Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan


sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-
molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).

Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau


kerusakan jaringan, tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk
melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal sebagai
mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang
mempunyai spektrum  luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada
antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga
ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan
dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang
terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat
secara aktif dan didapat secara pasif.

Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat


bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-
molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen
dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen.
Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan
untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis
berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua
dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang
bermutasi terutama yang  dicurigai akan menjadi ganas.  Dengan
perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar
tubuh dapat mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar
dan di dalam tubuh.

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya


menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi
atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada  keadaan normal mekanisme
pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas
sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


 Apakah yang dimaksud dengan reaksi hipersensitivitas?
 Apa itu hipersensitivitas 1?
 Apa.itu hipersensitivitas 2?
 1.3 Tujuan Penulisan
 Mengetahui pengertian reaksi hipersensitivitas
 Mengetahui reaksi hipersensitivitas tipe 1
 Mengwtahui reaksi hipersensitivitas dari tipe 2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Reaksi Hipersensitivitas


Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau
sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas
terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang
dapat dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja,
2009).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas
dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif
anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang
bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang
diperani kompleks imun, dan tipe IV  hipersensitif
cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu
ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory
hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).
 2.2 Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe
Cepat Atau Anafilataksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi
alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik
yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara
ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung.
Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE
yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan
berikatan dengan respetor IgE pada permukaan
jaringan sel mast dan basofil. Selmast dan basofil
yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase
sensitisasi), karena sel B memerlukan waktu untuk
menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak
terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi
dari 15-30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen
pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian
masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor
disel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau
basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang
dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan
IgE yang berikatan dengan antibodi di sel mastosit
atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi
(Abbas, 2004).
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator
inflamasi primer dan sekunder.
1.      mediator inflamasi primer yaitu Histamin,
yang merupakan mediator primer terpenting,
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya
sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan
meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi
dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor
kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator
lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi
heparin serta protease netral (misalnya, triptase).
Protease menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor
kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
2.      Mediator Sekunder  yaitu Leukotrien C4 dan
D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik
yang dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini
beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin
dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan
alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil, dan monosit. Prostaglandin D2 adalah
mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini
menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator
sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit,
pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini
juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan
eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1,
IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting
pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai
macam sel radang. TNF merupakan mediator yang
sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi
leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan
sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan
sintesis IgE oleh sel B.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik
eosinofil-anafilaksis (ECF-A= eosinophil
chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini
merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil
(NCF = neotrophil chemotactic factor). Mediator
yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam
arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan
pada reaksi tipe I (Arwin dkk, 2008).

2.3 Menurut jarak waktu timbulnya,pembagian


reaksi hipersensitivitas tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu
reaksi hipersensitivitas yang terjadi beberapa menit
setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat
bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak
dengan alergen lagi.
2.      Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I
fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata
sel mast masih merupakan sel yang menentukan
terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi
alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului
reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat
membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang
menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi
alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang
meningkatkan sel radang.

2.4 Gangguan penyakit pada hipersensitivitas tipe 1


1. Urtrikaria atau biduran, yaitu ruam gatal pada
kulit.
2. Rhinitis atau reaksi alergi pada saluran pernapasan
yang menyebabkan bersin, hidung tersumbat atau
berair, dan gatal.
3. Asma, di mana terjadi penyempitan saluran napas,
produksi lendir, dan peradangan saluran pernapasan,
sehingga mengakibatkan sesak napas.
4. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang berdampak
pada seluruh tubuh dan dapat menyebabkan
kematian. Reaksi anafilaksis bisa meliputi kesulitan
bernapas, tekanan darah menurun drastis (syok), dan
tenggorokan serta wajah membengkak sehingga
dapat berakibat fatal. Jika terjadi, penderita perlu
segera mendapat pertolongan medis
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS
Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE  Anafilaksis, beberapa
pelepasan amino vasoaktif dan mediator bentuk asma bronkial
lain dari basofil dan sel mast  rekrutmen
sel radang lain
II Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan antigen Anemia hemolitik
terhadap Antigen pada permukaan sel  fagositosis sel autoimun,
Jaringan target atau lisis sel target oleh komplemen eritroblastosis fetalis,
Tertentu atau sitotosisitas yang diperantarai oleh penyakit Goodpasture,
sel yang bergantung antibody pemfigus vulgaris
III Penyakit Kompleks antigen-antibodi  Reahsi Arthua, serum
Kompleks Imun mengaktifkan komplemen  menarik sickness, lupus
perhatian nenutrofil  pelepasan enzim eritematosus sistemik,
lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain- bentuk tertentu
lain glomerulonefritis akut
IV Hipersensitivitas Limfosit T tersensitisasi  pelepasan Tuberkulosis,
Selular (Lambat) sitokin dan sitotoksisitas yang dermatitis kontak,
diperantarai oleh sel T penolakan transplan

Tipe I : Reaksi Anafilaksis


Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang
terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.

Patofisiologi :

terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.

Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B,
yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi
eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast
dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan
diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen
yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade
sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons
awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.

Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot polos,
yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan
menghilang setelah 60 menit;

Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa
hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan
kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan
dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator primer
terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskular, vasodilatasi,
bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi
mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan
meliputi adenosin (menyebabkan
bronkokonstriksi dan menghambat agregasi
trombosit) serta faktor kemotaksis untuk
neutrofil dan eosinofil. Mediator lain
ditemukan dalam matriks granula dan
meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan
kinin dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan
inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

Mediator Sekunder
 Leukotrien C4 dan D4 merupakan
agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasra molar, agenini
beberapa ribu kali lebih aktif daripada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas
vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik
untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
 Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi
dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
 Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi
trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk
neutrofil dan eosinofil.
 Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi
berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi,
emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan
untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin
meningkatkan Faktor pengaktivasi trombosit
permeabilitas vaskular) Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit

Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe
I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.

Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen
target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan
oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

1. Respon yang bergantung komplemen


Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis
langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang
terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel
yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi
oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis.
Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun
antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis
gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan
sebagai berikut:
 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah
diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor.
 Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang
melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta
dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri.
 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh
antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel
darah merahnya sendiri.
 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byang
secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang
dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
 Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang
menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.
2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini
meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang
membawa reseptor untuk bagian Fc IgG;
sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis
tanpa difagositosis ataupun fiksasi
komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh
berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil,
eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn
secara khusus ADCC diperantarai oleh
antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya,
pembunuhan parasit yang diperantarai oleh
eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.

3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh


antibodi
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan
untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa
menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh
karena itu, pada miastenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-
plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot.
Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi
otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap
reseptor hormon perangsang tiroid (TSH)
merangsang epitel tiroid dan menyebabkan
hipertiroidisme.

Tipe III : reaksi imun kompleks


Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi
(imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks
imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti
DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam
jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks
imun in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat
khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama;
namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda.

Penyakit Komplek Imun Sistemik


Patogenesis penyakit kompleks imun
sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan: (1)
pembentukan kompleks antigen-antibodi
dalam sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks
imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali
(3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh
tubuh.

Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing
(misalnya, serum antitetanus kuda)
diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan;
antibodi ini bereaksi dengan antigen yang
masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk
kompleks antigen-antibodi (tahap pertama).
Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi
yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap
dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting
yang menentukan apakah pembentukan
kompleks imun menyebabkan penyakit dan
pengendapan jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks
yang sangat besar yang terbentuk pada
keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari
sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear
sehingga relatif tidak membahayakan.
Kompleks paling patogen yang
terbentuk selama antigen berlebih dan
berukuran kecil atau sedang,
disingkirkan secara lebih lambat oleh
sel fagosit sehingga lebih lama berada
dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun,
makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun
dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan.

Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic
vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan,
arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat
pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa,
dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi
glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada
penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi
lainnya.

Untuk kompleks yang meninggalkan


sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar
dinding pembuluh darah, harus terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal
ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun
berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc
dan C3b dan memicu pelepasan mediator
vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan
permeabilitas. Saat kompleks tersebut
mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga,
yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira
10 hari setelah pemberian antigen), muncul
gambaran klinis, seperti demam, utikaria,
artralgia, pembesaran kelenjar getah bening,
dan proteinuria.

Di mana pun kompleks imun


mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas komplemen oleh kompleks imun
merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti
anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat
kemotaksis untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang
terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan,
termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang
mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga
diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks
imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman; kedua
reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan mikrotrombus yang
berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang dihasilkan disebut
dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus
ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.

Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting
komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa
pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan
lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen
menurunkan kadar serum.

Penyakit kompeks imun lokal (reaksi arthus )


Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan oleh
vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan
menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah diimunisasi
(yaitu antibodi preformed terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi). Karena pada
mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun terbentuk sebagai antigen yang berdifusi
ke dalam dinding pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu
reaksi radang yang sama serta gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit
kompleks imun sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya
4 hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi disertai
perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas
seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam
mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen
ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan
kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai
respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV
diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut
menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2)
sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel
T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama
makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik
menjalankan fungsi efektor.

Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)


Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi
tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai
puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga
digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara
perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+
perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal
sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utama
indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk
menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T
memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+
(misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat
suatu infeksi yang berat.

Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II
pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut.
Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi
selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan
untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf
tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang
tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan
akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi
sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan
perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses
tersebut adalah sebagai berikut:
 IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal
dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin
utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber
sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ
oleh sel T dan sel NK yang poten.
 IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling
penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan
produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul
kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen.
Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat,
demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi
menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang
berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan
meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan
kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus
berlangsung, akan terjadi fibrosis.
 IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang
termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,
meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen
penyerang asal.
 TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:
(1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan
aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu
suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi
dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat
persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara
progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin
membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang
bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu sel
raksasa (giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus
dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut sebagai
inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang digambarkan
untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk
rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan
diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.

DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen
intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalam
penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat
tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap
patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan
dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma,
terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang
menginvasi.

Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu
penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh
hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol
(juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang
tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan
mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1
tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di
dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit,
menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh sel
target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I
berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor
CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting
dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus
yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida
yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat
pula terlibat dalam imunitas tumor.

Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan
yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas-
Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang
menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel
target; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk
suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi
osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim,
yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel,
granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu
molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini
menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan
antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.

2.5 Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi
yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang
memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja,
2009).

Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia
hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah
sebagai berikut :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc

3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen


2.6 Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik

1. Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya
diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit
golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan
eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan
golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan
A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana
dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi
transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok,
dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan
kompleks haem yang lepas.

2. Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang
tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh-
menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus.
Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan
anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh
pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi
Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel
darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha
menyelamatkan bayi.

3. Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah
merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi
yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi nonspesifik pada
protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada
beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).

4. Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan
pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk
terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat
sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.
5. Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan
paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat
pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam penanggulangannya
telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, paru.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. , reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif
anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani
kompleks imun, dan tipe IV  hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe
lagi yaitu tipe V atau stimulatory hypersensitivity, namun tipe V tidak dibahas dalam makalah ini.

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease.. SAUNDERS:
China

Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit IDAI. Jakarta

Baratawidjaja, K.G.dan Rengganis, A.2009.Imunologi Dasar Ed.8.Balai Penerbit FKUI:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai