Anda di halaman 1dari 15

Strategi KH Ali Maksum Dalam Mengatasi Kemunduran &

Memajukan Pesantren

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional yang


sejak awal dipersiapkan untuk melakukan beberapa fungsi, diantaranya
berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan  lembaga penyiaran
agama Islam.[1]

Sebagai Lembaga Pendidikan, pesantren berfungsi melakukan transmisi dan


transfer ilmu-ilmu keislaman kepada santri, mempersiapkan kader-kader ulama
dan mempertahankan tradisi Islam,[2] terutama yang berfaham Ahlussunnah wal
Jama’ah[3] dan bersumber pada Kitab Kuning tulisan para ulama salaf abad
pertengahan (sekitar abad 16 – 18 M) melalui penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran, baik formal maupun non formal, yang meliputi pengajian-pengajian
(weton, sorogan, majlis ta’lim), madrasah (Diniyah, MI, MTs, MA), sekolah umum
(SD, SMP, SMA, SMK dll), dan perguruan tinggi.

Sebagai Lembaga Sosial, pesantren menampung santri-santri dari berbagai


strata dan lapisan masyarakat tanpa membedakan tingkat sosial ekonominya. Di
samping terbuka menerima tamu dari masyarakat umum dengan berbagai
tujuan dan motif, mulai dari sekedar shilaturrahim, meminta nasihat, berobat,
meminta doa dan jimat, konsultasi untuk memecahkan berbagai persoalan
hidup, minta dukungan politik sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini dalam
kaitannya dengan PEMILU (Pileg, Pilpres, Pilgub, Pilbub dan Pilkades) dan
motif-motif lainnya, sehingga mengokohkan pesantren sebagai pusat rujukan
masyarakat dalam memecahkan berbagai problem kehidupan mereka.

Pesantren sebagai Lembaga Penyiaran Agama Islam ditunjukkan oleh masjid


pesantren yang terbuka bagi masyarakat umum sebagai tempat ibadah dan
penyampaian khutbah jum’at, penyelenggaraan majlis ta’lim (pengajian rutin bagi
masyarakat umum), diskusi-diskusi keagamaan dan sebagainya. Disamping itu,
kiai dan para ustadz senior selain mengajar di pesantren juga
menjadi muballigh di tengah-tengah masyarakat luar pesantren. Bahkan sejak
awal kemunculannya di Jawa, pesantren dijadikan oleh para muballigh
walisongo sebagai sarana menggembleng kader-kader muballigh dalam proses
islamisasi masyarakat Jawa saat itu,  selain melalui saluran perdagangan, tradisi
budaya, tasawwuf, dan politik

Ketiga fungsi tersebut menjadikan pesantren memiliki tingkat integritas


yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi
kehidupan masyarakat umum.

Sehubungan dengan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, K.H. Ali


menyatakan, bahwa missi utama dan tugas pokok pendidikan pesantren adalah
mencetak ulama’.[4] Menurut K.H. Ali Maksum, yang disebut ulama’ adalah
orang yang luas ilmunya dan dengan ilmu itu ia memiliki kadar ketaqwaan
(khosyyah) yang tinggi.[5] Dalam penampilannya sehari-hari, seorang ulama
ditunjukkan oleh ciri-ciri sebagai berikut :

1. Sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah;


2. Sebagai orang yang berilmu pengetahuan (agama) yang sejati, yang
konsekwen, dan mengamalkan ilmunya secara sempurna dalam kehidupan
nyata;
3. Sebagai suri teladan kehidupan yang utuh dan seimbang antara kemampuan
lahiriah dengan bimbingan yang diperolehnya secara murni dari syari’ah;
dan
4. Sebagai manusia pembangun dan pembina mental spiritual masyarakat,
yang berperan sebagai motivator dan dinamisator yang kreatif dan inovatif.
[6]

Untuk mewujudkan missi tersebut, maka pesantren mengajarkan ilmu


pengetahuan, mendidik kepribadian yang luhur, dan menuntut pengamalan
ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari, di samping bahwa pesantren tetap
membimbing alumninya setelah pulang. [7] Missi inilah yang melandasi dan
mendorong K.H. Ali Maksum untuk mengatasi kemunduran pesantren dan
melakukan pembenahan-pembenahan terutama di bidang sistem pendidikan-
pengajaran dan kurikulumnya.

Sejak wafatnya K.H.M. Munawwir, pesantren ini mengalami kemunduran


yang sangat drastis, baik dari sisi jumlah santri maupun sistem pendidikan dan
pengajarannya. Dari sisi jumlah santri, semakin hari semakin berkurang
jumlahnya, dan bahkan tinggal beberapa orang saja. Paling tidak ada dua faktor
penyebab penurunan jumlah santri:

1. Faktor intern, yaitu sehubungan dengan wafatnya K.H.M. Munawwir,


seorang figur utama yang menentukan keberadaan dan kemajuan pesantren.
Belum sampai genap 100 hari wafatnya, satu persatu diantara para santrinya
kemudian “boyongan” pulang ke kampungnya masing-masing dan tidak
kembali lagi.
2. Faktor ekstern, yaitu akibat langsung dari penjajahan Jepang, yang
menyebabkan sebagian besar pondok pesantren, termasuk pesantren Al-
Munawwir, nyaris gulung tikar kalau tidak mendapatkan pertolongan Allah
berupa kemerdekaan, dan menghenti kan aktifitas kepesantrenan karena
ditinggal pulang oleh para santrinya, di samping juga ditinggal pergi oleh
para ustadz dan kiyainya untuk berjuang membela tanah air.

Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan sepinya pondok-pondok


pesantren di mana-mana pada saat itu:[8]
1. Jepang sering menggunakan kekejaman kepada siapa saja yang dicurigai,
sehingga suasana ini tidak memungkinkan bagi orang-orang untuk
memperdalam ilmu di pesantren.
2. Kaum muslimin terpanggil untuk menyiapkan diri berjuang merebut
kemerdekaan. Mereka banyak yang masuk kedalam barisan Tentara Pelajar,
PETA (Pembela Tanah Air), Hizbullah, Sabilillah, dan sejenisnya.
3. Kondisi perekonomian bangsa Indonesia sangat parah, disebabkan politik
tanam paksa Jepang (terutama menanam pohon jarak), yang hasilnya
digunakan untuk keperluan Jepang sendiri dalam pembiayaan Perang Dunia
II melawan sekutu.

