Anda di halaman 1dari 65

AKTIVITAS DAN UJI STABILITAS SEDIAAN GEL

EKSTRAK BATANG PISANG AMBON (Musa paradisiaca


var sapientum) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA
PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

BAYU FEBRAM PRASETYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikankepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RINGKASAN

BAYU FEBRAM PRASETYO. Aktivitas dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang
Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus
musculus albinus). Dibawah Bimbingan IETJE WIENTARSIH, BAMBANG PONTJO
PRIOSOERYANTO, dan M. ISKANDAR

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas sediaan gel ekstrak
batang pohon pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) terhadap proses persembuhan
luka kulit melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi. Formulasi sediaan ekstrak
batang pisang Ambon dibuat dari C % ekstrak batang pisang Ambon yang dicampur dengan
Poligel, Propilenglikol, Trietanolaminstearate. Sediaan ekstrak getah batang pohon pisang
dalam bentuk gel masih stabil hingga minggu ke-8 pada suhu 15 0C dan 27 0C. Homogenitas
sediaan gel pada suhu 15 0C masih stabil hingga minggu ke-8 walaupun pH mulai turun pada
minggu ke-6 sedangkan pada suhu 27 0C penurunan pH lebih cepat terjadi yaitu pada minggu
ke-4. Diatas suhu 27 0C (37 0C dan 45 0C) sediaan gel semakin tidak stabil. Viskositas dari
sediaan gel tampak lebih baik pada suhu 15 0C dibandingkan pada suhu 27 0C.
Pengujian iritasi kulit dari sediaan gel memperlihatkan bahwa hingga minggu ke 5
tidak terjadi reaksi eritema pada responden yang diuji sedangkan mulai minggu ke 6 mulai
terjadi sedikit reaksi eritema, namun hal ini karena mulai berubahnya sediaan gel yaitu mulai
mencair dan pH yang mulai menurun serta adanya pertumbuhan jamur.
Empat puluh lima ekor mencit strain DDY yang berumur 6-8 minggu digunakan
sebagai hewan coba, dan dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok I (kontrol) diberi sediaan
placebo, kelompok II yang diberi preparat obat komersil , serta kelompok III yang diberi
sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon. Setiap kelompok terdiri atas 15 ekor mencit yang
dibagi dalam 5 hari pengamatan dengan 3 kali pengulangan. Mencit dilukai pada bagian
punggung dengan panjang luka 1-1,5 cm menggunakan skalpel steril dan diberikan pemberian
obat sehari dua kali dengan menggunakan kapas steril Pengamatan patologi anatomi dan
histopatologi dilakukan pada hari ke 3, 5, 7, 14 dan 21 pasca perlukaan mencit yang
dieuthanasia. Parameter pengamatan patologi anatomi adalah pembekuan darah, terbentuknya
keropeng, penutupan luka dan ukuran luka sedangkan parameter histopatologi adalah infiltrasi
sel-sel radang (makrofag, neutrofil, limfosit), neokapilerisasi, persentase re-epitelisasi dan
ketebalan fibroblas. Semua data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan Analisa Sidik
Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan, sedangkan data
kualitatif yaitu disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
pengamatan patologi anatomi kelompok gel ekstrak lebih cepat membentuk keropeng dan
menutup luka. Hasil uji statistik pada parameter infiltrasi sel-sel radang pada kelompok gel
ekstrak menunjukan hasil yang berbeda dengan kelompok kontrol negatif. Pada kelompok gel
ekstrak batang pohon pisang Ambon, jaringan ikat lebih cepat terbentuk dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif dan kontrol positif. Berdasarkan hasil di atas disimpulkan bahwa
pemberian gel ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses persembuhan luka.

Kata kunci : gel, ekstrak, batang pisang Ambon, persembuhan luka, mencit

i
Activity and Stability test of Ambon Banana (Musa paradisiaca var. sapientum) Stem
Extract in gel formulation on the Wound Healing Process of Mice Skin (Mus musculus
albinus).

Bayu Febram P 2, Ietje Wientarsih 3, Bambang Pontjo P 4, M.Iskandar5

ABSTRACT
The purpose of this study is to examined the activity and stability of Ambon banana
(Musa paradisiaca var sapientum) stem extract in gel formulation on the wound healing process
of mice skin (Mus musculus albinus) based on gross and microscopic observations. The Ambon
banana (Musa paradisiaca var sapientum) stem extract in gel formulation were made from
Ambon banana stem extract C % that mixed with Polygel, Propileneglycol,
Trietanolaminestearat,.
The gel of banana stem extract is still stable up to 8 week at 15 0C and 27 0C and the
homogenity of the gel at 15 0C is still stable up to 8 weeks even the pH is started to decreased
on week 6 th, while at teperature of 27 0C declining of pH was more early at week 4 th. In the
temperature more than 27 0C (37 0C and 45 0C) the gel was more unstable. Viscosity of the gel
was more stable at 15 0C compared to 27 0C.
Skin iri ttation assay of the gel showed that up to 5 week there was no evidence of
erythema on all respondent, while stated in week 6th mild erythema was appeared in some
respondent, this reaction due to the change of gel morphology to become more liquid and
decreasing the pH and some mycotic growth.
Fourtyfive heads of DDY mice aged 4-6 weeks were used for animal models, the mice
were divided into three groups. Group1( negative control ) received gel without treatment
(placebo gel), Group 2( positive control )was treated by commercial gel, and Group 3 were
treated by Ambon banana stem extrack gel. Each groups contained 15 mice and distributed into
5 observation days with 3 replication. All mice were aseptically incised 1-1,5 cm long on their
dorso anterior skin in order to make artificial wound and given topically twice a day to the skin
using sterile cotton buds. The wound healing process were observe grossly everyday while the
microscopic lesion were observed on the 3rd, 5th, 7th, 14th and 21st days after skin incisition. The
wounded skin were sampled after the mice were euthanized for further microscopic observation.
The gross parameters were the existence of blood coagulation, scab formation, wound covering
and wound size. The microscopic parameters observed include the infitration of macrophages,
neutrophils and lymphocytes, neocapillary formation, the percentation of wound reepitelization
and the the tickness of wound connective tissues (fibroblast). All quantitatives data were
statistically analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) and continued with Duncan
Multiple Range Test. Gross lesion and the fibroblast thickness were descriptively analyzed as a
qualitative data. Grossly, the Ambon banana stem extract showed that scab formation was
faster than negative and positive control. Histophatological observation result that the Ambon
banana stem extract showed the statistically analyzed was more significant (P<0,05) than the
negative control. The fibroblast thickness on the skin wound treated Ambon banana stem
extrack was high and the and the formation also faster than the negative and positive control.
Based on the research the Ambon banana stem extrack in gel could be use in the acceleration of
wound healing process.

Key words : gel, extract, banana stem, wound healing, mice

ii
AKTIVITAS DAN UJI STABILITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK BATANG
PISANG AMBON (Musa paradisiaca var sapientum)
DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT
(Mus musculus albinus)

BAYU FEBRAM PRASETYO


B053050011

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Fakultas Kedokteran Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

iii
Judul Tesis : Aktivitas dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon
(Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada
Mencit (mus musculus albinus)
Nama : Bayu Febram Prasetyo
NRP : B053050011
Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui Oleh:
Komisi Pembimbing

Dr. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc


Ketua

drh. Bambang Pontjo P, MS. Ph.D Drh.M.Iskandar,M.Sc


Anggota Anggota

Diketahui ,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Sains Veteriner

drh. Bambang Pontjo P, MS. Ph.D Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 19 September 2007 Tanggal lulus :

iv
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Teluk Betung pada tanggal 24 Februari 1977 dari pasangan
Bapak Drs. Guntar Subagio dan Ibu Dwi Warni. Penulis merupakan putra kedua dari
tiga bersaudara. Penulis menikah pada tanggal 16 Januari 2005 dengan Anisa Kusuma
Dewi dan telah dikaruniai seorang putra yang bernama Dimas Achmad Assauqi
Prasetyo.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Taman Siswa Teluk Betung pada
tahun 1985 dan pendidikan lanjutan menengah pertama di SMPN 1 Teluk Betung
hingga tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan pendidikan pendidikan
lanjutan menengah atas di SMAN 2 Tanjung Karang dan pada tahun 2002 telah
menyelesaikan Program Profesi Apoteker di Universitas Padjadjaran Bandung.
Pada tahun 2005 penulis diterima di Program Studi Sains Veteriner pada
Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat
Jendral Pendidikan Nasional melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana
(BPPS).
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Sub Bagian Farmasi - Bagian Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Aktivitas dan
Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon (Musa paradisiaca var.
Sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus
albinus)”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu hingga tesis ini dapat diselesaikan,
yaitu kepada :
1. Ibu Dr. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc, Bapak. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto,
MS., Ph.D. dan Bapak. drh. M.Iskandar selaku komisi pembimbing tesis atas segala
bimbingan, masukkan dan kesabarannya selama penelitian dan penyusunan tesis ini.
2. Bapak. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D. selaku Ketua Program Studi
Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
3. Ibu Dr. drh. Eva Harlina, M.S selaku dosen penguji atas segala masukkan dan
pertanyaannya dalam penelitian ini.
4. Istriku tercinta Anisa Kusuma Dewi dan anakku tersayang Dimas Achmad A
Prasetyo yang selalu setia memberikan dukungan dan kasih sayang.
5. Papa Guntar dan Mama Dwi, Kakakku Guruh Anggono, adikku Wulan, Mbak Lena,
si kecil Dinda, Oni dan seluruh keluarga Lampung yang selalu memberikan
dukungan dan motivasinya.
6. Bapak Haji Uu Haeruman, Mama Euis, Teteh Rani, Aa Ima n, Aa Yadi, Teh Susi, si
kecil Abi, Lia, Fadil dan keluarga Bandung yang selalu memberikan dukungan dan
motivasinya.
7. Teman-temanku satu bagian yaitu Rini, Maulana, dan Lina yang selalu memberikan
dukungan dan motivasinya.

vi
8. Mita, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan
Achmad, mahasiswa Jurusan Farmasi Unversitas Pakuan yang telah membantu
didalam penelitian ini.
9. Semua staf penunjang Bagian Patologi (Pak Endang, Pak Kas, Pak Soleh) dan staf
penunjang Bagian Farma kologi (Pak Edy, Pak Khoer) atas bantuan dan
kerjasamanya.
10. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka yang
telah memberikan dukungan dan perhatiannya kepada penulis. Penulis berharap tesis ini
dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Amien.

Bogor, Agustus 2007

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................... 2
1.3. Hipotesa Penelitian ........................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 3
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Tanaman Pisang..................................................................... 4
2.2. Taksonomi ........................................................................................ 5
2.3. Manfaat Pohon Pisang........................................................................ 6
2.4. Kulit ................................................................................................. 7
2.5. Persembuhan Luka .............................. ... ............................................... 8
2.5.1. Definisi...................................................................................... 8
2.5.2. Proses Persembuhan Luka........................................................ 9
2.6. Faktor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka....................................... 12
2.7. Sediaan Gel................................................................................................ 13
2.8. Uji Stabilitas .............................................................................................. 14
2.9. Absorpsi Obat Topikal ............................................................................. 15
III BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 16
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 16
3.3.3. Alat .................................................................................... 16
3.2.2. Bahan ................................................................................. 16
3.2.1. Hewan Percobaan................................................................ 17
3.3 Metodelogi Penelitian ......................................................................... 17
3.3.1. Ekstraksi Simplisia Batang Pisang Ambon ............................. 17
3.3.2. Pengujian potensi antibakteri ekstrak batang pisang............... 18
3.3.3. Pembuatan sediaan gel......................................................... 19
3.3.4. Uji pendahuluan dosis efektif ................................................ 20
3.3.5. Evaluasi sediaan gel ............................................................. 20

viii
3.3.6 Pengujian iritasi kulit ......................................................... 20
3.4. Perlakuan pada mencit ...................................................................... 20
3.5. Pengamatan patologi anatomi................................................................... 21
3.6. Pengambilan kulit .................................................................................... 21
3.7. Pembuatan preparat histopatologi ........................................................... 22
3.8. Pengamatan histopatologi........................................................................ 22
3.9. Analisa data ............................................................................................. 23
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil skrining fitokimia ...................................................................... 23
4.2. Potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon.................................... 24
4.3. Penentuan dosis efektif ...................................................................... 24
4.4. Pembuatan sediaan gel .............................................................................. 26
4.5. Pengujian sediaan gel ................................................................................ 27
4.6. Pemeriksaan homogenitas ......................................................................... 28
4.7. Pengujian viskositas …….......................................................................... 30
4.8. Pengujian iritasi kulit …………………………………………………..... 31
4.9. Hasil pengamatan patologi anatomi........................................................... 31
4.10. Hasil pengamatan histopatologi............................................................... 35
4.10.1. Infiltrasi Sel Radang .......................................................... 37
4.10.2. Limfosit............................................................................ 37
4.10.3. Neutrofil ........................................................................... 39
4.10.4. Makrofag .......................................................................... 40
4.10.5. Re-epitelisasi........................................................................... 41
4.10.6. Neokapilerisasi........................................................................ 43
4.10.7. Fibroblas.................................................................................. 44
V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 47
VI DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48

ix
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Hasil uji fitokimia ekstrak batang pisang......................................................... 23
2. Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit pada penentuan dosis
efektif antara mencit kontrol, perlakuan, dan ekstrak batang pisang .................. 25
3. Formula sediaan gel ...................................................................................... 26
4. Evaluasi awal sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon .................................. 27
5. Evaluasi akhir sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon ................................. 27
6. Pemeriksaan homogenitas awal pada suhu 15, 27, dan 35 o C ........................... 28
7. Pemeriksaan homogenitas awal pada suhu 45 o C ............................................ 28
o
8. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 15 C............................................... 29
o
9. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 27 C............................................ 29
10. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 37 o C.... ........................................ 29
11. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 45 o C............................................ 30
12. Pengukuran viskositas sediaan gel pada hari ke-3,5, dan 7................................ 30
13. Pengukuran viskositas sediaan gel minggu ke-1 sampa minggu ke-8................. 30
14. Pengujian iritasi kulit minggu ke-1 sampai minggu ke-8 .................................. 31
15. Perbandingan patologi anatomi antara semua kelompok percobaan................... 32
16. Perbandingan mikroskopik pasca perlukaan untuk semua kontrol .................... 36
17. Perbandingan jumlah sel limfosit pada ketiga kelompok perlakuan ................... 38
18. Perbandingan jumlah sel neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan .................. 40
19. Perbandingan jumlah sel makrofag pada ketiga kelompok perlakuan ................ 40
20. Nilai rata-rata persentase re-epitelisasi ........................................................... 42
21. Perbandingan neokapilerisasi pada ketiga kelompok di daerah luka .................. 43
22. Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada ketiga kelompok di darah luka
dengan pewarnaan MT dan pembesaran 400 x ................................................. 44

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Pohon pisang Ambon .................................................................................... 5
2. Histologi kulit ............................................................................................... 8
3. Gambaran pengujian antibakteri ekstrak batang pisang Ambon ........................ 24
4. Gambaran makroskopik luka pada penentuan dosis efektif ............................... 25
5. Gambar sediaan gel ....................................................................................... 26
6. Gambar sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon untuk pemeriksaan
homogenitas setelah penyimpanan minggu ke-3............................................... 28

xi
I. PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Tanaman yang tumbuh di Indonesia banyak sekali yang memiliki manfaat bagi
kesehatan manusia diantaranya untuk meredakan panas, mengobati luka, menurunkan
tekanan darah, mencegah penyakit jantung , dan lain sebagainya (Wijayakusuma,1998).
Salah satu dari tanaman yang berguna bagi kesehatan yaitu pisang Ambon (Musa
paradisiaca var sapientum). Pohon pisang yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan
merupakan pohon tropis Asia Tenggara yang memiliki berbagai manfaat yaitu buahnya
dapat dimakan, daunnya digunakan untuk keperluaan rumah tangga, batangnyapun
dapat digunakan sebagai pakan ternak dan kerajinan rumah tangga. Di Indonesia
hampir setiap pekarangan rumah terdapat pohon pisang, hal ini dikarenakan tanaman
pisang cepat menghasilkan, dapat berumur panjang, mudah ditanam, dan mudah
dipelihara. Pohon pisang dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia untuk dimanfaatkan
buah, daun, kulit, maupun batangnya untuk upacara adat, keagamaan, upacara
perkawinan dan untuk dikonsumsi, pisang juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan
rumah tangga maupun pakan ternak ruminansia (domba, kambing) pada saat musim
kemarau dimana rumput kurang tersedia.

Secara tradisional batang pisang dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara
lain untuk bahan dekorasi, pembungkus tembakau dan untuk obat-obatan (Anonimous,
1977). Air yang keluar dari batang pisang yang baru ditebang biasa juga dipakai untuk
mencuci rambut. Getahnya mengandung bahan yang tidak mudah luntur sehingga dapat
menodai baju seperti halnya daun sirih (Rivai, 1976) dan juga getahnya sudah lama
dipercaya sebagai obat persembuhan luka. Getah batang pohon pisang yang selama ini
hanya dikenal sebagai limbah dan tidak pernah dimanfaatkan, dipercaya dapat
digunakan untuk mengobati luka dengan hasil yang cukup baik. Pengujian secara
ilmiah mengenai khasiat getah batang pohon pisang dalam persembuhan luka sejauh ini
belum pernah dilaporkan. Pemanfaatan dan pengembangannya sebagai produk yang
siap pakai guna mendukung swasembada obat dalam upaya meningkatkan kesehatan
masyarakat Indonesia pada umumnya serta penghasil devisa negara.

1
Menurut Djulkarnain (1998) batang pohon pisang Ambon memiliki kandungan
saponin, antrakuinon, dan kuinon oleh karena itu dapat menghilangkan rasa sakit dan
merangsang pembentukan sel-sel baru pada kulit. Lignin yang terkandung dalam batang
pisang Ambon membantu peresapan senyawa pada kulit sehingga dapat digunakan
untuk mengobati luka memar, luka bakar, bekas gigitan serangga, dan sebagai anti
radang. Batang pohon pisang Ambon juga telah terbukti dapat digunakan sebagai obat-
obatan seperti getahnya yang dihasilkan mampu untuk mengobati luka pada kulit karena
getah tersebut mampu meningkatkan aliran darah ke daerah luka dan juga dapat
menstimulasi fibroblas sebagai respon untuk persembuhan luka (Priosoeryanto et al.,
2003).

Penggunaan getah batang pisang pada proses persembuhan luka pada hewan
coba mencit memperlihatkan hasil yang sangat baik dan secara histologik memberikan
efek kosmetik dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan
jaringan bekas luka atau jaringan parut dan mempercepat proses re-epitelisasi jaringan
epidermis, pembentukan buluh darah baru (neokapilarisasi), pembentukan jaringan ikat
(fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah luka. (Maiwahyudi, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka getah batang pisang Ambon sebagai
obat persembuhan luka memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan
menjadi sediaan farmasi bentuk gel yang kemudian diuji kembali aktifitasnya terhadap
persembuhan luka pada mencit.

Pemilihan bentuk sediaan gel pada penelitian ini dikarenakan pengujian ini
menggunakan kontrol positif sebagai pembanding yaitu obat luka komersial yang juga
berbentuk gel. Gel juga dipilih sebagai bentuk sediaan karena tahan lama, tidak cepat
tengik, tidak berbau, tidak mengiritasi kulit dan mempunyai tampilan yang menarik .

I.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas sediaan topikal
dalam bentuk gel dari ekstrak batang pisang Ambon terhadap proses persembuhan luka
pada mencit melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi.

2
I.3 Hipotesa Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Pemberian ekstrak batang pohon pisang Ambon dalam sediaan gel dapat mempercepat
proses persembuhan luka dan memiliki kestabilan selama penyimpanan.

I.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu metode pembuatan obat
topikal alternatif dalam bentuk sediaan gel dari ekstrak batang pisang Ambon untuk
persembuhan luka .

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Pisang

Pohon pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia dan tersebar luas di
Spanyol, Italia, Indonesia, Amerika dan bagian dunia yang lain. Pohon pisang (Musa
acuminata) merupakan tanaman yang sangat populer di Indonesia, jumlahnya
melimpah karena kondisi iklim Indonesia yang sangat mendukung dalam
pembudidayaannya (Venheij, 1987). Pohon ini menyukai daerah alam terbuka yang
cukup sinar matahari, cocok tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000
meter lebih di atas permukaan laut. Pisang merupakan tanaman buah berupa herba yang
berasal dari kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, Madagaskar, Amerika Selatan
dan Tengah. Pisang di Asia Tenggara diyakini berasal dari Semenanjung Malaysia dan
Filipina. Pisang telah lama berkembang di India sejak 500 tahun sebelum Masehi dan
menyebar sampai ke daerah Pasifik, Brasil, dan Indonesia juga salah satu negara
pengekspor pisang yang terkenal (Kalangi, 2004).

Pada dasarnya pohon pisang merupakan pohon yang tidak memiliki batang sejati.
Batang pohonnya terbentuk dari perkembangan pelepah-pelepah yang mengelilingi
poros lunak panjang. Batang pisang yang sebenarnya terdapat pada bonggol yang
tersembunyi di dalam tanah. Hampir setiap pekarangan rumah di Indonesia terdapat
pohon pisang, hal ini dikarenakan tanaman cepat menghasilkan buah, berumur panjang,
mudah ditanam, dan mudah dipelihara. Tanaman pisang melambangkan kesejahteraan
pemiliknya dan merupakan bagian dari peradaban kehidupan manusia. Tanaman
ataupun buah pisang sering digunakan dalam upacara keagamaan, perkawinan,
pembangunan rumah, maupun dalam upacara kematian. Batang pohon pisang sudah
sejak lama digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk bahan dekorasi,
pembungkus tembakau dan untuk obat-obatan. Air yang keluar dari batang pisang yang
baru ditebang biasa juga dipakai untuk mencuci rambut (Rivai, 1996).

4
2.2 Taksonomi

Menurut Tjitrosoepomo (1994) Pisang Ambon diklasifikasikan sebagai berikut:


Kingdom : Plant
Phylum : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca
Varietas : Sapientum
Pisang Ambon tumbuh dan berkembang subur di daerah tropis (300 LU – 300
LS) dengan suhu 270 – 30 0 C dengan curah hujan antara 1400 – 2450 mm per tahun
dengan penyebaran yang merata. Di daerah dengan musim kering yang panjang
tanaman pisang memerlukan pengairan (Purwanto dan Sujiprihati, 1985).

Gambar 1 Pohon Pisang Ambon

Pohon pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran di


bawah tanah (Gambar 1). Batangnya berada di dalam tanah sedangkan batang di atas
permukaan tanah merupakan batang semu yang terdiri dari kumpulan seludang daun
yang saling membungkus rapat. Daun berkembang dari bagian tengah batang semu
dalam keadaan tergulung rapat sewaktu muncul dan akan berkembang sampai ukuran
yang maksimum. Akar dan tunas-tunas samping keluar dari bonggol, sehingga tunas-

5
tunas inilah yang akan tumbuh ke atas membentuk batang semu. Tunas-tunas ini yang
sering disebut sebagai anakan (Ernawati et al., 1994).

2.3 Manfaat Pohon Pisang

Getah pohon pisang bermanfaat dalam mempercepat proses persembuhan luka


dan memberikan efek estetika dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa
meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getah tersebut juga mempercepat
re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi),
pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang di daerah luka
(Maiwahyudi, 1999). Getah batang pohon pisang sudah lama dipercaya sebagai obat
persembuhan luka. Air yang keluar dari pangkal batang dapat digunakan untuk
mengobati penyakit raja singa melalui penyuntikan saluran kemih, serta pengobatan
disentri dan diare. Getah yang keluar dari bagian akar pohon pisang bersifat anti
demam dan memiliki daya pemulihan kembali (Venheij, 1987).

Kandungan gizi buah pisang Ambon antara lain kaya akan mineral seperti
kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium. Pisang Ambon juga mengandung vitamin
yaitu, B6, B kompleks, vitamin C, dan serotonin yang aktif sebagai neurotransmitter
dalam kelancaran fungsi otak (Sunarjono, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak batang pohon pisang Ambon


mengandung tannin, saponin dan flavonoid. Saponin merupakan glikosida yang
terdistribusi secara luas pada tumbuhan dan biasanya bersifat sangat iritan terhadap
mukosa tubuh. Saponin mempunyai aktivitas antiseptik dan pembersih serta
meningkatkan kekebalan tubuh (Anonim, 2005).
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yaitu satu golongan fenol alam yang
terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti air, etanol,
metanol, butanol, dan aseton. Flavonoid umumnya ditemukan dalam bentuk glikosida
yang larut air.
Flavonoid mempunyai kemampuan bereaksi dengan komponen lainnya seperti
allergen, virus dan karsinogen sehingga flavonioid dapat berfungsi sebagai anti alergi,
antikanker dan anti inflamasi (Markham, 1988), sedangkan tannin adalah senyawa

6
polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antikanker
dan anti peradangan.
Tannin juga dikenal sebagai zat samak untuk pengawetan kulit, dimana efek tannin
yang utama yaitu sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit
dalam kosmetik atau estetika (Olivia et al., 2004).

2.4 Kulit
Kulit merupakan bagian tubuh yang menutupi permukaan dan memiliki fungsi
utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi
perlindungan ini terjadi melalui mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan
tanduk secara terus-menerus, respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan
keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar
ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan
infeksi dari luar (Mutschler, 1991).
Kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan subkutis
yang mempunyai bentuk dan fungsi yang spesifik (Gambar 2).
Lapisan epidermis adalah lapisan terluar dari kulit yang tersusun dari:
1. Lapisan tanduk atau stratum korneum yaitu lapisan paling terluar yang terdiri
dari sel-sel pipih banyak lapis dan mengandung banyak keratin.
2. Lapisan jernih atau stratum lusidum yang berada di bawah stratum korneum.
Lapisan ini terdiri dari dua atau tiga lapis sel, mengandung eleidin yang berasal
dari butir keratohyalin yang tidak terpecah yang berada di bagian bawah lapisan
penghubung.
3. Lapisan granula atau stratum granulosum atau terbentuk dari dua sampai lima
baris sel epitel yang berbentuk rhomboid dan mempunyai sitoplasma yang
berwarna gelap karena mengandung granula basofilik keratohyalin.
4. Lapisan malphigi atau stratum spinosum yang selnya seperti berduri.
5. Lapisan basal atau stratum germinativum, terbentuk dari sel silindris banyak
baris. Pada bagian terbawah stratum ini terdapat lapisan basal yang terdiri dari
sel kubus dan terdapat pigmen melanin.

7
Lapisan dermis terletak di bawah epidermis terbentuk dari jaringan yang kaya
akan kolagen dan sel elastis yang membuat kulit menjadi kuat dan elastis. Dermis
terdiri dari lapisan papilari dan lapisan retikuler. Lapisan paling atas dari dermi s
terbentuk dari jaringan ikat yang diantaranya terdapat jaringan elastis, pembuluh darah
dan pembuluh limfatik. Bagian bawah dari dermis terdiri atas lapisan retikuler yang
membuat menjadi tebal dan terutama mengandung jaringan kolagen yang membantu
penyebaran serabut elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik dan adnexa dari
epidermis.

epidermis

dermis

subkutis

Gambar 2. Histologi kulit


Adnexa mengandung struktur khusus yang berasal dari epidermis yang
merupakan bagian penting dari dermis tapi dalam situasi tertentu dapat meluas ke
bagian subkutis. Pada adnexa dapat ditemukan kelenjar keringat, kelenjar apokrin,
kelenjar minyak, folikel rambut dan kelenjar khusus seperti kelenjar air mata.
Lapisan ketiga setelah epidermis dan dermis adalah subkutis. Subkutis
kadangkala tidak selalu disebut bagian dari kulit. Lapisan ini berada di bawah kulit dan
mengandung banyak jaringan ikat, syaraf dan pembuluh darah yang menuju dermis dan
terdapat lemak dan otot.

2.5 Persembuhan Luka


2.5.1 Definisi
Persembuhan luka adalah kembali menjadi normalnya integritas kulit dan
jaringan yang berada di bawahnya. Luka kulit adalah terdapatnya kerusakan morfologi
jaringan kulit atau jaringan yang lebih dalam, dengan perkataan lain persembuhan

8
luka adalah kembali normalnya kerusakan morfologi kulit dan jaringan yang lebih
dalam dengan kembalinya integritas kulit dan jaringan yang berada di bawahnya
melalui beberapa tahap peradangan akut (Slauson dan Cooper, 1990).

2.5.2 Proses Persembuhan Luka


Proses persembuhan luka terdiri dari tiga fase yaitu fase peradangan, fase
fibroelastik serta fase pematangan dan perampingan jaringan (Jones et al., 1996).
Proses peradangan pada perlukaan meningkatkan tekanan hidrostatik dan mengganggu
keseimbangan dalam pembuluh darah. Keadaan ini menyebabkan lebih banyak cairan
keluar meninggalkan pembuluh darah untuk memasuki jaringan. Dinding venula dan
kapiler yang kehilangan permeabilitasnya terhadap protein menyebabkan albumin,
globulin dan fibrinogen tercurah menuju jaringan sehingga jaringan mengandung cairan
dengan komposisi serupa plasma darah (Spector dan Spector,1980). Proses peradangan
ditandai dengan beberapa faktor, seperti: vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan
permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan ke dalam ruang interstisial.
Peradangan merupakan rangkaian reaksi yang menyebabkan jaringan yang luka
diperbaiki dan diganti dengan jaringan baru serta reaksi yang menyebabkan musnahnya
agen-agen yang membahayakan jaringan tubuh atau juga mencegah agar agen-agen
tersebut tidak menyebar luas (Rukmono, 1973). Reaksi peradangan berhubungan erat
dengan kerusakan jaringan. Sel-sel yang rusak atau mati akan diangkat dengan cepat
dari tempatnya melalui fagositosis (Thomson dan Cotton 1997). Kehadiran leukosit
polimorf nuklear dengan segera dan dalam jumlah besar di daerah radang merupakan
pertahanan pertama terhadap infeksi.
Proses peradangan mencakup perekrutan sel-sel radang dari pembuluh darah
menuju jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah
neutrofil, limfosit, dan makrofag.
1. Neutrofil
Sel neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba
pada peradangan. Kehadiran sel ini pada daerah luka dipengaruhi oleh adanya produk-
produk yang dilepaskan oleh bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Neutrofil

9
bertugas membunuh dan memfagosit partikel-partikel asing yang terdapat pada luka
dengan cara fagositosis (Vegad, 1995). Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa
nekrosa sel inang), neutrofil akan mati dan akan digantikan oleh makrofag sebagai sel
pertahanan kedua.
2. Limfosit
Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan tubuh. Limfosit dibentuk
di sumsum tulang pasca kelahiran, tetapi sebagian besar dibentuk di dalam kelenjar
limfe, timus dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang (Ganong,
2003). Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan hanya
memiliki kemampuan untuk melakukan kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam
persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi
populasi dari sel-sel radang lainnya. Beberapa limfokin yang dilepaskan limfosit
berpengaruh terhadap makrofag dalam proses persembuhan luka (Handayani, 2006).
3. Makrofag
Makrofag merupakan salah satu sel radang dalam proses fagositosis. Makrofag
mulai bermunculan setelah neutrofil menyelesaikan tugasnya. Menurut Kalangi (2004)
makrofag mencerna dan memfagosit organisme patogen dan debris jaringan termasuk
sel-sel neutrofil yang tidak berguna lagi.
Fase proliferasi meliputi aktivitas mitosis sel-sel epidermis, sel-sel endotel dan
sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan
luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna merah muda dan
bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana sel-sel epitel mulai
bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka (Singer dan Clarks,1999). Pada
pengamatan patologi anatomi dalam fase ini, pada luka akan terlihat adanya jaringan
granulasi yang ditandai dengan munculnya keropeng.
Re-epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi,
migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel. Tahapan-tahapan ini akan mengembalikan
intregitas kulit yang hilang. Mitosis dan migrasi sel epitel akan berfungsi untuk
mengembalikan integritas dari kulit.
Pada permulaan kulit re-epitelisasi akan terjadi melalui pergerakan sel-sel epitel
dari tepi jaringan bebas menuju jaringan rusak. Sel-sel akan mengalami perubahan

10
yang meliputi retraksi tenofilamen intrasel, disolusi sebagian besar desmosom intrasel
dan pembentukan filamen aktin sitoplasma perifer.
Perubahan ini akan memberikan mobilitas pada sel dan apparatus golgi sehingga
sel-sel epidermis akan kehilangan polaritas apiko-basal dan menjulur dari kulit yang
bebas menuju luka (Kalangi, 2004).
Pembentukan fibroblas berasal dari sel-sel mesenkim yang diisi oleh sel-sel
radang, fibroblas, serat-serat kolagen dan kapiler-kapiler baru untuk membentuk
jaringan kemerahan dengan permukaan yang tidak rata yang disebut jaringan granulasi.
Fibroplasia dalam proses persembuhan luka akan mengalami proliferasi dan
migrasi ke dalam ruang luka. Fibroblas akan mengalami perubahan fenotip seperti
retraksi retikulum endoplasma dan apparatus golgi dan pembentukan serabut aktin tebal.
Setelah induksi dari perubahan fenotip maka miofibroblas akan bertambah kapasitas
motilitas dan kontraktilitasnya. Bersamaan dengan itu miofibroblas bermigrasi ke
dalam luka dan mendeposit matriks ekstraseluler longgar yang mengandung fibronektin
dalam jumlah banyak. Sintesis fibronektin juga dapat dipengaruhi oleh trombin dan
epidermal growth factor (Kalangi, 2004).
Epidermal Growth Factor atau EGF merupakan faktor pertumbuhan epidermis
yang bekerja secara positif. EGF memiliki sifat meningkatkan keratinisasi epitel dan
mempercepat migrasinya melintasi permukaan. Protein kompleks ini bertindak sebagai
prekursor dengan melepaskan enzim Arginin esterase. Enzim ini melepaskan peptida
lain yang secara biologis aktif untuk cedera jaringan misalnya Kinin . Faktor pengontrol
khas jaringan yang mencegah epitel membelah diri pada biakan in vitro dikenal dengan
nama Khalon (Lewis,1986). Pada keadaan normal senyawa ini akan mencegah
proliferasi berlebihan dan bila terjadi gangguan maka produksi Khalon akan menurun
sehingga sel-sel bebas membagi diri hingga integritasnya dipulihkan (Mayasari, 2003).
Kontraksi luka berasal dari miofibroblas yang merupakan sel kontraktil.
Miofibroblas merupakan jumlah terbesar dalam jaringan granulasi pada luka yang
memperantarai kontraksi pada jaringan granulasi yang terlihat seperti otot (Kalangi,
2004).

11
Neovaskularisasi adalah pembentukan pembuluh darah baru ke dalam luka yang
terjadi bersamaan dengan fibroplasia. Rangkaian proses neovaskularisasi meliputi
vasodilatasi dan kongesti dari vascular bed, elongasi dari pembuluh yang berhubungan
dengan perkembangan varikosa, sinus, atau perubahan struktur pilihan serta disolusi
membran basal pembuluh darah. Neovaskularisasi juga meliputi pertunasan atau
pertumbuhan endotel ke dalam jaringan sekitarnya, migrasi distal dari endotel
menghadap sumber angiogenik dengan mitosis proksimal, proliferasi sel endotel,
pembentukan lumen (kanalisasi), anastomosis dengan tunas endotel lainnya dan
pembentukan simpul, perkembangan sirkulasi serta maturasi dan evolusi saluran-saluran
dengan segmen-segmen arteri dan vena (Kalangi, 2004).
Fase pematangan ditandai dengan berkurangnya jumlah fibroblas secara berkala
dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh kapiler. Serabut kolagen mengalami
pertambahan jumlah dan menyusun diri sepanjang garis lebar luka. Secara berangsur-
angsur luka meningkatkan kekuatan integritasnya terhadap tekanan. Pada fase
pematangan ini matriks ekstraseluler sementara yang telah terbentuk pada fase
sebelumnya digantikan oleh matriks kolagen dermis (Anonim, 2003).
Tahap akhir dari persembuhan luka ini merupakan tahap yang hampir bersamaan
waktunya dengan tahap granulasi. Komposisi dan struktur matriks ektraseluler yang
terbentuk pada masa jaringan granulasi akan terus menerus berubah. Perubahan ini
akan bergantung pada waktu setelah terjadi perlukaan dan jarak tepi luka (Putriyanda,
2006).
2.6 Faktor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka
Faktor yang dapat mempengaruhi persembuhan luka yaitu faktor endogen,
dimana gangguan datang dari dalam tubuh sendiri dan faktor eksogen yang datang dari
luar tubuh. Gangguan endogen biasanya berupa gangguan koagulasi, gizi dan gangguan
sistem imun atau kekebalan tubuh. Gangguan eksogen dapat diakibatkan oleh
penyinaran (pasca radiasi), obat-obatan, pengaruh lingkungan, luka gigitan dan luka
artifisisal (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).
Cedera pada individu muda akan lebih cepat mengalami persembuhan
dibandingkan dengan yang lebih tua, hal ini terkait dengan kelancaran sirkulasi darah.
Proses perbaikan jaringan akan terhambat pada keadaan yang terlalu panas dan terlalu

12
dingin karena keduanya akan menyebabkan kerusakan jaringan vaskular yang
menyebabkan trombosis. Ukuran dan jumlah jaringan yang rusak merupakan faktor
yang penting karena massa jaringan yang hilang akan mempengaruhi faktor
pertumbuhan. Adanya benda asing di dalam luka akan menghambat proses
persembuhan disebabkan bertahannya iritan dan infeksi dalam jaringan granulasi.
Semakin besar kerusakan, semakin lama pula proses persembuhan sebab jaringan parut
yang terbentuk akan semakin banyak (Aliambar,1996).

2.7 Sediaan Gel


Gel merupakan suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang
tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan
saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Gel terdiri dari satu atau dua fase padat dan sebuah
fase cair (gel liofil) atau terdiri dari sebuah fase padat dan fase berbentuk gas (gel
serofil) (Voight 1994). Gel merupakan koloid yang setengah kaku yaitu antara padat
dengan cair. Selai, agar-agar, lem kanji, gelatin dan gel sabun adalah contoh dari gel
yang beredar di pasaran. Gel dapat terbentuk dari suatu solid yang zat terdispersinya
mengadsorpsi medium dispersinya sehingga terjadi koloid yang agak padat
(Oktaviyanti, 2004).
Sediaan semi solid ini me miliki banyak keuntungan dibandingkan dengan
sediaan semi solid lainnya karena praktis, mudah digunakan, tahan lama dan mudah
diaplikasikan. Proses ekstraksi gel biasanya diikuti dengan proses stabilisasi (Morsy,
1991). Uji stabilisasi gel dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada tujuan
yang ingin dicapai, antara lain bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh sel
vegetatif dan mikroba pathogen atau spora mikroba pembusuk, khususnya yang
anaerobik (Muchtadi, 1997). Proses stabilisasi gel dapat dilakukan dengan penambahan
bahan-bahan kimia (misalnya zat pengawet, zat pengental, antioksidan dan sebagainya),
penggunaan panas (proses termal), atau dengan kombinasi dari kedua cara tersebut
(Morsy, 1991).

13
2.8 Uji stabilitas
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat
sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam
jumlah besar dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ketangan pasien yang
membutuhkannya. Obat yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat
mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis yang diterima oleh pasien berkurang,
oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan
suatu zat sehingga dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat tersebut optimum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain adalah
temperatur, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme dan bahan-bahan
tambahan yang digunakan dalam formula sediaan obat tersebut. Dahulu untuk
mengevaluasi kestabilan suatu sediaan farmasi dilakukan pengamatan pada kondisi di
mana obat tersebut di simpan, misalnya pada temperatur kamar ternyata metode ini
memerlukan waktu yang lama dan tidak ekonomis, dan pada saat ini untuk
mempercepat analisis dapat dilakukan uji stabilitas dipercepat yaitu dengan mengamati
perubahan konsentrasi pada suhu yang tinggi.
Pentingnya uji stabilitas pada pengembangan bentuk sediaan farmasi telah
diakui dalam industri farmasi. Peningkatan jumlah pencatatan Abbreviated New Drug
Application (ANDA) oleh produsen obat generik dan non generik telah menyebabkan
peningkatan dalam jumlah pengajuan data stabilitas kepada Food and Drug
Adminsration (FDA). Lachman (1989) menyatakan bahwa penerapan prinsip fisika
kimia tertentu pada pelaksanaan pengkajian stabilitas telah terbukti sangat
menguntungkan di dalam pengembangan kestabilan suatu sediaan. Bagi industri farmasi
sangatlah penting untuk mendapatkan data dengan tepat mengenai uji stabilitas produk
baru pada penyimpanan normal dan penyimpanan dalam kondisi yang melebihi keadaan
normal dalam rangka meramalkan stabilitas pada penyimpanan selama jangka waktu
lama, hal ini disebabkan karena keuntungan ekonomis besar yang diperoleh dari
pemasaran produk baru secepat mungkin setelah formulasinya selesai.

14
2.9 Absorpsi obat topikal
Obat topikal dapat berpenetrasi ke kulit melalui dinding folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar lemak atau diantara sel-sel selaput tanduk. Penetrasi obat umumnya
melalui lapisan epidermis, dan lebih baik daripada melalui folikel rambut atau kelenjar
keringat, karena luas permukaan kedua bagian kulit yang terakhir ini lebih kecil
dibandingkan dengan daerah kulit yeng tidak mengandung elemen anatomi. Absorpsi
obat perkutan disebabkan penetrasi langsung obat melalui stratum corneum yang
tebalnya 10-15 µm. Selanjutnya obat dapat terus melalui jaringan epidermis yang lebih
dalam dan masuk ke dermis. Apabila obat mencapai lapisan pembuluh kulit maka obat
tersebut siap untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum. Stratum corneum sebagai
jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permebel dan molekul
obat berpenetrasi dengan arah difusi pasif sehingga jumlah obat yang pindah
menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat, kelarutan dalam air dan
koefisien partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam
minyak dan air merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum
seperti juga melalui epidermis dan lapisan kulit (Singer et al., 1999).
Bagian kulit yang paling berpengaruh untuk absorpsi obat adalah : bagian
epidermis, kelenjar rambut, kelenjar keringat serta kelenjar minyak . Epidermis adalah
lapisan kulit paling luar di mana gel tersebut dioleskan. Tebal epidermis tersebut
berlainan tergantung dari letak kulit, sehingga sangat berpengaruh pada daya
penyerapan obat. Bagian epidermis ini dilapisi oleh suatu lapisan film yang terdiri dari
lemak-lemak, yang mempunyai pH sekitar 4,5 - 6,5 sehinga diperoleh absorpsi obat
yang berbeda pula.

15
III. BAHAN dan METODE

3.1. Tempat dan Waktu


Penelitian dilakukan di Bagian Patologi dan Bagian Farmasi, Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteraan Hewan, Institut Pertanian Bogor
dari bulan Agustus 2006 hingga April 2007.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mortar dan stamper untuk
tempat membuat gel, alat soxlethasi untuk ekstraksi, rotary evaporator untuk
mengentalkan ekstrak, cawan penguap untuk wadah ekstrak, oven, gelas tabung dan plat
tetes untuk skrining fitokimia, Viscometer Brookfield untuk pengujian viskositas, kotak
plastik (beralaskan sekam) dan kawat untuk kandang mencit, anaerobic jar untuk
anasthesi, peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, scalpel), plastik, penggaris,
peralatan untuk membuat sedian histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan gelas
penutup. Untuk pengamatan histopatologi digunakan mikroskop dan videomikrometer.

3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan gel ekstrak
batang pohon pisang Ambon, sediaan gel komersial, sediaan gel placebo yang terdiri
dari Propilenglikol, Trietaolaminstearat, Aquadest dan Poligel. Bahan –bahan untuk
skrining fitokimia adalah ammonia encer, kloroform, HCl 2 N, Reagen Mayer,
Dragendorf, amil alkohol, gelatin 1 %, eter, anisaldehid-asam sulfat, Reagen
Lieberman-Burchad, dan NaOH.
Eter untuk euthanasia, larutan neutral buffer formalin 10% untuk fiksasi, kapas dan
bahan-bahan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu larutan Mayer’s
Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%,
90%, 95%, 100%), larutan Lithium Carbonat, akuades, asam asetat 1%, Schiff Reagent,
air sulfit, larutan Mordant, larutan Carrazi’s Hematoxylin, larutan Orange G 0,75%,
larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, larutan Phosphotungstic Acid 2,5%, Anilin Blue dan

16
parafin. Untuj pengujian potensi antibakteri menggunakan bahan-bahan antara lain:
potongan cakram kertas saring dengan diameter 15 mm, ekstrak batang pisang, biakan
yang terdiri dari Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa, dan media agar
lempengan Mueller-Hintomn.

3.2.3 Hewan Percobaan


Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus
musculus albinus) strain DDY umur 4-6 minggu. Mencit dipelihara di dalam kandang
individual dari kotak plastik yang pada bagian atasnya diberi kawat kasa sebagai
penutup sekaligus tempat pemberian pakan dan minum. Sebagai alas digunakan alas
sekam yang berfungsi untuk menjaga suhu dan menyerap urine. Pakan yang diberikan
yaitu pakan komersil berbentuk pellet dan minum secara ad libitum. Sekam pada
kandang mencit diganti 3 hari sekali.

3.3 Metodelogi Penelitian


Penelitian pada tahap pertama dilakukan analisa terhadap kandungan bahan aktif
ekstrak batang pisang Ambon, evaluasi mutu dan stabilitas sediaan kemudian
dilanjutkan dengan pengujian aktivitas sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon
terhadap persembuhan luka pada mencit .

3.3.1 Ekstraksi Simplisia Batang Pisang Ambon


Batang pohon pisang Ambon diperoleh di sekitar Darmaga, Bogor dan diambil
dengan cara memotong batang pohon pisang Ambon yang berumur ± 1 tahun secara
miring dan dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan di udara terbuka terlindung dari
sinar matahari kemudian dideterminasi di Lembaga Biologi Nasional Bogor. Untuk
mendapatkan ekstrak batang pisang Ambon dilakukan prosedur soxhletasi dari simplisia
kering menggunakan pelarut alkohol 70% selama 4 jam, kemudian cairan ekstraksi
dipekatkan menggunakan rotary evaporator .

17
Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan bahan aktif ekstrak
batang pisang Ambon dengan metode Harborne (1987) yaitu:

Alkaloid :
sampel + amonia encerà digerus + kloroformà filtrat + HCl 2 N kemudian lapisan
dipisahkanà dibagi menjadi 3 bagian : a. Blangko b. Di tambahkan Rx Mayeràwarna
putih dan c. Ditambahkan Reaksi Dragendorf àendapan jingga coklat .
Uji Flavonoid :
Simplisia dipanaskan + Mg + HClàdisaring dan hasil positif jika filtrat berwarna
merah
Uji Saponin :
Sampel + air panaskan dikocok kuat. Hasil (+) jika timbul busa 10 menit kemudian
Uji Tanin dan Polifenol :
Sampel + air didihkan. Filtrat diberi 5 tetes FeCl 3 1%. Hasil (+) tannin dan polifenol
jika terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan. Hasil (+) tannin saja jika filtrat
ditambahkan gelatin 1% terbentuk endapan putih
Uji Kuinon :
Sampel + air didihkan. Filtrat diberi NaOH 15%. Hasil (+) jika terbentuk warna merah
Uji Fenol :
sampel + 5 tetes FeCl 3 1%. Hasil (+) jika terbentuk warna ungu, biru atau hijau.

3.3.2 Pengujian potensi antibakeri ekstrak batang pisang Ambon

Potensi antibakteri dari ekstrak batang pohon pisang Ambon diuji kepada bakteri
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeuroginosa menggunakan metoda cakram
kertas.

Pada uji ini cakram kertas dengan diameter tertentu dibasahi dengan ekstrak
batang pisang, kemudian diletakkan pada lempengan agar yang telah di inokulasi. Cara
pengerjaan dan evaluasi cakram kertas sama dengan pengerjaan Antibiogram Metode
Kirby-Bauer.

18
Prosedur kerja :
Hari pertama
1. Tandai satu lempengan agar dengan nama, tanggal, dan mikroorganisme yang
akan di uji.
2. Biakan mikroorganisme ini diencerkan sebanyak 1: 9 dengan NaCl fisiologis
karena di alam bebas bakteri yang menginfeksi luka tidak sebanyak ini.
3. Celupkan tangkai kapas (cotton swab) dalam biakan mikroorganisme, kemudian
putar bagian kapas ke sisi tabung agar cairan tidak menetes dari bagian kapas
tersebut.
4. Sebar mikroorganisme pada seluruh permukaan lempengan agar. Untuk
mendapatkan pertumbuhan yang merata, gores secara mendatar, kemudian putar
lempengan 90° dan buat goresan kedua, putar 45° dan buat goresan ketiga.
Diharapkan dari ketiga goresan yang dilakukan akan membuat pertumbuhan
bakteri memenuhi selureuh permukaan lempengan agar yang digores.
5. Biarkan lempengan mongering selama 5 menit. Setelah selesai inokulasi ambil
potongan cakram kertas saring dan celupkan ke dalam ekstrak. Hindarkan
adanya cairan yang berlebihan pada kertas saring dengan cara mentiriskan kertas
saring sesaat di pinggir cawan petri, supaya cairan tersebut turun kembali ke
cawan dan tidak ada yang menetes lagi. Kemudian tempatkan cakram kertas
yang berisi ekstrak batang pisang pada permukaan lempengan.
6. Cakram kertas ditekan dengan menggunakan pinset pada permukaan lempengan,
sehingga terdapat kontak yang baik antara cakram dan lempengan agar. Cakram
tidak perlu ditekan kuat-kuat sehingga melukai permukaan agar.
7. Inkubasi lempengan pada suhu 37° C selama 24 jam.
Hari kedua
Evaluasi dilakukan dengan cara mengukur zona hambatan terhadap pertumbuhan
bakteri yang terlihat di permukaan lempengan agar.

3.3.3 Pembuatan sediaan gel


Pembuatan sediaan gel berdasarkan pembuatan sediaan farmasi yang sudah baku
menggunakan bahan poligel, trietanolamin, gliserin, propilenglikol dan salah satu

19
ekstrak hasil pengujian pendahuluan dosis efektif yang memiliki hasil yang lebih baik
(Radini, 2003).

3.3.4 Uji pendahuluan dosis efektif


Konsentrasi ekstrak A%, B%, dan C% diuji aktivitasnya terhadap persembuhan
luka mencit diamati 3,5, dan 7 hari. Pengamatan dilakukan secara makroskopik terhadap
merapatnya kulit, keringnya luka dan keberadaan keropeng luka. ( Konsentrasi ekstrak
tidak disebutkan dalam angka dikarenakan peneliti akan mengajukan hak paten )

3.3.5 Evaluasi Sediaan Gel


Sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon diperiksa kestabilannya pada suhu
150C, 27 0C, 370C, dan 45 0C. Pengamatan terhadap kestabilan suhu dan homogenitas
dilakukan pada hari ke-1, 3, 7 selama 1 minggu (awal) dan setiap minggu ke-1 sampai
minggu ke-8. Evaluasi akhir dilakukan terhada adanya pemisahan .
Untuk mengetahui kekentalan sediaan gel sebanyak 200 ml dimasukkan ke
dalam wadah sampai tanda batas pada alat Viscometer Brookfield menggunakan spindle
no.4 dengan kecepatan 6 rpm. Pengukuran dilakukan tiga kali setiap formula pada hari
ke 1,3,7, dan selanjutnya setiap minggu selama 8 minggu penyimpanan. (Voight, 1994)

3.3.6 Pengujian iritasi kulit


Pengujian iritasi kulit dilakukan menurut metode 21 day Cumulative Study
(Block, 1990) terhadap 11 orang sukarelawan pria atau wanita.yang berumur 23-30
tahun. Gel dioleskan pada punggung tangan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian
diamati reaksi yang mungkin terjadi yaitu kemerahan, bengkak dan diberi skor.
Pengujian dilakukan selama tiga hari berturut-turut setelah pembuatan dan pada hari
terakhir setelah penyimpanan selama 8 minggu.

3.4 Perlakuan pada Mencit


Mencit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 45 ekor yang dibagi
menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif diberi gel placebo,
kontrol positif diberi gel komersial, dan terakhir adalah kelompok gel ekstrak batang

20
pisang Ambon. Ketiga kelompok tersebut masing-masing dibagi lagi menjadi 5
kelompok kecil yang satu kelompoknya berjumlah 3 ekor. Pembagian kelompok kecil
ditentukan berdasarkan dari waktu pengamatan histopatologi dan pengambilan sempel
kulit yaitu pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21.
Sebelum perlukaan seluruh mencit diadaptasikan di kandang yang telah
disiapkan. Mencit yang dikelompokkan ke dalam bagian kelompok kontrol positif
diberi gel komersial pada bagian yang luka kemudian kelompok mencit kontrol negatif
diberi gel placebo dan kelompok mencit terakhir diberi gel ekstrak batang pohon pisang
Ambon. Seluruh mencit yang digunakan, disayat sepanjang 1-1,5 cm pada bagian
punggungnya secara aseptis menggunakan skalpel. Sebelum penyayatan mencit
dianestesi menggunakan eter dan rambut di sekitar daerah sayatan dicukur dan
kemudian dibersihkan dengan alkohol.
Pemberian gel dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya di bagian
luka pada mencit perlakuan menggunakan kapas steril setiap hari, dari hari ke-1 sampai
hari ke 21 setelah perlukaan sebanyak 2 kali sehari.
Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 mencit dieuthanasia dan dilakukan pengambilan
sampel untuk pembuatan sediaan histopatologi.

3.5 Pengamatan Patologi Anatomi (PA)


Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai hari ke-1 hingga hari
ke-21 setelah perlukaan pada seluruh mencit perlakuan pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21
dan dilakukan pengambilan sampel kulit. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat
langsung pada bagian luka. Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pemotretan pada
luka dengan menggunakan kamera digital.
Parameter yang diamati adalah adanya pembekuan darah, terbentuknya
keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka dan tidak dilakukan pengukuran pada
persembuhan lukanya.

3.6 Pengambilan Kulit


Pengambilan kulit dilakukan setelah mencit sebelumnya dianastesi dengan
menggunakan larutan eter. Setelah daerah punggung yang akan diambil kulitnya

21
dibersihkan dari bulu, kulit digunting sepanjang 1-1,5 cm2 dengan ketebalan ± 3 mm
hingga mencapai sub cutan. Kulit yang diperoleh kemudian di fiksasi dengan larutan
neutral buffer formalin atau NBF 10% dibiarkan pada suhu kamar selama ± 48 jam
untuk selanjutnya di buat sediaan histopatologi.

3.7 Pembuatan Preparat Histopatologi


Sediaan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan Neutral Buffer Formalin
(NBF) 10% lalu dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue
dari plastik. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol menggunakan
konsentrasi alkohol yang bertingkat yaitu alkohol 70 %, 80 %, 90 %, alkohol absolut
I, alkohol absolut II, kemudian dilakukan penjernihan menggunakan xylol I dan xylol
II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan parafin II.
Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin setengah volume dan
sedian diletakkan ke arah vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat
pada dasar parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat
pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras.
Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan
menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut
dibentngkan di atas air hangat yang bersuhu 460C dan langsung diangkat yang berguna
untuk meregangkan potongan agar tidak berlipat atau menghilangkan lipatan akibat dari
pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan
dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 60 0 C sehingga dapat dilakukan
pewarnaan umum Hematoxyllin Eosin (HE) dan pewarnaan khusus Masson Trichrome
(MT) untuk melihat jaringan fibroblas.

3.8 Pengamatan Histopatologi.

Pengamatan histopatologi menggunakan metode penghitungan menurut cara


Maiwahyudi (1999) dan Low et al (2001) dengan menghitung jumlah sel yang diamati.
Parameter yang digunakan adalah merapatnya lapis epidermis (re-epitelisasi),
banyaknya sel-sel radang (makrofag, limfosit dan neutrofil), pembentukan neokapiler

22
dan sel-sel fibroblas yang ada dalam luka. Pengamatan histopatologi dilakukan
menggunakan mikroskop cahaya (Olympus tipe BH-2, Olympus Corp, Jepang).
Rumus Penghitungan % Re-epitelisasi (Penghitungan menggunakan Video
Measuring Device)
% Re-epitelisasi = Panjang luka yang ditutupi epitel X 100%
Panjang Luka Total
Sumber : Maiwahyudi (1999)

3.9 Analisa data


Data hasil uji evaluasi mutu sediaan dan stabilitas disajikan dalam bentuk
deskriptif berupa tabel. Data yang didapat dari perhitungan jumlah sel-sel radang dan
jumlah neokapiler diuji secara statistika menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat ada
tidaknya perbedaan yang nyata (P< 0.05). Hasil pengamatan patologi anatomi dan
kepadatan jaringan dianalisis secara deskriptif.

23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Skrining Fitokimia


Hasil pengujian skrining fitokimia menunjukan bahwa ekstrak yang dioleskan
pada hewan coba mengandung tannin, saponin, dan flavonoid (Tabel 1). Pada uji
alkaloid sampel menunjukan hasil negatif terhadap ketiga pereaksi (Wagner, Mayer, dan
Dragendorf). Hasil uji saponin menunjukan tinggi busa ± 1,5 cm. Adanya flavonoid
ditunjukan dengan terbentuknya warna merah jingga setelah ditambahkan serbuk Mg, 1
ml HCl pekat dan 20 tetes amil alkohol lalu dikocok kuat. Pada uji steroid dan
triterpenoid tidak terbentuk warna hijau sehingga ekstrak batang pisang tidak
mengandung senyawa tersebut. Ekstrak mengandung senyawa tannin ditunjukan dengan
terbentuknya warna biru tua atau hitam kehijauan setelah ditambahkan 2 tetes pereaksi
FeCl 3.
Tabel 1. Hasil uji fitokimia ekstrak batang pisang Ambon
Uji Hasil analisis ekstrak batang pisang
Alkaloid -
Saponin ++
Flavonoid +
Steroid -
Tanin +
Triterpenoid -

Efek tannin sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang


kulit dalam kosmetik atau estetika (Olivia et al., 2004). Saponin berkhasiat sebagai
antiseptik dan pembersih sedangkan flavonoid memiliki kemampuan bereaksi dengan
komponen seperti allergen, virus dan karsinogenik sehingga flavonoid dapat berfungsi
sebagai anti alergi, antikanker dan antiinflamasi (Lewis et al., 1999).

23
4.2 Potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon
Berdasarkan hasil pengujian potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon
dosis C menggunakan metode cakram kertas didapatkan hasil bahwa ekstrak batang
pisang Ambon memiliki potensi antibakteri terhadap Staphilycoccus aureus dan
Pseudomonas aeuroginosa hal ini dibuktikan dengan tidak tumbuhnya bakteri disekitar
cakram kertas .

A B
Gambar 3. Gambar A adalah hasil pengujian antibakteri Staphylococcus aeureus dari ekstrak
batag pisang Ambon. Gambar B adalah pengujian pengujian antibakteri Pseudomonas aeuroginosa
ekstrak batang pisang Ambon.

Potensi antibakeri yang dimiliki ekstrak batang pisang Ambn dikarenakan


terdapatnya kandungan saponin yang terdapat di ekstrak batang pisang Ambon. Saponin
merupakan senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antiseptik sehingga
memiliki kemampuan antibakteri.

4.3 Penentuan Dosis Efektif

Berdasarkan hasil penentuan dosis efektif dari ekstrak batang pohon pisang
didapat bahwa dosis yang paling baik memberikan pengaruh terhadap kualitas/
percepatan persembuhan luka adalah sediaan dengan dosis C (Tabel 2). Dosis C inilah
yang selanjutnya digunakan sebagai dosis uji untuk sediaan gel dan aktivitas
persembuhan luka.

24
Tabel 2 Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit pada penentuan dosis
efektif antara mencit kontrol, mencit perlakuan dengan ekstrak batang pisang

Hari Kontrol Dosis Ekstrak Batang Pisang


ke- Negatif
A B C
1 luka masih terlihat luka masih terlihat luka masih terlihat lebar luka masih terlihat
lebar dan basah, serta lebar dan basah, serta dan basah, serta keropeng lebar dan basah, serta
keropeng masih keropeng masih masih sangat jelas terlihat. keropeng masih
sangat jelas terlihat. sangat jelas terlihat. sangat jelas terlihat.
3 Luka berwarna merah Luka berwarna merah, Luka berwarna merah dan Luka berwarna merah
dan basah, ada basah, merah dan ada agak basah, ada gumpalan pucat dan mulai
gumpalan darah, luka gumpalan darah, luka darah, luka terbuka dan mengering, ada
masih terbuka dan masih terbuka dan tepinya masih terpisah gumpalan darah, luka
tepi luka masih tepi luka masih terbuka dan tepinya
terpisah terpisah masih terpisah
5 Luka berwarna merah Luka berwarna merah Luka berwarna merah Luka berwarna merah
pucat dan mulai pucat dan kering, tepi pucat dan kering, tepi luka pucat dan kering, tepi
kering, tepi luka luka mulai kering, mulai kering, luka masih luka mulai kering,
mulai kering, luka luka masih terbuka terbuka luka mulai tertutup
masih terbuka
7 Luka berwarna merah Luka kering dan Luka kering dan pucat, Luka kering dan
pucat dan kering, tepi pucat, tepi luka tepi luka kering, luka pucat, tepi luka
luka mulai kering, kering, luka masih mulai menyempit, kulit kering, luka menutup,
luka masih sedikit sedikit terbuka, kulit tepi luka mulai mengeras kulit tepi luka keras
terbuka tepi luka mulai
mengeras

Dari tabel 2 di atas tampak bahwa gambaran patologi anatomi secara garis besar
memperlihatkan bahwa pemberian ekstrak batang pohon pisang dengan dosis C
memberikan hasil persembuhan yang paling baik berdasarkan parameter makroskopik.
Ekstrak batang pohon pisang memberikan hasil yang lebih baik dalam mengembalikan
keutuhan kulit akibat luka sayatan dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi apa-
apa, hal ini menunjukkan bahwa proses persembuhan luka dipercepat dengan pemberian
ekstrak batang pohon pisang terutama pada dosis C seperti disajikan pada Gambar 3.

A
B C

a b c
Gambar 4. Gambaran makroskopik dari luka kulit pada mencit (A), tampak warna luka merah
pucat pada dosis C (a), B (b) dan A (c). Gambar (B) menunjukkan tampakan histopatologik dari luka

25
kulit pada mencit kontrol yang tidak diberi apa-apa dan terlihat keropeng masih cukup besar. Gambar (C)
memperlihatkan luka secara kualitas lebih baik dan keropeng lebih kecil serta homogen. Gambar B & C
diwarnai dengan HE, pembesaran 40 X.

4.4 Pembuatan Sediaan Gel.


Ekstrak batang pohon pisang telah berhasil dibuat dalam sediaan gel dengan
konsentrasi ektrak dalam gel sebesar dosis C (sesuai hasil uji penentuan dosis efektif di
atas) dan sediaan inilah yang digunakan sebagai bahan uji. Bahan dan formula yang
digunakan untuk pembuatan sediaan gel adalah poligel, trietanolamin, gliserin,
propilenglikol dan ekstrak (Tabel 3). Gambar sediaan gel ditampilkan pada Gambar 4.

Tabel 3 Formula Sediaan Gel


No Bahan Konsentrasi (%)
1 Poligel 8
2 Ekstrak C
3 Gliserin 2
4 TEA 1,5
5 Propilen glikol 9
6 Aqua DM Ad 100

Keterangan :
C = Dosis terpilih dari ekstrak batang pisang

A B C
Gambar 5. Sediaan gel placebo (A); sedian gel ekstrak batang pisang (B); sediaan obat komersial (C).

26
4.5 Pengujian Sediaan Gel.
Hasil evaluasi awal sedian gel ekstrak batang pisang dengan dosis C pada suhu
15 0C dan 27 0C pada hari ke-1,3 dan 7 tidak terjadi pemisahan, kemudian pada suhu 37
o
C juga menunjukan tidak terjadi pemisahan pada hari ke-1 dan ke-3 sedangkan pada
hari ke-7 mulai terjadi pemisahan. Pada suhu 45 0C pada hari ke-1 tidak menjukan
pemisahan tetapi pada hari ke-3 dan 7 mulai menunjukan pemisahan ditandai dengan
terdapat lapisan air, hal ini disebabkan karena suhu yang tinggi dan sediaan gel yang
memang berbasis poligel larut air dan tidak tahan panas (Tabel 4)
Tabel 4 Evaluasi Awal Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon

Suhu Pemisahan (Hari ke-)


(T0C) 1 3 7
15 - - -
27 - - -
37 - - +
45 - + +
Keterangan :
+ = Terjadi Pemisahan
- = Tidak terjadi pemisahan

Evaluasi akhir sediaan gel pada suhu 15 dan 27 0C minggu ke-1,2 dan 3 hingga
0
minggu ke-8 tidak terjadi pemisahan, kemudian pada suhu 37 C minggu ke-1, dan 2
belum terlihat pemisahan dan baru pada minggu ke-3 hingga ke-8 menujukan tanda
pemisahan, sedangkan pada suhu 45 0C pada minggu ke-1, 2 dan 3 sudah menunjukan
pemisahan hingga minggu ke-8 (Tabel 5 )
Tabel 5 Evaluasi Akhir Sediaan Gel Ekstrak batang Pisang Ambon

Suhu Pemisahan (Minggu ke-)


(T0C) 1 2 3 4 5 6 7 8
15 - - - - - - - -
27 - - - - - - - -
37 - - + + + + + +
45 + + + + + + + +
Keterangan :
+ = Terjadi Pemisahan
- = Tidak terjadi pemisahan

27
4.6 Pemeriksaan Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas awal melalui pengamatan organoleptis berupa pH,
bau dan warna menujukan sediaan gel pada suhu 15 0C, 27 0C dan 37 0C yang diamati
pada hari ke-1,3 dan 7 menujukkan hasil yang sama yaitu pH 7,3 , bau khas ekstrak, dan
warna coklat (Tabel 6 ), sedangkan pada suhu 45 0C pada hari ke-1 memiliki pH 7,3 hari
ke-3 pH 7 dan hari ke-7 pH 6,8 dan bau khas, serta pada hari ke-1, dan 3 warna masih
terlihat coklat dan mulai berubah menjadi coklat muda pada hari ke-7 karena mulai
ditandai terjadinya pemisahan akibat faktor suhu yang tinggi (Tabel 7).
Tabel 6 Pemeriksaan Homogenitas Awal suhu 15, 27, dan 37 0C
Hari
Homogenitas
1 3 7
pH 7,3 7,3 7,3
Bau Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat

Tabel 7 Pemeriksaan Homogenitas Awal Pada Suhu 45 0C


Hari Ke -
Homogenitas
1 3 7
pH 7,3 7 6,8
Bau Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat muda

A B C D

Gambar 6. Sediaan gel ekstrak batang pisang untuk pemeriksaan homogenitas setelah penyimpanan
minggu ke-3. Pada suhu 15 0C (A); pada suhu 27 0C (B); pada suhu 37 0C (C) dan pada suhu 45 0C (D).

28
Pemeriksaan homogenitas akhir melalui pengamatan organoleptis berupa pH,
bau dan warna menunjukan sediaan gel pada suhu 15 0C, 27 0C dan 37 0C yang diamati
pada minggu ke-1, 2 menunjukan hasil yang sama yaitu pH 7,3 , bau khas ekstrak, dan
warna coklat (Tabel 8, 9 dan 10 ), pada suhu 37 0C minggu ke-3 menujukan perbedaan
yaitu pH 7 dan warna yang terbentuk coklat muda hal ini disebabkan pada penyimpanan
minggu ke-3 sediaan ekstrak menujukan pemisahan (Gambar 6). Pada suhu 45 0C
minggu ke-1menunjukan hasil pH 6,8 ,bau khas dan warna coklat, pada minggu ke-2
dan 3 menunjukan hasil pH 6,7 dan bau khas, serta warna coklat muda (Tabel 11)
Tabel 8 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada
Suhu 15 0C
Minggu
Homogenitas
1 2 3 4 5 6 7 8
pH 7,3 7,3 7,3 7,3 7,2 7,0 7,0 6,8
Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat

Tabel 9 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada
Suhu 27 0C
Minggu
Homogenitas
1 2 3 4 5 6 7 8
pH 7,3 7,3 7,3 7,0 6,7 6,7 6,7 6,7
Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat

Tabel 10 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada
Suhu 37 0C
Minggu
Homogenitas
1 2 3 4 5 6 7 8
pH 7,3 7,3 7,0 6,0 6,0 5,7 5,7 5,7
Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat
muda muda muda muda muda muda

29
Tabel 11 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada
Suhu 45 0C
Minggu
Homogenitas
1 2 3 4 5 6 7 8
pH 6,8 6,7 6,7 6,0 6,0 5,6 5,3 5,0
Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat
muda muda muda muda muda muda muda

4.7 Pengujian Viskositas

Pengujian viskositas tidak dilakukan untuk suhu 45 0C pada minggu ke-2 hingga
minggu ke-8 karena sediaan gel tersebut sudah mulai mencair (rusak) akibat faktor suhu
yang tinggi (Tabel 12 dan 13). Adanya penurunan sediaan gel ekstrak batang pisang
diakibatkan karena suhu dan lamanya penyimpanan, sehingga menyebabkan
menurunnya viskositas, selain itu jumlah air yang ditambahkan ke dalam campuran
sediaan gel ekstrak batang pisang juga sangat mempengaruhi viskositas.

Tabel 12 Pengukuran viskositas sediaan gel ekstrak batang pisang hari ke-3,5, dan 7

Waktu Uji Perlakuan (centi poise)


( Hari) 15 0C 27 0C 37 0C 45 0C
3 17890 16680 15580 8980
5 16870 15060 10900 7890
7 12780 10500 8650 6980

Tabel 13 Pengukuran viskositas sediaan gel ekstrak batang pisang minggu ke1 sampai
ke-8.

Waktu Uji Perlakuan (centi poise)


0
(Minggu) 15 C 27 0C 37 0C
1 12780 10500 8650
2 10600 9600 7280
3 9680 8560 6830
4 8980 7890 4560
5 7590 6500 2460
6 6809 5790 1970
7 5790 4320 1008
8 4890 3200 980

30
4.8 Pengujian Iritasi Kulit
Pada uji iritasi kulit untuk ke-11 responden rata-rata tidak mengalami reaksi
eritema hingga minggu ke-5, dan mulai muncul reaksi eritema berupa gatal pada
minggu ke-6 hal ini disebabkan sedian gel batang pisang sudah mengalami degradasi
dengan munculnya jamur dan mulai terbentuknya cairan sehingga konsistensi dari
gelnya pun mulai mencair dan pH nya juga cenderung ke asam. Pengujian untuk iritasi
kulit hanya dilakukan untuk sediaan gel ekstrak batang pisang dengan penyimpanan
pada suhu kamar hal ini disebabkan biasanya masyarakat kita menyimpan obat pada
kotak obat yang mana suhunya adalah suhu kamar . Pengujian tidak dilakukan pada
suhu 37 0C dan suhu 45 0C dikarenakan pada suhu tersebut sediaan gel sudah
mengalamai degradasi dan terlihat sudah terjadi pemisahan sehingga konsistensinya
menjadi lebih encer dan tidak layak untuk dicoba. (Tabel 14 )
Tabel 14 Hasil Pengujian iritasi pada kulit pada Minggu ke-1 sampai ke-8
Minggu ke-
Responden
1 2 3 4 5 6 7 8
1 0 0 0 0 0 1 1 1
2 0 0 0 0 0 0 1 1
3 0 0 0 0 0 1 1 1
4 0 0 0 0 0 1 1 1
5 0 0 0 0 0 0 1 1
6 0 0 0 0 0 1 1 1
7 0 0 0 0 0 1 1 1
8 0 0 0 0 0 1 1 1
9 0 0 0 0 0 1 1 1
10 0 0 0 0 0 1 1 1
11 0 0 0 0 0 1 1 1

4.9 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi


Kecepatan terbentuknya keropeng di ketiga kelompok menandakan kecepatan
dari persembuhan luka. Menurut Singer dan Clarks (1999) keropeng merupakan tahap
awal dari fase proliferasi yang meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel
endotel dan sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru
memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna

31
merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana
sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka.
Hasil pengamatan patologi anatomi terhadap proses persembuhan luka pada hewan coba
mencit untuk kelompok perlakuan dengan gel placebo (kontrol negatif), kelompok
perlakuan dengan gel komersial (kontrol positif), serta kelompok perlakuan dengan gel
ekstrak batang pohon pisang Ambon disajikan dalam tabel 15. Tabel disajikan
berdasarkan parameter tertentu, yaitu: adanya pembekuan darah, terbentuknya
keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka.

Tabel 15 Perbandingan Patologi Anatomi antara kelompok kontrol negatif (gel


placebo), kelompok kontrol positif (gel komersil) dan kelompok gel ekstrak
batang pohon pisang Ambon.

Hari Kontrol negatif Kontrol positif Gel ekstrak batang


ke- (Gel Placebo) (Gel Komersil) pisang ambon
3 Luka terlihat terbuka lebar Luka terlihat terbuka lebar dan Luka terlihat terbuka lebar
dan basah. Tepi masih mulai mengering. Tepi masih dan basah. Tepi masih
terpisah, belum terjadi terpisah, belum terjadi terpisah, belum terjadi
pembekuan darah serta pembekuan darah serta masih pembekuan darah serta
masih tampak merah pada tampak merah pada daerah luka. masih tampak merah pada
daerah luka. daerah luka.

5 Luka masih terlihat terbuka. Luka masih terlihat terbuka. Luka masih terlihat terbuka
Tepi masih terpisah. Luka Tepi masih terpisah. Luka sudah dan mengering namun agak
sudah mulai mengering mulai mengering. Ada lembab. Tepi masih terpisah.
walau ada bagian yang pembekuan darah. Luka berwarna kehitaman.
masih basah.

32
7 Luka masih terbuka dan Luka masih terbuka tetapi terjadi Luka masih terbuka tetapi
belum terjadi pengecilan pengecilan diameter. Terlihat terjadi pengecilan diameter.
diameter, tetapi terlihat adanya keropeng dan luka sudah Terlihat adanya
adanya keropeng. Luka mengering. Tepi luka mengeras. pengelupasan keropeng dan
sudah mengering. luka sudah mengering. Tepi
luka mengeras.

14 Luka sudah mulai terlihat Luka sudah tertutup. Bekas luka Luka sudah tertutup. Bekas
tertutup dan terjadi sudah tidak terlihat. Sudah luka sudah tidak terlihat.
pengecilan diameter. Luka terjadi proses persembuhan luka. Sudah terjadi proses
sudah mengering. persembuhan luka.

21 Luka sudah tertutup dan Luka sudah tertutup dan bekas Luka sudah tertutup dan
bekas luka sudah luka sudah menghilang. Area bekas luka sudah
menghilang. Area bekas bekas luka sudah tertutupi bulu menghilang. Area bekas
luka sudah tertutupi bulu. secara merata. luka sudah tertutupi bulu
secara merata.

Hasil pengamatan patologi anatomi pada ketiga kelompok pada awal perlakuan
masih terlihat sama, dimana luka masih terlihat terbuka, luka basah dan belum
terjadinya penggumpalan darah serta luka masih terlihat merah (Tabel 15). Luka yang
terbuka memperlihatkan hasil kulit yang tersayat oleh benda tajam dan akan kehilangan
kekuatan retraksinya dengan membentuk celah. Luka yang berwarna merah

33
menunjukkan reaksi peradangan terhadap penyayatan pada kulit, reaksi ini berupa
vasokonstriksi sesaat dari pembuluh darah yang diikuti oleh vasodilatasi dari pembuluh
darah (Vegad 1995). Vasodilatasi dari pembuluh darah ini dikenal dengan hiperemi
dengan penampakan yang berwarna merah pada daerah luka. Pembuluh darah baru
yang mulai terbentuk di daerah luka sejak hari pertama perlukaan menyebabkan
peningkatan asupan darah yang membawa benang-benang fibrin, dimana benang fibrin
ini juga memberikan fasilitas pada sel-sel radang untuk bermigrasi. Darah yang
menggumpal merupakan reaksi platelet yang teraktivasi dan protein fibrinogen yang
banyak dikeluarkan pembuluh darah akibat rangkaian reaksi peradangan (Anonim
2003). Sampai pada hari ke-5 pada semua kelompok mengalami fase peradangan,
dimana pada fase ini tubuh akan berusaha menghentikan peradangan setelah terjadinya
luka dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi) dan
reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah
saling melekat dan bersama dengan benang fibrin terbentuk terjadinya pembekuan darah
(Sjamsuhidajat dan de Jong,1997). Kandungan tannin dan flavonoid yang berfungsi
sebagai anti peradangan di dalam sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dan
gel komersil dapat mempercepat terjadinya pembekuan darah.
Kecepatan terbentuknya keropeng di ketiga kelompok menandakan kecepatan
dari persembuhan luka. Menurut Singer dan Clarks (1999) keropeng merupakan tahap
awal dari fase proliferasi yang meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel
endotel dan sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru
memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna
merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana
sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka. Terbentuknya
keropeng pada kelompok kontrol negatif berbeda dengan kelompok perlakuan kontrol
positif (gel komersil) dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon. Pada
kelompok kontrol negatif keropeng terbentuk pada hari ke-7 dimana pada kelompok
perlakuan kontrol positif dan sediaan gel pisang Ambon, keropeng telah terbentuk dari
hari ke-6. Pada kelompok perlakuan gel ekstrak pisang Ambon, pada hari ke-7
keropeng sudah terlihat ada yang terlepas (Tabel 15).

34
Pada hari ke-7 terlihat adanya perbedaan dari ketiga kelompok dimana pada
kelompok gel komersil dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon sudah
terjadi pengecilan diameter pada lebar luka serta luka yang telah mengering sedangkan
pada kelompok kontrol negatif pengecilan diameter dapat terlihat jelas pada hari ke-14.
Perbedaan juga terlihat pada pertumbuhan rambut di daerah luka, dimana pada kontrol
negatif terjadi pada hari ke-16 sedangkan pada kelompok gel komersil dan kelompok
gel ekstrak batang pohon pisang Ambon terjadi pada hari ke-14. Tumbuhnya rambut
yang lebih cepat pada kelompok perlakuan gel komersil dan kelompok gel ekstrak
batang pohon pisang Ambon menunjukkan proses regenerasi yang lebih cepat
dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 15).
Bekas luka yang sudah mulai menghilang pada kelompok kontrol negatif terjadi
di hari ke-16 sedangkan pada kelompok gel komersil dan kelompok gel ekstrak batang
pohon pisang Ambon sudah mulai menghilang pada hari ke-14. Bekas luka yang
menghilang lebih cepat pada kelompok perlakuan gel komersil dan kelompok gel
ekstrak batang pohon pisang Ambon dibandingkan kelompok kontrol negatif
menunjukkan bahwa perlakuan dapat mempercepat hilangnya jaringan parut yang
menurut estetikanya keberadaan jaringan parut pada permukaan kulit terlihat kurang
baik. Pada hari ke-21 semua kelompok sudah tidak menunjukkan perbedaan dimana
kulit kembali normal (Tabel 15).

4.10 Hasil Pengamatan Histopatologi

Parameter yang diamati pada pemeriksaan histopatologi adalah jumlah sel-sel


radang (limfosit, neutrofil, dan makrofag), jumlah neokapiler, persentase re-epitelisasi
dengan preparat yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan
Hematoxylin-Eosin dan kepadatan jaringan ikat (fibroblas) dengan preparat yang
digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan MT. Hasil
pengamatan mikroskopis terhadap proses persembuhan luka pada hewan coba mencit
untuk kelompok perlakuan dengan gel placebo (kontrol negatif), kelompok perlakuan
dengan gel komersial (kontrol positif), serta kelompok perlakuan dengan gel ekstrak
batang pohon pisang Ambon disajikan dalam tabel 16.

35
Tabel 16 Perbandingan mikroskopis pasca perlukaan antara kelompok kontrol negatif
(gel placebo), kelompok kontrol positif (gel komersil) dan kelompok gel
ekstrak batang pohon pisang Ambon.

Hari Kontrol negatif Kontrol positif Gel ekstrak batang pisang


ke- (Gel Placebo) (Gel Komersil) ambon
3 Ada Infiltrasi sel radang Ada Infiltrasi sel radang dan Ada Infiltrasi sel radang dan
dan belum terbentuk re- belum terbentuk re-epitelisasi. belum terbentuk re-epitelisasi.
epitelisasi.

(Pewarnaan HE, 400X) (Pewarnaan HE, 400X)


(Pewarnaan HE, 400X)
5 Ada Infiltrasi sel radang Ada Infiltrasi sel radang dan Ada Infiltrasi sel radang dan
dan mulai terbentuk re- mulai terbentuk re-epitelisasi mulai terbentuk re-epitelisasi
epitelisasi (24.57%). (24.57%). (33.60%).

(Pewarnaan HE, 400X) (Pewarnaan HE, 400X) (Pewarnaan HE, 400X)


7 Ada Infiltrasi sel radang Ada Infiltrasi sel radang dan Ada Infiltrasi sel radang dan
dan terbentuk re- terbentuk re-epitelisasi terbentuk re-epitelisasi
epitelisasi (57.82%). (57.82%). (68.32%).

(Pewarnaan HE, 400X) (Pewarnaan HE, 400X) (Pewarnaan HE, 400X)

36
14 Luka sudah menutup dan Luka sudah menutup dan Luka sudah menutup dan
terbentuk re-epitelisasi terbentuk re-epitelisasi terbentuk re-epitelisasi sempurna
sempurna (100%). sempurna (100%). (100%).

(Pewarnaan HE, 100X)


(Pewarnaan HE, 100X) (Pewarnaan HE, 100X)
21 Re-epitelisasi sudah Re-epitelisasi sudah Re-epitelisasi sudah sempurna
sempurna (100%). sempurna (100%). (100%).

(Pewarnaan HE, 100X) (Pewarnaan HE, 100X) (Pewarnaan HE, 100X)

4.10.1 Infiltrasi Sel Radang


Proses peradangan mencakup sel-sel radang dari pembuluh darah menuju
jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah limfosit,
neutrofil dan makrofag.

4.10.2 Limfosit
Peran limfosit didalam proses persembuhan luka adalah melepaskan limfokin
yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya dan beberapa limfokin yang
dilepaskan limfosit mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya seperti sel
makrofag (Singer, 1999). Jumlah sel limfosit yang lebih tinggi pada kelompok gel
ekstrak juga ditunjukkan pada hari ke-5 dan hari ke-7 dibandingkan kelompok kontrol
negatif, dimana pada hari ke-5 jumlah sel limfosit sebanyak 107.00 ± 11.31 lebih

37
tinggi dibandingkan jumlah kontrol negatif yaitu 103.00 ± 8.49 dikarenakan pada hari
ke-5 merupakan puncak sel limfosit banyak mengeluarkan limfokin-limfokin untuk
proses peradangan yang nantinya dibutuhkan oleh makrofag untuk membunuh partikel
asing. (Tabel 17).

Tabel 17 Perbandingan jumlah sel limfosit pada ketiga kelompok perlakuan.


Hari Kelompok
ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak
3 82.50 ± 0.61BCD 87.50 ± 7.78B 85.50 ± 9.19BC
5 103.00 ± 8.49A 110.00 ± 4.24A 107.00 ± 11.31A
7 80.00 ± 4.24BCD 83.00 ± 1.41BCD 82.00 ± 5.66BCD
14 74.00 ± 1.41BCD 71.50 ± 3.54CD 70.00 ± 2.83D
21 28.00 ± 2.83E 24.00 ± 1.41E 19.50 ± 3.54E
Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Kandungan zat aktif dalam ekstrak batang pohon pisang Ambon berfungsi
sebagai faktor kemotaktik yang menarik kehadiran sel-sel radang dari sirkulasi darah
dan bermigrasi ke dalam jaringan (Priosoeryanto 2006). Faktor kemotaktik adalah suatu
bahan aktif di dalam lokasi peradangan yang memiliki fungsi mendatangkan sel-sel
radang dari sirkulasi darah. Dimana faktor ini juga membantu penyelenggaraan respon
peradangan hingga terjadinya persembuhan. Faktor kemotaktik (mediator inflamasi)
berperanan penting dalam proses peradangan akut dengan meningkatkan permeabilitas
vaskular, vasodilatasi dan rasa nyeri (Lewis 1986). Tingginya jumlah sel limfosit pada
kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon dan kelompok kontrol positif
merupakan proses peradangan akut yang pada kelompok ini lebih cepat berlangsung
sehingga sel limfosit sebagai salah satu sel peradangan juga lebih cepat menginfiltrasi
daerah luka.

38
4.10.3 Neutrofil

Sel neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba


pada peradangan. Kehadiran sel neutrofil dipengaruhi oleh adanya produk-produk yang
dilepaskan oleh bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Sel neutrofil berfungsi untuk
membunuh dan memfagosit partikel-partikel asing yang terdapat pada daerah luka
dengan cara fagositosis (Low, et al. 2001). Hasil pengujian statistik menunjukkan
bahwa pola rataan jumlah neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan relatif sama, yaitu
angka yang tinggi pada hari awal dan kemudian angka menurun pada hari-hari
berikutnya. Data pada tabel 20 menunjukkan bahwa pada hari ke-3 kelompok ekstrak
batang pohon pisang Ambon memiliki jumlah neutrofil sebanyak 237.50 ± 7.78
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan kelompok kontrol positif yaitu
220.50 ± 13.44 dan dengan kelompok kontrol negatif yaitu 219.00 ± 12.73.

Perbedaan ini juga ditunjukkan pada tabel 5 bahwa di hari ke-5 ketiga kelompok
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), dimana pada kelompok gel ekstrak
batang pohon pisang Ambon memiliki jumlah sel neutrofil sebanyak 271.00 ± 4.24 dan
pada kelompok kontrol positif sebanyak 311.50 ± 10.61 sedangkan pada kelompok
kontrol negatif memiliki jumlah neutrofil sebanyak 232.00 ± 5.66, hal ini dikarenakan
sel neutrofil merupakan pertahanan seluler pertama maka jumlah neutrofil pada hari
awal perlukaan memiliki jumlah yang cukup tinggi (Vegad, 1995).

Berdasarkan teori tersebut membuktikan bahwa pada kelompok perlakuan


ekstrak batang pohon pisang Ambon dan kontrol positif, sel neutrofil lebih cepat
melakukan proses fagositosis dan jaringan nekrotik. Semua kelompok mengalami
penurunan jumlah sel neutrofil dari hari ke-7 sampai dengan hari ke-21, ini
menunjukkan bahwa sel neutrofil melakukan tugasnya sebagai sel pertahanan hanya
pada awal pasca perlukaan karena tugasnya akan digantikan oleh sel makrofag sebagai
sel pertahanan seluler yang kedua .
Menurut Guyton dan Hall (1997), keberadaan sel makrofag dan sel neutrofil
saling berhubungan dalam proses persembuhan luka. Sel neutrofil merupakan
pertahanan seluler pertama yang jumlahnya akan meningkat pada awal pasca perlukaan
dimana sel neutrofil akan memakan (memfagositosis) benda-benda asing. Benda-benda

39
asing dan sisa sel mati (jaringan nekrotik) yang tidak terfagositosis oleh sel neutrofil
akan diteruskan oleh sel makrofag sebagai sel pertahanan seluler kedua.

Tabel 18 Perbandingan jumlah sel neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan


Hari Kelompok
ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak
3 219.00 ± 12.73D 220.50 ± 13.44CD 237.50 ± 7.78C
5 232.00 ± 5.66CD 311.50 ± 10.61A 271.00 ± 4.24B
7 143.00 ± 8.49E 148.00 ± 4.24E 144.50 ± 7.78E
14 74.00 ± 9.90F 73.00 ± 7.07F 68.50 ± 6.36F
21 36.00 ± 1.41 G 35.00 ± 1.41 G 33.00 ± 5.66 G
Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang
nyata (P<0,05).

4.10.4 Makrofag
Sel makrofag merupakan sel radang yang berfungsi untuk mengeliminasi
partikel asing dan jaringan mati. Sel makrofag dan sel neutrofil bekerjasama dalam
menyerang dan menghancurkan partikel asing menyerbu masuk ke dalam tubuh.
Menurut Guyton dan Hall (1997) sel makrofag akan melakukan emigrasi setelah sel
neutrofil datang di daerah luka,dan setelah sel neutrofil melakukan fagositosis. Sel-sel
neutrofil yang mati pun akan turut difagosit oleh sel makrofag.

Tabel 19 Perbandingan jumlah sel makrofag pada ketiga kelompok perlakuan.


Hari Kelompok
ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak
3 130.50 ± 2.12G 137.50 ± 2.12FG 132.50 ± 2.12G
5 181.00 ± 2.83E 316.00 ± 16.97B 329.00 ± 4.24A
7 213.50 ± 6.36D 260.50 ± 2.12C 269.00 ± 2.83C
14 149.00 ± 5.66F 128.00 ± 2.83G 130.00 ± 4.24G
21 41.00 ± 5.66H 38.50 ± 2.12H 39.50 ± 2.12H
Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang
nyata (P<0,05).

Jumlah sel makrofag pada ketiga kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang
nyata (P>0,05) di hari ke-3 (Tabel 19). Perbedaan yang nyata (P<0,05) terlihat pada

40
hari ke-5 pada semua kelompok dimana jumlah sel makrofag yang tinggi pada
kelompok gel ekstrak yaitu 329.00 ± 4.24 berbeda nyata dengan kelompok kontrol
positif dengan jumlah sel makrofag sebanyak 316.00 ± 16.97 sedangkan kelompok
kontrol negatif memilki jumlah sel makrofag sebanyak 181.00 ± 2.83 (Tabel 19).
Perbedaan yang nyata (P<0,05) juga masih tampak pada hari ke 7 dimana pada
kelompok gel ekstrak memilki jumlah sel makrofag sebanyak 269.00 ± 2.83 sedangkan
pada kelompok kontrol negatif sebanyak 213.50 ± 6.36, namun kelompok kontrol
positif menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dengan kelompok gel ekstrak
(Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok ekstrak batang pohon pisang
Ambon dan kelompok kontrol positif lebih cepat dalam melakukan pembersihan
partikel asing dalam luka dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Percepatan
dalam pembersihan luka oleh sel makrofag salah satunya karena kandungan zat aktif
dalam ekstrak batang pohon pisang Ambon yaitu saponin sebagai antiseptik dan
pembersih.

4.10.5 Re-epitelisasi
Re-epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi,
migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel (Aschrof, et al. 1999). Tahapan-tahapan ini
akan mengembalikan intregitas kulit yang hilang. Perbedaan yang mencolok antara
kelompok perlakuan (kelompok yang diberi obat komersial dan gel ekstrak batang
pisang Ambon) dengan kontrol terlihat pada hari ke-7, dimana rata-rata re-epitelisasi
pada kedua kelompok perlakuan sudah mencapai kisaran 0,60 sedangkan pada
kelompok kontrol masih 0,52 . Hasil ini memperlihatkan bahwa gel ekstrak batang
pisang mempunyai kemampuan yang relatif sama dengan obat komersial untuk
meningkatkan re-epitelisasi epidermis, sehingga luka lebih cepat menutup. (Tabel 20)

41
Tabel 20 Nilai Rata-rata Persentase Re-epitelisasi
Hari Pengamatan
Kelompok
3 5 7 14 21

Kelompok I ( gel placebo ) 0 0,29 0,52 1,00 1,00

Kelompok II ( pemberian Obat 0 0,34 0,62 1,00 1,00


komersial)

Kelompok III ( pemberian gel 0 0,40 0,60 1,00 1,00


ekstrak batang pisan Ambon )
Persembuhan luka sangat dipengaruhi oleh re-epitelisasi, karena semakin cepat
proses re-epitelisasi semakin cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat
persembuhan luka. Kecepatan dari persembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-zat
yang terdapat dalam obat yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan
untuk meningkatkan persembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan
sel-sel baru pada kulit.

c
e
a
b f

I II III
Gambar 10. Gambaran mikroskopik luka pada hari ke-7. Kelompok kontrol negatif (I), Kelompok Obat komersial
(II), Kelompok gel batang pisang Ambon (III). Terlihat pada kelompok I re-epitelisasi epidermis belum terjadi
sempurna, keropeng/fibrin masih terlihat (a). Pada kelompok II proses re-epitelisasi sudah terjadi (b) walaupun
keropeng/fibrin (c) masih terlihat tetapi sudah mulai lepas dari luka, disertai fibrosis dengan kerapatan tinggi (d).
Pada kelompok III re-epitelisasi sudah mulai sempurna (e), keropeng sudah lepas, luka menyempit, serta fibrosis
dengan kerapatan tinggi (f). Pewarnaan H & E. Pembesaran 20 X.

42
4.10.6 Neokapilerisasi
Neokapilerisasi merupakan pembuluh darah baru berupa tunas-tunas yang
terbentuk dari pembuluh darah dan akan berkembang menjadi percabangan baru pada
jaringan luka. Neokapilerisasi akan saling beranastomose dan membentuk suatu
jaringan sirkulasi darah yang padat pada jaringan luka. Pembuluh darah memiliki
peranan penting dalam perbaikan jaringan untuk memberikan asupan nutrisi bagi
jaringan yang sedang beregenerasi. Pembuluh darah juga menghantarkan sel-sel radang
yang dibentuk di dalam sumsum tulang untuk mendekati jaringan yang terluka hingga
sel radang tersebut melakukan emigrasi (Spector dan Spector, 1988).

Tabel 21 Perbandingan neokapilerisasi pada ketiga kelompok di daerah luka.


Hari Kelompok
ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak
3 43.00 ± 8.49DE 61.00 ± 4.24CDE 73.50 ± 2.12BCD
5 103.00 ± 1.41AB 121.50 ± 9.19AB 111.50 ± 2.12AB
7 93.00 ± 42.43ABC 110.00 ± 25.46AB 107.50 ± 33.23AB
14 64.00 ± 2.83CDE 63.00 ± 1.41CDE 63.50 ± 0.71CDE
E E
21 35.00 ± 4.24 33.00 ± 5.66 30.50 ± 4.95E
Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang
nyata (P< 0,05).
Jumlah neokapiler di hari ke-3 pada kelompok ekstrak batang pohon pisang
Ambon lebih banyak yaitu 73.50 ± 2.12 dibandingkan dengan kelompok kontrol positif
yang memilki neokapiler sebanyak 61.00 ± 4.24 dan kelompok kontrol negatif yang
memiliki neokapiler sebanyak 43.00 ± 8.49 ( Tabel 21). Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dapat mempercepat pembentukan
neokapiler di daerah luka.
Jumlah yang tertinggi dari semua kelompok dapat terlihat pada hari ke-5 dimana
pada hari ke-5 ini neokapiler memberikan nutrisi yang maksimal bagi jaringan yang
tengah beregenerasi. Mulai hari ke-14 sampai dengan hari ke-21, ketiga kelompok
mengalami penurunan jumlah neokapiler dimana hal ini menunjukkan bahwa reaksi
peradangan mulai menghilang. Menurut Vegad (1995) penurunan jumlah neokapiler ini
dikarenakan adanya penyesuaian dari kebutuhan nutrisi pada jaringan yang semakin
berkurang sehingga akan menurunkan jumlah vaskular dan reaksi edema pun akan
mulai menghilang.

43
4.10.7 Fibroblas (Jaringan Ikat)
Fibroblas merupakan sel pada jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses
persembuhan luka. Fibroblas mampu membentuk matriks ekstraseluler yang
menunjang regenerasi sel-sel pada daerah luka dan menunjang keberadaan pembuluh
kapiler baru pada proses granulasi jaringan. Fibroblas akan mengalami beberapa
perubahan fenotip dan menjadi myofibroblas yang berfungsi untuk retraksi luka
(Kalangi 2004).
Tabel 22 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada ketiga kelompok di daerah luka
dengan pewarnaan MT dan pembesaran 400 X.

Ha Kontrol negatif Kontrol positif Gel ekstrak batang


ri (Gel Placebo) (Gel komersil) pisang ambon
ke-
3 Kepadatan serabut kolagen Kepadatan serabut kolagen pada Kepadatan serabut kolagen
pada daerah luka rendah. daerah luka sedang. pada daerah luka sedang.
Jaringan ikat sedikit dan tidak Kepadatan jaringan ikat sedikit Kepadatan jaringan ikat
kompak. dan tidak mengumpul. sedikit dan tidak mengumpul.

7 Kepadatan serabut Kepadatan serabut kolagen Kepadatan serabut


kolagen pada daerah luka pada daerah luka rapat. kolagen pada daerah luka
rapat. Jaringan ikat padat Jaringan ikat padat tetapi rapat. Jaringan ikat padat
tetapi masih ada rongga. masih ada rongga. tetapi masih ada rongga.

44
14 Kepadatan serabut Kepadatan serabut kolagen Kepadatan serabut
kolagen pada daerah luka pada daerah luka sangat kolagen pada daerah luka
rapat. Jaringan ikat padat rapat. Jaringan ikat padat sangat rapat. Jaringan
tetapi masih ada rongga. dan kompak. ikat padat dan kompak.

21 Kepadatan serabut Kepadatan serabut kolagen Kepadatan serabut


kolagen pada daerah luka pada daerah luka sangat kolagen pada daerah luka
sangat rapat. Jaringan rapat. Jaringan ikat padat sangat rapat. Jaringan
ikat padat dan kompak dan kompak ikat padat dan kompak

Pada hari ke-3 kepadatan serabut kolagen pada kelompok ekstrak batang pohon
pisang Ambon menunjukkan hasil yang berbeda dengan kelompok lainnya (Tabel 22).
Peningkatan jumlah fibroblas ini terus berlangsung sampai dengan hari ke-21.
Kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon menunjukkan hasil yang lebih banyak
daripada kelompok gel komersil dan kelompok kontrol. Pada hari ke-14, kepadatan
fibroblas pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon tidak berbeda dengan
kelompok gel komersil yang sudah sempurna, namun keduanya berbeda dengan
kelompok kontrol yang kepadatannya padat meski masih ada rongga (Tabel 22), hal ini
menunjukkan bahwa proses re-epitelisasi lebih cepat pada kelompok ekstrak batang

45
pohon pisang Ambon yang mengindikasikan proses penutupan luka yang lebih cepat
dibandingkan kelompok lainnya. Pada hari ke-21 semua kelompok mengalami
kepadatan fibroblas yang sudah sempurna.
Kepadatan jaringan ikat yang lebih padat pada kelompok ekstrak batang pohon
pisang Ambon menunjukkan bahwa pengecilan besar luka lebih cepat terjadi pada
kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon, ini dikarenakan semakin banyaknya
jaringan ikat pada luka maka semakin besar daya kontraksi luka sehingga sisi luka akan
tertarik dan menyebabkan besar luka menjadi mengecil.

46
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon memiliki aktivitas mempercepat
proses persembuhan luka, mempercepat proses neokapilerisasi,
mempengaruhi sel radang, mempercepat re-epitelisasi, dan meningkatkan
pembentukan jaringan ikat pada kulit.
2. Sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dapat digunakan sebagai
obat topikal untuk persembuhan luka.
3. Pemberian sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon menunjukkan adanya
efek kosmetik dengan menghilangnya bekas luka secara makroskopis.
4. Sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon masih tetap stabil sampai
minggu ke-8 terutama pada suhu 27 0C.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian bentuk sediaan topikal lainnya seperti salep atau
cream yang mengandung ekstrak batang pohon pisang Ambon untuk
persembuhan luka.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai reformulasi sediaan gel
ekstrak batang pisang Ambon yang memberikan kestabilan dan ketahananan
terhadap sediaan tersebut.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menganai efek persembuhan luka dari
tanaman lain yang bersifat anti jamur, analgesik, yang digabungkan dengan
tanaman pisang Ambon.
4. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai aktivitas sediaan topikal ekstrak
batang pisang Ambon untuk luka infeksi dan luka pada hewan yang diabetes.

47
VI. DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. Lembaga Biologi Nasional – LIPI. 1977. Buah-buahan. Proyek


Sumberdaya Ekonomi Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Bogor.
_________. 2005. www. Magnet. Fsu. Edu/phytochemicals/pages/saponin.htm. [10
Januari 2007].
Ansel,1989. Pengantar Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
Anonim.2003 Apoptosis in Skin Wound Healing.
http://www.medscape.com/viewarticle/457929_6. html [12 Maret 2007].
Aliambar SH. 1996. Pedoman Kuliah Ilmu Bedah Umum. Bogor: Bagian Klinik
Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Block HL. Medicated Applications. Dalam : Gennaro RA, ed. Remington
Pharmaceutical Sciences, 18 th ed. Easton, Pennsylvania : Mack Publishing
Company, 1990; 1596-608
Djulkarnain HB.1998. Pohon Obat Keluarga.Intisari.Jakarta
Dharmajono. 2002. Kaoita Selekta Kedokteran (Hewan Kecil) 2. Jakarta: Pustaka
Populer Obor.
Ernawati A, Purwito A, Suketi K. 1994. Studi Perbanyakan Cepat Pisang Rajabulu,
Pisang Ambon Kuning dan Pisang Barangan dengan Teknik Kultur Jaringan
Tanaman. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor.
Guyton AC, JE Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I,
editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah MD,
editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Handayani I. 2006. Aktivitas Sediaan Gel dari Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Barbadensis
Miller) untuk Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus) [Skripsi].
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Jones, T.J, R.D. Hunt and N.W. King. 1996. Veterinary Pathology. 6 th. Ed.
Williams and Wilkins.

48
Kalangi SJR. 2004. Peran Kolagen pada Persembuhan Luka. http://www.dexa-
medica.com/test/htdocs/dexamedica/article_files/kolagen.pdf. html [15 Desember
2006]
Lachman,L.,H.A.Lieberman,J.L.Kanig.1989.Teori dan Praktek Farmasi Industri.UI
Press.Jakarta
Lewis, G.P. 1986. Mediator of Inflamation. Wright, Bristol.
Maiwahyudi. 1999. Aktivitas getah batang pohon pisang (Musa acuminata) dalam
mempercepat proses persembuhan luka pada mencit (Mus musculus). Skripsi S-1.
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB.
Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Ed ke-5. Mathilda B, Widianto, Ranti AS; editor.
Bandung: Penerbit ITB.
Mayasari NLPI. 2003. Kajian Patologi Khasiat Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera)
dalam Proses Persembuhan Luka Kulit pada Mencit (Mus musculus albinus)
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Morsy, E. M. 1991. The Final Technical Report on: Aloe Vera Stabilization and
Processing for The Cosmetic, Bevearage and Food Industries (5rd ed). CITA
International, USA.
Muchtadi, T. R. 1997. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Oktaviyanti, D. 2004. Kajian Penggunaan Gel Lidah Buaya (Aloe Vera) pada
Pembuatan Hand and Body Cream [Tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Olivia F., Syamsir A., Iwan H. 2004. Seluk Beluk Food Supplement. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Priosoeryanto BP, Huminto H, Wientarsih I, Estuningsih S. 2006. Aktivitas Getah
Batang Pohon Pisang dalam Proses Persembuhan Luka dan Efek Kosmetiknya pada
Hewan. Lembaga Penelitian dan Pemberdayan Masyarakat. Institut Pertanian
Bogor.

49
Purwanto R, Sujiprihati S. 1985. Studi Pengaruh Jenis Bibit Serta Taraf Pemupukan
Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Pisang. Laporan Penelitian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rivai, M.A. 1996. Pohon Pisang Sebuah Tinjauan Etnobotani dalam Pohon Berguna
Indonesia. Perpustakaan LIPI. Jakarta.
Russell, A.D. 1984. The Revival of Injured Microbes. New York: Academica Press.
Thomson, AD. and RE. Cotton. 1997. Catatan Kuliah Pathology. Ed ke-3. Jakrta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rivai, M.A. 1976. Pendayagunaan Tanaman Pisang. Sebuah Tinjauan Etnobotani


dalam Tanaman Berguna Indonesia. Perpustakaan LIPI. Jakarta.
Rukmono. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Patologi Anatomik Fakultas
Kedokteran. Jakarta: Universitas Indonesia.
Radini T, 2003. Formulasi Masker Gel dari Lendir lidah buaya (Aloevera Linn) [Tesis]
Bandung: Jurusan Farmasi. Universitas Padjadjaran.
Sunarjono H. 2002. Budi Daya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Smith HA dan Jones TC. 1961. Veterinary Pathology. Philadelphia: Lea dan Febiger.
Slauson, D.O. and B.J. Cooper. 1990. Mechanisms of Disease : A textbook of
comparative general pathology. 2nd ed. Williams and Wilkins, Baltimore, USA.
Sonny JRK. 2004. Peran Kolagen pada Persembuhan Luka. Dexa Media 4:168-173.
Singer AJ, Clark RAF. 1999. Cutaneus Wound Healing. N England J Med. 341
(10):738-154.
Sjamsuhidajat R, W de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed Revisi. Jakrta:Penerbit
Buku Kedokteran.
Venheij, E.W.M. 1976. Buah-buahan dan buah geluk yang dapat dimakan.
Perpustakaan Botani. LIPI. Bogor.
Vegad JL. 1995. A Textbook of Veterinary General Pathology; Healing and Repair.
New Delhi: Vikas Publishing House Put. Ltd. Hlm. 134-153.

50
Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Wijayakusuma, H.1998.Pisang berkhasiat obat Indonesia, Manfaat dan Penggunannya
Rempah,rimpang,dan umbi.Milenia Populer,Jakarta

51

Anda mungkin juga menyukai