Anda di halaman 1dari 19

Referat

MANAJEMEN INTUBASI

Disusun Oleh :
Hazmi Wiratama 18710105

Pembimbing :
dr. Bambang Soekotjo. Msc. Sp.An

SMF ILMU BEDAH


RSUD DR. MOHAMMAD SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam bidang anestesiologi, pengelolaan jalan nafas merupakan tindakan yang penting.
Terdapat berbagai alat yang digunakan dalam mengelola jalan nafas. Pemasangan pipa
endotrakeal (ET) merupakan salah satu tindakan pengamanan jalan nafas terbaik dan paling
sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik. Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan
memberikan ventilasi mekanik, tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi
pada anestesi umum. Intubasi adalah memasukkan pipa kedalam rongga tubuh melalui mulut
atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu endotrakeal dan nasotrakeal, intubasi endotrakeal
adalah memasukkan sehingga ujung kira-kira berada dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea.
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar
tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung
pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas
anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial, mengatasi obstruksi
lanjut akut, dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. Intubasi Endotrakea

2.1 Pengertian intubasi endotrakeal

Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung,
dengan sasaran jalan napas bagian atas atau trakea. Pada intinya, intubasi endotrakea
adalah tindakan memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea sehingga jalan napas
bebas hambatan dan napas mudah dibantu dan dikendalikan.

2.2 Tujuan intubasi endotrakea

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakea adalah untuk membersihkan


saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan napas agar tetap baik, mencegah aspirasi,
serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada
dasarnya, tujuan intubasi endotrakea untuk mempermudah pemberian anesthesia,
mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernapasam, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh, dan tidak ada refleks batuk), mempermudah penghisapan
sekret trakeobronkial, pemakaian ventilasi mekanis yang lama, mengatai obstruksi laring
akut.

2.3 Indikasi dan kontraindikasi

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakea antara lain keadan oksigenasi yang tidak
adekuat (karena menurunnnya tekanan oksigenarteri dan lai-lain) yang tidak dapat
dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal, keadaan ventilasi yang
tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri, kebutuhan untuk
mengontrol dan mengeluarkan secret pulmonal atau sebagi bronkal toilet,
menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi. Dalam sumber lain disebutkan indikasi
endotrakea antar lain:
- Menjaga jalan napas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.

- Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung, dan tenggorokan, karena


pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan facemask tanpa
menganggu pekerjaan ahli bedah.

- Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernapasan yang tenang dan tidak
ada ketegangan.

- Operasi intra torakal, agar jalan napas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekaan intra
pulmonal.

- Untuk mencegah kontaminasi trakea, misalnya pada obstruksi intestinal.

- Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.

- Trakeostomi.

- Pada pasien dengan fiksasi vocal chords. Selain intubasi endotrakea diindikasikan
pada kasus-kasus di ruang bedah.

Ada beberapa indikasi intubasi endotrakea pada beberapa kasus non-surgical, antra
lain asfiksia neonatorum yang berat untuk melakukan resusitasi pada pasien yang
tersumbat pernapasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi,
obstruksi laringeal berat karena inflammatory exudate, pasien dengan atelektasis dan
tanda eksudasi dalam paru-paru, apda pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar
untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi, pada post operative
respiratory insufficiency.
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakea antara lain, beberapa
keadaan trauma jalan napas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasusm trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

2.4 Posisi untuk tindakan intubasi

Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai sniffing in the air position. Kesalahan yang
umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.

Gambar 2. Posisi untuk intubasi


2.5 Persiapan sebelum melakukan tindakan Intubasi

Sebelum melakukan tindakan intubasi pada pasien, ada beberapa hal yang perlu
diperisapkan, antara lain :

a) Persiapkan pasien.
b) Tim yang akan mendampingin pasien selama pasien dalam keadaan tidak
sadar selama dianastesi.
c) Dokter spesialis anastesi.
d) Alat-alat untuk intubasi, termasuk alat jika gagal intubasi.

