Anda di halaman 1dari 18

ARTIKEL KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Muhajirin

NIM : G1D020041

Fakultas&Prodi : MIPA Matematika

Semester :1

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MIPA

UNIVERSITAS MATARAM

T.A. 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga saya sanggup menyelesaikan penyusunan Artkel Keislaman Pendidikan Agama
Islam dengan tepat pada waktunya. Tak lupa pula kami kirimkan shalawat serta salam
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya,
dan seluruh ummatnya yang senantiasa istiqomah sampai tamat zaman.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi pembaca artikel dan saya sebagai
penulis artikel ini menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari sempurna. Karena itu saya
mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi perbaikan atrikel di masa mendatang.

Penyusun, Mataram 12 Oktober 2020

Muhajirin

G1D020041

2
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

I. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam 1


II. Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits 4
III. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits 8
IV. Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits 14
V. Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN

3
4
1. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam

Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah (bahasa Arab: ‫ )هللا‬dan diyakini sebagai Zat Maha


Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi,
Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.

Islam menitikberatkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa
(tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut Al-
Quran terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik")
yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu
pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut,
yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan
"Maha Penyayang" (ar-rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan
kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan
menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul di
mana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun. [8] Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan
Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang
personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia
menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-
Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-
Nya.
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang
disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi. Namun, hal
ini tidak diterima secara universal oleh kalangan kedua agama tersebut.
Beberapa teori mencoba menganalisis etimologi dari kata "Allah". Salah satunya
mengatakan bahwa kata Allāh (‫ )هللا‬berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan ʾilāh
(tuhan) sehingga berarti "Sang Tuhan". Namun teori ini menyalahi bahasa dan kaidah
bahasa Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan
demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab. Penggunaan kata tersebut misalnya oleh
Abul A'la al-Maududi dalam Mushthalahatul Arba'ah fil Qur'an (h. 13) dan Syaikh Abdul
Qadir Syaibah Hamad dalam al-Adyan wal Furuq wal Dzahibul Mu'ashirah (h. 54).

Kedua penulis tersebut bukannya menggunakan kata Allah, melainkan al-ilah sebagai


bentuk ma'rifat dari ilah. Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda
atau kata sifat) nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka

5
isim ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku
untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak. Sedangkan
kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini)
maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata
yang berlainan.
Teori lain mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Aram Alāhā. Cendekiawan
muslim kadang-kadang menerjemahkan Allah menjadi "God" dalam bahasa Inggris.
Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah tidak untuk diterjemahkan, dengan
berargumen bahwa kata tersebut khusus dan agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki
bentuk jamak dan gender (berbeda dengan God yang memiliki bentuk jamak Gods dan
bentuk feminin Goddess dalam bahasa inggris). Isu ini menjadi penting dalam upaya
penerjemahan Al-Qur'an.

Para salafush sholeh atau tiga generasi Muslim awal dan terbaik, meyakini bahwa Allah
memiliki wajah, mata, tangan jari dan kaki hanya saja hal-hal tersebut sangatlah berbeda
dengan makhluk ciptaan-Nya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat
yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil al-kitab, as-sunnah dan kesepakatan ulama
salaf.” Ia menyebutkan ayat ke-27 dalam surah Ar-Rahman, Ia menjelaskan di dalam
kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari al-kitab dan as-sunnah tidak
terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum Mu'tazilah yang menafsirkan wajah
dengan arah, pahala atau dzat.
Kemudian mereka meyakini pula Allah berada di atas 'Arsy, letak 'Arsy ada di atas air, dan
tidak ada satu pun dari makhluk yang serupa dengan-Nya. [14] Dijelaskan dalam sebuah
hadits, telah dijelaskan bahwa Allah diliputi oleh cahaya yang sangat terang.
Keagungan dan kebesaran sifat-sifat-Nya jelas terlampau agung untuk bisa ditembus oleh
akal pikiran manusia yang paling hebat sekalipun. Karena itu ada riwayat hadits yang
melarang untuk memikirkan Allah, mengingat semua akal dan pikiran pasti tidak akan
mampu menjangkaunya. Berpikir yang diperintahkan di sini, seperti yang dijelaskan oleh
Ibnu Qayyim rahimahullahu, adalah yang bisa menimbulkan dua pengetahuan dalam hati
dan berkembang daripadanya pengetahuan ketiga. [Miftah Dar al-Sa’adah hal 181] Hal itu
menjadi jelas dengan contoh sebagai berikut. Apabila hati seorang muslim dapat merasakan
akan kebesaran makhluk seperti langit, bumi, tahta kursi, ‘Arsy dan sebagainya, kemudian
timbul dalam hatinya rasa ketidakmampuan memikirkan dan menjangkau semua itu, maka
akan muncul pengetahuan ketiga yakni kebesaran dan keagungan Tuhan yang menciptakan
jenis makhluk-makhluk tersebut yang tidak mungkin dapat diliput serta dicerna oleh akal
pikiran.

