Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas ARTIKEL TEMA KEISLAMAN ini tepat waktu,
guna memenuhi tugas dosen pengampuh Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos pada Mata
Kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Mataram.
Sholawat dan salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW atas
karunia dan rahmatnya sehingga berkat beliaulah yang telah membawa kita dari zaman
jahiliyah menuju zaman yang terang-benderang.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampuh Mata Kuliah Pendidkan Agama Islam. Semoga tugas yang telah
diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait di bidang yang ditekuni
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan artikel ini.
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat kepada setiap orang yang
membacanya, juga dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang tema keislaman ini.
Penulis menyadari artikel ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesemprnaan artikel ini.
Penyusun,
3
DAFTAR ISI
BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta Keadilan Hukum dalam
Islam……………………………………………………………………………………… 30
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………..34
4
BAB I
Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali dalam
masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan pengkajian yang
begitu intensif, sehingga mudah didapat di tengah masyarakat. Aspek yang akan dikaji
dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian
seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya
karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan
nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan
cabang-cabang keimanan.
Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai
membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar
pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif
pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya
dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu
segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain
yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan
akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah
dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan
kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter
Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan
membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam
segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima
sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat dan
dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam adalah
agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi dengan
keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin
menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang
dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi
iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.
5
Pemikiran Umat Islam
Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang
menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah
menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan.
Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa
Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah
dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah
Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi
formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-
Khattab, Usman dan Ali.
Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang
Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan
kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah
yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan
gerakannya.
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi
terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah
Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib.
Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh.
Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Dendam
yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan darah,
menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara
dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok
Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan
pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian
sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat
perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali
bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua
kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan
keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan
kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian
umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni),
2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.
6
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka
mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44
Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain
membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik
(pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-
Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang
orang yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu
adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku politik yang
terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai
pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu
letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali
Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati
melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan
dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.
Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban.
Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga
dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat.
7
Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan
Qadariah.
Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat
(sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak
Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang
baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam
surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang
di sebagaian umat Islam.
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi
penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang
mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya
ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi
ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula
berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165,
sebagai berikut:
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan
yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum
turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29).
Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab
sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah,
kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan
apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul
karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras
dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan
konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-
Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
8
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu
beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah
jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam
kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur
alam semesta.
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas
perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai
Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.
9
BAB II
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya
dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan[1306]. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang
mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat
dipalingkan?
Dalam tafsir dijelaskan dijelaskan bahwa tiga kegelapan itu ialah kegelapan
dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup
anak dalam rahim. Dalam Biologi dijelaskan bahwa sebenarnya embrio dalam
rahin mengalami tiga fase perkembangan yang disebut dengan fase morula,
blastula, gastrula. Perhatikan juga QS 23:12-14 yang berbicara secara cukup detail
mengenai proses penciptaan manusia.
10
Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya[503], niscaya Allah
menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.
Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
. Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman?
11
D. ARSITEKTUR dalam AL QUR’AN
dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan
penyelam,
Perhatikan juga tentang megahnya kerajaan nabi Sulaiman pada QS 27:44, yang
dapat membangun istana yang begitu indah.
12
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru
langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan.
Al-Qur‟an juga berbicara tentang bilangan, misalnya satu (waahid atau ahad),
tiga (tsalaatsah), tujuh (sab‟ah), sepuluh („asyarah), seribu (alf), dan limu puluh ribu
(khamsiina alf). Selain itu, masih banyak bilangan-bilangan yang disebutkan dalam
Al-Quran termasuk bilangan rasional (pecahan). Bilangan pecahan yang disebut
dalam Al Qur‟an beserta surat dan ayatnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Bilangan Surat dan Ayat
½ QS 4:11,12,25,176
2/3 QS 4:11,176
QS 73:20
1/3 QS 4:11,12,176
QS 73:20
1/5 QS 8: 41
1/6 QS 4:11,11,12
¼ QS 4 :12,12
1/10 QS 34:45
1/8 QS 4:12
Bilangan terkecil yang disebutkan adalah 1/10 dan yang terbesar
adalah 100000 (QS 37:147)
1. Operasi Bilangan (Operasi Hitung Dasar)
Allah SWT berfirman dalam surat Al Ankabuut ayat 14. (QS 29:14)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di
antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir
besar, dan mereka adalah orang- orang yang zalim.
13
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi).
14
Dalam dua ayat tersebut Al Qur‟an telah berbicara tentang matematika, yaitu
1. Konsep bilangan (dalam hal ini bilangan bulat).
2. Operasi penjumlahan bilangan (dalam hal ini bilangan bulat).
3. Operasi pengurangan bilangan (dalam hal ini bilangan bulat).
Makna yang tersirat di balik 2 ayat tersebut adalah bahwa setiap muslim
perlu memahami tentang bilangan dan operasi bilangan. Bagaimana mungkin
seorang muslim dapat mengetahui bahwa nabi Nuh tinggal dengan kaumnya
selama 950 tahun, jika tidak dapat menghitung 1000 – 50. Bagaimana mungkin
seorang muslim dapat mengetahui bahwa Ashhabul Kahfi tinggal di dalam gua
selama 309 tahun, jika tidak dapat menghitung 300 + 9.
Berkaitan dengan operasi bilangan, Al Qur‟an juga tidak hanya berbica
tentang operasi penjumlahan dan pengurangan, tetapi juga operasi perkalian dan
pembagian. Pada surat-surat yang menyebutkan bilangan pecahan tersebut,
semua jenis operasi (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian)
sudah tersirat.
Kembali pada QS 29:14 dan QS 18:25, sebenarnya ada rahasia penting
berkaitan dengan teknik komputasi. Secara matematika
950 = 1000 – 50
dan
309 = 300 + 9.
Kesamaan tersebut tidak hanya diakui dan diterima begitu saja, tetapi perlu dikaji
makna yang terkandung di dalamnya. Penulis menangkap makna sebagai berikut.
1. Kemudahan Penyebutan.
Lebih mudah mengungkapan bilangan dengan cara menyebut bilangan terdekat
atau terbiasa diungkapkan, lalu mengurangi atau menambah dengan bilangan
lain. Sebagai contoh, untuk menyebut 999999, lebih mudah dengan menyebut
100000
– 1. Untuk menyebut pukul 11.55, lebih mudah dengan menyebut pukul 12 – 5.
2. Kemudahan Pengoperasian
Lebih mudah menghitung hasil penjumlahan atau perkalian dua bilangan
dengan cara mengungkapkan bilangan-bilangan tersebut sebagai hasil
penjumlahan atau hasil pengurangan dua bilangan tertentu. Perhatikan contoh
15
Untuk 975 x 1025 secara langsung akan membutuhkan waktu dan langkah yang
amat banyak.
Seseorang dapat menghitung sebagai
berikut 975 x 5 = 4875
975 x 20 = 19500
975 x 1000 = 975000
Lalu menghitung 4875 + 19500 + 975000 dan diperoleh hasil 999375.
Jika 975 dinyatakan dengan 1000 – 25 dan 1025 dinyatakan dengan 1000 +
25, maka diperoleh
975 x 1025 = (1000 – 25)x(1000 + 25)
= 10002 – 252
= 1000000 – 625
= 999375.
Makna kedua inilah yang sebenarnya begitu penting dalam teknik komputasi.
Dalam matematika dikenal rumus bahwa
(a – b)(a + b) = a2 - b2.
Artinya jika x = a – b dan y = a + b, maka untuk menghitng xy akan lebih mudah
dengan langsung menghitung a2 - b2.
3. Bilangan 19
Di antara bilangan-bilangan yang disebutkan dalam Al-Qur‟an, bilangan
19 menempati posisi yang istimewa. Keistimewaan bilangan 19 ditegaskan oleh
Allah SWT dalam surat Al Muddatstsir ayat 30 dan 31.
Di atasnya ada 19 (malaikat penjaga).