Sedangkan kemunduran dari segi sistem pendidikan-pengajaran, bahwa


aktifitas belajar-mengajar yang berjalan di Pesantren Krapyak hanya pengajaran
Al-Qur’an saja, dan itupun berjalan secara apa adanya. Sedangkan
pengajaran Kitab Kuning tidak berjalan sama sekali, karena tidak adanya tenaga
pengajar yang mumpuni dari keluarga pesantren. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya [9] :
1. Sejak awal, pesantren Al-Munawwir memang dipersiapkan sebagai
pesantren yang memfokuskan pendidikan dan pengajarannya pada ‘ulumul
Qur’an, terutama dalam bidang tahfizhul Qur’an (penghafalan Qur’an),
sedangkan pengajaran Kitab Kuning hanya bersifat penyempurna, pelengkap
atau sekedar kegiatan sampingan. Sementara itu, calon ulama’ tidak sekedar
mampu menguasai ‘ulumul Qur’an (tahfizhul Qur’an) semata, tetapi juga harus
menguasai ‘ulumus syar’iyyah yang terkandung didalam Kitab Kuning.
Dengan begitu,  penguasaan terhadap Kitab Kuning merupakan syarat mutlak
bagi kader ulama’.[10] 
2. Tenaga pengajar Kitab Kuning pada masa hidupnya K.H.M. Munawwir
direkrut dari kalangan santri senior yang memiliki kemampuan dalam
membaca Kitab Kuning dan kini santri tersebut telah kembali ke kampung
halamannya, padahal tenaga pengajar tetap yang menguasai Kitab Kuning,
terutama yang berasal dari keluarga pesantren, sangat dibutuhkan untuk
mewujudkan cita-cita mencetak kader ulama’.  
3. Putra-putri kiai sebagian besar masih kecil atau remaja, sehingga mereka
belum siap menggantikan posisi K.H.M. Munawwir sebagai ulama’,
pengajar, sekaligus pengasuh pesantren, dan hanya beberapa orang putra
yang sudah menginjak usia dewasa, dan itupun mereka memfokuskan
pendalamannya pada bidang tahfizhul Qur’an, bukan pada penguasaan Kitab
Kuning.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, K.H. Ali Maksum kemudian


melakukan pembenahan-pembenahan demi kemajuan pesantren dengan
menetapkan kebijakan, langkah strategis dan skala prioritas sebagai berikut :
1.   Pengkaderan ulama / tenaga pengajar dari keluarga pesantren
2.   Pembenahan dan Pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum
3.   Melengkapi sarana-prasarana pesantren
Namun dalam pembahasan ini, penulis memfokuskan pembahasannya pada : 1)
pengkaderan ulama dari keluarga pesantren; 2) pembenahan dan
pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum.
Setelah melakukan pembenahan-pembenahan tersebut, hasilnya adalah
bahwa selama dalam periode kepemimpinan Tiga Serangkai (1942-1968) dan
kepemimpinan tunggal K.H. Ali Maksum (1987-1989) ini telah terjadi perubahan
besar di bidang pendidikan dan pengajaran, baik dalam pengajaran Al-Qur’an
maupun pengajaran Kitab Kuning. Pengajaran Kitab Kuning benar-benar
ditangani secara serius, sehingga menjadi pengajaran utama di samping Al-
Qur’an. Pengajaran Kitab Kuning tidak sekedar melalui
sistem weton dan sorogan saja, akan tetapi dikembangkan melalui sistem
madrasi (sekolah formal), berjenjang dan ada batasan waktu belajar. Ini
merupakan suatu kondisi yang belum dikenal pada periode-periode
sebelumnya. Dengan terjadinya perubahan, perkembangan dan kemajuan
tersebut, maka secara otomatis akan diikuti oleh bertambahnya jumlah santri
yang mondok di Pesantren Al-Munawwir. Kesemuanya ini tentu tidak lepas dari
peran K.H. Ali Maksum sebagai tokoh penggerak perubahan dan perkembangan
tersebut, yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan dan
pengajaran madrasah disertai dengan kurikulum pesantren yang terprogram.

Dengan kata lain, selama periode kepemimpinan K.H. Ali


Maksum,  Pesantren Al-Munawwir yang tadinya sebagai pesantren berciri
khas salafi yang menitikberatkan pada pengajaran Al-Qur’an (aktifitas utama)
dan pengajaran Kitab Kuning (aktifitas sampingan), berubah menjadi sebuah
pesantren berciri khas kholafi yang ditandai dengan masih dipertahankannya
pola pengajaran sistem salafi dengan memasukkan pengajaran pengetahuan
umum kedalam kurikulum madrasahnya, menurut klasifikasi Zamakhsyari
Dhofier.[11] Atau berubah dari pesantren salaf/klasik menjadi sebuah “pesantren
semi berkembang” yang ditandai dengan berdirinya madrasah (swasta) dengan
kurikulum 90 % agama dan 10 % umum, kemudian menjadi “pesantren
berkembang” yang ditandai dengan kurikulum 70 % agama dan 30 % umum pada
madrasahnya atau juga berdirinya madrasah SKB dengan tambahan diniyyah,
menurut klasifikasi M. Ridlwan Nasir.[12]

Berikut ini akan diuraikan pelaksanaan dari langkah-langkah strategis


untuk mengatasi kemuduran pesantren beserta dinamika perubahan menuju
kemajuan pesantren, terutama di bidang sistem pendidikan dan pengajarannya.
 

1.  PENGKADERAN ULAMA DARI KELUARGA PESANTREN

Kebijakan strategis yang pertama kali diambil K.H. Ali Maksum selaku
salah satu pengasuh yang dibebani tugas mengatasi kemunduran tersebut ialah
melakukan pengkaderan calon-calon ulama’ dari kalangan keluarga pesantren
(para putra dan menantu K.H.M. Munawwir) dan beberapa santri senior dari
luar keluarga yang nantinya diharapkan dapat menjadi motor penggerak
perubahan dalam usaha mengembangkan dan memajukan pesantren di masa-
masa mendatang, tanpa harus menggantungkan bantuan tenaga dari luar
pesantren.

