FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2020 A. Sejarah Pendidikan Inklusif 1. Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia Sejarah perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak kebutuhan khusus dari segregatif ke intergratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ‘Education for All.’ Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi: a. Semua anak sebaiknya belajar bersama. b. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa. c. ABK diberi layanan khusus.
2. Sejarah Pendidikan Inklusif di Indonesia
Semenjak dikeluarkannya Undang-undang pendidikan nomor 12 tahun 1954 pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kelainan fisik dan mental sudah terjamin secara hukum. Jaminan itu diberikan dalam bentuk sekolah bagi anak-anak penyandang disabilitas yang diakomodir oleh berbagai macam sekolah luar biasa. SLB-A untuk Tuna netra, SLB-B bagi tuna rungu- wicara, SLB-C untuk tuna grahita, SLB-D untuk tuna daksa, SLB-E untuk tuna laras, SLB-G untuk tuna ganda. Jaminan pendidikan itu semakin menguat khususnya semenjak keluarnya program pemerintah tahun 1984 tentang program wajib belajar enam tahun. Imbas dari program tersebut menghendaki seluruh anak usia sekolah dasar wajib bersekolah dan menamatkan pendidikan minimal enam tahun. Berbagai program pendukungpun disusun, mulai dari pendirian sekolah baru, paket A, sekolah kecil hingga sekolah terbuka. Perubahan juga dirasakan oleh sekolah-sekolah luar biasa yang ada, dengan daya tampung yang terbatas maka pemerintah melebur SLB yang ada menjadi SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), SMPLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) dan SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar Biasa). Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
3. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB (Tarsidi, 2007). Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan telah bersekolah di sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) pada tahun 2017 merilis data bahwa dari 514 kabupaten/kota di seluruh tanah air, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Lebih lanjut disampaikan bahwa dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 18% yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Sekitar 115 ribu anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu. Untuk menjalankan amanah undang-undang pemerintah melakukan berbagai upaya agar penyelenggaraan Pendidikan Inklusif terus digalakkan di berbagai daerah di Indonesia termasuk dengan memberikan Piagam Penghargaan bagi Provinsi dan Kabupaten/kota yang mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara Pendidikan Inklusif. Diantara Provinsi yang telah mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara Pendidikan Inklusif diantaranya; (a) Pada tahun 2012 dimulai oleh Provinsi Kalimantan Selatan; (b) kemudian pada tahun 2013 dilanjutkan oleh Provinsi Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Pada tahun 2014 Provinsis Sulawesi Tenggara mendeklarasikan diri dengan disusul oleh Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Bali dan Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun 2015 hanya Provinsi Sumatera Utara yang tercatat mendeklarasikan diri. Baru pada tahun 2016 Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur menjadi Provinsi yang mendeklarasikan penyelenggara pendidikan inklusif. Kita bersyukur dengan provinsi-provinsi yang telah turut serta dalam mensukseskan program nasional ini untuk memberikan akses bagi anak-anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler dan bergaul dengan anak-anak normal lainnya. Tapi terkadang kita masih menyayangkan 21 provinsi yang “masih berfikir” untuk mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara pendidikan inklusif sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa kebutuhan anak berkebutuhan khusus sudah sangat mendesak. Dengan adanya Legal Standing dari masing-masing daerah, maka sekolah-sekolah yang ada di tingkat kabupaten/kota akan mendapatkan akses, fasilitas, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mensukseskan pendidikan inklusif itu sendiri. Walaupun seperti yang kita ketahui bahwa tidak 100% Provinsi-provinsi yang telah mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif diamini oleh daerah-daerah tingkat Kabupaten/Kota yang berada di bawah garis komando mereka dengan berbagai alasan termasuk alasan klasik yaitu Hak Otonomi Daerah maupun keterbatasan anggaran. Begitu pula dengan berbagai macam kendala sekolah di Kabupaten/Kota lain yang berada dibawah provinsi-provinsi yang belum mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif, sedangkan mereka telah menyelenggarakan pendidikan inklusif secara mandiri. B. Tujuan Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. 2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar. 3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah. 4. Menciptakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. UU No 23/2002 tentang perlindungan Anak, khususnya pasal 51 yang berbunyi anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksessibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. Sumber Rujukan
Hafiz, Abdul. 2017. “Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusif di