Anda di halaman 1dari 11

A.

      PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


1.        Pengertian dan Dasar PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 april 1985 untuk
menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8 tahun 1983. PPN
diatur dalam UU No 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, selanjutnya diubah dengan UU
No.11 tahun 1994, lalu diubah dengan UU No. 18 tahun 2000, terakhir diubah lagi dengan UU
No.42 tahun 2009.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah
Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi (Siti Resmi,
2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak yang
dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di
dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.
Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN,
kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang-barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang
disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan, dan
surat-surat berharga. Ada juga barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya
dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang
tertentunya.

2.        Objek PPN

a.       Penyerahan /impor/pemanfaatan/ekspor terhadap BKP /JKP/BKP tidak berwujud.


1)        Penyerahan BKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak maupun
pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak tetapi belum
dikukuhkan.
2)        Impor BKP. Pemungutan pajak saat impor BKP dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.

iii
3)        Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
4)        Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daearah pabean didalam daerah pabean.
5)        Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean (jasa konsultan asing yang memberikan jasa
manajemen, jasa teknik dan jasa lain) didalam daerah pabean.
6)        Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika yang melakukan
adalah pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP.
7)        Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP, pengusaha yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud
adalah hanya pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
8)        Ekspor JKP oleh PKP.
b.      Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
c.       Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual
belikan sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan menurut ketentuan dapat
dikreditkan.

3.        Bukan Objek PPN


a.         Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN:
1)        Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
2)        Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
3)        Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk
makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
4)        Uang, emas batangan, dan surat berharga.
b.         Jenis Jasa yang Tidak Dikenai PPN: Jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa
pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa
pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan
umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang
disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa
penyediaan tempat parker, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa
pengiriman uang dengan wesel pos dan jasa boga atau katering.

iv
4.        Subjek Pajak
Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN,
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

5.        Bukan Subjek Pajak


Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali pengusaha
kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 1 angka 15 UU
PPN).
6.        Tarif PPN
a.         Tarif PPN adalah 10%.
Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan
JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling
rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian
Indonesia, sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah
membutuhkan penerimaan pajak yang besar, sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.
b.         Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.

7.        Dasar Pengenaan PPN


a.         Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

v
b.         Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak,
atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang- Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau
nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
c.         Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak.
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea Masuk.
d.        Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
e.         Nilai Lain
Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dan
Peraturan Menteri Keuangan No.102/PMK.11/2011 tentang nilai lain sebagai DPP atas
pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, di dalam daerah  pabean
berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor.

B.       Faktur Pajak


1.        Pengertian
Menurut Siti Resmi (2012:52), faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
Faktur pajak merupakan bukti pemungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana
untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, faktur pajak harus benar, baik secara
formal maupun secara materiil.

vi
Faktur pajak wajib dibuat oleh pengusaha kena pajak untuk setiap :
a.         Saat penyerahan barang kena pajak.
b.        Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.
c.         Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
d.        Saat pengusaha kena pajak rekana menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah
sebagai Pemungut PPN.

2.        Persyaratan Faktur Pajak


a.         Nama, alamat, nomor pokok WP yang menyerahkan BKP atau JKP
b.        Nama, alamat, nomor pokok WP pembeli BKP atau penerima JKP
c.         Jenis barang atau jasa, jumlah HJ atau penggantian dan potongan harga
d.        PPN yang dipungut
e.         PPnBM yang dipungut
f.         Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak
g.        Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

3.        Fungsi Faktur Pajak


Adapun fungsi faktur pajak adalah :
a.         Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jendral Bea dan Cukai, baik
karena penyerahan BKP atau JKP maupun Impor BKP.
b.        Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli BKP atau penerima JKP
kepada PKP atau Direktorat Bea dan Cukai.
c.         Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban perpajakan.

C.      Perhitungan PPN


PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

Mekanisme Perhitungan PPN dapat diuraikan sebagai berikut :


a.         PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
vii
b.        Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak
yang sama.
c.         Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan.
d.        Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka
selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
e.         Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada
Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali
atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
f.         Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang
pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
g.        Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan
untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
h.        Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak
Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
i.          Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada
Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga)
bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh :
      PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak (BKP) dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang

viii
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh Pengusaha
Kena Pajak “A”.
      PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena (JKP) Pajak dengan memperoleh penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh Pengusaha
Kena Pajak “B”.

      Bapak andre saputra simanjuntak mempunyai perusahaan yang memproduksi bahan alkohol, dia
melakukan penjualan sebesar Rp. 120.000.000,- dengan PPN sebesar 15%
Perhitungan :
= Rp. 120.000.000,- x 15%
= Rp. 18.000.000,-
Jadi pajak PPN yang dipungut oleh perusahaan bapak andre adalah Rp. 18.000.000,-

D.      PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)


PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong mewah didalam
daerah pabean.

1.        Dasar Pengenaan PPnBM


a.         Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah
dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi.
b.         Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah.
c.         Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
d.        Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

ix
PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah.
BKP yang tergolong mewah adalah :
a.       Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c.       Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral serta mengganggu ketertiban masyarakat.

2.      Objek PPnBM


a.       Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
b.      Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

3.      Penetapan Tarif


a.    Tarif PPnBM dibedakan menjadi beberapa kelompok tarif yaitu tarif terendah sebesar 10% dan
tarif tertinggi sebesar 200%. Perbedaan tersebut didasarkan pada pengelompokkan BKP yang
tergolong mewah yang atas penyerahannya dikenakan juga PPnBM.
b.    Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 0% atas ekspor BKP yang tergolong mewah, karena diekspor
atau dikonsumsi di luar daerah Pabean.

E.       Pelaporan PPN dan PPnBM


1.        PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
2.        PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera
dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.

x
3.        PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a.         Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
b.         Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri
oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

F.       Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM


1.        PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai disampaikan.
2.        PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/disetor
sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3.        PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan
apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen Impor.
4.        PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a.         Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
b.         Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor, harus disetor
dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan PPN pajak.
PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi
sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.

G.      Sarana Pembayaran PPN dan PPnBM


1.        Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP)
yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia.

xi
2.        Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang disetorkan
telah sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang
dibuat oleh: Bank penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai penerima setoran.
Contoh Soal:
Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai
Impor sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain
dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tersebut adalah:
a.         Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00
b.        PPN = 10% xRp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
c.         PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00
Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP
yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh
karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka
PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh
PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga jual Rp.
150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
a.         Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00
b.        PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
c.         PPn BM = 35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00
PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi
PKP “D” dan PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”.
Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan
PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

xii
 

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) lebih
menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama
suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu
yang dikonsumsi.  Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen,
PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun
demikian, pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya
metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak
sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang
berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi
tidak mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.

B.       Saran
Berdasarkan uraian makalah perpajakan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ini diharapkan dapat mengaplikasikan teori yang
didapatkan dari materi ini.

xiii

Anda mungkin juga menyukai