Agar usaha tersebut dapat berjalan secara efektif dan sukses, K.H. Ali
Maksum mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menutup aktifitas pesantren untuk sementara waktu. Pesantren tidak menerima
pendaftaran santri baru, sementara para santri yang tersisa dipulangkan, kecuali
beberapa orang santri dari tetangga pesantren yang diperlukan sebagai kader
untuk memajukan pesantren. 
b.   Mengkonsentrasikan diri pada pengkaderan dan pembinaan terhadap para
kader ulama’ tersebut. 
c.   Setelah dipandang cukup, para kader tersebut diberi tugas dan didorong untuk
mengajar, mengelola lembaga pendidikan dan mengembangkannya menurut
kemampuan dan bidangnya masing-masing demi kemajuan pesantren.

Pengkaderan ini dilakukan secara intensif selama kurang lebih 2 tahun,


antara tahun 1943 – 1944. Peserta yang mengikuti pengkaderan terdiri dari:
K.H.R. Abdul Qodir Munawwir (pengasuh), K.H. Zaini Munawwir,  K.H. Zainal
Abidin Munawwir, K.H. Ahmad Munawwir,  K.H. Dalhar Munawwir, K.H.A.
Warson Munawwir, K.H. Nawawi Abdul Aziz (menantu), K.H. Mufid Mas’ud
(menantu), K.H. Habib Dimyati (asal pesantren Tremas), H. Wardan Junaid
(Kauman Yogyakarta), Abdul Hamid (tetangga, Krapyak), dan K.H. Zuhdi
Dahlan (tetangga, Jogokaryan Yogyakarta). Murid-murid pertama ini tidak
mengecewakan dan tidak satupun diantara mereka yang “melorot” (kendur)
semangatnya, padahal mereka harus mengikuti pengajian berbagai macam Kitab
Kuning dengan sistem halaqah/weton dan sorogan, sejak sehabis sholat subuh
sampai pukul 21.00 secara nonstop, kecuali sekedar waktu untuk shalat dan
makan, dan disiplin yang diterapkan betul-betul sangat ketat, terutama yang
diberlakukan kepada peserta ahlul bait (keluarga pesantren).[13]

Setelah dua tahun dikader, mereka diberi tugas untuk ikut membantu K.H.
Ali Maksum dalam pengajaran Kitab Kuning, mendirikan lembaga pendidikan,
mengelola pesantren dan mengembangkannya sesuai dengan bidang keahlian
masing-masing. Bekal ilmu yang diperoleh dari K.H. Ali Maksum tersebut
menjadi landasan bagi para kader untuk memperdalam berbagai disiplin
keilmuan secara mandiri (autodidak) pada masa-masa berikutnya. Buah dari
ketekunan mereka di kemudian hari diantaranya, bahwa mereka akhirnya
menjadi kiai-kiai yang alim, meskipun mereka tidak menambah wawasan
keilmuan dari pesantren lain. Sebut saja K.H. Zainal Abidin yang menjadi tangan
kanan K.H. Ali Maksum dan selalu aktif mengembangkan pengajian Kitab
Kuning; K.H. Habib Dimyati yang membantu K.H. Ali Maksum mengajarkan
kitab Dahlan (syarah Alfiyah Ibnu Malik) dan setelah pulang kampung, beliau
dipercaya sebagai pengasuh pesantren Tremas menggantikan posisi kakaknya
yang telah wafat; K.H.A. Warson yang menekuni dan mengembangkan ilmunya
di bidang penulisan “Kamus Lengkap Al-Munawwir Arab-Indonesia” yang sangat
terkenal itu, disamping juga mengembangkan pengajian Kitab Kuning; K.H.
Mufid Mas’ud dan K.H. Nawawi Abdul Aziz membantu mengembangkan
pengajaran Al-Qur’an dan pada akhirnya mereka berdua mendirikan pesantren
sendiri diluar Krapyak.[14] Dari sisi ini, maka K.H. Ali Maksum dapat dipandang
sebagai “Sesepuh” Krapyak setelah wafatnya K.H.M. Munawwir.[15]

2.    PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN-PENGAJARAN DAN


PEMBENAHAN KURIKULUM

Setelah tahap pengkaderan tersebut, Pesantren Al-Munawwir Krapyak


dibuka kembali untuk masyarakat umum pada tahun 1944/1945 dan dalam
waktu singkat sudah nampak terjadi perubahan-perubahan antara lain di bidang
sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum, bertambahnya jumlah santri,
berdirinya lembaga-lembaga pendidikan, dan semakin lengkapnya sarana-
prasarana.

Sebagaimana yang disinggung di atas, bahwa missi dan tugas pesantren


adalah mencetak kader ulama’, sementara itu seorang ulama’ tidak sekedar
dituntut mampu menguasai ‘ulumul Qur’an (tahfizhul Qur’an) semata, tetapi juga
dituntut menguasai ‘ulumus syar’iyyah yang terkandung didalam Kitab Kuning.
Untuk mewujudkan hal ini, K.H. Ali Maksum memandang perlu adanya
pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan pembenahan kurikulumnya
secara bertahap. Menurut Kiai Ali, pesantren harus memberikan bekal keilmuan
kepada para santrinya melalui proses pendidikan dan pengajaran. Kelompok
bidang keilmuan yang perlu dimasukkan dalam kurikulum pesantren paling
tidak meliputi :
a. ‘Ulumus Syar’iyyah dan ‘ulumul Qur’an : Tafsir, Hadits, Fiqh, Tauhid, dan ilmu-
ilmu lain yang bersangkutan dengannya, termasuk ‘ulumul lughah (bahasa Arab :
Nahwu, Shorof, Balaghah)
b. Ilmu-ilmu yang bersifat empiris, termasuk di sini ialah Tarikh Islam, Sejarah
Umum, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Ilmu Kemasyarakatan (sosiologi-
antropologi) dan Ilmu Kewarganegaraan (civic)
c.  Ilmu-ilmu yang membuat kemampuan berfikir kritis dan berwawasan luas,
seperti Ilmu Mantiq (Logika), Ushul Fiqh, Qawa’idul Fiqh, dan sejenisnya.
d. Ilmu-ilmu pembinaan budi pekerti dan karakter keislaman, diantaranya Ilmu
Akhlaq (etika), Ilmu Tasawwuf (mistik) dan Thoriqot.
e.   Latihan kemasyarakatan, termasuk didalamnya latihan berbicara di depan
umum (pidato, protokoler/presenter), latihan menyelesaikan masalah (problem
solving), pendekatan kepribadian (personal approach, psikologi), latihan diskusi,
latihan berorganisasi dan kepemimpinan.
f. Santri harus digembleng mental dan karakternya. Di sini ditekankan pentingnya
melakukan Mujahadah (dzikir), Istighotsah dan amalan-amalan ibadah praktis
lainnya.[16]
Keenam kelompok bidang keilmuan tersebut tercermin dalam muatan
kurikulum yang diterapkan di Pesantren Al-Munawwir, ditambah dengan
beberapa materi ilmu-ilmu umum seperti matematika, IPS, IPA, dll., untuk
memenuhi tuntutan pemerintah, terutama yang diterapkan di Madrasah
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.