Dan tidak Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan
tidaklah kami menjadikan jumlah mereka itu (yakni 19) melainkan cobaan bagi
orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan
supaya orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang
diberi Al-Kitab dan orang-orang yang beriman tidak ragu-ragu, dan supaya orang-
16
orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apa
yang dikehendai Allah dengan ini (bilangan 19) sebagai perumpamaan?”.
17
6. Kata “wa al yatalaththaf” yang menjadi titik tengah Al Qur‟an ternyata terletak
pada surat ke–18 ayat 19.
7. Kata “ism” dalam Al Qur‟an disebut sebanyak 19 kali
Kata “Allah” dalam Al Qur‟an disebut sebanyak 2698 kali
Kata “rahman” dalam Al Qur‟an disebut sebanyak 57 kali
Kata “rahim” dalam Al Qur‟an disebut sebanyak 114 kali
Secara matematika diperoleh
19 = 19 x 1
2698 = 19 x 142
57 = 19 x 3
114 = 19 x 6
Jika pengali dalam bilangan-bilangan di atas dijumlahkan akan diperoleh
1 + 142 + 3 + 6 = 152 = 19 x 8.
8. Ayat dalam Al Qur‟an yang diturunkan pertama kali adalah surat Al „Alaq ayat 1-
5. Banyaknya kata dalam surat Al „Alaq ayat 1-5 adalah 19 kata. Banyaknya
ayat dalam surat Al „Alaq adalah 19 ayat.
9. Surat Al „Alaq adalah surat ke-96 dan surat An Nas (surat terakhir) adalah
surat ke–114. Banyaknya bilangan mulai 96 sampai 114 adalah 19 bilangan,
yaitu
96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,
113, 114.
18
Bilangan 19 merupakan bilangan ganjil. Bilangan ganjil adalah bilangan yang
jika dibagi dua sisanya 1. Jika berbicara dalam konsep konkruensi, bilangan ganjil
adalah bilangan yang konkruensi 1 modulo 2. Secara simbol, jika x ganjil maka x º 1
(mod 2). Pemilihan bilangan ganjil sangat beralasan. Dalam salah satu hadits
disebutkan “Allah adalah ganjil (witr) dan menyukai sesuatu yang ganjil (witr)”.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah mengapa harus 19, karena
bilangan ganjil yang lain masih banyak, misalnya 1, 3, 5, 7, 9, 11, dan 13. Ternyata
bilangan 19 merupakan bilangan prima, dan tidak semua bilangan ganjil adalah
prima. Bilangan prima adalah bilangan yang tepat mempunyai dua pembagi (faktor)
yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. Bilangan 1 tidak prima karena hanya mempunyai
satu pembagi. Bilangan yang tidak prima dan bukan bilangan 1 disebut bilangan
komposit. Sekarang akan dikaji makna bilangan prima secara matematika.
Perhatikan Tabel 2 berikut untuk melihat perbedaan bilangan prima dan bilangan
komposit.
Tabel 2. Beberapa Bilangan Prima, Komposit, dan Pembaginya.
Prima Pembagi Komposit Pembagi
7 1, 7 9 1, 3, 9
1 1, 11 10 1, 2, 5, 10
1
1 1, 17 20 1, 2, 4, 5, 10, 20
7
1 1, 19 30 1, 2, 3, 5, 6, 10, 15, 30
9
3 1, 31 10 1, 2, 4, 5, 10, 20, 25, 50, 100
1 0
19
Allah SWT. Hati orang yang mempunyai kepribadian prima selalu terpaut dengan
20
Allah SWT. Tidak ada penyakit dalam hati pribadi prima yang dapat menghalangi
hubungannya dengan Allah SWT.
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah mengapa harus 19. Bukankah
bilangan prima selain 19 masih banyak, misalnya 3, 5, 7, 11, 13, 17, dan 29.
Mengapa bukan 13 yang diakui secara internasional sebagai bilangan mengerikan
(bilangan sial). Mengapa bukan 17 yang diakui kaum muslimin sebagai bilangan
istimewa karena adanya 17 rakaat dan 17 Ramadhan.
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah karena bilangan 19 tersusun dari
bilangan 1 dan 9. Telah disebutkan sebelumnya bahwa bilangan asli yang pertama
dikembangkan adalah
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9.