Persiapan sangat penting dilakukan supaya semuanya siap jika terjadi sesuatu hal
yang tidak diinginkan. Dan semuanya sudah mengerti tugas apa saja yang harus
dikerjakan dalam kondisi gawat darurat.
2.6 Alat-alat untuk intubasi

a. Laringoskopi

Alat-alat yang dipergunkan dalam suatu tindakan intubasi endotrakea antara lain
laringoskop, yaitu alat yang dipergunkan untuk melihat laring. Aa dua jenis
laringoskop yaitu blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop
dewasa blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill)
mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-
anak, karena mempunyai epiglottis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma
padaepiglottis dengan blade lurus lebih sering terjadi.

Gambar 3. Laringoskop

b. Pipa endotrakea

Pipa endotrakea biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali
pakai dan tidak mengiritasi mukosa trakea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah
kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral
nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan napas, kebanyakan pipa endotrakea
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon
dengan volume besar dan kecil.
Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan
mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan iskemia. Balon
volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih
rendah dibandingkan dengan volume kecil.
Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan
napas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan
balon karena bagian tersempit adalah trakea. Pipa pada orang dewasa biasa
digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm.
Untuk anak yang lebih kecilbiasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya
jari kelingkingnya.

Gambar 4. Pipa endotrakea

c. Pipa orofaring atau nasofaring

Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan napas karena jatuhnya lidah dan
faring pada pasien yang tidak diintubasi.
d. Plester

Plester untuk memfiksasi pipa endotrakea setelah tindakan intubasi.


e. Stillet atau forsep intubasi

Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakea sebagi alat bantu
saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa
endotrakea nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
f. Alat penghisap atau suction

2.7 Tindakan intubasi

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan, seperti :
a) Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang. Oksiput diganjal
dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras
atau botol infus), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakea dan
laringoskop berada dalam satu garis lurus. Setelah dilakukan anestesi dan
diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipengang dengan tangan kiri
dan balon dengan angan kanan.
b) Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
denga tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapanga
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut.
Gagang diangkat dengan lengan kiri dan kanan terlihat uvula, faring, serta
epiglottis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglottis
diangkat shingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V.
c) Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut mulut sapai balon pipa
tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta
untuk menekan laring ke posterior seingga pita suara akan dapat tampak dengan
jelas. Bila mengganggu, stillet dapat dicabut.
d) Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan
tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop
dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e) Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan aukultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan
kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakea. Bila
terjadi intubasi endotrakea akan terdapat tanda-tanda berupa suara napas kanan
berbeda dengan suara napas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret
lebih banyak dan tahanan jalan napas terasa lebih berat.
f) Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi
kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka
daerah epigastrium atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi
(dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama
pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan
intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup. Pemberian
ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.

2.8 Obat-obatan yang dipakai

Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakea.
- Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxan merupakan obat yang
paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan
dengan barbiturat IV dengan dosis 20 – 100 mg, iberikan setelah pasien dianestesi,
bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat
suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation, suxamteonium bisa diberikan
IM bila IV sukar, misalnya pada bayi.

- Thiphentone non depolarizing reelaxan: metode yang bagus untuk direct vision
intubation. Setelah pemberian nondepolarizing/thiophentone, kemudian pemberian
oksigen dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakkan.
Emtode ini tidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, di mana mungkin
dihadapkan dengan pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak.

- Cyclopropane: mendepresi pernapasan dan membuat blind vision intubation sukar.

- IV barbiturat sebaiknya jagan dipakai thiphentone sendirian dalam intubasi.


Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis
besar dapat mendepresi pernapasan.
- N2O/)2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahanzat-zat lain.
Penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memebrikan
relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.

- Halotan (Fluothane), agen ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring
dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.

- Analgesi lokal dapat dipakai dengan cara-cara berikut: menghisap lozengens


analgesic, spray mulut/faring/vocal cord, blokade bilaeral saraf-saraf laringeal
superior, atau suntikan trans trakeal. Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan
dengan valium IV suapaya pasien dapt lebih tenang. Dengan sendirinya pada
keadaan-keadaan emergensi, intuubasi dapat dilaukan tanpa anestesi. Juga pada
neonatus dapat diintubasi tanpa anestesi.

2.9 Penyulit intubasi

Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah suatu
tindakan yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam memasukkan pipa endotrakea dengan
laringoskop konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi
adalah keadaan dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu
lebih dari 10 menit. Menurut ASA, jalan nafas sulit (difficult airway) adalah dimana
seorang ahli anesthesiologi yang berpengalaman dalam sebuah situasi klinis mengalami
kesulitan dalam memberikan ventilasi sungkup muka dan kesulitan melakukan intubasi
trakea ataupun mengalami situasi keduanya. Dibawah ini adalah tabel beberapa kondisi
penyulit intubasi.
Gambar 2.1 Tabel Penyulit Jalan nafas

2.10 Cara Identifikasi Penyulit Intubasi

Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan terjadinya
kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik LEMON atau MELON :

L (Look externally)
Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal
yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti trauma
pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil.

E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental. Langkah
ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring.
Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan sulit untuk
dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka
mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan
dengan 3 jari pasien antara ujung mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid
dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2:
 Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
 Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat
lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan
dengan peningkatan kesulitan.
 Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan
dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar
lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glottis

M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis yang digunakan
dibidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa menimbulkan resiko
pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses pembedahan. Hasil menentukan
tingkat yang dibedakan dari I sampai IV. Kelas I mengindikasikan seorang pasien yg
seharusnya lebih mudah diintubasi. Tingkat tertinggi, kelas IV ditujukan ditujukan
kepada pasien dengan resiko tinggi, komplikasi. Klasifikasi mallampati ditentukan
oleh pengamatan visual dari rongga mulut tegak, dengan kepala terangkat dalam posisi
netral. pasien memegang mulutnya terbuka lebar dan meluaskan lidah,teknisi
memeriksa visibilitas dari struktur faring.

Klasifikasi Mallampati :

Mallampati 1 : Palatumole, ufula, dinding posterial urofaring, pilar tonsil


Mallampati 2 : Palatumole, sebagian ufula, dinding posterial ufula
Mallampati 3 : Palatumole, dasar ufula
Mallampati 4 : Palatudurum saja
Gambar 2.2 Klasifikasi Mallampati

Dalam sistem klasifikasi kelas 1 dan 2 umumnya mudah diintubasi sedang 3 dan 4
terkadang sulit. Selain sistem klasifikasi malempati, pemeriksaan fisik lain yang dapat
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan napas. Faktor lain yang digunakan untuk
memprediksi kesulitan intubasi antara lain lidah bedah, gerak sendi temporo
mandibular terbatas, mandibular menonjol, maksila atau gigi depan yang menonjol,
mobilitas leher terbatas, pertumbuhan gigi tidak lengkap, langit-langit mulut sempit,
anafilaksis saluran napas, atritis dan ankilosis servikal, sindrome congenital Klippel-
Fei (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin (micrognathia, belahan langit-langit,
glossoptosis), Treacer Collins (mandibulo facial dysostosis), endokrinopati
(kegemukan, acromegali, hipotiroid macroglossia, gondok), infeksi (Ludwig Angina
(abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,retropharyngeal abses, epiglottitis), massa
pada medisastinum, myopati menunjukkan myotonia atau trismus, jaringan parut luka
bakar atau radiasi, trautam dan hematoma, tumor dan kista, benda asing jalan napas,
kebocoran disekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan kepala,
kumis, jenggot), nasogastrik tube, kurangnya ketrampilan, pengalaman, atau terburu—
buru.

Kelas 1 sebagian besar glottis terlihat, kelas 2 hanya ektremitas posterior glottis dan
etiglotis tampak, kelas 3 tidak ada bagian dari glottis yang terlihat, hanya etiglotis
yang terlihat, kelas 4 bahkan etiglotis tidak terlihat.
Kelas 1 dan 2 dianggap mudah, kelas 3 dan 4 dianggap sulit. Pada peneilitian
simatupang 2014 disimpulkan upper lip bite test (ULBT) dan Mallampati memiliki
korelasi yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi.

O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai akibat
adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice
(hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan
adanya stridor.
N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam
intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto - oksipital yaitu
posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian
mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto -
oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi
Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat

2.11 Tindakan jika Gagal Intubasi

Jika dalam pelaksanaan intubasi mengalamai kegagalan (memasukkan


pipa endotrakeal selama 3x), ada beberapa hal yang harus segera dilakukan.

Yang pertama yaitu segera melakukan oksigenasi dengan face-mask atau


dapat menggunakan SGA(Supraglottic airway), yang bertujuan agar pasien tetap
terjaga kadar oksigennya dan tidak terjadi hipoksemia.

