Anda di halaman 1dari 2

2.

Berdasarkan Mahzab hanafiyah


Lain halnya dengan pendapat Abu Hanifah, dalam madzhab Hanafiyah, seorang perempuan yang
sudah dewasa dan berakal sehat memiliki hak untuk mengawinkan dirinya atau mengawinkan anak
perempuannya yang masih kecil dan atau anaknya yang majnunah, atau ia juga boleh pula
mengawinkan dirinya sendiri atau mengawinkan dengan mewakilkan kepada orang lain dan juga
anaknya yang masih kecil atau anaknya yang majnunah tadi. Hal ini disebabkan karena menurut
ulama Hanafiyah rukun nikah hanya terdiri dari tiga perkara yakni ijab, qabul, dan perpautan antara
keduanya (ijab dan qabul).

Sebagaimana pernyataan iman Hanafi yakni

“Perempuan yang merdeka, baliq, akil ketika menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki
atau mewakilkan kepada laki-laki lain dalam suatu pernikahan, maka pernikahan perempuan itu atau
suaminya diperbolehkan. Qaul Abi Hanifah, Zufar dan Abi Yusuf sama dengan yang awal,
perempuan itu boleh menikahkan dirinya sendiri dengan orang yang kufu’ atau yang tidak kufu’
dengan mahar yang lebih kecil atau rendah, ketika perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan
seorang yang tidak kufu’, maka bagi para wali berhak menghalangi pernikahannya, bila
pernikahannya itu dengan mahar yang kecil.”

3. Menurut Jumhur Ulama


Berdasarkan pendapat jumhur ulama, keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang
mutlak atau harus ada dan hukum pernikahan tanpa wali adalah tidak sah. Pernikahan tanpa adanya
wali tersebut haruslah dihindari. Saat akan menikah hendaknya pihak perempuan telah memiliki wali
dan ini berlaku pada semua perempuan termasuk semua perempuan yang masih kecil atau dewasa,
baik perawan atau sudah janda. Dan apabila syarat ini tidak dipenuhi maka status perkawinannya
tidak sah. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW

“Dari Aisyah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda, “perempuan
yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia
wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka
berselisih; maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”(HR. Al-
Arba’ah)

Dan juga disebutkan dalam hadits berikut ini :

“Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radhiyallahu Anhum bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,”Tidaklah sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali.”(HR. Ahmad
dan Al-Arba’ah)

Hadits tersebut menjelaskan bahwa tidak ada suatu pernikahanpun yang dilaksanakan tanpa adanya
seorang wali dan pernikahan tanpa wali tersebut hukumnya tidak sah. Meskipun terdapat perbedaan
pendapat antara ulama, hukum pernikahan tanpa wali nikah tetaplah tidak diperbolehkan.

4. Berdasarkan Alqur’an
Memang tidak ada ayat al-Qur‟an yang menjabarkan dengan jelas tentang hukum pernikahan tanpa
adanya wali namun berdasarkan beberapa pendapat ulama maupun tafsir maka ada beberapa ayat
yang secara tidak langsung memberi pengertian bahwa seorang perempuan bisa menikah sendiri
tanpa adanya seorang wali. Hal ini disebutkan dalam Surat Al Baqarah berikut ini :

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak Mengetahui. kawin lagi dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.”
Ayat diatas ditafsirkan bahwa ayat tersebut hanya menunjukkan tentang perintah Allah kepada para
wali untuk menikahkan anaknya perempuan mereka bukan perintah tentang harusnya keberadaan
dalam suatu pernikahan.

Meskipun demikian, masyarakat tetap berpegang bahwa seorang wanita harus menikah dengan izin
walinya dan nikah tanpa wali hukumnya tidak sah atau batal. Pernikahan sah jika semua rukun
dan syarat akad nikah terpenuhi dan wanita yang menikah tersebut bukanlah wanita yang haram
dinikahi oleh sang pria untuk menghindari adanya pernikahan sedarah.

Proses pernikahan tersebut boleh didahului oleh proses mengenal atau dalam islam
disebut ta’aruf dan kemudian bertunangan (baca tunangan dalam islam). Ada baiknya saat mencari
jodoh, kita mengetahui beberapa hal yang penting misalnya kriteria calon isteri maupun kriteria calon
suami yang baik agar nantinya tercipta pernikahan yang harmonis dan sesuai dengan kaidah islam.

Ketentuan Berpoligami di Indonesia

(Merujuk UU 1/1974 tentang Perkawinan)

1. Pasal 3 ayat 2 : Pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk


beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan
2. Pasal 4 ayat 2 : Pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk
beristri lebih dari satu apabila:
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

Istri tidak dapat melahirkan keturunan

3. Pasal 5 ayat 1 : Syarat untuk mengajukan permohonan ke pengadilan adalah:


Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri

Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-


istri dan anak-anak mereka

Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka. (Fajar/pojoksatu)

Anda mungkin juga menyukai