Anda di halaman 1dari 23

ARTIKEL KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN
PENEGAKAN HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Di susun oleh:
NAMA : BAIQ FAJARLI APRIANI MUHARMI
NIM : E1S020015
FAKULTAS & PRODI : FKIP/PENDIDIKAN SOSIOLOGI
SEMESTER : 1 ( SATU )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas
selesainya tugas artikel keislaman. 
Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW atas di berikannya kemudahan serta kelancaran
dalam menyelesaikan tugas artikel keislaman ini.
 Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq
Ramdani, S.Th.I., M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah
Pendidkan Agama Islam prodi PENDIDIKAN SOSIOLOGI. 
 Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat serta
pengetahuan bagi teman teman sekalian.

Penyusun, Mataram 20 Oktober 2020

        

NAMA: BAIQ FAJARLI APRIANI MUHARMI


NIM: E1S020015

2
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER 1

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

I. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam 4

II. Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadits 8

III. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits 10

IV. Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits 13

V. Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan


Hukum 14

VI. DAFTAR PUSTAKA 22

LAMPIRAN 22

3
I. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN
DALAM ISLAM

Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan


pengkajian kembali dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan
mendapat perhatian dan pengkajian yang begitu intensif, sehingga mudah
didapat di tengah masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini
adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian
seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas
beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal
sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu
diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-
cabang keimanan.

Sesungguhnya amalan lahiriah berupa


ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan,
kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab
nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam
setiap gerak serta perilaku keseharian. Seorang muslim yang paripurna
adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan hatinya
tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah
dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih
dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat
kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang
membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan
membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu
eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang
menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang
benar dan lurus.

Akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat dan dalam


memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu
Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas
kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan
dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri.
Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang
dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar.
Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang
sedang berjalan.

 Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-


Qur’an dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau
dipentingkan manusia, misalnya dalam surat  al-Furqan ayat 43.

4
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya ?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun


untuk dirinya sendiri:

Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak


mengetahui Tuhan bagimu selain aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa


mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan
pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan
dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan
banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin.
Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh


manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai
olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di


dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu
yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya,
kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan
bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan
dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan
terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan


itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti
ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan.
Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu
yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau
angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan
kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”,

5
kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu
berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari segala macam
Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang
bernama Allah. 

 Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1.    Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah


konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman
lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun
pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi
sempurna.

2.    Pemikiran Umat Islam

      Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan.


Satu kelompok berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi
penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin
Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang
menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan
umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat
Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian
terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman
khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan
Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah
Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu
Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut
Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan
Ali.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan
politik menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa
(wazir) pada masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi
negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi
ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh.
Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi
Thalib.  Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa
darah harus dibalas dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi
di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara
dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua
kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi

6
kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk
memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah,
sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai
penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa
perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah
menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan
kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan
Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan
kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat
Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok
Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka


tidak segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu
sampai mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut Khawarij  semua pihak
yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali
dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang
pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap
tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum
berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para
pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َفأُولَ ِئ‬


َ ‫ك ُه ُم ْال َكافِر‬
‫ُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah (Al-Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

 Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun,


yaitu setiap yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi
dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun
(hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua
kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat
menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan
lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ِ ‫ون هَّللا ِ أَ ْندَا ًدا ُي ِحبُّو َن ُه ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ ‫اس َمنْ َي َّتخ ُِذ مِنْ ُد‬
ِ ‫َوم َِن ال َّن‬

7
 Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai
tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana
mencintai Allah.

 PANDANGAN AL GHAZALI TENTANG KONSEP


KETUHANAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, maka ada keinginan untuk


mencari, menyembah, dan beribadah kepadaNya agar dapat meraih
kebahagiaan, yaitu baik kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali adalah
seorang filosof dan sufi dalam dunia islam. Dikenal sebagai seorang
pemikir Islam yang produktif. Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad, dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M
di Ghazaleh, kota kecil di Thus (daerah khurasan) Iran, atau Meshed. Al-
Ghazali diberi gelar Al Juwaini yaitu Bahrun Muhriq artinya laut yang
dalam. Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filosof besar dalam dunia
Islam, karena dalam buku Tahafut al Falasifah tidak mau menerima aliran-
aliran filsafat dan kepada setiap orang yang tidak yakin terhadap
kebenaran Islam.

 Perspektif Al Ghazali tentang Konsep Ketuhanan


Al-Ghazali mengatakan bahwa eksistensi Tuhan adalah sebagai Wajibul
Wujud yang tidak membutuhkan sesuatu apapun, maka ia adalah Zat
Tuhan, yaitu Zat ghair mutahajis artinya tidak memerlukan sesuatupun
dalam eksistensi-Nya.
Sumber pengetahuan tentang Tuhan adalah melalui kalbu dengan cara
pemecahandalam wujud cahaya. Al-Ghazali memberikan penjelasan
bahwa keraguan yang bersifat filosofis dapat mengantarkan pengetahuan
indrawi. Pegetahuan tersebut adalah pengetahuan intuitif  yang didapat
seseorang melalui akal sehat dengan cara ilmiah, maka tidak ada
keraguan sedikitpun.
 
