Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH AKUNTANSI DAN PERENCANAAN PAJAK

Tentang

“ KEWAJIBAN PEMBUKUAN ”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Akuntansi Perencanaan


Pajak

Dosen Pengampu : Citra Lutfia ,S.E, M.A

Disusun Oleh :

Tsania Fitriana - 170221100105

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2020
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
dan Badan
....................................................................................................................
3
2.2 Peran Akuntansi Dalam Perpajakan Indonesia
....................................................................................................................
9
2.3 Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan
....................................................................................................................
11
2.4 Ketentuan Pengecualian Dan Sanksi Kewajiban Pembukuan
....................................................................................................................
22
2.5 Penyelenggaraan Pembukuan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan
Mata Uang Selain upiah
....................................................................................................................
24
2.6 Kewajiban Perpajakan dan Kerahasiaan Pembukuan
....................................................................................................................
32

BAB III PENUTUP

ii
..........................................................................................................................
35

3.1 Kesimpulan
..........................................................................................................................
35

DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................................................................
37

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembukuan atau pencatatan pajak di pergunakan sebagai dasar


penghitungan pajak terutang pada suatu tahun pajak, selain itu juga digunakan
sebagai informasi yang benar dan lengkap. Penghasilan wajib pajak sangat
penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar senilai dengan
kemampuan ekonomis wajib pajak dan bertujuan menyajikan informasi  yang di
maksud. Wajib pajak harus menyelengarakan pembukuan. Dimana dengan
pembukuan tersebut wajib pajak dapat mengetahui sendiri berapa besanya pajak
terutang, menyetor dan melapor pajak.

Kewajiban pembukuan terhadap setiap perusahaan tidak terbatas pada


aturan yang ada. Pada kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), namun
juga pada aturan yang dimuat dalam undang-undangn peroajakan yang
mempunyai dasar sama yaitu kepada setiap orang yang menjalankan perusahaan
untuk menyelenggarakan pembukuan.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang perseroan terbatas


yang telah dubah dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 juga tersirat
perlunya pembukuan karena direksi wajib menyusun laporan tahunan untuk
diajukan ke Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang memuat sekurang-
kurangnya perhitungan tahunan yang terdiri atas rencana akhir tahun dan
perhitungan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan serta penjelasan atas
dokumen. Perhitungan tersebut dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
(SAK).

Demikian halnya undang-undang tentang pasar modal mensyaratkan


diperlukannya laporan keuangan yang disampaikan kepada Bapepam wajib
disusun berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, yaitu SAK yang

1
diterapkan Ikatan Akuntansi Indonesia (iai). Memperhatikan ketentuan diatas
tampak pentingnya pembukuan ini untuk kepentingan perushaan maupun pihak
lain yang membutuhkan informasi, seperti pemegang saham, direktorat jenderal
pajak, dan lain-lain.

Dalam bisnis, penggunaan istilah akuntansi memang sangat populer,


tetapi dalam perpajakan hanya digunakan istilah pembukuan atau pencatatan
berikut konsekuensi atas sanksi apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kewajiban pembukuan dan pencatatan bagi wajib pajak orang
pribadi dan badan ?
2. Bagaimana peran akuntansi dalam perpajakan Indonesia?
3. Bagaimana penggunaan norma penghitungan penghasilan ?
4. Bagaimana ketentuan pengecualian dan sanksi dari kewajiban
pembukuan ?
5. Bagaimana penyelenggaraan pembukuan menggunakan bahasa asing dan
satuan mata uang selain rupiah ?
6. Bagaimana kewajiban perpajakan dan kerahasiaan pembukuan ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kewajiban pembukuan dan pencatatan bagi wajib pajak
orang pribadi dan badan ?
2. Untuk mengetahui peran dari akuntansi dalam perpajakan Indonesia?
3. Untuk mengetahui penggunaan norma penghitungan penghasilan ?
4. Untuk mengetahui ketentuan pengecualian dan sanksi dari kewajiban
pembukuan ?
5. Untuk mengetahui penyelenggaraan pembukuan menggunakan bahasa asing
dan satuan mata uang selain rupiah ?
6. Untuk mengetahui kewajiban perpajakan dan kerahasiaan pembukuan ?

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan
Badan
2.1.1 Pembukuan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Badan

Pasal 13 Undang-Undang Pajak Perseroan Tahun 2007 menyatakan


bahwa pihak pengurus perseroan, perhimpunan, maskapai, lembaga, dan badan
yang menjalankan perusahaan yang labanya dikenakan pajak harus
menyelenggarakan pembukuan di Indonesia dengan cara sedemikian rupa,
sehingga dari pembukuan tersebut dapat diketahui laba yang dikenakan pajak.

Demikian halnya Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai penyempurna perundang-
undangan perpajakan sebelumnya, kewajiban pembukuan memang melekat pada
setiap wajib pajak, tetap undag-undang pajak juga memberikan pembatasan bagi
wajib pajak Orang Pribadi sebagai bentuk toleransi, pasal 28 Undang-Undang
KUP mewajibkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak Badan di Indonesia wajib
menyelenggarakan pembukuan. Sebagai catatan perlu kiranya disampaikan
Undang-Undang KUP No. 28 Tahun 2007 terdapat perubahan ketetuan pasal 37A
ayat (1) yang menyatakan bahwa wajib pajak yang menyampaikan pembertahuan
surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun pajak 2007 yang
mengakibatkan pajak yang masih harus dbayar menjadi lebih besar dan dilakukan
paling lambat tanggal 28 Februari 2009, dapat diberikan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan
kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
peraturan Menteri Keuangan.

Sebagai tindak lanjut keluarlah Undang-Undnag Republik Indonesia No.


16 Tahun 2009 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 5

3
tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi undang-undang.
Penggunaan rujukan tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan ini disebut
dengan Undang-Undnag No. 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP).

Pengertian pembukuan sesuai dengan Pasal 1 angka 29 Undang-Undang


KUP menyatakan bahwa pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi aset, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
prolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.

Undang-undang pajak menggunakan istilah pembukuan, tetapi dalam


akuntansi komersial seperti dalam SAK tidak menggunakan istilah pembukuan.
Beberapa buku teks akuntansi mendefinisikan pembukuan adalah kegiatan
mengumpulkan , mencatat, dan menganalisis data transaksi keuangan ke dalam
buku atau catatan yang telah disiapkan, serta pengendalian proses akuntansi
melalui prinsip pengendalian internal, pengukuran nilai transaksi kedalam nilai
moneter berdasarkan standar akuntas yang berlaku, dan menyajikan hasil transaksi
keuangan menjadi informasi keuangan itulah yang disebut dengan laporan
keuangan.

Menurut UU KUP Nomor 16 tahun 2009 pasal 1 angka 29, pembukuan


adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan
barang/jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut. Laporan keuangan tersebut
wajib dilampirkan dalam penyampaian SPT tahunan sesuai dengan pasal 4 ayat
(4), (4a), (4b) UU KUP.

Sedangkan menurut UU KUP Nomor 16 tahun 2009 pasal 28 ayat 9,


pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan

4
atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan
pajak yang bersifat final.

Apabila dibandingkan dengan pengetian akuntansi, maka pengertian


pembukuan lebih sempit tetapi bermakna sama, yaitu menghasilkan laporan
keuangan dan lebih mengacu pada kebutuhan informasi keuangan sebagai
pertanggungjaban Wajib Pajak yang dituangkan dalam Surat Pemberitahuan
(SPT). Laporan keuangan yang dihasilkan dari pembukuan harus mampu
mendukung atau membuktikan kebenaran angka yang dilaporkan dalam SPT pada
saat dilakukan pemeriksaan atau penyidikan yang sering disebut sebagai
akuntabilitas pajak.

Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Peghasilan menyatakan bahwa


jumlah peredaran usaha yang menjadi batas kewajiban penyelenggaraan
pembukuan sebesar Rp 4.800.000.000,- setahun. Ketentuan ini hanya berlaku
pada Wajib Pajak Orang Pribadi. Setiap Wajib Pajak yang memiliki peredaran
usaha memiliki batas tersebut wajib menyelenggaraan pembukuan. Sedangkan
wajib pajak yang peredaran uahanya kurang dari batas tersebut tidak wajib
menyelenggarakan pembukuan, tetapi diwajibkan menyelenggaraan pencatatatn
secara teratur terhadap seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperolehnya
selama satu tahun pajak. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak Orang
Pribadi tersebut akan atau diperbolehkan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto dengan syarat memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Ketentuan pembukuan dalam pasal 28 Undang-Undang KUP mengatur


masalah pembukuan secara umum dan pembukuan untuk keperluan menghitung
Pajak peghasilan. Untuk kepentingan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak
penjualan atas barang mewah (PPnBM), Wajib pajak ternyata juga diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Pasal 6 Undang-Undang PPN dan
PPnBM menentukan bahwa setiap wajib pajak yang telah dikukuhkan menjadi

5
Pengusaha Kena Pajak (PKP) berkewajiban memungut PPN, menghitung PPN
masukan, menyetor PPN yang terutang, dan melaporkannya dalam SPT Masa
PPN ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat Wajib Pajak terdaftar, serta
mencatat semua jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuanya. Secara umum, setiap Wajib Pajak
yang memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto tidak
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan, melainkan cukup mencatat nilai
peredaran bruto secara teratur yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Berbeda dengan pembukuan, pengertian pencatatan dimaksudkan sebagai
kegiatan pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan
bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menhitung jumlah pajak
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenakan
pajak yang bersifat final.

Dalam UU KUP Nomor 16 tahun 2009 ayat 1 diatur bahwa wajib pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas dan WP badan di
Indonesia wajib melakukan pembukuan. Hal ini dimaksudkan agar dengan
melakukan pembukuan maka WP dapat menghitung besarnya pajak yang
terutang. Syarat pembukuan diatur dalam pasal 28 ayat 3, 4, 5 dan 7 UU KUP
sebagai berikut:

1. Pembukuan haruslah diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik


dan mencerminkan keadaan/kegiatan usaha yang sebenarnya (full
disclousure)
2. Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf
latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah dan disusun dalam Bahasa
Indonesia/ dalam bahas asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan
3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas (consistency) dan
stelsel akrual atau stelsel kas
4. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku harus
mendapat persetujuan Direktorat Jendral Pajak (DJP)

6
5. Pembukuan yang diselenggarakan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta penjualan dan
pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak terutang
6. Buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen
termasukk hasil pengelolaan data dari pembukuan yang dikelola secara
elektronik atau secara program aplikasi online, wajib disimpan selama 10
tahun di Indonesia yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal WP orang
pribadi atau di tempat kedudukan WP badan.

Namun ada pengecualian dalam penyelenggaraan pembukuan, hal ini


diatur dalam Pasal 28 ayat (8) UU KUP jo. PMK-196/PMK.03.2007. WP dapat
melakukan dalam Bahasa asing dan selain mata uang rupiah yaitu :

1. WP harus mendapat izin tertulis dari Menteri keuangan, dengan mengajukan


surat permohonan kepada Kepala Kanwil paling lambat 3 bln sebelum tahun
buku dengan Bahasa asing dan satuan mata uang dollar AS dimulai atau
sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk bagian tahun pajak/ tahun pajak
pertama.
2. Permohonan kepada Menteri Keuangan harus dilampirkan dengan
 Fotokopi SPT tahunan PPh badan tahun terakhir (WP yang telah berdiri
lebih dari 1 tahun)
 Fotokopi NPWP dan fotokopi Akta Pedirian atau dokumen lainnya
yang serupa ( WP BUT/WP yang baru berdiri dalam tahun berjalan)

Menurut UU KUP Nomor 16 tahun 2009 pasal 38-39, sanksi bagi WP


yang dengan sengaja tidak menyelenggarakan pembukuan adalah penghitungan
pajaknya akan dilakukan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto ditambah sanksi kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang bayar.
Adapun sanksi pidana berupa pidana penjara paling sedikit 6 bulan dan paling lam
6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang
bayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang bayar.

2..1.2 Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

7
Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang – Undang KUP
menyatakan pengecualian penyelenggaraan pembukuan bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi tetapi, tetap menyelenggarakan pencatatan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk


dan Tata Cara Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi mengatur kewajiban
pencatatan. Wajib Pajak Orang Pribadi diwajibkan menyelenggarakan pencatatan,
yaitu:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang sesuai dengan ketentuan perundang – undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilannya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dan
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi Wajib Pajak yang


menyelenggarakan pencacatan, yaitu:

1. Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan


keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia.
2. Pencatatan dalam suatu tahun harus diselenggarakan secara kronologis.
3. Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di
tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dilakukan selama 10 (sepeuluh) tahun.
4. Pencatatan harus dapat menggambarkab, antara lain:
a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/ atau jumlah penghasilan bruto
yang diterima dan/ atau diperoleh;
b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.

8
5. Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/ atau tempat
usaha pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing –
masing jenis usaha dan/ atau tempat usaha yang bersangkutan.
6. Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pencatatan (perhatikan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007) sesuai
persyaratan bahwa pencatatannya harus menggambarkan seperti uraian
pada butir 4 di atas diharuskan pula menyelenggarakan pencatatan atas
harta dan kewajiban.
2.2 Peran Akuntansi Dalam Perpajakan Indonesia
Pemungutan pajak di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu
periode sebelum tahun 1984 dan periode tahun 1984 sampai sekarang. Pembagian
tersebut berdasarkan pada reformasi perundang – undangan perpajakan yang
mengacu pada lahirnya undang – undang perpajakan setelah kemerdekaan. Dalam
kurun waktu kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 sampai akhir tahun 1983,
prinsip perpajakan masih menggunakan undang – undang perpajakan produk
masa kolonial/ penjajahan Belanda dengan disertai beberapa penyempurnaan.

Pada masa penjajahan Belanda, sistem perpajakan menekankan


fungsinya pada segi penerimaan keuangan untuk keperluan pemerintah Belanda.
Pajak dipungut dari rakyat untuk kepentingan pembangunan di negeri Belanda
sehingga sistem pemungutan pajak yang dianut adalah sistem yang meletakkan
dasar kekuatan administrasi perpajakan. Sistem ini menekankan bahwa jumlah
pajak terutang sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak (otoritas perpajakan).

Pada sistem ini Wajib Pajak tidak diberikan kepercayaan sama sekali
dalam perhitungan utang pajaknya. Aparat perpajakan (fiskus) memiliki
wewenang yang sangat luas, sehingga sangat merugikan Wajib Pajak dan
melemahkan peran akuntansi. Namun sebenarnya tidak demikian halnya, karena
pada masa sekarang lebih mengedepankan transparansi dan akuntabilitas agar
tercipta tata kelola yang baik (good govermance).

9
Meskipun sistem perpajakan Belanda tersebut telah disempurnakan,
perubahan – perubahannya tidak terlalu mendasar. Hukum pajak yang berlaku
masih meletakkan landasannya pada kekuasaan administrasi perpajakan. Oleh
karena pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak, maka pada tahun 1967
diperkenalkan sistem pemungutan pajak yang dikenal dengan sistem Menghitung
Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang Lain (MPO) dengan Undang –
Undang No.867 junto PP No.11 Tahun 1967. Pemungutan pajak dalam cara yang
baru itu juga mencakup self assessment system. Melalui Inpres No.6 Tahun 1979
yang dikenal dengan Paket 27 Maret 1979 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 108/KMK/077/79, Wajib Pajak diberikan keringanan dalam penetapan
pajak apabila yang bersangkutan menggunakan laporan pemeriksaan akuntan
publik. Peraturan baru ini sekaligus membatasi kewenangan aparat perpajakan
dalam menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak.
Laporan keuangan yang dibuat oleh akuntan publik, tidak dikoreksi, kecuali
apabila lapora itu ternyata tidak benar. Dengan demikian, sejka tahun 1979
peranan akuntansi semakin meningkat dalam perpajakan. Kesempatan ini ternyata
belum dimanfaatkan secara optimal baik oleh Wajib Pajak maupun oleh profesi
akuntan. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa akuntan publik yang
menyalahgunakan iktikad baik pemerintah.

Sejak reformasi undang – undang perpajakan tahun 1983, babak baru


perpajakan Indonesia ditandai dengan asa perpajakan sebagai berikut:

1. Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan,


termasuk membayar pajak.
2. Asas keadilan, dalam pemungutan pajak kewenangan yang dominan tidak
lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang
harus dibayar.
3. Asas kepastian hukum, Wajib Pajak diberikan ketentuan yang sederhana
dan mudah dimengerti serta pelaksanaan adminitrasi pemungutan pajaknya
tidak birokratis.

10
Untuk mewujudkan asas tersebut, pemungutan pajak di Indonesia
menggunakan self assessment system. Pada sistem ini masyarakat Wajib Pajak
diberi kepercayaan penuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, sehingga
peran akuntansi atau pembukuan/ pencacatan Wajib Pajak menjadi sangat besar.

11
2.3 Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan

Bagi wajib pajak menyelenggarakan pencatatan memang lebih


sederhana dibandingkan menyelenggarakan pembukuan. Penghitungan besarnya
penghasilan neto untuk setiap jenis penghasilan bruto Wajib Pajak ditetapkan
dengan presentase yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak sedangkan sebagai
pengawasannya bahwa setiap Wajib Pajak yang menyelenggarakan pencatatan
wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jendral Pajak dalam jangka
waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak dimaksud dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan. Norma penghitungan tersebut digunakan sebagai
pedoman menentukan besarnya penghasilan neto dan pedoman tersebut dilakukan
dalam hal:

1. Tidak dapat dasar penghitungan yang lebih baik yaitu pembukuan yang
lengkap atau,
2. Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.

Norma penghitungan penghasilan neto hanya boleh digunakan oleh wajib


pajak Orang Pribadi yang melekuan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp4.800.000.000,00 sebagaimana telah
disebutkan pada uraian sebelumnya.

Dari pengertian pembukuan tersebut, sasaran terakhir yang hendak


dicapai adalah menyusun laporan keuangan, tetapi tidak diberikan dasar yang
digunakan sebagaimana dalam undang-undang lainnya seperti SAK yang
ditetapkan oleh IAI. Apabila kita lihat penjelasan Pasall 28 ayat (7) Undang-
undang KUP, dikatakan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan cara
atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan SAK, kecuali
peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

12
Berdasarkan penjelasan tersebut maka penyelenggara pembukuan
menjadi suatu kewajiban bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan usaha
atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia, sehingga semua Wajib
Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan.

Kewajiban menyelenggarakan pembukuan ini dikecuallikan bagi Wajib


Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
menurut ketentuan petundang-undangan perpajakan diperbolehkan untuk
menghitung penghasilan neto menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas. Namun, Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut wajib melakukan
pencatatan. Bagi Wajib Pajak yang tidak wajib melakukan pembukuan maupun
pencatatan tidak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Pajak Penghasilan.

Dalam rangka penyelenggaraan pembukuan ini, setiap Wajib Pajak


memenuhi ketentuan Pasal 28 Undang-undang KUP, yaitu sebagai berikut:

1. Pembukuan atau pencatatan haruslah diselenggarakan dengan


memperhatikan iktikad dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya,
2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan haruf latin, angka arah, satuan mata uang rupiah, dan
susunan dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan
oleh Mentri Keuangan.
3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan stelsel akrual
atau stelsel kas. Prinsip taat asas mengharuskan Wajib Pajak menggunakan
prinsip yang sama dalam metode pembukuan yang konsisten dengan
tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya adalah mencegah penggeseran laba
atau rugi. Prinsip taat asas dapat diterapkan dalam hal:
a. Pengakuan penghasilan

13
b. Tahun buku
c. Metode penelitian persediaan
d. Metode penyusutan dan amortisasi

Stelsel akrual adalah metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam


arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu
terutang, sehingga tidak bergantung pada kapan penghasilan diterima dan
kapan dibayar secara tunai.

Stelsel kas adalah metode yang penghitungannya berdasarkan pada


penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayarkan secara tunai,
sehingga penghasilan baru dianggap sebagi penghasilan apabila benar-
banar telah dibayar secara tunai dalam periode tertentu.

4. Perubahan yang terjadi terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku


harus mendapat persetujuan Direktur Jendral Pajak.
Perubahan mungkin dapat terjadi dalam hal metode pembukuan atau tahun
pajak, tetapi prinsip dasar yang harus dianut adalah taat asas, yaitu
konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai contoh adalah dalam
pemilihan metode pengakuan penghasilan biaya, apakah dengan metode
kas atau akrual; pemilihan metode penilaian; pemilihan metode
penyusutan aset tetap; dan lain-lain.
5. Pembukuan yang diselenggarakan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan
mengenai aet, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan
dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Pajak yang terutang tidak terbatas pada Pajak Penghasilan, tetapi juga
pajak lainnya. Sebagai contoh, agar PPN dan PPnBM dapat dihitung
dengan benar, maka pembukuannya haruslah mencatat juga jumlah
perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah
harga jual dari barang yang dikenakan PPnBM, jumlah pembayaran atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar maupun
dari dalam daerah pabean dan/atu pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari

14
luar maupun di dalam daerah pabean, serta jumlah pajak masukan yang
dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Pembukuan sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang perpajakan ini
adalah pembukuan yang diselenggarakan dengan cara atau sistem yang
lazim dipakai di Indonesia, yaitu SAK, kecuali perundang-undangan
perpajakan menentukan lain. Perubahan metode tersebut memerlukan
persetujuan Direktur Jendral Pajak dan pada saat pengajuan permohonan
untuk mendapat persetujuan dimaksud perlu disampaikan alasan-alasan
yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin ditimbulkannya.
Perubahan tahun buku juga harus mendapatkan persetujuan Direktur
Jendral Pajak. Pada prinsipnya, tahun takwim atau tahun kalender sama
dengan tahun pajak (tahun fiskal), tetapi Wajib Pajak dapat pula
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Apabila
terjadi demikian, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan
menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama
atau lebih.
Contoh:
a. Pembukuan 1 Juli 2011 sampai 30 Juli 2012 termasuk dalam tahun
pajak 2011 (enam bulan pertama jatuh pada tahun 2011).
b. Pembukuan 1 Oktober 2011 sampai 30 September 2012, tahun
pajaknya adalah tahun 2012, karena bulan terbanyak pada kurun waktu
tahun 2012.
6. Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10
(sepuluh) tahun. Penyimpanan ini diletakan ditempat kegiatan atau di
temmpat tingga bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, atau ditempatkan
kedudukan bagi Wajib Pajak Badan.
2.3.1 Pemenuhan Syarat Pembukuan atau Pencatatan

Umumnya dalam penyelenggaraan akuntansi keuangan, termasuk sistem


akuntansinya akan terbayang kompleksitas. Maka apakah pembukuan perpajakan

15
rumit? Sebenarnya pembukuan perpajakan tidak rumit, perhatikan syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-undang di bawah ini. Syarat ini wajib dipenuhi WP
untuk menyakinkan pemeriksa pajak bahwa penghitungan pajak terutang dapat
dilakukan dengan siste pembukuan yang telah dibangun Wajib Pajak.

1. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan


iktikad baik dan mencermintakan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya (mencerminkan apa adanya). Iktikad baik sebenarnya tercermin di
kalbu dan niat Wajib Pajak dalam mencatat atau membukukan transaksi
ekonomi dan keuangan yang berimplikasi kepada perpajakan. Sehingga
iktikad baik juga dapat diuji pada wujud fisik pembukuan perpajakan,
misalnya tidak terdapat ketidaktertiban dan ketidakteraturan atau irregularity,
termasuk tax evasion. Persoalan eksistensi iktikad baik ini akan mengarahkan
DJP dalam menilai apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian dan
kecerobohan WP dalam pembukuan dan penghitungan pajak oleh WP.
2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun
dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing dan mata uang selaian
Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Mentri
Keuangan. Bahas asing yang diizinkan adalah bahasa Inggris. Meskipun
pembukuan dalam bahasa Inggris, pengisian SPT tetap harus dalam bahasa
Indonesia. WP harus patuhi prosedur ini agar pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diakui (karena
memenuhi prosedur) oleh pemeriksa pajak
3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas (konsistensi) dan dengan
stelsel akrual atau stelsel kas
4. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak-pajak yang terutang. Perhatikan,
sistem pembukuan menurut Undang-undang KUP sebenarnya dapat dirancang

16
sederhana sepanjang dapat menghasilkan keluaran yang diminta oleh undang-
undang.

Pencatatan tidak sama dengan pembukuan karena pencatatan lebih


sederhana. Pencatatan oleh WP orang pribadi yang melakuan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas cukup berupa catatan yang dikumpulkan secara teratur.

1. Peredaran, penjualan atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan


lainnya yang merupakan objek pajak,
2. Penghasilan yang bukan objek pajak, dan/atau
3. Penghasilan yang dikenai pajak yang bersifat final.

Ini berarti WP semaksimal mungkin harus melakkukan pencatatan


terpisah antara penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final (lihat
kembali pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh) dengan penghasilan yang tidak
dikenakan pajak bersifat final. WP juga semaksimal mungkin harus dapat
melakukan pencatatan penghasilan yang bukan objek PPh (Lihat kembali Pasal 4
ayat (3) Undang-undang PPh).

Selain harus menyelenggarakan pencatatan butir a,b, dan c, WP orang


pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban baik yang
digunakan untuk melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Bagi WP
yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atu tempat usaha, pencatatan
harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha
dan/atau tempat usaha yang bersangkutan. Bentuk dan petunjuk pelaksaan
pencatatan bagi WP Orang Pribadi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Mentri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2007 dan Peraturan Direktur Jendral Pajak
Nomor Per-4/PJ/2009.

Pencatatan juga memiliki periode yaitu harus dibuat dalam suatu Tahun
Pajak, yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Desember. Pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan secara

17
kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran
dan/atau penerimaan bruto dan/atu penghasilan bruto.

2.3.2 Pemenuhan Prinsip Taat Asas Dan Stelsel Pembukuan

Prinsip taat asas atau konsistensi maksudnya adalag yang sama yang
digunakan pada pembukuan tahun-tahun sebelumnya diterapkan juga pada taun
berjalan atau tahun pelaporan. Prinsip taat asas adalah untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas ini menyerupai prinsip pada
akuntansi keuangan yang berkaitan dengan pemilihan dan penerapan suatu metode
akuntansi yang diatur dalam suatu SAK pada proses pembukuannya (akuntansi).
Undang-undang memberikan conth konsistensi misalnya dalam penerapan:

1. Stelsel pengakuan penghasilan. Yang dimaksud stelel pengakuan


penghasilan adalah stelsel kas atau stelsel akrual;
2. Tahun buku;
3. Metode penilaian persediaan; atau
4. Metode penyusutan dan amortisasi.

Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya


dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu
terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu
dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan
penghasilan berdasarkan metode presentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang
umumnya dipakai dalam bidang konstruksi yang jangka waktu pengerjaannya
jangka panjang dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti
bangun guna serah atau build operate and transfer (BOT) dan real estate.

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas


penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel
kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar diterima
secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru diangap sebagai biaya
apabila benar-benar telah dibayar secara tunai. Stelsel kas biasanya dugunakan

18
oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahan jasa, misalnya transportasi,
hiburan, usaha eceran kecil, dan restoran yang teggang waktu antara penyerahan
jasa dan penerimaan pembayaranya tidak berlangsung lama. Berbeda dengan
perpajakan, SAK tidak menerapkan stelsel kas.

Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa
diakui dan dibukukan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-
biaya diakui dan dibukukan pada saat barang, jasa, dan operasional dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghasilan dari taun
ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.
Oleh karena itu, untuk penghitungan PPh, menurut undang-udang KUP, WP
dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi


seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan tunai. Dalam
menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungan seluruh pembelian
baik yang dibeli tidak tunai atau persediaan.
2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan daya dapat
dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi
3. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten)

Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat


juga dinamakan stelsel campuran atau stelsel kas modifikasi.

Ketentuan perubahan metode akuntansi pada SAK & Undang-undang KUP

Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu
harus sama dengan tahun tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan
metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode
penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan
terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku masih dimungkinkan dnegan
syarat telah mendapat persetujuan dari direktur jenderal pajak. Perubahan metode

19
pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya
tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat
diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam


prinsip tat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau
sebaliknya atau perubahan penggunakan metode pengakuan biaya yang berkenaan
dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusunan
tertentu.

Contoh:

Wp dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusunan garis lurus. Jika


dalam tahun 2009 WP bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan
menggunakan metode penyusutan saldo menurun, WP harus minta persetujuan
terlebih dhulu kepada GJP yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009
menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari
perubahan metode tersebut.

Berbeda dengan SAK No. 25 (Revisi 2009) tentang kebijakan akuntansi.


Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan yang menentukn WP harus
melakukan pengungkapan dan penyajian dampak perubahan metode akuntansi
secara retroaktif (berlaku surut). Untuk perpajakan tidak perlu dilakukan
pembetulan SPT sehubungan dampak perubahan metode secara retroaktif.
Perubahan metode akuntansi oleh WP pada pembukuannya dianggap memenuhi
SAK apabila WP mengikuti dan menerapkan dampak rerospektif yang ditentukan
dalam SAK kecuali dalam hal:

1. Standar akuntans keuangan yang menyebabkan perubahan kebijakan akuntansi


menetapkan masa transisi
2. Standar akuntansi keuangan yang menyebabkan perubahan kabijakan
akuntansi menetapkan berlaku secara prospektif

20
3. Penerapan secara retrospektif dianggap tidak praktis ssuai standar akuntans
yang berlaku

Bagaimana dengan perubahan estimasi akuntansi? Dalam mengukur


suatu nilai transaksi, akuntansi menerapkan estmasian, misalnya masa manfaat
penyusutan aset tetap. Prinsip umum penentuan estimasian adalah kewajaran
karena keterbandingan estimasian yang dibentuk oleh WP (entitas) dengan basis
yang dapat dinilai secara objektif.

Perpajakan tidak mengenal estimasian karena estimasian mengikuti


penggolongan aset tetap atau aset tidak berwujud yang telah ditetapkan menteri
keuangan, sehingga untuk kepentingan perpajakan, tidak dikenal adanya dampak
prospektif pada laporan keuangan karena perubahan estimasi akuntansi sesuai
SAK No. 25 (Revisi 2009). Untuk keperluan penyusutan dan penyajian laporan
keuangan yang disampaikan kepada publik di luar DJP; WP harus menerapkan
SAK No. 25.

Perubhan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah


penghasilan atau kerugian WP. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus
mendapat persetujuan DJP. Perubahan tahun buku menurut SAK membutuhkan
pengungkapan yang memadai dan penyajian komparatif antara tahun buku
terakhir (misla tahun buku yang berakhit taggal 30 Juni 2013) dengan tahun buku
sebeumnya (misal tahun buku yang berakhir tanggal 31 Desember 2012) dan
tahun buku dengan periode yang sama (misal tahun buku yang berakhir tanggal 30
Juni 2012).

Tahun pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali WP


menggunkan tahun buku yang tidak sama dengan taun kalender. Apabila WP
menggunkan taun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan tahun
pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang didalamnya termasuk 6
(enam) tahun pertama atau lebih.

Contoh:

21
1. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan tahun buku 30 juni 2009 adalah
tahun pajak 2008 karena jumlah 6 bulan pertama atau lebih jatuh di tahun
2008.
2. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah
taun pajak 2009 karena 6 bulan pertama atau lebih berada di tahun 2009

Seperti yang telah dijelaskan di awal bab ini, pembukuan di dalam


ketentuan perpajakan dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat
dihitung pajak-pajak yang terutang. Selain dapat dihitng besarnya PPh, pajak
lainnya juga harus dapat dihitug dari pembukuan tersebut. Agar PPN dan PPnBM
dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga
perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual
dari barang yang dikenakan PPnBM, jumlah pembayaran atas pemanfaatan BKP
tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau
pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah pajak
masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan
demikian, pembukuan harus diselenggarakan sengan cara atau sistem yang
dipakai di indonesia yaitu berdasarkan SAK, kecuali peraturan perpajakan
menentukan lain.

2.3.3 Jangka Waktu dan Cara Penyimpanan Pembukuan atau Pencatatan.

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau


pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau dengan program aplikasi online wajib
disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia terhitung sejak berakhirnya
Tahun Pajak, yaitu di tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau di tempat
tinggal WP Orang Pribadi atau di tempat kedudukan WP Badan. Kurun waktu 10
(sepuluh) tahun penyimpanan buku catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur
mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Batas
waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut juga mengikuti batas waktu yang ditetapkan di

22
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang
Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
18 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3674)

Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar


pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan
secara program aplikasi online harus dilakukan dengan memperhatikan faktor
keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan. Dalam hal WP melakukan
transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan WP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh, kewajiban
menyimpan dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk
mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
(arm’s length transaction) yakni harga pertukaran di antara dua pihak telah dinilai
pada harga wajarnya pada saat transaksi dan tidak ada pengalihan biaya atau
kerugian atas keuntungan kepada pihak lain yang merugikan perpajakan.

2.4 Ketentuan Pengecualian Dan Sanksi Kewajiban Pembukuan

Kewajiban Wajib Pajak dalam menyelenggarakan pembukuan dengan


prinsip iktikad baik ini mengedepankan tuntutan moral untuk kepentingan pajak.
Pengecualian kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan
pencatatan adalah terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dan Wajib Pajak Orang
Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Tetap mengacu pada Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Dan


Tata Cara Perpajakan, setiap orang yang dengan sengaja :

1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau


dipalsukan seolah-olah benar

23
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan
atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya.

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam


dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-
tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Apabila seorang melakukan tindak pidana lagi sebelum lewat waktu 1


(satu) tahun terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan,
maka pidananya dilipatgandakan.

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, DJP dapat
menerbitkan SPKB dalam hal apabila kewajiban pembukuan atau pencatatan tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. WP yang
tidak menyelenggarakan pembukuan sesuai ketentuan atau pada saat diperiksa
tidak mampu memenuhi permintaan data dan informasi berupa dokumen
pembukuan yang memadai sehingga DJP tidak dapat menghitung jumlah pajak
yang seharusnya terutang, maka akibatnya DJP berwenang menerbitkan SKPKB
dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada
data yang tidak hanya diperoleh dari WP saja. Jumlah PPh yang kurang atau tidak
dibayar dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam
satu Tahun Pajak. Contoh kondisi yang menyebabkan terbitnya SKPKB terkait
pembukuan atau pencatatan yang tidak memenuhi syarat:

1. Pembukuan atau pencatatan tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi


atau peredaran bruto tidak jelas
2. Dokumen – dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka – angka
dalam pembukuan tidak dapat diuji
3. Rangkaian pemeriksaan dan/ atau fakta – fakta yang diketahui besar dugaan
disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu

24
sehingga dari sikap demikian jelas WP telah tidak menunjukkan iktikad
baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.

Dalam hal DJP menganggap penghasilan kena pajak yang dilaporkan


WP pada SPT Tahunan PPh tidak dapat diuji dan dihitung kebenarannya akibat
dari pembukuan yang tidak memenuhi syarat (pembukuan tidak dapat
membuktikan besarnya penghasilan kena pajak) maka DJP akan menerapkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran bruto WP yang
bersangkutan atau dari estimasi besarnya peredaran bruto WP. Akibat lain adalah
pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara
jabatan oleh DJP yang dianggap keliru oleh WP dan menjadi dasar keberatan WP
dibebankan kepada WP atau disebut sebagai pembuktian terbalik. Pembuktian
terbalik menyulitkan WP itu sendiri.

Sanksi lain yang mengancam WP yang tidak memenuhu ketentuan tentang


pembukuan atau pencatatan adalah adanya sanksi pidana kepada:

1. WP yang memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang


palsu atau dipalsukan seolah – olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan
yang sebenarnya
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan tau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain
3. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi online di Indonesia.

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana


dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar

25
2.5 Penyelenggaraan Pembukuan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata
Uang Selain Rupiah

Undang-Undang Pajak tidak mengatur dengan istilah mata uang


pelaporan utama. Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan
menyatakan bahwa pembukuan atau pencatatan harta diselenggarakan di
Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah
dan di susun dalam bahasa indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan. Dari sisi SAK dikenali mata uang pencatatan dan mata uang
pelaporan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/DMK.03/2007 Tanggal 28


Desember 2007 mengatur Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan bahasa
asing dan satuan mata uang selain rupiah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012 dan ditindaklanjutkan
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 11/Pj/2010 Tanggal 10
April 2012. Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain rupiah, yaitu bahasa
Inggris dan satuan mata uang dollar Amerika Serikat, yang meliputi :

1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yang beroperasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan PMA
2. Wajib pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan selain pertambangan
minyak dan gas bumi
3. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) yang beroperasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambahan minyak
dan gas bumi
4. Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-
Undang PPh atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) terkait

26
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan sebagian maupun seluruhnya emisi sahamnya
di bursa efek luar negeri
6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksa dana dalam
denominasi satuan mata uang dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh
Surat Pemberitahuan Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar
Modal Lembaga Keuangan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
pasar modal atau
7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri,
yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasai
oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan
huruf b Undang-Undang PPh.
Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan
kepada kepala Kantor Wilayah DJP paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun
buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata
uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai atau sejak tanggal pendirian bagi
WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak Pertama WP dalam rangka
Kontrak Kerja atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak pendiriannya
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat wajib memberikan pemberitahuan secara
tertulis ke KPP tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal
pendirian atau sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat yang dimulai.
WP yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika
Serikat, harus menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dalam jangka
waktu paling sedikit 5 (lima) tahun pajak sejak diterbitkan izin atau penyampaian
pemberitahuan.
2.5.1 Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Satuan Mata Uang Asing

27
Penyelenggaraan pembukuan dengan satuan mata uang dolar Amerika
Serikat dibagi dalam kondisi awal tahun berjalan.

1. Awal Tahun Buku


Penyelenggaraan pembbukuan yang pertama kali dilakukan bertitik tolak
pada neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang rupiah)
yang dikonversikan ke satuan mata uang dolar Amerika Serikat menggunakan
kurs:
a. Untuk harga perolehan aset/harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud
yang mempunyai masa manfaat lebiih dari 1 (satu) tahun menggunakan
kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut.
b. Untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta sebagaimana
dimaksud pada huruf a menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada
saat perolehan harta tersebut;
c. Untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya
berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.
d. Apabila terjadi revaluasi aset tetap, disamping menggunakan nilai
historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang
dolar Amerika Serikat dengan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat
dilakukannya revaluasi.
e. Untuk saldo laba atau sisa kerugian dalam satuan mata uang rupiah dari
tahun- tahun sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan
sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.
f. Untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada saat terjadi transaksi
g. Dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari
satuan mata uang rupiah ke satuan mata uang dolar Amerika Serikat
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf
e, maka selisih laba atau rugi tersebuut dibebankan pada rekening saldo

28
laba (catatan: SAK menggunakan istilah “saldo laba” yang dalam bahasa
Inggrisnya disebut “retained earning”).
2. Tahun Berjalan
Untuk kondisi tahun berjalan:
a. Transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang dolar Amerika
Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang
bersangkutan
b. Transaksi, baik dalam negri maupun luar negri,, mengunakan satuan
mata uang selain dolar Amerika Serikat, dikonversikan ke satuan mata
uang dolar Amerka Serikat menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku
pada saat terjadinya transaksi, yaitu:
1) Apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka
kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi tersebut
2) Apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku,
maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang
berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan
secara taat asas.

2.5.2 Konversi Satuan Mata Uang Dolar

Wajib Pajak yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan


menggunakan bahasa inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat perlu
melihat ketentuan konversi ke mata uang dolar dimaksud sebagai berikut:

1. Pada awal tahun buku


Penyelenggaraan pembukuan menggunakan satuan mata uang dolar
Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari
neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang rupiah)
yang dikonversikan ke satuan mata uang dolar Amerika Serikat
menggunakan kurs:

29
a. Untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun menggunakan
kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut.
b. Untuk akumulasi penyusutan dan/atau amortisasi harta sebagaimana
dimaksud pada huruf a menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku
pada saat perolehan harta tersebut.
c. Untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan
sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas.
d. Apabila terjadi revaluasi asset tetap, di samping menggunakan nilai
historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang
dolar Amerika Serikat menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku
pada saat dilakukannya revaluasi
e. Untuk saldo laba atau sisa kerugian dalam satuan mata uang rupiah
dari tahun-tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang
dolar Amerika Serikat menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku
pada akhir tahun buku sebelumnya. Yakni kurs tengah Bank Indonesia,
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat
asas.
f. Untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada saat terjadinya transaksi
g. Dalam hal terdapat selisih laba/rugi sebagai akibat konversi dari satuan
mata uang rupiah ke satuan mata uang dolar Amerika Serikat
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening
laba ditahan (saldo laba).
2. Dalam tahun berjalan
a. Untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang dolar
Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dokumen transaksi
yang bersangkutan.

30
b. Untuk transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang
menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat dengan
menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat terjadinya
transaksi, yaitu:
1) Apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku, maka
kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transaksi
tersebut.
2) Apabila dari transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs
yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku,
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara
taat asas.

Dalam hal WP telah memperoleh ijin untuk menyelenggarakan


pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat namun merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin yang
dimilikinya. WP wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis atau mengajukan
permohonan pembatalan secara tertulis untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika
Serikat ke KPP paling lama 3 bulan setelah tahun buku dimulai. WP juga dapat
mengajukan permohonan pencabutan atas izin untuk menyelenggarakan
pembukaan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat dengan syarat disampaikan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lama 3 bulan sebelum tahun buku terakhir. WP yang
meminta pencabutan tidak dapat mengajukan permohonan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka 5 tahun sejak izin tersebut
dicabut.

Dalam hal WP yang tidak memperoleh izin tertulis untuk


menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat atau WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP
dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang tidak menyampaikan

31
pemberitahuan secara tertulis ke KPP tempat WP terdaftar, tetapi tetap
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat, terhadap WP tersebut diperlukan sebagai WP
yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
Undang-Undang KUP. Dalam hal WP yang telah memperoleh izin yang tertulis
untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat atau WP dalam rangka Kontrak Kerja
atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama tetapi tetap menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata uang Rupiah,
terhadap WP tersebut dicabut izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh
Kepala Kantor Wilayah DJP dan tidak dapat diberikan izin untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan
mata uang Dollar Amerika Serikat.

2.5.3 Persyaratan Administratif Dalam Pembukuan Dengan Bahassa Dan


Mata Uang Asing

Dalam penyelenggaraan pembukuan dengan bahhasa ingris dan satuan


mata uang dolar Amerika Serikat, diperlukan syarat sebagai berikut.

1. Wajib ppajak harus terlebiih dahulu mendapat izin tertulis daari Menteri
Keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau
Wajib Pajak dengan surat permoohonan kepada kepala kantor wlayah
paling lambat 3 (tiga) bulan:
a. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan
bahassa inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat
tersebut dimulai; atau
b. Sejak tanggal pendirian bagi Wajib Pajak baru untuk bagian tahun
pajak atau tahun pajak pertama
2. Kepala kantor wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan
keputusan atas permoohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak

32
permohonan dari Wajib Pajak diterima secara lengap. Bila jangka waktu
tersebut lewat dan ternyata kepala kantor wilyah belum memberikan
keputusan, maka permohonan dimaksud dianggap diterima dan kepala
kantor wilayah atas nama Mentri Keuangan menerbitkan keputusan
pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan menggunakan bahasa
Inggris dann satuan mata uang dolar Amerika Serikat.
3. Khusus Wajib Pajak dalam rangka kontrak Karya atau Wajib Pajak
Kontraktor KKS yang sejak pendiriannya menyelenggarakan pembukuan
dengan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat, wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak
terdaftar paling llambat 3 (bulan) seak tanggal pendirian.
Namun, Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atauajib Pajak
Kontraktor KKS yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa Inggris
dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat wajib pajak menyampaikan
pembberitahuan secara tertulis ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan
dengan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerikaa Serikat tersebut
dimulai.

33
2.6 Kewajiban Perpajakan dan Kerahasiaan Pembukuan

Kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak terutama


pembayaran PPh Pasal 25 dan Pasal 29 adalah sebagai berikut.

1. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal


25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (6) Undang- Undang PPh untuk
Tahun Pajak pertama penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mmata uang dolar Amerika Serikat adalah
sebesar Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam satuan mata uang rupiah yang
dikonversikan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku:
a. Pada akhir tahun buku sebelum dimulainya pembukuan dengan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Amerika Serikat untuk
konversi Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat
(2) Undang- Undang PPh;
b. Pada saat penyampaian atau batas waktu penyempaianSurat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak sebelum dimulainya pembukuan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika
Serikat untuk Konversi Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang PPh atau;
c. Pada saat surat ketetapan pajak diterbitkan untuk tahun pajak
sebelum dimulainya pembukuan dengan bahasa Inggris dan satuan
mata uang dolar Amerika Serikat untuk Konversi Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4)
Undang- Undang PPh dan pada saat penetapan perhitungan
besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (6) Undang- Undang PPh;
2. Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 serta Pajak
Penghasilan Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak yang
memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa

34
Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat, dapat dilakukan
dalam satuan mata uang rupiah.

Dalam hal pembayaran yang dimaksud dilakukan dalam satuan mata


uang rupiah, Wajib Pajak harus mengonversikan pembayaran dalam satuan mata
uang rupiah terebut ke satuan mata uang dolar Amerika Serikat menggunakan
kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada
tanggal pembayaran.

Setelah memenuhi kewajiban perpajakan, masih terdapat kewajiban


lainnya, yaitu kewajiban menyampaikan SPT yang akan kita bahas lebih lanjut
pada subab Surat Pemberitahuan.

2.6.1 Kerahasiaan Pembukuan

Pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak bersifat rahasia.


Pada saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak pemeriksa pajak, maka
kerahasiaan/kewajiban untuk merahasiakan pembukuan tersebut ditiadakan/gugur.

2.6.2 Pembukuan Dengan Komputer

Ketentuan yang harus dipenuhi sehubungan dengan penggunaan


komputer dalam pembukuan Wajib Pajak, adalah sebagai berikut:

1. Pembukuan tersebut memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 28


Undang-Undang KUP.
2. Hasil cetak (print out) komputer yang berkenaan dengan pembukuan
perusahaan dapat tersedia dengan cepat bila diperlukan dalam pemeriksaan.
3. Kewajiban bagi Wajib Pajak memperlihatkan dan meminjamkan pembukuan
atau pencatatan dan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3)
huruf a Undang-Undang KUP berlaku pula untuk memperlihatkan dan
meminjamkan semua sarana atau perangkat sehubungan dengan kegiatan
penyelenggaraan pembukuan dengan komputer, sebagai contoh:
a. Memberikan jenis program computer yang digunakan

35
b. Menjelaskan mekanisme system pembukuan dan prosedur/arus dokumen
c. Memberitahukan kata sandi (password) yang digunakan
d. Memperlihatkan dan meminjamkan segala dokumen yang dipakai sebagai
masukan (input) komputer, termasuk keluaran (output) program dalam
bentuk kartu punch (punch card), floppy disket, maupun dalam bentuk
pita (tape)

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur


untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi aset, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga prolehan dan penyerahan barang
atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut. Laporan keuangan yang
dihasilkan dari pembukuan harus mampu mendukung atau membuktikan
kebenaran angka yang dilaporkan dalam SPT pada saat dilakukan pemeriksaan
atau penyidikan yang sering disebut sebagai akuntabilitas pajak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk


dan Tata Cara Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi mengatur kewajiban
pencatatan. Wajib Pajak Orang Pribadi diwajibkan menyelenggarakan pencatatan,
yaitu:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang sesuai dengan ketentuan perundang – undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilannya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dan
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.

Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan,


setiap orang yang dengan sengaja :

1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu


atau dipalsukan seolah-olah benar
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya.

37
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam
dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-
tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Apabila seorang melakukan tindak pidana lagi sebelum lewat waktu 1


(satu) tahun terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan,
maka pidananya dilipatgandakan.

38
DAFTAR PUSTAKA

Dwi Martani dkk.(2016). Akuntansi Keuangan Menengah Berbasis PSAK Buku 1.


Jakarta: Salemba Empat

Ilyas, Wirawan B. dan Diaz Priantara. 2015. Akuntansi Perpajakan. Jakarta. Mitra
Wacana Media

Waluyo. (2012). Akuntansi Pajak, Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat

39

Anda mungkin juga menyukai