Anda di halaman 1dari 24

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH(REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Rizkika Dwi Cahyani


NIM : C1G020227
Fakultas&Prodi : Pertanian & agribisnis
Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati
indahnya alam ciptaan-Nya.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang
sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Terimakasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,


S.Th.I.,M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang
telah membimbing saya menambah pengetahuan tentang agama islam.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi pembaca.Semoga dari
artikel sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat
menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada
artikel-artikel selanjutnya.

Penyusun, Mataram 24 oktober 2020

Nama : Rizkika Dwi Cahyani


NIM : C1G020227

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Tauhid: Keistimewaan & Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam 1
BAB II.Sains danTeknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits 5
BAB III. 3 GenerasiTerbaik Menurut Al-Hadits 8
BAB IV.Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits) 12
BAB V. Ajaran danTuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta
Keadilan Hukum dalam Islam 15
DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB 1

TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM


ISLAM

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia.
Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-
Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif
(hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ً ‫ُون هَّللا ِ أَ ْن‬


ِ ‫دَادا ُي ِحبُّو َن ُه ْم َكحُبِّ هَّللا‬ ِ ‫اس َمنْ َي َّتخ ُِذ مِنْ د‬
ِ ‫َوم َِن ال َّن‬

 “Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan
terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.”

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan
yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun
sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-
Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan
masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha
besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut
timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad?
Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah
mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang
dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak
demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ ‫مْس َو ْال َق َم َر لَ َي ُقولُنَّ هَّللا ُ َفأ َ َّنى ي ُْؤ َف ُك‬


‫ون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش‬ ِ ‫َولَئِنْ َسأ َ ْل َت ُه ْم َمنْ َخلَقَ ال َّس َم َوا‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan
kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti
konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu
Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta,
melainkan juga pengatur alam semesta.

1
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika
Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagaiajaran serta Rasullullah sebagai
Uswah hasanah.

Dekonstruksi Teori Ketuhanan

1. Inti Program /Doktrin (Konsep Tauhid) Allah itu Esa


2. Lingkaran Pelindung Ayat Alqur‟an
3. Hadist-hadist
4. Teori Kausalitas
5. Teori Mungkin dan Mustakhil
6. Teori Fitrah
7. Teori relasi-dealektif.

Program pengembangan dekontruksi ketuhanan

1. Konsep Tauhid
Tauhid sebagai suatu pengetahuan kesaksian, keimanan, dan keyakinan
terhadap keesaan Allah dengan segala kesempurnaan-Nya. Konsep tauhid karena
membahas ke Esaan Allah Swt, didalamnya dikaji yakni tentang asma (nama-nama)
dan af‟al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustakhil dan ja‟iz.14 Berdasar Al-
Qur‟an, keesaan Allah itu meliputi tiga hal, yaitu esa zat-Nya, tidak ada Tuhan lebih
dari satu dan tidak ada sekutu bagi Allah; esa af’al-Nya, tidak ada seorang pun yang
dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh Allah.

2. Lingkaran Pelindung yaitu; Ayat Alqur‟an


Pernyataan yang terpenting dlam alqur‟an adalah ke Esaan Allah yang mutlak.
Allah memerintahkan segala sesuatu, baik yang besar maupun yang kecil. Alam
semesta adalah rencana yang tunggal yang diciptakan oleh pengetahuannya dan
kebijaksanaan dari pencipta dan penggerak yang tunggal.15 Tuhan Yang maha Esa,
dengan demikian akan sealalu menumbuhkan, mengembangkan, mendidik,
memelihara, menanggung, memperbaiki, mengumpulkan, mempersiapkan, memimpin,
mengepalai, dan menyelesaikan. Dalam kaitannya dengan pembahasan ke Esaan
dalam Alqur‟an dapat dijelaskan bahwa yaitu zat yang menghidupkan dan mematikan.

3. Hadist-hadist
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,‟Orang beriman itu
bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan
sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR.
Thabrani dan Daruquthni)

2
4. Teori Kausalitas (sebab Akibat)
Tuhan semata mata yang azali, sedang yang lainnya adalah baru dan dijadikan
olehNya. Oleh karena itu, maka Tuhan adalah Zdat pencipta yang sebenarnya dan
pergantian generasi merupakan penciptaan yang murni, dalam penciptaan tersebut
Tuhan menjadikan tiap-tiap satunya dari tiada dengan secara langsung.

5. Teori Mungkin dan Mustakhil


Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya (Wajibul ul wujud li
Ghairihi) seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekirannya tidak ada
matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak berwujud.
Kalau ia tidak ada maka yang lainnyapun tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab
yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinmakan Tuhan
(Allah).17 Menurut Osman Raliby, kemahaesaan Allah adalah: Allah Maha Esa dalam
zat-Nya. KemahaEsaan Allah dalam zat-Nya dapat dirumuskan dengan kata-kata
bahwa zat Allah tidak sama dan tidak dapat disamakan dengan apapun juga. Zat Allah
tidak akan mati, tetapi akan kekal dan abadi. Allah juga bersifat wajibul wujud, artinya
hanya Allah yang abadi dan kekal wujud-Nya. Selain Allah, semuanya bersifat
mumkinul wujud, artinya boleh ada dan boleh tidak ada.

6. Teori Fitrah
Manusia merupakan mahluknya paling sempurna dan sebaik-baiknya ciptaan
yang dilengkapi dengan akal fikiran. Ibn „Arabi Dalam hal ini misalnya melukiskan
hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tak ada mahluk Allah yang lebih bagus
daripada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara,
melihat, mendengar, berfikir dan memutuskan. Harmonisasi kedua aspek tersebut
dengan berbagai potensi yang dimilikinya menghantarkan manusia sebagai mahluk
Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki deferensiasi. Dengan demikian
bahwa secara fitrah manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan, jadi manusia itu berasal
dan datang dari Tuhan.

7. Teori relasi-dealektif.
Visi filosofi dan antropologis yang dinukilkan Allah dalam al-Qur‟an yang telah
menduduki manusia dalam semesta ini ke dalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai
khalifa dan ‘abd. Pandangan kategorikal demikian tidak mengisyaratkan suatu
pengertian yang bercorak dualisme-dikotomik, tetapi menjelaskan muatan fungsional
yang harus diemban manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam
kehidupannya di muka bumi. Dengan konsep khalifah, tidak di maksudkan untuk
mempertentangkannya dengan konsep ‘abd, melainkan keduanya harus diletakan
sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya memiliki relasi
dialektik yang akan mengantarkan manusia kepad puncak eksistensi kemanusiaannya.

Proses perkembangan pemikiran tentang tuhan menurut evolusionisme adalah;


Dinamisme, Animisme, Politeisme, Henotoisme, Monoteisme. Tanda-tanda orang
beriman adalah; jika disebut nama tuhan bergetar hatinya, senantiasa tawakkal, tertib
dalam melaksanakan shalat, menafkahkan rezeki yang diterimanya, 28 menghindari
perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan, memelihara amanah dan

3
menepati janji, serta berjihad dijalan Allah. Seseorang dinyatakan iman bukan hanya
percaya terhadap segala seseuatu sesuai dengan keyakinan. Karena itu iman bukan
hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri seeorang
yang dibuktikan dalam perbuatannya. Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok
dalam agama Islam. Ia merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu
tindakan atau amal. Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan muslim
tergantung pada akidahnya. Apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu yang
dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah seseorang muslim atau amal saleh.
Apabila tidak berakidah maka segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun
perbuatan yang dilakukan bernilai dalam pendengaran manusia. Akidah Islam atau
Iman mengikat seeorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala aturan hukum
yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti meyakini dan
melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya
didasarkan pada ajaran Islam.

4
BAB 2

SAINS & TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an

Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu
sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang
alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara
rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang
diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang
diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis
(Baiquni, 1995: 58-60). Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-
tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu,secara obyektif, al-Qur’an bukanlah
ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara
gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup
banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan
(wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses
investigasi (penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut
Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam
Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan
wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya
(Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda
kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa
manusia lebih dekat kepada Tuhannya. Pandangan al-Qur’an tentang sains dan
teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah
meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti
tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi
ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan
dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-
kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; al-Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-
Anbiya’: 30), membaca (al-‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am:
97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang
menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-
Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar:
18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3). Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang
sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima
Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang

5
Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia
apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)

KAEDAH-KAEDAH PENTING DALAM MEMAHAMI I`JAZUL ILMI PADA HADITS


NABI

Ada beberapa ketentuan dan kaedah yang perlu diketahui dalam menganalisa
i`jazul ilmi yang terdapat dalam hadits Nabi. Ketentuan tersebut adalah sebagai
berikut: Pertama, Pada dasarnya Haidts- hadits i`jazul ilmi semuanya adalah wahyu
kecuali apabila ada penjelasan dari Nabi bahwa itu semata asumsi dan fikiran beliau.
Ketentuan ini sungguh sangat sejalan dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT
dalam surat An-Najm yang berbunyi:
َ ‫ إِنْ ه َُو إِاَّل َوحْ ىٌ ي‬3‫َو َما يَنطِ ُق َع ِن ْٱل َه َو ٰى‬
‫ُوح ٰى‬

Artinya: “Tidaklah dia bertutur berdasarkan keinginan hawa nafsunya, akan tetapi
merupakan wahyu yang diberikan” (QS. An- Najm: 3-4)
Oleh karena itu temuan ilmiah atau hasil riset ilmu pengetahuan yang sejalan
dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah sebuah kewajaran yang
harus membuat kita semakin yakin dan tunduk kepada apa yang disampaikan oleh
Nabi tersebut, yang ternyata bukanlah semata-mata buah fikirannya, akantetapi
merupakan wahyu yang berikan kepada beliau. Namun demikian hal ini masih
memberikan peluang adanya sesuatu yang datang dari Nabi yang semata-mata
pandangan dan buah fikirannya, yang mungkin saja tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah. Hal ini dinyatakan secara terangterangan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah
haditsnya yang berbunyi:
‫ "إنما أنا بشر إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوا به وإذا أمرتكم بشيء من رأيي فإنما أنا‬:‫قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم‬
)‫بشر" (رواه مسلم‬
Artinya: sesungguhnya saya adalah manusia biasa, jika saya memerintahkan kalian
untuk sesuatu yang berkaitan dangan agama kalian maka ambil dan laksanakanlah,
dan apabila jika saya menyuruh kalian untuk sesuatu yang berasal dari pandangan dan
pendapat pribadi saya maka sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa (yang
mungkin salah dan mungkin juga benar) (HR. Muslim dalam Shoheh Muslim, Bab:
wujub imtitsali ma qaalau syar`an, duna ma zakarahu min ma`ayisyddunya `ala
sabilirra`yi, vol. 7, hal. 95, nomor: 6276) Contoh yang sering diangkat dalam masalah
ini adalah di bidang pertanian, di mana Nabi SAW melarang untuk mencangkok korma
agar buahnya lebih lebat, namun yang terjadi adalah kebalikannya, dimana usulan
Nabi tersebut membuat kurma tidak berbuah sesuai dengan yang diinginkan. Lalu
menungkapkan kata-katanya sebaai berikut:
)‫ ولكن إذا حدثتكم عن اهللا شيئا فخذوا به فإني لم أكذب على اهللا (رواه مسلم‬،‫فإني إنما ظننت ظنا وال تؤاخذوني بالظن‬

Artinya: "sesungguhnya itu hanya dugaan saya saja dan jangan salahkan saya atas
dugaan saya tersebut, akan tetapi apabila saya sampaikan sesuatu yang datang dari
Allah maka ambillah, karena saya tidak pernah berbohong atas nama Allah". (HR.
Muslim hadits nomor 6275) Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa apabila
didapat hadits-hadits i`jazl ilmi yang dapat dipastikan keshohihannya serta tidak ada
penjelasan dari Nabi bahwa itu adalah pendapat dan anggapannya, maka dapat
dipastikan bahwa itu adalah wahyu yang datang dari Allah SWTyang mengandung

