Oleh :
NIM : 432418015
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
tentang “Sifat Dan Karakteristik Sungai”.
Penyusun
DAFTAR ISI
PEDAHULUAN
PEMBAHASAN
2. Zona Limnetik
Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zona litoral di satu sisi
dan zona litoral disisi lain. Zona ini memiliki berbagai variasi secara fisik,
kimiawi maupun kehidupan di dalamnya. Organisme yang hidup dan
banyak ditemukan di daerah ini antara lain : ikan, udang, dan plankton.
3. Zona Profundal
Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan menerima sedikit
cahaya matahari dibanding daerah litoral dan limnetik. Bagian ini dihuni
oleh sedikit organisme terutama dari organisme bentik karnivor dan
detrifor.
4. Zona Sublitoral
Merupakan daerah peralihan antara zona litoral dan zona profundal. Sebagai
daerah peralihan zona ini dihuni oleh banyak jenis organisme bentik dan
juga organisme temporal yang datang untuk mencarai makan.
2. Zona Afotik
Merupakan bagian perairan yang gelap gulita karena cahaya matahari tidak
dapat menembus daerah ini. Di daerah tropis zona perairan tanpa cahaya
hanya ditemui pada perairan yang sangat dalam atau perairan - perairan
yang hipertrofik. Pada zona ini produsen primer bukan tumbuh-tumbuhan
algae tetapi terdiri dari jenis-jenis bakteri seperti bakteri Sulfur. Tidak
adanya tumbuh-tumbuhan sebagai produsen primer karena tidak adanya
cahaya matahari yang masuk, menyebabkan daerah ini miskin oksigen (DO
rendah). Kondisi tersebut berpengaruh terhadap biota yang hidup di zona
ini. Biota yang hidup hanya karnifor ataupun detrifor.
3. Zona mesofotik
Bagian perairan yang berada diantara zona fotik dan afotik atau dikenal
sebagai daerah remang-remang. Sebagai daerah ekoton, daerah ini
merupakan wilayah perburuan bagi organisme yang hidup di zona afotik
dan juga organisme yang hidup di zona fotik.
2.8 Faktor-faktor fisik kimia yang mempengaruhi ekosistem sungai
1. Suhu Air
Barus (2004) menyatakan pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh
faktor anthropogen (yang disebabkan oleh aktivitas manusia) seperti limbah
panas, yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan hutan yang
menyebabkan hilangnya perlindungan badan air.
2. Kecerahan Air
Menurut Suriadarma (2011) tingkat kecerahan air akan semakin tinggi
dengan semakin jauhnya jarak dari pantai. Tingkat kecerahan yang rendah
di perairan sungai dan laut yang berdekatan dengan pantai di duga akibat
banyak terdapatnya partikel tersuspensi yang terbawa aliran sungai dari
lahan atas dan adanya proses sedimentasi serta abrasi pantai. Barus (2004)
menyatakan bahwa bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai
alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme air dalam
habitatnya. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang, hewan air akan
dirangsang untuk melakukan ruaya (migrasi).
3. Kecepatan Arus
Arus air adalah pergerakan massa air menuju ketempat lain yang
disebabkan oleh perbedaan ketinggian dasar perairan, kerapatan molekul
air, atau karena tiupan angin. Arus dapat bergerak secara vertikal maupun
horisontal. Pada ekosistem perairan arus memiliki peran yang sangat
penting terutama berkaitan dengan pola sebaran organisme, pengangkutan
energi, gas-gas terlarut dan mineral di dalam air.
Arus juga akan berpengaruh terhadap substrat dasar perairan. Dalam
perairan dikenal ada dua tipe arus yaitu turbulen dan laminar. Turbulen
merupakan arus air yang bergerak kesegala arah sehingga air akan
terdistribusi keseluruh bagian perairan, sedangkan laminar yaitu arus air
yang bergerak kesatu arah tertentu saja.
4. Derajat Keasaman (pH)
Menurut Meilawati et al (2005) jika nilai pH berada di bawah
standar baku mutu maksimum maka kualitas air/ sedimen bersifat acid
(asam). Begitupun jika nilai pH berada di atas standar baku mutu maksimum
maka kualitas air/ sedimen bersifat alkali (basa). pH air semakin ke muara
semakin asam karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang
kemudian membebaskan Karbondioksida (CO2) apabila terurai.
