BAB I
PENDAHULUAN
Pengobatan diare secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu : pengobatan
spesifik dan non spesifik. Pada pengobatan non spesifik adalah zat-zat penekan
peristaltik, menciutkan selaput lendir usus (astringensia), dan menyerap racun
toksin (adsorbensia), sedangkan secara spesifik yakni memberantas bakteri
penyebab diare. Pengobatan diare yang umum diberikan yaitu dengan pemberian
Loperamid untuk pengobatan non spesifik yaitu dengan mengurangi peristaltik,
namun obat ini tidak boleh diberikan pada anak-anak di bawah usia 2 tahun,
sedangkan penggunakan obat antimikroba untuk pengobatan spesifik yakni
membrantas bakteri penyebab diare tidak dianjurkan untuk semua pasien diare,
karena kurang efektif (Tjay dan Rahardja, 2007).
Bahan alam yang telah diteliti sebagai obat antidiare dari keluarga
Rutaceae yaitu daun kari (Murraya koenigii) (Verma, 2018). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Das Amar dan Mohhamaad Shahriar secara terpisah, memperkuat
bukti khasiat dari daun Citrus assamensis, keduanya menyimpulkan bahwa
ekstrak daun Citrus assamensis dapat digunakan untuk mengobati diare dan
gangguan pencernaan (Amar, et al, 2013) (Shahriar,M , et al, 2018).
Tanaman lain dari keluarga Rutaceae sebagai antidiare adalah kulit batang
kawista yang memiliki senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, dan
tanin yang digunakan sebagai obat diare oleh masyarakat India dan Srilanka. Pada
kulit batang kawista dalam konsentrasi 200mg/kg memiliki aktivitas antidiare
yang digunakan dalam pengobatan diare (Qureshi Absar, 2010) (Senthilkumar,
2010).
antidiare ekstrak metanol kulit buah kawista (Limonia acidissima L.) pada mencit
jantan (Mus musculus) yang diinduksi oleum ricini
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
(a) Pohon (b) Daun (c) Bunga (d) Kulit Buah (e) Buah
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Keluarga : Rutaceae
Marga : Limonia
Jenis : Limonia acidissima
a. Tajuk
Bentuk tajuk tanaman kawista (Limonia acidissima L.) tersusun atas
percabangan simpodial. Terdapat variasi pada ciri bentuk tajuk menjorong
dan membulat (Nurdiana, et al., 2016).
b. Batang
Batang kawista tumbuh tegak dengan ketinggian mencapai 12 meter,
percabagan simpodial. Batang kawista memiliki kulit kasar dan pecah-pecah,
warna kulit batang bervariasi yaitu abu-abu kecokelatan dan hitam keabuan.
Pada batang kawista yang masih muda terdapat duri, panjang duri 1-4,1 cm,
namun pada batang pohon yang sudah tua duri telah tereduksi (Nurdiana, et
al., 2016).
c. Daun
Daun kawista tersusun tersebar spiral pada ranting, merupakan daun majemuk
terbatas, menyirip tunggal ganjil biasanya anak daun berjumlah ganjil 5 atau
7, jarang 3, 9, 11, atau 13. Namun sering dijumpai daun tambahan pada
bagian pangkal daun majemuk sehingga diperoleh anak daun berjumlah
genap, 6, 8, 10, atau 12. Lembaran anak daun berbentuk membundar telur
sungsang dengan variasi ciri morfologi warna daun muda (hijau muda, hijau
kemerahan), ujung anak daun (tumpul, tumpul-terbelah) serta pangkal anak
daun (tumpul, meruncing, tumpul-meruncing, tumpul-melancip, tumpul-
meruncing-melancip) (Nurdiana, et al., 2016).
d. Bunga
Bunga kawista merupakan bunga malai, terletak di ujung ranting atau ketiak
daun. Setiap malai tersusun atas bunga jantan dan hermaprodit atau jantan
saja. Kelopak bunga berjumlah 5, berbentuk membundar telur dan berujung
runcing dengan variasi warna kelopak bunga yakni hijau kemerahan dan
merah. Mahkota bunga ciliolate, berjumlah 5 dengan variasi warna mahkota
bunga yaitu kuning kehijauan dengan sedikit merah di ujung dan kuning
pucat dengan sedikit merah di ujung. Panjang putik 0,7-1 cm, diameter
ovarium 0,4-0,6 cm. Benang sari bertangkai pendek 0,3 cm, berjumlah 9-12,
kepala sari memanjang dengan variasi warna kepala sari yaitu kuning
kemerahan dan merah, panjang kepala sari 0,4-0,5 cm (Nurdiana, et al.,
2016).
e. Buah
Buah kawista berbentuk bulat, diameter antara 6-10 cm. Kulit buah kasar,
keras seperti kayu dan tebalnya 2,5-4 mm. Warna kulit buah coklat keabuan,
dan abu-abu kehijauan, warna daging buah cokelat kemerahan dan cokelat
muda-tua. Daging buah yang berwarna cokelat kemerahan memiliki daging
buah yang lebih cenderung berair dan rasa yang manis sedangkan daging
buah yang berwarna cokelat muda-cokelat tua memiliki daging buah yang
cenderung lebih kering dan rasa yang asam. Biji berbentuk bulat telur,
berjumlah banyak dan menyebar pada daging buah, tebal 2 mm, lebar 4 mm,
dan panjang 8 mm, kulit bii berserabut berwarna cokelat muda, kuning
kecokelatan, dan krem (Nurdiana, et al., 2016).
Buahnya dapat digunakan sebagai obat diare. Kulit dan daun tanaman
digunakan untuk tumor, asma, luka, kelemahan jantung dan hepatitis dan daunnya
dilaporkan memiliki aktivitas hepatoprotektif. Secara tradisional daunnya telah
digunakan sebagai pada pengobatan diare, penyembuhan luka dan bisul
(Vijayvargia dan Vijayvergia, 2014).
2.2. Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian
tanaman dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi yang spontan keluar
dari tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau
zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masih belum
berupa zat kimia murni. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh,
bagian hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa zat kimia
murni. Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik telah diolah atau
belum, tidak berupa zat kimia murni (FI III, 1979).
2.3. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental dan cair, kental atau kering yang merupakan
hasil proses ekstraksi atau penyarian suatu matriks atau simplisia menurut cara
yang sesuai. Ekstrak cair diperoleh dari ekstraksi yang masih mengandung
sebagian besar cairan penyari. Ekstrak kental akan didapat apabila sebagian besar
cairan penyari sudah diuapkan, sedangkan ekstrak kering akan diperoleh jika
sudah tidak mengandung cairan penyari (Hanani, 2014).
2.4. Ekstraksi
2.4.1. Ekstraksi
b. Cara Panas
1) Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga
dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
2) Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
yang berkelanjutan dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kuntinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
4) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur
terukur 96-98oC) Selama waktu tertentu (15-20 menit).
5) Dekok
dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (>30 menit) dengan
temperatur sampai titik didih air.
2. Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi kandungan senyawa mudah menguap dari bahan
segar atau simplisia dengan uap air. Cara ini didasarkan pada peristiwa
tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel
secara berlanjut sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap
campuran menjadi destolasi air bersama senyawa kandungan yang memisah
sempurna atau memisah sebagian.
2.5. Diare
2.5.1. Definisi
Menurut WHO (2013), diare berasal dari bahasa yunani yaitu diarroia.
Diare terdiri dari 2 kata yaitu dia (melalui) dan rheo (aliran). Pada diare terdapat
gangguan resorpsi, sedangkan sekresi getah lambung-usus dan motilitas usus
meningkat. Menurut teori klasik diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik
usus tersebut, sehingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih
mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Mecit merupakan hewan yang paling banyak digunakan untuk hewan model
laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%, mencit banyak
digunakan sebagai hewan percobaan untuk laboratorium (khususnya digunakan
dalam penelitian biologi). Mencit memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus esterus yaitu 4-5 hari. Kondisi kurang untuk
pemeliharaan mencit harus selalu senantiasa bersih, kering dan jauh dari
kebisingan. Suhu ruangan pemeliharaan juga harus dijaga kisaran antara 18-19 oC
serta kelembapan udara antara 30-70%.
keunggulan seperti siklus hidup relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak,
variasi sifat-sifatnya tinggi. Ada beberapa keunggulan yang dimiliki mencit yaitu:
cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik
tinggi dan sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Anonim,
2016).
Kerajaan : Hewan
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub-Ordo : Myoimorphia
Suku : Muridae
Marga : Mus
Jenis : Mus musculus
Mencit diangkat dengan cara memegang ekor kearah atas dengan tangan
kanan, lalu letakkan mencit di permukaan kasar biarkan mencit menjangkau atau
mencengkram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan
biru jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuk mencit seat atau setengah
mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan
jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri
dan siap untuk diberi perlakuan (Stevani, 2016).
Pemberian atau pemejanan sediaan uji pada mencit dapat melalui jalur
sebagai berikut:
1. Oral
Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral. Sonde oral
ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian perlahan-lahan
dimasukkan sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
2. Intra vena
.HCl
lebih kurang 2250 disertai peruraian. Mudah larut dalam metanol, dalam isopropil
alkohol dan kloroform, sukar larut dalam air dan dalam asam encer (FI V, 2014).
Derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang 2-3 kali lebih kuat
tetapi tanpa khasiat terhadap susunan saraf pusat, sehingga tidak mengakibatkan
ketergantungan. Zat ini dapat menormalkan kembali keseimbangan absorpsi dan
sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam kondisi
hipersekresi ke keadaan absorpsi normal. Mulai kerjanya lebih cepat, juga
bertahan lebih lama. Efek samping berupa rasa mengantuk, pusing dan mulut
kering. Efek samping sangat jarang terjadi (Tjay & Rahardja, 2007).
Minyak jarak adalah minyak lemak yang diperoleh dengan cara memeras
biji Ricinus communis suku euphorbiaceae (suatu trigliserida asam risonoleat dan
asam lemak jenuh. Minyak jarak diubah dalam usus halus menjadi asam risinoleat
yang sangat iritatif terhadap usus dan segera meningkatkan peristaltic. Di dalam
usus halus minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam
risinoleat, asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif yang memiliki efek
stimulasi terhadap usus halus.
Minyak jarak juga bersifat emoilien, sebagai pencahar obat ini tidak
banyak digunakan lagi, karena dapat menyebabkan kolik, dan dehidrasiyang
disertai gangguan elektrolit. Namun obat ini merupakan bahan induksi diare pada
penelitian diare secara eksperimentalpada hewan percobaan. Minyak jarak
medicinal adalah cairan tidak berwarna atau bewarna kuning pucat, berbau lemah,
dan rasa sedikit menggigit, serta viskositas yang tinggi. Minyak jarak yang
mengandug 46%- 53% minyak lemah yang terdiri dari 80% gliserida asam-asam
risinoleat, isoresinoleat, stearat, dihidroksistearat, dan palmitat (Azizi, 2012).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kulit Buah Kawista
(Limonia acidissima L.) yang diperoleh dari Buah Kawista (Limonia acidissima
L.) segar yang sudah matang dengan daging buah berwarna cokelat kemerahan,
yang diperoleh dari Kota Karawang, Jawa Barat yang kulit buahnya dipisahkan
dari daging buah, kemudian dideterminasi di Bidang Botani Pusat Penelitian
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor untuk
membuktikan bahwa benar buah kawista.
b. Bahan Kimia
a. Bahan yang digunakan untuk proses maserasi adalah Metanol
(Herbalux®) Pelarut Metanol merupakan pelarut yang paling banyak
digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam.
b. Bahan kimia yang digunakan untuk penampisan fitokimia adalah HCl
2N (Merck), Pereaksi bouchardat (Nitrakimia), pereaksi mayer
(Nitrakimia), Serbuk Mg, Asam klorida pekat (Merck), H2SO4 Pekat
(Merck), Feri (III) Klorida (Merck), eter (Merck), asetat anhidrat
(Merck), dan aquadest (Herbalux®).
c. Bahan untuk uji efektivitas antidiare adalah Loperamid HCl.
d. Bahan untuk menginduksi diare yaitu Oleum ricini.
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih jantan
(Mus musculus) galur Deutche Denken Yoken (DDY) berumur 2-3 bulan dengan
bobot 20-30 g. Hewan percobaan diperoleh dari Pertenakan Hewan Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebanyak 25 mencit yang
dibagi 5 kelompok yang terdiri dari 5 ekor jumlah mencit dihitung dengan rumus
Federer. Mencit diadaptasi dengan lingkungan percobaan selama 7 hari sebelum
penelitian dilakukan dengan memberi makan dan minum setiap hari. Semua
hewan uji dipelihara dengan kondisi yang sama. Bila akan digunakan dalam
penelitian hewan uji dipuaskan terlebih dahulu selama 30 menit tanpa diberi
makan, tetapi tetap diberikan minum. Hal ini bertujuan untuk memberikan ruang
yang cukup dalam lambung untuk pemberian perlakuan.
Buah kawista diambil dari Kota Karawang, Jawa Barat. Buah dipanen
setelah masak, beraroma khas. berbentuk bulat dengan kulit tebal dan keras. Buah
yang telah matang sempurna sering dianggap sebagai buah busuk karena daging
buah yang berwarna cokelat kemerahan. Buah kawista yang sudah disiapkan
kemudian dipisahkan dari daging buah dan kulit buahnya, kulit buah lalu dipotong
kecil-kecil agar mudah dalam proses pengeringan. Kemudian kulit buah
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, selanjutnya dibuat serbuk dan
dilakukan pengayakan dengan mesh 60 untuk memperoleh serbuk simplisia yang
homogen.
1. Alkaloid
Ditimbang 500 mg esktrak dan Serbuk Simplisia ditambahkan 1 ml asam
klorida 2 N dan 9 ml air, lalu dipanaskan diatas penangas air selama 2
menit. Didinginkan dan disaring. Dipindahkan filtrat pada 2 tabung reaksi.
Pada tabung reaksi 1 + 2 tetes pereaksi Bouchardat, jika positif terbentuk
endapan berwarna coklat sampai hitam.
Pada tabung reaksi II + 2 tetes pereaksi Mayer, jika positif terbentuk
endapan berwarna putih atau kuning (Depkes RI,1995).
2. Identifikasi Flavonoid
Identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara 1 g serbuk ditambahkan 100
ml air panas, dididihkan selama 5 menit, disaring dengan kertas saring, 5
ml larutan percobaan (dalam tabung reaksi) ditambah serbuk atau lempeng
magnesium secukupnya dan ditambah 1 ml asam klorida pekat.
Terbentuknya warna orange, atau jingga menunjukkan adanya senyawa
flavonoid (Katrin Bendra, 2015).
3. Identifikasi Saponin
Identifikasi saponin dilakukan dengan cara sebanyak 1 g serbuk
ditambahkan air panas 100 ml selama 5 menit, saring filtrat digunakan
untuk percobaan berikutnya. Sebanyak 10 ml larutan dalam tabung reaksi
dan dikocok selama 10 detik secara vertikal, kemudian dibiarkan 10 menit.
Terbentuknya busa yang stabil dalam tabung reaksi menunjukkan adanya
senyawa golongan saponin, bila ditambahkan 1 tetes asam klorida 2N busa
tetap stabil (Depkes RI, 1995).
4. Identifikasi Tanin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dan serbuk ditambahkan dengan 100 ml aquadest,
dididihkan selama 15 menit, kemudian didinginkan dan disaring dengan
menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diambil 30 ml,
ditambahkan beberapa tetes besi (III) klorida 1 % terbentuknya warna biru
(t-1)(n-1) ≥ 15 (3.2)
Maka : (t-1)(n-1) ≥ 15
(5-1)(n-1) ≥ 15
4(n-1) ≥ 15
4n-4 ≥ 15
4n ≥ 15 + 4
4n ≥ 19
19
n ≥
4
n ≥ 4,75 ≈ 5
3. Penyiapan Bahan
Lembek, Lembek Cair, dan Cair), berat feses, frekuensi diare dan lama
terjadi diare.
3.6.9.Analisis Data
Induksi dengan
Oleum ricini
Parameter Pengujian :
Analisis Data
Hasil
DAFTAR PUSTAKA
Amar. Das Jyoti., dkk. (2013). Ethno medicinal study of threatened plants of
Sonitpur district in Assam, North East India. IRJP. 4: 146-149.
Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat (Edisi 1),
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia (Edisi 4), Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Djamil, Ratna., Wijiastuti, Endang. (2015). Penapisan Fitokimia, Uji Aktivitas
Ekstrak Metanol Herba Seledri, Batang/Daun Ashitaba dan Daun
Petroseli (Apiaceae).Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Farmakope Indonesia jilid III. (1979). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal 9.
Gandjar, I., & Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Harbone, J.B. (1973). Phytochemical Metods. New York: Champhman and Hail
Ltd. Fakenham Press Limited.
Lim TK. (2012). Edible Medicinal And Non-Medicinal Plants. Volume ke-4.
Kuala Lumpur: Springer Science+Business Media BV. P: 884-889
Nurdiana, Z., Ariyanti, S. N., dan Hartana, A. (2016). Variasi Morfologi dan
Pengelompokan Kawista (Limonia acidissima L.) di Jawa dan Kepulauan
Sunda Kecil. Floribunda 5 (4).
Panda N, Parto VJ, Jena BK & Panda PK. (2013). Evaluation of phytochemical
and antimicrobial activity of etanolic extract of Limonia acidissima L.
Leaces. Int. J. Herbal Medicine. 1 (1): 21-26.
Setiati, siti et al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6 jilid II Jakarta:
Interna publishing. Hal 1889.
Suharyono. (2008). Diare Akut Klinik dan Laboratoria. Jakarta: Rineka Cipta.
Tjay, T.H., Rahardja, K. (2007). Obat Obat Penting (Khasiat Penggunaan dan
Efek Samping) Edisi VI. Jakarta: PT Elex Media Komputido Kompas-
Gramedia. Hal.312-355.
WHO Library Cataloguing. (2013). Pocket Book of Hospital Care for Childern:
guidelines for the management of common childhood illnesses (2rd ed.).
World Health Organization.