5 cm
EDISI 2
Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik Kontemporer
Edisi 2
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
apa pun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk tidak terbatas pada memfotokopi, merekam, atau dengan
menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Yaya, Rizal
Martawireja, Aji Erlangga
Abdurahim, Ahim
ISBN 978-979-061-460-4
000.0.00
TENTANG PENULIS
iii
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
iv
SAMBUTAN
RAMZI A. ZUHDI
Direktur Direktorat Perbankan Syariah
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas semua anugerah dan
hidayah-Nya, sehingga dengan izin dan kasih sayang-Nya kita dapat terus
berkarya dalam bidang keahlian kita masing-masing. Shalawat dan salam
kita sampaikan bagi manusia paripurna Rasulullaah Muhammad saw., yang
dengan kesabarannya telah mempertemukan hati kita dengan cahaya Illahi,
yang kemudian memberikan semangat untuk selalu menebarkan kebaikan
dan manfaat.
Saya menyambut baik sekaligus bangga atas diterbitkannya buku ini.
Buku ini menjadi salah satu pelita di tengah terbatasnya literatur keilmuan
tentang operasional perbankan syariah, khususnya terkait akuntansi perbankan
syariah yang mengiringi pesatnya perkembangan industri perbankan Syariah
di Indonesia. Sdr. Rizal Yaya, Sdr. Aji Erlangga Martawireja, dan Sdr. Ahim
Abdurahim merupakan sedikit dari ilmuwan yang menyadari keterbatasan
tersebut, dan dengan kesadarannya telah memberikan sumbangsih nyata untuk
umat dengan menerbitkan buku yang berjudul Akuntansi Perbankan Syariah:
Teori dan Praktik Kontemporer.
Buku ini mengulas akuntansi syariah secara lengkap, mulai dari sejarah
perkembangan akuntansi syariah, pengembangan perbankan syariah, sistem
operasional bank syariah, hingga cara perhitungan bagi hasil yang disertai
ilustrasi transaksi riil. Hal ini menjadikan buku ini unik sekaligus menarik.
Begitu pula, muatan mengenai akuntansi syariah yang menjadi materi utama
dalam buku ini telah disajikan secara komprehensif dengan mengacu pada
v
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
PSAK terakhir maupun acuan akuntansi lainnya, seperti AAOIFI dan sebagainya. Singkat kata,
muatan buku ini begitu lengkap sehingga layak untuk dijadikan acuan oleh para akademisi
maupun praktisi.
Dengan hadirnya buku Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik Kontemporer ini,
kami berharap pemahaman para stakeholder perbankan syariah mengenai akuntansi perbankan
syariah dapat lebih meluas dan mendalam, di samping akan mendorong semua pihak untuk
lebih berkontribusi dalam pengembangan industri perbankan syariah.
Ramzi A. Zuhdi
Direktur Pengawasan Bank Syariah BI
(periode 2007–2010)
vi
SAMBUTAN
PROF. Dr. SOFYAN
SYAFRI HARAHAP *
Pakar Akuntansi Syariah
vii
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
pengetahuan dalam bidang ekonomi, keuangan, perbankan, dan akuntansi syariah ini. Saya
meyakinkan bahwa buku ini layak dan sangat perlu dibaca, baik oleh akademisi maupun
paktisi.
Sekali lagi selamat dan semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmatnya kepada
ketiga penulis atas sumbangsihnya dalam mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan
langka ini kepada khalayak ramai.
viii
PRAKATA
ix
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Materi yang disajikan dalam buku ajar ini diarahkan untuk dapat mengakomodasi
kebutuhan pembelajaran akuntansi perbankan syariah oleh dosen di perguruan tinggi di
Indonesia dan praktisi pemula di bidang akuntansi perbankan syariah. Dalam hal ini, sistematika
penulisannya diarahkan pada penguasaan konsep-konsep dasar akuntansi syariah serta alternatif
kebijakan akuntansi yang dipilih bank syariah. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan baik
dari sisi pengetahuan dan kemampuan akuntansi para mahasiswa, materi pada buku ajar ini
dilengkapi dengan ilustrasi kasus beserta varian transaksi yang mungkin timbul dalam suatu
siklus akuntansi. Ilustrasi kasus selanjutnya diikuti dengan konsep dan teknis akuntansi dalam
hal pengakuan dan pengukuran transaksi serta penyajian dan pengungkapan informasi dalam
laporan keuangan.
Terselesaikannya buku ini tidak terlepas dari bantuan yang diberikan berbagai pihak. Untuk
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pengurus Program Studi Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) atas segala fasilitas yang disediakan,
kolega dosen UMY atas dorongan motivasi yang diberikan, para mahasiswa mata kuliah
Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah FE-UMY atas kritik, saran, dan keterlibatannya dalam
uji coba penerapan dan pengembangan draf buku ajar ini, pimpinan dan staf Kantor Cabang
Yogyakarta Bank Muamalat Indonesia, terutama Bapak Ahmad Junaedi, SE. dan Kantor Pusat
Bank Syariah Mandiri atas diperbolehkannya penulis melakukan observasi lapangan tentang
praktik akuntansi di perbankan, rekan-rekan pemerhati akuntansi syariah dan praktisi di
berbagai bank syariah yang telah memberikan berbagai informasi, saran dan komentar terhadap
berbagai hal yang penulis perlukan, Bapak Sri Yanto S.E., Akt.,—yang pada saat penyusunan
buku ini menjabat sebagai Direktur Teknis Ikatan Akuntan Indonesia—atas masukannya yang
sangat penting terkait konsep PSAK yang terbaru, Bapak Prof. Dr. H. Syamsul Anwar M.A.,
ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, atas komentar dan masukan yang berarti terhadap
aspek syariah yang terdapat dalam buku ini, dan keluarga penulis atas kasih sayang, perhatian,
dan pengertian yang diberikan kepada penulis selama proses pembuatan buku ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kualitas buku ini. Apabila ada masukan untuk perbaikan redaksi, substansi, metodologi,
maupun sistematika penyajian buku ini dapat disampaikan melalui alamat email: rizalyaya1@
gmail.com.
x
DAFTAR ISI
xii
Daftar Isi
xiii
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
xiv
Daftar Isi
Lampiran 202
Lembar Jawaban 206
xv
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
xvi
Daftar Isi
xvii
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pendirian Bank Islam di Dunia: Dari Mit Ghamr Bank di Mesir Hingga
Bank Muamalat di Indonesia 17
Tabel 2.2 Instrumen Keuangan Syariah Global (Jan 2001–Des 2010) 20
Tabel 2.3 Daftar Standar yang Dihasilkan IFSB 21
Tabel 2.4 Emisi Sukuk oleh Pasar Modal di Indonesia hingga Juni 2015 24
Tabel 2.5 Pangsa Perbankan Syariah terhadap Total Bank
(Posisi November 2016) 25
Tabel 2.6 Jumlah Kantor dan Pegawai Perbankan Syariah di Indonesia
(Posisi November 2016) 26
Tabel 2.7 Daftar Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia
(Posisi November 2016) 26
Tabel 2.8 Struktur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah 30
Tabel 5.1 Format Neraca Bank Syariah PT Bank Syariah “X” Laporan Posisi
Keuangan (Neraca) per 31 Desember 20X2 dan 20X1 84
Tabel 5.2 Format Laporan Laba Rugi Bank Syariah PT Bank Syariah “X” Laporan
Laba Rugi Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20X2 dan 20X1 86
Tabel 9.1 Jadwal Pembayaran Murabahah PT HANIYA 177
Tabel 9.2 Jadwal dan Realisasi Pembayaran Angsuran Murabahah PT HANIYA 184
xix
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
xx
DAFTAR FIGUR
xxi
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
xxii
DAFTAR KASUS
xxiii
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
xxiv
1
SEJARAH
PERKEMBANGAN
AKUNTANSI SYARIAH
Pendahuluan
1
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Sebelum berdirinya pemerintahan Islam, peradaban didominasi oleh dua bangsa besar yang
memiliki wilayah yang luas, yaitu bangsa Romawi dan bangsa Persia. Sebagian besar daerah
di Timur Tengah saat Nabi Muhammad saw. lahir berada dalam jajahan dan menggunakan
bahasa negara jajahan seperti Syam (sekarang meliputi Siria, Lebanon, Yordania, Palestina,
dan Israel) yang dijajah oleh Romawi, sedangkan Irak dijajah oleh Persia. Adapun perdagangan
bangsa Arab Mekkah terbatas ke Yaman pada musim dingin dan Syam pada musim panas.
Pada saat itu, akuntansi telah digunakan dalam bentuk perhitungan barang dagangan oleh
para pedagang sejak mulai berdagang sampai pulang kembali (Adnan dan Labatjo, 2006).
Perhitungan dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan, dan untung atau rugi. Selain itu,
menurut Syahatah (2001), orang-orang Yahudi, yang saat itu banyak melakukan perdagangan,
menetap dan juga telah memakai akuntansi untuk transaksi utang-piutang mereka.
Praktik akuntansi pada masa Rasulullah mulai berkembang setelah ada perintah Allah
melalui Alquran untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai (Alquran 2:282) dan
untuk membayar zakat (Alquran 2:110, 177; 9:18, 71; 22:78; 58:13). Melalui Alquran surah
Al-Baqarah ayat 282 yang sebagian artinya berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri
tidak mampu mendiktekannya, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur....”
Dalam hal ini perintah Allah Swt. untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai telah
mendorong setiap individu untuk senantiasa menggunakan dokumen ataupun bukti transaksi.
Adapun perintah Allah untuk membayar zakat telah mendorong umat Islam saat itu untuk
mencatat dan menilai aset yang dimilikinya. Perintah tersebut didasarkan pada Alquran antara
lain surah Al-Baqarah ayat 110 yang artinya:
“Dan laksanakanlah shalat dan tunaikan zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan
untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Baqarah : 110).
Secara operasional, pembayaran zakat diuraikan Nabi Muhammad saw. dalam berbagai
macam hadis antara lain yang diriwayatkan oleh Bukhari.
“Dari Salim Ibnu Abdullah, dari ayahnya r.a., bahwa Nabi sallallahu alaihi wassalam
bersabda: Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan
pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan
tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh.”
Dengan demikian, agar zakat bisa dibayar dengan jumlah yang benar, seorang wajib zakat
perlu melakukan pencatatan dan perhitungan terhadap hasil usahanya yang diwajibkan untuk
2
Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
membayar zakat. Kewajiban membayar zakat tidak saja pada hasil pertanian, peternakan,
ataupun pertambangan. Dalam satu riwayat, dilaporkan oleh Abu Ubaid, bahwa Maimun bin
Mihran, ulama tabiin, berkata:
“Apabila sudah tiba temponya kau berzakat, hitunglah berapa jumlah uang kontan yang
ada padamu dan barang yang ada, hitung berapa nilai barang itu, begitu juga piutang
yang ada pada orang yang mampu, kemudian keluarkanlah utangmu sendiri, barulah
dikeluarkan zakat darinya”.
Cara perhitungan zakat dalam riwayat di atas, telah menjadi salah satu pendekatan
dalam menghitung besarnya zakat perniagaan suatu usaha dagang. Jika dicermati lebih lanjut,
prinsip-prinsip perhitungan zakat perniagaan tersebut amatlah mirip dengan konsep net
current asset dalam akuntansi yang kita gunakan sekarang, yaitu selisih antara aset lancar
dengan liabilitas lancar.
Berkembangnya praktik pencatatan dan penilaian aset, merupakan konsekuensi logis dari
ketentuan pembayaran zakat yang besarnya dihitung berdasarkan persentase tertentu dari aset
yang dimiliki seseorang yang telah memenuhi kriteria nisab dan haul. Dijelaskan dalam kitab-
kitab fikih bahwa nisab dan haul adalah kriteria yang ditetapkan atas wajib tidaknya seseorang
membayar zakat. Nisab merupakan kriteria yang didasarkan atas batas minimal nilai kekayaan
yang dikenakan kewajiban zakat, sedang haul merupakan kriteria yang didasarkan atas jangka
waktu yang dipenuhi hingga kewajiban zakat timbul pada pembayar zakat (muzaki). Dalam
bahasan kajian fikih zakat, jangka waktu yang mesti dipenuhi untuk zakat harta adalah satu
tahun, periodisasi yang sama dengan periodisasi pelaporan akuntansi saat ini.
Secara tidak langsung Alquran juga berperan dalam perkembangan akuntansi modern
melalui kajian yang dilakukan oleh al-Khawarizmi terhadap hukum waris yang ditetapkan
oleh Allah Swt. dalam Alquran. As-Sirjani (2011, hal 345–349) mengulas bahwa kajian yang
dilakukan oleh al-Khawarizmi yang dituangkan dalam buku berjudul Al-Jabar wal Muqabalah
tersebut telah menjadi dasar pengembangan ilmu baru saat itu, yang sampai sekarang dikenal
dengan nama aljabar atau algebra. Kajian yang dilakukan oleh al-Khawarizmi bersama ilmuwan
Muslim lainnya, juga berhasil menemukan fungsi angka nol seperti yang kita gunakan sekarang.
Dua penemuan oleh ilmuan Muslim tersebut telah memungkinkan akuntansi diterapkan
untuk beragam transaksi yang jauh lebih kompleks dibanding apa yang dipraktikkan sebelum
datangnya peradaban Islam.
Kewajiban zakat berdampak pada didirikannya institusi Baitulmal oleh Nabi Muhammad saw. yang
berfungsi sebagai lembaga penyimpan zakat beserta pendapatan lain yang diterima oleh negara.
Hawari (1989) dalam Zaid (2001) mengungkapkan bahwa pemerintahan Rasulullah memiliki
42 pejabat yang digaji yang terspesialisasi dalam peran dan tugas tersendiri. Adnan dan Labatjo
(2006) memandang bahwa praktik akuntansi pada lembaga Baitulmal di zaman Rasulullah baru
berada pada tahap penyiapan personal yang menangani fungsi-fungsi lembaga keuangan negara.
Pada masa tersebut, harta kekayaan yang diperoleh negara langsung didistribusikan setelah harta
tersebut diperoleh. Dengan demikian, tidak terlalu diperlukan pelaporan atas penerimaan dan
pengeluaran Baitulmal. Hal sama berlanjut pada masa Khalifah Abu Bakar as Siddik.
3
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Perkembangan pemerintahan Islam hingga meliputi Timur Tengah, Afrika, dan Asia di
zaman Khalifah Umar bin Khatab telah meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.
Dengan demikian, kekayaan negara yang disimpan di Baitulmal juga makin besar. Para
sahabat merekomendasikan perlunya pencatatan untuk pertanggungjawaban penerimaan dan
pengeluaran negara. Selanjutnya, Khalifah Umar bin Khatab mendirikan unit khusus yang
bernama Diwan (dari kata dawwana = tulisan) yang bertugas membuat laporan keuangan
Baitulmal sebagai bentuk akuntabilitas Khalifah atas dana Baitulmal yang menjadi tanggung
jawabnya (Zaid, 2001).
Selanjutnya, reliabilitas laporan keuangan pemerintahan dikembangkan oleh Khalifah Umar
bin Abdul Aziz (681−720 M) berupa praktik pengeluaran bukti penerimaan uang. Kemudian,
Khalifah Al Waleed bin Abdul Malik (705−715 M) mengenalkan catatan dan register yang
terjilid dan tidak terpisah seperti sebelumnya (Lasyin, 1973, dalam Zaid, 2001).
Evolusi perkembangan pengelolaan buku akuntansi mencapai tingkat tertinggi pada masa
Daulah Abbasiah. Akuntansi diklasifikasikan pada beberapa spesialisasi, antara lain akuntansi
peternakan, akuntansi pertanian, akuntansi bendahara, akuntansi konstruksi, akuntansi mata
uang, dan pemeriksaan buku (auditing) (Zaid, 2001). Pada masa itu, sistem pembukuan telah
menggunakan model buku besar, yang meliputi sebagai berikut.
1. Jaridah Al-Kharaj (mirip receivable subsidiary ledger), merupakan pembukuan pemerintah
terhadap piutang pada individu atas zakat tanah, hasil pertanian, serta hewan ternak yang
belum dibayar dan cicilan yang telah dibayar (Lasyin, 1973, dalam Zaid, 2001). Piutang
dicatat di satu kolom dan cicilan pembayaran di kolom yang lain.
2. Jaridah An-Nafaqat (jurnal pengeluaran), merupakan pembukuan yang digunakan untuk
mencatat pengeluaran negara.
3. Jaridah Al-Mal (jurnal dana), merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat
penerimaan dan pengeluaran dana zakat.
4. Jaridah Al-Musadareen, merupakan pembukuan yang digunakan untuk mencatat
penerimaan denda atau sita dari individu yang tidak sesuai syariah, termasuk dari pejabat
yang korup.
Adapun untuk pelaporan, telah dikembangkan berbagai laporan akuntansi, antara lain
sebagai berikut.
1. Al-Khitmah, menunjukkan total pendapatan dan pengeluaran yang dibuat setiap bulan
(Bin Jafar, 1981, dalam Zaid, 2001).
2. Al-Khitmah Al-Jame’ah, laporan keuangan komprehensif yang berisikan gabungan antara
laporan laba rugi dan neraca (pendapatan, pengeluaran, surplus dan defisit, belanja untuk
aset lancar maupun aset tetap) yang dilaporkan di akhir tahun. Dalam perhitungan dan
penerimaan zakat, utang zakat diklasifikasikan dalam laporan keuangan menjadi tiga
kategori, yaitu collectable debts, doubtful debts, dan uncollectable debts (Lasyin, dalam
Zaid, 2001).
Pada tahun 1494, seseorang berkebangsaan Italia bernama Luca Pacioli, menerbitkan buku
dengan judul Summa de Arithmetica Geometria, Proportioni et Proportionalita (Segala Sesuatu
4
Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
tentang Aritmetika, Geometri, dan Proporsi). Buku tersebut terbagi atas lima bagian yang
banyak membahas tentang ilmu matematika. Salah satu bab di dalamnya membahas tentang
pembukuan yang menekankan pada sistem pencatatan yang terjadi di Venice lebih dari 200
tahun sebelumnya dan masih digunakan pada masa itu, dan dikenal dengan nama metode Venice
(Adnan dan Labatjo, 2006).
Melalui buku tersebut, Pacioli dianggap sebagai orang pertama yang menggagas sistem
tata buku berpasangan (double entry bookkeeping), sebuah sistem baru dan dianggap sebagai
revolusi dalam seni pencatatan dalam bidang ekonomi dan bisnis. Hendriksen (2000) menyatakan
bahwa jurnal yang dibuat Pacioli sudah mirip dengan yang digunakan sekarang. Debit dicatat
di sebelah kiri (disebut dengan istilah deve dare atau debere) dan kredit di sisi kanan (disebut
dengan istilah deve avare atau creed). Dalam berbagai literatur, Pacioli kemudian disebut sebagai
“Bapak Akuntansi”.
Adnan dan Labatjo (2006) menyatakan bahwa buku Summa de Arithmetica yang dibuat
Pacioli menimbulkan banyak pertentangan di kalangan peneliti yang meneliti tentang sejarah
akuntansi. Have (1976) dalam Zaid (2001) beranggapan bahwa perkembangan akuntansi
sebagaimana ditulis oleh Pacioli tidaklah terjadi di Republik Italia kuno. Menurut Have dalam
Zaid (2001), yang terjadi adalah Italia mengetahui tentang akuntansi dan ilmu itu sampai pada
mereka dari bangsa lain. Zaid (2001) menyatakan bahwa bab dalam buku Pacioli tentang akuntansi
hanyalah bagian dari apa yang ada pada saat itu, yang beredar di antara para guru dan murid
sekolah aritmetika dan perdagangan. Dengan demikian, Pacioli bukanlah penemu, melainkan
pencatat terhadap apa yang beredar saat itu (Zaid, 2001). Hal yang sama juga diungkapkan oleh
Belkaoui (2000), bahwa Pacioli bukanlah penemu double entry bookkeeping, melainkan hanya
menjelaskan apa yang telah dipraktikkan pada masa itu.
Keraguan terhadap buku Pacioli cukup beralasan mengingat sejak abad ke-8 M, Bangsa
Arab berlayar sepanjang pantai Arabia dan India dan berhenti di Italia untuk menjual barang
dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa (Have, 1976, dalam Zaid, 2001).
Wolf (1912) dalam Zaid (2001) mengemukakan bahwa pada akhir abad ke-15, Eropa sedang
terhenti perkembangannya dan tidak dapat diharapkan adanya kemajuan yang berarti dalam
metode akuntansi. Sementara itu, Heaps (1895) dalam Zaid (2001) mengemukakan bahwa
bookkeeping pastilah dipraktikkan pertama kali oleh para pedagang dan ia beranggapan bahwa
mereka berasal dari Mesir. Ball (1960) dalam Zaid (2001) menyatakan bahwa buku Pacioli
didasarkan pada tulisan Leonardo of Pisa, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku
Aljabar yang ditulis dalam bahasa Arab, yang berisikan dasar-dasar bookkeeping.
Dalam berbagai referensi, Leonardo diceritakan mengikuti ayahnya yang berdagang ke kota
pelabuhan Béjaïa di Aljazair dan disuruh belajar ilmu hitung kepada pakar yang ada di sana
(http://www.maths.surrey.ac.uk/hosted-sites/R.Knott/Fibonacci/fibBio.html). Leonardo kemudian
berkunjung dan belajar matematika di berbagai pusat pengetahuan kekhalifahan Islam saat itu
seperti Mesir, Sirya, Sisilia (saat dalam kekuasaan Muslim) dan berinteraksi dengan karya-karya
Al-Khawarizmi (https://www.britannica.com/biography/Leonardo-Pisano).Leonardo kemudian
menulis buku berjudul Liber Abaci, yang membantu bangsa Eropa mengenal fungsi angka nol dan
buku Practica Geometriae tentang praktik geometri yang keduanya dipelajari dari ilmuan Muslim
selama perjalanannya berinteraksi dengan masyarakat di wilayah kekhalifahan Islam.
Dalam sejarah Islam, lebih satu abad sebelum buku Pacioli diterbitkan, telah ada manuskrip
tentang akuntansi yang ditulis oleh Abdullah bin Muhammad bin Kiyah Al Mazindarani
5
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
dengan judul Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqaat pada tahun 1363 M.1 Beberapa kaidah dalam
manuskrip tersebut yang terkait dengan praktik double entry adalah sebagai berikut.
1. Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-sumber
pemasukan tersebut.
2. Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-
pengeluaran tersebut.
Zaid (2001) menyatakan bahwa apa yang terdapat dalam manuskrip Mazindarani
tersebut telah menggambarkan praktik double entry bookkeeping masyarakat Muslim saat itu.
Pandangan ini dikuatkan oleh pendapat Littleton dan Yame (1978) dalam Triyuwono (2006)
yang menduga bahwa double entry bookkeeping berasal dari Spanyol dengan alasan bahwa
kebudayaan dan teknologi Spanyol pada abad pertengahan tersebut jauh lebih unggul dibanding
dengan peradaban Italia dan negara Eropa lainnya. Sementara pada waktu itu, Spanyol adalah
negara Muslim serta merupakan pusat kebudayaan dan teknologi di Eropa.
Beberapa ahli sejarah Barat menyimpulkan bahwa masyarakat yang dimaksud oleh Pacioli
dalam bukunya adalah masyarakat dan bahkan pemerintah Italia (Zaid, 2001). Pendapat ini
oleh Zaid (2001) dipandang bertentangan dengan fakta terkait mengenai tidak operasionalnya
angka Romawi untuk digunakan dalam praktik akuntansi yang sedemikian maju. Sementara,
masyarakat Muslim pada waktu itu telah mengembangkan penggunaan angka nol, yang kemudian
disebut dalam dunia akademik sebagai angka Arab, untuk mengembangkan berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Salah satu bidang ilmu yang menonjol pada waktu itu adalah ilmu
matematika, terutama bidang aljabar (algebra) yang ditemukan dan dikembangkan oleh para
ilmuwan Muslim yang sangat berkaitan dengan teknik double entry bookkeeping. Pengembangan
bidang ilmu tersebut sangatlah mungkin terkait dengan kebutuhan masyarakat Muslim yang telah
berkembang maju peradabannya pada waktu itu. Dengan demikian, masyarakat yang dimaksud
sangatlah mungkin masyarakat Muslim, termasuk masyarakat di berbagai daerah di Eropa yang
terimbas oleh kemajuan yang dicapai oleh peradaban Islam saat itu.
Buku Pacioli menemukan momentumnya untuk berkembang luas seiring dengan berkembangnya
penemuan mesin cetak dan revolusi industri di Eropa (Adnan dan Labatjo, 2006). Selanjutnya,
perkembangan akuntansi banyak terjadi di Eropa dan dipengaruhi oleh ideologi kapitalis
yang menggunakan akuntansi sebagai instrumen utama bagi pemilik modal dalam memonitor
perkembangan modal usahanya. Sebaliknya, seiring dengan terjadinya kemunduran dalam hal
ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat Muslim, masyarakat Muslim cenderung menjadi
pemakai atas akuntansi yang dikembangkan oleh masyarakat Eropa yang telah diwarnai oleh
ideologi kapitalis dengan ciri pemisahan antara agama dengan kehidupan dunia atau bisnis.
Kondisi ini menjelang akhir abad ke-20 dipandang kurang tepat bagi para pakar akuntansi
yang mengkaji akuntansi dalam perspektif Islam. Hal ini terkait dengan pinsip “kafah” dalam ajaran
1
Manuskrip tulisan Al Mazindarani ini, menurut Zaid (2001), masih disimpan di perpustakaan Sultan Sulaiman Al
Qanuni di Istanbul Turki di bagian manuskrip nomor 2756 dengan menggunakan bahasa yang populer pada masa
Daulah Utsmaniyah.
6
Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
Islam yang mewajibkan penganutnya untuk menerapkan prinsip dan ajaran Islam dalam seluruh
sendi kehidupannya, termasuk dalam aktivitas bisnis maupun profesi yang dijalani. Secara umum
dalam ajaran Islam, setiap orang boleh melakukan apa pun, kecuali yang dinyatakan dilarang.2
Akan tetapi, banyak di antara larangan tersebut merupakan sesuatu yang biasa dipraktikkan dalam
bisnis konvensional.3 Selain itu, Islam memiliki beberapa transaksi maupun kejadian ekonomi unik
yang tidak biasa diterapkan dalam bisnis konvensional, antara lain transaksi pembayaran zakat,
transaksi usaha yang menggunakan skema bagi hasil, skema sewa, dan lain sebagainya.
Atas dasar itu, muncullah kajian dan pemikiran untuk mengembangkan akuntansi dalam
perspektif Islam atau biasa disebut dengan Islamic Accounting dalam bahasa Inggris dan Akuntansi
Syariah dalam bahasa Indonesia. Hameed (2000) menyatakan bahwa ada tiga pendekatan yang
berkembang di kalangan pakar akuntansi dalam perspektif Islam dalam merumuskan bentuk
akuntansi syariah, yaitu pendekatan induktif berbasis akuntansi kontemporer, pendekatan
deduktif dari sumber ajaran Islam, dan pendekatan hybrid.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh IAI dalam KDPP-LKS (Kerangka Dasar Penyusunan
dan Penyajian Laporan Lembaga Keuangan Syariah) tahun 2007 paragraf 30:
Pembahasan lebih detail tentang transaksi yang dilarang dalam ajaran Islam dapat dilihat pada Bab 3 buku ini.
2
Istilah bisnis konvensional mengacu pada praktik bisnis yang memisahkan antara kepentingan bisnis dengan
3
kepentingan agama.
7
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Adapun tujuan stewardship yang dinyatakan oleh AAOIFI dalam SFA nomor 1 paragraf
33−34:
“ . . . to contribute to the safeguarding of the assets and to the enhancement of the managerial &
productive capabilities of the institutions.”
Mirza dan Baydoun (2000) menyatakan bahwa kedua tujuan ini merupakan sesuatu yang
harus menjadi fokus perhatian akuntan dalam institusi Islam.
Salah satu implikasi penggunaan zakat sebagai tujuan adalah akuntansi syariah harus
menerapkan current cost. Akan tetapi, pendekatan deduktif sejauh ini masih pada tahap kajian
dan belum teraplikasikan pada perusahaan.
8
Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
Pendekatan Hybrid
Pendekatan ini didasarkan pada prinsip syariah yang sesuai dengan ajaran Islam dan persoalan
masyarakat yang akuntansi syariah mungkin dapat bantu menyelesaikannya (Hameed, 2000).
Argumen yang mendukung pendekatan ini menyatakan bahwa suatu metodologi Islam harus
memperhatikan relevansinya dengan masalah masyarakat yang telah diidentifikasi dan dianalisis
dari sudut pandang Islam (Faruqi, 1982).
Penerapan pendekatan hybrid dipelopori oleh pemikir akuntansi syariah seperti Shahul
Hameed dan cukup banyak lulusan International Islamic University di Malaysia tempat beliau
mengajar. Tujuan akuntansi syariah dalam pendekatan ini menurut Hameed (2000) adalah
mewujudkan pertanggungjawaban Islam.
“It is a dual accountability, Accountability to Allah as the Real Owner of universe (Primary
Accountability), and accountability to the investor or owner as written in the contract
(secondary accountability).”
kuntabilitas primer diwujudkan dalam bentuk manusia menaati ketentuan Allah (Alquran
A
dan Sunah), sedang akuntabilitas sekunder diwujudkan dalam bentuk manajer mengidentifikasi,
mengukur, dan melaporkan aktivitas sosio-ekonomi yang berkaitan dengan masalah ekonomi,
sosial, lingkungan, dan syariah compliance kepada investor.
Pendekatan hybrid secara parsial telah diterapkan di lingkungan beberapa perusahaan
konvensional. Hal ini dapat dilihat dari laporan keuangan dan non-keuangan perusahaan
maupun disclosure perusahaan yang memperhatikan tidak hanya masalah ekonomi, melainkan
juga masalah sosial dan lingkungan. Pendekatan hybrid mengapresiasi perkembangan akuntansi
sosial dan lingkungan di Eropa dalam tiga dekade terakhir, dan menganggap itu perlu
diaplikasikan dalam akuntansi syariah (Hameed dan Yaya, 2005; Yaya dan Hameed, 2006).
Di Eropa, saat ini sudah terdapat lembaga yang peduli dalam mengembangkan isu lingkungan
dan sosial seperti Global Reporting Initiative (GRI) dan ACCA. GRI bergerak dalam mengkaji
dan membuat standar pelaporan perusahaan dengan konsep triple bottom line (ekonomi, sosial,
dan lingkungan) (lihat www.globalreporting.org). ACCA, organisasi profesi akuntan di Inggris,
banyak mendorong pengungkapan lebih luas hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Aspek selanjutnya yang perlu dilakukan oleh pemikir akuntansi dalam perspektif Islam adalah
mengembangkan triple bottom line menjadi four bottom line (ekonomi, sosial, lingkungan, dan
kesesuaian syariah) (Yaya dan Hameed, 2006). Saat ini kajian pendekatan hybrid dikembangkan
dengan menjadikan pencapaian Maqasid Asy-Syariah sebagai hal utama untuk diperhatikan
dalam laporan organisasi. Ini mencakup lima hal yang perlu dijaga dan dikembangkan oleh
organisasi yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan nasab keturunan.
9
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Referensi
10
Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
Soal-Soal Latihan
1. Bacalah terjemahan dan tafsir Alquran surah Al-Baqarah ayat 282, dan identifikasilah
makna yang terkandung di dalamnya terkait dengan bidang ilmu akuntansi.
2. Jelaskan pengaruh perintah Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 282 terhadap perkembangan
praktik akuntansi dalam masyarakat Muslim di zaman Nabi Muhammad saw.
3. Jelaskan praktik akuntansi pada masa Nabi Muhammad saw. dan pada masa
kekhalifahan.
4. Jelaskan keterkaitan buku karangan Luca Pacioli yang berjudul Summa de Arithmetica
Geometria, Proportioni et Proportionalita dengan peradaban Muslim.
5. Berikanlah tiga argumen yang disampaikan oleh sejarawan akuntansi syariah yang
menunjukkan bahwa akuntansi modern telah lebih dahulu dikembangkan oleh masyarakat
Muslim.
6. Jelaskan tiga jenis pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan akuntansi
syariah.
7. Identifikasilah kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada masing-masing pendekatan
yang ada dalam mengembangkan akuntansi syariah.
8. Berikan pendapat tentang pendekatan yang menurut Anda tepat untuk dikembangkan
pada saat sekarang.
9. Jelaskan pandangan beberapa pakar yang mengkritisi permasalahan yang terdapat pada
akuntansi konvensional sehingga perlu dikembangkan akuntansi alternatif.
10. Jelaskan berbagai tawaran akuntansi sebagai alternatif terhadap praktik akuntansi
konvensional yang berkembang saat ini, selain akuntansi dalam perspektif syariah.
11. Jelaskan yang dimaksud akuntabilitas primer dan akuntabilitas sekunder serta implikasinya
terhadap akuntansi syariah.
12. Salah satu bentuk pendekatan deduktif adalah menjadikan zakat sebagai dasar
pengembangan akuntansi syariah. Jelaskan implikasi dijadikannya zakat sebagai dasar
dalam pengembangan akuntansi syariah.
13. Jelaskan permasalahan yang mungkin timbul dalam penggunaan akuntansi konvensional
sebagai dasar pengembangan akuntansi syariah.
14. Beberapa sejarawan akuntansi syariah menyatakan bahwa konsep double entry accounting
telah diterapkan oleh masyarakat Muslim pada abad pertengahan. Evaluasilah bukti-bukti
yang diajukan oleh para sejarawan tersebut dan berikan penilaian Anda apakah setuju
atau tidak setuju dengan pendapat tersebut.
15. Ajaran Islam sangat kondusif dengan penggunaan dan pengembangan akuntansi dalam
kehidupan manusia. Berikan argumentasi Anda guna mendukung pendapat tersebut.
11
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
12
Sejarah Perkembangan Akuntansi Syariah
11. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
12. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
13. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
14. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
15. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
13
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
14
2
PERKEMBANGAN
LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH
Pendahuluan
15
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Alquran sebagai sumber hukum dalam agama Islam cukup banyak menyinggung hal yang
berkaitan dengan keuangan. Akan tetapi, Alquran tidak secara spesifik berbicara tentang
bentuk lembaga keuangan. Pembahasan Alquran lebih berkaitan dengan akhlak/etika yang
berkaitan dengan masalah keuangan, antara lain menjaga kepercayaan (amanah), keadilan
(‘adalah), kedermawanan (ikhsan), perintah menjauhi yang haram dan menegakkan yang baik
(amar ma’ruf nahi mungkar), dan teguran (tawsiah). Lembaga keuangan syariah yang berwujud
dalam sebuah institusi adalah ketika Rasulullah Muhammad saw. mendirikan Baitulmal, saat
pemerintahan Islam dibentuk di Madinah. Baitulmal di zaman Rasulullah merupakan lembaga
penyimpanan kekayaan negara. Pada saat itu, Baitulmal memiliki fungsi menerima pendapatan
dan mengeluarkan pembelanjaan negara.
Pada masa Khulafaurrasyidin, Baitulmal berkembang dalam hal jumlah kekayaan yang
dikelola dan fungsi yang dijalankan. Lembaga ini kemudian dikembangkan secara administrasi
dan dibentuk dewan-dewan untuk ketertiban administrasi. Selanjutnya, mulai Dinasti Abasiyah,
fungsi Baitulmal bertambah dengan mengeluarkan kebijakan moneter. Hingga pada saat runtuhnya
Dinasti Usmaniyah di Turki, nama Baitulmal tidak muncul lagi sebagai pusat pengaturan fiskal
dan moneter negara.
Pada tahun 1963, di desa Mit Ghamr, salah satu daerah di wilayah Mesir, dibentuk sebuah
lembaga keuangan pedesaan yang bernama Mit Ghamr Savings Bank atau biasa disebut Mit
Ghamr Bank yang dipelopori oleh seorang ekonom bernama Dr. Ahmad El Najjar. Lembaga
keuangan tersebut ternyata sangat sukses, baik dalam penghimpunan modal dari masyarakat
berupa tabungan, uang titipan dan zakat, sadaqah, dan infak, maupun dalam memberikan
modal kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah, terutama di bidang perdagangan dan
industri. Dalam operasinya, Mit Ghamr Bank tidak membebankan bunga pada peminjam
maupun membayar bunga kepada penabung. Bank ini melakukan investasi secara langsung
maupun dalam bentuk kemitraan dengan pihak lain dan selanjutnya membagi keuntungan
dengan para penabung.
Keberhasilan Mit Ghamr Bank menginspirasi banyak pihak untuk melakukan hal yang
sama, antara lain sebagai berikut.
1. Pemerintah Mesir di bawah pemerintahan Gamal Abdul Naser membentuk Naser Social
Investment dengan basis perkotaan pada tahun 1972.
2. Masyarakat cendekiawan dan profesional di Filipina membentuk Bank Amanah pada
tahun 1973.
3. Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang beranggotakan pemerintah berbagai negara
berpenduduk Muslim mendirikan Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1973 dan
mulai beroperasi tahun 1975 dengan kantor pusat di Jeddah.
Setelah IDB beroperasi, berbagai bank syariah tumbuh dan berkembang di berbagai negara
termasuk di Indonesia dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Berikut
16
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
adalah tabel sejarah pendirian bank syariah di berbagai negara hingga didirikannya Bank
Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia.
Tabel 2.1 Pendirian Bank Islam di Dunia: Dari Mit Ghamr Bank di Mesir Hingga Bank
Muamalat di Indonesia
17
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Keberadaan IDB banyak membantu perkembangan bank syariah di berbagai negara. Selain
mendapat dukungan dari IDB, berbagai lembaga internasional telah didirikan dalam rangka
memperkuat keberadaan sistem perbankan syariah. Beberapa lembaga tingkat internasional
tersebut adalah AAOIFI, IFSB, dan IIFM. Pada bagian berikut akan dibahas peran dan
perkembangan masing-masing lembaga tersebut, termasuk IDB.
18
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
AAOIFI dirancang agar memperoleh dukungan kuat dari berbagai pihak secara internasional.
Adapun untuk menjaga kesesuaian standar yang dibuat dengan syariah Islam, AAOIFI bekerja
di bawah pengawasan dewan syariah yang beranggotakan 15 anggota dari berbagai negara, di
antaranya adalah Sheikh Muhammad Taqi Usmani, mantan hakim agung Pakistan; Dr. Wahba
Zuhaili, Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syria; dan Dr. Husein Shehata dari
Universitas Al Azhar. Pada awal pendirian AAOIFI, juga pernah turut serta ulama terkemuka
Dr. Yusuf Qaradawi dalam dewan syariah lembaga tersebut.
Dewan syariah AAOIFI ini memiliki peran strategis dalam pengembangan bank syariah
dunia. Peran tersebut adalah melakukan berbagai upaya untuk mengharmonisasikan konsep
dan penerapan fatwa-fatwa di antara Dewan Pengawas Syariah (DPS) di berbagai lembaga
keuangan untuk menghindari adanya kontradiksi dan inkonsistensi. Hal ini penting, mengingat
kontradiksi dan inkonsistensi merupakan isu yang sangat krusial dalam aspek syariah,
mengingat dalam perkembangan Islam terdapat cukup banyak mazhab yang berkembang dan
masing-masing mazhab memiliki pendukung masing-masing. Dapat dipahami bahwa sekiranya
kontradiksi dan inkonsistensi mendominasi perkembangan bank syariah, maka bank syariah
akan sulit berkembang di level internasional.
Berbagai standar yang dikeluarkan oleh AAOIFI telah dijadikan sebagai acuan oleh lembaga
regulator di berbagai negara. Beberapa negara bahkan menjadikan standar AAOIFI bersifat
mandatory (wajib) untuk diikuti. Untuk Indonesia, Bank Indonesia (BI) sebagai regulator bank
syariah bersama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi yang berwenang
mengeluarkan standar akuntansi, telah menjadikan berbagai standar yang dikeluarkan oleh
AAOIFI sebagai acuan dalam membuat standar akuntansi bagi bank syariah di Indonesia.
Adapun ketika belum ada standar akuntansi yang khusus bagi bank syariah, Bank Muamalat
Indonesia banyak mengacu pada standar yang digunakan oleh AAOIFI dan dalam hal ini
dibolehkan oleh BI.
Saat ini, AAOIFI sedang mendorong dikembangkannya audit syariah bagi perbankan
syariah. Upaya mendorong ini diwujudkan dengan program sertifikasi akuntan publik syariah
atau Certified Islamic Public Accountant (CIPA). Hal lain yang terus dikembangkan oleh AAOIFI
adalah bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional dan penyusun standar lain bagi
pengembangan industri perbankan syariah.
19
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Keberadaan IIFM telah dimanfaatkan oleh berbagai negara dan lembaga keuangan syariah
dalam hal perancangan produk serta bantuan teknis dan konsultatif hingga produk keuangannya
dapat diperdagangkan di pasar modal maupun pasar uang. Berikut adalah tabel instrumen
keuangan syariah global di beberapa negara.
21
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Standar yang dikembangkan oleh IFSB diperuntukkan sebagai acuan pengelolaan bank
syariah oleh pembuat kebijakan bidang perbankan syariah. Dengan demikian, bank syariah
perlu memperhatikan standar-standar yang telah dihasilkan oleh IFSB. Sekalipun standar yang
telah dibuat oleh IFSB belum diadopsi oleh BI, terdapat kemungkinan di masa yang akan datang
bahwa standar tersebut akan menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan pengelolaan bank
syariah di Indonesia oleh BI.
Lain-Lain
Selain keempat lembaga tersebut, terdapat pula lembaga lain yang memiliki fungsi penting
dalam pengembangan arsitektur perbankan syariah Internasional, antara lain General Council
of Islamic Banks and Financial Institution, Islamic International Rating Agency (IIRA), Liquidity
Management Center (LMC), dan International Islamic Center for Reconciliation and Comercial
Arbitration (IICRCA).
22
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
ITB. Pendirian BMT tersebut menginspirasi kelompok masyarakat untuk mendirikan lembaga
sejenis. Hingga akhir tahun 2008 telah terdapat sekitar 3.200 BMT di seluruh Indonesia.
BMT terdiri dari dua istilah, yaitu “baitulmal” dan “baitultamwil”. Baitulmal merupakan
istilah untuk organisasi yang berperan dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana non-
profit, seperti zakat, infak, dan sedekah. Baitultamwil merupakan istilah untuk organisasi
yang mengumpulkan dan menyalurkan dana komersial. Dengan demikian, BMT memiliki
peran ganda, yaitu fungsi sosial dan fungsi komersial. Dalam operasinya, BMT biasanya
menggunakan badan hukum koperasi. Oleh karena itu, BMT sering disebut dengan koperasi
jasa keuangan syariah.
Bank syariah sering bekerja sama dengan BMT dalam menyalurkan pembiayaan kepada
masyarakat. Kerja sama ini dilakukan mengingat BMT memiliki kemampuan akses kepada
masyarakat berpenghasilan rendah yang memerlukan pembiayaan dalam skala kecil atau
mikro.
Asuransi Syariah
Perusahaan asuransi syariah pertama di Indonesia adalah PT Asuransi Takaful Keluarga (asuransi
jiwa) dan PT Asuransi Takaful Umum yang didirikan pada tahun 1993. Kedua perusahaan ini
merupakan anak perusahaan PT Sarikat Takaful Indonesia yang pendiriannya diprakarsai oleh
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia melalui Yayasan Abdi Bangsa bersama Bank Muamalat
Indonesia dan perusahaan Asuransi Tugu Mandiri.
Asuransi syariah memiliki kaitan erat dengan bank syariah. Berbagai pembiayaan yang
disalurkan oleh bank syariah umumnya diasuransikan dengan menggunakan skema syariah.
Praktik asuransi ini dilakukan oleh bank syariah untuk mengantisipasi kegagalan bayar
pembiayaan nasabah karena faktor meninggalnya nasabah maupun faktor lainnya yang
disepakati dalam asuransi.
23
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Tabel 2.4 Emisi Sukuk oleh Pasar Modal di Indonesia hingga Juni 2015
Ar Rahnu
Ar Rahnu (pegadaian syariah) merupakan lembaga pegadaian yang beroperasi sesuai dengan
prinsip syariah. Pegadaian syariah di Indonesia diprakarsai oleh Bank Muamalat Indonesia yang
bekerja sama dengan Perum Pegadaian untuk menyalurkan tambahan modal bagi Unit Layanan
Gadai Syariah di berbagai kota di Indonesia.
24
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
Bank syariah di Indonesia secara konsisten telah menunjukkan perkembangannya dari waktu
ke waktu. Kendati pangsa perbankan syariah sempat tertahan cukup lama di kisaran 4%, pada
Oktober 2016 untuk pertama kalinya pangsa perbankan syariah terhadap total bank mencapai
di atas 5%, yaitu 5,17%—saat konversi PT BPD Aceh menjadi Bank Aceh Syariah. Di bulan
berikutnya, tren positif ini masih terasa hingga pangsa pasar bank syariah mencapai 5,34%
di akhir tahun 2017 dan 5,79% diakhir tahun 2017. Diperkirakan, ini akan berlanjut jika
rencana konversi beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD) menjadi BPD yang sepenuhnya
berskema syariah jadi dilakukan seperti BPD NTB. Kondisi ini adalah kemajuan positif guna
mengembangkan industri perbankan syariah di tanah air.
Menurut penulis, potensi pengembangan ke depan yang masih terbuka lebar adalah dorongan
dari pemerintah terutama Kementerian BUMN terhadap pengembangan industri perbankan
syariah di bawah lingkungan pemerintah sendiri dan optimalisasi pelibatan peran perbankan
syariah dalam pembangunan nasional maupun daerah. Adapun Otoritas Jasa Keuangan
dapat berperan mengeluarkan kebijakan yang lebih efektif mendorong pemilik bank syariah
untuk meningkatkan permodalan dan mendorong manajemen bank syariah meningkatkan
kapasitasnya. Di samping itu, secara kultural, pengenalan terhadap perbankan syariah kepada
masyarakat luas mesti terus dilakukan oleh semua pihak yang peduli pada pengembangan
perbankan syariah di tanah air.
Tabel 2.5 Pangsa Perbankan Syariah terhadap Total Bank (Posisi Desember 2017)
Bank Syariah
(BUS, UUS, dan BPRS) Total Bank
(triliun)
Nominal (triliun) Pangsa
Total aset per Januari 2009 51,8 2,24% 2.308,0
Total aset per Desember 2013 247,1 4,91% 4.954,5
Total aset per Oktober 2016 339,7 5,17% 6.570,3
Total aset per Desember 2016 365,7 5,34% 6.843,3
Total aset per Desember 2017 435,0 5,79% 7.513,1
Sumber: Statistik Perbankan Syariah dan Statistik Perbankan Indonesia Desember 2017 (Otoritas Jasa Keuangan,
2018)—diolah
25
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Perkembangan pertumbuhan bank syariah juga telah diikuti oleh perkembangan jaringan
kantor Perbankan Syariah. Pada bulan Desember 2017, jumlah BUS adalah sebanyak 13
perusahaan, sedangkan jumlah UUS sebanyak 21 unit, dan BPRS sebanyak 167 perusahaan
(lihat Tabel 2.6).
Tabel 2.6 Jumlah Kantor dan Pegawai Perbankan Syariah di Indonesia (Posisi Desember 2017)
Dari 13 bank umum yang telah beroperasi penuh secara syariah, sebagian besar adalah bank
swasta nasional. Adapun dari 20 Unit Usaha Syariah yang ada saat ini, sebagian besar adalah Bank
Pembangunan Daerah (BPD) yang kepemilikannya adalah oleh pemerintah daerah. Melihat animo
masyarakat yang semakin tinggi terhadap perbankan syariah dan kuatnya komitmen kepala daerah,
tren konversi BPD menjadi syariah sepenuhnya sangat mungkin terjadi dan bias menjadi lokomotif
kemajuan bank syariah di tanah air.
Tabel 2.7 Daftar Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah di Indonesia
(Posisi November 2016)
26
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia didukung secara intensif oleh tiga
lembaga, yaitu BI, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), dan Dewan
Standar Akuntansi Syariah-Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS-IAI).
Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) merupakan regulator bagi perkembangan seluruh bank umum dan BPR di
Indonesia, termasuk BUS dan BPR syariah. Sebagai regulator, BI telah mengupayakan adanya
payung hukum bagi berkembangnya bank syariah di Indonesia, yaitu dengan masuknya
istilah prinsip syariah dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Selanjutnya,
BI mengupayakan berbagai upaya untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bank
syariah serta untuk mengembangkan pangsa bank syariah. Beberapa upaya yang dilakukan
untuk mengatasi persoalan bank syariah adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pasar
Uang antar-Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi
Bank Syariah, Kualitas Aset Produktif, Office Chanelling, dan lain sebagainya. Secara khusus,
BI membuat Cetak Biru Perbankan Syariah yang dijadikan sebagai acuan pengembangan
27
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
bank syariah dari tahun 2003 hingga 2011. Pada pertengahan tahun 2008, pengaturan Bank
Syariah dimuat dalam undang-undang tersendiri, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Peran lain BI dalam pengembangan perbankan syariah adalah dalam menyediakan
instrumen keuangan guna membantu bank syariah menyimpan kelebihan likuiditasnya. Saat
ini, jenis instrumen yang digunakan oleh BI adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (dahulu
bernama Sertifikat Wadiah Bank Indonesia). Selain itu, guna memastikan adanya landasan
hukum terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN sebagai lembaga yang memiliki otoritas
dalam mengeluarkan fatwa, BI berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2008 telah membentuk
Komite Perbankan Syariah yang bertugas menyusun peraturan BI terkait fatwa yang telah
dikeluarkan oleh DSN.
Adapun DPS adalah badan terafiliasi yang ditempatkan oleh DSN dalam setiap lembaga
keuangan Syariah. DPS terdiri dari pakar di bidang syariah yang memiliki pengetahuan di bidang
Perbankan. DPS dalam menjalankan tugasnya wajib mengikuti fatwa DSN. Adapun tugas dan
wewenang DPS adalah sebagai berikut.
1. Melakukan pengawasan secara periodik terhadap lembaga keuangan syariah yang berada
di bawah pengawasannya.
2. Mengajukan usulan pengembangan lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada
DSN.
3. Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.
28
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
Di tahun 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan dua dokumen strategis untuk
pengembangan perbankan syariah di Indonesia, yaitu Master Plan Jasa Keuangan Indonesia
2015–2019 dan Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015–2019. Dalam Master Plan
dijelaskan secara khusus upaya-upaya penguatan peran sektor jasa keuangan syariah.
Terdapat lima upaya yang dijadikan sebagai strategi OJK untuk memperkuat peran sektor
jasa keuangan syariah. Pertama, meningkatkan ekspansi usaha, jaringan, dan produk keuangan
syariah. Upaya ini diwujudkan dengan memperkuat permodalan LJK syariah; memperkuat
pengaturan atas produk, lembaga, dan profesi syariah di sektor jasa keuangan; dan meningkatkan
penawaran (supply) dan permintaan (demand) produk syariah. Kedua, meningkatkan fair
playing field bagi sektor jasa keuangan syariah dengan cara menyusun pengaturan yang
mendorong pertumbuhan sektor jasa keuangan syariah dan mendorong ketentuan sektor jasa
keuangan syariah sesuai dengan karakteristik usahanya dan tingkat kesiapan industri. Ketiga,
memperkuat kerja sama pengembangan sektor jasa keuangan syariah melalui sinergi kebijakan
dengan pemerintah, otoritas, dan pemangku kepentingan terkait. Upaya penguatan kerja sama
ini akan didukung dengan langkah-langkah mendorong penerapan sasaran dan kebijakan
pengembangan keuangan syariah sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional;
mendorong pemanfaatan sektor jasa keuangan syariah sebagai alternatif pembiayaan BUMN
dan program pembangunan nasional; melakukan sinergi kebijakan tax neutrality dan/atau
insentif perpajakan; melakukan sinergi kebijakan sektor jasa keuangan syariah dan sektor
jasa keuangan konvensional; mendorong interkoneksi antara sektor jasa keuangan syariah
dan instrumen syariah; dan mendorong kerja sama dengan pihak terkait untuk mendukung
pengembangan sektor jasa keuangan syariah.
Upaya keempat adalah mengembangkan kualitas pelaku sektor jasa keuangan syariah
dengan meningkatkan capacity building sumber daya manusia dan meningkatkan jumlah tenaga
kerja/ahli di bidang keuangan syariah untuk mendukung pertumbuhan lembaga jasa keuangan
syariah. Adapun upaya kelima adalah melaksanakan promosi dan edukasi mengenai keuangan
syariah. Upaya promosi direncanakan akan didukung oleh langkah-langkah sosialisasi kepada
masyarakat dan pelaku pasar untuk meningkatkan pemahaman dan penggunaan atas produk
layanan lembaga jasa; dan melakukan kerja sama dengan pihak terkait dalam rangka promosi
dan edukasi keuangan syariah.
29
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Secara khusus dalam Roadmap Perbankan Syariah 2015–2019 terdapat tujuh arah
kebijakan OJK, yaitu: (1) memperkuat sinergi kebijakan antara otoritas dengan pemerintah
dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya; (2) memperkuat permodalan dan skala usaha
serta memperbaiki efisiensi; (3) memperbaiki struktur dana untuk mendukung perluasan segmen
pembiayaan; (4) memperbaiki kualitas layanan dan keragaman produk; (5) memperbaiki kuantitas
dan kualitas SDM dan teknologi informasi serta infrastruktur lainnya; (6) meningkatkan literasi
dan preferensi masyarakat; (7) memperkuat serta harmonisasi pengaturan dan pengawasan
perbankan syariah.
Sejak tahun 2008, perbankan syariah di Indonesia mulai menggunakan undang-undang yang
khusus tentang Perbankan Syariah. Undang-undang tersebut adalah UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008. Undang-undang tersebut
terdiri dari 13 Bab dan 70 Pasal, meliputi seperti yang tercakup dalam Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Struktur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pembahasan tentang UU Nomor 21 Tahun 2008 akan dijelaskan dalam Bab 4 buku ini,
yaitu mengenai Sistem Operasional Perbankan Syariah.
30
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
Referensi
Alvi, Ijlal A. 2007. “Need for a global unified Sukuk market Key challenges & role of Islamic Financial
Institutions”. Makalah IIFM.
Bank Indonesia. 2003. “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Syariah - September 2013. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Indonesia – Vol 11 No. 10 September 2013. Jakarta: Bank
Indonesia.
Bapepam. 2013. Statistik Pasar Modal Syariah. Jakarta: Bapepam.
IIFM. 2011. Sukuk Report 2nd edition: a Comprehensive Study of the Global Sukuk Market. Manama:
International Islamic Financial Market.
Otoritas Jasa Keuangan. 2015. Statistik Pasar Modal Syariah. Jakarta: Direktorat Pasar Modal Syariah—
Otoritas Jasa Keuangan.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
www.aaoifi.com
www.ifsb.org
www.iifm.net
www.isdb.org
Soal-Soal Latihan
31
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
6. Sebutkan berbagai jenis lembaga keuangan syariah yang terdapat di Indonesia dan jelaskan
karakteristiknya masing-masing.