 
 
II. SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL QUR’AN
Dalam Al-Qur’an surat Al ‘Alaq ayat 1-5, Tuhan telah mengisyaratkan agar
manusia mau belajar mengusai ilmu pengetahuan. Perintah Tuhan ini
dalam firman-Nya berbunyi :
“bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah mencipatakan.
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhamnulah
Yang Maha Pemurah. Yang mengajari manusia dengan perantaraan
kalam. Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya.”
Apa yang harus dibaca? Yang harus dibaca adalah alam semesta yang
diciptakan Tuhan ini yang banyak mengandung ilmu pengetahuan. Tuhan
sengaja menciptakan alam semesta ini agar dipelajari oleh manusia

8
sebagai suatu ilmu pengetahuan. Tuhan juga memberikan ilmu
pengetahuan kepada manusia sejak awal penciptaan manusia sebagai
pembeda dengan makhluk lainnya. Hal ini dapat dilihat pada surat Al
Baqarah ayat 31-33.
Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa Tuhan mengajari (memberi)
suatu ilmu kepada manusia yang tidak diberikannya kepada malaikat.
Tuhan mengetahui segala yang terlahir maupun yang tersembunyi (di
dalam hati) dan ilmu Tuhan sangat luas, meliputi segala rahasia yang ada
dilangit dan di bumi. Ilmu yang diberikan Tuhan kepada manusia hanya
sebagian kecil saja dari seluruh ilmu Tuhan, seperti yg tercermin dalam
firman Allah :
“............dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”(QS. Al
Israa’, 17:85)
Jadi, dalam Al-Qur’an selain beribadah Tuhan juga menyuruh kita untuk
mebaca dan belajar atau mencari ilmu. Ilmu akan membawa manusia
kepada pengakuan akan kebesaran Allah SWT dan hanya orang-orang
berilmu sajalah yang mudah menerima kenyataan akan kebesaran Allah
SWT tersebut.
Lalu bagaimana hubungan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi? Hubungan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
kaitannya sangat erat. Ilmu-ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an ada yang
langsung mudah dipahami karena tersurat langsung pada ayat-ayatnya,
namun ada pula ilmu-ilmu yang dimaksud harus direnungkan terlebih
dahulu, perlu pemikiran lebih lanjut karena hanya tersirat pada ayat-
ayatnya.
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an selalu merangsang akal manusia untuk berpikir
lebih lanjut tentang isi ayat-ayatnya yang banyak menyangkut tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ayat-ayat Al-Qur’an juga tidak ada yang
menghambat kemauan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan
sebaliknya Al-Qur’an selalu menantang manusia untuk menggunakan
akalnya agar mendapatkan pelajaran dari ayat-ayatnya, contoh dalam
Surat Ar Rahman, 55:33 :
“Hai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
kecuali dengan kekuatan.”
Ayat diatas mengandung isyarat bahwa manusia harus mempunyai
kekuatan untuk mengalahkan gaya tarik bumi, mana kala manusia ingin
menembus penjuru langit meninggalkan bumi. Kekuatan apa yang
dimaksud ini? Untuk manusia yang hidup pada zaman maju sekarang ini,
tentulah tidak sulit untuk mengatakan bahwa kekuatan yang dimaksudkan
adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang peroketan
yang dapat mengantarkan manusia ke luar angkasa. Seperti contohnya
pesawat luar angkasa Apollo 11 milik Amerika Serikat dan Soyuz milik
Rusia yang dapat mengalahkan gaya tarik bumi dengan dorongan roket.
Contoh ayat lainnya adalah dalam surat Al Anbiyaa’, 21:80 yang
berbunyi :

9
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi (perisai) untuk
kamu, guna memelihara kamu dalam pepranganmu. Maka hendaklah
kamu bersyukur (kepada Allah).”
Ayat diatas menyiratkan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi
tentang bagaimana mengerjakan logam (besi)  agar bisa dibuat baju besi
(perisai) sehingga pemakainya tahan terhadap sebetan pedang dan juga
tidak tembus panah. Pada saat ini juga telah dibuat baju (rompi) tahan
peluru yang diakai pejabat negara dan petugas keamanan demi
keselamatan dari tembakan. Ternyata dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang
juga mengisyaratkannya, dapat dibaca pada surat Al Hadid, 57:25.
Masih banyak lagi pembahasan mengenai ilmu pengetahuan dan ilmu
teknologi dlam Al-Qur’an yang pada zaman ini telah ditemukan dan
dimanfaatkan. Karena tidak ada satu kitab pun di dunia ini yang lengkap
dan sempurna seperti halnya kitab Al-Qur’an.

III. GENERASI TERBAIK MENURUT AL HADITS

TIGA GENERASI TERBAIK YANG MENJADI PANUTAN


Ada 3 generasi terbaik yang menjadi panutan bagi kaum muslimin. Tiga
generasi itu adalah:
Para Sahabat Nabi : murid Nabi Muhammad shollallahu alaihi
wasallam.
1. Tabiin : murid para Sahabat Nabi. Satu orang yang termasuk
kelompok Tabiin disebut tabi’i.
2. Atbaaut Taabiin : murid para Tabiin. Satu orang yang termasuk
kelompok atbaaut Tabiin disebut Tabiut Tabiin.
- Sahabat Nabi adalah seorang yang pernah bertemu dengan Nabi dalam
keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman. Sedangkan
- Taabi’in adalah orang-orang yang pernah bertemu dengan paling tidak
seorang Sahabat Nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam
keadaan beriman.
- Para atbaaut Taabiin adalah orang-orang yang pernah bertemu dengan
paling tidak satu orang Tabiin dalam keadaan beriman dan meninggal
dalam keadaan beriman.
 
Tentunya para Tabiin dan atbaut Tabiin yang dimaksud adalah orang-
orang yang mengikuti para Sahabat Nabi dengan baik. Bukannya orang-
orang yang terjerumus dalam kebid’ahan-kebid’ahan macam maulid nabi
dan kesesatan lainnya.
 
PERIODE TIGA GENERASI TERSEBUT
- Masa Nabi dan para Sahabatnya : sejak Nabi diutus hingga 110 Hijriyah.
Sahabat Nabi yang terakhir meninggal dunia adalah Abut Thufail Aamir
bin Waatsilah al-Laitsy (wafat 110 Hijriyah).

10
- Masa Taabiin : hingga 181 H (wafatnya Taabiin terakhir: Kholf bin
Kholiifah)
‫قال البلقيني أول التابعين موتا ابو زيد معمر بن زيد قتل بخراسان وقيل بأذربيجان سنة ثالثين وآخرهم‬
)243-2( ‫موتا خلف بن خليفة سنة ثمانين ومائة (تدريب الراوي‬
al-Bulqiiniy menyatakan: Tabiin pertama yang meninggal dunia adalah
Abu Zaid Ma’mar bin Zaid yang terbunuh di Khurosan, dan ada yang
mengatakan: (meninggal) di Azerbaijan pada tahun 30 H. Sedangkan
Taabiin yang paling akhir meninggal dunia adalah Kholf bin Kholiifah pada
tahun 180 H (Tadriibur roowiy karya as-Suyuthiy (2/234)).
- Masa atbaaut Taabi’iin : hingga 220 H.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany menyatakan:
‫واتفقوا على أن آخر من كان من أتباع التابعين ممن يقبل قوله من عاش إلى حدود العشرين ومئتين‬
Para Ulama sepakat bahwa akhir Atbaaut Tabiin yang bisa diterima
ucapannya adalah yang masa kehidupannya hingga batasan tahun 220
(Hiriyah)(Fathul Baari karya Ibnu Hajar al-Asqolaany (7/6). 
 
 Catatan: penjelasan di atas hanyalah tentang periode pada tiap
generasi dengan menyebutkan akhir kematian orang-orang yang
berada di generasi tersebut. Namun, untuk menentukan apakah
seseorang yang hidup di masa itu masuk di generasi tertentu, harus
dilihat apakah ia pernah bertemu dengan orang pada generasi
tertentu.
 
Sebagai contoh, seorang yang hidup di masa Sahabat Nabi, belum tentu
ia adalah Sahabat Nabi, jika sepanjang hidupnya ia belum pernah
bertemu dengan Nabi. Seperti Uwais bin ‘Aamir al-Qoroniy yang tidak
pernah bertemu dengan Nabi sepanjang hidupnya. Beliau hanya bertemu
dengan beberapa Sahabat Nabi, di antaranya Umar bin al-Khotthob. Maka
Uwais al-Qoroniy dimasukkan dalam kategori tabiin, sebagaimana Nabi
dalam salah satu haditsnya menyatakan bahwa beliau adalah sebaik-baik
Tabiin. Beliau dikabarkan hilang saat perang Shiffin ikut bersama pasukan
Ali bin Abi Tholib, sekitar tahun 37 Hijriyah. Dari masa kehidupannya,
beliau sebenarnya masuk dalam periode kehidupan para Sahabat Nabi,
namun karena beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi shollalahu alaihi
wasallam, maka beliau bukanlah disebut Sahabat Nabi.
 
 
 
KEUTAMAAN TIGA GENERASI TERSEBUT
‫ط ْو َبى لَ ُه ْم‬ُ ‫ط ْو َبى لِ َمنْ َرأَى َمنْ َرآنِي َولِ َمنْ َرأَى َمنْ َرأَى َمنْ َرآنِي َوأَ َم َن ِبي‬
ُ ‫ط ْو َبى ِل َمنْ َرآنِي َوآ َم َن ِبي َو‬
ُ
ٍ ‫َوحُسْ َن َمآ‬
‫ب‬
Beruntunglah bagi orang melihatku dan beriman kepadaku, dan
beruntunglah bagi orang yang melihat orang yang melihatku dan orang
yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku dan beriman
kepadaku. Beruntung bagi mereka dan tempat kembali yang baik (H.R
atThobarony dishahihkan Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’)

11
, ‫ َما دَا َم فِي ُك ْم َمنْ َرأَى َمنْ َرآنِي‬, ‫ون ِب َخي ٍْر‬ َ ُ‫هللا الَ َت َزال‬ِ ‫ َو‬, ‫اح َبنِي‬ َ ‫ص‬ َ ‫ون ِب َخي ٍْر َما دَا َم فِي ُك ْم َمنْ َرآنِي َو‬ َ ُ‫الَ َت َزال‬
ْ‫ب َمن‬ َ ‫اح‬ َ ‫ص‬ َ َ
َ ‫ َو‬, ‫ َما دَا َم فِي ُك ْم َمنْ َرأى َمنْ َرأى َمنْ َرآنِي‬, ‫ون ِب َخي ٍْر‬ َ ُ‫هللا الَ َت َزال‬ ِ ‫ َو‬, ‫اح َبنِي‬ َ ‫ص‬َ ْ‫ب َمن‬ َ ‫اح‬َ ‫ص‬َ ‫َو‬
‫اح َبنِي‬ َ ‫ص‬ َ ْ‫ب َمن‬ َ ‫اح‬ َ ‫ص‬ َ
Kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang
melihatku dan menjadi sahabatku. Demi Allah kalian senantiasa dalam
kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihat orang yang
melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabatku. Demi Allah, kalian
senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang
melihat orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat
dari Sahabat para Sahabatku (H.R Ibnu Abi Syaibah dan al-Hafidz Ibnu
Hajar menyatakan sanadnya hasan dalam Fathul Bari).
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف ُي َقا ُل َن َع ْم َف ُي ْف َت ُح َعلَ ْي ِه ُث َّم‬ َ ْ‫اس َف ُي َقا ُل فِي ُك ْم َمن‬ ْ
َ َّ‫ِب ال َّن ِبي‬ َ ‫صح‬ ِ ‫َيأتِي َز َمانٌ َي ْغ ُزو فِ َئا ٌم م َِن ال َّن‬
ْ ُ
‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف ُي َقا ُل َن َع ْم َف ُي ْف َت ُح ث َّم َيأتِي َز َمانٌ َف ُي َقا ُل‬‫هَّللا‬ َ ِّ‫اب ال َّن ِبي‬
َ ‫ِب أصْ َح‬ َ َ ‫صح‬ َ ْ‫َيأْتِي َز َمانٌ َف ُي َقا ُل فِي ُك ْم َمن‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف ُي َقا ُل َن َع ْم َف ُي ْف َت ُح‬ َ ِّ‫ب ال َّن ِبي‬ ِ ‫ِب أَصْ َحا‬ َ ‫صاح‬
َ ‫ِب‬ َ ‫صح‬ َ ْ‫فِي ُك ْم َمن‬
Akan datang suatu zaman ketika sekelompok manusia berperang.
Dikatakan kepada mereka: Apakah ada di antara kalian yang merupakan
Sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam? Dikatakan: Ya. Maka diberikan
kemenangan kepada mereka. Kemudian datang suatu zaman, yang
ditanyakan: Apakah ada yang menjadi Sahabat bagi para Sahabat Nabi
shollallahu alaihi wasallam? Dikatakan: Ya. Maka diberikan kemenangan
untuk mereka. Kemudian datang suatu zaman, dikatakan: Apakah ada di
antara kalian orang menjadi Sahabat dari Sahabat bagi para Sahabat
Nabi. Dikatakan: Ya. Maka diberikan kemenangan kepada mereka (H.R
al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudry)
‫ِين َيلُو َن ُه ْم ُث َّم َي ِجي ُء َق ْو ٌم َتسْ ِب ُق َش َها َدةُ أَ َح ِد ِه ْم َيمِي َن ُه َو َيمِي ُن ُه َش َهادَ َت ُه‬ َ ‫ِين َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬
َ ‫اس َقرْ نِي ُث َّم الَّذ‬ِ ‫َخ ْي ُر ال َّن‬
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (Nabi dan para Sahabatnya)
kemudian yang setelahnya (tabiin) kemudian yang setelahnya (Atbaut
Tabiin) kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannya
mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya
(orang-orang yang banyak berdusta dan tidak bisa dipercaya) (H.R al-
Bukhari dan Muslim)
 
 
 
Contoh-contoh Manusia yang Termasuk Tiga Generasi Tersebut
- Para Sahabat Nabi seperti: Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-
Khoththob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah bin al-Yaman, Muadz bin Jabal,
Abu Dzar al-Ghiffary, Abud Darda’, Anas bin Malik, Aisyah bintu Abi Bakr
ash-Shiddiq, Abu Hurairah, dan masih banyak lagi yang lain.
- Para Tabiin, di antaranya: Uwais al-Qorony, Said bin al-Musayyib,
Mujahid, Qotadah, al-Hasan al-Bashri, Abul ‘Aaliyah, Abu Qilabah, Said
bin Jubair, dan masih banyak lagi yang lain.
- Para atbaut Tabiin, di antaranya: Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsaury,
Sufyan bin Uyainah, al-Auza’i, Abdullah bin al-Mubarok (Ibnul Mubarok)
dan masih banyak lagi yang lain.

12
Ketiga generasi inilah sebagai teladan dan panutan bagi umat Islam
setelahnya dalam menjalankan Dien ini. Mereka juga disebut sebagai para
pendahulu yang sholih atau Salafus Sholih (disingkat salafi), atau kadang
disebut juga dengan para Ulama Salaf. Mengikuti manhaj mereka dalam
memahami dan mengamalkan Dien ini berarti mengikuti manhaj Salaf.
 
 
IV. PENGERTIAN SALAF

Salaf (bahasa Arab: ‫السلف الصلح‬ Salaf aṣ-Ṣālih) adalah tiga


generasi Muslim awal yaitu para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
Kemudian istilah salaf ini dijadikan sebagai salah satu manhaj (metode)
dalam agama Islam, yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa
adanya tambahan dan pengurangan, yaitu Salafiyah. Seseorang yang
mengikuti tiga generasi tersebut di atas, ini disebut Salafy (as-Salafy),
jamaknya adalah Salafiyyun (as-Salafiyyun). Di dalam manhaj salaf
dikenal pendapat dari beberapa Mujtahid yang biasa disebut Madzhab,
seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, dan lain-
lain. Kemudian para salafy beranggapan bahwa, jika seseorang
melakukan suatu ibadah tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-
Nya, bisa dikatakan sebagai perbuatan bid'ah.

 Arti salaf menurut bahasa 


Salafa Yaslufu Salfan artinya madli (telah berlalu). Dari arti tersebut kita
dapati kalimat Al Qoum As Sallaaf yaitu orang – orang yang
terdahulu. Salafur Rajuli artinya bapak moyangnya. Bentuk
jamaknya Aslaaf dan Sullaaf.
Dari sini pula kalimat As Sulfah artinya makanan yang didahulukan oleh
seorang sebelum ghadza` (makan siang). As salaf juga, yang
mendahuluimu dari kalangan bapak moyangmu serta kerabatmu yang
usia dan kedudukannya di atas kamu. Bentuk tunggalnya adalah Saalif.
Firman allah Ta’ala:
Yang artinya: kami jadikan mereka sebagai orang–orang yang
terdahulu agar orang–orang yang datang belakangan mengambil
pelajaran dengan (keadaan) mereka. Sedangkan arti Ummamus
Saalifah adalah ummat yang telah berlalu. Berdasarkan hal ini, maka kata
salaf menunjukan kepada sesuatu yang mendahului kamu, sedangkan
kamu juga berada di atas jalan yang di dahuluinya dalam keadaan
jejaknya.
 
 Arti salaf menurut istilah 
Allah telah menyediakan bagi ummat ini satu rujukan utama di mana
mereka kembali dan menjadikan pedoman. Firman allah Ta’la:

13
Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) allah dan
(kedatangan) hari kiamat. (Al-Ahzab: 21). 

Allah juga menerangkan bahwa ummat ini mempunyai generasi


pendahulu yang telah lebih dahulu sampai kepada hidayah dan
bimbingan. Allah berfirman:

Orang – orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di


antara orang-orang muhajirin dan anshar mengikuti mereka dengan baik
allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada allah. (At-Taubah
100). 

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata:


 di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal
Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi
waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq
dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-
an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut
pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan
berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-
Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup
pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

V. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN


PENEGAKAN HUKUM

 AJARAN TENTANG BERBAGI DALAM ISLAM


Saudaraku … Perlu engkau tahu bahwa kesuksesan, begitu pula harta
yang Allah anugerahkan itu semua hanyalah titipan dari-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,

‫ِين آَ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوأَ ْن َفقُوا لَ ُه ْم أَجْ ٌر َك ِبي ٌر‬ َ ‫آَ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوأَ ْنفِقُوا ِممَّا َج َعلَ ُك ْم مُسْ َت ْخلَف‬
َ ‫ِين فِي ِه َفالَّذ‬

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah


sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid:
7)

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa harta hanyalah titipan Allah karena
Allah Ta’ala firmankah (yang artinya), “Hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya.” Hakikatnya, harta tersebut adalah milik

14
Allah. Allah Ta’ala yang beri kekuasaan pada makhluk untuk menguasai
dan memanfaatkannya.

Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa


pada hakekatnya harta itu milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa
melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan harta
pada jalan Allah, maka itu sama halnya dengan seseorang yang
mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya. Dari situ, ia akan
mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak. ”

Al Qurtubhi rahimahullah sekali lagi mengatakan, “Hal ini menunjukkan


bahwa harta kalian pada hakikatnya bukanlah milik kalian. Kalian
hanyalah bertindak sebagai wakil atau pengganti dari pemilik harta yang
sebenarnya. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan yang ada
dengan sebaik-baiknya untuk memanfaatkan harta tersebut di jalan yang
benar sebelum harta tersebut hilang dan berpindah pada orang-orang
setelah kalian. ”[1]

Kisah Motivasi dari Abud Dahdaa

Setelah kita tahu pasti bahwa harta ini hanyalah titipan ilahi dan kita
diperintahkan untuk memanfaatkannya dalam kebaikan dan bukan di jalan
yang keliru, maka sudah sepatutnya kita mengetahui manfaat dari berinfak
di jalan Allah. Satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita semua adalah
kisah sahabat Abud Dahdaa radhiyallahu ‘anhu.

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa tatkala turun


firman Allah Ta’ala,

‫َمنْ َذا الَّذِي ُي ْق ِرضُ هَّللا َ َقرْ ضًا َح َس ًنا َفيُضَاعِ َف ُه لَ ُه َولَ ُه أَجْ ٌر َك ِري ٌم‬

“Barangsiapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang


baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya
dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al Hadid: 11); Abud
Dahdaa Al Anshori mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah Allah
menginginkan pinjaman dari kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Betul, wahai Abud Dahdaa.” Kemudian Abud Dahdaa
pun berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyodorkan tangannya.
Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah memberi pinjaman pada
Rabbku kebunku ini. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma.”

Ummud Dahda, istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya ketika itu
berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan berkata, “Wahai
Ummud Dahdaa!” “Iya,” jawab istrinya. Abud Dahdaa mengatakan,

15
“Keluarlah dari kebun ini. Aku baru saja memberi pinjaman kebun ini pada
Rabbku.”
Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab, “Engkau telah beruntung
dengan penjualanmu, wahai Abud Dahdaa.” Ummu Dahda pun pergi dari
kebun tadi, begitu pula anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun terkagum dengan Abud Dahdaa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas mengatakan, “Begitu banyak tandan anggur dan harum-
haruman untuk Abud Dahdaa di surga.” Dalam lafazh yang lain
disebutkan, “Begitu banyak pohon kurma untuk Abu Dahdaa di surga.
Akar dari tanaman tersebut adalah mutiara dan yaqut (sejenis batu
mulia).”[2]

Lihatlah saudaraku! Bagaimanakah balasan untuk orang yang


menginvestasikan hartanya di jalan Allah. Lihatlah Abud
Dahdaa radhiyallahu ‘anhu, di saat Allah melimpahkan padanya nikmat
harta yang begitu melimpah, ia pun tidak melupakan Sang Pemberi
Nikmat. Bagaimanakah dengan kita?

Tidak Perlu Khawatir Harta Berkurang

Jika seseorang mengerti dan pahami, investasi dan infak di jalan Allah
sama sekali tidaklah mengurangi harta. Cobalah renungkan baik-baik
firman Allah Ta’ala,

َ
‫ِين‬ ِ َّ‫َو َما أ ْن َف ْق ُت ْم مِنْ َشيْ ٍء َفه َُو ي ُْخلِفُ ُه َوه َُو َخ ْي ُر الر‬
َ ‫ازق‬

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan
menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS.
Saba’: 39). Lihatlah bagaimanakah penjelasan yang amat menarik dari
Ibnu Katsir rahimahullah mengenai ayat ini. Beliau mengatakan, “Selama
engkau menginfakkan sebagian hartamu pada jalan yang Allah
perintahkan dan jalan yang dibolehkan, maka Allah-lah yang akan
memberi ganti pada kalian di dunia, juga akan memberi ganti berupa
pahala dan balasan di akhirat kelak.”[3]

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga


disebutkan,

ِ‫اآلخ ُر اللَّ ُه َّم أَعْ ط‬


َ ‫ َو َيقُو ُل‬، ‫ان َي ْن ِزالَ ِن َف َيقُو ُل أَ َح ُد ُه َما اللَّ ُه َّم أَعْ طِ ُم ْنفِ ًقا َخلَ ًفا‬
ِ ‫َما مِنْ َي ْو ٍم يُصْ ِب ُح ْال ِع َبا ُد فِي ِه إِالَّ َملَ َك‬
ً‫ُم ْمسِ ًكا َتلَفا‬

“Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya kecuali
akan turun (datang) dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berkata;
“Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya”,
sedangkan yang satunya lagi berkata; “Ya Allah berikanlah kehancuran

16
(kebinasaan) kepada orang yang menahan hartanya (bakhil).” (HR.
Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyemangati sahabat Bilal bin


Robbah radhiyallahu ‘anhu untuk berinfak dan beliau katakan jangan
khawatir miskin. Beliau bersabda,

ً‫ش إِ ْقالَال‬ َ ‫أَ ْنف ِْق ِبالَل ! َو الَ َت ْخ‬


ِ ْ‫ش مِنْ ذِيْ ال َعر‬

“Berinfaklah wahai Bilal! Janganlah takut hartamu itu berkurang karena


ada Allah yang memiliki ‘Arsy (Yang Maha Mencukupi).” (HR. Al Bazzar
dan Ath Thobroni dalam Al Kabir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Shahihul Jaami’ no. 1512)

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan sendiri bahwa


harta tidaklah mungkin berkurang dengan sedekah. Beliau bersabda,

ٍ ‫ص َد َق ٌة مِنْ َم‬
‫ال‬ ْ ‫ص‬
َ ‫ت‬ َ ‫َما َن َق‬

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558, dari Abu
Hurairah)

Makna hadits di atas sebagaimana dijelaskan oleh Yahya bin Syarf An


Nawawi rahimahullah ada dua penafsiran: [1] Harta tersebut akan
diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya.
Kekurangan harta tersebut akan ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa
dirasakan secara inderawi dan lama-kelamaan terbiasa merasakannya. [2]
Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan
tadi akan ditutup dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah
dengan kelipatan yang amat banyak.[4]

Enggan Berinfak, Barokah Harta Bisa Hilang

Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda padaku,

ِ‫الَ ُتوكِي َفيُوكى َعلَيْك‬

“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa mensedekahkannya). Jika


tidak, maka Allah akan menahan rizki untukmu.” Dalam riwayat lain
disebutkan,

َ ‫ أَ ْو ا ْن‬، ‫أنفقي أَ ِو ا ْن َفحِي‬


ِ‫ َوالَ ُتوعي َفيُوعي هللاُ َعلَيْك‬، ِ‫ َوالَ ُتحصي َفيُحْ صِ ي هللاُ َعلَيْك‬، ‫ضحِي‬

17
“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya
(menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan
menghilangkan barokah rizki tersebut[5]. Janganlah menghalangi
anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah
dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari no. 1433 dan Muslim no. 1029,
88)

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Janganlah engkau menyimpan-


nyimpan harta tanpa mensedekahkannya (menzakatkannya). Janganlah
engkau enggan bersedekah (membayar zakat) karena takut hartamu
berkurang. Jika seperti ini, Allah akan menahan rizki untukmu
sebagaimana Allah menahan rizki untuk para peminta-minta.”[6]

Dalam kesempatan lain, Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan,


“Sedekah (zakat) itu dapat mengembangkan harta. Maksudnya adalah
sedekah merupakan sebab semakin berkah dan bertambahnya harta.
Barangsiapa yang memiliki keluasan harta, namun enggan untuk
bersedekah (mengeluarkan zakat), Allah akan menahan rizki darinya.
Allah akan menghalangi keberkahan hartanya. Allah pun akan menahan
perkembangan hartanya.”[7]

Balasan Di Akhirat Begitu Luar Biasa

Allah Ta’ala berfirman,

ْ ‫يل هَّللا ِ َك َم َث ِل َح َّب ٍة أَ ْن َب َت‬


ُ‫ت َسب َْع َس َن ِاب َل فِي ُك ِّل ُس ْن ُبلَ ٍة ِم َئ ُة َح َّب ٍة َوهَّللا ُ يُضَاعِ ف‬ ِ ‫ون أَ ْم َوالَ ُه ْم فِي َس ِب‬ َ ‫َم َث ُل الَّذ‬
َ ُ‫ِين ُي ْنفِق‬
‫هَّللا‬
‫لِ َمنْ َي َشا ُء َو ُ َواسِ ٌع َعلِي ٌم‬

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini sangat


memotivasi hati untuk gemar berinfak. Ayat ini merupakan isyarat bahwa
setiap amal sholih yang dilakukan akan diiming-imingi pahala yang
berlimpah bagi pelakunya. Sebagaimana Allah mengiming-imingi tanaman
bagi siapa yang menanamnya di tanah yang baik (subur). Terdapat dalam
hadits bahwa setiap kebaikan akan dilipatgandakan hingga 700 kali lipat”.
[8] Inilah permisalan yang Allah gambarkan yang menunjukkan berlipat
gandanya pahala orang yang berinfak di jalan Allah dengan selalu selalu
mengharap ridho-Nya.

Jangan Lupakan Kewajiban Terhadap Harta

18
Setelah kita mengetahui keutamaan menginfakkan harta di jalan yang
benar, lalu di manakah kita mesti salurkan harta tersebut?

Pertama, tentu saja harta tersebut digunakan untuk memberi nafkah yang
wajib kepada keluarga dan ini diberikan sesuai kemampuan serta
mencukupi istri dan anak-anaknya. Allah Ta’ala berfirman,

ُ ‫لِ ُي ْنف ِْق ُذو َس َع ٍة مِنْ َس َع ِت ِه َو َمنْ قُد َِر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُ ُه َف ْل ُي ْنف ِْق ِممَّا آَ َتاهُ هَّللا ُ اَل ُي َكلِّفُ هَّللا ُ َن ْفسً ا إِاَّل َما آَ َتا َها َس َيجْ َع ُل هَّللا‬
‫َبعْ َد عُسْ ٍر يُسْ رً ا‬

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut


kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)

Perlu juga diketahui bahwa mencari nafkah bisa menuai pahala jika si
pencari nafkah (suami) mengharap ridho Allah ketika mencarinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ك‬ َ ْ‫ك لَنْ ُت ْنف َِق َن َف َق ًة َت ْب َتغِى ِب َها َوجْ َه هَّللا ِ إِالَّ أ ُ ِجر‬
َ ‫ َح َّتى َما َتجْ َع ُل فِى فِى ا ْم َرأَ ِت‬، ‫ت َعلَ ْي َها‬ َ ‫إِ َّن‬

“Tidaklah nafkah yang engkau cari untuk mengharapkan wajah Allah


kecuali engkau akan diberi balasan karenanya, sampai apa yang engkau
masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no. 56)

Setelah itu jika ada kelebihan harta jangan lupakan untuk menyalurkan
harta tersebut pada sedekah yang wajib yaitu zakat yang diserahkan pada
orang yang berhak menerima. Ini dilakukan jika memang telah memenuhi
nishob (ukuran minimal zakat) dan telah sampai satu haul (satu tahun).
Kewajiban ini jangan sampai dilupakan oleh orang yang punya kelebihan
harta. Kewajiban ini tentu saja lebih didahulukan dari infak lainnya yang
hukumnya di bawah wajib. Dengan membayar zakat inilah sebab
datangnya banyak kebaikan. Sebaliknya, enggan membayar zakat akan
datang berbagai musibah dan hilangnya berbagai keberkahan. Salah satu
buktinya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ َولَ ْوال ْال َب َها ِئ ُم لَ ْم ُي ْم َطرُوا‬, ‫لَ ْم َيمْ َنعْ َق ْو ٌم َز َكا َة أَ ْم َوال ِِه ْم إِال ُم ِنعُوا ْال َق ْط َر م َِن ال َّس َما ِء‬.

“Jika suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka,


maka mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya
bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi
hujan.” (HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir (13619). Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami no. 5204)

19
Setelah kewajiban di atas, perbanyaklah berinfak dan bersedekah di jalan-
jalan kebaikan lainnya.  Dengan ini semua akan membuat harta akan
selalu lebih berkah di puncak kesuksesan.

Semoga Allah selalu memberi taufik kepada kita untuk menyalurkan harta
kita di jalan yang diperintahkan dan jalan yang halal. Semoga Allah
senantiasa memberi keberkahan.

