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut, apakah ekstrak metanol kulit buah
kawista (Limonia acidissima L.) memiliki efektivitas antidiare pada mencit jantan
(Mus musculus) yang diinduksi oleum ricini ?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas maka
dapat diambil tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas

Institut Sains dan Teknologi Nasional


3

antidiare ekstrak metanol kulit buah kawista (Limonia acidissima L.) pada mencit
jantan (Mus musculus) yang diinduksi oleum ricini

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai


efek antidiare dari ekstrak metanol kulit buat kawista yang dapat bermanfaat bagi
masyarakat luas sebagai obat antidiare yang berasal dari bahan alam.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kawista (Limonia acidissima L.)

Kawista (Limonia acidissima L.) pertama kali dipublikasikan oleh Linnaeus


pada 1763. Kawista merupakan tanaman buah tropis yang termasuk dalam suku
jeruk-jerukan (Rutaceae). Secara alami jenis ini tumbuh di India, Sri Lanka,
Myanmar dan Indo-cina, tanaman ini tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan
Nusa Tenggara. Buah Beraroma khas ini berbentuk bulat dengan kulit tebal dan
keras. Buah yang telah matang sempurna sering dianggap sebagai buah busuk
karena daging buahnya berwarna cokelat kemerahan dengan biji yang
berkecambah. Pohon kawista mampu tumbuh pada lokasi dengan ketinggian
maksimal 450 mdpl. Jenis ini toleran terhadap kekeringan serta telah beradaptasi
dengan baik pada tanah yang kurang subur sehingga banyak tumbuh di daerah
pesisir (Nurdiana, et al., 2016).

Saat ini buah kawista dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam


pembuatan limun, sirup, madu mongso, dan dodol oleh masyarakat dikabupaten
Rembang dan Karawang. Namun, masyarakat di pulau Bali dan Nusa Tenggara
masih mengkonsumsi buah kawista secara langsung dengan menambah gula pasir
dan air. Tanaman kawista juga digunakan sebagai obat diare oleh masyarakat
India dan Srilanka (Nurdiana, et al., 2016).

Institut Sains dan Teknologi Nasional


5

(a) Pohon (b) Daun (c) Bunga (d) Kulit Buah (e) Buah

Gambar 2.1 Tanaman Kawista (Limonia acidissima L.)

(Nurdiana, et al., 2016)

2.1.1. Deskripsi Tanaman

Kawista tanaman asli India dan juga dibudidayakan di Indonesia,


Bangladesh, Pakistan, dan Srilanka. Tanaman kawista akan berbuah setidaknya
setelah berumur 15 tahun, buahnya matang pada awal Oktober hingga maret.
Taksonomi tanaman kawista (Limonia acidissima L.) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (Vijayvargia dan Vijayvergia, 2014).

Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Keluarga : Rutaceae
Marga : Limonia
Jenis : Limonia acidissima

Variasi Morfologi Kawista

a. Tajuk
Bentuk tajuk tanaman kawista (Limonia acidissima L.) tersusun atas
percabangan simpodial. Terdapat variasi pada ciri bentuk tajuk menjorong
dan membulat (Nurdiana, et al., 2016).
b. Batang
Batang kawista tumbuh tegak dengan ketinggian mencapai 12 meter,
percabagan simpodial. Batang kawista memiliki kulit kasar dan pecah-pecah,
warna kulit batang bervariasi yaitu abu-abu kecokelatan dan hitam keabuan.
Pada batang kawista yang masih muda terdapat duri, panjang duri 1-4,1 cm,
namun pada batang pohon yang sudah tua duri telah tereduksi (Nurdiana, et
al., 2016).
c. Daun

Institut Sains dan Teknologi Nasional


6

Daun kawista tersusun tersebar spiral pada ranting, merupakan daun majemuk
terbatas, menyirip tunggal ganjil biasanya anak daun berjumlah ganjil 5 atau
7, jarang 3, 9, 11, atau 13. Namun sering dijumpai daun tambahan pada
bagian pangkal daun majemuk sehingga diperoleh anak daun berjumlah
genap, 6, 8, 10, atau 12. Lembaran anak daun berbentuk membundar telur
sungsang dengan variasi ciri morfologi warna daun muda (hijau muda, hijau
kemerahan), ujung anak daun (tumpul, tumpul-terbelah) serta pangkal anak
daun (tumpul, meruncing, tumpul-meruncing, tumpul-melancip, tumpul-
meruncing-melancip) (Nurdiana, et al., 2016).
d. Bunga
Bunga kawista merupakan bunga malai, terletak di ujung ranting atau ketiak
daun. Setiap malai tersusun atas bunga jantan dan hermaprodit atau jantan
saja. Kelopak bunga berjumlah 5, berbentuk membundar telur dan berujung
runcing dengan variasi warna kelopak bunga yakni hijau kemerahan dan
merah. Mahkota bunga ciliolate, berjumlah 5 dengan variasi warna mahkota
bunga yaitu kuning kehijauan dengan sedikit merah di ujung dan kuning
pucat dengan sedikit merah di ujung. Panjang putik 0,7-1 cm, diameter
ovarium 0,4-0,6 cm. Benang sari bertangkai pendek 0,3 cm, berjumlah 9-12,
kepala sari memanjang dengan variasi warna kepala sari yaitu kuning
kemerahan dan merah, panjang kepala sari 0,4-0,5 cm (Nurdiana, et al.,
2016).
e. Buah
Buah kawista berbentuk bulat, diameter antara 6-10 cm. Kulit buah kasar,
keras seperti kayu dan tebalnya 2,5-4 mm. Warna kulit buah coklat keabuan,
dan abu-abu kehijauan, warna daging buah cokelat kemerahan dan cokelat
muda-tua. Daging buah yang berwarna cokelat kemerahan memiliki daging
buah yang lebih cenderung berair dan rasa yang manis sedangkan daging
buah yang berwarna cokelat muda-cokelat tua memiliki daging buah yang
cenderung lebih kering dan rasa yang asam. Biji berbentuk bulat telur,
berjumlah banyak dan menyebar pada daging buah, tebal 2 mm, lebar 4 mm,
dan panjang 8 mm, kulit bii berserabut berwarna cokelat muda, kuning
kecokelatan, dan krem (Nurdiana, et al., 2016).

Institut Sains dan Teknologi Nasional


7

2.1.2.Kandungan Senyawa Kimia

Kandungan kimia atau metabolit sekunder menunjukkan adanya alkaloid,


flavonoid, fenol, terpenoid, tanin, lemak steroid, saponin, glikosida. Buah mentah
mengandung stigmasterol. Daging buah mengandung jumlah besar asam sitrat,
mineral alkaloid, kumarin, asam lemak. Daun mengandung stigmasterol, psoralen,
bergapten, orientin, vitedin, saponarin, tanin, dan minyak atsiri. Kulit kayu
mengandung marmesin, feronolide dan feronone (Vijayvargia dan Vijayvergia,
2014).

2.1.3.Khasiat dan Manfaat

Buahnya dapat digunakan sebagai obat diare. Kulit dan daun tanaman
digunakan untuk tumor, asma, luka, kelemahan jantung dan hepatitis dan daunnya
dilaporkan memiliki aktivitas hepatoprotektif. Secara tradisional daunnya telah
digunakan sebagai pada pengobatan diare, penyembuhan luka dan bisul
(Vijayvargia dan Vijayvergia, 2014).

Kulit batang kawista memiliki berbagai kandungan kimia yang bermanfaat


digunakan dalam pengobatan diare, memiliki aktivitas antidiare dalam konsentrasi
200mg/kg (Senthilkumar, 2010). Ekstrak buah kawista memiliki aktivitas
antidiabetes dan memiliki konsentrasi 200 dan 400 mg /kg dapat menurunkan
kadar glukosa (Ilango, 2009). Ekstrak buah kawista menunjukkan efek antikanker
setelah 48 jam paparan, fraksi pada konsentrasi 100µg/ml mengurangi proliferasi
sel di kedua sel kanker (Pradhan, 2012).

2.2. Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian
tanaman dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi yang spontan keluar
dari tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau
zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masih belum

Institut Sains dan Teknologi Nasional


8

berupa zat kimia murni. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh,
bagian hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa zat kimia
murni. Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik telah diolah atau
belum, tidak berupa zat kimia murni (FI III, 1979).

2.3. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental dan cair, kental atau kering yang merupakan
hasil proses ekstraksi atau penyarian suatu matriks atau simplisia menurut cara
yang sesuai. Ekstrak cair diperoleh dari ekstraksi yang masih mengandung
sebagian besar cairan penyari. Ekstrak kental akan didapat apabila sebagian besar
cairan penyari sudah diuapkan, sedangkan ekstrak kering akan diperoleh jika
sudah tidak mengandung cairan penyari (Hanani, 2014).

Proses pembuatan ekstrak dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

(Parameter standar umum ekstrak tumbuhan, 2000) :

1. Pembuatan serbuk simplisia


Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia
kering sampai derajat kehalusan tertentu.
2. Cairan pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
demikian senyawa tersebut dapat dipisahkan dari senyawa kandungan lainnya,
serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang
diinginkan. Cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit
sekunder yang terkandung. Saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang
diperbolehkan adalah air dan etanol serta campurannya. Jenis pelarut lainnya
seperti metanol, heksana, toluen, kloroform, dan aseton umumnya digunakan
sebagai pelarut untuk tahap pemisahan dan tahap pemurnian (fraksinasi).
3. Pemisahan dan pemurnian
Tahap ini bertujuan untuk memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki
semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang

Institut Sains dan Teknologi Nasional


9

dikehendaki sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada


tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak bercampur,
sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan penukar ion.
4. Pemekatan/penguapan (evaporasi)
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partikel solute (senyawa terlarut) secara
penguapan pelarut sampai ekstrak menjadi kental/pekat.
5. Redemen
Redemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia
awal.

2.4. Ekstraksi
2.4.1. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut


sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain.
Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. (Parameter
standar umum ekstrak tumbuhan, 2000).

2.4.2. Metode Ekstraksi


1. Ekstraksi dengan pelarut
a. Cara dingin
1) Maserasi
Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia yang
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip pencapaian konsentrasi pada keseimbangan.
Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukkan yang terus menerus.
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya.
2) Perkolasi

Institut Sains dan Teknologi Nasional


10

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai


penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi
antara dan tahap perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan
ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang
jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara Panas
1) Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga
dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
2) Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
yang berkelanjutan dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kuntinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
4) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur
terukur 96-98oC) Selama waktu tertentu (15-20 menit).
5) Dekok
dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (>30 menit) dengan
temperatur sampai titik didih air.

2. Destilasi Uap

Institut Sains dan Teknologi Nasional


11

Destilasi uap adalah ekstraksi kandungan senyawa mudah menguap dari bahan
segar atau simplisia dengan uap air. Cara ini didasarkan pada peristiwa
tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel
secara berlanjut sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap
campuran menjadi destolasi air bersama senyawa kandungan yang memisah
sempurna atau memisah sebagian.

2.5. Diare
2.5.1. Definisi
Menurut WHO (2013), diare berasal dari bahasa yunani yaitu diarroia.
Diare terdiri dari 2 kata yaitu dia (melalui) dan rheo (aliran). Pada diare terdapat
gangguan resorpsi, sedangkan sekresi getah lambung-usus dan motilitas usus
meningkat. Menurut teori klasik diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik
usus tersebut, sehingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih
mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Tjay dan
Rahardja, 2007).

