Anda di halaman 1dari 8

1

TUGAS KELOMPOK X
MATA KULIAH TAFSIR DAKWAH

METODE DAKWAH
BERDASARKAN QS. 17: 23,28; QS.12: 28; QS. 49: 6,12

DOSEN :
MIRA FAUZIAH, M.Ag

ANGGOTA :
SIBRA MALISI (180405035)
MUHAMMAD NAZIR BASYIR
SAIPUL ASMI
AFIF BIYAUMI

KEMENTERIAN AGAMA R.I


PROGRAM S-1 KESEJAHTERAAN SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2

QS.17: 23
‫َﺮ ُﻫﻤَﺎ َوﻗُ ْﻞ‬ ‫َﺮ َأ َﺣ ُﺪ ُﻫﻤَﺎ َأ ْو ِﻛ َﻼ ُﻫﻤَﺎ َﻓ َﻼ َﺗﻘُ ْﻞ َﻟ ُﻬﻤَﺎ أُ ﱟ‬
ْ ‫ف َو َﻻ َﺗ ْﻨﻬ‬ َ ‫ْﻦ ِإ ْﺣ َﺴﺎًﻧﺎۚ ِإﻣﱠﺎ َﯾﺒْﻠُ َﻐ ﱠﻦ ِﻋ ْﻨ َﺪ َك ْاﻟ ِﻜﺒ‬ ْ ‫ﱠ‬ ‫ﻀﻰ َ َ ﱠ‬ َ ‫َو َﻗ‬
ِ ‫ٰ َرﺑﱡﻚ أﻻ َﺗ ْﻌﺒُ ُﺪوا ِإﻻ ِإﯾﱠﺎ ُه َوِﺑﺎﻟ َﻮاِﻟ َﺪﯾ‬
‫َﻟ ُﻬﻤَﺎ َﻗ ْﻮ ًﻻ َﻛ ِﺮﯾﻤًﺎ‬
Artinya :
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
Tafsir pada QS. 17:23 diatas, bahwasanya Tuhan Allah itu sendiri yang menentukan, yang
memerintah, dan memutuskan bahwasanya dialah yang mesti di sembah, dipuji dan dipuja.
Dan tidak boleh, dilarang keras menyembah yang selain Dia. Oleh sebab itu maka cara
beribadat kepada Allah, Allah itu sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah ibadat
kepada Allah yang hanya dikarang-karangkan sendiri. Untuk menunjukkan peribadatan
kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus Rasul-rasul-Nya.
Menyembah, beribadat dan memuji kepada Allah Yang Maha Esa itulah yang dinamai
TAUHID ULUHIYAH. Itulah pegangan pertama dalam hidup Muslim. Dan tidaklah sempurna
pengakuan bahwa Allah itu Esa, kalau pengakuan tidak disertai dengan ibadat yaitu
pembuktian dan keimanan. Arti ibadat dalam bahasa Indonesia ialah memperhamabakan
diri, atau pembuktian dari ketundukan. Mengerjakan segala yang telah dinyatakan baiknya
oleh wahyu dan menjauhi segala yang telah dijelaskan buruknya.
Lanjutan ayat : “Dan hendaklah kepada kedua ibu-bapak, engkau berbuat baik.”Jelas sekali
dalam lanjutan ayat ini bahwasanya berkhidmat kepada ibu-bapak, menghormati kedua
orang tua yang telah menjadi sebab bagi kita dapat hidup didunia ini ialah kewajiban yang
kedua sesudah beribadat kepada Allah. Kerapkali seseorang tidak berkhidmad lagi kepada
kedua orang tua apabila sudah berumah tangga sendiri, beristri, dan beranak pinak. Harta
benda dan anak kerapkali menjadi fitnah ujian bagi perjuangan hidup manusia. Anak yang
telah berdiri sendiri kerap terlalai memperhatikan ayah-bundanya.
Lanjutannya “ Jika kiranya salah seorang mereka, atau keduanya telah tua dalam
pemeliharaan engkau, maka janganlah engkau berkata uff kepada keduanya.” Artinya ketika
usia keduanya atau salah satu keduanya meningkat tua, sehingga tidak kuasa lagi hidup
sendiri, sudah sangat tergantung kepada belas kasihan puteranya, hendaklah bersabar dan
berlapang hati memelihara orang itu. Mungkin ada bawaan orang yang telah tua itu yang
membosankan anak, maka jangan terlanjur mengucapkan atau satu kalimatpun yanga
mengandung rasa bosan atau jengkel terhadap keduanya.
Didalam ayat ini di sebut kata UFFIN. Abu Raja’ al-Atharidi mengatakan bahwa arti UFFIN
ialah kata-kata yang mengandung kejengkelan dan kebosanan, meskipun tidak keras
diucapkan.
Lalu Mujahid menafsirkan ayat ini. Kata beliau: “ Artinya ialah jika engkau lihat salah
seorangnya atau keduanya telah berak atau kencing dimana maunya saja, sebagaimana
yang engkau lakukan di waktu kecil, janganlah engkau mengeluarkan kata yang
mengandung kata keluhan sedikitpun.”
3
Lanjutan ayat : “Dan janganlah dibentak mereka, dan katakanlah kepada keduanya
kata-kata yang mulia.” (ujung ayat 23). Sesudah dilarang mendecaskan mulut, mengeluh
mengerutkan kening, walaupun suara tidak kedengaran, dijelaskan lagi jangan membentak
keduanya, jangan di hardik keduanya, dan di belalaki mata. Disinilah berlaku perumpamaan
qiyas-aulawy yang dipakai oleh ahli Ushul-Fiqh, yakni : Sedangkan mengeluh UFFIN yang
tak kedengaran saja tidak boleh, apalagi membentak-bentak, menghardik.
Berkata al-Qurthubi didalam tafsirnya : “Berbahagialah orang yang cepat-cepat mengambil
kesempatan berkhidmat kepada kedua ayah-bundanya, sebelum kesempatan itu hilang
karena mereka terburu mati. Maka menyesallah ia terlarat-larat bahwa ia belum sempat
membalas guna. Maka nistalah orang yang tidak peduli kepada kedua orang tuanya apalagi
jika perintah ini telah diketahuinya.”
Selanjutnya hendaklah katakan kepada kedua ibu-bapak itu perkataan yang pantas,
kata-kata yang mulia, kata-kata beradab dan santun. Imam ‘Atha’ sampai mengatakan :
Sekali-kali jangan disebut nama beliau. Panggilkan saja “ayah-ibu!”- “abuya-ummi”,
“papi-mami” pendeknya segala perkataan yang mengandung rasa cinta kasih. Sehingga
tingkat apapun yang dicapai oleh sianak baik dalam masyarakat, presiden, perdana menteri,
gubernur atau apapun, perlihatkan kepada keduanya bahwa engkau anaknya.
Rasulullah s.a.w. dalam usia sekitar 60 tahun setelah menaklukkan Hunai dan Bani Sa’ad,
telah ditemui oleh ibu yang menyusuinya, yang sudah sangat tua, yaitu Halimatus- Sa’diyah.
Ketika perempuan tua itu datang, beliau tanggalkan baju jubahnya, beliau suruh beliau
duduk diatas jubahnya, lalu beliau sandarkan kepalanya ke dada perempuan itu, dada yang
pernah diisapnya air susunya.
QS. 17:28

‫ﻮرا‬ً ‫ْﺴ‬ ُ ‫ﻮﻫﺎ َﻓﻘُﻞ ﻟﱠ ُﻬ ْﻢ َﻗ ْﻮ ًﻻ ﱠﻣﯿ‬ َ ‫ﱢﻚ َﺗ ْﺮ ُﺟ‬َ ‫ﺂء َر ْﺣ َﻤ ٍﺔ ﻣﱢﻦ ﱠرﺑ‬
َ ‫ﺿ ﱠﻦ َﻋ ْﻨ ُﻬ ُﻢ ٱ ْﺑِﺘ َﻐ‬
َ ‫ْﺮ‬ ُ
ِ ‫َوِإﻣﱠﺎ ﺗﻌ‬
Artinya:
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu
harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas”.
Bagus dan halus sekali bunyi ayat ini untuk orang yang dermawan, berhati mulia, dan sudi
menolong orang yang patut ditolong. Tetapi apa boleh buat, di waktu itu tidak ada padanya
yang akan diberikan. Maka disebutkan pada ayat ini jika engkau terpaksa berpaling dari
mereka, artinya tidak sampai hati melihat ornag yang perlu pertolongan itu, padahal kita
yang diminta pertolongan sedang “kering”. Dalam hati kecil sendiri kita berkata, bahwa nanti
di lain waktu, kalau rezeki ada, rahmat Tuhan turun, orang itu akan saya tolong juga. Maka
ketika menyuruhnya pulang dengan tangan hampa, berilah dia pengharapan dengan
kata-kata yang menyenangkan. Karena kadang-kadang, kata-kata halus dan berbudi lebih
berharga daripada uang berbilang.
Menurut kitab-kitab tafsir, ayat ini turun langsung untuk Nabi Muhammad s.a.w. di waktu
suatu ketika beliau membiarkan orang meminta tolong, pulang dengan tangan kosong.
Sejak itu kalau terjadi demikian, beliau lepaslah orang itu pergi dengan ucapannya.
QS. 12 :28
‫ﺎل ِإﻧﱠ ُﻪۥ ِﻣﻦ َﻛ ْﯿ ِﺪ ُﻛ ﱠﻦۖ ِإ ﱠن َﻛ ْﯿ َﺪ ُﻛ ﱠﻦ َﻋ ِﻈﯿ ٌﻢ‬
َ ‫ﯿﺼ ُۥﻪ ﻗُ ﱠﺪ ِﻣﻦ ُدﺑُﺮ َﻗ‬
ٍ َ ‫َﻓَﻠﻤﱠﺎ َر َءا َﻗ ِﻤ‬
Artinya :
4
Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia:
"Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya
kamu adalah besar.
Pangkal ayat 28 ini dapat ditafsirkan, setelah raja muda, majikan dan ayah angkat Yusuf dan
suami Zulaikha melihat bukti bahwa kemeja itu robek disebelah belakang, bukan disebelah
muka, dan taksiran saksi itu dapat diterima oleh fikiran beliau : ” berkatalah dia :
”Sesungguhnya ini adalah tipu daya kamu, (hai perempuan). Dengan kata demikian jelaslah
siapa yang beliau salahkan yaitu istrinya sendiri. Dari perkataan beliau nampak sekali
penaksiran dari seseorang yang telah banyak pengalaman dengan perempuan. Beliau
katakan bahwa ini adalah termasuk salah satu tipudaya kamu, hai sekalian perempuan. Jadi
bukan ditumbukkannya kesalahan semata-mata kepada istrinya, malahan beliau katakan
tipudaya cerdik demikian sudah lumrah bagi kaum perempuan; jarang yang tidak. Lalu
beliau berkata selanjutnya : “Sesungguhnya tipudaya kamu adalah besar.” (ujung ayat 28).
Maka di ujung ayat ini beliau telah mengungkapkan sesuatu dalam kehidupan ini. Kaum
perempuan disebut jenis yang lemah. Namun apabila dia telah mengatur suatu siasat,
siasatnya itu besar, atau mengagumkan karena cerdiknya, sehingga orang laki-laki bisa
geleng kepala. Karena yang tidak lantas diangan orang lain, bagi perempuan ada saja
tempat keluar dari kesulitan. Padahalo dia yang salah dalam sekejap mata pintu terbuka.
Disaat itu pula dia telah dapat mengatur kata menimpakan kesalahan kepada Yusuf. Untung
ada saksi yang mempertahankan kebenaran Yusuf dan menyalahkan Zulaikha.
QS. 49 :6
ْ ‫ﺼِﺒ ُﺤﻮا۟ َﻋَﻠﻰ‬
‫ٰ ﻣَﺎ َﻓﻌَﻠﺘُ ْﻢ َن‬
َ ‫ٰ ِد ِﻣ‬
‫ﯿﻦ‬ ْ ُ‫ٰﻟ ٍﺔ َﻓﺘ‬ ِ ُ‫ﺎﺳ ٌﻖۢ ِﺑَﻨﺒٍَﺈ َﻓَﺘَﺒﯿﱠﻨُﻮٓا۟ َأن ﺗ‬
َ‫ﺼﯿﺒُﻮا۟ َﻗ ْﻮ ًمۢا ﺑ َﺠ َﻪ‬ ِ ‫ﺂء ُﻛ ْﻢ َﻓ‬ َ ‫يَٓأﯾﱡﻬَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬ‬
َ ‫ﯾﻦ َءا َﻣﻨُﻮٓا۟ ِإن َﺟ‬ َٰ
ِ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu”.
Ayat ini menurut banyak ulama turun menyangkut kasus al-Walid Ibnu ‘Uqbah Ibnu Abi
Mu’ith yang ditugaskan Nabi s.a.w menuju ke Bani al-Musthalaq untuk memungut zakat.
Ketika anggota masyarakat yang di tuju itu mendengar tentang kedatangan utusan Nabi
s.a.w. yakni al-Walid, mereka keluar dari perkampungan mereka untuk menyambutnya
sambil membawa sedekah mereka, tetapi al-Walid menduga bahwa mereka akan
menyerangnya. Karena itu ia kembali sambil melaporkan kepada Rasulullah s.a.w. bahwa
Bani al-Musthalaq enngan membayar zakat dan bermaksud menyerang Nabi saw. (dalam
riwayat lain dinyatakan bahwa mereka telah murtad). Rasul saw. Marah dan mengutus
Khalid Ibn Walid menyelidiki keadaan sebenarnya smabil berpesan agar tidak menyerang
mereka sebelum duduk persoalan menjadi jelas. Khalid ra. Mengutus seorang informannya
menyelidiki perkampungan Bani al-Musthalaq yang ternyata masyarakat itu
mengumandangkan adzan dan melaksanakan salat berjamaah. Khalid mengunjungi mereka
lau menerima zakat yang telah mereka kumpulkan. Riwayat lain mengatakan bahwa justru
mereka yang datang kepada Rasulullah saw. Menyampaikan zakat sebelum Khalid
melangkah ke perkampungan mereka.
Ada riwayat lain tentang sebab nuzul ayat ini, namun yang jelas ayat ini berpesan bahwa :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasiq membawa suatu
berita yang penting, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan yakni telitilah
5
kebenaran informasinya dengan menggunakan berbagai cara agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan tentang keadaan sebenarnya dan
yang pada gilirannya dan dengan segera menyebabkan kamu atas perbuatan kamu itu
beberapa saat saja setelah terungkap hal yang sebenarnya menjadi orang-orang yang
menyesal atas tindakan kamu yang keliru.
Ayat diatas menggunakan kata in/ jika, yang biasa digunakan untuk sesuatu yang diragukan
atau jarang terjadi. Ini mengisyaratkan bahwa kedatangan seorang fasik kepada
orang-orang beriman diragukan atau jarang terjadi. Hal itu disebabkan karena orang-orang
fasik mengetahui bahwa kaum beriman tidak mudah dibohongi dan bahwa mereka akan
meneliti kebenaran setiap informasi, sehingga sang fasik dapat dipermalukan dengan
kebohongannya.
Kata fasiq terambil dari kata fasaqa yang biasa digunakan untuk melukiskan buah yang
telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya. Seorang yang durhaka adalah
orang yang keluar dari koridor agama, akibat melakukan dosa besar atau sering kali
melakukan dosa kecil.
Kata naba’ digunakan dalam arti berita yang penting. Berbeda dengan kata khabar yang
berarti kabar secara umum, baik penting atau tidak. Dari sini terlihat perlunya memilah
informasi. Apakah penting atau tidak dan perlu memilah pula pembawa berita apakah dapat
dipercaya atau tidak. Orang beriman tidak dituntut untuk menyelidiki kebenaran informasi
dari siapapun yang tidak penting dan tidak wajar, karena jika demikian akan banyak energi
dan waktu yang dihamburkan untuk hal-hal yang tidak penting.
Kata bijahalah dapat berarti tidak mengetahui, dan juga dapat diartikan serupa dengan
makna kejahilan yakni perilaku seseorang yang kehilangan kontrol dirinya sehingga
melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara
maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan ajaran
Ilahi.
Dengan kata lain, ayat ini menuntut kita untuk menjadikan langkah kita berdasarkan
pengetahuan sebagai lawan dari jahalah yang berarti kebodohan, disamping melakukannya
berdasar pertimbangan logis dan niali-nilai yang ditetapkan Allah.
Kata tushbihu pada mulanya berarti masuk diwaktu pagi. Ia kemudian diartikan menjadi.
Ayat diatas mengisyaratkan bagaiman sikap seorang beriman dikala melakukan satu