6
dimensi tasyri`. Oleh karena itulah Ibnu Taimiah menyatakan dalam sebuah
ungkapannya: “bahwa sesuatu yang diucapkan Nabi setelah beliau diangkat menjadi
Rasul dan ditetapkannya serta belum pernah di nasakh (hapus) maka itu adalah tasyri`
(memiliki dimensi hukum) Kedua, Hadits-hadits i`jazul ilmi yang sudah dapat dipastikan
kebenarannya harus diimani dan diamalkan tanpa perlu pembuktian kebenarannya
melalui riset ilmiah (Lihat: Al-I`jaz Al-Ilmi fi As-Sunnah An-Nabawiyah ta`rifuhu wa
Qawa`iduhu, Muhammad Umar bin Salim Bazemoul, hal. 35.) Kaedah ini menegaskan
bahwa benarnya sebuah hadits Nabi khususnya yang berkaitan dengan i`jaz ilmi
tidaklah di tentukan oleh sesuai atau tidaknya dengan penemuan ilmiah atau dengan
perkembangan dan kemajuan ilmu pada masa modern ini, sebab perkembangan ilmu
pengetahuan dan hasil-hasil riset ilmu itu sendiri sangat relatif, bahkn bisa berubah-
ubah dari waktu ke waktu. Bahkan juga ada di antara hadits nabi yang maknanya
mungkin saja belum terjangkau oleh akal manusia, maka sikap seorang muslim adalah
meyakini dan membenarkannya apabila hadits tersebut memang dapat diakui
keshohehannya. Jika ada keserasian dan relevansinya antara hadits dengan
penemuan ilmu pengetahuan maka jadikanlah sebagai cara untuk memperkuat
kebenaran hadits tersebut, bukan semata-mata untuk membuktikan kebenarannya.

7
BAB 3

3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya,
lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini. Dari
Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫َخي َْر أُ َّمتِـي َقرْ نِي ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬
‫ِين‬
‫َيلُو َن ُه ْم‬

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah


mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-
Bukhari, no. 3650).

Inilah beberapa generasi terbaik yang beliau sebutkan dalam hadits tersebut :

1. Sahabat

Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam secara langsung serta membantu perjuangan beliau. Menurut Imam
Ahmad, siapa saja diantara orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah, baik
sebulan, sepekan, sehari atau bahkan cuma sesaat maka ia dikatakan sebagai
sahabat. Derajatnya masing-masing ditentukan dengan seberapa lama ia menyertai
Rasulullah.

Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang terbaik adalah para Khulafaur
Rasyidin, kemudian 10 orang sahabat yang namanya disebutkan oleh Rasulullah yang
mendapatkan jaminan surga.

GENERASI SAHABAT
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq (wafat 13 H)
2. ‘Umar bin Khothob (wafat 23 H)
3. ‘Utsman bin ‘Affan (wafat 34 H)
4. ‘Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H)
5. Tholhah bin ‘Ubaidillah (wafat 36 H)
6. Zubair bin Awwam (wafat 36 H)
7. ‘Abdurrahman bun ‘Auf (wafat 36 H)
8. Sa’ad bin Abi Waqqosh (wafat 55 H)
9. Sa’ad bin Zaid (wafat 55/51 H)
10. Abu ‘Ubaidah ibnul Jarroh (wafat 18 H)
11. Abdullah bin Umar
12. Abu Dzar Al-Ghiffari
13. Abu Hurairah

8
14. Abu Thufail al-Laitsi
15. Abu Ubaidah bin al-Jarrah
16. Ali bin Abi Talib
17. Amru bin Ash
18. Bilal bin Rabah
19. Hakim bin Hazm
20. Hamzah bin Abdul Muthalib
21. Imran bin Hushain
22. Khalid bin Walid
23. Mua'dz bin Jabal
24. Mua'wiyah bin Abu Sufyan
25. Mus'ab bin Umair
26. Salman al-Farisi
27. Sa'ad bin 'Ubadah
28. Thalhah bin Ubaidillah
29. Zaid bin Khattab
30. Umar bin Khattab
31. Usamah bin Zaid bin Haritsah
32. Usman bin Affan
33. Wahsyi bin Harb

2. Tabi’in

Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau
setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta melihat
para sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari
para sahabat Rasulullah.

Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi
tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan secara
langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk mencari
Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang memiliki doa
yang diijabah oleh Allah.

Adapun diantara orang-orang yang tergolong generasi tabi’in lainnya yakni Umar bin
Abdul Aziz, Urwah bin Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein, Muhammad bin Al
Hanafiyah, Hasan Al Bashri dan yang lainnya.
Berikut ini nama-nama tabiin yang telah ditulis kisah hidupnya oleh para ulama:

Tabiin Tokoh Zuhud

1. Ar Rabi’ bin Khutsaim


2. Amir bin Abdullah At Tamimi

9
3. Uwais bin Amir Al Qarani
4. Harim bin Hayyan
5. Masruq bin Al Ajda’
6. Al Aswad bin Yazid
7. Abu Muslim Al Khaulani
8. Hasan Al Bashri
9. Amir bin Syarahil

Tabiin Ahli Pedang dan Pena

1. Sa’id bin Jubair


2. Umar bin Abdul Aziz
3. Rabi’atur Ra’yi
4. Salamah bin Dinar
5. Muhammad bin Wasi’ Al Azdi
6. Thawus bin Kaisan
7. Shilah bin Asyyam Al Adawi
8. Salim bin Abdullah bin Umar
9. Rafi’ bin Mihram

Tabiin Ahli Qiraat

1. Nafi’ Al Madani
2. Abdullah bin Katsir
3. Abdullah bin Amir
4. Abu Amr bin Al ‘Ala’
5. Ashim bin Abu An Najud
6. Hamzah bin Habib Az Zayyat
7. Al Kisa’i

Tabi’iyat (Tabiin Wanita)

1. Abdah binti Abi Syawal


2. Abdah binti Ahmad
3. Aisyah binti Sa’ad
4. Aisyah binti Thalhah
5. Amrah binti Abdurrahman
6. Ar Rabab binti Imril Qais
7. Atikah binti Yazid
8. Asma Ar Ramaliyah
9. Bardah Ash Shamiriyah
10. Fathimah An Nisaburiyah
11. Fathimah binti Abdul Malik
12. Fathimah binti Ali

10
13. Fathimah binti Al Muzir
14. Fathimah binti Husain
15. Ghufairah Al Abidah
16. Hafshah binti Abdurrahman
17. Hafshah binti Sirin
18. Hamidah binti Tsabit Al Bunaini
19. Hindun binti Al Muhallab
20. Jauharah Al Baratsiyah
21. Khairah Ummul Hasan Al Bashri
22. Maimunah
23. Maimunah As Sauda’
24. Maisun binti Bahdal
25. Maryam Al Ghanawiyah

3. Tabi’ut Tabi’in

Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau setelah
mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan generasi
tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan ilmu dari
para tabi’in.
Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat muslim yang
datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab yang telah
mereka tuliskan. Semoga kita bisa mengikuti para generasi terbaik umat ini.

Berikut nama-nama tabiintabiin :


1. Abu Hanifah namun dianggap oleh sebagian ulama sebagai Tabi'in, karena dia
bertemu dengan Sahabat Anas bin Malik (jangan bingung dengan Imam Malik bin
Anas) dan meriwayatkan hadis darinya juga dari beberapa shahabat yang lain.
2. Malik bin Anas
3. Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i
4. Ahmad bin Hanbal
5. Ja'far al-Sadiq
6. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr as-Siddiq (w. 108 H)
7. Sufyan al-Tsauri (97–161 H)
8. Sufyan bin ‘Uyainah (107-198 H)
9. Al-Auza'i (w. 158 H)
10. Al-Laits bin Saad
11. Abdullah bin Al-Mubarak
12. Waki'
13. Abdurrahman bin Mahdi
14. Yahya bin Said Al-Qathan
15. Yahya bin Ma'in
16. Ali bin Al-Madin

11
BAB 4

PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)

Definisi Salaf ( ُ‫ )ال َّسلَف‬Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( ُ‫ ) اَل َّس َلف‬artinya yang
terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Salaf berarti para
pendahulu. Jika dikatakan (‫ ) َسلَفُ الرَّ ج ُِل‬salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua
yang telah mendahuluinya.[2] Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi
pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)
pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫اس َقرْ نِيْ ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم ُث َّم الَّ ِذي َْن‬
ِ ‫َخ ْي ُر ال َّن‬
‫ َيلُ ْو َن ُه ْم‬.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian
yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut
Tabi’in).”[3] Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari
ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk
menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…”[4].

Maka dari itu, setiap orang yang mengikuti jalan mereka, dan menempuh sesuai
manhaj/metode mereka, maka dia termasuk salafi, karena
menisbahkan/menyandarkan kepada mereka.

Dalil-dalil Yang Menunjukkan Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih

a. Dalil Dari Al Qur’anul Karim

َ ‫يل ْالم ُْؤ ِمن‬


‫ِين ُن َولِّ ِه َماـ َت َولَّى َو ُنصْ لِ ِه َج َه َّن َـم َو َسا َء ْـ‬
‫ت مَصِ يرً ا‬ ِ ‫َو َمنْ ُي َشاق ِـِق الرَّ سُو َل م ْـِن َبعْ ِد َماـ َت َبي ََّن لَ ُه ْال ُه َدىـ َو َي َّت ِبعْ َغي َْر َس ِب‬

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

ٍ ‫ان َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه ْـم َو َرضُوا َع ْن ُه َوأَ َع َّد لَ ُه ْم َج َّنا‬


‫ت‬ َ ‫ار َوالَّذ‬
‫ِين ا َّت َبعُو ُه ْـم ِبإِحْ َس ٍـ‬ ِ ‫ص‬َ ‫ين َواأل ْن‬ َ ‫ج ِر‬ِ ‫ون م َـِن ْال ُم َها‬
َ ُ ‫ون األوَّ ل‬
َ ُ‫َوال َّس ِابق‬
ْ ْ
‫ك ال َف ْو ُز ال َعظِ ي ُم‬ َ َ َ ‫َتجْ ِري َتحْ َت َها األ ْن َها ُـر َخالِد‬
َ ِ‫ِين فِي َهاـ أ َب ًدا ذل‬

Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di


antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka

12
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar.”  [QS. At-Taubah : 100]

Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti
jalan selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-
Nya bagi siapa yang mengikuti jalan mereka.

b. Dalil Dari As-Sunnah

1. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi


wasallam telah bersabda,

َ ‫ون َوالَ ي ُْؤ َت َم ُن‬


،‫ون‬ ‫ـ ُث َّم إِنَّ َبعْ َد ُك ْـم َق ْو ًماـ َي ْش َهد َـ‬،‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬
َ ‫ُون َوالَ يُسْ َت ْش َهد‬
َ ‫ َو َي ُخو ُن‬، ‫ُون‬ َ ‫ ُث َّم الَّذ‬،‫َخ ْي ُر أ ُ َّمتِي َقرْ نِي‬
َ ‫ ُث َّم الَّذ‬،‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬
ِ ‫ َو َي ْظ َه ُر ف‬،‫ون‬
ُ‫ِيه ُمـ ال ِّس َمن‬ َ ‫َو َي ْن ُذ ُر‬
َ ُ‫ون َوالَ َيف‬

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang
hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya,
kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka
mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari
(3650), Muslim (2533))

2. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wasallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73
golongan), beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ ثنتان‬،‫ وإن هذه الملة ستفترق على ثالثـ وسبعين‬،‫أال إن من قبلكمـ منـ أهل الكتابـ افترقوا على ثنتين وسبعين ملة‬
‫ وهي الجماعةـ‬،‫ وواحدة في الجنة‬،‫وسبعون في النار‬

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama
ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu
al-Jama’ah.”

