Anda di halaman 1dari 7

Resume Pertemuan 2 Pendidikan Inklusi

tentang

“ Sejarah dan Tujuan Pendidikan Inklusif ”

Oleh :

Elfia Fitri Indrianis


NIM : 18129056

Sesi: 18 BKT 09

Dosen Pembimbing:
Arisul Mahdi, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
A. Sejarah Pendidikan Inklusif
1. Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia
Sejarah perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan
diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di
Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan
pakar-pakar Pendidikan Luar biasa ke Scandinavia untuk mempelajari
mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk
diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991
mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai
adanya pergeseran model pendidikan untuk anak kebutuhan khusus dari
segregatif ke intergratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun
1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi ‘Education for All.’ Implikasi dari statement ini
mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali
(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan
secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994
diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang
mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan
“the Salamanca statement on inclusive education” yang berbunyi:
a. Semua anak sebaiknya belajar bersama.
b. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa.
c. ABK diberi layanan khusus.

2. Sejarah Pendidikan Inklusif di Indonesia


Semenjak dikeluarkannya Undang-undang pendidikan nomor 12 tahun
1954 pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kelainan fisik dan mental
sudah terjamin secara hukum. Jaminan itu diberikan dalam bentuk sekolah
bagi anak-anak penyandang disabilitas yang diakomodir oleh berbagai
macam sekolah luar biasa. SLB-A untuk Tuna netra, SLB-B bagi tuna rungu-
wicara, SLB-C untuk tuna grahita, SLB-D untuk tuna daksa, SLB-E untuk
tuna laras, SLB-G untuk tuna ganda. Jaminan pendidikan itu semakin
menguat khususnya semenjak keluarnya program pemerintah tahun 1984
tentang program wajib belajar enam tahun. Imbas dari program tersebut
menghendaki seluruh anak usia sekolah dasar wajib bersekolah dan
menamatkan pendidikan minimal enam tahun. Berbagai program
pendukungpun disusun, mulai dari pendirian sekolah baru, paket A, sekolah
kecil hingga sekolah terbuka. Perubahan juga dirasakan oleh sekolah-sekolah
luar biasa yang ada, dengan daya tampung yang terbatas maka pemerintah
melebur SLB yang ada menjadi SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), SMPLB
(Sekolah Menengah Luar Biasa) dan SMALB (Sekolah Menengah Atas Luar
Biasa).
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang
pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi
nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen
Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak
dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional
di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya
antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan
inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar
memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

3. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia


Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia
hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai
dengan berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung
masuk ke sekolah umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah.
Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan
beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Selanjutnya,
pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap
pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International,
Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi.
Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat
Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan
Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu
berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan,
terutama di jenjang SD. Pada akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi
untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara
Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway
dan Direktorat PLB (Tarsidi, 2007).
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan
pendidikan inklusif bagi penyandang cacar, pada tahun 2002 pemerintah
secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang
memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan
telah bersekolah di sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi
6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang
tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP,
dan 56 SLTA.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) pada tahun 2017
merilis data bahwa dari 514 kabupaten/kota di seluruh tanah air, masih
terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Lebih lanjut
disampaikan bahwa dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru
18% yang sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Sekitar 115 ribu
anak berkebutuhan khusus bersekolah di SLB, sedangkan ABK yang
bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar
299 ribu.
Untuk menjalankan amanah undang-undang pemerintah melakukan
berbagai upaya agar penyelenggaraan Pendidikan Inklusif terus digalakkan di
berbagai daerah di Indonesia termasuk dengan memberikan Piagam
Penghargaan bagi Provinsi dan Kabupaten/kota yang mendeklarasikan diri
menjadi penyelenggara Pendidikan Inklusif. Diantara Provinsi yang telah
mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara Pendidikan Inklusif diantaranya;
(a) Pada tahun 2012 dimulai oleh Provinsi Kalimantan Selatan; (b) kemudian
pada tahun 2013 dilanjutkan oleh Provinsi Aceh, Sumatra Selatan, Jawa
Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Pada tahun 2014 Provinsis
Sulawesi Tenggara mendeklarasikan diri dengan disusul oleh Provinsi
Sumatra Barat, Provinsi Bali dan Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun
2015 hanya Provinsi Sumatera Utara yang tercatat mendeklarasikan diri. Baru
pada tahun 2016 Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur menjadi Provinsi
yang mendeklarasikan penyelenggara pendidikan inklusif.
Kita bersyukur dengan provinsi-provinsi yang telah turut serta dalam
mensukseskan program nasional ini untuk memberikan akses bagi anak-anak
berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah reguler dan bergaul dengan
anak-anak normal lainnya. Tapi terkadang kita masih menyayangkan 21
provinsi yang “masih berfikir” untuk mendeklarasikan diri menjadi provinsi
penyelenggara pendidikan inklusif sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa
kebutuhan anak berkebutuhan khusus sudah sangat mendesak.
Dengan adanya Legal Standing dari masing-masing daerah, maka
sekolah-sekolah yang ada di tingkat kabupaten/kota akan mendapatkan akses,
fasilitas, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mensukseskan
pendidikan inklusif itu sendiri. Walaupun seperti yang kita ketahui bahwa
tidak 100% Provinsi-provinsi yang telah mendeklarasikan diri menjadi
provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif diamini oleh daerah-daerah
tingkat Kabupaten/Kota yang berada di bawah garis komando mereka dengan
berbagai alasan termasuk alasan klasik yaitu Hak Otonomi Daerah maupun
keterbatasan anggaran. Begitu pula dengan berbagai macam kendala sekolah
di Kabupaten/Kota lain yang berada dibawah provinsi-provinsi yang belum
mendeklarasikan diri menjadi provinsi penyelenggara Pendidikan Inklusif,
sedangkan mereka telah menyelenggarakan pendidikan inklusif secara
mandiri.
B. Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan sebagai
berikut:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak
termasuk anak berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang
layak sesuai dengan kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah
dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4. Menciptakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 31
ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”, dan ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. UU
no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5
ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. UU No 23/2002 tentang
perlindungan Anak, khususnya pasal 51 yang berbunyi anak yang
menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang
sama dan aksessibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan
pendidikan luar biasa.
Sumber Rujukan

Hafiz, Abdul. 2017. “Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusif di


Indonesia”. Jurnal As-Salam, Vol. 1 No. 3, (Online), (https://jurnal-
assalam.org, diakses 19 September 2020).

Herawati, Nenden Ineu. 2010. “Pendidikan Inklusif”. EduHumaniora, Vol. 2 No.


1, (Online), (https://ejournal.upi.edu, diakses 19 September 2020).

Saputra, Angga. 2016. “Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif”.


Golden Age Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No.
3, (Online), (https://ejournal.uin-suka.ac.id, diakses 20 September 2020).

Anda mungkin juga menyukai