Posisi bilangan 1 adalah di awal dan bilangan 9 adalah di akhir. Perhatikan juga
bahwa 9 adalah bilangan yang terbesar jika dibandingkan yang lain.
Jika hal ini dimaknai maka dengan bilangan 19, seseorang diingatkan pada
dzat yang awal, yang akhir, yang wahid/ahad, dan yang maha besar. Bukankan
Allah SWT adalah dzat yang maha awal dan maha akhir, dzat yang satu, dan dzat
yang maha besar. Perhatikan beberapa firman Allah SWT berikut.
QS 57:3
QS 112:1
22
BAB III
Ada 3 generasi terbaik yang menjadi panutan bagi kaum muslimin. Tiga generasi
itu adalah:
Tentunya para Tabiin dan atbaut Tabiin yang dimaksud adalah orang-orang yang
mengikuti para Sahabat Nabi dengan baik. Bukannya orang-orang yang terjerumus
dalam kebid’ahan-kebid’ahan macam maulid nabi dan kesesatan lainnya.
- Masa Nabi dan para Sahabatnya : sejak Nabi diutus hingga 110 Hijriyah. Sahabat
Nabi yang terakhir meninggal dunia adalah Abut Thufail Aamir bin Waatsilah al-Laitsy
(wafat 110 Hijriyah).
- Masa Taabiin : hingga 181 H (wafatnya Taabiin terakhir: Kholf bin Kholiifah)
قال البلقيني أول التابعين موتا ابو زيد معمر بن زيد قتل بخراسان وقيل بأذربيجان سنة ثالثين وآخرهم موتا خلف
)243-2( بن خليفة سنة ثمانين ومائة (تدريب الراوي
al-Bulqiiniy menyatakan: Tabiin pertama yang meninggal dunia adalah Abu Zaid
Ma’mar bin Zaid yang terbunuh di Khurosan, dan ada yang mengatakan: (meninggal)
di Azerbaijan pada tahun 30 H. Sedangkan Taabiin yang paling akhir meninggal dunia
adalah Kholf bin Kholiifah pada tahun 180 H (Tadriibur roowiy karya as-Suyuthiy
(2/234)).
واتفقوا على أن آخر من كان من أتباع التابعين ممن يقبل قوله من عاش إلى حدود العشرين
ومئتين
23
Para Ulama sepakat bahwa akhir Atbaaut Tabiin yang bisa diterima ucapannya adalah
yang masa kehidupannya hingga batasan tahun 220 (Hiriyah)(Fathul Baari karya Ibnu
Hajar al-Asqolaany (7/6)).
Catatan: penjelasan di atas hanyalah tentang periode pada tiap generasi dengan
menyebutkan akhir kematian orang-orang yang berada di generasi tersebut. Namun,
untuk menentukan apakah seseorang yang hidup di masa itu masuk di generasi
tertentu, harus dilihat apakah ia pernah bertemu dengan orang pada generasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang yang hidup di masa Sahabat Nabi, belum tentu ia adalah
Sahabat Nabi, jika sepanjang hidupnya ia belum pernah bertemu dengan Nabi. Seperti
Uwais bin ‘Aamir al-Qoroniy yang tidak pernah bertemu dengan Nabi sepanjang
hidupnya. Beliau hanya bertemu dengan beberapa Sahabat Nabi, di antaranya Umar
bin al-Khotthob. Maka Uwais al-Qoroniy dimasukkan dalam kategori tabiin,
sebagaimana Nabi dalam salah satu haditsnya menyatakan bahwa beliau adalah
sebaik-baik Tabiin. Beliau dikabarkan hilang saat perang Shiffin ikut bersama pasukan
Ali bin Abi Tholib, sekitar tahun 37 Hijriyah. Dari masa kehidupannya, beliau
sebenarnya masuk dalam periode kehidupan para Sahabat Nabi, namun karena beliau
tidak pernah bertemu dengan Nabi shollalahu alaihi wasallam, maka beliau bukanlah
disebut Sahabat Nabi.