[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi
(II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah
bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih
masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-
Shahiihah (no. 203-204)].

13
c. Dari perkataan Salafush Shalih

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,

“‫” ِا َّت ِبعُوا َواَل َت ْب َت ِدعُوا َف َق ْد ُكفِي ُت ْمـ‬

Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.”  (Al-
Bida’ Wan Nahyu Anha (hal. 13))

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata,

،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِـه َو َسلَّ َم‬ ‫ك أَصْ َح ُـ‬


َ ‫اب م َُح َّم ٍـد‬ َ ِ‫ أُولَئ‬،‫ـ َفإِنَّ ْال َحيَّ اَل ُت ْؤ َمنُ َعلَ ْي ِه ْالفِ ْت َن ُة‬، َ‫ان ِم ْن ُك ْـم مُسْ َت ًّناـ َف ْل َيسْ َتنَّ ِب َمنْ َق ْد َمات‬َ ‫َمنْ َك‬
َ ُ َ َ َ
‫ـ فاعْ َرفوا ل ُه ْـم‬،‫ار ُه ُم ُ لِصُحْ َب ِـة نبِ ِّي ِه َوإِقا َم ِـة دِينِ ِه‬‫هَّللا‬ َ ْ َ ً ُّ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ ُ َ
َ ‫ ق ْو ٌم اخت‬،‫ـ َوأعْ َمق َهاـ ِعل ًماـ َوأقل َها تكلفا‬،‫ـ أبَرَّ َها قلوبًا‬،‫ض َل َه ِذ ِه ا َّم ِة‬ ُ ‫أْل‬ َ ‫َكا ُنوا أَف‬
ْ
‫ َفإِ َّن ُه ْـم َكا ُنوا َعلَى ْال َه ْديِـ ْالمُسْ َتق ِِيم‬،‫ َو َت َم َّس ُكواـ ِب َماـ اسْ َت َطعْ ُت ْم مِنْ أَ ْخاَل ق ِِه ْـم َودِين ِِه ْم‬،‫ار ِه ْم‬
ِ ‫ـ َوا َّت ِبعُو ُه ْـم فِي آ َث‬،‫ َفضْ لَ ُه ْم‬.

Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh


orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih
hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para
Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik
hatinya, paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang
dipilih Allah untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah
keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada
di atas jalan yang lurus.”  (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))

14
BAB 5
AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA PENEGAKAN
HUKUM DALAM ISLAM.

1. Anjuran dan tuntutan tentang berbagi

Islam menganjurkan umat-Nya untuk berbagi dengan sesama. Selain


mendapatkan pahala yang berlipat, sedekah dapat memberikan berbagai manfaat
lainnya. Manfaat sedekah dapat dirasakan oleh penerima dan pemberi sedekah.
Namun, manfaat sedekah lebih luas akan dirasakan oleh orang yang melakukannya,
seperti tertulis di bawah ini:
1. Sebagai Pelindung
Nabi SAW bersabda bahwa “Sedekah menutup 70 pintu keburukan.” (HR.
Thabrani). Berdasarkan hadits tersebut, seseorang yang bersedekah akan
mendapatkan perlindungan dari musibah dan keburukan.
2. Memperkuat Iman
Ibadah ditujukan untuk mendekatkan hamba kepada Allah, begitu pula dengan
sedekah. Bersedekah dengan niat hanya untuk Allah, maka akan memupuk rasa
keimanan diri sendiri terhadap Allah. Selain itu, sedekah juga dapat dijadikan
bentuk rasa syukur kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah diberikan
kepada umat-Nya.
3. Penyembuh dari Penyakit
Sedekah dapat menjadi obat dan penyembuh dari berbagai penyakit. Dengan
bersedekah, seseorang akan merasa bahagia dan tidak ada kekhawatiran
baginya. Seseorang akan berpikir bahwa apa yang telah dilakukannya sangat
bermanfaat sehingga muncul pemikiran positif.
‫داووا مرضاكم بالصدقة‬
“Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah.” (HR. Al-
Dailami).
4. Memperpanjang Umur
Selain obat dari segala penyakit, sedekah juga dapat memperpanjang umur
seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sifat dermawan dapat
menyehatkan dan memanjangkan umur kita. Dalam Islam, sebuah riwayat juga
menyebutkan hal yang sama;
‫الصدقة ترد البالء وتزيد في العمر‬
“Sedekah dapat menghilangkan bala’ dan menambah umur.”
5. Melunakkan Hati
Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa sedekah dapat melunakkan hati
seseorang yang keras. Sedekah dapat menjauh pikiran-pikiran negatif seseorang,
sehingga hatinya akan selalu bermurah untuk membantu mereka yang
membutuhkan bantuan.
‫من وجد في قلبه قساوة فلينشر الصدقة‬
“Barang siapa hatinya keras, maka hendaklah dengan mengeluarkan sedekah”
 

15
2. Anjuran dan tuntutan tentang keadilan serta penegakan hukum islam
Keadilan merupakan harapan dan dambaan setiap orang dalam tatanan kehidupan
sosial. Setiap negara maupun lembaga-lembaga dan organisasi di manapun
mempunyai visi dan misi yang sama terhadap keadilan, walaupun persepsi dan
konsepsi mereka bisa saja berbeda. Menurut Majid Khadduri, (1999: 1), sumber
keadilan itu ada dua: keadilan positif dan keadilan revelasional. Keadilan positif adalah
konsep-konsep produk manusia yang dirumuskan berdasarkan kepentingan-
kepentingan individual maupun kepentingan kolektif mereka. Skala keadilan
berkembang melalui persetujuan-persetujuan diam-diam maupun tindakan formal,
sebagai produk interaksi antara harapan-harapan dan kondisi yang ada. Sedangkan
keadilan revelasional adalah bersumber dari Tuhan yang disebut dengan keadilan
Ilahi. Keadilan ini dianggap berlaku bagi seluruh manusia, terutama bagi pemeluk
agama yang taat.