6
1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan
atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat
penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith,
Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut

● Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan
ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang
berbeda-beda, seperti mana  (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah
kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu
dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.

● Animisme

Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang
dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu
yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut,
manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah
salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

● Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut
dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa
yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang
membidangi angin dan lain sebagainya.

● Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu
dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang
sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu
bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih
mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).

● Monoteisme

7
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme
hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk
monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller
dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai
kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang
tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme


menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi
atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan
didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme
dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan

2. Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama lain.
Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang
diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai
hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada
gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang
proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka
kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60). Al-Qur’an, sebagai kalam Allah,
diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif,
al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal
itu secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak,
sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling
awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi
(penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia
dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta
mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-
Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman
terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya. Pandangan al-
8
Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu.
Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman
seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11: “… niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau
menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan
dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-
kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’:
30), membaca (al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5),
supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai
fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5,
13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran
(Yunus: 3). Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui
dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.: “Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS al-‘Alaq: 1-5).

Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun
tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433).
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama
dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak
mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam
meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan
beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar: TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi,
Juni 2010 126 “Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui.” Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS
12:76; QS 16: 70. 2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu
tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah
pada surat Fathir ayat 27-28:

9
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu
Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada
(pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." Dengan jelas kata ulama
(pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan orang yang menyadari
sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan,
serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia. 3. Di dalam al-Qur’an terdapat
rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu
yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45). Di samping itu, subyek
yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah
TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 127 itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada
jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung
jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit
beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah
di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu
banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan
semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga manusia
dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan pikirannya serta
mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut
Baiquni, (1997: 15- 16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin yang
membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang
yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan:
“bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang
menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada
dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir
dan lebarnya melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian
yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di
lengkungan itu lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang
yang melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu

10
pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang
aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu
menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan
kecepatan tertentu. Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini,
manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam
diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-
Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting
bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran
yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-
Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam
konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut.
Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama
alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di
dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di


langit dan di bumi….”

Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar memperhatikan


dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap kebesaran
Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini
tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia


diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka
ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”
Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran terhadap
gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena


alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang
rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11- 12.

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia
menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu
ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”
11
3. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits

Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah
sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini
merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫َخيْ َر أ ُ َّم ِتـي ق َْر ِني ث ُّمَ ال َّ ِذيْ َن يَل ُون َ ُه ْم ث ُّمَ ال َّ ِذ‬
‫ين يَل ُون َ ُه ْم‬

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi
berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)

Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam
memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang tertinggi (as-salafu
ash-shalih).

Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan pengamalan Islam yang
benar merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih). Mereka adalah orang-orang yang telah
mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka pun ridha kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫حتَ َها‬ ْ َ‫ج ِري ت‬ ْ َ‫َاتت‬ ٍ ّ ‫ع َّد ل َُه ْم َجن‬َ َ ‫عن ْ ُه َوأ‬
َ ‫عن ْ ُه ْم َو َر ُضوا‬ ُ ‫ان َر ِض َي‬
َ ‫الله‬ ٍ ‫وه ْم ِب ِإ ْح َس‬ َ ‫ين َوال ْأَن ْ َص ِار َوال َّ ِذ‬
ُ ‫ين اتَّبَ ُع‬ ‫ون ال ْأ َ َّول َـ‬
َ ‫ُون ِم َن ال ُْم َهاجِ ِر‬ ‫السا ِبقُ َـ‬
َ ّ ‫َو‬
‫يم‬ ِ
‫ظ‬ ‫ْع‬ ‫ل‬‫ا‬ ‫ز‬ ‫و‬‫ف‬ ْ ‫ل‬‫ا‬‫ك‬َ ِ ‫ل‬‫ذ‬َ ‫ا‬‫د‬ ‫ب‬َ ‫أ‬ ‫ا‬‫يه‬ ِ
‫ف‬ ‫ين‬ ِ
‫د‬ ِ ‫ل‬‫ا‬‫خ‬ ‫ار‬‫ه‬
َ ُ َْ ‫ن‬َ ‫ْأ‬ ‫ل‬‫ا‬
ُ َ َُْ ًَ َ َ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengikuti para sahabat. Berjalan di atas
jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang telah mereka perbuat. Menapaki manhaj
(cara pandang hidup) sesuai manhaj mereka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫اب ِإل ّ ََي‬ َ


َ َ ‫ِيل َم ْن أن‬
َ ‫َواتَّب ِْع َسب‬

“Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)

Menukil ucapan Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, terkait ayat di atas
disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-perkataannya, dan keyakinan-keyakinan (i’tiqad) mereka.
Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, (dikuatkan
lagi) dengan firman-Nya yang menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah diberi Allah
Subhanahu wa Ta’ala petunjuk. Firman-Nya:

ُ ‫َويَ ْه ِدي ِإل َيْ ِه َم ْن يُ ِن‬


‫يب‬

“Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-
Syura: 13) (Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, Abdussalam bin Salim bin Raja’ As-Suhaimi, hal. 14)

Maka, istilah as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga kurun yang utama. Yaitu
para sahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in (para pengikut tabi’in). Siapapun yang mengikuti mereka
12
dari aspek pemahaman, i’tiqad, perkataan maupun amal, maka dia berada di atas manhaj as-salaf.
Adanya ancaman yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang memilih
jalan-jalan selain jalan yang ditempuh as-salafu ash-shalih, menunjukkan wajibnya setiap muslim
berpegang dengan manhaj as-salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ً ‫ت َم ِص‬
‫يرا‬ َ ‫ين ن ُ َو ِل ّ ِه َما َت َولَّى َون ُ ْصلِ ِه َج َهن ّ ََم َو َس‬
ْ ‫اء‬ ‫ِيل ال ُْم ْؤ ِم ِن َـ‬ َ ‫ول ِم ْن َب ْع ِد َما تَبَيَّ َن ل َُه ال ُْه َدى َويَتَّب ِْع‬
ِ ‫غيْ َر َسب‬ َّ ‫َو َم ْن يُ َشا ِق ِق‬
َ ‫الر ُس‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (An-Nisa’: 115)

Disebutkan oleh Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri hafizhahullah, bahwa tidaklah
orang yang berpemahaman khalaf (lawan dari salaf), termasuk orang-orang yang tergabung dalam
jamaah-jamaah dakwah sekarang ini, kecuali dia akan membenci (dakwah) as-salafiyah. Karena, as-
salafiyah tidak semata pada hal yang terkait penisbahan (pengakuan). Tetapi as-salafiyah
memurnikan keikhlasan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memurnikan mutaba’ah (ikutan)
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Manusia itu terbagi dalam dua kelompok (salah satunya)
yaitu hizbu Ar-Rahman, mereka adalah orang-orang Islam yang keimanan mereka terpelihara, tidak
menjadikan mereka keluar secara sempurna dari agama. Jadi, hizbu Ar-Rahman adalah orang-orang
yang tidak sesat dan menyesatkan serta tidak mengabaikan al-huda (petunjuk) dan al-haq
(kebenaran) di setiap tempat dan zaman. (Ushul wa Qawa’id fi al-Manhaj As-Salafi, hal. 12-13)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu
‘anhu, berkata:

‫ون‬ ِ ‫ال َطا ِئفَ ٌة ِم ْنأ ُ َّم ِتـي َظا ِه ِريْ َن َحتَّى يَأ ْ ِتيَ ُه ْم أ َ ْم ُر‬
َ ‫الله َو ُه ْم َظا ِه ُر‬ ُ ‫ال َ يَ َز‬

“Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba pada mereka
keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang unggul/menang.” (Shahih Al-Bukhari, no.
7311)

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, bahwa yang dimaksud hadits
tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang teguh dengan apa yang Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang
unggul/menang, tak akan termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan orang-orang
yang menyelisihinya. (Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104)

Bila menatap langit zaman, di setiap kurun, waktu, senantiasa didapati para pembela al-haq. Mereka
adalah bintang gemilang yang memberi petunjuk arah dalam kehidupan umat. Mereka
memancarkan berkas cahaya yang memandu umat di tengah gelap gulita. Kala muncul bid’ah
Khawarij dan Syi’ah, Allah Subhanahu wa Ta’ala merobohkan makar mereka dengan memunculkan
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Begitupun saat
Al-Qadariyah hadir, maka Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu
‘anhum dari kalangan sahabat yang utama melawan pemahaman sesat tersebut. Washil bin ‘Atha’
dengan paham Mu’tazilahnya dipatahkan Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, dan lain-lainnya dari
kalangan utama tabi’in. Merebak Syi’ah Rafidhah, maka Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam Syafi’i, dan
para imam Ahlus Sunnah lainnya menghadapi dan menangkal kesesatan Syi’ah Rafidhah. Jahm bin
Shafwan yang mengusung Jahmiyah juga diruntuhkan Al-Imam Malik, Abdullah bin Mubarak, dan
lainnya. Demikian pula tatkala menyebar pemahaman dan keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk bukan Kalamullah. Maka, Al-Imam Ahmad bin Hanbal tampil memerangi pemahaman dan
keyakinan sesat tersebut.

13
Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memunculkan para pembela risalah-Nya. Mereka terus
berupaya menjaga as-sunnah, agar tidak redup diempas para ahli bid’ah. Bermunculan para imam,
seperti Al-Imam Al-Barbahari, Al-Imam Ibnu Khuzaimah, Al-Imam Ibnu Baththah, Al-Imam Al-Lalika’i,
Al-Imam Ibnu Mandah, dan lainnya dari kalangan imam Ahlus Sunnah. Lantas pada kurun berikutnya,
ketika muncul bid’ah sufiyah, ahlu kalam dan filsafat, hadir di tengah umat para imam, seperti Al-
Imam Asy-Syathibi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya, yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu
Abdilhadi, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, dan lainnya rahimahumullah.

Sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri bagi sebagian umat Islam bukan lagi sosok yang asing.
Kiprah dakwahnya begitu agung. Pengaruhnya sangat luas. Kokoh dalam memegang sunnah. Sebab,
menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi para hamba, tidak
ada pula keselamatan di hari kembali nanti (hari kiamat) kecuali dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

َ ‫ َو َم ْن يَ ْع ِص‬.‫يم‬
‫الله‬ ُ ‫يها َو َذلِ َك الْفَ ْو ُز ال َْع ِظ‬ َ ‫ين ِف‬َ ‫ار َخا ِل ِد‬ ُ ‫ح ِت َها ال ْأَن ْ َه‬
ْ َ‫ج ِري ِم ْن ت‬ ٍ ّ ‫الله َو َم ْن يُ ِط ِع الل َّ َه َو َر ُسول ُـَه يُ ْد ِخل ُْه َجن‬
ْ َ‫َاتت‬ ِ ‫ود‬ ُ ‫ِتل َْك ُح ُد‬
‫ين‬
ٌ ‫اب ُم ِه‬
ٌ ‫ع َذ‬
َ ‫يها َول َُه‬ ِ ِ
َ ‫ارا َخال ًدا ف‬ ِ
ً َ ‫ود ُه يُ ْدخل ُْه ن‬
َ ‫َو َر ُسول َُه َويَتَ َع َّد ُح ُد‬

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.” (An-Nisa’: 13-14)

Maka, ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan poros kebahagiaan yang seseorang
berupaya mengitarinya, juga merupakan tempat kembali yang selamat yang seseorang tak akan
merasa bingung darinya.

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan makhluk dalam rangka untuk beribadah
kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:

ِ ‫سلَّا لِيَ ْعبُ ُد‬


‫ون‬ ‫ت ال ْجِ ّ َن َوال ْ ِإن ْ َ ِإ‬
ُ ْ‫َو َما َخلَق‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-
Dzariyat: 56)

Sesungguhnya peribadahan mereka dengan menaati-Nya dan taat terhadap Rasul-Nya. Tidak ada
ibadah kecuali atas sesuatu yang telah Dia (Allah Subhanahu wa Ta’ala) wajibkan dan sunnahkan
dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain dari itu, maka yang ada hanyalah kesesatan dari
jalan-Nya. Untuk hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٌ ‫عل َيْ ِه أ َ ْم ُرنا َ ف َُه َو َر ّد‬ َ ‫ع ِم َل‬


َ ‫ع َمال ً ل َيْ َس‬ َ ‫َم ْن‬

“Barangsiapa melakukan satu amal yang tidak ada dasar perintah kami, maka tertolak.” (Shahih Al-
Bukhari no. 2697 dan Shahih Muslim, 1718)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Ahlu Sunan dan dishahihkan At-Tirmidzi rahimahullahu:

‫ع ُّضوا‬ َ ‫ِّين ِم ْن بَ ْع ِدي تَ َم ّ َسك ُوا ب َِها َو‬


َ ‫ْـم ْه ِدِيّـ‬
َ ‫ين ال‬َ ‫اش ِد‬ ِ ‫الر‬ ُ ‫يرا ف ََعل َيْك ُْم ب ُِسن َّ ِتـي َو ُسن ّ َِة ال‬
َّ ‫ْـخل َ َفا ِء‬ ً ‫اخ ِتل َافًا ك َ ِث‬
ْ ‫ِإن ّ َُه َم ْن يَ ِع ْشِمنْك ُْم بَ ْع ِدي ف ََسيَ َرى‬
َ
َ ‫ور َف ِإ ّ َن ك ُّل ب ِْد‬
‫ع ٍة َضل َال َ ٌة‬ ُ ِ ‫ح َدث‬
ِ ‫َاتال ْأ ُم‬ ْ ‫ َو ِإيَّاك ُْم َو ُم‬،‫َيها بِالن ّ ََواجِ ِذ‬
َ ‫عل‬
َ

“Sesungguhnya kalian akan hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan. Maka,
pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang
14
teguh sunnah dan gigit dengan gerahammu. Dan hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan,
karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2676) [Lihat Majmu’ah Al-Fatawa,1/4]

Itulah manhaj (cara pandang) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam menetapi Islam.
Cara pandang inilah yang telah hilang dari sebagian kaum muslimin sehingga terjatuh pada perkara-
perkara yang diada-adakan, yang perkara tersebut tidak dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Perkara tersebut mereka ada-adakan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam
sendiri tak mengajarkan semacam itu. Mereka terbelenggu bid’ah nan menyesatkan.

Kekokohan memegang teguh prinsip beragama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
digambarkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu. Kata Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu, “Aku tak
pernah melihat orang yang seperti beliau. Tidak pula dia melihat orang yang seperti dirinya. Aku
melihat, tidak ada seorangpun yang lebih mengetahui dan sangat kuat mengikuti Al-Kitab dan
sunnah Rasul-Nya dibanding beliau. Pantaslah bila sosok Syaikhul Islam senantiasa membuat susah
para ahlu bid’ah. Disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi rahimahullahu, bahwa beliau rahimahullahu
adalah pedang terhunus bagi orang-orang yang menyelisihi (Al-Kitab dan As-Sunnah). Menyusahkan
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, yang suka mengada-adakan ajaran (baru) dalam agama.
(Al-Ushul Al-Fikriyah Lil-Manahij As-Salafiyah ‘inda Syaikhil Islam, Asy-Syaikh Khalid bin Abdirrahman
Al-‘Ik)

Kecemburuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu terhadap harkat martabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar. Itu bisa tergambar melalui tulisan beliau rahimahullahu
yang berjudul Ash-Sharimu Al-Maslul ‘ala Syatimi Ar-Rasul (Pedang Terhunus terhadap Orang yang
Mencaci Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tulisan ini merupakan sikap ilmiah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu dalam menyikapi orang yang mencaci-maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mencaci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bukan perkara ringan. Ini
menyangkut nyawa manusia. Sikap tegas, ilmiah, dan selaras akal sehat ini merupakan bentuk
penjagaan beliau rahimahullahu terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang
dibawanya.

Bahkan tatkala beliau dipenjara pun, senantiasa menyebarkan kebaikan kepada sesama penghuni
penjara. Beliau rahimahullahu memberi bimbingan, melakukan amar ma’ruf, dan mencegah
kemungkaran. Dikisahkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi rahimahullahu, tatkala beliau masuk tahanan,
didapati para penghuni tahanan sibuk dengan beragam permainan yang sia-sia. Di antara mereka
sibuk dengan main catur, dadu, dan lainnya. Mereka sibuk dengan permainan tersebut hingga
melalaikan shalat. Lantas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mencegah hal itu secara tegas.
Beliau memerintahkan mereka untuk menetapi shalat. Mengarahkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam setiap amal shalih. Bertasbih, beristighfar, dan berdoa. Mengajari mereka tentang
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai yang mereka butuhkan. Beliau rahimahullahu
mendorong mereka untuk suka melakukan amal-amal kebaikan. Sehingga jadilah tempat tahanan
tersebut senantiasa dipenuhi kesibukan dengan ilmu dan agama. Bilamana tiba waktu pembebasan,
para narapidana tersebut lebih memilih hidup bersama beliau. Banyak dari mereka yang lantas
kembali ke tahanan. Akibatnya, ruang tahanan itu pun penuh. (Al-Ushul Al-Fikriyah hal. 51)

Demikianlah kehidupan seorang alim. Keberadaannya senantiasa memberi manfaat kepada umat.
Dia menebar ilmu, menebar cahaya di tengah keterpurukan manusia. Dia laksana rembulan purnama
di tengah bertaburnya bintang gemilang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
perumpamaan keutamaan antara seorang alim dengan seorang abid (ahli ibadah). Dari Abud Darda’
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َ
‫ ِإن ّ ََما‬،‫ارا َوال َ ِد ْر َه ًما‬
ً َ ‫َـم يُ َو ِّ ّـِرثُوا ِديْن‬
ْ ‫اء ل‬ َ َ‫ ِإ ّ َن ال ْأنْبِي‬،‫اء‬ َ ‫ ِإ ّ َن ال ُْعل ََم‬،‫عل َى َسا ِئ ِر الْك ََوا ِك ِب‬
َ َ‫اء َو َرثَ ُة ال ْأنْبِي‬ َ ‫عل َى ال َْعا ِب ِد كَفَ ْض ِل الْقَ َم ِر‬
َ ‫َوف َْض ُلال َْعالِ ِم‬
‫ِح ٍّّـٍظ َوا ِف ٍر‬
‫ب‬ ‫ذ‬ ‫خ‬ َ ‫أ‬ ‫ه‬
َ َ َ َُ َ ْ َ َ ‫ذ‬ ‫خ‬ َ ‫أ‬ ‫ن‬‫َم‬‫ف‬ ‫ْم‬ ‫ل‬ ِ
‫ْع‬ ‫ل‬‫ا‬ ‫ُوا‬ ‫ث‬ ‫ر‬ ‫و‬
َّ َ

15
“Dan keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah, bagai rembulan atas seluruh bintang.
Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan
dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia telah
mengambil keberuntungan yang banyak.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2682, Sunan Abi Dawud no. 3641,
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini).

Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat


Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus
Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para
sahabat) dan sering menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga
mendo’akan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk
mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-
orang yang datang sesudah mereka mengatakan ; Wahai Rabb kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami
dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati
kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha
Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan termasuk salah satu
prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri
untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak
mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara
mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam,
pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau,
pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di
antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para
mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun
tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka
balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian
perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al Baqarah : 141). Barangsiapa yang mendiskreditkan para sahabat
maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan
akal.”

4. Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits

Isilah Salafi atau Salafiyah menurut bahasa adalah telah lalu. Kata Salaf juga bermakna
seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan.
Ibnu Manzhur mengatakan bahwa salaf berarti orang yang mendahului anda, baik dari
bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua umurnya dan lebih utama.