ُ ط ْو َبى لِ َمنْ َرأَى َمنْ َرآنِي َولِ َمنْ َرأَى َمنْ َرأَى َمنْ َرآنِي َوأَ َم َن ِبي
ط ْو َبى لَ ُه ْم َوحُسْ َن ُ ط ْو َبى ِل َمنْ َرآنِي َوآ َم َن ِبي َو
ُ
ٍ َمآ
ب
Beruntunglah bagi orang melihatku dan beriman kepadaku, dan beruntunglah bagi
orang yang melihat orang yang melihatku dan orang yang melihat orang yang melihat
orang yang melihatku dan beriman kepadaku. Beruntung bagi mereka dan tempat
kembali yang baik (H.R atThobarony dishahihkan Syaikh al-Albany dalam Shahihul
Jami’)
ب
َ اح
َ ص َ َو, َما دَا َم فِي ُك ْم َمنْ َرأَى َمنْ َرآنِي, ون ِب َخي ٍْر
َ ُهللا الَ َت َزال
ِ َو, اح َبنِي
َ ص َ ُالَ َت َزال
َ ون ِب َخي ٍْر َما دَا َم فِي ُك ْم َمنْ َرآنِي َو
اح َبنِي
َ صَ ْب َمن َ اح
َ صَ ْب َمن َ اح
َ ص َ َو, َما دَا َم فِي ُك ْم َمنْ َرأَى َمنْ َرأَى َمنْ َرآنِي, ون ِب َخي ٍْرَ ُهللا الَ َت َزالِ َو, اح َبنِي َ َْمن
َ ص
Kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihatku
dan menjadi sahabatku. Demi Allah kalian senantiasa dalam kebaikan selama di
antara kalian ada orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat dari
Sahabatku. Demi Allah, kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada
orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat
dari Sahabat para Sahabatku (H.R Ibnu Abi Syaibah dan al-Hafidz Ibnu Hajar
menyatakan sanadnya hasan dalam Fathul Bari).
24
Akan datang suatu zaman ketika sekelompok manusia berperang. Dikatakan kepada
mereka: Apakah ada di antara kalian yang merupakan Sahabat Nabi shollallahu alaihi
wasallam? Dikatakan: Ya. Maka diberikan kemenangan kepada mereka. Kemudian
datang suatu zaman, yang ditanyakan: Apakah ada yang menjadi Sahabat bagi para
Sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam? Dikatakan: Ya. Maka diberikan kemenangan
untuk mereka. Kemudian datang suatu zaman, dikatakan: Apakah ada di antara kalian
orang menjadi Sahabat dari Sahabat bagi para Sahabat Nabi. Dikatakan: Ya. Maka
diberikan kemenangan kepada mereka (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-
Khudry)
ون ُه ْم ُث َّم َي ِجي ُء َق ْو ٌم َتسْ ِب ُق َش َها َدةُ أَ َح ِد ِه ْم َيمِي َن ُه َو َيمِي ُن ُه َش َهادَ َت ُه َ ِين َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ
َ ُِين َيل َ اس َقرْ نِي ُث َّم الَّذ
ِ َخ ْي ُر ال َّن
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (Nabi dan para Sahabatnya) kemudian yang
setelahnya (tabiin) kemudian yang setelahnya (Atbaut Tabiin) kemudian akan datang
suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului
persaksiannya (orang-orang yang banyak berdusta dan tidak bisa dipercaya) (H.R al-
Bukhari dan Muslim)
- Para Sahabat Nabi seperti: Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khoththob, Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdillah,
Hudzaifah bin al-Yaman, Muadz bin Jabal, Abu Dzar al-Ghiffary, Abud Darda’, Anas
bin Malik, Aisyah bintu Abi Bakr ash-Shiddiq, Abu Hurairah, dan masih banyak lagi
yang lain.
- Para Tabiin, di antaranya: Uwais al-Qorony, Said bin al-Musayyib, Mujahid, Qotadah,
al-Hasan al-Bashri, Abul ‘Aaliyah, Abu Qilabah, Said bin Jubair, dan masih banyak lagi
yang lain.