kesalahan. Mereka, diakhir ayat dilukiskan yakni segera dan berpagi-pagi menjadi
orang-orang yang penuh penyesalan.
QS. 49: 12
َ‫ُﺤ ﱡﺐ َأ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ َأن ﯾ َْﺄ ُﻛﻞ‬
ِ ‫ْﻀﺎۚ َأﯾ‬ ُ ‫ٱﻟﻈ ﱢﻦ ِإ ْﺛ ٌﻢۖ َو َﻻ َﺗ َﺠ ﱠﺴ ُﺴﻮا۟ َو َﻻ َﯾ ْﻐَﺘﺐ ﺑﱠﻌ‬
ً ‫ْﻀ ُﻜﻢ َﺑﻌ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﱠ‬
َ ‫ٱﻟﻈ ﱢﻦ ِإ ﱠن َﺑﻌ‬
‫ْﺾ‬ ً ‫ٱﺟَﺘِﻨﺒُﻮا۟ َﻛِﺜ‬
َ ‫ﯿﺮا ﻣ‬
‫ﱢﻦ‬ َ ‫يَٓأﯾﱡﻬَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬ‬
ْ ۟‫ﯾﻦ َءا َﻣﻨُﻮا‬ َٰ
َ‫ﱠ‬ َ‫ﱠ‬ ُ ‫ﱠ‬ ُ َ َ ً
ٌ ‫ﻟ ْﺤ َﻢ أ ِﺧﯿ ِﻪ َﻣ ْﯿﺘﺎ ﻓﻜ ِﺮﻫﺘﻤُﻮ ُهۚ َوٱﺗﻘﻮا۟ ٱﷲۚ ِإن ٱﷲ ﺗﻮ‬
‫ﱠاب ﱠر ِﺣﯿ ٌﻢ‬ َ ‫ﱠ‬ ْ َ َ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang”.
Kata ijtanibu terambil dari kata janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu
berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi.
Penambahan huruf ta’ pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata
6
ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari
prasangka buruk.
Kata katsir/banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaiman dipahami atau diterjemahkan
sementara penerjemah.Tiga dari sepuluh dalah banyak, dan enam dari sepuluh adalah
kebanyakan. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula
yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa
adalah dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang
melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun
perbuatan. Termasuk juga dugaan yang bukan dosa adalah rincian hukum-hukum
keagamaan. Pada umumnya atau dengan kata lain kebanyakan dari hukum-hukum tersebut
berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanniy/ dugaan, dan tentu
saja apa yang berdasar dugaan hasilnya pun adalah dugaan.
Ayat diatas melarang dugaan buruk yang tanpa dasar, karena ia dapat menjerumuskan
seseorang ke dalam dosa. Dengan menghindari prasangka buruk, anggota masyarakat
akan hidup tenang dan tentram serta produktif, karena mereka tidak akan ragu kepada pihak
lain dan tidak juga tersalaur akan energinya kepada hal-hal yang sia-sia. Dalam konteks ini
Rasul saw. Berpesan :” jika kamu menduga(yakni terlintas dalam benak kamu sesuatu yang
buruk terhadap orang lain) maka jangan lanjutkan dugaanmu dengan melangkah lebih jauh.
(HR. At-Thabrani).
Kata tajassasu terambil dari kata jassa. Yakni upaya mencari tahu dengan cara
tersembunyi. Imam Ghazali memahami larangan ini dalam arti jangan tidak membiarkan
orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang
enggan diketahui orqang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang
dirahasiakannya itu. Usaha mencari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif
terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga.
Upaya melakukan tajassus dapat menimbulkan kerenggangan hubungan, karena itu pada
prinsipnya itu dilarang. Selanjutnya perlu dicatat bahwa karena tajassus merupakan
kelanjutan dari dugaan, sedang dugaan ada yang dibenarkan dan ada yang tidak
dibenarkan, maka tajassus pun demikian. Ia dapat dibenarkan dalam konteks pemeliharaan
negara atau untuk menampik mudharat yang sifatnya umum. Karena itu memata-matai
musuh atau pelanggar hukum, bukanlah termasuk tajassus yang dibenarkan. Adapun
tajassus yang berkaitan dengan urusan pribadi orang dan hanya didorong untuk mengetahui
keadaannya, maka ini sangat terlarang. Rasul saw. Bersabda: “Siapa yang menutup aib
saudaranya, maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup”(HR.
Abu Daud dan an-Nasa’i melalui al-Laits Ibnu Sa’id).
Kata yaghtab terambil dari kata ghibah yang berasal dari kata ghaib yakni tidak h diadir.
Ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir dihadapan penyebutnya dengan
sesuatu yanag tidak disenangi oleh orang yang bersangkutan, maka ia dinamai buhtan/
kebohongan besar.
Firmannya : fakarihtumuhu/ maka kamu telah jijik kepadanya menggunakan kata kerja masa
lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan
oleh setiap orang.
Redaksi yang digunakan ayat di atas mengandung sekian banyak penekanan untuk
menggambarkan betapa buruknya menggunjing. Sebagaimana disebutkan dalam ayat
bahwasanya penggunjing itu bagai telah memakan daging saudaranya.
7
Dalam komentarnya tentang ghibah Thabathabai menulis bahwa ghibah merupakan
perusakan bagian dari masyarakat, satu demi satu sehingga dampak positif yang
diharapkan dari wujudnya satu masyarakat menjadi gagal dan berantakan. Dan ini pada
gilirannya melemahkan hubungan kemasyarakatan sehingga gunjingan tersebut bagaikan
rayap yang menggerogoti anggota badan yang digunjing, sedikit demi sedikit hingga
berakhir dengan kematian. Thabathabai menulis, bahwa tujuan manusia dalam usahanya
membentuk masyarakat adalah agar masing-masing dapat hidup didalamnya dalam satu
identitas yang baik, sehingga dia dapat dalam interaksi sosialnya menarik dan memberi
manfaat. Menggunjingnya mengantar yang bersangkutan kehilangan identitas itu bahkan
merusak identitasnya serta menjadikan salah seorang dari anggota masyarakat tidak dapat
berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Dan jika penggunjingan ini meluas, maka pada
akhirnya beralih kebaikan menjadi keburukan dan sirna ketenangan, keamanan, kedamaian
bahkan obat pada akhirnya menjadi penyakit. Demikian antara lain Thabathaba’i. Ulama
beraliran Syi’ah ini memperoleh kesan dari adanya kata akhih(i)/saudaranya dalam konteks
larangan bergunjing, bahwa larangan tersebut hanya berlaku jika yang digunjing adalah
seorang muslim, karena persaudaraan yang diperkenalkan disini adalah persaudaraan
seiman. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh beberapa ulama lainnya.
Penulis tidak sependapat, karena kata akh/saudara yang digunakan al-Quran tidak harus
selalu berarti saudara seagama. Bahkan al-Quran menegaskan kata seagama jika
bermaksud menghilangkan kesan persaudaraan yang tidak seagama seperti firman Allah
swt. yang artinya :”Jika mereka bertaubat, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat,
maka (mereka itu) adalah suadara-saudara kamu seagama.” (QS.9:11). Disisi lain Islam
mengundang semua anggota masyarakat untuk bekerjasama menciptakan kesejahteraan
bersama. Menggunjing salah seorang anggota masyarakat dapat melumpuhkan masyarakat
itu seperti yang dikemukan juga oleh Thabathaba’i. Disisi lain, bukankah menggunjing
adalah suatu perbuatan yang tidak baik? Melakukan satu perbuatan buruk terhadap
siapapun ditujukan pastilah tidak direstui agama. Bukankah pergunjingan merupakan
perlakuan tidak adil dan agama memerintahkan untuk menegakkan keadilan kepada
siapapun, walau terhadap orang-orang kafir.
8

REFERENSI
1Prof. HAMKA, Tafsir al-Azhar, cet. Ke-5, (Singapura : Pustaka Nasional, 2003), hal.4030
2Pof. HAMKA, Tafsir al-Azhar,cet. ke-5,(Singapura : Pustaka Nasional, 2003), hal.4042
3Prof. HAMKA, Tafsir al-Azhar, cet. ke-5,(Singapura : Pustaka Nasional, 2003), hal.3633
4M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. ke-4, (Jakarta : Lentera Hati, 2006), hal.236
5M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. ke-4,(Jakarta : Lentera Hati, 2006), hal.253

Anda mungkin juga menyukai