Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kelainan Sistem Reproduksi disebabkan Gangguan
Hormonal dan Ketidaknormalan ” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang kami peroleh dari
beberapa buku dan situs blog di internet. Tak lupa kami mengucapkan terima
kasih kepada dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik Ibu Hj. Eli Amaliah,
S.Kep., Ners., M.MKes atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini,
sehingga dapat diselesaikan dengan semestinya.

Selanjutnya kami menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya


sempurna. Sehingga saya mengharapkan kritik serta saran yang membangun
guna menambah kualitas serta mutu dari makalah tersebut.kami berharap
semoga makalah ini dapat menambah ilmu dan wawasan kita semua.

Serang, September 2019

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………….……….i

DAFTAR ISI ……………………………………………….………...ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ……………………………………….…...………1


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………..……….2
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………..………2
1.4 Manfaat…………………………………………………………….
2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Gerontik………………...………………..……..….3


2.1.1 Definisi Lansia………………………………………………3
2.2 Konsep Gangguan Inkontinensia Urine Pada Lansia ……….……3
2.2.1 Definisi Inkontinensia Urine………………………………3
2.2.2

2.3 Macam-macam kelainan sistem reproduksi yang disebabkan oleh


hormon……….…………………………………………………..4
2.4 Macam-macam kelainan sistem reproduksi yang disebabkan oleh
ketidak normalan…………...……………………………………9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………….………..15
B. Saran ……………………………………………………….…..…..15
DAFTAR PUSTAKA ………………………...………………..……..16

ii
ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap

keterbatasannya, pasti akan dialami oleh seseorang bila ia panjang umur. Pada

usia lanjut, terjadi penurunan kondisi fisik/biologis, kondisi psikologis, serta

perubahan kondisi sosial.

Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang terjadi pada

lansia yang disebabkan karena faktor degeneratif, maupun lainnya, yang

mengenai setidaknya 14 % wanita berumur di atas 30 tahun. Selain itu,

masalah pada sistem pencernaan juga tak jarang ditemui pada lansia, salah

satunya adalah konstipasi. Menurut National Health Interview Survey pada

tahun 1991, konstipasi merupakan  keluhan saluran cerna terbanyak pada usia

lanjut. Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di

atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi.

Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius.

Definisi paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter,

ketika tekanan di dalam kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra.

Sedangkan Konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk defekasi.

Konstipasi merupakan keluhan paling sering dalam praktik klinis.

Inkontinensia urin maupun konstipasi yang dialami oleh pasien dapat

menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan

1
2

nyamanan akibat nyeri, kecemasan maupun menimbulkan rasa rendah diri

pada pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Inkontinensia urine

dan Konstipasi ?

1.3 Tujuan Penulis

1. Tujuan Umum

Untuk menjelaskan Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan

Gangguan SistemPerkemihan dan Pencernaan.

2. Tujuan Khusus

- Menjelaskan konsep inkontinensia urin pada lansia.

- Menjelaskan konsep konstipasi pada lansia.

1.4 Manfaat

1. Mahasiswa dapat memahami Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan

Gangguan Sistem Perkemihan dan Pencernaan.dengan Gangguan

SistemPerkemihan dan Pencernaan.

2. Mahasiswa dapat memahami konsep pada gangguan sistem

perkemihan dan pencernaan.

3. Mahasiswa dapat memahami konsep inkontinensia urin pada lansia.

4. Mahasiswa dapat memahami konsep konsep konstipasi pada lansia.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gerontik

2.1.1 Definisi Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada

kehidupan manusia. Sedangkan menurut Paal 1 ayat (2), (3), (4) UU

No. 13 tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjuut

adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun

(Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara. 2008)

Menurut UU No.4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang

mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk

keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain.

(Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008)

2.2 Konsep Gangguan Inkontinensia Urine Pada Lansia

2.2.1. Definisi Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah

serius. Definisi paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih

nonvolunter, ketika tekanan di dalam kandung kemih lebih besar dari

resistansi uretra. Agency for Health Care Policy and Research

(AHCPR) Guidline mendefinisikan inkontinensia urine sebagai “

pengeluaran urine involunter yang cukup menimbulkan masalah”

(Mass, L, Meridean, 2001).


4

Inkontinensia urin menurut International Continence Society

didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter yang

menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara objektif tampak

nyata. Inkontinensia urin dapat merupakan suatu gejala, tanda

ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan merupakan bagian yang

normal dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat

sejalan dengan peningkatan usia.

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang

bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol

sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus

menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005).

Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan

ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk

mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat

berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan

kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan

dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan

karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah

yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.

Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit

rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).


5

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006

Keadaan dimana seseorang mengalami


pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan
seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam
1. Inkontinen
sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
sia Dorongan
2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan
ini disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
Keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
2. Inkontinen inkontinensia total antara lain: disfungsi
sia Total neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
Stres Inkontinensia Urin (SUI) didefinisikan
oleh Internasional Continence Society (ICS)
adalah keluarnya urin tanpa disadari pada saat
aktifitas atau saat bersin atau saat batuk.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
3. Inkontinen
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya
sia Stress
urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, maupun
tertawa.(Mass, L, Meridean, dkk. (2001)
Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan
oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
4. Inkontinen
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan
sia Reflex
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi
atau spasme kandung kemih tidak dihambat
pada interval teratur
5. Inkontinen keadaan seseorang yang mengalami
sia pengeluaran urin secara tanpa disadari dan
Fungsional tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
6

dorongan untuk berkemih, merasa bahwa


kandung kemih penuh, kontraksi kandung
kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin. 

2.2.2 Epidemiologi

Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang

mengenai setidaknya 14 % wanita berumur di atas 30 tahun. Studi

epidemiologi pun telah dilakukan untuk mengukur besarnya populasi

wanita dengan inkontinensia, dan untuk mendapatkan faktor risiko

spesifik dari para penderita inkontinensia (B, Pribakti, 2011).

Meskipun inkontinensia dianggap merupakan konsekuensi normal

dari proses penuaan dan persalinan, namun banyak faktor predisposisi

lain yang penting. Hubungan antara prolaps genital dan inkontinensia

urine juga perlu diingat, seperti juga perbedaan antara inkontiensi

jaringan dan wanita yang inkonten (B, Pribakti, 2011).

Inkontinensia urin adalah tahap akhir dari banyak proses

patologik, dan penelitian akhir-akhir ini memfokuskan pada dua hal :

diagnosis yang akurat dan penanganan selanjutnya. Acuan dari semua

panelitian ini adalah klasifikasi umum dari disfungsi saluran kemmih

bagian bawah yang distandarisasi oleh Komite International

Continence Society (ICS) (B, Pribakti, 2011).

2.2.3 Tanda dan Gejala

1. Inkontinensia Stres

Merupakan gejala paling umum pada perempuan yang

memeriksakan diri ke dokter kandungan, pengeluaran urine yang

tidak disadari selama aktivitas fisik.


7

2. Inkontinensia Urgensi

Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari dengan kenginan

yang kuat untuk buang air.

3. Inkontinensia tak sadar

Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari tanpa danya

urgensi

4. Enuresis

Merupakan semua pengeluaran urin yang tidak disadari, meskipun

biasanya digunakan untuk menggambarkan inkontinensia selama

tidur (Enuresis Noctural).

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin

menurut Uliyah (2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis

2. Distensi vesika urinaria

3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.

2.2.4 Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus

1. Usia

Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine

saja, tetapi juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu

sendiri. Anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol buang

air besar maupun buang air kecil karena sistem neuromuskulernya

belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan

mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi

penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal


8

tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi

feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami

konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan

kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi,

2008).

Inkontinensia urine lebih umum di perempuan dibandingkan

dengan laki-laki, dan prevalensi meningkat dengan

membahayakan usia. Banyak wanita tua sebenarnya menganggap

gejala berkemih mereka merupakan bagian normal dari proses

penuaan dari pada manifestasi penyakit (B, Pribakti, 2011).

Fungsi kandung kemih menjadi kurang efisien seiring

bertambahnya umur dan Malone Lee telah menunjukkan bahwa

perempuan tua memiliki penurunan tingkat aliran urine,

peningkatan risidu urine, kapasitas kandung kemih berkurang,

dan telakan maksimum yang legih rendah.

Gangguan fisik pada lansia menyebabkan gejala tambahan

dari inkontinensia, yang jarang pada wanita muda, sebagai

berikut:

a. Dimensia

b. Infeksi saluran kemih

c. Penurunan mobilitas

d. Masalah ginjal

e. Obat-obatan (misalnya diuretik, hipnotik)


9

2. Diet

Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur

manfaatnya, misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi.

Jengkol dapat menghambat miksi karena kandungan pada jengkol

yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat

menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan

menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi

terganggu (Asmadi, 2008).

3. Cairan

Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang

masuk ke ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine

menjadi berkurang dan lebih pekat (Asmadi, 2008).

4. Hormon Sex

Memburuknya fungsi ovarium yang berhubungan menopause

dimana terjadi penurunan produksi estrogen endogen dan

peningkatan insidensi gejala urin, termasuk disuria, nokturia dan

inkontinensia. Selain itu, infeksi saluran kemih (UTI) menjadi

lebih umum (B, Pribakti, 2011).

5. Temperatur

Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan

penguapan cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik.

Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan

sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan

pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat


10

memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot,

dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).

6. Obat-obatan

Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat

antikolinergik (atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi

(aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter &

Perry,2006).

2.5 Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Inkontinensia Urine

2.5.1 Pengkajian

1. Identitas klien

Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung

terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin

perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga

beresiko mengalaminya.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

b. Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang

dirasakan saat ini.

c. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu

yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa,

gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan

dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu

miksi.
11

d. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih

sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

e. Riwayat kesehatan masa lalu.

Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit

serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien,

apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan

ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

f. Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita

penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit

bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

b. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan

karena respon dari terjadinya inkontinensia

2) Pemeriksaan Sistem

a. B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas,

sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi

dada, adakah kelainan pada perkusi.

b. B2 (blood)

Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan

gelisah

c. B3 (brain)
12

Kesadaran biasanya sadar penuh

d. B4 (bladder)

Inspeksi: Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya

bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme

(bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya

darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah

supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan

nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari

infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /

pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu

kencing / dapat juga di luar waktu kencing.

e. B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya

nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi,

adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

c. B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya

dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada

persendian.

3) Pengkajian Fungsi Sosial

a) Hubungan Lansia dengankeluarga sebagaiperan sentral


13

b) Meliputi APGAR Keluarga (Adaptation, Partnership,

Growth, Affection, Resolve) yaitu Alat skrining singkat

untuk mengkaji fungsisosial lanjut usia.

2.5.2 Diagnosa & Rencana Asuhan keperawatan.

Rencana tindakan
Diagnosa
No
keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional

1. Inkontinensia Diharapkan 1. Pantau dan catat 1. Deteksi


Stres setelah dilakukan masukan dan haluaran masalah
berhubungan tindakan karakteristik urine kaji Untuk dapat
dengan keperawatan kehilangan tonus otot mengetahui
kurang klien dapat karena : apa penyebab
pengetahuan pegetahui tentang a.  Melahirkan inkontinensia
tentang latihan dasar b.  Kegemukan
latihan dasar pelvis dengan c.  Proses penuaan
pelvis kriteria : 2. Minta perwat atau
1. Mela bidan untuk latihan 2. Melatih
porkan lebih efektif kekuatan
pengurangan kandung
inkontinensia 3. Ajarkan untuk kemih
2. Mam mengidentifikasiotot –
pu mengukapkan otot dasar pelvis dan 3. Latihan kegel
penyebab kekuatan saat adalah untuk
inkontinensia dan melakukan latihan menguatkan
alasan untuk kegel dan
perawatan mempertahank
an tonus otot
pubokogsigeal
yang
menyangga
organ-organ
pelvis.
14

2. Inkontinensia Diharapkan 1. Latih kelayan 1. Melatih


refleks setelah dilakukan mengoongkan kelayan untuk
berhubungan tindakan kandung kemih miksi
dengan lesi keperawatan 2. Lakukan perawatan 2. Memberik
medula spinalis klien dapat kulit dan pakaian an rasa nyaman
diatas arkus mencapai pada Klien pada kelayan
refleks penerapan seperti 3. awasi bila ada tanda
ditunjukan oleh gejala infeksi saluran 3.Infeksi saluran
hal- hal berikut : kemih. kemih dapat
1. Mengekspresi memperburuk
kan keinginan keadaan klien
untuk mencoba
tehnik manual
berkemih
2. Proses berkemih
bisa terkontrol

3. Inkontinensia Diharapkan 1. Berikan 1. Me


fungsional setelah dilakukan keempatan pada mberikan
berhubungan tindakan keleyan untuk miksi. kenyamanan
dengan keperawatan pada kelayan.
penurunan klien dapat 2. Modifikas
tonus kandung pegetahuan i linkungan tempat 2. Menjaga
kemih tentang faktor berkemih . privasi dan
penyebab kenyamanan
penurunan tonus kelayan.
kandung kemih
dengan kriteria : 3. Kolaborasi pemberian 3. Untuk
1.   meminimalkan obat dengan dokter merelaksasi
atau mengura kandung
ngi episode kemih.
inkontinensia
2.   mengambarkan
faktor penyebab
inkontinensia

4. Inkontinensia Diharapkan
urgensi setelah dilakukan 1. kolaborasi 1. Unt
berhubungan tindakan pemberian obat dengan uk merelakasi
dengan keperawatan dokter kandung kemih
penurunan klien dapat
fungsi pegetahui cara 2. Ajarkan 2. Me
15

persarafan mengoftimalkan kelayan bladder training latih kelayan


kandung kemih kandung kemih mengembalikan
dengan kriteria : kontrol miki
1. Klien mampu
mengungkapkan 3. Minta
miksi kalau mau Klien untuk menunda 3. Ag
berkemih waktu ke toilet ar dapat
2. Mengetahi menehan miksi
faktor penyebab dalam waktu
inkontinensia yang lebih lama
urgensi
5. Inkontinenia Diharapkan setelah
overflow dilakukan tindakan
berhubungan keperawatan klien 1. Kaji obstruksi pada
dengan dapat pegetahui kandung kemih
obtruksi pada penyebab obstruksi 1. Mengetahui
kandung kemih kandung kemih, penyebab
dengan kriteria : 2. Lakukan pembedahan obstruksi
1. Klien jika terjadi
mau berkerja pembesaran prostat. 2. Melancarkan
sama dalam 3. Lakukan proses
proses kateterisasi,bila perlu berkemih
pengobatan secara intermiten,dan 3. Memberikan
kalau tidak mungkin rasa nyaman
4. Inkontinensia secara menetap pada klien
bisa di atasi

2.5.3 Implementasi

Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan

dan merupakan tahapan dimana perawat merealisasikan rencana keperawatan

ke dalam tindakan keperawatan nyata, langsung pada klien.Tindakan

keperawatan itu sendiri merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan yang

telah diktentukan dengan maksud agar kebutuhan klien terpenuhi secara

optimal (Mass, L, Meridean, 2001).


16

2.5.4 Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana

tindakan, dan pelaksanaan sudah berhasil di capai. Melalui evaluasi

memungkinkan perawat memonitor “kealpaan“ yang terjadi selama tahap

pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan (Mass, L,

Meridean, 2001).
17

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :


Salemba Medika.

B, Pribakti. (2011). Dasar-dasar Uroginekologi.Jakarta : Sagung Seto.

Corwin, Elizabeth, J. (2009). Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : ECG.

Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.Edisi keempat. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Efendi, Ferry, Makhfudli. (2009).Keperawatan Kesehatan Komunitas : teori dan


Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Hidayat, Aziz, A.(2006). Pengantar Kebutuhan Dasar manusia: Aplikasi konsep


dan proses keperawatan.Jakarta : Salemba Medika.

Maryam, Siti, R, dkk. (2008).Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta :


Salemba Medik

Mass, L, Meridean, dkk. (2001). Asuhan Keperawatan Geriatrik : Diagnosis


NANDA, Kriteria Hasil NIC NOC, dan Intervensi NIC. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Nugroho, Wahjudi.2000. Keperawatan Gerontik.Jakarta : EGC

Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan


praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC

Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba


Medika

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC

Anda mungkin juga menyukai