Adapun salaf menurut istilah adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para sahabat.
Ketika disebutkan salaf, maka yang maksud pertama kali adalah para sahabat. Adapun
selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang–orang yang mengikuti
mereka. Artinya bila mereka mengikuti para sahabat, maka disebut Salafiyyun (orang-

16
orang yang mengikuti salafush shalih) (Yazid : 15). Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-
Taubah ayat 100 yang maksudnya bahwa: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-
tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”

Dari segi zaman, kata salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik-baik kurun, dan
yang lebih patut dicontoh dan diikuti yaitu tiga kurun yang pertama (dalam Islam) yang
diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan kebaikan melalui lisan sebaik-baik
manusia, yaitu Rasulullah. (Yazid : 18)

Apakah pembatasan dari segi zaman ini cukup untuk membatasi pengertian salaf, sehingga
setiap orang yang hidup pada tiga generasi awal adalah termasuk dalam kriteria salaf.
Tentu saja tidak demikian, sesungguhnya sudah banyak golongan dan kelompok muncul
pada masamasa tersebut. Terdahulu berdasarkan masa, tidak cukup untuk menentukan itu
salaf atau tidak. Harus ditambahkan syarat dalam hal ini yatiu kesesuaian dengan al-Qur’an
dan Sunnah, sehingga siapapun yang akalnya menyelisihi kedua sumber tersebut bukanlah
salafi, meskipun dia hidup ditengah-tengah para sahabat dan tabi’in. (Abdussalam bin
Salim al-Suhaimi 1429 H : 56). Ada beberapa hal di dalam memahami pengertian Salafi
yaitu:

Al-salaf yaitu mereka tiga generasi pertama dan paling utama dari umat islam, yaitu para
sahabat (mereka yang hidup sebagai muslim pada masa Nabi, pernah bertemu dengan
beliau, serta wafat sebagai muslim), Tabi’in (mereka yang hidup di masa sahabat dan wafat
sebagai muslim), dan Tabi’ut Tabi’in (mereka yang hidup di masa tabi’in dan wafat dalam
keadaan muslim).

5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM

Konsep keadilan melibatkan apa yang setimpal, setimbang, dan benar-benar sepadan bagi
tiap-tiap individu. Seluruh peristiwa terdapat maksud yang lebis besar “yang bekerja di
balik skenario” yang berkembang atas landasan spiritual untuk kembali kepada Tuhan.
Terdapat keadilan yang menyeluruh bagi semua. Hukum, konstitusi, mahkamah agung,
atau sistem keadilan buatan manusia tidak ada yang dapat memberi keadilan semacam
itu.156 Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu asas yang harus dijunjung. Allah
sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-„Adlu) yang harus dicontoh oleh hamba-Nya. Bagi
kebanyakan manusia, keadilan sosial adalah sebuah cita-cita luhur. Bahkan setiap negara
sering mencantumkan secara tegas tujuan berdirinya negara tersebut di antaranya untuk
17
menegakkan keadilan. Banyak ditemukan perintah untuk menegakkan keadilan157 karena
Islam menghendaki agar setiap orang menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan
memperoleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya keselamatan
agamanya, keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya), keselamatan akalnya,
keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab keturunannya. Sarana pokok yang
menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah tegaknya keadilan (al-„adl) di dalam
tatanan kehidupan masyarakat.

Keadilan memiliki makna umum dan mempunyai makna khusus, meliputi keadilan dalam
bermuamalah, keadilan dalam hukum, keadilan dalam keuangan, dan keadilan dalam hak-
hak manusia. Terdapat beberapa istilah untuk mengindikasikan kata,beberapa sinonimnya
adalah qisth, istiqamah.

DAFTAR PUSTAKA

Almubarok, Fauzi. 2018. “Keadilan dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal ISTIGNHA, Vol 1,No.2
Juli 2018 P-ISSN 1979-2824

Muhammadin. 2013. “Manhaj Salafiyah” dalam JIA/Desember 2013/Th. XIV/Nomor 20/147-161

https://core.ac.uk/download/pdf/297921818.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Allah_(Islam)

https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/29/tiga-generasi-terbaik-umat-manusia/

https://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-islam/

https://muslim.or.id/2406-inilah-generasi-terbaik-dalam-sejarah.html

https://media.neliti.com/media/publications/99519-ID-manhaj-salafiyah.pdf

https://kalam.sindonews.com/read/31183/69/generasi-terbaik-adalah-masa-nabi-bagaimana-
dengan-masa-kini-1589555128?showpage=all

18

Anda mungkin juga menyukai