LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
SNAKE BITE
Disusun Oleh :
HERFIRA YULISNUR
NIM 2020207209209
SNAKE BITE
A. KONSEP DARI SNIKE BITE
1. Definisi
Gigitan ular (Snake bite) adalah suatu keadan yang disebabkan oleh gigitan ular
berbisa. Bisa ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek
fisiologik yang luas atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan,
terutama neurologik, kardiovaskuler, dan sistem pernapasan.
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat
menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil
racun bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada
hampir setiap organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat
farmakologis yang dapat meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan.
Komposisi racun tergantung dari bagaimana binatang menggunakan toksinnya.
Racun mulut bersifat ofensif yang bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering
kali mengandung faktor letal. Racun ekor bersifat defensive dan bertujuan
mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan merusak lebih sedikit
jaringan
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan
ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang
mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang
terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak
hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks,
terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
2. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae.
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan.
Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota
badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi
gigitan dalam waktu 8 jam.
Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a) Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic), Bisa ular yang bersifat
racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut
(hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan
timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut, hidung,
tenggorokan, dan lain-lain.
b) Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic), Yaitu bisa ular yang merusak dan
melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan
jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka
gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan
selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular
keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
c) Bisa ular yang bersifat Myotoksin, Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering
berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan
kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d) Bisa ular yang bersifat kardiotoksin, Merusak serat-serat otot jantung yang
menimbulkan kerusakan otot jantung.
e) Bisa ular yang bersifat cytotoksin, Dengan melepaskan histamin dan zat
vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f) Bisa ular yang bersifat cytolitik, Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan
nekrose di jaringan pada tempat gigitan.
3. Klasifikasi
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae,
Viperidae, dan Colubridae) (Warrell 2010):
a) Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini
meliputi kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut.
Elapidae secara relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki
warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala.
Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar
dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat
meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular
laut berbisa memiliki ekor yang lebar seperti padel dan skala ventral mengecil
atau hilang.
b) Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara
normal terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi
tegang. Ada dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit
(Crotalinae). Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi korban
berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata. Viperidae merupakan
ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada puncak
kepala dan pola warna yang khas pada permukaan dorsal tubuh.
c) Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis
triginus. Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah
dilaporkan menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.
4. Menifestasi Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena
darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa,
yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri),
pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot),
pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :
a) Gigitan Elapidae, Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular
anang, ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya: Semburan kobra pada
mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata,
bengkak di sekitar mulut. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang
rusak. 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul
paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara,
susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin,
muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi
dalam 24 jam.
b) Gigitan Viperidae/Crotalidae Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan
puspo, cirinya: Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam
berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam. Keracunan
berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam
atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c) Gigitan Hydropiidae Misalnya, ular laut, cirinya: Segera timbul sakit kepala,
lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah. Setelah 30 menit sampai beberapa
jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot
rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat
gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak, henti jantung.
d) Gigitan Crotalidae Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin. Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori:
a) Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan
rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan
dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan
jaringan sekitar sisi gigitan luka.
b) Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ
abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari
mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan
syok atau bahkan kematian.
c) Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara
dan bernafas, dan kesemutan.
d) Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang
mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
e) Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada
mata.
5. Patofisiologi
Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut
bersifat:
a) Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena
paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan,
kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun sampai dengan koma.
b) Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya
atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu
sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis:
luka bekas gigitan yang terus berdarah, haematom pada tiap suntikan IM,
hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal.
c) Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan
mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan
hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d) Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot
jantung.
e) Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
f) Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan
pada tempat patukan
g) Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system.
Seperti, sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan.
Pada gangguan sistem neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang
berhubungan dengan sistem pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada
saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernapas.
Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu kerja pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem pernapasan dapat mengakibatkan
syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang dapat mengakibatkan gagal
napas.
6. Pathways
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah
lengkap, penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN
dan elektrolit. Untuk gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas
sel darah merah, waktu pembekuan dan waktu retraksi bekuan.
8. Kompikasi
Komplikasi yang bisa timbul, antara lain:
a) Pada lokasi gigitan, kehilangan jaringan akibat nekrosis dan debridement atau
amputasi: ulserasi kronik, infeksi, osteomielitis atau artritis mengakibatkan
disabilitas fisik.
b) Gagal ginjal kronik dapat terjadi setelah nekrosis korteks bilateral dan
panhipopituarisme atau diabetes insipidus setelah gigitan viper
c) Defisit neurologis kronik pada pasien dengan perdarahan atau trombosis
intrakranial.
d) Morbiditas psikologis lanjut termasuk depresi, anxietas, maupun post traumatic
stress disorder (PTSD).
e) Disabilitas muskuloskeletal kronik terutama tungkai akibat bengkak, kehilangan
massa otot (muscle wasting), kekakuan sendi, berkurangnya kekuatan otot,
kehilangan keseimbangan, deformitas permanen, ulkus yang tidak sembuh, dan
amputasi tungkai.
9. Penatalaksanaan
4. Penatalaksanaan selanjutnya:
a) Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%.
b) IVFD RL 16-20 tpm.
c) Penisillin Prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore.
d) ATS profilaksis 1500 iu.
e) ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 – 40 menit.
f) Heparin 20.000 unit per 24 jam.
g) Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon
ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
h) Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi
berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV.
i) Kalau perlu dilakukan hemodialise.
j) Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen.
k) Observasi pasien minimal 1 x 24 jam
5. Pemberian ABU
Tabel. Pemberian ABU sesuai derajat parrish
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian keperawatan
a. Pengkajian Primer
1) Airways
Kaji apakah ada muntah, perdarahan.
2) Breathing
Kaji kemampuan bernafas akibat kelumpuhan otot-otot pernafasan.
3) Circulation
Nilai denyut nadi dan perdarahan pada bekas patukan, Hematuria,
Hematemesis /hemoptysis
b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data
pengkajian pasien, yaitu:
a) Aktivitas dan Istirahat
Gejala: Malaise.
b) Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama
hasil curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c) Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan,
menyangkal, menarik diri.
d) Eliminasi
Gejala: Diare.
e) Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot
(malnutrisi).
f) Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g) Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
h) Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama
sembuh.
i) Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j) Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat.
k) Penyuluhan
Gejala: Masalah kesehatan kronis/melemahkan, misal: hati, ginjal, sakit
jantung, kanker, DM, keadaan klien sudah membaik.
Daley eMedicine – Snakebite : Article by Brian James, MD, MBA, FACS, 2006
available at URL : http://www.emedicine.com/med/topic2143.htm
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2
nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka,
Trauma, Syok, Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta,
Mei 1997. Hal. 99-100. 2.