Anda di halaman 1dari 53

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM


ISLAM
2. SAINS & TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH(REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : RIDHO RAMDANI


NIM : F1B020121
Fakultas&Prodi : Teknik & Teknik Elektro
Semester :1

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
tugas ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi tugas agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih


banyak kekurangan dalam tugas ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas ini.

Mataram, 21 Oktober 2020

Ridho Ramdani

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................................i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................ iii

BAB I Tauhid: Keistimewaan Dan Kebenaran Konsep Ketuhanan Dalam Islam....1

BAB II Sains Dan Teknologi Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadist.................................14

BAB III 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadist.........................................................23


BAB IV Pengertian Dan Jejak Salafussoleh ..............................................................34

BAB V Anjuran Dan Tengan Berbagi, Penegakan Serta Keadilan Hukum

Dalam Islam...................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
BAB I

TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM


ISLAM

Iman kepada Allah Swt merupakan konsep dasar seseorang meyakini, mempercayai
tentang keberadaan Tuhan sang Pencipta alam semesta. Hal ini merupakan pondasi
dasar keberagamaan seseorang sehingga itu setiap mahasiswa perlu
memilikipengetahuan dan pemahaman tentang hal ini.

Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan
hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal
perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan rasulullah. Adapun yang dimaksud
syarat adalah apa-apa yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakan dan harus sampai akhir
pelaksanaan. Hal ini berhubungan dengan niat sesorang. Jika seseorang melakukan
sesuatu hanya Allah, maka syarat untuk di terima ialah niat karena Allah tersebut harus
tetap sama sampai akhir. Disamping itu, jika apa yang dilaksanakan sudah sesuai dengan
tuntunan Rasulullah, maka kemungkinan besar amalan tersebut diterima sebagai ibadah
di hadapan Allah. Dan sebaliknya, jika apa-apa yang dilakukan di landaskan selain karena
Allah, atau ternyata niatnya sudah karena Allah tetapi ditengah-tengah niatnya berubah
maka sudah barang tentu amalan tersebut tertolak di hadapan Allah walaupun sudah
sesuai tuntunan Rasulullah.

A. Siapakah tuhan?
Perkataan yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur`an dipakai
untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam QS al-Jatsiiyah ayat 23:
Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-
Nya[1384] dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya
dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang
akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dalam surat Al-Qashash ayat 38, perkataan illah dipakai oleh fir`aun

1
untuk dirinya sendiri :

“Dan Fir‟aun berkata : wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa
kalian masih mempunyai ilah selain diriku“.

Contoh ayat diatas tersebut menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa


mengundang berbagai arti benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi)
maupun benda nyata (fira`un atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Perkataan illah juga dalam bentuk tunggal (mufrad ilaahun , ganda
(mutsanna ilaahaini) dan banyak (jama‟aalihatun). Ber-Tuhan nol dalam arti
kata tidak bertuhan atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti
defenisi Tuhan atau ilah yang tepat, berdasarkan logika Al- Quran sebagai
berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh
manusia sedemikin rupa sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-
Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup
didalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberi kemaslahataan atau kegembiraan dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Menurut Ibnu Taimiyah Al-Ilah adalah yang dipuja dengan penuh
kecintaan hati, tunduk kepada-Nya merendahkan diri dihadapannya, takut
dan mengharapkannya, kepadanya umat tempat berpasrah ketika berada
dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya dan menimbulkan
ketenangan disaat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.

B. Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan


1. Pemikiran barat
Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriyah maupun
batiniyah, baik yang bersifat pemikiran rasional maupun pengalaman batin.
Dalam literatur sejarah agama, dikenal dengan Teori evolusionisme, yaitu

2
teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut
mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian disusul oleh EB Taylor,
Robertson Smith, Luboock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut ajaran ini manusia jaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada yang berpengaruh
negatif. Kekuatan ada pada pengaruh tersebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti mana (Malaysia), dan tuah (melayu), dan sakti (india) yakni
kekuatan gaib.
b. Animisme
Disamping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga
mempercayaai adanya roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap
benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif , roh dipercayai
sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu,
roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang,
rasa tidak senang serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang
apabila kebutuhannya dipenuhi.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-kelamaan tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak menjadi sanjungan dan
pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut Dewa mempunyai
tugas dan kekuaasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masaalah angin,
adapula yang membidangi masalah air dan lain sebagainya.
d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum


cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui mempunyai
kekuatan yang sama. Lama kelamaan kepercayaan manusia meningkat

3
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa mengakui satu dewa yang
disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui tuhan (ilah) bangsa
lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
Henoteisme (Tuhan tingkat nasional)
e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi


monoteisme. Alam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh
bangsa dan bersifat internasional.
Evolusionisme ditentang oleh Andrew lang (1898) dia mengemukakan
bahwa orang-orang berbudaya rendah juga sama dengan monoteismenya
dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud
yang Agung dan sifat-sifat khas pada Tuhan mereka, yang tidak mereka
berikan pada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew lang, maka berangsur-angsur
golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana eropa
mulai menentang evolusionisme dan mulai memperkenalkan toeri baru.
2. Pemikiran Umat Islam
Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan
beberapa konsepsi ke-esaan Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah dan
konsepsi Tauhid.
a. Konsepsi Tauhid
1. Tauhid sebagai poros Aqidah Islam.
Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah
sebagai suatu keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu
memfokuskan aqidah tauhid yang merupakan dasar aqidah dan jiwa
keberadaan Islam. Islam datang disaat kemusyrikan sedang
merajalela disegala penjuru dunia. Tak ada yang menyembah Allah
kecuali segelintir umat manusia dari golongan Hunafa, (pengikut nabi
Ibrahim as) dan sisa-sisa penganut ahli kitab yang selamat dari
pengaruh tahayul animisme maupun paganisme yang telah menodai
agama Allah. Sebagai contoh bangsa arab jahiliyah telah tenggelam
jauh kedalam paganisme, sehingga Ka‟bah yang dibangun untuk

4
peribadatan kepada Allah telah dikelilingi oleh 360 berhala dan
bahkan setiap rumah penduduk makkah ditemukan berhala
sesembahan penghuninya.
2. Pentingnya Tauhid
Tauhid sebagai intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan
esensi tersebut adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang
mengesakan Allah sebagai yang Esa, pencipta yang mutlak dan
penguasa segala yang ada. Keterangan ini merupakan bukti, tak
dapat diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban
memiliki suatu esensi pengetahuan yaitu tauhid.
3. Tingkatan Tauhid
Tauhid menurut Islam ialah tauhid I,tiqadi-„ilmi (keyakinan
teoritis) dan Tauhid amali-suluki (tingkahlaku praktis). Dengan kata
lain ketauhidan antara ketauhidan teoritis dan ketauhidan praktis tak
dapat dipisahkan satu dari yang lain; yakni tauhid bentuk makrifat
(pengetahuan), itsbat (pernyataan), I‟tiqad (keyakinan), qasd (tujuan)
dan iradah (kehendak). Dan semua itu tercermin dalam empat
tingkatan atau tahapan tauhid yaitu;
a. Tauhid Rububiyah
Secara etimologis kata Rububiyah berasal dari akar kata rabb.
Kata rabb ini sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain
menumbuhkan, mengembangkan, mencipta, memelihara,
memperbaiki, mengelola, memiliki dan lain-lain. Secara Terminolgis
Tauhid Rububiyah ialah keyakinan bahwa Allah Swt adalah Tuhan
pencipta semua mahluk dan alam semesta. Dia-lah yang memelihara
makhluk-Nya dan memberikan hidup serta mengendalikan segala
urusan. Dia yang memberikan manfaat, penganugerahan kemuliaan
dan kehinaan. Tauhid Rububiyah ini tergambar dalam ayat al-Quran
antara lain QS. al-Baqarah 21-22

5
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan
dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu
mengetahui. “

“Katakanlah : Aku berlindung kepada rabb manusia “ (QS.an-nas: 1)

b. Tauhid Mulkiyah
Kata mulkiyah berasal dari kata malaka. Isim fa‟ilnya dapat dibaca
dengan dua macam cara: Pertama, malik dengan huruf mim dibaca
panjang; berarti yang memiliki, kedua, malik dengan huruf mim dibaca
pendek; berarti, yang menguasai.
Secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan
bahwa Allah swt., adalah satu-satunya Tuhan yang memiliki dan
menguasai seluruh mahluk dan alam semesta. Keyakinan Tauhid
Mulkiyah ini tersurat dalam ayat-ayat al-Quran seperti berikut ini:

“ Yang menguasai hari pembalasan “ (QS. al-Fatihah ; 4)

6
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada
dalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu “ ( QS. al-Maidah ;
120 )

c. Tauhid Uluhiyah
Kata Uluhiyah adalah masdar dari kata alaha yang mempunyai
arti tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang
paling mendasar adalah abada, yang berarti hamba sahaya („abdun),
patuh dan tunduk („ibadah), yang mulia dan agung (al-ma‟bad), selalu
mengikutinya („abada bih).

Tauhid Uluhiyah merupakan keyakinan bahwa Allah swt., adalah


satu-satunya Tuhan yang patut dijadikan yang harus dipatuhi, ditaati,
digungkan dan dimuliakan. Hal ini tersurat dalam QS. Thaha:

“ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku “

d. Tauhid Ubudiyah
Kata „ubudiyah berasal dari akar kata abada yang berarti
menyembah, mengabdi, menjadi hamba sahaya, taat dan patuh, memuja,
yang diagungkan (al-ma‟bud.) Dari akar kata diatas, maka diketahui
bahwa Tauhid Ubudiyah adalah suatu keyakinan bahwasanya Allah Swt.
Merupakan Tuhan yang patut disembah, ditaati, dipuja dan diagungkan.
Tiada sesembahan yang berhak dipuja manusia melainkan Allah semata.
Tauhid Ubudiyah tercermin dalam ayat dibawah ini:

7
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau
( pula ) kami mohon pertolongan”

Pemikiran terhadap tuhan melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam


atau Ilmu Ushuludin dikalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi
Muhamad saw.,. Secara garis besar ada aliran bersifat liberal, tradisional
dan ada pula bersifat diantaranya. Kedua corak pemikiran ini telah
mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam islam. Aliran-aliran
tersebut adalah :
1) Mu‟tazilah

Mu‟tazilah merupakan kaum rasionalis dikalangan Muslim. Dalam


menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika yunani,
yaitu sistem Teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil
dari paham Mu‟tazilah yang bercorak rasional adalah munculnya abad
kemajuan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun kemajuan ilmu
pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam
perselisihan dengan kaum ortodoks.
2) Qadariah
Qadariah berpandapat bahwa manusia mempunyai kebebasan
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia
akan kafir atau mukmin dan hal itu menyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.
3) Jabariah
Yang merupakan pecahan dari murjiah berteori bahwa manusia
tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua
tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
4) Asy‟ariyah dan Maturidiyah.

8
C. Tuhan Menurut Agama-Agama Dan Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas
pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan
pernah benar. Sebab Tuhan adalah sesuatu yang ghaib, sehingga
imformasi tentang Tuhan hanya berasal dari manusia walaupun
dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak
akan benar. Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan
antara lain tertera dalam:
1. Al-Anbiya 92: sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu,
yaitu Agama Tauhid oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu
Agama, tetapi mereka telah terpecah belah, mereka akan kembali
kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.

2. Al-Maidah 72: Dan Isa berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah
Tuhanmu, sesungguhnya orang mempersekutukan Allah pasti
mengharamkan atasnya surga sedangkan tempat mereka adalah nerak “.
3. AL-Ikhlas 1-4 “Katakanla: Dia Allah Yang Maha Esa, Allah adalah
Tuhanmu yang bergantung kepadaNYa segala sesuatu. Dia tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.“

Tuhan yang Haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini
dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat shad 35-65, surat
Muhamad ayat 19. Dalam Al-Quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang
Tuhan yang dibawakan para Nabi sebelum Nabi Muhamad adalah Tuhan
Allah juga. Antara lain terdapat pada surat Hud ayat 84 dan surat Al-maidah
ayat 72. Tuhan Allah adalah Esa sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-
Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, Shad ayat 4.

D. Pembuktian Wujud Tuhan


1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan jaman modern terhadap agama terletak dalam
masaalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui
percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan

9
alam diluar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama
didasarkan pada analogi dan induksi). Hal ini yang menyebabkan
menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai
landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak
mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak menginngkari wujud
sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Disamping itu metode ini
juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan
sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal tersebut dengan analogi
“analogi ilmiah“ dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak
hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian
pula suatu analogi dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi.
Kemungkinan benar dan kemungkinan salah.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah iman kepada
yang ghaib dan ilmu pengetahuan percaya kepada “pengamatan ilmiah“.
Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya
berlandaskan pada keimanan yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup
agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat“
terakhir dan asal, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada
pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengetahuan memasuki bidang
penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu
pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang Ghaib. Oleh
karena itu harus ditempuh bidang lain.
2. Keberadaan alam membuktikan adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan
rahasianya pelik, tidak boleh memberikan penjelasan bahwa ada satu
kekuatan yang menciptakannya, suatu “akal” yang tidak ada batasnya.
Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula
bahwa alam itu “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan ini
dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dalam kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus
percaya tentang adanya pencipta alam. Pernyataan yang mengatakan

10
percaya akan mahluk hidup, tetepi menolak adanya khaliq adalah suatu
pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu
berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun
ukurannya pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan
percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan
sendirinya tanpa pencipta?.

3. Pembuktian adanya tuhan dengan pendekatan fisika


Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam
mencipta dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya.
Tetapi setelah ditemukan hukum kedua “termodinamika”, pernyataan ini
telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi
atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa
adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan
bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi
tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas
tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas.
Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara energi
yang ada dengan energi yang tidak ada.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di
alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal ini
membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali. Seandainya
alam ini azali, maka alam telah kehilangan energinya, sesuai dengan
hukum tersebut tentu tidak akan ada kehidupan di alam ini. Oleh sebab
itu ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian adanya Tuhan dengan pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang
jaraknya sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan
menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali.
Demikian pula bumi terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar
pada porosnya dengan kecepatan seribu mil/jam dan menempuh
garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil per tahun. Di samping bumi

11
terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang
mengelilingi matahati dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia
beredar bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi
garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Disamping itu
masih ada ribuan sistem lainnya selain sistem tata surya kita dan setiap
sistem mempunyai kumpulan atau galaksi sendiri-sendiri. Galaxi-galaxi
tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxi dimana terletak sistim
matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya
sekali dalam 200.000.000. Tahun cahaya.
Logika manusi dengan memperhatikan sistim yang luar biasa dan
organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini
terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa dibalik
semua itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan mengendalikan
sistim yang luar biasa tersebut, kekuatan Maha besar tesebut adalah
Tuhan.

12
BAB II

SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADIST

Perbincangan pada bab tiga ini akan diarahkan kepada integrasi sains dan
agama yang difokuskan pada defenisi sains, pendekatan Al-Qur’an terhadap
sains, serta kedudukan sains dalam Islam serta urgensinya.
Menurut Agus Purwanto dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta: Sisi Al- Qur’an
yang Terlupakan, Mizan, Bandung, 2008, jumlah ayat kauniyah ada 800 ayat.
Sementara menurut Syeikh Tantawi, ayat kauniyah berjumlah 750 ayat. Tidak
kalah menariknya adalah, dari 114 surah Al-Qur’an hanya 15 surat yang tidak ada
ayat kauniyahnya, hal ini menunjukkan pentingnya ayat kauniyah bagi kehidupan
umat Islam. Oleh sebab itu, sudah saatnya jika para ilmuwan muslim kembali
menggali ayat-ayat kauniyah, melakukan penelitian guna menyingkap mukjizat
sains dalam Al-Qur’an. Sepantasnyalah dalam bidang pendidikan sejak tingkat
yang paling dasar sampai pendidikan tinggi harus mampu mengintegralkan
penafsiran ilmiah Al- Qur’an dengan mata pelajaran yang memiliki keterkaitan,
misalnya fisika, biologi, sejarah dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu, melalui Al-
Qur’an memotivasi untuk melakukan penelitian- penelitian terhadap fenomena
alam. Sains menurut bahasa berasal dari bahasa Ingrias science, sedangkan kata
science berasal dari bahasa Latin scientia. Yang berasal dari kata scine yang
artinya adalah mengetahui. Kata sains dalam bahasa Ingris diterjemahkan sebagai
al-‘ilm dalam bahasa Arab.3 Dari segi istilah sains dan ilmu bermakna pengetahuan
namun demikian menurut Sayyid Hussen Al-Nasr kata science dalam bahasa
Inggris tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa Arab sebagai Al- Ilm, karena
konsep ilmu pengetahuan yang dipahami oleh barat ada perbedaannya dengan
ilmu pengetahuan menurut perspektif Islam.
Ada beberapa pendapat tentang difenisi sains menurut Istilah, namun
secara umum dapat diartikan sebagai keutamaan dalam mencari kebenaran. Di
dalam the New Colombia Encyclopedia, sains diartikan sebagai satu kumpulan
ilmu yang sistematis mengenai metapisik yang bernyawa dan yang tidak bernyawa,
termasuk sikap dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk mendapatkan ilmu
tersebut. Oleh sebab itu sains adalah merupakan sejenis aktivitas dan juga hasil

13
dari aktivitas tersebut.6 Tidak jauh berbeda apa yang dikatakan oleh R.H.Bube,
menurutnya sains adalah pengetahuan yang berkaiatan dengan alam semula jadi
yang diperoleh melalui interaksi akal dengan alam.7
Berdasarkan defenisi diatas dapat ditegaskan bahwa sains adalah suatu
proses yang terbentuk dari interaksi akal dan panca indera manusia dengan alam
sekitarnya. Dengan arti kata, objek utama kajian sains adalah alam empirik
termasuk juga manusia. Sedangan objek sains yang utama adalah mencari
kebenaran.

A. Urgensi Sains
Sains dalam pengertian umum yaitu ilmu pengetahuan. Di dalam Al- Qur'an
banyak sekali ayat-ayat yang menyentuh tengtang Ilmu pengetahuan dan ilmuan,
al-Qur’an sentiasa mengarahkan manusia untuk menggunakan akal fikirannya
memerangi kemukjizatan dan memberi motivasi meningkatkan ilmu pengetahuan.
Selain itu Al-Qur’an memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmuan. Al-
Qur’an menyuruh manusia berusaha dan bekerja serta selalu berdo’a agar
ditambah ilmu pengetahuan. Sementara itu Rasulullah memberi pengakuan bahwa
ilmuan itu merupakan pewaris para nabi. 9 Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ulama adalah ilmuan yang mengenali dan mentaati Allah.
Sains dalam pengertian khusus mempunyai peran penting dalam
kehidupan seorang muslim, ia disejajarkan dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain,
dan bila diklasifikasikan maka sains ini termasuk fardu kifayah, karena dapat
memberikan dampak positif bagi peningkatan keimanan seseorang, hal ini dapat
dilihat pada beberapa hal berikut:
a. Memperteguh Keyakinan Terhadap Allah
Terbentuknya alam semesta ini dengan berbagai fenomenanya
merupakan kunci hidayah Allah, demikian dikatakan oleh Sayyid Qutb
dalam kitab fi Zilal al-Qur’an.10 Menurut Yusuf Qardhawi, hal tersebut
merupakan kitab Allah yang terbentang untuk manusia membaca
kekuasaan dan kebesaran Nya.11 Sekalipun Tuhan merupakan tema sentral
dalam al-Qur’an, namun tidak pernah memberikan gambaran figurative
tentang penciptaan, namun hanya menyebut tanda-tandanya saja.
Keadaan seperti ini membawa implikasi bahwasanya untuk memahami sifat

14
Tuhan , seseorang perlu mengkaji dan menggenal semua aspek
ciptaannya.
Seperti telah dijelaskan sains adalah pengkajian terhadap
penomena alam dengan mengunakan metode ilmiah, sains mempunyai
korelasi dengan proses pengenalan manusia terhadap sifat-sifat Tuhan.
Setiap benda dan setiap penomena alam menjadi bukti kewujudan dan
kekuasaan Allah Sains mempunyai peran memperteguh keyakinan
manusia terhadap Allah. Sains telah membuktikan bahwa jagad raya ini
bersifat tertib, dinamis dan segala elemennya saling berkaitan dengan cara
yang rapi dan teratur. Penemuan seperti ini membuktikan kekuasaan Allah
sebagai Rab semesta alam.
b. Menyingkap Rahasia Tasyri’
Sebagian hikmah dan maslahah disebalik disyariatkannya suatu
hukum didalam Al-Qur’an dapat diungkapkan melalui sains. Sains dapat
membuktikan bahwa hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an adalah
mengenai realitas kehidupan dan kondisi alam yang sebenarnya. Sebagai
contoh dapat dilihat tentang hukum khamar, Al-Qur’an mengharamkan
karena memberi efek negatif terhadap sistem dan organ tubuh manusia,
dengan menggunakan sains, akan dapat dilihat lebih jelas sejauh mana
dampak negatif yang ditimbulkannya, sehingga pantas diharamkan.

Namun demikian perlu digaris bawahi, bahawa agama tidak boleh


hanya difahami melalui teori sains semata, sebab sikap sains ini tidak sama
dengan sikap ibadah , Tuhan tidak akan dapat dikenali dan agama tidak
dapat dihayati hanya dengan teori-teori sains belaka, namun jika sains
dijadi pendukung untuk memahami agama lebih dalam lagi, tentu akan
dapat memberi kesan yang lebih fositif lagi terhadap hukum-hukum agama
serta lebih memberi keyakinan bagi orang Islam untuk mengamalkannya.

15
c. Bukti Kemu’jizatan Al-Qur’an.
Untuk membuktikan kemu’jizatan Al-Qur’an, sains juga dianggap
sebagai sesuatu yang penting, sebab banyak perkara yang waktunya belum
samapai telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an turun, kondisi
manusia untuk memahami penomena alam yang disinyalis oleh Al-Qur’an
belum lagi memadai, hal ini dapat dilihat tentang asal usul kejadian
manusia, seperti yang disinyalis dalam surah al-An’am(6) ayat 2 yang
menyatakan manusia berasal dari tanah. Dalam kajian sains, bahwa yang
dimaksud dengan tanah pada ayat tersebut adalah tanah yang terdiri
beberapa unsur tertentu. Menurut analisa kimia terdapat 105 unsur pada
tanah yang semuanya ada pada diri manusia walaupun kadarnya berbeda-
beda, selain itu ada unsur-unsur kecil lainnya yang tidak dapat dideteksi.
Oleh sebab itu penemuan sains amat penting untuk menghayati maha
bijaksananya Allah.

d. Menyempurnakan Tanggung Jawab Peribadatan.


Dalam menjalani kehidupan manusuia butuh beberapa bantuan,
pengetahuan tentang sains merupakan salah satu yang dibutuhkan, begitu
pula dalam hal hubungannya dengan Allah sebagai tuhan semasta,
pengetahuan tentang sains juga dibutuhkan. Shalat sebagai ibadah yang
wajib ditunaikan diperintahkan untuk menghadap kiblat, Untuk menentukan
arah kiblat diperlukan ilmu geografi dan astronomi, begitu juga terhadap
penetuan waktu-waktu menjalankan shalat serta penentuan awal dan akhir
bulan Ramadan. Dengan demikian sains diperlukan dalam ibadah puasa
ramadhan.
Dalam masalah zakat pengetahuan tentang matemateka tidak dapat
dikesampingkan begitu saja, begitu juga dengan ibadah haji , diperlukan
arah penunjuk jalan serta transportasi yang dijadikan alat angkutan dari
berbagai penjuru dunia menuju kota Makkah, yang semua itu memerlukan
sains. Dengan menggunakan sains para dokter dapat mendeteksi dan
selanjutnya menggobati berbagai macam penyakit dan kesehatan akan
dapat terjaga dengan baik sehingga manusia akan dapat beribadah kepada
tuhannya secara sempurna.64) Dengan demikian dapatlah difahami bahwa

16
sains merupakan salah satu sarana penunjang untuk kesejahteraan
kehidupan manusia serta penunjang kesempurnaan ibadah seorang hamba
terhadap tuhannya.
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat diketahui bahwa sains juga
merupakan sesuatu yang urgensi untuk memenuhi tuntutan agama.
Didalam Al-Qur’an Allah menganjurkan orang-orang Islam untuk
mempersiapkan diri dengan kekuatan seoptimal mungkin, sama ada
kekuatan mental maupun matrial untuk mempertahankan diri dari ancaman
musuh, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an ayat 60 surah Al-
An’am. Kekuatan material seperti peralatan perang adalam menuntut
kepada kecanggihan dan ketrampilan umat Islam dalam bidang sains dan
teknologi.
Alam semesta ini diciptakan Allah untuk kepentingan dan kebutuhan
hidup manusia sebagaimana dijelaskan pada ayat 20 surah
Lukman(Q.S.31:20). Dalan rangka mendapatkan berbagai fasilitas
diperlukan pengolahan terhadap sumber daya alam yang dikurnikan oleh
Allah, dan untuk memperoleh hasil yang maksimal tentunya diperlukan
berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengatahuan tentang sains dan
teknologi 66) . Pemanfaatan sumber daya alam adalah sebagaian dari pada
aktivitas sains. Dalam kontek ini, menurut Muhammad Qutb, pada
prinsipnya sains adalah merupakan suatu cara melaksanakan tugas yang
diamanahkan oleh Allah kepada umat manusia.

B. Pendekatan Al-Qur’an Terhadap Sains


Dalam kajian sains, Al-Qur’an telah memberikan dasar yang jelas, banyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyentuh berbagai bidang dalam disiplin sains. Dalam
buku Quranic Sicences, Afzalu Rahman telah menyebutkan sebanyak 27 cabang
ilmu sains yang disentuh oleh Al-Qur’an. Diantaranya kosmologi, astronomi,
astrologi, fisika, kimia serta betani dan lain sebaginya. Hal ini menjadi bukti
terhadap relevansi sains dalam agama. Selain itu Al-Qur’an selalu menganjurkan
manusia untuk mengasah dan menggunakan nalar .
Suatu hal yang perlu diingat bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sains, maka
cara pendekatannya tidak sama dengan cara sains moderen. Pendekatan sains

17
memisahkan sesuatu dari semua yang ada kemudian menganalisa secara
terperinci, sedangkan al-Qur’an berbicara tentang sains dalam bentuk holistic dan
global serta ditempatkan pada berbagai surah di antaranya ayat 44, 73, 242, surah
al-Baqarah, begitu pula ayat 118 surah Ali Imran, ayat 61 surah al-Nur dan ayat 30
surah al-Mukminun. .Penekanan sains dalam al-Qur’an lebih dititik beratkan pada
penomena-penemena alam, objek utama pemaparan ayat-ayat seperti ini adalah
sebagai tanda keesaan dan kekuasaan Khalik, Bahkan, perbincangan tentang
ayat-ayat ini merupakan tema utama dalam al-Qur’an.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa terdapat kaiatan yang kuat antara
al-Qur’an dengan penomena alam. Dalam konteks tersebut menurut Sayyid Husin
al-Nasr, kedua-duanya merupakan ayat Allah. Alam merupakan kitab yang
terbentang lebar (Al-Kitab al-Maftuh) yang tidak ditulis dan dibaca, diibaratkan
sebuah teks, alam bagaikan sehamparan bahan-bahan yang penuh dengan
lambang-lambang (ayat) yang mesti difahami menurut maknanya. al-Qur’an
merupakan kitab yang dibaca( al-Kitab al-Maqru’) yaitu teks dalam bentuk kata-
kata yang dipahami oleh manusia.

Ayat-ayat al-Qur’an yang ada kaitannya dengan sains, dapat


diklassifikasikan kepada dua ketegori. Yang pertama adalah ayat-ayat yang
menjelaskan secara umum , sama ada yang berhubungan dengan biologi,
fisika,geografi atau astonomi dalam lain sebagainya. Sedangkan yang kedua,
adalah ayat-ayat yang menjelaskan secara khusus dan terperinci, seperti tentang
uraiannya mengenai masalah reproduksi manusia.(Q.S. 23:12-14). Ayat-ayat
tersebut secara umum menyentuh tentang penomena alam semesta jadi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa pemaparan fenomena-fenomena
tersebut dilakukan oleh al-Qur’an bertujuan mengajak manusia mengenal
Penciptannya menerusi esensi yang wujud pada alam tersebut. Objek ini lah yang
menjadi titik perbedaan kajian sains sekuler dengan kajian sarjana muslim.
Sekularisme memandang dunia secara fisik dan mengabaikan metafisik secara
mendalam, padahal antara dunia fisik mempunyai kaitan yang erat dengan
metafizik dan penciptanya.
Dalam upaya mengajari manusia memahami dan mengenal kekuasan dan
keagungan Tuhannya, al-Qur’an telah menekankan akan arti pentingnya manusia

18
menggunakan akal fikiran serta panca indra. Bahkan al-Qur’an mengibaratkan
manusia yang tidak menggunakan fikiran dan panca indranya laksana binatang
ternak ,bahkan lebih jelek dari itu (Q.S:7:179). Oleh sebab itu manusia selalu
diingatkan untuk sentiasa membuat observasi, berfikir secara reflektif, membuat
penganalisaan yang kritis serta membuat pertimbangan yang matang. Secara
umum kajian sains menggunakan dua metode, yaitu observasi dan eksprimen
dimana kedua-duanya akan melibatkan fungsi akal dan panca indra.

Akal bukanlah hanya satu objek yang terletak di kepala sebagaimana otak.
Akal merupakan daya untuk merasa atau berfikir yang bisa memberikan kekuatan
kepada manusia untuk memperhati dan mengkaji, memilih dan membuat
keputusan terhadap sesuatu perkara atau langkah-langkah serta berbagai macam
persoalan yang dihadapi untuk mencapai apa yang diinginkan.
Berdasarkan kepada wacana sains dalam Al-Qur’an, dapat difahami bahwa
Al-Qur’an memiliki peran penting serta motivator penggerak aktivitas sarjana

muslim dalam bidang ilmu pengetahuan, sejalan dengan faktor-faktor lain


khususnya kepentingan ilmu sains dalam kehidupan manusia. Kemudian jika dilihat
pada ayat-ayat Al-Qur’an yang bertemakan sains, akan nampak bahwa
pengerakan sains menurut pendekatan Al-Qur’an bukan hanya untuk sains itu
sendiri atau hanya untuk kesenangan manusia saja, tapi ada lebih penting dari itu,
yaitu memahami ayat-ayat Allah untuk agar manusia lebih mengenal Khaliknya.
Al-Qur’an Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat itu, menguraikan berbagai
persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan
fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat
kauniyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal di
atas. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.
Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti
bahwa Al-Qur’an sama dengan kitab Ilmu Pengetahuan, atau bertujuan untuk
menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Qur’an memperkenalkan dirinya
sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan maksudnya menegaskan bahwa ia
mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Qur’an terdapat segala pokok
petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.

19
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala
macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan akan ada, kesemuanya
terdapat dalam Al-Qur’an". Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang
berbunyi, Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan bila
aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan tidak mungkin dapat
mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan
bahwa pasti Al-Qur’an, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung
misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam Jawahir Al-
Qur'an. Di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang pada
hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak semua apa yang diketahui dan
diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh)
pengetahuan?
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui
batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih mengetahui
tentang kandungan Al-Qur’an" tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di antara
mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak
boleh memahami Al-Qur’an kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan
setingkat dengan pengetahuan mereka." Ulama ini seakan-akan lupa bahwa
perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayat nya tidak hanya tertuju kepada para
sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus
berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing.

C. Al-Quran Dan Alam Raya


Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Qur’an berbicara tentang alam dan
fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut hal
tersebut :
1. Al-Qur’an memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk
memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh
manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk
mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan

Allah SWT. Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia memiliki
potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang

20
mengatur fenomena alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan
ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).
2. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya,
diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan
sangat teliti.
Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut
kecuali jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:
a. Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan
atau dikultuskan.
b. Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya ketetapan-
ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan
fenomenanya (hukum-hukum alam).
c. Redaksi ayat-ayat kauniyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga
pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi
sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan
masing-masing penafsir.
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu digaris bawahi beberapa
prinsip dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha
memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengambil corak ilmiah.
Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :
a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan
memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti

bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan


pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat
tertentu.
b. Al-Qur’an diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang
Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul . dan tidak pula hanya untuk
masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Qur’an serta dituntut menggunakan
akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau
disadari bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda
akibat latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi sosial,

21
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah
wajar apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya,
baik dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.
c. Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan
iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Qur’an tidak berarti
menafsirkan Al-Qur’an secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah
penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam
bidang ini.
d. Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-
Qur’an adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek
bahasan ayat-ayat Al-Qur’an. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus
kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kauniyah tanpa
memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula
dengan pokok-pokok bahasan ayat yang lain.

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir


memperingatkan perlunya para mufasir, khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan penafsiran ilmiah, untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-
penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-
ayat Al-Quran.

22
BAB III
3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIST

HADITS KEDUA

‫ات َي ْو ٍم إِ ْذ‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َذ‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ل‬fِ ‫ َب ْي َن َما َنحْ نُ ُجلُ ْوسٌ عِ ْن َد َرس ُْو‬: ‫َعنْ ُع َم َر َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه أَيْضا ً َقا َل‬
،‫ َوالَ َيعْ ِرفُ ُه ِم َّنا أَ َح ٌد‬،‫ الَ ي َُرى َعلَ ْي ِه أَ َث ُر ال َّس َف ِر‬،‫ب َش ِد ْي ُد َس َوا ِد ال َّشعْ ِر‬ ِّ ‫اض‬
ِ ‫الث َيا‬ ِ ‫َطلَ َع َعلَ ْي َنا َر ُج ٌل َش ِد ْي ُد َب َي‬
‫ َيا‬:‫ع َك َّف ْي ِه َعلَى َفخ َِذ ْي ِه َو َقا َل‬fَ ‫ض‬ َ ‫س إِلَى ال َّن ِبيِّ صلى هللا عليه وسلم َفأَسْ َن َد ُر ْك َب َت ْي ِه إِلَى ر ُْك َب َت ْي ِه َو َو‬ َ َ‫َح َّتى َجل‬
ُ‫إلسِ الَ ُم أَنْ َت ْش َهدَ أَنْ الَ إِلَ َه إِالَّ هللا‬ ِ ‫ ْا‬: ‫هللا صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ل‬fُ ‫ َف َقا َل َرس ُْو‬،‫إلسْ الَ ِم‬ َ
ِ ‫ َع ِن ْا‬f‫م َُحمَّد أ ْخ ِبرْ ِني‬
‫ت إِلَ ْي ِه‬َ ْ‫ْت إِ ِن اسْ َت َطع‬ َ ‫ َو َت ُح َّج ْال َبي‬  ‫ان‬ َ ‫ض‬ َ ‫الزكا َ َة َو َتص ُْو َم َر َم‬ َّ ‫ِي‬fَ ‫صالَ َة َو ُت ْؤت‬ َّ ‫هللا َو ُتقِ ْي َم ال‬ِ ‫ل‬fُ ‫َوأَنَّ م َُحم ًَّدا َرس ُْو‬
‫هلل َو َمالَ ِئ َك ِت ِه‬ ِ ‫ أَنْ ُت ْؤم َِن ِبا‬: ‫ان َقا َل‬ َ
ِ ‫ َفأ ْخ ِبرْ نِي َع ِن ْا‬:‫ َقا َل‬،ُ‫ص ِّدقُه‬
ِ ‫إل ْي َم‬ َ ‫ َف َع ِج ْب َنا لَ ُه َيسْ أَلُ ُه َو ُي‬،‫ت‬ َ ‫ص َد ْق‬ َ : ‫َس ِب ْيالً َقا َل‬
َ َ ‫ َقا َل‬.ِ‫َو ُك ُت ِب ِه َو ُر ُسلِ ِه َو ْال َي ْو ِم اآلخ ِِر َو ُت ْؤم َِن ِب ْال َقد َِر َخي ِْر ِه َو َشرِّ ه‬
:‫ َقا َل‬،‫ان‬ ِ ‫إلحْ َس‬ ِ ‫ َع ِن ْا‬f‫ َقا َل َفأ ْخ ِبرْ ِني‬،‫ت‬ َ ‫صدَ ْق‬
‫ل َع ْن َها‬fُ ‫ َما ْال َمسْ ؤُ ْو‬:‫ َقا َل‬،ِ‫َّاعة‬ َ ‫ َفأ َ ْخ ِبرْ نِي َع ِن الس‬:‫ َقا َل‬. ‫ك‬ َ ‫ك َت َراهُ َفإِنْ لَ ْم َت ُكنْ َت َراهُ َفإِ َّن ُه َي َرا‬ َ ‫أَنْ َتعْ ُب َد هللاَ َكأ َ َّن‬
‫ َقا َل أَنْ َتلِ َد ْاألَ َم ُة َر َّب َت َها َوأَنْ َت َرى ْال ُح َفا َة ْالع َُرا َة ْال َعالَ َة‬،‫ارا ِت َها‬ َ ‫ َقا َل َفأ َ ْخ ِبرْ نِي َعنْ أَ َم‬.‫ِبأَعْ لَ َم م َِن السَّائ ِِل‬
ُ‫ هللا‬: ‫ت‬ ُ ‫ َيا ُع َم َر أَ َت ْد ِري َم ِن السَّائ ِِل ؟ قُ ْل‬: ‫ ُث َّم َقا َل‬،‫ت َملِ ًّيا‬ ُ ‫ ُث َّم ا ْن َطلَ َق َفلَ ِب ْث‬،‫ان‬ ِ ‫ِر َعا َء ال َّشا ِء َي َت َط َاولُ ْو َن فِي ْال ُب ْن َي‬
  . ‫ َقا َل َفإِ َّن ُه ِجب ِْر ْي ُل أَتـَا ُك ْم ي َُعلِّ ُم ُك ْم ِد ْي َن ُك ْم‬. ‫َو َرس ُْولُ ُه أَعْ لَ َم‬

]‫مسلم‬ ‫[رواه‬
 

Arti hadits / ‫ ترجمة الحديث‬:

Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang
mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya
bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada
kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad,
beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah)
selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “
anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan.
Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “
Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya
dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “,

23
kemudian dia berkata: “ anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku
tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” .
Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau
bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan
aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika seorang hamba melahirkan
tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan
penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya “,
kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah)
bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian
(bermaksud) mengajarkan agama kalian “.

(Riwayat Muslim

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak


mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu
adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-
orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta
paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih
oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk
menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan
tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang
lurus.”

 URGENSI
A. SAHABAT

1. Pengertian Sahabat

Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam


dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia
pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan
berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya,

24
berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam
pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat
yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah
bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat
Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat

Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah


wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan sering
menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat kepada para
sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan ; Wahai
Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami
dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami
kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh
Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan
kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi
perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang
agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi
di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid
yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan
pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah
mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya
tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 141). Barangsiapa yang
mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab,
As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

Dalil-dalil Al Kitab tentang keutamaan para Sahabat

1. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah beserta
orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir

25
dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud
senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath)
2. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan
Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta
mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi
menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman
sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang
mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri
mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al
Hasyr : 8-9)
3. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-
orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu
di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati
mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan
membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)
4. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih dulu
(berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At
Taubah : 100)
5. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari dimana Allah tidak akan
menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka
bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim :) (lihat Al
Is’aad, hal. 77-78)

Dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan para Sahabat

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela


seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila

26
seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar
Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara
mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya
saja.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat),
kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-
orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah
amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah
kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat
bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan
Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah
amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan
datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan
Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencela para
sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat
dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan
tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat Al Is’aad, hal.
78)

Dalil Ijma’ tentang keutamaan para Sahabat

1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya,


“Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat)
kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat
dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan
konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui
dalam hal ijma’.”
2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat
adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam fitnah maupun tidak, ini

27
berdasarkan kesepakatan para ulama yang layak untuk diperhitungkan
pendapatnya.”
3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah
sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang
yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari
kalangan ahli bid’ah.”
4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah
adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya,
orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-
Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah
dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat
ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan
yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-
orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Urutan keutamaan para Sahabat


Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki
keutamaan yang bertingkat-tingkat.

1. Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu’anhum al jamii’. Mereka adalah orang
yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk
mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku,
gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
2. Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira
pasti masuk surga selain mereka, yaitu : Abu ‘Ubaidah ‘Aamir bin Al Jarrah, Sa’ad
bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwaam, Thalhah bin Ubaidillah dan
Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhum.
3. Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu
4. Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah
ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada

28
di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan
membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18).
5. Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath.
Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad
setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang
yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu
memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya
dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk
mereka.” (QS. Al Hadid : 10). Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini
adalah perdamaian Hudaibiyah.
6. Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
7. Kemudian kaum Anshar. Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum
Anshar di dalam Al Qur’an, Allah subhanahu berfirman (yang artinya), “Bagi orang-
orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan
meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan
keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-
orang yang benar.” (QS. Al Hasyr : 8).
Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tentang kaum Anshar,
Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman
sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang
mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka
sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barangsiapa
yang dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Al Hasyr : 9). Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal
mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya
kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat
tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu
menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak
bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab


berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu,

29
amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok
maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin
dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah : 117).

Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan


negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di
Mekkah, pent). Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu
Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini
menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah
sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan
‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada
lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula
sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang
berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena
memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)

Menyikapi polemik yang terjadi di kalangan para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka


(Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di
antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah
pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang
buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak
mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak
mendapatkan satu pahala. Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah
berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat
kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu’anhum tidak
memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya,
paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah
orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan

30
yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan
polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah;
sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau
kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah
Wasithiyah, hal. 82)

Keterjagaan para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para


sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena
mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada
orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk
meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut :

1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih


2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah
sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang
selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus
apa yang dilakukan sebelumnya.
5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi
yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan
dan menutup bekas-bekas dosa.
7. Kaum mukminin senantiasa mendo’akan mereka
8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat
manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang


diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan
mereka. Hal itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan
juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum

31
pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)

B. TABI’IN
a. Pengertian tabi’in

Tabi’in secara bahasa diartikan dengan pengikut.sementara itu secara


istilah tabi’in diartikan dengan orang yang bertemu denga sahabat dan
meninggal dalam keadaan islam, sekalipun masih berusia muda, baik bertemu
dalam waktu yang singkat maupun lama. Disisi lain, Al-Khatib memberikan
definisi yang sederhana bahwa tabi’in ialah orang yang bertemu dengan
sahabat.

Tabi’i pada asalnya berarti pengikut. Dimaksudkan dalam ilmu hadist


ialah  “seluruh umat islam yang bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya,
tidak bertemu dengan Nabi SAW dan tidak pula semasa dengan Nabi
SAW”.  Mufrad dari tabi’in ialah tabi’. Dan tabi’ini bisa dijamakkan dengan atba’

b. Masa Permulaan Tabi’in


Yang berjumpa dengan sahabat Anas ibn Malik di Bashrah. Yang
berjumpa dengan As-Sa’ib di Madinah. Yang berjumpa dengan Abu Umamah
Shudai ibn Ajlam di Syam yang berjumpa dengan Abdullah ibn Abi Aufa di
Kuffah yang berjumpa dengan Abdullah ibn Harist  Az-Zabidi di Mesir dan yang
berjumpa dengan Abu Thufa’il di Makkah.
c. Tabi’in Yang Paling Utama
Tabi’in yang paling utama ialah Uwais ibn Amr al-Qarni. Menurut
pendapat Ahmad ialah Sa’id ibn Musayyab sebenarnya ini bukanlah perselisihan
yang hakiki, karena sebenarnya masing masing mereka mempunyai segi
keistimewaan tersendiri. Dari segi Wara’,  Uwais lah yang paling utama, dari segi
kealiman, Said yang paling utama. Demikian yang dikatakan oleh Al-Bulqiny.

Diantara tokoh-tokoh tabi’in yang paling terkemuka ialah fuqaha tujuh  yaitu :


1)      Sa’id Al-Musayyab
2)      Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar
3)      Urwah ibn Zubair

32
4)      Kharijah ibn Zaid
5)      Abu Ayyub Sulaiman ibn Yassar Al-Hilali
6)      Ubaidullah ibn Utbah
Ada 2 pendapat, pendapat kesatu mengatakan Salim ibn Abdullah. Dan
pendapat kedua mengatakan Abu Salamah ibn Abdurrahman ibn Auf.
C. ATBA’ TABI’IN
a. Pengertian Atba’ tabi’in
Ialah orang-orang yang bertemu dengan tabi’in. Masa mereka dimulai
pada tahun 180H yaitu tahun ketika Khalaf ibn Khalifah wafat. Beliau merupakan
tabi’in terakhir. Selanjutnya thabaqah setelah tabi’u at-tabi’in adalah orang-orang
yang bertemu dengan tabi’u at-tabi’i yang dimulai dari tahun 220 H s/d 300 H.
 Ialah orang-orang yang menyertai dan mengambil haditsnya dari tabi’in
sekalipun tidak lama menyertainya, menurut pendapat yang shohih, diantaranya
Imam Malik dan Imam Syafi’i.
b. Tingkatan Generasi Tabi’u At-Tabi’i Dan Setelahnya
 Pada tahun 300H inilah,  menurut Al-Hafidzh Al-Dzahabi, masa
periwayatan selesai.  Masa generasi tabi’u at-tabi’in ini dibagi menjadi
3 thabaqah, yaitu:
1. Thabaqah senior,  diantaranya Imam Ahmad ibn Hanbal
2. Thabaqah pertengahan,  seperti Imam Al-Bukhari, dan
3. Thabaqah junior,  diantaranya At-Tirmidzi

33
BAB IV

PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH

As-Salafiyyah) adalah salah satu metode dalam agama Islam yang mengajarkan
syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan, berdasarkan
syariat yang ada pada generasi Muhammad dan para sahabat kemudian setelah mereka
(murid para sahabat) dan setelahnya (murid dari murid para sahabatSaat ini kata salafi
sering dihubungkan dengan Wahhabisme (untuk sebagian umatnya nama Wahabi ini
dianggap menghina, mereka lebih memilih istilah Salafisme), sehingga dua istilah ini
sering dipandang sebagai sinonim. Wahabisme ini banyak diartikan dengan pengikut atau
nisbah kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, padahal jika dilihat dari cara penisbahan
adalah suatu halyang tidak lazim. Karena jika menisbahkan kepada Muhammad bin Abdul
Wahhab seharusnya menjadi Muhammadiyyah bukan wahabiyah karena Abdul Wahhab
bukan namanya namun nama ayahnya. Para pengikut salafy meyakini bahwa Muhammad
bin Abdul Wahhab tidak mengajarkan agama (aliran) baru dalam syariat Islam, ia hanya
berusaha memurnikan Islam yang telah bercampur dengan adat istiadat lokal.

 URGENSI
1. Kata Salaf Secara Bahasa

Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu,
keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur
mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek
moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan
salafush shalih (pendahulu yang baik).” Makna semacam ini serupa dengan kata salaf
yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami
murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut
dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang
kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai
pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan
mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil
nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).

34
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek
moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang
baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam
sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya
Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik  salafmu
adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30,
baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang
terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang
baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat,
dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan
tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul
komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu” .
Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…

Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian


secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian
bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita
mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek
penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita
bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber
pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh
sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli
agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun
menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian
sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya
tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawidengan
makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).

35
2. Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama

Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka
yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:

Pertama : Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua : Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).

Ketiga : Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui


kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa
menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al
Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi


kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat
radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah
ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.”
(Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah
generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk
pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in,
-red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di
sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.”
(Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir


Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang
mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa
menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya
dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka.
Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan
daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi

36
mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…”
( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-
baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in ) dan
kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula
setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai
orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi,
artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa
itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria
yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab
dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun
orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia
adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini
artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak
beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun
orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al
Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).

3. Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah

Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah
karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya
ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena
pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal
masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak dibutuhkan
penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu
khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara
dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan
Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut
karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul
berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka

37
muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan
menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.

Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman


bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu
yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih
murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang
menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah.
Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan
pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan
nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).

Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami
akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun
harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali
(pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin
(pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan, “Oo, kalau ini
berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan
istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak
untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin. Alasannya adalah
karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh
Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan.
Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan
kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin
dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa
menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara
dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang
ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah Abhaats
Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa
Nashr hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang
teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun
V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).

38
4. Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa


harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru
kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan
sebuah  firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliau rahimahullah menjawab,
“Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang
penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan
syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi  shallallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat
beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan
bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu
pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal
ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan
sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam
rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan
ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam
bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada


orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan
sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia
mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah
seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh
mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalihdalam hal akidah, ibadah dan
perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia
tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam
yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang
ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam
hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat),
kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab
itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari

39
menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan
(salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau
kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang
akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda
Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-
66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).

5.Benci Salaf Berarti Benci Islam

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini
disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah
orang-orang kafir.

Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini,
“Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan
hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan
kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat  radhiyallahu’anhum.
Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat
benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para
sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan
sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).

40
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi
kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para
pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah
konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama
sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-, Kyai
ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka
menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan
Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah
mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu
Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul
Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam
bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas
bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam.
Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.
Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau
persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus
Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan
baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72
yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama
tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427
dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada
ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. Bacalah!!).

Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan
lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang
tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka,
semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah
menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah
menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya
menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy
dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para
sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah

41
seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak
bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga
tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam
kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).

6. Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya

Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya,  “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal
di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini
Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan
Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim
Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat
yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para
Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para
Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla
juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat
dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur
dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti
perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan
mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala


mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu
(masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan
mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta kelezatan yang
abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar

42
(Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang
sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik”
merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah
orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh
dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan
mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh
Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir
Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam
tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam
dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).

Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas


dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para
sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang
Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai
Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai
Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan
melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam
konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullahmemberikan sebuah
komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau
mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka
(semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian
mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi,
membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar
dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian
dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah
terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka
terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang
telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140)

43
BAB V

ANJURAN DAN TENGAN BERBAGI, PENEGAKAN SERTA KEADILAN HUKUM


DALAM ISLAM

berbagi adalah memberi atau menerima sesuatu dari barang, cerita, kisah, uang,
makanan, dan segala hal yang penting bagi hidup kita, berbagi juga bisa kepada Tuhan.
sesama, alam, dan setiap hal di bumi ini. Manusia adalah makhluk sosial, jadi manusia
saling membutuhkan satu sama lain, kita membutuhkan orang lain, dan orang lain
membutuhkan kita juga, karena hal itu kita harus berbagi dan orang lain akan berbagi
kepada kita juga. Berbagi kepada sesama adalah hal penting, karena tanpa berbagi kita
sebagai manusia kehilang arah dan arti dari makhluk sosial itu sendiri. Kita sebagai
mahkluk sosial sudah kewajiban kita untuk berbagi, apapun yang dapat kalian bagi, tidak
perlu uang, atau sesuatu yang kalian tidak punya, berbagilah yang kalian punya, berbagi
juga tidak perlu kita mendatangi semua tempat orang yang kesusahan, tetapi berbagi di
sekeliling kita, pasti sekeliling kita masih banyak orang yang membutuhkan, tidak hanya
finansial, bisa juga dari mental, seperti membagikan Cinta kasih kepada orang lain yang
terlihat sangat down, patah semangat, putus asa, bisa juga kita memperhatikan orang tua
di sekitar kita yang kurang perhatian, bantu mereka dengan menyebrang jalan, atau
membersihkan dan mengangkat sesesuatu yang berat saat mereka mau pindahan, atau
sedang dalam kesulitan

Rasulullah SAW menyebutkan bahwa bersedekah adalah bukti kejujuran dan


keikhlasan akhlak seorang muslim, seperti di sebutkan dalam hadits di bawah ini :

Abu Malik Al-Harits bin ‘Ashim Al-Asy’ari RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Kesucian itu sebagian dari iman, dan kalimat alhamdulillah memenuhi timbangan. Kalimat
subhanallah dan alhamdulillah memenuhi ruang yang ada di antara langit dan bumi.
Shalat itu cahaya, sedekah itu bukti, sabar itu cerminan, Al-Qur’an itu hujjah yang akan
membela atau menuntutmu. Setiap manusia bekerja. Ada yang menjual dirinya, ada yang
membebaskan dirinya, dan ada pula yang menghancurkan dirinya.” (HR. Muslim)

Sedekah atau dalam bahasa Arab di sebut Shadaqah, sebenarnya adalah pemberian
seorang Muslim kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi oleh waktu
dan jumlah tertentu. Sedekah lebih luas dari sekedar zakat maupun infaq. Karena

44
sedekah tidak hanya berarti mengeluarkan atau menyumbangkan harta. Namun sedekah
mencakup segala amal atau perbuatan baik . Sedekah dalam bentuk harta selain zakat
dikenal dengan infaq.

Munculnya agama Islam di abad pertengahan membawa pengaruh dan perubahan


tatanan nilai kemasyarakatan yang dikenalkan oleh ajaran Kristen. Islam tumbuh di daerah
gersang yang tidak memiliki sistem dan tatanan nilai kemasyarakatan seperti pada
imperium Romawi tempat tumbuhnya ajaran Kristiani, sehingga corak dan watak ajaran
Islam berbeda dengan ajaran Kristiani.
Keadaan seperti ini justru merupakan keadaan yang paling tepat, sebab dengan
demikian Islam dapat memiliki kekuasaan untuk menumbuhkan masyarakat yang
menginginkannya tanpa sifat kecongkakan, lalu meletakkan aturan dan sistem baginya
yang selanjutnya membimbing hati dan jiwa mereka seperti halnya dengan sikap dan
amaliah mereka, serta menyatakan urusan duniawi dan agama dalam cita-cita dan
syariatnya.
Semua dibangun atas asas kesatuan antara alam dunia dan alam akhirat dalam
sistem tunggal yang hidup dalam hati setiap individu. Ajaran Islam menurut Quthb
mengatur bentuk hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya, hubungan antara sesama
makhluk, dengan alam semesta dan kehidupan, hubungan manusia dengan dirinya,
antara individu dengan masyarakat, antara individu dengan negara, antara seluruh umat
manusia, antara generasi yang satu dengan generasi yang lain, semuanya dikembalikan
kepada konsep menyeluruh yang terpadu, dan inilah yang disebut sebagai filsafat Islam.
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan
keadilan pada setiap tindakandan perbuatan yang dilakukan (Qs. an-Nisaa (4): 58):
Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan ama- nat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha
Melihat.
Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisaa ayat 135 juga dijumpal perintah kepada orang-orang
yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benarpenegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak

45
dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan’
Perintah untuk berlaku adil atau menegakkan keadilan dalam menerapkan hukum
tidak memandang perbedaan agama, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an
Surat asSyuura (42) ayat 15, yakni:
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:
“Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya
berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kebali (kita).
Begitu pentingnya berlaku adil atau menegakkan keadilan, sehingga Tuhan
memperingatkan kepada orang-orang yang beriman supaya jangan karena kebencian
terhadap suatu kaum sehingga memengaruhi dalam berbuat adil, sebagaimana
ditegaskan dalam A1-Qur’an Surat al-Maidah (5) ayat 8, yakni:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu Untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan takwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat Islam tidak terlepas dan
persoalan keterpaksaan dan kebebasan. Para Teolog muslim terbagi dalam dua
kelompok, yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan dan kebebasan, sedangkan
Kaum Asy’ari yang membela keterpaksaan. Kaum Asy’ari menafsirkan keadilan dengan
tafsiran yang khas yang menyatakan Allah itu adil, tidak berarti bahwa Allah mengikuti
hukum-hukum yang sudah ada sebelumnya, yaitu hukum-hukum keadilan tetapi berarti
Allah merupakan rahasia bagi munculnya keadilan. Setiap yang dilakukan oleh Allah
adalah adil dan bukan setiap yang adil harus dilakukan oleh Allah, dengan demikian
keadilan bukan lah tolok ukur untuk perbuatan Allah melainkan perbuatan Allahlah yang
menjadi tolok ukur keadilan. Adapun Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan

46
berpendapat bahwa keadilan memiliki hakikat yang tersendiri dan sepanjang Allah
mahabijak dan adil, maka Allah melaksanakan perbuatannya menurut kriteria keadilan.

Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa konsep adil dikenal dalam empat


hal; pertama, adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu masyarakat yang ingin tetap
bertahan dan mapan, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan seimbang,
di mana segala sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar semestinya dan
bukan dengan kadar yang sama. Keseimbangan sosial mengharuskan kita melihat neraca
kebutuhan dengan pandangan yang relatif melalui penentuan keseimbangan yang relevan
dengan menerapkan potensi yang semestinya terhadap keseimbangan tersebut. Al-Qur’an
Surat ar-Rahman 55:7 diterjemahkan bahwa: “Allah meninggikan langit dan dia
meletakkan neraca (keadilan)”.
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa, yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah
keadaan alam yang diciptakan dengan seimbang. Alam diciptakan dan segala sesuatu
dan dan setiap materi dengan kadar yang semestinya dan jarak-jarak diukur dengan cara
yang sangat cermat. Kedua, adil adalah persamaan penafian terhadap perbedaan apa
pun. Keadilan yang dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika hak memilikinya
sama, sebab keadilan mewajibkan persamaan seperti itu, dan
mengharuskannya. Ketiga, adil adalahmemelihara hak-hak individu dan memberikan hak
kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah keadilan
sosial yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu diperintahkan
untuk menegakkannya. Keempat, adil adalah memelihara hak atas berlanjutnya
eksistensi.
Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri mempunyai arti yang lebih dalam daripada
apa yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya Aristoteles; keadilan formal
hukum Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat manusia lainnya. Ia merasuk ke
sanubari yang paling dalam dan manusia, karena setiap orang harus berbuat atas nama
Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala hal termasuk motivasi dan tindakan.
Penyelenggaraan keadilan dalam Islam bersumber pada Al-Qur’an serta kedaulatan
rakyat atau komunitas Muslim yakni umat.
Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan sesuatu
pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang, memberikan
sesuatu yang memang menjadi haknya dengan kadar yang seimbang. Prinsip pokok

47
keadilan digambarkan oleh Madjid Khadduri dengan mengelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu aspek substantifdan prosedural yang masing-masing meliputi satu aspek
dan keadilan yang berbeda. Aspek substantif berupa elemen-elemen keadilan dalam
substansi syariat (keadilan substantif), sedangkan aspek prosedural berupa elemen-
elemen keadilan dalam hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan prosedural).
Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan secara tidak tepat,
maka ketidakadilan prosedural muncul. Adapun keadilan substantif merupakan aspek
internal dan suatu hukum di mana semua perbuatan yang wajib pasti adil (karena firman
Tuhan) dan yang haram pasti tidak adil (karena wahyu tidak mungkin membebani
orangorang yang beriman suatu kezaliman). Aplikasi keadilan prosedural dalam Islam
dikemukakan oleh Ali bin Abu Thalib pada saat perkara di hadapan hakim Syuraih dengan
menegur hakim tersebut sebagai berikut:
a. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan ada
yang didahulukan.
b. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.
c. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama.
d. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan diperhatikan.
e. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.
Sebagai penutup uraian tentang keadilan dan perspektif Islam, saya mengutip
pendapat Imam Ali sekaligus sebagai “pemimpin Islam tertinggi di zamannya” beliau
mengatakan bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip yang signifikan dalam memelihara
keseimbangan masyarakat dan mendapat perhatian publik. Penerapannya dapat
menjamin kesehatan masyarakat dan membawa kedamaian kepada jiwa mereka.
Sebaliknya penindasan, kezaliman, dan diskriminasi tidak akan dapat membawa
kedamaian dan kebahagiaan.

48
DAFTAR PUSTAKA

AA. Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan


Dalam Sejarah Pemerintahan Muslim, 1987, Yogyakarta: PLP2M, hIm.

Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan, 1989),
h. 16-21, 54-56.

Al-Ghazali, Muhammad selalu Melibatkan Allah, (Jakarta PT. Serambi Ilmu Semesta,
2001), h. 28-39.

As-Shieddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar ILMU HADIST. Semarang:


Pustaka Rizki Putra. 2009

As-Shieddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan pengantar ILMU HADIST. Semarang:


Pustaka Rizki Putra. 1999

Fayyad, Mahmud Ali. Manhaj Al-Muhadditsin Fii Dhabth As-Sunnah. Bandung: Pustaka


Setia. 1998

Hamka, Tafsir Al-azhar Jus V, 1983, Jakarta: Putaka Panji Mas, hlm. 125.

Haqiqi, Aiman Nuril. Kamus Hadist. Jombang: ISFA Press. 2011.

https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html diakses pada tanggal 19 Oktober


2020
Jusuf, Haqlul, Dr, SH., Stusdi Islam, (Jakarta : Ikhwan, 1993), h. 26-37.

Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta : al-Hidayah, 1981), h. 9-11.

Khan, Walduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka,


1983), h. 39-101.

Khon, Abdul Majid. Takhrij Dan Metode Memahami Hadist. Jakarta: Amzah. 2014

Madjid Khadduri, Teologi Keadilan (Perspektf Islam), 1999, Surabaya: Risalah


Gusti, hlm.119-201.

Mu’taqad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah Fi Tauhidil Asma’ Was Sifat karya Syaikh

Muhammad bin Khalifah At-Tamimi, dengan beberapa perubahan redaksi.

Muhammad, Abu Bakar. Hadist Tarbiyah 1. Surabaya: Al-Ikhlas

Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, 1995, Bandung:


Mizan, hlm 53-58.

Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, 1994: Bandung: Pustaka, hlm.25

49
LAMPIRAN

50

Anda mungkin juga menyukai