2.5.2. Penyebab Diare


Berdasarkan penyebab diare dapat dibedakan menjadi: (Tjay & Rahardja, 2007).
1) Diare karena infeksi, meliputi:
a. Diare akibat virus
Diare disebabkan oleh rotavirus dan adenovirus. Mekanisme
terjadinya diare yaitu dengan cara virus melekat pada sel-sel mukosa usus,
yang menjadi rusak sehingga kapasitas resopsi menurun, sekresi air dan
elektrolit memegang peran peranan. Diare yang terjadi dapat bertahan
terus sampai beberapa hari sesudah virus lenyap dengan sendirinya,
biasanya dalam 3-6 hari.
b. Diare akibat bakteri (invasif)
Mekanisme terjadinya diare ini adalah bakteri-bakteri tertentu pada
keadaan tertentu, contohnya bahan makanan yang terinfeksi oleh banyak
kuman menjadi “invasif” dan menyerbu kedalam mukosa. Kemudian
bakteri memperbanyak diri dan membentuk toksin-toksin yang dapat

Institut Sains dan Teknologi Nasional


12

diresorpsi ke dalam darah dan menimbulkan gejala hebat (seperti:demam


tinggi, nyeri kepala, dan kejang-kejang, mencret berdarah dan berlendir).
Bakteri yang biasanya menyebabkan diare ini adalah bakteri Salmonella,
Shigella, Campylobacter, dan jenis Coli tertentu.
c. Diare parasiter
Seperti Protozoa Entamoeba histolitica, Giardia lambia,
Crytosporidium, dan Cylospora yang terutama terjadi didaerah sub tropis.
Adapun ciri dari diare ini adalah mencret cairan yang intermiten, bertahan
lebih lama dari satu minggu. Gejala lainnya dapat berupa nyeri perut,
demam, anoreksia, nausea, muntah-muntah, dan rasa letih umum.
d. Diare akibat enterotoksin
Penyebabnya adalah kuman-kuman yang membentuk enterotoksin,
yang terpenting adalah E.coli dan Vibro cholerae, dan jarang Shigella,
Salmonella, Camphylobacter, dan Entamoeba histolytica. Diare ini terjadi
dengan cara toksin melekat pada sel-sel mukosa dan merusaknya.diare ini
bersifat “self limiting” artinya akan sembuh dengan sendirinya tanpa
pengobatan dalam lebih kurang 5 hari, setelah sel-sel yang rusak diganti
dengan sel-sel mukosa baru
e. Penyebab lain
1. Diare karena alergi makanan/minuman dan intoleransi
2. Diare karena gangguan gizi
3. Diare karena kekurangan enzim tertentu
4. Diare disebabkan karena pengaruh psikis seperti keadaan terkenjut dan
ketakutan.
2.5.3. Pengobatan Diare
Pengobatan diare dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu:
a. Pengobatan spesifik, dilakukan dengan memberikan obat-obat
kemoterapeutik setelah diketahui penyebab yang pasti melalui
pemeriksaan laboratorium. Diberikan pada keadaan infeksi.
b. Pengobatan non spesifik, dilakukan dengan pengurangi peristaltik otot
polos usus, menciutkan selaput lendir usus (astringensia), menyerap
racun dan toksin (adsorbensia) dan memberikan cairan elektrolit.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


13

Kelompok obat yang sering digunakan pada keadaan diare, yaitu:


a. Kemoterapeutik, untuk terapi kausal yaitu memberantas bakteri
penyebab diare, seperti antibiotik, sulfonamid, kuinolon dan
furazolidon.
b. Obstipansia, untuk terapi simptomatis, yang dapat menghentikan diare
dengan beberapa cara, yaitu:
1. Zat-zat penekan peristaltik, sehingga memberikan lebih banyak
waktu untuk absorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus.
Termasuk kedalam kelompok ini adalah candu dan alkaloidnya,
derivat-derivat petidin (difenoksilat dan loperamid) dan
antikolonergika (atropin dan ekstrak belladonna).
2. Astringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam
samak (tanin) dan tannalbumin, gara-garam bismuth dan
alumunium.
3. Adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya
menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun atau toksin yang dihasilkan
oleh bakteri atau yang berasal dari makanan.
c. Spasmolitika, yaitu zat-zat yang dapat meredakan kejang-kejang otot
yang sering kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, misalnya
papaverin dan oksifenonium (Tjay & Rahardja, 2007).

2.6. Hewan Uji Mencit

Mecit merupakan hewan yang paling banyak digunakan untuk hewan model
laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%, mencit banyak
digunakan sebagai hewan percobaan untuk laboratorium (khususnya digunakan
dalam penelitian biologi). Mencit memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus esterus yaitu 4-5 hari. Kondisi kurang untuk
pemeliharaan mencit harus selalu senantiasa bersih, kering dan jauh dari
kebisingan. Suhu ruangan pemeliharaan juga harus dijaga kisaran antara 18-19 oC
serta kelembapan udara antara 30-70%.

Mencit biasanya tidak agresif sehingga mudah ditangani, namun juga


menggigit jika mengalami ketakutan. Mencit juga memiliki keunggulan-

Institut Sains dan Teknologi Nasional


14

keunggulan seperti siklus hidup relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak,
variasi sifat-sifatnya tinggi. Ada beberapa keunggulan yang dimiliki mencit yaitu:
cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik
tinggi dan sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Anonim,
2016).

Klasifikasi mencit (Mus musculus) sebagai berikut (Akbar, 2010) :

Kerajaan : Hewan
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub-Ordo : Myoimorphia
Suku : Muridae
Marga : Mus
Jenis : Mus musculus

Gambar 2.2 Hewan Uji Mencit


(Mus musculus L.)
(Akbar, 2010)

Institut Sains dan Teknologi Nasional


15

2.6.1. Perlakuan pada hewan coba

Gambar 2.3 Teknik Pegang Mencit (Stevani, 2016)

Mencit diangkat dengan cara memegang ekor kearah atas dengan tangan
kanan, lalu letakkan mencit di permukaan kasar biarkan mencit menjangkau atau
mencengkram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan
biru jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuk mencit seat atau setengah
mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan
jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri
dan siap untuk diberi perlakuan (Stevani, 2016).

2.6.2. Penanganan Hewan Uji

Pemberian atau pemejanan sediaan uji pada mencit dapat melalui jalur
sebagai berikut:

1. Oral
Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral. Sonde oral
ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian perlahan-lahan
dimasukkan sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
2. Intra vena

Institut Sains dan Teknologi Nasional


16

Mencit dimasukkan ke dalam kandang retriksi mencit dengan ekornya


menjulur keluar. Ekornya dicelupkan kedalam air hangat (28-30 0C) agar
pembuluh vena ekor mengalami dilatasi, sehingga memudahkan pemberian
obat ke dalam pembuluh vena. Pemberian obat dilakukan dengan
menggunakan jarum suntik no 24.
3. Intra peritonial
Pada saat penyuntikkan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum
disuntikkan dengan sudut sekitar 100 dari abdomen pada daerah sedikit
menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak mengenai kandung kemih.
Penyuntikkan tidak di daerah yang terlalu tinggi untuk menghindari
terjadinya penyuntikkan pada hati.
4. Intramuskular
Obat disuntikkan pada paha posterior dengan jarum suntik no 24.
5. Subkutan
Kulit di daerah tengkuk diangkat dan ke bagian bawah kulit dimasukkan
obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml dan jarum ukuran 27G/0,4 mm.
Selain itu juga bisa di daerah belakang mencit.

2.7. Loperamid Hidrokloridum

.HCl

Gambar 2.4 Rumus Bangun Loperamid Hidroklorida

Loperamidi Hydrochloridum atau Loperamid Hidrokliroda (4- (p-


Klorofenil)- 4- hidroksi- N, N- dimetil- α, α- difenil- 1 piperidina butiramida
monohidroklorida) mempunyai rumus kimia C29H33ClN2O2.HCl dan berat molekul
513,51. Pemerian berupa serbuk putih sampai agak kuning, melebur pada suhu

Institut Sains dan Teknologi Nasional


17

lebih kurang 2250 disertai peruraian. Mudah larut dalam metanol, dalam isopropil
alkohol dan kloroform, sukar larut dalam air dan dalam asam encer (FI V, 2014).
Derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang 2-3 kali lebih kuat
tetapi tanpa khasiat terhadap susunan saraf pusat, sehingga tidak mengakibatkan
ketergantungan. Zat ini dapat menormalkan kembali keseimbangan absorpsi dan
sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam kondisi
hipersekresi ke keadaan absorpsi normal. Mulai kerjanya lebih cepat, juga
bertahan lebih lama. Efek samping berupa rasa mengantuk, pusing dan mulut
kering. Efek samping sangat jarang terjadi (Tjay & Rahardja, 2007).

2.8. Oleum Ricini

Minyak jarak adalah minyak lemak yang diperoleh dengan cara memeras
biji Ricinus communis suku euphorbiaceae (suatu trigliserida asam risonoleat dan
asam lemak jenuh. Minyak jarak diubah dalam usus halus menjadi asam risinoleat
yang sangat iritatif terhadap usus dan segera meningkatkan peristaltic. Di dalam
usus halus minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam
risinoleat, asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif yang memiliki efek
stimulasi terhadap usus halus.

Minyak jarak juga bersifat emoilien, sebagai pencahar obat ini tidak
banyak digunakan lagi, karena dapat menyebabkan kolik, dan dehidrasiyang
disertai gangguan elektrolit. Namun obat ini merupakan bahan induksi diare pada
penelitian diare secara eksperimentalpada hewan percobaan. Minyak jarak
medicinal adalah cairan tidak berwarna atau bewarna kuning pucat, berbau lemah,
dan rasa sedikit menggigit, serta viskositas yang tinggi. Minyak jarak yang
mengandug 46%- 53% minyak lemah yang terdiri dari 80% gliserida asam-asam
risinoleat, isoresinoleat, stearat, dihidroksistearat, dan palmitat (Azizi, 2012).

Institut Sains dan Teknologi Nasional


18

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis eksperimental. Uji Efektivitas Antidiare


Ekstrak Metanol Kulit Buah Kawista (Limonia acidissima L.) Pada Mencit Jantan
(Mus musculus) yang diinduksi Oleum ricini.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Farmakologi, Fakultas


Farmasi, Institut Sains dan Teknologi Nasional. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Oktober 2019 – Januari 2020.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian


3.3.1. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven (Memmert),


timbangan analitik (CHQ), timbangan mencit, stopwatch (Casio), vacum rotary
evaporator (BUCHI B-740), kandang mencit dengan alas diberi serutan kayu,
kandang mencit untuk pengamatan, waterbath, cawan penguap (Pyrex), cawan
porselin (Pyrex), gelas kimia (Pyrex), tabung reaksi (Pyrex), blender (Philips),
sonde oral, spuit injeksi, batang pengaduk, kertas saring, masker, sarung tangan,
gunting, botol kaca, corong, pisau, Alumunium Foil, lemari es, dan peralatan
pendukung lainnya.

3.3.2. Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Bahan Uji

Institut Sains dan Teknologi Nasional


19

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kulit Buah Kawista
(Limonia acidissima L.) yang diperoleh dari Buah Kawista (Limonia acidissima
L.) segar yang sudah matang dengan daging buah berwarna cokelat kemerahan,
yang diperoleh dari Kota Karawang, Jawa Barat yang kulit buahnya dipisahkan
dari daging buah, kemudian dideterminasi di Bidang Botani Pusat Penelitian
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor untuk
membuktikan bahwa benar buah kawista.

b. Bahan Kimia
a. Bahan yang digunakan untuk proses maserasi adalah Metanol
(Herbalux®) Pelarut Metanol merupakan pelarut yang paling banyak
digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam.
b. Bahan kimia yang digunakan untuk penampisan fitokimia adalah HCl
2N (Merck), Pereaksi bouchardat (Nitrakimia), pereaksi mayer
(Nitrakimia), Serbuk Mg, Asam klorida pekat (Merck), H2SO4 Pekat
(Merck), Feri (III) Klorida (Merck), eter (Merck), asetat anhidrat
(Merck), dan aquadest (Herbalux®).
c. Bahan untuk uji efektivitas antidiare adalah Loperamid HCl.
d. Bahan untuk menginduksi diare yaitu Oleum ricini.

3.4. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih jantan
(Mus musculus) galur Deutche Denken Yoken (DDY) berumur 2-3 bulan dengan
bobot 20-30 g. Hewan percobaan diperoleh dari Pertenakan Hewan Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebanyak 25 mencit yang
dibagi 5 kelompok yang terdiri dari 5 ekor jumlah mencit dihitung dengan rumus
Federer. Mencit diadaptasi dengan lingkungan percobaan selama 7 hari sebelum
penelitian dilakukan dengan memberi makan dan minum setiap hari. Semua
hewan uji dipelihara dengan kondisi yang sama. Bila akan digunakan dalam
penelitian hewan uji dipuaskan terlebih dahulu selama 30 menit tanpa diberi
makan, tetapi tetap diberikan minum. Hal ini bertujuan untuk memberikan ruang
yang cukup dalam lambung untuk pemberian perlakuan.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


20

3.5. Prinsip Percobaan


Pembuatan ekstrak metanol kulit buah kawista (Limonia acidissima L.)
dilakukan dengan metode maserasi. Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut
metanol selama 1x24 jam dengan perbandingan 1:10 sambil sesekali diaduk,
Remaserasi dilakukan sebanyak 2 kali dengan metanol yang baru dengan
perbandingan yang sama. Filtrat dipisahkan dari pelarutnya dengan menggunakan
vacuum rotary evaporator, kemudian dilakukan penampisan fitokimia terhadap
ekstrak metanol kulit buah kawista dan serbuk simplisia kulit buah kawista
meliputi uji alkaloid, terpenoid/steroid, flavonoid, saponin dan tanin.

Penelitian ini menggunakan metode proteksi diare beberapa kelompok


perlakuan, yang dikelompokkan menjadi 5 kelompok dengan jumlah 25 ekor
mencit, yaitu kontrol negatif dengan Na-CMC 1%, kontrol positif dengan suspensi
Loperamid HCl 7 mg/kgBB, dan 3 variasi ekstrak kulit buah kawista 100, 200,
400 mg/kgBB. Mencit diinduksi dengan menggunakan oleum ricini 0,5 ml/ ekor
secara oral. Parameter yang diamati yaitu mulai terjadinya diare, konsistensi feses,
berat feses, frekuensi terjadinya diare dan lama terjadinya diare . Kemudian dibuat
perhitungan efek antidiare, data efek antidiare dianalisis dengan menggunakan
statistik dengan menggunakan Uji SPSS (statistical product and service solution)
dan Uji ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Tukey.

3.6. Tahapan Penelitian


3.6.1.Determinasi Bahan Uji

Determinasi dimaksudkan untuk menetapkan kebenaran sampel tanaman


yang digunakan dalam penelitian. Determinasi buah kawista dilakukan di
Laboratorium Herbarium Bogoriense, bidang botani pusat penelitian Biologi LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Cibinong-Bogor, Jawa Barat.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


21

3.6.2.Pengajuan Etik Penelitian

Pengajuan surat permohonan kepada bidang Komite Etik Penelitian


Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Veteran Jakarta,
untuk membantu peneliti dalam hal menjaga etika penelitian, sehingga pengujian
dapat dilakukan sesuai prosedur.

3.6.3.Pengambilan bahan dan Pembuatan Serbuk Kulit Buah Kawista

Buah kawista diambil dari Kota Karawang, Jawa Barat. Buah dipanen
setelah masak, beraroma khas. berbentuk bulat dengan kulit tebal dan keras. Buah
yang telah matang sempurna sering dianggap sebagai buah busuk karena daging
buah yang berwarna cokelat kemerahan. Buah kawista yang sudah disiapkan
kemudian dipisahkan dari daging buah dan kulit buahnya, kulit buah lalu dipotong
kecil-kecil agar mudah dalam proses pengeringan. Kemudian kulit buah
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, selanjutnya dibuat serbuk dan
dilakukan pengayakan dengan mesh 60 untuk memperoleh serbuk simplisia yang
homogen.

3.6.4.Pembuatan Ekstrak Metanol Kulit Buah Kawista

Serbuk kulit buah kawista (Limonia acidissima L.) dimaserasi dengan


menggunakan metanol, sebanyak 500 g serbuk dalam 5 L pelarut (1:10) selama 24
jam dengan sesekali diaduk. Remaserasi dilakukan sebanyak dua kali dengan
metanol yang baru dengan perbandingan yang sama. Filtrat dipisahkan dari
pelarutnya pada suhu 50-58oC dengan menggunakan vacuum rotary evaporator,
kemudian dipekatkan dengan waterbath, sehingga diperoleh ekstrak kental kulit
buah kawista dan disimpan pada botol gelap.

3.6.5.Perhitungan Redemen Ekstrak Metanol Kulit Buah Kawista


Nilai redemen didapat dengan membagi berat ekstrak dengan berat
simplisia. Dari perhitungan redemen dapat diketahui nilai kesetaraan tiap gram
ekstrak simplisia (Komala, Ike & Rita, 2012)
Bobot Ekstrak
Redemen Ekstrak = x 100 % (3.1)
Bobot Simplisia

Institut Sains dan Teknologi Nasional


22

3.6.6.Penampisan Fitokimia Ekstrak Metanol Kulit Buah Kawista

Penapisan fitokimia dilakukan dengan menggunakan metode standar dan


menghailkan deteksi pada kandungan metabolit sekunder seperti : Alkaloid,
Flavonoid, Saponin, Tanin, dan Triterpenoid.

1. Alkaloid
Ditimbang 500 mg esktrak dan Serbuk Simplisia ditambahkan 1 ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air, lalu dipanaskan diatas penangas air selama 2
menit. Didinginkan dan disaring. Dipindahkan filtrat pada 2 tabung reaksi.
Pada tabung reaksi 1 + 2 tetes pereaksi Bouchardat, jika positif terbentuk
endapan berwarna coklat sampai hitam.
Pada tabung reaksi II + 2 tetes pereaksi Mayer, jika positif terbentuk
endapan berwarna putih atau kuning (Depkes RI,1995).
2. Identifikasi Flavonoid
Identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara 1 g serbuk ditambahkan 100
ml air panas, dididihkan selama 5 menit, disaring dengan kertas saring, 5
ml larutan percobaan (dalam tabung reaksi) ditambah serbuk atau lempeng
magnesium secukupnya dan ditambah 1 ml asam klorida pekat.
Terbentuknya warna orange, atau jingga menunjukkan adanya senyawa
flavonoid (Katrin Bendra, 2015).
3. Identifikasi Saponin
Identifikasi saponin dilakukan dengan cara sebanyak 1 g serbuk
ditambahkan air panas 100 ml selama 5 menit, saring filtrat digunakan
untuk percobaan berikutnya. Sebanyak 10 ml larutan dalam tabung reaksi
dan dikocok selama 10 detik secara vertikal, kemudian dibiarkan 10 menit.
Terbentuknya busa yang stabil dalam tabung reaksi menunjukkan adanya
senyawa golongan saponin, bila ditambahkan 1 tetes asam klorida 2N busa
tetap stabil (Depkes RI, 1995).
4. Identifikasi Tanin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dan serbuk ditambahkan dengan 100 ml aquadest,
dididihkan selama 15 menit, kemudian didinginkan dan disaring dengan
menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diambil 30 ml,
ditambahkan beberapa tetes besi (III) klorida 1 % terbentuknya warna biru

Institut Sains dan Teknologi Nasional


23

tua atau hijau kehitaman-hitaman menunjukkan adanya senyawa tannin


(Djamil danWijiastuti, 2015).
5. Identifikasi Terpenoid
Identifikasi terpenoid dilakukan dengan cara sebanyak 1 g ekstrak dan
serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam kemudian
disaring dan diuapkan dalam cawan penguap hingga diperoleh residu, lalu
residu ditambahkan 2 tetes asetat anhidrat, kemudian dipindahkan kedalam
tabung reaksi dan ditambahkan perlahan-lahan 1 tetes H2SO4 Pekat melalui
dinding tabung. Adanya terpenoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna
cokelat-ungu (Habibi, 2018)
3.6.7.Pemilihan dan Pengadaptasian Hewan Uji
1. Perhitungan Jumlah Hewan Uji

Pada penelitian ini menggunakan mencit dengan 5 kelompok


perlakuan, maka tiap perlakuan terdiri dari masing-masing 5 ekor mencit.
Mencit jantan jenis Mus musculus diaklimatisasi terlebih dahulu selama 1
minggu sebelum percobaan dilakukan, agar hewan uji dapat beradaptasi
dengan lingkungan baru mengontrol kesehatan dan menyeragamkan
makanannya.

Perhitungan menggunakan mencit ini berdasarkan rumus Federer, yaitu :

(t-1)(n-1) ≥ 15 (3.2)

Dimana : t = Jumlah Kelompok Uji = 5

n = Jumlah sampel perkelompok perlakuan

Maka : (t-1)(n-1) ≥ 15

(5-1)(n-1) ≥ 15

4(n-1) ≥ 15

4n-4 ≥ 15

4n ≥ 15 + 4

4n ≥ 19

Institut Sains dan Teknologi Nasional


24

19
n ≥
4

n ≥ 4,75 ≈ 5

Jadi, mencit yang digunakan yaitu 5 ekor mencit untuk setiap


kelompok perlakuan.

2. Persiapan Hewan Uji

Sebelum digunakan hewan uji terlebih dahulu di aklimatisasi


selama seminggu di kandang hewan dengan tujuan dapat menyesuaikan
hewan uji dengan lingkungannya. Selama perlakuan mencit diberi makan
dan minum dan dilakukan pengamatan rutin terhadap keadaan umum dan
penimbangan berat badan mencit. Sebelum dilakukan perlakuan, hewan uji
dipuasakan selama 30 menit dan hanya diberikan minum dan ditimbang
sebelum diberi perlakuan. Jumlah mencit yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu sebanyak 25 mencit dibagi menjadi 5 kelompok yang terdiri dari
5 ekor. Kelompok perlakuan hewan uji antidiare dapat dilihat pada tabel
3.1.

Tabel 3.1 Kelompok Perlakuan

No Kelompok Perlakuan Jumlah Mencit


1 Kelompok 1 Kontrol Negatif (CMC Na 1 5
%)
2 Kelompok 2 Kontrol Positif (Loperamid 5
HCl 7 mg/kgBB)
3 Kelompok 3 Ektrak Metanol Kulit Buah 5
Kawista 100mg/kgBB
4 Kelompok 4 Ektrak Metanol Kulit Buah 5
Kawista 200mg/kgBB
5 Kelompok 5 Ektrak Metanol Kulit Buah 5
Kawista 400mg/kgBB

3. Penyiapan Bahan

Institut Sains dan Teknologi Nasional


25

Penyiapan bahan-bahan meliputi suspensi CMC Na sebagai kontrol


negatif, Loperamid HCL sebagai kontrol positif, dan 3 variasi dosis
ekstrak metanol kulit buah kawista dan oleum ricini sebagai induktor.
a) Pembuatan Suspensi CMC Na 1 % (b/v)
Larutan CMC Na 1 % dibuat dengan cara menimbang 1 g CMC Na
kemudian ditambahkan air panas 20 ml, dibiarkan sampai
mengembang, digerus lalu diencerkan dengan aquadest hingga 100
ml
b) Pembuatan Suspensi Loperamid HCl
Dosis Lazim Loperamid HCl untuk manusia dewasa adalah 6-8
mg/kgBB. Pada penelitian ini digunakan dosis 7 mg/kgBB dengan
faktor konversi dari manusia ke mencit adalah 0,0026. Sehingga
dosis yang diberikan untuk mencit BB 20 g sejumlah 0,015 mg.
Rumus Konversi dari manusia ke mencit (Lucia, 2016):
Dosis pada manusia x Faktor Konversi (3.3)
= 7 mg x 0,0026
= 0,0182 mg/20 g BB mencit
c) Penentuan Dosis Ekstrak
Variasi dosis yang digunakan pada ekstrak metanol kulit buah
kawista yaitu 100 mg/kg BB mencit, 200 mg/kg BB mencit, 400
mg/kg BB mencit yang diberikan secara peroral. Untuk emncit
dengan BB 20 g diberikan suspensi ekstrak sebagai berikut (Lucia,
2016) :
 Kelompok 3 (100 mg/kg BB mencit)
 Kelompok 4 (200 mg/kg BB mencit)
 Kelompok 5 (400 mg/kg BB mencit)

3.6.8.Pelaksanaan Uji Efektivitas Antidiare


1. Uji Pendahuluan
Sebelum dilakukan penelitian ini, dilakukan percobaan pendahuluan yang
berguna untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
penelitian ini, antara lain meliputi:

Institut Sains dan Teknologi Nasional


26

a. Perlakuan Hewan Uji


Hewan uji sebelum diberikan perlakuan, dipuasakan terlebih dahulu
selama 30 menit tetapi tetap diberikan minum. Hal ini bertujuan untuk
memberikan ruang yang cukup dalam lambung untuk pemberian
perlakuan.
b. Penentuan Dosis Ekstrak Metanol Kulit Buah Kawista
Penentuan dosis ekstrak kulit buah kawista ini ditetapkan
berdasarkan percobaan pendahuluan yang dilakukan, hal ini karena
belum ada keterangan tentang dosis penggunaan ekstrak metanol kulit
buah kawista sebagai antidiare.
Pada percobaan pendahuluan ini menggunakan acuan dosis
200mg/kg BB karena pada penelitian sebelumnya pada kulit batang
kawista memiliki efek antidiare dengan dosis 200mg/kgBB.
Dan hasil percobaan pendahuluan didapatkan bahwa dosis ekstrak
metanol kulit buah kawista adalah 100mg/kgBB, 200mg/kgBB dan
400mg/kgBB.
2. Prosedur Uji Efektivitas Antidiare
Urutan penelitian sebagai berikut :
a. Mencit diadaptasi dengan lingkungan penelitian selama satu minggu.
b. 30 menit sebelum penelitian, mencit dipuasakan, selanjutkan di
timbang secara acak dan di kelompokkan menjadi 5 kelompok masing-
masing 5 ekor berdasarkan rumus federer
c. Semua mencit diberikan oleum ricini sebanyak 0,5 ml/ekor mencit
secara peroral.
d. 30 menit setelah pemberian oleum ricini masing-masing kelompok
diberi perlakuan, yaitu kelompok I diberikan CMC Na 1 % sebagai
kontrol negatif, kelompok II diberikan Loperamid HCl 7 mg/kg BB
sebagai kontrol positif dan Kelompok III, IV dan V masing-masing
diberikan ekstrak metanol kulit buah kawista dosis 100, 200, 400
mg/kgBB semua perlakuan diberikan secara oral.
e. Dilakukan pengamatan setiap 30 menit selama 8 jam meliputi saat
mulai terjadinya diare, konsistensi feses (Padat, Padat Lembek,

Institut Sains dan Teknologi Nasional


27

Lembek, Lembek Cair, dan Cair), berat feses, frekuensi diare dan lama
terjadi diare.

Cara pengamatan parameter :

a. Diare ditandai dengan buang air besar dimana frekuensinya meningkat


dari keadaan normal dan konsistensi feses yang lebih lembek atau cair.
b. Saat mulai terjadinya diare, caranya dengan mencatat waktu mula-
mula terjadinya diare (dalam menit) setelah pemberian oleum ricini.
c. Konsistensi feses, caranya dengan melihat feses mencit apakah Padat,
Padat Lembek, Lembek, Lembek Cair, dan Cair
d. Berat feses, caranya dengan menimbang berat feses (dalam gram)
setiap 30 menit setelah pemberian oleum ricini.
e. Frekuensi diare, caranya dengan menghitung berapa kali terjadi diare
selama pengamatan.
f. Lama terjadinya diare, caranya dengan mencatat selisih waktu terakhir
terjadinya diare (saat konsistensi feses kembali normal) dengan waktu
mula-mula terjadinya diare (saat konsistensi Cair) dalam menit.
(Winda, 2009) (Linda, 2013).

3.6.9.Analisis Data

Data hasil pengamatan konsistensi feses dianalisis secara statistik dengan


Analisis statistik ini menggunakan program SPSS (statistical product and service
solution) dan Uji ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Tukey.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


28

3.6.10. Tahapan Penelitian

Kulit Buah Kawista Determinasi Ethical Clearance


(Limonia acidissima L.)
Pengolahan bahan : (Kaji Etik)
Serbuk Kulit Buah Kawista 1. Sortasi basah
2. Pencucian Mencit diaklimatisasi
Ekstraksi dengan cara 3. Pengeringan selama 7 hari
maserasi 4. Sortasi kering
5. Penyerbukan
6. Penyimpanan Mencit dipuasakan 30
Diuapkan dengan rotary
Penampisan fitokimia: menit dengan tetap diberi
vacum evaporator
minum
1. Alkaloid
2. Flavonoid
Ekstrak Kental 3. Saponin
4. Tanin
5. Steroid/Triterpe
noid

Induksi dengan
Oleum ricini

Setelah 30 menit diinduksi


dengan Oleum ricini

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6


Suspensi
Loperamid HCl
CMC Na 1% 6 mg/kgBB Ekstrak Ekstrak Ekstrak
100mg/kgBB 200mg/kgBB 400mg/kgBB

Parameter Pengujian :

1. Saat mulai diare


2. Konsistensi diare
3. Berat feses
4. Frekuensi diare
5. Lama terjadinya diare

Institut Sains dan Teknologi Nasional


29

Analisis Data

Hasil

Gambar 3.1 Skema Tahapan Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Azizi, Tamzil Musdar. (2012). UJI AKTIVITAS ANTI DIARE EKSTRAK


ETANOL DAUN SALAM (Poliyanthi folium) PADA MENCIT (Mus
musculus) YANG DI INDUKSI OLEUM RICINI. Makasar : Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Akbar, B. (2010). Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang Berpotensi


Seabagai bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press. Hal 6-7.