- Para atbaut Tabiin, di antaranya: Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsaury, Sufyan bin
Uyainah, al-Auza’i, Abdullah bin al-Mubarok (Ibnul Mubarok) dan masih banyak lagi
yang lain.
Ketiga generasi inilah sebagai teladan dan panutan bagi umat Islam setelahnya dalam
menjalankan Dien ini. Mereka juga disebut sebagai para pendahulu yang sholih atau
Salafus Sholih (disingkat salafi), atau kadang disebut juga dengan para Ulama Salaf.
Mengikuti manhaj mereka dalam memahami dan mengamalkan Dien ini berarti
mengikuti manhaj Salaf.
25
BAB IV
Ibnul Faris berkata, “Huruf sin, lam, dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan ‘makna
terdahulu’. Termasuk salaf dalam hal ini adalah ‘orang-orang yang telah lampau’, dan
arti dari ‘al-qoumu as-salaafu’ artinya mereka yang telah terdahulu.” (Mu’jam Maqayisil
Lughah: 3/95)
Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam mengartikan istilah “Salaf” dan
terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan. Pendapat tersebut terbagi menjadi 4
perkataan :
Di antara para ulama ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para Sahabat
Nabi saja.
Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para Sahabat Nabi
dan Tabi’in (orang yang berguru kepada Sahabat).
Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka adalah para
Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. (Luzumul Jama’ah (hal: 276-277)). Dan
pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian besar ulama ahlussunnah
berpendapat adalah pendapat ketiga ini.
Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama tiga kurun
waktu/periode yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka itulah yang berada di tiga
kurun/periode, yaitu para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Maka dari itu, setiap orang yang mengikuti jalan mereka, dan menempuh sesuai
manhaj/metode mereka, maka dia termasuk salafi, karena
menisbahkan/menyandarkan kepada mereka.
26
Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]
ت ٍ ان َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه ْم َو َرضُوا َع ْن ُه َوأَ َع َّد َل ُه ْم َج َّنا َ ار َوالَّذ
ٍ ِين ا َّت َبعُو ُه ْم ِبإِحْ َس ِ ص َ ون م َِن ْال ُم َها ِج ِر
َ ين َواأل ْن َ ُاألول
َّ ونَ َُّابق
ِ َوالس
ْ ُ
ك ال َف ْوز ال َعظِ ي ُم ْ َ َ ْ
َ َتجْ ِري َتحْ َت َها األن َها ُر َخالِد
َ ِِين فِي َها أ َب ًدا ذل
Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-
Taubah : 100]
Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan
selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-Nya bagi
siapa yang mengikuti jalan mereka.
1. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda,
َون َوالَ َو َي ُخو ُن، ون َ ُث َّم إِنَّ َبعْ َد ُك ْم َق ْومًا َي ْش َه ُد،ِين َيلُو َن ُه ْم
َ ون َوالَ يُسْ َت ْش َه ُد َ ُث َّم الَّذ،َخ ْي ُر أ ُ َّمتِي َقرْ نِي
َ ُث َّم الَّذ،ِين َيلُو َن ُه ْم
ِ َو َي ْظ َه ُر ف،ون
ُِيه ُم ال ِّس َمن َ ُُون َوالَ َيف َ َو َي ْن ُذرª،ون
َ ي ُْؤ َت َم ُن
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup
pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya,
kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului
sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim
(2533))
2. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan),
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثنتانª، وإن هذه الملة ستفترق على ثالث وسبعين، وسبعين ملةªأال إن من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين
وهي الجماعة، وواحدة في الجنة،وسبعون في النار
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini
(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu
al-Jama’ah.
27
[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi
(II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin
Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-
204)]
Artinya, “Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku
dan para Sahabatku berjalan di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-
Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343)]
Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73
golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang telah
dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan
As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).
3. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,
“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat
perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan
sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk
sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham,
dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena
sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
[Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani
dalam Shahihul Jami’ (1184, 2549)]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup
sepeninggal beliau disaat terjadi perpecahan dan perselisihan.
28
Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-
Bida’ Wan Nahyu Anha (hal. 13))
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِهَ ك أَصْ َحابُ م َُح َّم ٍد َ ان ِم ْن ُك ْم مُسْ َت ًّنا َف ْل َيسْ َتنَّ ِب َمنْ َق ْد َم
َ أُولَ ِئ، َفإِنَّ ْال َحيَّ اَل ُت ْؤ َمنُ َعلَ ْي ِه ْال ِف ْت َن ُة،ات َ َمنْ َك
ª،ار ُه ُم هَّللا ُ لِصُحْ َب ِة َن ِب ِّي ِه َوإِ َقا َم ِة دِي ِن ِه
َ اخ َت ُ
ْ َق ْو ٌم، َوأَعْ َم َق َها عِ ْلمًا َوأَ َقلَّ َها َت َكلُّ ًفا، أَبَرَّ َها قُلُوبًا،ِض َل َه ِذ ِه اأْل َّمة َ َكا ُنوا أَ ْف،َو َسلَّ َم
ْ َ َ
ِ َفإِ َّن ُه ْم َكا ُنوا َعلَى ال َه ْدي، َو َت َم َّس ُكوا ِب َما اسْ َتطعْ ُت ْم مِنْ أ ْخاَل ق ِِه ْم َودِين ِِه ْم،ار ِه ْم ِ َوا َّت ِبعُو ُه ْم فِي آ َث،َفاعْ َرفُوا لَ ُه ْم َفضْ لَ ُه ْم
ْ
المُسْ َتق ِِيم.
Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh
orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih
hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para
Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik
hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang
dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah
keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di
atas jalan yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))
“ فما كان غير ذلك فليس بعلم،”العلم ما جاء عن أصحاب محمد صلى هللا عليه وسلم
Artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana kaum itu
berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa yang dikatakan
mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka menahan diri darinya, dan
tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para pendahulumu yang shalih), karena
sesungguhnya apa yang engkau leluasa (melakukannya) leluasa pula bagi mereka.”
(Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/29))
29
BAB V
Keadaan seperti ini justru merupakan keadaan yang paling tepat, sebab dengan
demikian Islam dapat memiliki kekuasaan untuk menumbuhkan masyarakat yang
menginginkannya tanpa sifat kecongkakan, lalu meletakkan aturan dan sistem baginya
yang selanjutnya membimbing hati dan jiwa mereka seperti halnya dengan sikap dan
amaliah mereka, serta menyatakan urusan duniawi dan agama dalam cita-cita dan
syariatnya.
Semua dibangun atas asas kesatuan antara alam dunia dan alam akhirat dalam sistem
tunggal yang hidup dalam hati setiap individu. Ajaran Islam menurut Quthb[1] mengatur
bentuk hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya, hubungan antara sesama makhluk,
dengan alam semesta dan kehidupan, hubungan manusia dengan dirinya, antara
individu dengan masyarakat, antara individu dengan negara, antara seluruh umat
manusia, antara generasi yang satu dengan generasi yang lain, semuanya
dikembalikan kepada konsep menyeluruh yang terpadu, dan inilah yang disebut
sebagai filsafat Islam.
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan
keadilan pada setiap tindakandan perbuatan yang dilakukan (Qs. an-Nisaa (4): 58):
Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisaa ayat 135 juga dijumpal perintah kepada orang-orang
yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:
30
Perintah untuk berlaku adil atau menegakkan keadilan dalam menerapkan hukum tidak
memandang perbedaan agama, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat
asSyuura (42) ayat 15, yakni:
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:
“Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya
berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu Allah mengumpulkan antara kita
dan kepada-Nyalah kebali (kita).
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu Untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan takwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat Islam tidak terlepas dan
persoalan keterpaksaan dan kebebasan. Para Teolog muslim terbagi dalam dua
kelompok, yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan dan kebebasan, sedangkan
Kaum Asy’ari yang membela keterpaksaan. Kaum Asy’ari menafsirkan keadilan
dengan tafsiran yang khas yang menyatakan Allah itu adil, tidak berarti bahwa Allah
mengikuti hukum-hukum yang sudah ada sebelumnya, yaitu hukum-hukum keadilan
tetapi berarti Allah merupakan rahasia bagi munculnya keadilan. Setiap yang dilakukan
oleh Allah adalah adil dan bukan setiap yang adil harus dilakukan oleh Allah, dengan
demikian keadilan bukan lah tolok ukur untuk perbuatan Allah melainkan perbuatan
Allahlah yang menjadi tolok ukur keadilan. Adapun Kaum Mu’tazilah yang membela
keadilan berpendapat bahwa keadilan memiliki hakikat yang tersendiri dan sepanjang
Allah mahabijak dan adil, maka Allah melaksanakan perbuatannya menurut kriteria
keadilan.
Murtadha Muthahhari[2] mengemukakan bahwa konsep adil dikenal dalam empat hal;
pertama, adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu masyarakat yang ingin tetap
bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan
seimbang, di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar
semestinya dan bukan dengan kadar yang sama. Keseimbangan sosial mengharuskan
kita melihat neraca kebutuhan dengan pandangan yang relatif melalui penentuan
keseimbangan yang relevan dengan menerapkan potensi yang semestinya terhadap
keseimbangan tersebut. Al-Qur’an Surat ar-Rahman 55:7 diterjemahkan bahwa: “Allah
meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan)”.
31
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa, yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah
keadaan alam yang diciptakan dengan seimbang. Alam diciptakan dan segala sesuatu
dan dan setiap materi dengan kadar yang semestinya dan jarak-jarak diukur dengan
cara yang sangat cermat. Kedua, adil adalah persamaan penafian terhadap perbedaan
apa pun. Keadilan yang dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika hak
memilikinya sama, sebab keadilan mewajibkan persamaan seperti itu, dan
mengharuskannya. Ketiga, adil adalahmemelihara hak-hak individu dan memberikan
hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah
keadilan sosial yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu
diperintahkan untuk menegakkannya. Keempat, adil adalah memelihara hak atas
berlanjutnya eksistensi.
Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri[3] mempunyai arti yang lebih dalam daripada
apa yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya Aristoteles; keadilan formal
hukum Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat manusia lainnya. Ia merasuk ke
sanubari yang paling dalam dan manusia, karena setiap orang harus berbuat atas
nama Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala hal termasuk motivasi dan tindakan.
Penyelenggaraan keadilan dalam Islam bersumber pada Al-Qur’an serta kedaulatan
rakyat atau komunitas Muslim yakni umat.
Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan sesuatu
pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang, memberikan
sesuatu yang memang menjadi haknya dengan kadar yang seimbang. Prinsip pokok
keadilan digambarkan oleh Madjid Khadduri[4] dengan mengelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu aspek substantifdan prosedural yang masing-masing meliputi satu
aspek dan keadilan yang berbeda. Aspek substantif berupa elemen-elemen keadilan
dalam substansi syariat (keadilan substantif), sedangkan aspek prosedural berupa
elemen-elemen keadilan dalam hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan
prosedural).
1. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan ada
yang didahulukan.
2. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.
3. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama.
4. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan
diperhatikan.
5. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.
32
Sebagai penutup uraian tentang keadilan dan perspektif Islam, saya mengutip
pendapat Imam Ali sekaligus sebagai “pemimpin Islam tertinggi di zamannya” beliau
mengatakan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip yang signifikan dalam
memelihara keseimbangan masyarakat dan mendapat perhatian publik. Penerapannya
dapat menjamin kesehatan masyarakat dan membawa kedamaian kepada jiwa
mereka. Sebaliknya penindasan, kezaliman, dan diskriminasi tidak akan dapat
membawa kedamaian dan kebahagiaan.
33
DAFTAR PUSTAKA
https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03
https://www.facebook.com/Koleksi.Hadis.Shahih/posts/tiga-generasi-terbaik-yang-
menjadi-panutanada-3-generasi-terbaik-yang-menjadi-pa/1298298420196653/
https://inilah.com/mozaik/2412436/salaf-3-generasi-awal-terbaik-umat-islam
https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html
Referensi: Mu’taqad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah Fi Tauhidil Asma’ Was Sifat karya
Syaikh Muhammad bin Khalifah At-Tamimi, dengan beberapa perubahan redaksi.
34