Menurut Barus (2004) perairan yang mengandung kapur akan
mempunyai nilai pH yang relatif lebih stabil, sedangkan perairan yang
mengandung sedikit kapur akan mempunyai nilai pH yang berfluktuasi
sesuai dengan dinamika fotosintesis yang terjadi.
5. Oksigen Terlarut (DO)
Barus (2004) berpendapat proses oksidasi akan menyebabkan
konsentrasi oksigen terlarut menjadi rendah, terutama pada musim kemarau
saat curah hujan sangat sedikit dimana volume aliran air sungai menjadi
rendah. Dibarengi dengan tingginya suhu dan apabila volume air limbah
tidak berkurang akan menyebabkan laju oksidasi tersebut meningkat tajam.
Ikan bulan-bulan termasuk ikan dapat hidup pada kondisi oksigen terlarut
yang rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Wells et al. (2007) yang melakukan
pengamatan terhadap ikan bulan-bulan tentang hubungan kecepatan renang
dan kebutuhan oksigen terlarut yakni dengan kisaran 0,8 – 5 mmol/liter.
Kelarutan oksigen mempengaruhi kehidupan organisme di suatu
perairan, karena oksigen terlarut disuatu perairan merupakan faktor
pembatas. Jika kadar oksigen terlarut terlalu rendah bisa mengakibatkan
biota air akan mati (Fardiaz, 1992).
6. Biologycal Oxygen Demand (BOD)
Ali et al (2013) menyatakan BOD adalah jumlah oksigen terlarut
yang dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk menguraikan bahan organik
di dalam air.
Rahayu dan Tantowi (2009) menyatakan bahwa semakin besar
kadar BOD di perairan sungai menandakan bahwa perairan tersebut telah
tercemar yang diakibatkan oleh buangan limbah domestik dan pertanian.
7. Salinitas
Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa perairan
estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai
air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Lebih lanjut menurut
Nybakken (1992) perbedaan lainnya adalah tergantung musim dan
topografi.Boeuf & Payan (2001) menyatakan bahwa ikan yang hidup pada
salinitas yang lebih rendah menghabiskan lebih sedikit energi untuk
osmoregulasi. Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran
organisme, baik secara vertikal maupun horizontal (Effendi,2003; Fadil
(2011).
8. Nitrat (NH3) dan Posfat (PO4)
Menurut Effendi (2003) sumber utama peningkatan kadar nitrat
diperairan berasal dari limpasan pupuk pertanian. Risamasu dan Hanif
(2011) menyatakan konsentrasi nitrat di lapisan permukaan yang lebih
rendah dibandingkan di lapisan dekat dasar disebabkan karena nitrat di
lapisan permukaan lebih banyak dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh
fitoplankton. Selain itu, konsentrasi nitrat yang sedikit lebih tinggi di dekat
dasar perairan juga dipengaruhi oleh sedimen. Di dalam sedimen nitrat
diproduksi dari biodegradasi bahan-bahan organik menjadi ammonia yang
selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat (Seitzinger, 1988)
Boyd (1982) menyatakan bahwa fosfat terbentuk sebagai hasil
perombakan bahan organik dalam kondisi aerobik.Keberadaan
orthophosphate di perairan, dengan segera dapat diserap oleh bakteri,
fitoplankton dan makrofita.Fitoplankton dapat menyerap orthophosphate
lebih cepat dibandingkan dengan makrofita, tetapi makrofita mempunyai
kemampuan menyimpan fosfor lebih besar dari pada fitoplankton.
2.9 Pengukuran faktor fisik kimia yang mempengaruhi sungai
Parameter kualitas air secara fisik dan kimia, misalnya oksigen terlarut,
(DO), pH air, kandungan organik total, temperatur air, kandungan ion-ion
terlarut dan lain-lain akan mempengaruhi kehidupan organisme lain di perairan
Pennak, 1953). Parameter tersebut dipengaruhi oleh tata guna lahan dan
intensitas kegiatan manusia. Penentuan kualitas air secara fisika diukur pada
setiap stasiun Stasun I (pusat penambangan, Stasiun II (bagian Hiir) dan stasiun
III (bagian muara sungai). Pengukuran parameter Fisika seperti temperatur air
diukur menggunakan termometer air, pH air dengan menggunakan pH meter
dan warna air ditentukan secara visual langsung diukur di lapangan. Pengukuran
parameter kimia dianalisis di laboratorium Kima yang meliputi kandungan
oksigen terlarut (DO) dan BOD diukur dengan DO meter, sedangkan
kandungan CO2 bebas diukur dengan Acidimetri. Kandungan Hg (air raksa)
diukur dengan menggunakan metode AAF (Gusmaweti, 2015).