Amar. Das Jyoti., dkk. (2013). Ethno medicinal study of threatened plants of
Sonitpur district in Assam, North East India. IRJP. 4: 146-149.

Bidang Perencanaan Dan Pembiayaan Dina Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.


(2016). Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016. Jakarta.
Christy, Melia. (2014). Faktor yang berhubungan dengan kejadian dehidrasi diare
pada balita di kelurahan saung naga kecamatan baturaja barat tahun 2014.
Jurnal Keperawatan Sriwijaya. Vol 2 no 1 januari.

Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat (Edisi 1),
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia (Edisi 4), Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Djamil, Ratna., Wijiastuti, Endang. (2015). Penapisan Fitokimia, Uji Aktivitas
Ekstrak Metanol Herba Seledri, Batang/Daun Ashitaba dan Daun
Petroseli (Apiaceae).Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Farmakope Indonesia jilid III. (1979). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal 9.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


30

Farmakope Indonesia jilid V. (2014). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Hal 786.

Gandjar, I., & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Habibi, Ahmad., Firmansyah, Arizal. (2018). Skrining Fitokimia Ekstrak n-


Heksan Korteks Batang Salam. Indo.J.Chem. Sci. Vol. 7(1),2252-6951.
Hanani. E, dkk. (2014). Analisis Fitokimia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal 10-240.

Harbone, J.B. (1973). Phytochemical Metods. New York: Champhman and Hail
Ltd. Fakenham Press Limited.

Ilango K,Chitra V. (2009). Antidiabetic and antioxidant activity of Limonia


acidissima linn. inalloxan induced rats. DerPharmacia Lettre, 1, 117-125.
Katrin, K. dan A. Bendra. 2015. Aktivitas Antioksidan Ekstrak, Fraksi dan
Golongan Senyawa Kimia Daun Premna Oblongata Miq. Jurnal
Pharmaceutical Science Research. Vol. 2(1): 2407-2354.

L. G. E., Windarini, K.W., Astuti, N.K ., Warditiani,. (2013) . SKRINING


FITOKIMIA EKSTRAK METANOL KULIT BUAH MANGGIS
(Garcinia mangostana L.). Denpasar : Jurnal Farmasi Udayana.

Lim TK. (2012). Edible Medicinal And Non-Medicinal Plants. Volume ke-4.
Kuala Lumpur: Springer Science+Business Media BV. P: 884-889

Lucia, E.W. (2016). Eksperimen Farmakologik Orientasi Preklinik. Surabaya:


sandira. Hal 256-264.

Nurdiana, Z., Ariyanti, S. N., dan Hartana, A. (2016). Variasi Morfologi dan
Pengelompokan Kawista (Limonia acidissima L.) di Jawa dan Kepulauan
Sunda Kecil. Floribunda 5 (4).

Panda N, Parto VJ, Jena BK & Panda PK. (2013). Evaluation of phytochemical
and antimicrobial activity of etanolic extract of Limonia acidissima L.
Leaces. Int. J. Herbal Medicine. 1 (1): 21-26.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


31

Pradhan D, Tripathy G, Patnaik S. (2012). Screening of antiproliferative effect of


Limonia acidissima Linn. Fruit extracts on human breast cancer cell lines.
Afri J Pharm Pharmacol, 6,468-473.

Rahman Mohd. Mukhlesur, Gray Alexander I. (2002). Antimicrobial constituents


from the stem bark of Feronia limonia.Phytochem, 59, 73-77.
Rizal, Muhammad., Yusransyah., Stiani, S, N. (2016). Uji Aktivitas Antidiare
Ekstrak Etanol 70 % Kulit Buah Jengkol (Archidendron pauciflorum
(Benth.) I.C.Nielsen) Terhadap Mencit Jantan Yang Diinduksi Oleum
Ricini. Jurnal Ilmiah Manuntung, 2(2), 131-136.

Sari, L. O. R. K. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan


IManfaat Dan Keamanan. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. III. No. 1. Hal.
1.

Senthilkumar KL, Kumawat BK, Rajkumar M, Senthilkumar. (2010).


Antidiarrhoeal activity of bark extracts of Limonia acidissima Linn. Res J
Pharm Bio ChemSci, 1,550-553.

Setiati, siti et al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 jilid II Jakarta:
Interna publishing. Hal 1889.

Shahriar, M, dkk. (2018). EXPLORATION OF ANTI-DIABETIC, ANTI-


DIARRHEAL, GASTROINTESTINAL MOTILITY AND ACUTE
TOXICITY OF DIFFERENT EXTRACT OF Citrus assamensis LEAF.
J.Bangladesh Acad.sci., Vol. 42, No.2, 111-120.

Suharyono. (2008). Diare Akut Klinik dan Laboratoria. Jakarta: Rineka Cipta.

Stevani, H. (2016). Modul bahan ajar cetak farmasi praktikum farmakologi.


Jakarta: Kesmentrian Kesehatan. 18-26.

Institut Sains dan Teknologi Nasional


32

Tjay, T.H., Rahardja, K. (2007). Obat Obat Penting (Khasiat Penggunaan dan
Efek Samping) Edisi VI. Jakarta: PT Elex Media Komputido Kompas-
Gramedia. Hal.312-355.

Verma, Sunita. (2018). A study on highly medicinal plant Murraya koenigii:


Rutaceae. The Pharma Innovation Journal., 7(7), 283-285.

Vijayvargia, P., Vijayvergia., R. (2014). Biological and Phytochemical Screening


Of Plants, J.Pharm. Sci., 28(1), 191-195.

WHO Library Cataloguing. (2013). Pocket Book of Hospital Care for Childern:
guidelines for the management of common childhood illnesses (2rd ed.).
World Health Organization.

WHO. (2017). Diarrhoel Disease. World Health Organization.

Institut Sains dan Teknologi Nasional

Anda mungkin juga menyukai