Panggang-GK, 29 Jumadil Awwal 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Majalah Pengusaha Muslim edisi Juni 2010, dipublish ulang


oleh www.rumaysho.com

[1] Tafsir Al Qurthubi (Jaami’ Li Ahkamil Qur’an), Muhammad bin Ahmad


Al Anshori Al Qurthubi, 17/238, Mawqi’ Ya’sub.

[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Tafsir surat Al Hadiid ayat 11,
13/414-415, Muassasah Qurthubah. Riwayat ini adalah riwayat yang
shahih. Dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dalam Muntakhob dan Ibnu
Hibban dalam Mawarid Zhoma’an. Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Syaikh
Musthofa Al ‘Adawi, 4/377, Darul Fawaid – Dar Ibnu Rojab, cetakan
pertama, tahun 1427 H.

[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/293.

[4] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/141, Dar Ihya’ At Turots Al


‘Arobi, cetakan kedua, 1392.

[5] Lihat tafsiran hadits ini sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hafizh


Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, 3/300,
Darul Ma’rifah, 1379.

[6] Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Baththol, 4/435-436, Maktabah Ar


Rusyd, cetakan kedua, tahun 1423 H.

20
[7] Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/436.

[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2/457

 PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM

Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002) adalah suatu


penegasan, ada undang-undang yang disebut Sunnatullah yang nyata-
nyata berlaku dalam kehidupan manusia pada umumnya. Perikehidupan
manusia hanya dapat berkembang maju dalam berjama’ah (Society). 
Man is born as a social being. Hidup perorangan dan hidup
bermasyarakat berjalin, yang satu bergantung pada yang lain. Kita mahluk
sosial harus berhadapan dengan berbagai macam persoalan hidup, dari
persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara,
berantara negara, berantar agama dan sebagainya, semuanya
problematika hidup duniawi yang bidangnya amat luas. Maka risalah
Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah yang memberi ketentuan-
ketentuan pokok guna memecahkan persoalan-persoalan. 
Kestabilan Hidup bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan lanjut M.
Natsir. Tiap-tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian
masyarakat, maka bisa merusak kestabilan secara keseluruhan.
Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa diawali
dengan kedaulatan hukum yang ditegakkan. Semua anggota masyarakat
berkedudukan sama di hadapan hukum. Jadi di hadapan hukum
semuanya sama, mulai dari masyarakat yang paling lemah sampai
pimpinan tertinggi dalam Negara. 
“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan
kamu tidak berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat
mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS.5:8). 
“Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang menjalankan hukum
atasmu seseorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama
dijalankannya hukum Allah Swt”. (H.R.Buchori dari Anas).

VI. DAFTAR PUSTAKA

https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03

21
core.ac.uk
 https://umma.id/article/share/id/1002/272772
https://muslim.or.id/2406-inilah-generasi-terbaik-dalam-sejarah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Salaf
https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-
jamaah.html
https://rumaysho.com/1020-jangan-lupa-untuk-saling-berbagi.html

www.jurnalfai-uikabogor.org  
https://republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/11/25/oh6pth313-
4-pesan-rasulullah-untuk-penegak-hukum

 
 
 

LAMPIRAN
Penegakan supremasi hukum adalah keniscayaan. Tegaknya supremasi
hukum akan melahirkan suatu kepastian. Kepastian tentang yang benar
(al-haq) dan mana yang salah (al-bathil).

Dari penglihatan sehari-hari, sering kali kita menyaksikan keadilan masih


lebih berpihak kepada orang berduit, sehingga muncul istilah yang
dipelesetkan, kasih uang habis perkara, atau istilah wani piro.

Dalam masalah hukum, rakyat kecil sering kali terpinggirkan. Persoalan


sederhana ditangani secara berlebihan. Persoalan yang seharusnya
diselesaikan menurut ukurannya, malah menjadi lebar dan luas hanya
karena tidak mampu menempatkan persoalan secara proporsional.

Keadilan menuntut kejujuran dan objektivitas, artinya tidak berpihak


kecuali kepada kebenaran dan rasa keadilan itu sendiri. Berkaitan dengan
penegakan hukum, Rasulullah SAW berpesan secara khusus
kepada penegak hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik
dan benar.

Pertama, memutuskan perkara secara adil. Rasulullah SAW bersabda,


"Barang siapa yang menjadi hakim lalu menghukumi dengan adil, niscaya
ia akan dijauhkan dari keburukan." (HR Tirmidzi).

Kedua, tipologi hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Hakim itu ada tiga, dua
di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak

22
benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia masuk neraka.
Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka
ia masuk neraka. Dan, seorang hakim yang menghukumi dengan benar
maka ia masuk surga." (HR Tirmidzi).

Ketiga, tidak meminta jabatan hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Barang


siapa mengharap menjadi seorang hakim maka (tugas dan tanggung
jawab) akan dibebankan kepada dirinya. Dan barang siapa tidak
menginginkannya maka Allah akan menurunkan malaikat untuk menolong
dan membimbingnya dalam kebenaran." (HR Tirmidzi).

Keempat, jangan silau menjadi hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Barang


siapa yang diberi jabatan hakim atau diberi kewenangan untuk
memutuskan suatu hukum di antara manusia, sungguh ia telah dibunuh
tanpa menggunakan pisau." (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu, kita sangat menaruh hormat kepada setiap aparat
penegak hukum yang masih tegar dan setia membela kebenaran dan
keadilan. Wallahu a'lam.
 

23

Anda mungkin juga menyukai