Cara mengukur suhu perairan Adanya perubahan berupa kenaikan suhu
dapat menyebabkan kenaikan tingkat metabolisme organisme yang ada di
dalamnya sehingga diperlukan adaptasi lebih lanjut, di samping juga akan
mendorong terjadinya perubahan pola sirkulasi stratifikasi dan gas terlarut.
Selanjutnya, akan mempengaruhi kehidupan di dalam air. Suhu air paling baik
dan efisien diukur dengan menggunakan sensor elektronis, seperti thermistor.
Pembacaan dan pencatatan langsung dari thermistor akan lebih memudahkan
mahasiswa pemula untuk mengambil profil suhu dari habitat aquatik.
Cara mengukur kekeruhan Kekeruhan dapat diukur dengan alat yang
amat sederhana yang disebut Cakram Secchi (diambil dari nama seorang
penemunya yang berbangsa Italia), berupa lempeng cakram putih dengan garis
tengah ± 20 cm dengan dua bagian berwarna putih dan dua bagian lagi berwarna
hitam, yang digantungkan, kemudian dimasukkan ke dalam air sampai tidak
terlihat dari permukaan. Kejernihan air dapat diukur antara beberapa cm pada
air yang keruh sampai kedalaman puluhan meter pada perairan yang sangat
jernih. Batasan kedalaman antara 0 meter sampai dengan Cakram Secchi tidak
terlihat lagi disebut Kejernihan Cakram Secchi. Secara umum batas kejernihan
ini menandai bahwa pada kedalaman tersebut masih merupakan zona
fotosintesis meskipun dalam tingkat yang paling minimum. Lebih dalam dari
batas kejernihan cakram Secchi, tumbuhan tidak akan, ditemui karena tidak
dapat melakukan fotosintesis, yang berakibat kurangnya kandungan oksigen
terlarut.
Cara mengukur penetrasi cahaya di dalam perairan Pengukuran cahaya
dapat dilakukan dengan Light Meter, namun karena penggunaannya tidak
praktis dan merepotkan; biasanya cukup dilakukan dengan pengujian tingkat
kekeruhan dan digunakan pula perhitungan tertentu tentang kemampuan
spektrum cahaya dan bias air untuk dapat mewakili pengukuran cahaya.
Arus dapat merupakan faktor pembatas yang penting terutama pada
perairan yang arusnya cukup tinggi, seperti sungai. Keberadaan arus yang
cukup tinggi akan memaksa organisme yang ada di dalamnya menggunakan
gerakan-gerakan tubuh tertentu untuk dapat bertahan ataupun melawan arus.
Keadaan inilah yang menjadikan tubuh organisme tertentu yang biasa ditemui
di air berarus, mempunyai karakteristik tersendiri, dengan bentuk yang dikenal
streamline guna memudahkan bergerak dalam air, dibanding bentuk organisme
yang biasa berada di air yang tergenang. Begitu pula dengan tumbuhannya, pada
tempat berarus, keanekaragamannya lebih sedikit, yang umumnya apabila
berdaun agak lebar, tidak mempunyai batang, dan tidak menancap di dasar
(terbawa oleh arus) ataupun apabila mempunyai batang yang menancap di
dasar, berdaun kecil, dengan tubuh yang menjulur mengikuti arus. Sebaliknya,
pada tumbuhan di air tergenang, berdaun lebar dengan batang panjang yang
bahkan dapat sepanjang batas antara dasar dengan permukaan air. Dengan
adanya gerakan-gerakan air, arus juga dapat mempengaruhi distribusi gas
terlarut, garam, suhu makanan, serta organisme dalam air. Dengan kondisi
seperti ini, semakin jelas bahwa adanya arus dapat mempengaruhi keberadaan
organisme perairan. Penelitian mengenai populasi tidaklah lengkap jika tidak
menentukan faktor kecepatan aliran.
Pengukuran konsentrasi DO, BOD, dan COD jarang sekali dilakukan di
lapangan, tetapi dengan membawa sampel air yang akan dianalisis di
laboratorium. Catatan: Jika diperlukan dan memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran DO, BOD dan COD dapat Anda lakukan dengan kesepakatan
antara kelompok dan Instruktur tempat Anda praktikum.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama.
Proses terjadinya sungai adalah air yang berada di permukaan daratan,
baik air hujan, mata air, maupun cairan gletser, akan mengalir melalui sebuah
saluran menuju tempat yang lebih rendah.
Perairan Mengalir (lotik) Perairan mengalir mempunyai corak tertentu
yang secara jelas membedakannya dari air menggenang walaupun keduanya
merupakan habitat air tawar. Semua perbedaan itu tentu saja mempengaruhi
bentuk serta kehidupan tumbuhan dan hewan yang menghuninya.
Perairan lotik dicirikan adanya arus yang terus menerus dengan
kecepatan bervariasi sehingga perpindahan massa air berlangsung terus-
menerus, contohnya antara lain : sungai, kali, kanal, parit, dan lain lain.
Sifat-sifat fisik sungai yaitu temperature air, penetrasi cahaya, warna,
konduktifitas, padatan terlarut dan tersuspensi dan salinitas.
Berdasarkan sumber air sungai dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
1. Sungai yang bersumber dari air hujan atau dari mata air. Sungai jenis ini
terdapatdi Indonesia. Dikarenakan Indonesiayangberiklim tropis dengan
curah hujan tinggi dan banyak sumber mata air.
2. Sungai gletser sungai yang sumber airnya bersumber dari lelehan gletser
yang mencair dari pegunungan. Sungai jenis ini terdapat di pengunungan.
3. Sungai campuran sungai yang sumber airnya dari lelehan gletser, air hujan
dan dari sumber mata air yang mengalir dan menjadi satu. Contoh sungai
campuran yang ada di Indonesia adalah sungai Digul dan sungai
Mamberamo yang berada di Irian Jaya.
Zonasi pada sungai yaitu
1. Zona Litoral
Merupakan daerah pinggiran perairan yang masih bersentuhan dengan
daratan.
2. Zona Limnetik
Merupakan daerah kolam air yang terbentang antara zona litoral di satu sisi
dan zona litoral disisi lain.
3. Zona Profundal
Merupakan daerah dasar perairan yang lebih dalam dan menerima sedikit
cahaya matahari dibanding daerah litoral dan limnetik.
4. Zona Sublitoral
Merupakan daerah peralihan antara zona litoral dan zona profundal.
Faktor fisik kimia yang mempengaruhi ekosistem sungai yaitu: Suhu
Air, Kecerahan Air, Kecepatan Arus, Derajat Keasaman (pH), Oksigen Terlarut
(DO), Biologycal Oxygen Demand (BOD), Salinitas dan Nitrat (NH3) dan
Posfat (PO4).
Pengukuran faktor fisik kimia sungai yaitu penentuan kualitas air secara
fisika diukur pada setiap stasiun Stasun I (pusat penambangan, Stasiun II
(bagian Hiir) dan stasiun III (bagian muara sungai). Pengukuran parameter
Fisika seperti temperatur air diukur menggunakan termometer air, pH air
dengan menggunakan pH meter dan warna air ditentukan secara visual langsung
diukur di lapangan. Pengukuran parameter kimia dianalisis di laboratorium
Kima yang meliputi kandungan oksigen terlarut (DO) dan BOD diukur dengan
DO meter, sedangkan kandungan CO2 bebas diukur dengan Acidimetri.
Kandungan Hg (air raksa) diukur dengan menggunakan metode AA.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. (2010). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Air Sungai: Edisi.
Revisi Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
Ali, A., Soemarno dan Mangku Pornomo. 2013. Kajian Kualitas Air Dan Status
Mutu Air Sungai Metro Di Kecamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi
Lestari, Volume 13 No. 2, 265-274.
Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Sci.
Publ. Co., Amsterdam, 318 pp
Efendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. PT Kanisius. Yogyakarta.
Rahayu, S. dan Tantowi. 2009. Penelitian Kualitas Air Bengawan Solo Pada Saat
Musim Kemarau.Jurnal Sumber Daya Air. 5. 127-136.
Suriadarma, Ade. 2011. Dampak Beberapa Parameter Faktor Fisik Kimia Terhadap
Kualitas Lingkungan Perairan Pesisir Karawang, Jawa Barat. Riset Geologi
dan Pertambangan Vol. 21 No. 1 (2011), hal : 19-33.
Wardhani, eka dan Lina Apriyanti Sulistiowati.2018. Jurnal Rekayasa Hijau. No.2,
Vol. 2. ISSN: 2550-1070. Bandung: Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan, ITENAS Bandung