PENGAJARAN AL-QUR’AN

Program pengajaran Al-Qur’an, baik bin-nazhor (dengan membaca: bil


qiro`ah) maupun bil ghoib  (dengan hafalan: bil hifzhi), yang sudah berjalan dengan
baik pada periode K.H.M. Munawwir tetap dipertahankan, karena ini
merupakan ciri khas Pesantren Krapyak, hanya saja perlu dikembangkan dengan
mengunakan sistem ala madrasah untuk mendapatkan kualitas lulusan dan
efektifitas pengajaran. Untuk itu didirikanlah Madrasatul Huffazh pada tahun
1955. Tempat pengajarannya tidak lagi berpusat di Masjid, tetapi di rumah kiai
yang ditunjuk sebagai pengelola atau kordinatornya. Kurikulum pengajarannya
tidak melulu tahfizhul Qur’an, tetapi juga ditambah dengan pelajaran Tafsir,
Tajwid, Hadis, Fiqh, Tauhid, Akhlak dan materi penyempurna lainnya.
Santrinya tidak hanya dimonopoli putra, tetapi juga dibuka kelas santri putri.
Tempat tinggal santri pun dilokalisir, yakni ditempatkan di komplek “L” untuk
santri putra dan komplek Nurussalam untuk santri putri. Tenaga pengajarnya
tidak hanya diserahkan kepada seorang kiai yang mengelola, tetapi juga dibantu
oleh beberapa kiai, yaitu K.H. Mufid Mas’ud, K.H. Nawawi Abdul Aziz, K.H.
Hasyim Yusuf, K.H.R.M. Najib Abdul Qodir, K.H. Dalhar Munawwir, Nyai Hj.
Hasyimah Munawwir, Nyai Badriyah Munawwir, Nyai Hj. Jauharoh
Munawwir, Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali dan Nyai Hj. Lutfiyah Jirjis. Dari hasil
pengajaran ini lahirlah ratusan kiai huffazh (penghafal Qur’an) yang
menguasai tahfizhul Qur’an sekaligus menguasai ‘ulumus syar’iyyah.[17]
Selain pengajaran di Madrasatul Huffazh, juga diadakan pengajaran sistem
lama (sorogan) dengan program bin-nazhor yang bertempat di rumah
pengasuhnya. Pengajaran ini diperuntukkan bagi santri kalong yang berasal dari
kalangan masyarakat sekitar pesantren. Pengajarnya meliputi : Ny. Badriyah
Munawwir dan Ny. Hj. Hasyimah Munawwir untuk santri putri, serta K.H.
Zaini Munawwir untuk santri putra.

PENGAJARAN  KITAB  KUNING

Sistem weton  dalam pengajaran Kitab Kuning yang di masa K.H.M.


Munawwir sekedar sebagai pengajaran “sampingan”, lalu ditingkatkan dan
dikembangkan sedemikian rupa pada masa K.H. Ali Maksum, bahkan menjadi
pengajaran pokok disamping pengajaran Al-Qur’an. Pengajaran Kitab
Kuning dikembangkan dengan menggunakan sistem
pengajaran weton/halaqah dan sistem sorogan. Kedua sistem ini banyak
diterapkan di berbagai pondok pesantren pada umumnya, terutama persantren
yang bercorak salafiyah, bahkan menjadi sistem pengajaran utama.
Kurikulum yang diterapkan dalam pengajaran Kitab Kuning di Pesantren
Al-Munawwir Krapyak, baik dengan sistem weton maupun sorogan,
menggunakan kurikulum pesantren yang dirumuskan oleh K.H. Ali Maksum,
yaitu berisi sederetan daftar dari 85 judul kitab (sejumlah 99 jilid), mulai dari
kitab tingkat dasar sampai tingkat tinggi (takhassus), yang terbagi kedalam lima
tingkatan berdasarkan tingkat kemampuan intelektual santri, dengan
perincian : tingkat pertama (tingkat dasar) 17 judul (26 jilid); tingkat kedua 20 judul
(21 jilid); tingkat ketiga 16 judul (16 jilid); tingkat keempat 12 judul (16 jilid);
dan tingkat kelima / takhassus 20 judul (20 jilid).
Untuk lebih jelasnya, tingkatan kitab-kitab yang digunakan
untuk sorogan dan pengajian sistem weton sebagai berikut[18] :

1). Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian weton atau sorogan tingkat pertama :


1. Ad-Durusul Fiqhiyyah, Qismul ‘Ibadat (‫العبادات‬  ‫ قسم‬:  ‫)الدروس الفقهية‬
2. Ad-Durorul Bahiyyah (‫)الدرر البهية‬, karya Abu Bakar Syatha
3. Matan Taqrib  (‫تقريب‬  ‫)متن‬, bagian ibadah
4. Durusul ‘Aqaid (‫)دروس العقائد‬, juz 1, 2 dan 3
5. Durusud Din wal Akhlaq  (‫)دروس الدين و األخالق‬, juz 1, 2 dan 3
6. ‘Aqidatul ‘Awam  (‫)عقيدة العوام‬
7. Khulashoh Nurul Yaqin (‫نور اليقين‬  ‫)خالصة‬, juz 1- 2
8. Al-Qiro`atur-Rosyidah   (‫الرشيدة‬  ‫)القراءة‬, juz 1- 2
9. Mabadi`ul Lughatil ‘Arabiyyah  (‫)مبادئ اللغة العربية‬, karya Mushthafa Saqa, juz 1-2
10. Al-Qir`oah wal Muthola’ah  (‫و المطالعة‬  ‫ )القراءة‬untuk Ibtidaiyah, juz 1-2
11. Al-Muhadatsah al-‘Arabiyyah (‫العربية‬   ‫)المحادثة‬, juz 1-2
12. Matn al-Ajurumiyah (‫اآلجرومية‬  ‫)متن‬
13. Ad-Durusun Nahwiyyah  (‫)الدروس النحوية‬
14. An-Nahwul Wadhih  (‫)النحو الواضح‬, karya ‘Ali al-Jarim
15. Amtsilatut Tashrif   (‫التصريف‬  ‫)أمثلة‬
16. Durusul Akhlaq Lil Banin   (;‫للبنين‬  ‫)دروس األخالق‬
17. Durusul Akhlaq Lil Banat (‫للبنات‬  ‫)دروس األخالق‬

