Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
Patofisiologi :
terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B,
yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi
eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast
dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan
diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen
yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade
sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons
awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot polos,
yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan
menghilang setelah 60 menit;
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa
hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan
kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan
dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator primer
terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskular, vasodilatasi,
bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi
mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan
meliputi adenosin (menyebabkan
bronkokonstriksi dan menghambat agregasi
trombosit) serta faktor kemotaksis untuk
neutrofil dan eosinofil. Mediator lain
ditemukan dalam matriks granula dan
meliputi heparin serta protease netral
(misalnya, triptase). Protease menghasilkan
kinin dan memecah komponen komplemen
untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan
inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan
agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasra molar, agenini
beberapa ribu kali lebih aktif daripada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas
vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik
untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi
dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi
trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk
neutrofil dan eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi
berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi,
emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan
untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi, Histamin
meningkatkan Faktor pengaktivasi trombosit
permeabilitas vaskular) Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe
I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen
target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan
oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing
(misalnya, serum antitetanus kuda)
diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan;
antibodi ini bereaksi dengan antigen yang
masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk
kompleks antigen-antibodi (tahap pertama).
Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi
yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap
dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting
yang menentukan apakah pembentukan
kompleks imun menyebabkan penyakit dan
pengendapan jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks
yang sangat besar yang terbentuk pada
keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari
sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear
sehingga relatif tidak membahayakan.
Kompleks paling patogen yang
terbentuk selama antigen berlebih dan
berukuran kecil atau sedang,
disingkirkan secara lebih lambat oleh
sel fagosit sehingga lebih lama berada
dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun,
makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun
dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic
vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan,
arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat
pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa,
dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi
glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada
penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi
lainnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting
komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa
pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan
lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi komplemen
menurunkan kadar serum.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II
pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut.
Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi
selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan
untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf
tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang
tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan
akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi
sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan
perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses
tersebut adalah sebagai berikut:
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal
dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin
utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber
sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ
oleh sel T dan sel NK yang poten.
IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling
penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan
produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul
kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen.
Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat,
demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi
menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang
berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan
meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan
kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus
berlangsung, akan terjadi fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang
termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik,
meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen
penyerang asal.
TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:
(1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan
aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu
suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi
dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat
persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara
progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin
membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang
bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu sel
raksasa (giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus
dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut sebagai
inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang digambarkan
untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk
rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan
diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen
intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalam
penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat
tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap
patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan
dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma,
terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang
menginvasi.
Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu
penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh
hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol
(juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang
tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan
mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1
tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di
dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit,
menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh sel
target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I
berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor
CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting
dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus
yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida
yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat
pula terlibat dalam imunitas tumor.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan
yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas-
Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang
menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel
target; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk
suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi
osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim,
yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel,
granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu
molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini
menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan
antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi
yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang
memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja,
2009).
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia
hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah
sebagai berikut :
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc
1. Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya
diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit
golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan
eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan
golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan
A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana
dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi
transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok,
dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan
kompleks haem yang lepas.
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang
tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh-
menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus.
Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan
anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh
pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi
Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel
darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha
menyelamatkan bayi.
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah
merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi
yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi nonspesifik pada
protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada
beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).
4. Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan
pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk
terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat
sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.
5. Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan
paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat
pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam penanggulangannya
telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, paru.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. , reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif
anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani
kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe
lagi yaitu tipe V atau stimulatory hypersensitivity, namun tipe V tidak dibahas dalam makalah ini.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease.. SAUNDERS:
China
Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit IDAI. Jakarta