Kemudian tetap pantau kadar oksigen pasien dimonitor, setelah itu jika
perlu , hubungi spesialis anastesi, untuk menentukan langkah selanjutnya. Jika
perlu bangunkan pasien terlebih dahulu untuk meminimalisir kejadian yang tidak
diinginkan.

Jika keadaan oksigenasi pasien tetap memburuk, dilakukan tindakan


FONA(Front of Neck Airway) atau melakukan pembukaan jalan nafas melalui
leher bagian depan dengan cara melakukan krikotiroidotomi. Prosedur ini harus
dengan persetujuan dari spesialis anastesi dan spesialis bedah, dan harus dalam
waktu secepat mungkin agar pasien tidak terjadi komplikasi pada pasien. Metode
FONA sebenarnya ada beberapa macam, namun yang saat ini sering dilakukan
adalah dengan krikotiroidotomi, atau pembedahan pada area leher depan tepat
dikrikoid dan tiroid pasien, untuk membuka jalan nafas pasien.

2.12 Algoritma Manajemen Intubasi

Berikut merupakan algoritma dari manajemen intubasi dari awal persiapan tim,
persiapan pasien, hinggan tindakan jika gagal intubasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Intubasi endotrakea merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk membantu
pernafasan pasien dalam kondisi pengaruh anastesi, terutama anatesi general. Intubasi sendiri
dilakukan oleh dokter spesialis anatesi dengan mempertimbangkan beberapa factor seperti factor
jalan nafas, adekuat atau tidaknya nafas pasien, dan suplai oksigen yang didapat pasien.
Selain factor diatas, terdapat beberapa factor yang dapat dinilai dengan LEMON atau
MELON untuk mengidenifikasi apakah ada atau tidaknya penyulit untuk tindakan intubasi.
Jika terjadi kegagalan saat tindakan intubasi, segera lakukan langkah yang tertera pada
grafik. Seperti segera lakukan oksigenasi pada pasien supaya suplai oksigen pasien terpenuhi,
hubungi dokter spesialis anastesi, kemudian lakukan persiapan FONA. Jika terdapat
SGA(SUPRAGLOTTIC AIRWAY), segera pasang dan berikan oksigenasi yang adekuat.
Jika kondisi masih belum membaik, segera lakukan FONA dengan prosedur
krikotiroidotomi, untuk membuka jalan nafas pasien melalui leher pasien bagian depan. Dengan
cara melakukan pembedahan pada area krikoid dan antara tiroid pasien. Kemudian pasang pipa
intubasi pada area krikoid agar jalan nafas pasien tidak terhambat dan pasien mendapat suplai
oksigen yang mencukupi. Setelah itu dilakukan follow up, apakah pasien sudah bisa bernafas
tanpa ada gangguan/ hambatan jalan nafas. Jika dirasa sudah mampu, makan FONA dapat
dilepas dan dapat menggunakan face-mask.
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Higgs, B. A. McGrath, et al. 2018. Guidelines for the management of
tracheal intubation in critically ill adults. United Kingdom. British Journal of
Anaesthesia, 120 (2): 323-352 (2018).
2. Algie CM, Mahar RK,. Et al.2015. Effectiveness and risks of cricoid pressure during
rapid sequence induction for endotracheal intubation (Review). John Wiley & Sons,
Ltd. Australia.
3. Andi, Girindro Swasono, Suwarman, Rudi Kurniadi Kadarsah,. 2017. Perbandingan
antara Uji Mallampati Modifikasi dan Mallampati Ekstensi Sebagai Prediktor
Kesulitan Intubasi Endotrakeal di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Bandung.
Jurnal Anastesi Perioperatif.(JAP. 2017;5[3]:163-170)
4. Setiawan, Sendi Permana, Erwin Pradian,Dedi Fitri Yadi. 2018. Perbandingan
Keberhasilan dan Waktu Intubasi Endotrakeal pada Manekin antara Bantal Intubasi
Standar dan Bantal Intubasi Modifikasi. Bandung. Jurnal Anastesi Perioperatif.(JAP.
2018;6[3]:193-9)
5. Shanmuganatan, Sobhanan. 2019. Peradangan tenggorak setelah intubasi
endotrakeal. Bali. Universitas Udayana Bali.

Anda mungkin juga menyukai