2).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian / sorogan tingkat kedua :


a).     Ad-Durusul Fiqhiyyah, Qismul Mu’amalat (‫المعامالت‬  ‫ قسم‬:  ‫)الدروس الفقهية‬,  
b).     Fathul Qorib, syarhu   Taqrib  (‫تقريب‬   ‫شرح‬  : ‫)فتح القريب‬, bagian ibadah
c).     Ar-Riyadhul Badi’ah fil Fiqh  (‫)الرياض البديعة; فى الفقه‬
d).    Al-Jawahirul Kalamiyah fil ‘Aqoid (‫)الجواهر الكالمية فى العقائد‬
e).     Kifayatul ‘Awam – fit Tauhid   (‫التوحيد‬  ‫)كفاية العوام فى‬
f).      Durusus Sirah an-Nabawiyyah   (‫)دروس السيرة النبوية‬
g).     Khulashah Nurul Yaqin – Tarikhul Khulafa’ (‫تاريخ الخلفاء‬  ‫نور اليقين‬  ‫)خالصة‬, juz 3
h).     Tarikhul Majd al-Islamiy  (‫)تاريخ المجد اإلسالمي‬, Umar bin Sulaiman Naji
i).      Amtsilatut Tashrif   (‫التصريف‬  ‫)أمثلة‬
j).      Al-Kailany – fis-Shorf (‫فى الصرف‬   ‫ )الكيالني‬untuk Ibtidaiyah, juz 1-2
k).     Mukhtashor Jiddan: Syarh al-Ajurumiyah (‫اآلجرومية‬  ‫ شرح‬-  ‫)مختصر جدا‬
l).      Ad-Durusun Nahwiyyah  (‫)الدروس النحوية‬, juz 2
m).   Al-Qiro`ah ar-Rosyidah (‫القراءة‬    ‫ )الرشيدة‬untuk Ibtidaiyah, juz 3
n).     Al-Qiro`ah wal Muthola’ah  (‫و المطالعة‬  ‫ )القراءة‬untuk Ibtidaiyah, juz 3
o).     Durusul Insya’ wal Mahfuzhot (‫)دروس اإلنشاء والمحفوظات‬
p).    Al-Muntakhobat – fil Mahfuzhot (‫فى المحفوظات‬  ‫)المنتخبات‬
q).     Taisirul Kholaq fi ilmil Akhlaq  (‫األخالق‬  ‫تيسير الخالق فى علم‬  )
r).     Tafsir Ayatil Qur’an (‫)تفسير آيات القرآن‬
s).     Al-Ahadits an-Nabawiyyah  (‫األحاديث النبوية‬  )
t).      Ta’limul Muta’allim (‫المتعلم‬  ‫)تعليم‬

3).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian / sorogan tingkat ketiga :


a).     Fathul Qorib, syarh   Taqrib (‫تقريب‬   ‫شرح‬  : ‫)فتح القريب‬, bagian Mu’amalat
b).     Al-Halqotur Robi’ah  (‫)الحلقة الرابعة‬,  
c).     Khulashoh Arkanil Islam (‫)خالصة أركان اإلسالم‬
d).    As-Samir al-Muhadz-dzib – fil Akhlaq  (‫)السمير المه ِّذب فى األخالق‬
e).     Adabul Fata (‫)آدب الفتى‬
f).      Tafsir Ayatil Qur’an – fil ‘Ibadat wal Akhlaq (‫فى العبادات و األخالق‬ – ‫)تفسير آيات القرآن‬
g).     Al-Ahadits an-Nabawiyyah   fil Mu’amalat ( ‫فى المعامالت‬  ‫األحاديث النبوية‬ )
h).     Syarhul Jazariyah fil Tajwid  (‫فى التجويد‬  ‫)شرح الجزرية‬
i).      Al-Hushunul Hamidiyyah – fit Tauhid  (‫التوحيد‬  ‫)الحصون الحميدية فى‬
j).      Mutammimah al-Ajurumiyah (‫اآلجرومية‬  ‫)متممة‬
k).     An-Nahwul Wadhih   (‫)النحو الواضح‬, karya ‘Ali al-Jarim, juz 3
l).      Ad-Durusun Nahwiyyah  (‫)الدروس النحوية‬, juz 3
m).   Nazhm al-Maqshud – fis-Shorf  (‫فى الصرف‬    - ‫)نظم المقصود‬
n).     Waroqot – fi Ushul al-Fiqh  (‫فى أصول الفقه‬  ‫)ورقات‬
o).     Mushtholahul Hadits (‫الحديث‬  ‫)مصطلح‬
p).    Al-Arba’in an-Nawawiyah (‫فى الحديث‬  ‫النووي‬   ‫)األربعين لإلمام‬

4).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian weton/sorogan tingkat keempat :


a).     Kifayatul Akhyar – Fil Fiqh (‫)كفاية األخيار فى الفقه‬, bagian Mu’amalat
ّ
b).     Al-Muhadz-dzab   (‫)المهذب‬,  
c).     Tarikhut Tasyri’ al- Islamiy (‫)تاريخ التشريع اإلسالمي‬
d).    Hikmatut Tasyri’ wa falsafatuha  (‫)حكمة التشريع و فلسفتها‬, karya al-Jurjawi
e).     As-Siyasatus Syar’iyyah  (‫)السياسة الشرعية‬
f).      Al-Insanul Kamil (‫)اإلنسان الكامل‬, Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki
g).     Khosho`ishul Qur’an  ( ‫خصائص القرآن‬  ) Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki
h).     Mau’izhotul Mu`minin: mukhtashor Ihya’ Ulumiddin (‫)موعظة المؤمنين‬
i).      Muhammad, al-Matsalul Kamil (‫المثل الكامل‬  ‫)محمد‬, Muhd. Jadul Maula Bik
j).      Al-‘Ushurul Wustha fit Tarikh al-Islamiy (‫)العصور الوسطى فى التاريخ اإلسالمي‬
k).     Muhadhorot Tarikh al-Umam al-Islamiyyah (‫)محاضرات تاريخ األمم اإلسالمية‬, Hudhary
l).      Majallah Robithoh al-‘Alam al-Islamiy (‫)مجلة رابطة العالم اإلسالمي‬

5).  Kitab-kitab yang digunakan untuk pengajian weton/sorogan tingkat kelima :


a).     Tafsir al-Jalalain (‫)تفسي الجاللين‬,  
b).     Tafsir Ibnu Katsir (‫)تفسير ابن كثير‬, bagian ibadah
c).     Jawahirul Bukhoriy (‫)جواهر البخاري‬
d).    Riyadhus Sholihin  (‫)رياض الصالحين‬
e).     ‘Ilmut Tafsir (‫)علم التفسير‬, imam as-Suyuthy
f).      ‘Ilmul Hadits  (‫)علم الحديث‬, imam as-Suyuthy
g).     Tukhfatut Thullab, Syarhut Tahrir, fil Fiqh (‫فى الفقه‬   ‫شرح تحرير‬  ‫)تخفة الطالب‬,
h).     Kifayatul Akhyar, Syarh Ghoyat al-Ikhtishor (‫شرح غاية اإلختصار‬   ‫)كفاية اإلخيار‬,
i).      Fathul Mu’in  (‫)فتح المعين‬
j).      Mau’izhotul Mu`minin (‫)موعظة المؤمنين‬
k).     Minhajul ‘Abidin (‫)منهاج العابدين‬, imam al-Ghazali
l).      Al-Asybah wan Nazhoir (‫والنظائر‬  ‫)األشباه‬,
m).   Al-Luma’ fi Ushulil Fiqh (   ‫فى أصول الفقه‬  ‫اللمع‬ )
n).     Ushulul Fiqh (‫)أًصول الفقه‬, Hudhory bik
o).     Syarh Ibni ‘Aqil, ‘alal Alfiyyah (‫على األلفية‬  ‫عقيل‬ ‫)شرح ابن‬
p).    Al-Jauharul Maknun, fil Balaghoh (‫فى البالغة‬  ‫)الجوهرالمكنون‬
q).     Jauharotut Tauhid (‫جوهرة التوحيد‬  )
r).     Syarh Sullam al-Munawwaraq, fil Manthiq  (‫المنطق‬  ‫فى‬  ‫)شرح سلّم المنوّرق‬
s).     Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin  (‫نور اليقين في سيرة سيد المرسلين‬  )
t).      Itmamul Wafa` fi Sirotil Khulafa` (‫)إتمام الوفاء في سيرة الخلفاء‬

Ke-85 judul kitab (sejumlah 99 jilid) tersebut, bila diprosentase sesuai


bidang keilmuannya akan tergambar sebagai berikut :
1). ‘Ulumus Syar’iyah, ‘ulumul Qur’an dan ‘ulumul lughah : Tafsir, Hadits, Fiqh,
Tauhid, nahwu, shorof, balaghah, bahasa arab terapan. (56 judul, 65 jilid = 65,65
%)
2). Ilmu-ilmu yang bersifat empiris, seperti sirah, tarikh islam, tarikh tasyri’, as-
siyasah as-syar’iyyah dan sejenisnya. (12 judul, 14 jilid = 14,14 %)
3). Ilmu-ilmu untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan berwawasan
luas : Ilmu Mantiq, Ushul Fiqh, Qawa’idul Fiqh, dan sejenisnya. (6 judul, 6 jilid =
6,6 %)
4). Ilmu-ilmu pembinaan budi pekerti dan karakter keislaman, meliputi : Ilmu
Akhlaq, Ilmu Tasawwuf, Thariqat dan sejnisnya. (11 judul, 15 jilid = 15,15 %).
Perhatikan tabel berikut:

(Tabel 1)
Prosentase Kitab-kitab yang Dikaji di PP Al-Munawwir Berdasarkan
jenis/bidang keilmuannya:

JENIS / BIDANG ILMU Tingkatan jilid judul %


I II III IV V
1. ULUM SYAR’IYYAH, QUR’AN  DAN LUGHAH
1. Ulumul Qur’an &Tafsir 1 2 1 3 7 7
2. Ulumul Hadis 1 3 3 7 7
3. Ilmu Fiqh 3/2 3 3 2 3 14 13
4. Ilmu Tauhid 7/3 2 1 1 11 7
5. Ilmu Nahwu 3 2 3 1 9 9
6. Ilmu Shorof 1 2 1 4 4
7. Ilmu Balaghah 1 1 1
8. Bhs. Arab terapan 8/4 3 1 12 8
(muhadatsah, qiroah,
insya’, majalah dll)
Jumlah 65 56 65,65
2. ILMU EMPIRIS
1. Tarikh Islam 1 2 3 3
2. Sirah / Biografi 2/1 3/2 1 2 8 6
3. Tarikh Tasyri’ 1 1 2 2
4. Siyasah/politik 1 1 1
14 12 14,14
3. ILMU BERFIKIR KRITIS
1. Ilmu Mantiq 1 1 1
2. Qowaidul Fiqh 1 1 1
3. Ushul Fiqh 1 2 3 3
4. Hikmatut Tasyri’ 1 1 1
Jumlah 6 6 6,6
4. ILMU PEMBENTUKAN KARAKTER/BUDI BEKERTI
1. Ilmu Akhlak 2 3 2 5/1 12 8
2. Ilmu 1 2 3 3
Tasawwuf/Thariqat
Jumlah 15 11 15,15
JUMLAH 26 21 16 16 20 99  jili 85 judul 100
d %

Bila dipandang dari sudut klasifikasi Kitab Kuning yang dikaji di


pesantren tradisional menurut Zamakhsyari Dhofier, maka Pesantren Al-
Munawwir memberikan porsi yang lebih besar pada kajian ’ulumul lughoh atau
ilmu alat (24,24 %). Barangkali ini disebabkan ’ulumul lughoh memiliki peranan
yang cukup penting dalam penguasaan Kitab Kuning sehingga lebih besar
porsinya, disamping itu Kiai Ali sendiri termasuk seorang ulama yang memiliki
keahlian bahasa Arab, sehingga sangat wajar bila latar belakang keahliannya
tersebut mewarnai sistem pendidikan dan kurikulumnya. Setelah itu adalah
cabang ilmu fiqih (18,18 %), akhlak-tasawwuf (15,15 %), ilmu tauhid (11,11 %)
dan cabang ilmu lainnya (13,13 %).
Perhatikan tabel berikut :

(Tabel 2)
Prosentase Kitab-kitab yang Dikaji di PP Al-Munawwir Berdasarskan Klasifikasi
Zamakhsyari Zhofier
Cabang keilmuan Jumlah kitab (jilid) Prosentase
1. ilmu lughah (nahwu, shorof, insya’ dll) 24 24,24 %
2. ilmu fiqih 18 18,18 %
3. ilmu usul fiqh dan qowa’idul fiqh 4 4,04 %
4. ilmu tafsir 7 7,07 %
5. Ilmu hadis 7 7,07 %
6. Ilmu tauhid 11 11,11 %
7. ilmu akhlak dan tasawwuf 15 15,15 %
8. cabang lain : balaghah dan tarikh 13 13,13 %
JUMLAH 99 100 %

Kitab Kuning yang dikaji di Pesantren Al-Munawwir Krapyak seluruhnya


berfaham sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah). Tidak semua kitab-kitab tersebut
tergolong bercorak klasik (salafi) yang ditulis oleh ulama’ salaf (abad 16-18 M),
tetapi justru lebih banyak (60.60 %) diwarnai oleh kitab-kitab kontemporer atau
modern (khalafi) yang ditulis oleh para ulama khalaf (abad 20 M) dengan pola
pemikiran dan gaya bahasa yang berbeda dengan kitab klasik, kecuali kitab-
kitab yang digunakan untuk tingkat kelima yang 90 % salafi. Dari sudut ini
barangkali bisa ditafsiri bahwa sosok ulama yang dicita-citakan oleh Kiai Ali
ialah seorang ulama sunni yang menguasai ilmu salafi namun dengan pemahaman
dan pola pemikiran yang modern, sebagaimana sosok ulama yang diperankan
oleh beliau sendiri.
Perhatikan tabel berikut :

(Tabel 3)
Prosentase Kitab-kitab Klasik dan Modern Yang Dikaji di Pesantren Al-
Munawwir :
Macam Kitab Tingkatan Judul Juml %
1 2 3 4 5
Bercorak Klasik 5/5 6/6 7/7 3/3 18/18 39 39 39,39
Bercorak Modern / 12/21 14/1 9/9 9/13 2/2 42 60 60,60
kontemporer 5

[1]   Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994, halm. 62

[2]  Hal ini sesuai dengan fungsi pesantren seperti yang dikategorikan oleh Azyumardi Azra, bahwa
ada ada tiga fungsi pesantren tradisional: Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu
keislaman; kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. (Azyumardi
Azra, Pesantren: Kontuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren :
Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997, halm xxi)
[3]  Fachry Ali lebih jauh mengatakan, bahwa berdirinya pesantren pada mulanya merupakan
lembaga pendidikan umat Islam pedesaan yang berfungsi untuk konservasi tradisi keagamaan
yang dijalankan oleh umat Islam tradisionalis. Status keberadaan pesantren masih status
quo, disebabkan orientasi misinya mempertahankan paham tradisionalisme Islam, serta untuk
mengurangi penetrasi gerakan modernisme Islam di pedesaan. Tradisi keagamaan (Ahlussunnah
waljama’ah) yang dikonservasikan, dipertahankan dan dilestarikan oleh pesantren ini merupakan
satu sistem ajaran yang berakar pada perpaduan antara teologi skolastisisme Asy’ariyah dan
Maturidiyah dengan ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak
keislaman di Indonesia. Pondok pesantren sebagai lembaga konservasi ini, kata Abdurrahmad
Wahid, kemudian berkembang menjadi subkultur tersendiri. (Baca: M. Dawam Rahardjo
(ed.), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun Dari bawah, Jakarta: LP3ES, 1988, hlm., 3 dan
39)

[4]  K.H. Ali Makshum, Ajakan suci: Pokok-pokok pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama’,
Yogyakarta : LTN NU DIY, 1993, cet.1. halm. 82-83.
Pada kesempatan lain, beliau menyatakan bahwa pesantren adalah “pabrik pencetak ulama”.
(Ibid., halm. 97)
“… Pesantren harus menyadari bahwa missi yang dibawanya adalah “mencetak ulama”. Missi
lain adalah sampingan saja. Karena itu, pesantren tidak usah gusar dengan pengaruh situasi
perkembangan persekolahan. Toh, missinya sudah jelas. Karena missinya mencetak ulama,
maka dapatlah dimaklumi kiranya jika pihak pesantren tidak harus mengkaitkan kegiatan
alamiahnya (mencetak ulama. – red.) dengan prospek formal. Kita maklumi, bila pesantren
menganggap begitu penting adanya ijazah negeri bagi lulusannya. Ini tidak berarti bahwa
pengakuan formal semacam ijazah menjadi tidak penting lagi, tidak begitu. Itu tetap penting,
hanya dalam memperolehnya tidak perlu dengan cara-cara yang dapat mempengaruhi misi
pokok pesantren, yaitu mencetak ulama……”.

[5]  Ibid., halm. 120

[6]  Ibid., halm. 122-123

[7]  Ibid., halm. 130

[8]  A. Zuhdi Mukhdlor, op.cit., halm. 19.

[9]  Ibid., halm. 24;  Djunaidi, Sejarah dan Perekembangan…. . Juga hasil wawancara dengan K.H.A.
Warson Munawwir, 03-09-2010.

[10] Penguasaan kitab kuning merupakan syarat mutlak bagi calon-calon ulama’, karena kitab kuning
merupakan sumber berbagai macam cabang ilmu agama : Aqidah, syari’ah dan akhlak/tasawwuf.
Menurut K.H. Ali Maksum, yang disebut ulama’ adalah orang yang luas ilmunya dan dengan ilmu
itu ia memiliki kadar ketaqwaan / khosyyah yang tinggi. Orang yang sama sekali tidak
memiliki syari’ah atau memilikinya dalam kadar yang sangat minim, maka tidak mungkin memiliki
rasa khosyyah dan taqwa kepada Allah, sehingga ia tidak bakal menjadi ulama’. (Baca : K.H. Ali
Makshum, Ajakan suci: pokok-pokok pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama’, Yogyakarta :
LTN NU DIY, 1993, cet.1. halm. 119-120).

[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,  Jakarta : LP3ES.


Cet.1 – 1982, halm. 41
Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan berbagai pesantren menjadi dua kelompok besar,
yaitu pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pesantren salafi ditandai dengan mempertahankan
sistem pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pengajarannya. Sistem madrasah diterapkan
untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan sistem
lama, tapi tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren
khalafi sama seperti pesantren salafi, tetapi dengan memasukkan pengajaran pengetahuan
umum didalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau dengan membuka tipe
sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.

[12] M. Ridlwan Nasir, op.cit., halm. 87


M. Ridlwan Nasir mengklasifikasikan pesantren menjadi 5, yaitu 1) Pesantren salaf/klasik,
ditandai dengan penerapan sistempendidikan salaf (weton dan sorogan)  dan sistem klasikal
(madrasah) salaf;  2) pesantren semi berkembang, sama seperti pesantren salaf, tetapi ditambah
penerapan sistem madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama dan 10 % umum’ 
3) pesantren berkembang, sama seperti nomor 2, hanya sudah bervariasi dalam kurikulumnya,
70 % agama dan 30 % umum, disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri
dengan penambahan diniyah; 4) pesantren khalaf/modern, sama seperti nomor 3, hanya lebih
lengkap, yakni dengan penambahan ada sekolah umum plus madrasah diniyah, perguruan tinggi
(umum atau agama), adanya koperasi, dan takhassus (bahasa Arab dan Inggris);  5) pesantren
ideal, sama seperti nomor 4, hanya lembaganya pedidikan lebih lengkap, yaitu adanya berbagai
lembaga ketrampilan, perbankan, dan hal-hal lain yang tidak menggeser ciri khas sebagai
pesantren.

[13]Semua peserta harus mentaati instruksi dan tata aturan Kiai Ali. Yang melanggar akan kena
hukuman. K.H.A. Warson pernah dihukum berdiri sambil diikat di tiang masjid sampai pengajian
selesai, gara-gara beliau tidak menghafalkan bait-bait alfiyah. (Wawancara dengan K.H.A.
Warson Munawwir, 04-09-2010).

[14]  K.H. Mufid Mas’ud mendirikan pesantren “Sunan Pandanaran” di Candi Kaliurang Sleman
Yogyakarta dan K.H. Nawawi Abdul Aziz mendirikan pesantren “An-Nur” di Ngrukem Bantul
Yogyakarta. Kedua pesantren ini sama-sama mengelola pendidikan Al-Qur’an dan madrasah.

[15] A. Zuhdi Mukhdlor, Ibid., halm.21-22

[16] Samsul Munir Amin, Percik Pemikiran Para Kiai, Yogyakarta: Pustaka Peantren, 2009, cet.1, 
halm. 186.

[17] Para pengasuh pesantren berikut ini merupakan alumni pada periode ini, diantaranya : KH Abdul
Manan (Singosari Malang); K.H. Dahlan Basuni (Peneleh Surabaya); K.H. Ridhwan Abdurrozaq
(Kodran Kediri); K.H. Jablawi (popongan Klaten); K.H. Umaira Baqir (Kranji Bekasi); K.H.
Abdullah (Bentengan Demak); K.H. Ardani (Mangkuyudan Solo); K.H. Umar (Pare Kediri); K.H.
Ashim Ma’lum (Kauman Tulungagung); K.H. Ibnu Hajar (Kretek Wonosobo); Nyai Hj. Sofiah
Syafii (PP Putri AN-Nur di Maron Purworwjo). (Baca : Djunaidi dkk, Sejarah & Perkembangan ….,
halm. 39-40).

[18]  Pengurus P.P. Al-Munawwir, Selayang Pandang Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak


Yogyakarta. Yogyakarta: PP Al-Munawwir Krapyak. T.t. Halm. 24 - 28

[19]  Zamakhsyari Dhofier, op.cit., halm. 41


Zamakhsyari Dhofier mengelompokkan berbagai pesantren menjadi dua kelompok besar, yaitu
pesantren salafi dan pesantren khalafi. Pesantren salafi ditandai dengan mempertahankan
sistem pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pengajarannya. Sistem madrasah diterapkan
untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan sistem
lama, tapi tanpa mengenalkan pengejaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi,
sama seperti pesantren salafi, hanya saja dengan memasukkan pengajaran pengetahuan umum
dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau dengan membuka tipe sekolah-
sekolah umum dalam lingkungan peantren.

[20]  M. Ridlwan Nasir, op.cit., halm. 87


M. Ridlwan Nasir mengklasifikasikan pesantren menjadi 5, yaitu 1) Pesantren salaf/klasik,
ditandai dengan penerapan sistempendidikan salaf (weton dan sorogan)  dan sistem klasikal
(madrasah) salaf;  2) pesantren semi berkembang, sama seperti pesantren salaf ditambah
adanya sistem madrasah (swasta) dengan kurikulum 90 % agama dan 10 % umum’ 
3) pesantren berkembang, sama seperti nomor 2, hanya sudah bervariasi dalam kurikulumnya,
70 % agama dan 30 % umum, disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri
dengan penambahan diniyah; 4) pesantren khalaf/modern, sama seperti nomor 3, hanya lebih
lengkap, yakni dengan penambahan ada sekolah umum plus madrasah diniyah, perguruan tinggi
(umum atau agama), adanya koperasi, dan takhassus (bahasa Arab dan Inggris);  5) pesantren
ideal, sama seperti nomor 4, hanya lembaganya pedidikan lebih lengkap, yaitu adanya berbagai
lembaga ketrampilan, perbankan, dan hal-hal lain yang tidak menggeser ciri khas sebagai
pesantren.

[21] Djunaidi dkk, ibid., halm.34-35.

[22] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)

[23] Muatan kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)

[24] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.2)

[25] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.4)

[26] Muatan Kurikulum selengkapnya dapat dilihat pada bab III sub bab B.2.d.4)

[27] Wawancara dengan K.H. Zainal Abidin Munawwir dan K.H.A. Warson Munawwir, 03-09-2010

Anda mungkin juga menyukai