Keadilan sebagai suatu ajaran universal oleh setiap Rasul, tidak mengalami
perubahan dari setiap generasi Rasul dan berakhir pada Muhammad saw. Al-Qur`an
dan Al Hadis disepakati sebagai dua sumber pokok dan utama ajaran Muhammad
saw, karenanya umat Islam memiliki pegangan yang kuat untuk menggali dan
memahami konsep keadilan yang akan diaplikasikan dalam kehidupan individual dan
sosial merekaµ. Dalam Islam, keadilan disebutkan dengan kata-kata al-Adl, al-Qisth
dan al-Mizan (Muhammad Fuad Abd al-Baqi, 1987: 448-449 dan 544-545). Dalam Ayat
Al-Qur`an menurut Muhammad Fuad Abd al-baqi untuk menyebutkan “keadilan”
dengan kata al-Adl, dalam berbagai bentuk katanya disebut sebanyak 28 kali, kata al-
Qisth dalam berbagai shighahnya disebut sebanyak 27 kali, dan kata al-Mizan yang
mengandung makna yang relevan dengan keduanya disebut 23 kali. Banyaknya ayat
Al-Qur`an yang membicarakan keadilan menunjukkan bahwa Allah Swt. adalah
sumber keadilan dan memerintahkan menegakkan keadilan di dunia ini kepada para
rasul dan seluruh hambaNya. Walaupun tidak ada satupun ayat Al-Qur`an yang secara
eksplisit menunjukkan bahwa al-adl merupakan sifat Allah, namun banyak ayat yang
menerangkan keadilanNya (M. Quraisy Shihab, 2000: 149). Oleh karena itu, dalam
kajian al-Asma al-Husna, al-Adl merupakan salah satu asma Allah, tepatnya asma
yang ke- 30 dari 99 al-Asmaal-Husna itu. Melalui sifat keadilan ini Allah menyuruh
untuk lebih meyakini dan mendekatkan diri kepadaNya dan mendorong manusia
berakhlak dengan sifat adil Allah itu, dan juga mendorong mereka dengan sungguh-
sungguh untuk meraih sifat adil itu, menghiasi diri, dan berakhlak dengan keadilan itu
(M. Quraisy Shihab, 2000: 32-33). Al-Qur`an, memerintahkan agar menegakkan
keadilan kepada para Rasul, yang terdapat pada surat al-Hadid (57) ayat 25:
ِ‫ان ِل َيقُو َم ٱل َّناسُ ِب ْٱلقِسْ ط‬ َ ‫نز ْل َنا َم َع ُه ُم ْٱل ِك ٰ َت‬
َ ‫ب َو ْٱلم‬
َ ‫ِيز‬ ِ ‫ۖ لَ َق ْد أَرْ َس ْل َنا ُر ُسلَ َنا ِب ْٱل َب ِّي ٰ َن‬
َ َ‫ت َوأ‬

"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa buktibukti


yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan)
agar manusia dapat menegakkan keadilan. (Q.S. Al-Hadid [57]: 25).

Allah SWT juga memerintahkan orangorang mukmin untuk menegakkan keadilan, dan
termasuk ke dalam amal shalih serta orang mukmin yang menegakkan keadilan dapat

16
dikategorikan sebagai orang yang telah berupaya meningkatkan kualitas ketakwaan
dirinya. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa keadilan itu sebagai salah satu
indikator yang paling nyata dan dekat dengan ketakwaan. Firman Allah tersebut
adalah:

۟ ُ‫وا ه َُو أَ ْق َربُ لِل َّت ْق َو ٰى ۖ َوٱ َّتق‬


َ ‫وا ٱهَّلل‬ ۟ ُ‫ش َهدَ ٓا َء ِب ْٱلقِسْ طِ ۖ َواَل َيجْ ر َم َّن ُك ْم َش َنٔـََٔـانُ َق ْوم َعلَ ٰ ٓى أَاَّل َتعْ دِل‬
۟ ُ‫وا ۚ ٱعْ دِل‬
ٍ ِ َ ‫وا َق ٰ َّوم‬
ُ ِ ‫ِين هَّلِل‬ ۟ ‫وا ُكو ُن‬ َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ‬
۟ ‫ِين َءا َم ُن‬
‫ت ۙ لَهُم م َّْغف َِرةٌ َوأَجْ ٌر َعظِ ي ٌم‬ َّ ٰ ‫وا ٱل‬
ِ ‫صل ٰ َِح‬ ۟ ُ‫وا َو َعمِل‬ َ ‫ َو َعدَ ٱهَّلل ُ ٱلَّذ‬8َ‫ۚ إِنَّ ٱهَّلل َ َخ ِبي ۢ ٌر ِب َما َتعْ َملُون‬
۟ ‫ِين َءا َم ُن‬

”Hai orang-orang yang beriman, hendaklahkamu menjadi orang-orang yang


menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih, bahwa untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.(Q.S. Al-Maidah [5]: 8 dan 9).
Ayat ini memerintahklan orang mukmin menegakkan keadilan di bidang hukum, baik
sebagai hakim maupun saksi. Dalam ayat al-An’am (6) ayat 152, Allah juga
memerintahkan untuk menegakkan keadilan dalam bentuk ucapan walaupun kepada
kaum kerabat:
‫ان َذا قُرْ َب ٰى‬ ۟ ُ‫َۖ وإِ َذا قُ ْل ُت ْم َفٱعْ دِل‬
َ ‫وا َولَ ْو َك‬

Dan apabila kalian berkata, maka berkatalah dengan adil walaupun terhadap kerabat".
(Q.S. Al-An’am [6] : 152)
Pada ayat itu juga Allah Swt memerintahkan agar mengelola harta anak yatim dengan
baik, dan agar menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil.
ِ‫ان ِب ْٱلقِسْ ط‬ ۟ ُ‫ش َّدهُۥ ۖ َوأَ ْوف‬
َ ‫وا ْٱل َك ْي َل َو ْٱلم‬
َ ‫ِيز‬ ُ َ‫ِى أَحْ َسنُ َح َّت ٰى َيبْلُغَ أ‬ ۟ ‫َواَل َت ْق َرب‬
َ ‫ُوا َما َل ْٱل َيت ِِيم إِاَّل ِبٱلَّتِى ه‬

´Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang bermanfaat
adil hingga sampai dewasa. Dan sempurnakan takaran dan timbangan dengan adil
(Q.S. Al – An’am [6] : 152 )
Pada hakikatnya, perintah keadilan itu meliputi aspek-aspek kehidupan
manusia. Majid Khadduri (1999: 13-14), mengklasifikasikan keadilan ke dalam 8 aspek
yang sangat luas: keadilan politik, keadilan teologis, keadilan fillosofis, keadilan etis,
keadilan legal, keadilan di antara bangsa-bangsa, dan keadilan sosial.
Keadilan dalam Islam digantung kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah
sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan itu secara benar dan
tepat. Di sini pun keimanan mendahului pengertian, karena telah ditetapkan bahwa
segala yang ditentukan oleh Allah SWT pasti adil.Konsep keadilan dalam hukum sipil,
sepenuhnya digantungkan kepada penalaran manusia. Karena itu, dimasukkan ke
dalam bidang filsafat hukum. Dan kerena itu pula pengertian keadilan selalu dari
masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, tergantung kepada perkembangan
aliran filsafat hukum yang diatur masyarakat tersebut.Keadilan bermakna kesamaan
(equality), untuk memperoleh kebebasan dan kesempatan.

Peganglah prinsip takwa dengan pakaian dan lidah yang takwa, sebab hakim
Muslim selalu dibantu oleh dua orang malaikat keadilan.Kemestian menegakkan
keadilan adalah kemestian yang merupakan hukum objektif, tidak bergantung kepada

17
kemauan pribadi manusia siapa pun juga, dan immutable. Ia disebut dalam al-Qur'an
sebagai bagian dari hukum kosmis, yaitu hukum keseimbangan (al-Mizan) yang
menjadi hukum jagad raya atau universe law. Upaya penegakan keadilan dituntut sikap
konsisten dan keteguhan pribadi. Penegakan prinsip keadilan menyakaman semua
pihak dalam timbangan yang sama, keadilan tidak mengenal toleransi relasi
kekerabatan dan hubungan darah ataupun kelompok atau golongan. Keadilan adalah
bagian dari bukti ketakwaan tertinggi kepada Tuhan.Allah menyuruh kepada umat
Islam untuk menegakkan keadilan khususnya keadilan sosial dalam bentuk
pemerataan kesejahteraan dan kepedulian akan penderitaan kaum fakir miskin.Sangat
jelas Islam menaruh perhatian terhadap orang-orang lemah (mustadh‟afiin) dan
sebaliknya, kehancuran akan ditimpakan kepada kaum muthrafiin, mereka yang kaya
dan hidup bermewah-mewewahan.Tidak mungkin suatu negara dapat membangun
tanpa keadilan.
A. Pengertian Hukum Islam
Al-Quran dan literatur hukum Islam sama sekali tidak menyebutkan kata hukum
Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada di dalam al-Quran adalah kata syarî’ah, fiqh,
hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Istilah hukum Islam merupakan terjemahan
dari Islamic law dalam literatur Barat.1 Istilah ini kemudian menjadi populer. Untuk
lebih memberikan kejelasan tentang makna hukum Islam maka perlu diketahui lebih
dulu arti masing-masing kata. Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata
bahasa Arab, yaitu ‫ َيحْ ُك ُم‬-‫ َح َك َم‬hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya
menjadi ‫ ُح ْكمًا‬hukman. Lafadz ‫ اَ ْلح ُْك ُم‬al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak
‫ اَ َْْلَـحْ َكــا ُم‬al-ahkâm. Berdasarkan akar kata ‫ َح َك َم‬hakama tersebut kemudian muncul kata
‫ اَ ْل ِح ْك َم ُة‬al-hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang
yang memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
maka dianggap sebagai orang yang bijaksana.2 Arti lain yang muncul dari akar kata
tersebut adalah “kendali atau kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan hukum pada
hakikatnya adalah untuk mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang
dilarang oleh agama. Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti
dari lafadz hukmu yang memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah ketidakadilan,
mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya.
B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Apabila Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata hukum Indonesia, maka
akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti luas sebagai berikut:
1. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan
perceraian serta segala akibat hukumnya;
b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,
serta pembagian warisan. Hukum warisan Islam ini disebut juga hukum farâidh;
c. Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas
benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, perserikatan, kontrak, dan sebagainya.
2. Hukum Publik
Hukum publik Islam meliputi:

18
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman, baik dalam jarîmah hudûd (pidana berat) maupun dalam jarîmah
ta’zîr (pidana ringan). Yang dimaksud dengan jarîmah adalah tindak pidana. Jarîmah
hudûd adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya
dalam al-Quran dan as- Sunnah (hudûd jamaknya hadd, artinya batas). Jarîmah ta’zîr
adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zîr artinya ajaran atau pelajaran);
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasalahan yang berhubungan
dengan kepala negara/pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang
pajak, dan sebagainya;
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama
lain dan negara lain;
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
C. Objek Hukum Islam (Mahkûm fîh)
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkûm fîh
adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’iy. Dalam
derivasi yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan objek hukum atau
mahkûm fîh ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum (syâri’) untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau tidak. Menurut ulama ahli ilmu ushûl fiqh, yang dimaksud dengan
mahkûm fîh adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait
dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan
(wajib); tuntutan meninggalkan (haram); tuntutan memilih suatu pekerjaan (mubah);
anjuran melakukan (sunah); dan anjuran meninggalkan (makruh). Para ulama sepakat
bahwa seluruh perintah syâri’ itu ada objeknya, yaitu perbuatan mukallaf. Terhadap
perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum. 
D. Prinsip Hukum Islam
Prinsip menurut pengertian bahasa ialah permulaan; tempat pemberangkatan; titik
tolak, atau al-mabda’. Prinsip hukum Islam, mengutip Juhaya. S. Praja dalam Filsafat
Hukum Islam adalah kebenaran universal yang inheren di dalam hukum Islam dan
menjadi titik tolak pembinaannya. Prinsip membentuk hukum Islam dan setiap cabang-
cabangnya.
1. Prinsip Pertama: Tauhid
Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah suatu ketetapan
yang sama, yaitu, ketetapan tauhid yang ditetapkan dalam kalimat lâ ilâha illa Allâh
(Tiada Tuhan selain Allah). Al-Quran memberikan ketentuan dengan jelas mengenai
prinsip persamaan tauhid antar semua umat-Nya. Berdasarkan prinsip tauhid ini,
pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan
manusia dan penyerahan diri kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas
kemahaesaan-Nya dan menifestasi syukur kepada-Nya. Prinsip tauhid memberikan
konsekuensi logis bahwa manusia tidak boleh saling menuhankan sesama manusia
atau sesame makhluk lainnya Pelaksanaan hukum Islam merupakan suatu proses
penghambaan,ibadah, dan penyerahan diri manusia kepada kehendak Tuhan.
Konsekuensi prinsip tauhid ini mengharuskan setiap manusia untuk menetapkan
hukum sesuai ketentuan dari Allah (al-Quran dan Sunah). Allah adalah pembuat
hukum (syâri’), sehingga siapa pun yang tidak menetapkan hukum sesuai dengan

19
ketetapan Allah, maka seseorang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang
mengingkari kebenaran, serta zalim karena membuat hukum mengikuti kehendak
pribadi dan hawa nafsu.
2. Prinsip Kedua: Keadilan (Al-‘Adl)
Islam mengajarkan agar dalam hidup bermasyarakat ditegakkan keadilan dan
ihsan. Keadilan yang harus ditegakkan mencakup keadilan terhadap diri sendiri,
pribadi, keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan dunia.Keadilan hukum wajib
ditegakkan, hukum diterapkan kepada semua orang atas dasar kesamaan; tidak
dibedakan antara orang kaya dan orang miskin, antara kulit berwarna dan kulit putih,
antara penguasa dan rakyat, antara status sosial tinggi dan rendah, antara ningrat dan
jelata. Semua diperlakukan sama di hadapan hukum.27 Keadilan dalam hukum Islam
meliputi berbagai aspek kehidupan; hubungan manusia dengan Tuhan; hubungan
dengan diri sendiri; hubungan manusia dengan sesama manusia (masyarakat); dan
hubungan manusia dengan alam sekitar. Hingga akhirnya dari sikap adil tersebut
seorang manusia dapat memperoleh predikat takwa dari Allah swt.
3. Prinsip Ketiga: Amar Makruf Nahi Munkar
Dua prinsip sebelumnya melahirkan tindakan yang harus berdasarkan kepada
asas amar makruf nahi munkar. Suatu tindakan di mana hukum Islam digerakkan
untuk merekayasa umat manusia menuju tujuan yang baik, benar, dan diridhai oleh
Allah swt. Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada
kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’rûf: kebaikan, nahyi:
mencegah, munkar: kejahatan. Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan utama
dari syariat ialah membangun kehidupan manusia di atas dasar ma’rifat (kebaikan-
kebaikan) dan membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan kejahatankejahatan.
Dalam bukunya, Maududi memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
ma’ruf dan munkar sebagai berikut: Istilah ma’rûfât (jamak dari ma’rûf) menunjukkan
semua kebaikan dan sifat-sifat yang baik sepanjang masa diterima oleh hati nurani
manusia sebagai suatu yang baik. Istilah munkarât (jamak dari munkar) menunjukkan
semua dosa dan kejahatan sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia sebagai
suatu hal yang jahat. Dalam filsafat hukum Islam dikenal istilah amar makruf sebagai
fungsi social engineering, sedang nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan
penegakan hukum. Berdasar prinsip inilah di dalam hukum Islam dikenal adanya istilah
perintah dan larangan;
4. Prinsip Kelima: Persamaan atau Egaliter (al-Musâwah)
Manusia adalah makhluk yang mulia. Kemuliaan manusia bukanlah karena ras
dan warna kulitnya. Kemuliaan manusia adalah karena zat manusianya sendiri.
Sehingga diperjelas oleh Nabi dalam sabdanya. Sehingga di hadapan Tuhan atau di
hadapan penegak hukum, manusia baik yang miskin atau kaya, pintar atau bodoh
sekalipun, semua berhak mendapat perlakuan yang sama, karena Islam mengenal
prinsip persamaan (egalite) tersebut.
5. Prinsip Keenam: Tolong-Menolong (at-Ta’âwun)
Ta’âwun yang berasal dari akar kata ta’âwana-yata’âwanu atau biasa diterjemah
dengan sikap saling tolong-menolong ini merupakan salah satu prinsip di dalam
Hukum Islam. Bantu membantu ini diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid, terutama
dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03

http://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/riayah/article/download/966/807

https://currikicdn.s3-us-west-2.amazonaws.com/resourcedocs/54d3775e84d96.pdf

https://core.ac.uk/download/pdf/297921818.pdf

http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/download/5336/3169

https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/29/tiga-generasi-terbaik-umat-
manusia/

https://umma.id/article/share/id/1002/272772

https://bersamadakwah.net/nama-tabiin/

https://id.wikipedia.org/wiki/Tabi%27ut_tabi%27in

https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html

https://media.neliti.com/media/publications/270228-tuntutan-keadilan-perspektif-
hukum-islam-65a4d405.pdf

https://www.researchgate.net/publication/331705690_KEADILAN_DALAM_PERSPEK
TIF_ISLAM

https://blog.kitabisa.com/manfaat-sedekah-untuk-sesama-yang-perlu-diketahui/

https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/Pengantar-Hukum-Islam-buku-ajar-
rohidin-fh-uii.pdf.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai