Anda di halaman 1dari 24

LIMNOLOGI

“Sifat Dan Karakteristik Sungai”

Oleh :

Alhilal Hamdi Pagoca

NIM : 432418015

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu…

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
tentang “Sifat Dan Karakteristik Sungai”.

Penyusun sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang “Sifat Dan Karakteristik
Sungai Sungai”. penyusun juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah
ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penyusun
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
penyusun buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa adanya saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.


Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya penyusun mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Wassallamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu…

Gorontalo, Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata pengantar ............................................................................................


Daftar isi.......................................................................................................
Bab I pendahuluan ......................................................................................
1.1 Latar belakang ...................................................................................
1.2 Tujuan ...............................................................................................
Bab II pembahasan .....................................................................................
2.1 Pengertian sungai ..............................................................................
2.2 Proses pembentukan sungai ..............................................................
2.3 Sungai sebagai ekosistem lotik .........................................................
2.4 Sifat-sifat fisik sungai .......................................................................
2.5 Perbedaan antar sungai......................................................................
2.6 zonasi pada sungai............................................................................
2.7 Faktor fisik kimia yang mempengaruhi ekosistem sungai ...............
2.8 Pengukuran faktor fisik kimia pada sungai ......................................

BabIII penutup ............................................................................................


3.1 Kesimpulan .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PEDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai
peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air
(catchment area) bagi daerah disekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat
dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan disekitarnya
(Setiawan, 2009). Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai
berbagai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk
suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem
sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang
akan mendukung stabilitas ekosistem tersebut (Suwondo, 2008). Sungai
merupakan salah satu tipe ekosistem perairan umum yang berperan bagi
kehidupan biota dan juga kebutuhan hidup manusia untuk berbagai macam
kegiatan seperti perikanan, pertanian, keperluan rumah tangga, industri,
transportasi. Berbagai macam aktivitas pemanfaatan sungai tersebut pada
akhirnya memberikan dampak terhadap sungai antara lain penurunan kualitas
air, hal ini dikarenakan sebagian yang dihasilkan dibuang ke sungai tanpa
melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Sungai mempunyai kemampuan
untuk membersihkan diri (self purification) dari berbagai sumber masukkan,
akan tetapi jika melebihi kemampuan daya dukung sungai (carrying capacity)
akan menimbulkan masalah yang serius bagi kesehatan lingkungan sungai
(Setiawan, 2009)
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu merumuskan pengertian sungai secara jelas dan benar.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan proses pembentukan sungai.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan sungai sebagai ekosistem lotik.
4. Mahasiswa mampu mendeskripsikan sifat-sifat fisik sungai
5. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antar sungai
6. Mahasiswa mampu mendeskripsikan zonasi pada sungai.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan factor-faktor fisik kimia yang
mempengaruhi ekosistem sungai.
8. Mahasiswa mampu menjelaskan/melakukan pengukuran factor fisik kimia
ekosistem sungai.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian sungai

Asdak (2010) mendefinisikan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu


wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung
gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian
menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut
dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan
suatu ekosistem daerah unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah,
air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya
alam.
Sungai adalah suatu saluran drainase yang terbentuk secara alamiah. Akan
tetapi disamping fungsinya sebagai saluran drainase dan dengan adanya air
yang mengalir di dalamnya, sungai menggerus tanah dasarnya secara terus-
menerus sepanjang masa existensinya dan terbentuklah lembah-lembah sungai.
Volume sedimen yang sangat besar yang dihasilkan dari keruntuhan tebing-
tebing sungai di daerah pegunungan dan tertimbun di dasar sungai tersebut,
terangkut ke hilir oleh aliran sungai. Hal ini diakibatkan karena pada daerah
pegunungan kemiringan sungainya curam dan gaya tarik aliran airnya cukup
besar, setelah itu gaya tariknya menjadi sangat menurun ketika mencapai
dataran. Dengan demikian beban yang terdapat dalam arus sungai berangsur-
angsur diendapkan (Sosrodarsono,1984:4) dalam Elshinta, (2017).
2.2 Proses pembentukan sungai
Menurut Wardhani,(2018) proses terjadinya sungai adalah air yang berada
di permukaan daratan, baik air hujan, mata air, maupun cairan gletser, akan
mengalir melalui sebuah saluran menuju tempat yang lebih rendah.
Namun,secara proses alamiah aliran ini mengikis daerah-daerah yang
dilaluinya. Akibatnya, saluran ini semakin lama semakin lebar dan panjang, dan
terbentuklah sungai. Perkembangan suatu lembah sungai menunjukan umur
dari sungai tersebut. Umur disini merupakan umur relatif berdasarkan
ketampakan bentuk lembah tersebut yang terjadi dalam beberapa tingkat
(stadium).
Menurut Yulianto (2013) dalam Pradipta,(2018), tahapan perkembangan
suatu sungai dapat dibagi menjadi 5 (lima) stadia, yaitu stadia sungai awal,
stadia muda,stadia dewasa, stadia tua, danstadia remaja kembali rejuvenation.
Adapun ciri-ciri dari tahapan sungai adalah sebgai berikut:
1. Tahapan Awal Initial Stage: Tahap awal suatu sungai sering dicirikan oleh
sungai yang belum memiliki orde dan belum teratur seperti lazimnya suatu
sungai. Air terjun, danau, arus yang cepat dan gradien sungai yang
bervariasi merupakan ciri-ciri sungai pada tahap awal. Bentang alam
aslinya, seringkali memperlihatkanketidakakuran, beberapa diantaranya
berbeda tingkatannya, arus alirannya berasal dari air runoffkearah suatu area
yang membentuk suatu depresi (cekungan) atau belum membentuk lembah.
Sungai pada tahap awal umumnya berkembang di daerah dataran pantai
coastal plainyang mengalami pengangkatan atau di atas permukaan lava
yang masih baru/muda dan gunung api, atau di atas permukaan dimana
sungai mengalami peremajaan.
2. Tahapan Muda: Sungai yang termasuk dalam tahapan muda adalah sungai
yang aktifitas aliran sungainya mengerosi kearah vertikal. Aliran sungai
yang menempati seluruh lantai dasar suatu lembah. Umumnya profil
lembahnya membentuk huruf V,air terjun dan arus yang cepat
mendominasi.
3. Tahapan Dewasa: Tahapan awal dari sungai dewasa dicirikan oleh mulai
adanya pembentukan dataran banjir secara setempat-setempat dan semakin
lama semakin lebar dan akhirnya terisi oleh aliran sungai yang berbentuk
meander, sedangkan pada sungai yang sudah masuk dalam tahapan dewasa,
arus sungai sudah membentuk aliran yang berbentuk meander, penyisiran
kearah depan dan belakang memotong suatu dataran banjir flood plainyang
cukupluas sehingga secara keseluruhan ditempatioleh jalur-jalur meander.
Pada tahapan ini aliran arus sungai sudah memperihatkan keseimbanan
antara laju erosi vertikal dan erosi lateral.
4. Tahapan Tua: Pada tahapan ini dataran banjir diisi sepenuhnya oleh
meanderdan lebar dari dataran banjir akan beberapa kali lipat dari luas
meander belt. Pada umumnya dicirikan oleh danau tapal kuda oxbow
lakedan rawa swampy area.
5. Peremajaan Sungai: Setiap saat dari perkembangansuatu sungai dari satu
tahap ke tahap lainnya, perubahan mungkin terjadi dimana kembalinya
dominasi erosi vertikal sehingga sungai dapat diklasifikasi menjadi sungai
dalam tahapan muda. Sungai dewasa dapat mengalami pengikisan kembali
ke arah vertikal untuk kedua kalinyakarena adanya pengangkatan dan proses
terjadinya erosi kearah vertikal pada sungai berstadia dewasa akibat
pengangkatan dan stadia sungai kembali menjadi stadia muda.
2.3 Sungai sebagai ekosisitem lotik
Perairan Mengalir (lotik) Perairan mengalir mempunyai corak tertentu
yang secara jelas membedakannya dari air menggenang walaupun keduanya
merupakan habitat air tawar. Semua perbedaan itu tentu saja mempengaruhi
bentuk serta kehidupan tumbuhan dan hewan yang menghuninya. Satu
perbedaan mendasar antara danau dan sungai adalah bahwa danau terbentuk
karena cekungannya sudah ada dan air yang mengisi cekungan itu, tetapi danau
setiap saat dapat terisi oleh endapan sehingga menjadi tanah kering. Sebaliknya,
sungai terjadi karena airnya sudah ada sehingga air itulah yang membentuk dan
menyebabkan tetap adanya saluran selama masih terdapat air yang mengisinya
(Ewusie, 1990:186).
Perairan lotik dicirikan adanya arus yang terus menerus dengan kecepatan
bervariasi sehingga perpindahan massa air berlangsung terus-menerus,
contohnya antara lain : sungai, kali, kanal, parit, dan lain lain. Perairan
menggenang disebut juga perairan tenang yaitu perairan dimana aliran air
lambat atau bahkan tidak ada dan massa air terakumulasi dalam periode waktu
yang lama. Arus tidak menjadi faktor pembatas utama bagi biota yang hidup
didalamnya. (Odum, 1993).
2.4 sifat-sifat fisik lotik
Perairan lotik yaitu perairan yang mengalir. Salah satu contoh perairan ini
adalah sungai. Sungai dicirikan dengan arus yang searah dan relatif kencang,
dengan kecepatan berkisar antara 0,1-1,0 m/s, serta sangat dipengaruhi oleh
waktu, iklim, dan pola drainase. Pada perairan sungai, biasanya terjadi
percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi
vertikal kolom air. Kecepatan arus dan pergerakan air sangat dipengaruhi oleh
jenis bentang alam, jenis batuan dasar, dan curah hujan. Semakin rumit bentang
alam, semakin besar batuan dasar, dan semakin banyak curah hujan, pergerakan
air semakin kuat dan kecepatan arus semakin cepat. Klasifikasi perairan lotik
dipengaruhi oleh kecepatan arus atau pergerakan air, jenis sedimen dasar, erosi,
dan sedimentasi.
Klasifikasi perairan lotik berdasarkan kecepatan arus
1. Zona riam, ditandai dengan perairan yang dangkal dan arus yang kuat
sehingga pada dasar perairan tidak terdapat endapan dan relatif bersifat
padat.
2. Zona lubuk, ditandai dengan kecepatan arus yang lambat dan air yang relatif
dalam serta mengakibatkan kecenderungan terendapnya pertikel di dasar
perairan dan relatif bersifat lunak.
Berdasarkan letaknya secara longitudinal
1. Hulu, letaknya di dataran tinggi, mengalir melalui bagian yang curam,
dangkal dan berbatu dengan goncangan, volume air kecil, oksigen terlarut
tinggi, suhu rendah, warna air jernih dan arus yang cepat sehingga terjadi
pengikisan yang besar.
2. Bagian tengah, letaknya diantara dataran tinggi dan rendah, kecepatan arus
air yang sedang, volume mulai meningkat, fotosintesis mulai meningkat,
terjadi pengendapan yang diimbangi oleh pengikisan sehingga disebut zona
keseimbangan.
3. Hilir, letaknya di dataran rendah, arus air lambat, volume besar, warna air
relatif keruh dan mengandung lumpur sehingga membentuk delta.
2.5 Sifat-sifat fisik sungai
Temperatur Air
Temperatur merupakan ukuran kuantitatif panas dinginnya suatu media yang
diukur pada skala definit seperti derajat Celcius atau Fahrenheit. Temperatur
sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme
perairan memiliki kisaran temperatur tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Misalnya algae dari filum Chlorophyta dan diatom akan
tumbuh dengan baik pada kisaran temperatur berturut-turut 30o -35o C dan 20o
– 30o C. Temperatur suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang,
ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, permukaan
tutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Peningkatan temperatur
menyebabkan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatisasi. Penurunan
temperatur menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2,
CO2, N2, CH4 dan lain-lain. Peningkatan temperatur juga menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan
temperatur juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan
organik oleh mikroba.
Penetrasi Cahaya
Radiasi matahari yang dapat mencapai permukaan bumi ± 1.350 Joule/detik/m
2 (watt), dengan kecepatan sekitar 186.000 mil/detik (299.790 km/detik).
Panjang gelombang radiasi matahari adalah 150 nm-3.200 nm dengan puncak
panjang gelombang sekitar 480 nm. Radiasi dengan panjang gelombang 400 nm
– 700 nm digunakan pada proses fotosintesis atau yang dikenal sebagai cahaya
tampak. Radiasi dengan panjang gelombang 700 nm disebut radiasi infra merah.
Jumlah radiasi yang mencapai permukaan peraiaran sangat dipengaruhi oleh
awan, ketinggian dari permukaan laut (altitute), letak geografis, dan musim.
Penetrasi cahaya ke dalam air sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut
datang cahaya, kondisi permukaan air, dan bahan-bahan yang terlarut dan
tersuspensi dalam air. Beberapa jenis molekul, misalnya O2, O3, H2O, dan CO2
dapat menyerap radiasi matahari dan mengubahnya menjadi energi panas.
Cahaya sangat mempengaruhi tingkah laku organisme. Perubahan intensitas
cahaya menyebabkan Ceratium hirudinella melakukan pergerakan vertikal pada
kolom air dan blue green algae mengatur volume vakuola gas untuk melakukan
pergerakan secara vertikal pada kolom air, sedangkan zooplankton melakukan
migrasi vertikal harian.
Warna
Warna perairan dikelompokkan menjadi dua, yaitu warna sesungguhnya dan
warna tampak. Warna sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh
bahan-bahan kimia terlarut. Sedangkan warna tampak adalah warna yang tidak
hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi. Warna
perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan anorganik, karena
keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam, serta bahan-bahan lain.
Adanya oksida besi menyebabkan air berwarna kemerahan, sedangkan oksida
mangan menyebabkan air berwarna kecokelatan atau kehitaman. Kalsium
karbonat yang berasal dari daerah berkapur menyebabkan warna air kehijauan.
Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin, dan asam humus yang berasal dari
dekomposisi tumbuhan yang telah mati menimbulkan warna kecokelatan.
Warna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan
terganggunya proses fotosintesis. Perbedaan kolom air menunjukkan bahwa
semakin dalam perairan, makin tinggi pula warna karena terlarutnya bahan
organik yang terakumulasi di dasar perairan. Warna perairan pada umumnya
disebabkan oleh partikel koloid bermuatan negatif. Warna perairan juga dapat
disebabkan oleh peledakan (blooming) fitoplankton (algae). Di perairan laut,
jenis algae yang mengalami peledakan pertumbuhan biasanya berasal dari filum
Dinoflagellata, sedangkan di perairan tawar biasanya berasal dari filum
Cyanophyta.
Konduktivitas
Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) adalah gambaran numerik dari
kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Oleh karena itu, semakin
banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai
DHL. Reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat
berpengaruh terhadap nilai DHL. Asam, basa dan garam merupakan penghantar
listrik yang baik, sedangkan bahan organik, misalnya sukrosa dan benzena yang
tidak dapat mengalami disosiasi, merupakan penghantar listrik yang buruk.
Padatan Terlarut dan Tersuspensi
Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/TSS) adalah bahan-bahan
tersuspensi yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 µm.
TSS merupakan jumlah padatan atau partikel tersuspensi yang terdapat dalam
suatu perairan, baik berupa bahan organik maupun anorganik. TSS terdiri atas
lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh
kikisan tanah dan erosi tanah yang terbawa ke badan air. Padatan terlarut total
(Total Dissolve Solid/ TDS) adalah bahan-bahan terlarut dan koloid yang
berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada
kertas saring berdiameter 0,45 µm. TDS merupakan jumlah padatan terlarut
yang terdapat dalam suatu perairan, baik berupa bahan organik/anorganik. TDS
biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa
ditemukan di perairan.
Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas
merupakan kadar garam-garam terlarut dalam 1000 gram air. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi
menjadi oksida, semua bromida dan iodidia digantikan oleh klorida dan semua
bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dipengaruhi oleh densitas, densitas
yang rendah memiliki nilai salinitas yang tinggi. Salinitas juga dipengaruhi oleh
proses hidrologi. Ketika terjadi evaporasi, maka nilai salinitas meningkat.
Sedangkan ketika terjadi presipitasi, maka salinitas menurun (EfendidanHefni,
2003).
2.6 Perbedaan antar sungai
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 35 Tahun 1991 Tentang
Sungai. Ada bermacam-macam jenis sungai yang ada di Indonesia sungai
tersebut dapat dibedakan berdasarkan sebagai berikut:
Berdasarkan sumber air sungai dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
1. Sungai yang bersumber dari air hujan atau dari mata air. Sungai jenis ini
terdapatdi Indonesia. Dikarenakan Indonesiayangberiklim tropis dengan
curah hujan tinggi dan banyak sumber mata air.
2. Sungai gletser sungai yang sumber airnya bersumber dari lelehan gletser
yang mencair dari pegunungan. Sungai jenis ini terdapat di pengunungan.
3. Sungai campuran sungai yang sumber airnya dari lelehan gletser, air hujan
dan dari sumber mata air yang mengalir dan menjadi satu. Contoh sungai
campuran yang ada di Indonesia adalah sungai Digul dan sungai
Mamberamo yang berada di Irian Jaya.
Alur Sungai dikategorikan menjadi tiga, sebagai berikut:
1. Bagian hulu sungai memiliki ciri arus deras, erosiyangbesar pada bagian
bawah sungai. Dengan demikian hasil erosi tidak hanya sedimen
pasir,krikil, ataubatu dapat terbawa kearahhilir.
2. Bagian tengah yang merupakan bagian perpindahan dari hulu sungai ke
bagianhilir dan memiliki kemringan dasar sungai yang relatif lebih
landaisihingga kekuatan erosinya tidak terlalu besar dan arah erosinya
mengarah ke bagain dasar dan samping serta terjadinya pengendapan.
3. Bagian hilir yang memiliki bagian kemiringan dasar sungai yang
landaisehingga kecepatan alirannya lambat, sehingga arusnya tenang, daya
erosi akibat aliran kecil dengan arah ke samping dan akan banyak endapan.
Berdasarkan arah aliran sungai dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
1. Sungai konsekuen adalah sungai yang arah alirannya mengikuti arah
kemiringan lereng.
2. Sungai subsekuenadalah sungai yang arah alirannya tegak lurus dengan
sungai konsekuen.
3. Sungai obesekuenadalah sungai yang arah alirannya berlawanan dengan
sungai konsekuenatau dengan arah berlawanan dari lereng dengan muara
sungai berada di sungai subsekuen.
4. Sungai resekuenadalah sungai yang arah alirannya sama sejajar dengan arah
aliran dari sungai konsekuen.
2.7 Zonasi pada sungai
Terdapat zona-zona primer sungai yang secara umum telah dikenal, diantaranya
(Ngabekti, 2004):
1. Zona Litoral
Merupakan daerah pinggiran perairan yang masih bersentuhan dengan
daratan. Pada daerah ini terjadi percampuran sempurna antara berbagai
faktor fisiko kimiawi perairan. Organisme yang biasanya ditemukan antara
lain: tumbuhan akuatik berakar atau mengapung, siput, kerang, crustacean,
serangga, amfibi, ikan, perifiton dan lain-lain.

2. Zona Limnetik
Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zona litoral di satu sisi
dan zona litoral disisi lain. Zona ini memiliki berbagai variasi secara fisik,
kimiawi maupun kehidupan di dalamnya. Organisme yang hidup dan
banyak ditemukan di daerah ini antara lain : ikan, udang, dan plankton.
3. Zona Profundal
Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan menerima sedikit
cahaya matahari dibanding daerah litoral dan limnetik. Bagian ini dihuni
oleh sedikit organisme terutama dari organisme bentik karnivor dan
detrifor.
4. Zona Sublitoral
Merupakan daerah peralihan antara zona litoral dan zona profundal. Sebagai
daerah peralihan zona ini dihuni oleh banyak jenis organisme bentik dan
juga organisme temporal yang datang untuk mencarai makan.

Berdasarkan besarnnya intensitas cahaya matahari yang masuk, perairan dibagi


menjadi 3 zona yaitu (Anonimouse, 2012):
1. Zona Eufotik
Merupakan bagian perairan, dimana cahaya matahari masih dapat
menembus wilayah tersebut. Daya tembus cahaya matahari ke dalam
perairan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : tingkat
kekeruhan / turbiditas, intensitas cahaya matahari itu sendiri, densitas
fitoplankton dan sudut datang cahaya matahari. Zona ini merupakan zona
produktif dalam perairan dan dihuni oleh berbagai macam jenis biota di
dalamnya. Merupakan wilayah yang paling luas pada ekosistem perairan
daratan, dengan kedalaman yang bervariasi.

2. Zona Afotik
Merupakan bagian perairan yang gelap gulita karena cahaya matahari tidak
dapat menembus daerah ini. Di daerah tropis zona perairan tanpa cahaya
hanya ditemui pada perairan yang sangat dalam atau perairan - perairan
yang hipertrofik. Pada zona ini produsen primer bukan tumbuh-tumbuhan
algae tetapi terdiri dari jenis-jenis bakteri seperti bakteri Sulfur. Tidak
adanya tumbuh-tumbuhan sebagai produsen primer karena tidak adanya
cahaya matahari yang masuk, menyebabkan daerah ini miskin oksigen (DO
rendah). Kondisi tersebut berpengaruh terhadap biota yang hidup di zona
ini. Biota yang hidup hanya karnifor ataupun detrifor.
3. Zona mesofotik
Bagian perairan yang berada diantara zona fotik dan afotik atau dikenal
sebagai daerah remang-remang. Sebagai daerah ekoton, daerah ini
merupakan wilayah perburuan bagi organisme yang hidup di zona afotik
dan juga organisme yang hidup di zona fotik.
2.8 Faktor-faktor fisik kimia yang mempengaruhi ekosistem sungai

1. Suhu Air
Barus (2004) menyatakan pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh
faktor anthropogen (yang disebabkan oleh aktivitas manusia) seperti limbah
panas, yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan hutan yang
menyebabkan hilangnya perlindungan badan air.
2. Kecerahan Air
Menurut Suriadarma (2011) tingkat kecerahan air akan semakin tinggi
dengan semakin jauhnya jarak dari pantai. Tingkat kecerahan yang rendah
di perairan sungai dan laut yang berdekatan dengan pantai di duga akibat
banyak terdapatnya partikel tersuspensi yang terbawa aliran sungai dari
lahan atas dan adanya proses sedimentasi serta abrasi pantai. Barus (2004)
menyatakan bahwa bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai
alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme air dalam
habitatnya. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang, hewan air akan
dirangsang untuk melakukan ruaya (migrasi).
3. Kecepatan Arus
Arus air adalah pergerakan massa air menuju ketempat lain yang
disebabkan oleh perbedaan ketinggian dasar perairan, kerapatan molekul
air, atau karena tiupan angin. Arus dapat bergerak secara vertikal maupun
horisontal. Pada ekosistem perairan arus memiliki peran yang sangat
penting terutama berkaitan dengan pola sebaran organisme, pengangkutan
energi, gas-gas terlarut dan mineral di dalam air.
Arus juga akan berpengaruh terhadap substrat dasar perairan. Dalam
perairan dikenal ada dua tipe arus yaitu turbulen dan laminar. Turbulen
merupakan arus air yang bergerak kesegala arah sehingga air akan
terdistribusi keseluruh bagian perairan, sedangkan laminar yaitu arus air
yang bergerak kesatu arah tertentu saja.
4. Derajat Keasaman (pH)
Menurut Meilawati et al (2005) jika nilai pH berada di bawah
standar baku mutu maksimum maka kualitas air/ sedimen bersifat acid
(asam). Begitupun jika nilai pH berada di atas standar baku mutu maksimum
maka kualitas air/ sedimen bersifat alkali (basa). pH air semakin ke muara
semakin asam karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang
kemudian membebaskan Karbondioksida (CO2) apabila terurai.
Menurut Barus (2004) perairan yang mengandung kapur akan
mempunyai nilai pH yang relatif lebih stabil, sedangkan perairan yang
mengandung sedikit kapur akan mempunyai nilai pH yang berfluktuasi
sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi.
5. Oksigen Terlarut (DO)
Barus (2004) berpendapat proses oksidasi akan menyebabkan
konsentrasi oksigen terlarut menjadi rendah, terutama pada musim kemarau
saat curah hujan sangat sedikit dimana volume aliran air sungai menjadi
rendah. Dibarengi dengan tingginya suhu dan apabila volume air limbah
tidak berkurang akan menyebabkan laju oksidasi tersebut meningkat tajam.
Ikan bulan-bulan termasuk ikan dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut
yang rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Wells et al. (2007) yang melakukan
pengamatan terhadap ikan bulan-bulan tentang hubungan kecepatan renang
dan kebutuhan oksigen terlarut yakni dengan kisaran 0,8 – 5 mmol/liter.
Kelarutan oksigen mempengaruhi kehidupan organisme di suatu
perairan, karena oksigen terlarut disuatu perairan merupakan faktor
pembatas. Jika kadar oksigen terlarut terlalu rendah bisa mengakibatkan
biota air akan mati (Fardiaz, 1992).
6. Biologycal Oxygen Demand (BOD)
Ali et al (2013) menyatakan BOD adalah jumlah oksigen terlarut
yang dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik
di dalam air.
Rahayu dan Tantowi (2009) menyatakan bahwa semakin besar
kadar BOD di perairan sungai menandakan bahwa perairan tersebut telah
tercemar yang diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan pertanian.
7. Salinitas
Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa perairan
estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai
air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Lebih lanjut menurut
Nybakken (1992) perbedaan lainnya adalah tergantung musim dan
topografi.Boeuf & Payan (2001) menyatakan bahwa ikan yang hidup pada
salinitas yang lebih rendah menghabiskan lebih sedikit energi untuk
osmoregulasi. Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran
organisme, baik secara vertikal maupun horizontal (Effendi,2003; Fadil
(2011).
8. Nitrat (NH3) dan Posfat (PO4)
Menurut Effendi (2003) sumber utama peningkatan kadar nitrat
diperairan berasal dari limpasan pupuk pertanian. Risamasu dan Hanif
(2011) menyatakan konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih
rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di
lapisan permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh
fitoplankton. Selain itu, konsentrasi nitrat yang sedikit lebih tinggi di dekat
dasar perairan juga dipengaruhi oleh sedimen. Di dalam sedimen nitrat
diproduksi dari biodegradasi bahan-bahan organik menjadi ammonia yang
selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat (Seitzinger, 1988)
Boyd (1982) menyatakan bahwa fosfat terbentuk sebagai hasil
perombakan bahan organik dalam kondisi aerobik.Keberadaan
orthophosphate di perairan, dengan segera dapat diserap oleh bakteri,
fitoplankton dan makrofita.Fitoplankton dapat menyerap orthophosphate
lebih cepat dibandingkan dengan makrofita, tetapi makrofita mempunyai
kemampuan menyimpan fosfor lebih besar dari pada fitoplankton.
2.9 Pengukuran faktor fisik kimia yang mempengaruhi sungai
Parameter kualitas air secara fisik dan kimia, misalnya oksigen terlarut,
(DO), pH air, kandungan organik total, temperatur air, kandungan ion-ion
terlarut dan lain-lain akan mempengaruhi kehidupan organisme lain di perairan
Pennak, 1953). Parameter tersebut dipengaruhi oleh tata guna lahan dan
intensitas kegiatan manusia. Penentuan kualitas air secara fisika diukur pada
setiap stasiun Stasun I (pusat penambangan, Stasiun II (bagian Hiir) dan stasiun
III (bagian muara sungai). Pengukuran parameter Fisika seperti temperatur air
diukur menggunakan termometer air, pH air dengan menggunakan pH meter
dan warna air ditentukan secara visual langsung diukur di lapangan. Pengukuran
parameter kimia dianalisis di laboratorium Kima yang meliputi kandungan
oksigen terlarut (DO) dan BOD diukur dengan DO meter, sedangkan
kandungan CO2 bebas diukur dengan Acidimetri. Kandungan Hg (air raksa)
diukur dengan menggunakan metode AAF (Gusmaweti, 2015).
Cara mengukur suhu perairan Adanya perubahan berupa kenaikan suhu
dapat menyebabkan kenaikan tingkat metabolisme organisme yang ada di
dalamnya sehingga diperlukan adaptasi lebih lanjut, di samping juga akan
mendorong terjadinya perubahan pola sirkulasi stratifikasi dan gas terlarut.
Selanjutnya, akan mempengaruhi kehidupan di dalam air. Suhu air paling baik
dan efisien diukur dengan menggunakan sensor elektronis, seperti thermistor.
Pembacaan dan pencatatan langsung dari thermistor akan lebih memudahkan
mahasiswa pemula untuk mengambil profil suhu dari habitat aquatik.
Cara mengukur kekeruhan Kekeruhan dapat diukur dengan alat yang
amat sederhana yang disebut Cakram Secchi (diambil dari nama seorang
penemunya yang berbangsa Italia), berupa lempeng cakram putih dengan garis
tengah ± 20 cm dengan dua bagian berwarna putih dan dua bagian lagi berwarna
hitam, yang digantungkan, kemudian dimasukkan ke dalam air sampai tidak
terlihat dari permukaan. Kejernihan air dapat diukur antara beberapa cm pada
air yang keruh sampai kedalaman puluhan meter pada perairan yang sangat
jernih. Batasan kedalaman antara 0 meter sampai dengan Cakram Secchi tidak
terlihat lagi disebut Kejernihan Cakram Secchi. Secara umum batas kejernihan
ini menandai bahwa pada kedalaman tersebut masih merupakan zona
fotosintesis meskipun dalam tingkat yang paling minimum. Lebih dalam dari
batas kejernihan cakram Secchi, tumbuhan tidak akan, ditemui karena tidak
dapat melakukan fotosintesis, yang berakibat kurangnya kandungan oksigen
terlarut.
Cara mengukur penetrasi cahaya di dalam perairan Pengukuran cahaya
dapat dilakukan dengan Light Meter, namun karena penggunaannya tidak
praktis dan merepotkan; biasanya cukup dilakukan dengan pengujian tingkat
kekeruhan dan digunakan pula perhitungan tertentu tentang kemampuan
spektrum cahaya dan bias air untuk dapat mewakili pengukuran cahaya.
Arus dapat merupakan faktor pembatas yang penting terutama pada
perairan yang arusnya cukup tinggi, seperti sungai. Keberadaan arus yang
cukup tinggi akan memaksa organisme yang ada di dalamnya menggunakan
gerakan-gerakan tubuh tertentu untuk dapat bertahan ataupun melawan arus.
Keadaan inilah yang menjadikan tubuh organisme tertentu yang biasa ditemui
di air berarus, mempunyai karakteristik tersendiri, dengan bentuk yang dikenal
streamline guna memudahkan bergerak dalam air, dibanding bentuk organisme
yang biasa berada di air yang tergenang. Begitu pula dengan tumbuhannya, pada
tempat berarus, keanekaragamannya lebih sedikit, yang umumnya apabila
berdaun agak lebar, tidak mempunyai batang, dan tidak menancap di dasar
(terbawa oleh arus) ataupun apabila mempunyai batang yang menancap di
dasar, berdaun kecil, dengan tubuh yang menjulur mengikuti arus. Sebaliknya,
pada tumbuhan di air tergenang, berdaun lebar dengan batang panjang yang
bahkan dapat sepanjang batas antara dasar dengan permukaan air. Dengan
adanya gerakan-gerakan air, arus juga dapat mempengaruhi distribusi gas
terlarut, garam, suhu makanan, serta organisme dalam air. Dengan kondisi
seperti ini, semakin jelas bahwa adanya arus dapat mempengaruhi keberadaan
organisme perairan. Penelitian mengenai populasi tidaklah lengkap jika tidak
menentukan faktor kecepatan aliran.
Pengukuran konsentrasi DO, BOD, dan COD jarang sekali dilakukan di
lapangan, tetapi dengan membawa sampel air yang akan dianalisis di
laboratorium. Catatan: Jika diperlukan dan memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran DO, BOD dan COD dapat Anda lakukan dengan kesepakatan
antara kelompok dan Instruktur tempat Anda praktikum.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama.
Proses terjadinya sungai adalah air yang berada di permukaan daratan,
baik air hujan, mata air, maupun cairan gletser, akan mengalir melalui sebuah
saluran menuju tempat yang lebih rendah.
Perairan Mengalir (lotik) Perairan mengalir mempunyai corak tertentu
yang secara jelas membedakannya dari air menggenang walaupun keduanya
merupakan habitat air tawar. Semua perbedaan itu tentu saja mempengaruhi
bentuk serta kehidupan tumbuhan dan hewan yang menghuninya.
Perairan lotik dicirikan adanya arus yang terus menerus dengan
kecepatan bervariasi sehingga perpindahan massa air berlangsung terus-
menerus, contohnya antara lain : sungai, kali, kanal, parit, dan lain lain.
Sifat-sifat fisik sungai yaitu temperature air, penetrasi cahaya, warna,
konduktifitas, padatan terlarut dan tersuspensi dan salinitas.
Berdasarkan sumber air sungai dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
1. Sungai yang bersumber dari air hujan atau dari mata air. Sungai jenis ini
terdapatdi Indonesia. Dikarenakan Indonesiayangberiklim tropis dengan
curah hujan tinggi dan banyak sumber mata air.
2. Sungai gletser sungai yang sumber airnya bersumber dari lelehan gletser
yang mencair dari pegunungan. Sungai jenis ini terdapat di pengunungan.
3. Sungai campuran sungai yang sumber airnya dari lelehan gletser, air hujan
dan dari sumber mata air yang mengalir dan menjadi satu. Contoh sungai
campuran yang ada di Indonesia adalah sungai Digul dan sungai
Mamberamo yang berada di Irian Jaya.
Zonasi pada sungai yaitu

1. Zona Litoral
Merupakan daerah pinggiran perairan yang masih bersentuhan dengan
daratan.

2. Zona Limnetik
Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zona litoral di satu sisi
dan zona litoral disisi lain.
3. Zona Profundal
Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan menerima sedikit
cahaya matahari dibanding daerah litoral dan limnetik.
4. Zona Sublitoral
Merupakan daerah peralihan antara zona litoral dan zona profundal.
Faktor fisik kimia yang mempengaruhi ekosistem sungai yaitu: Suhu
Air, Kecerahan Air, Kecepatan Arus, Derajat Keasaman (pH), Oksigen Terlarut
(DO), Biologycal Oxygen Demand (BOD), Salinitas dan Nitrat (NH3) dan
Posfat (PO4).

Pengukuran faktor fisik kimia sungai yaitu penentuan kualitas air secara
fisika diukur pada setiap stasiun Stasun I (pusat penambangan, Stasiun II
(bagian Hiir) dan stasiun III (bagian muara sungai). Pengukuran parameter
Fisika seperti temperatur air diukur menggunakan termometer air, pH air
dengan menggunakan pH meter dan warna air ditentukan secara visual langsung
diukur di lapangan. Pengukuran parameter kimia dianalisis di laboratorium
Kima yang meliputi kandungan oksigen terlarut (DO) dan BOD diukur dengan
DO meter, sedangkan kandungan CO2 bebas diukur dengan Acidimetri.
Kandungan Hg (air raksa) diukur dengan menggunakan metode AA.
DAFTAR PUSTAKA

Asdak, Chay. (2010). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Air Sungai: Edisi.
Revisi Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Yogyakarta.

Ali, A., Soemarno dan Mangku Pornomo. 2013. Kajian Kualitas Air Dan Status
Mutu Air Sungai Metro Di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi
Lestari, Volume 13 No. 2, 265-274.

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Sci.
Publ. Co., Amsterdam, 318 pp

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.


USU Press.165 hal.

Efendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. PT Kanisius. Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1992 .Polusi Air dan Udara.Kanisius.Yogyakarta.

Gusmaweti dan Lisa Deswanti. 2015. Analisis Parameter Fisika-Kimia sebagai


Salah Satu Penentu Kualitas Perairan Batang Palangki Kabupaten
Sijunjung, Sumatera Barat. Padan: universitas bung hatta padang.

Rahayu, S. dan Tantowi. 2009. Penelitian Kualitas Air Bengawan Solo Pada Saat
Musim Kemarau.Jurnal Sumber Daya Air. 5. 127-136.

Suriadarma, Ade. 2011. Dampak Beberapa Parameter Faktor Fisik Kimia Terhadap
Kualitas Lingkungan Perairan Pesisir Karawang, Jawa Barat. Riset Geologi
dan Pertambangan Vol. 21 No. 1 (2011), hal : 19-33.

Wardhani, eka dan Lina Apriyanti Sulistiowati.2018. Jurnal Rekayasa Hijau. No.2,
Vol. 2. ISSN: 2550-1070. Bandung: Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan, ITENAS Bandung

Wells,R.M.G., Baldwin,J., Seymour,R.S., Christian,K.A., and Farrell,A.P. 2007.


Air breathing minimizes post-exercise lactate load in the tropical Pacific
tarpon, Megalops cyprinoides Broussonet 1782 but oxygen debt is repaid by
aquatic breathing. J. Fish Biol. 71: 1649-1661.

Anda mungkin juga menyukai