7. Identifikasilah kaitan kerja sama yang mungkin dilakukan oleh bank syariah dengan
lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya.
8. Jelaskan peran institusi-institusi seperti BI, Departemen Keuangan, MUI, dan IAI terhadap
pengembangan industri perbankan syariah.
9. Dengan melihat data perbankan syariah yang dikeluarkan oleh BI, simpulkanlah
perkembangan bank syariah di Indonesia dan prospeknya dalam sepuluh tahun ke depan.
10. Identifikasilah permasalahan yang dihadapi oleh industri perbankan syariah Indonesia
pada saat ini.
11. Jelaskan peran Indonesia dalam pengembangan bank syariah di tingkat internasional.
12. Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang boleh dikembangkan oleh masyarakat
Muslim hanyalah Baitul Maal sebagaimana yang dikembangkan nabi dan para khalifah
pemerintahan Islam, adapun bank syariah dan lembaga keuangan syariah lain tidak
memiliki dasar syariah yang kuat untuk dikembangkan. Setujukah Anda dengan pendapat
tersebut dan berikan argumen guna menerima atau menolak pandangan tersebut.
13. Identifikasilah kelemahan yang terdapat pada bank konvensional.
14. Identifikasilah 3 kelebihan yang dimiliki oleh bank syariah yang diperkirakan dapat
mengatasi kelemahan bank konvensional.
15. Jelaskan dan evaluasilah tahapan perkembangan bank syariah yang direncanakan oleh
BI dalam cetak biru pengembangan bank syariah. Berikan saran Anda dalam upaya
pengembangan bank syariah.
32
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah
LEMBAR JAWABAN
33
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
11. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
12. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
13. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
14. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
15. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
34
PRINSIP DASAR
BANK SYARIAH 3
Pendahuluan
Bab 3 akan menjelaskan tentang prinsip syariah yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan suatu bank syariah. Prinsip tersebut mengacu pada prinsip-prinsip
hukum muamalah yang disepakati oleh mayoritas ulama. Relevansi bab ini adalah
sebagai landasan untuk memahami berbagai transaksi yang dilarang dalam agama
Islam terkait dengan aktivitas ekonomi antar-individu. Pemahaman terhadap
aspek prinsip syariah ini sangat penting karena merupakan aspek utama yang
membedakan bank syariah dengan bank konvensional.
Setelah mempelajari Bab 3 ini, pembaca diharapkan dapat memahami prinsip-
prinsip hukum muamalah, transaksi yang dilarang karena zatnya, transaksi-
transaksi yang dilarang bukan karena zatnya, serta transaksi yang dilarang
karena ketidakabsahan akad. Pembaca juga diharap dapat mengembangkan
penalarannya dengan mengevaluasi boleh atau tidaknya suatu transaksi yang ada
di masyarakat dilakukan dalam sudut pandang syariah.
35
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga
keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan yang mendapat izin operasional
sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI, 2003). Definisi ini menegaskan bahwa suatu LKS
harus memenuhi dua unsur, yaitu unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas
operasi sebagai lembaga keuangan.
Unsur kesesuaian suatu LKS dengan syariah Islam secara tersentralisasi diatur oleh DSN,
yang diwujudkan dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Adapun
unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan diatur oleh berbagai institusi yang memiliki
kewenangan mengeluarkan izin operasi. Beberapa institusi tersebut antara lain adalah sebagai
berikut.
1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, asuransi, dan pasar modal.
2. Kantor Menteri Koperasi sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
koperasi termasuk BMT.
Fatwa-fatwa DSN biasanya bersifat umum untuk semua LKS, termasuk Bank syariah.
Adapun fatwa tersebut mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah yang dirumuskan
oleh mayoritas ulama. Beberapa prinsip dalam hukum muamalah adalah sebagai berikut.
1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh
Alquran dan Sunah Rasul (prinsip mubah).
2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa mengandung unsur-unsur paksaan
(prinsip sukarela).
3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan
mudarat dalam hidup masyarakat (prinsip mendatangkan manfaat dan menghindarkan
mudarat).
4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-
unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan (prinsip
keadilan).
36
Prinsip Dasar Bank Syariah
Abu Ishaq al-Shatibi atau biasa dipanggil Imam As Shatibi merumuskan lima tujuan hukum
Islam, yakni:
1. Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama)
2. Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa)
3. Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal)
4. Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan)
5. Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta)
Kelima tujuan hukum Islam tersebut di dalam literatur disebut al-maqasid al khamsah atau
al-maqasid al-shari’ah. Hifdz Ad-Din atau memelihara agama didasarkan pada perintah Allah di
dalam Alquran untuk terus menegakkan agama: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy Syura’ ayat
13).
Hifdz An-Nafs atau memelihara jiwa didasarkan pada firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah
ayat 178–179 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula),
yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah ayat 178–179).
Hifdz Al’Aql atau memelihara akal manusia didasarkan pada perintah Allah kepada manusia
untuk berpikir dan memperhatikan langit dan bumi yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah
Swt. : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan
di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
(QS. Al-Baqarah ayat 164).
Hifdz An-Nasb atau memelihara keturunan didasarkan pada disyariatkannya pernikahan
dan diharamkannya hal-hal yang dapat membawa zina, serta ditetapkannya siapa-siapa yang
tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan, dan syarat-syarat apa yang
harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang
berlainan jenis. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3–4).
Hifdz Al-Maal atau memelihara harta didasarkan pada perintah Allah Swt. untuk tidak
mencari harta dengan cara yang batil. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: “Hai orang-orang
37
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29–32).
Hukum muamalah tersebut secara detail dibahas oleh ulama dalam bidang ilmu yang biasa
disebut dengan fikih muamalah. Dalam fikih muamalah, ulama-ulama telah mengidentifikasi dan
memfatwakan beberapa jenis transaksi yang dilarang oleh Islam. Pelarangan beberapa transaksi
tersebut secara umum disebabkan oleh tiga hal berikut.
1. Mengandung barang atau jasa yang diharamkan.
2. Mengandung sistem dan prosedur memperoleh keuntungan yang diharamkan (tadlis, bai’
ikhtikar, bai’ Najsy, riba, gharar, maysir).
3. Tidak sah akadnya.
Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang diharamkan sering dikaitkan
dengan prinsip muamalah yang ketiga, yaitu keharusan menghindar dari kemudaratan. Alquran
dan Sunah Nabi Muhammad saw., sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman suatu
barang atau jasa, menyatakan secara eksplisit berbagai jenis bahan yang dinyatakan haram untuk
dimakan, diminum, maupun dipakai oleh seorang muslim. Di antaranya adalah meminum khamar
dan menggunakan bangkai atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk
dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Alquran dan Sunah Nabi saw. juga secara eksplisit melarang
dilakukannya berbagai jenis jasa atau tindakan, antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan
aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain, dan sebagainya.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman, dan
tindakan yang secara substansi sama dengan barang dan jasa yang secara eksplisit dilarang Alquran
dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama, yaitu
mengharamkan segala sesuatu yang memiliki substansi sama dengan zat yang diharamkan dalam
Alquran dan Sunah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut
diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan aktivitas
pengadaan jasa, produksi makanan, minuman, dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pemberian pembiayaan, bank syariah dituntut untuk
selalu memastikan kehalalan jenis usaha yang dibantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan
demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang
bergerak di bidang peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya yang
diharamkan.
Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam juga melarang transaksi yang diharamkan
sistem dan prosedur perolehan keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang
diharamkan karena sistem dan prosedur perolehan keuntungan tersebut adalah:
38
Prinsip Dasar Bank Syariah
Tadlis
Tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak
(unknown to one party). Tadlis juga disebut dengan tindakan menipu untuk mendapat keuntungan
dari ketidaktahuan orang lain. Landasan syar’i larangan ini adalah: Diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwa Nabi melewati setumpuk tepung gandum yang dijual, lalu Beliau memasukkan tangannya
ke dalam tumpukan tersebut ternyata bagian dalamnya basah, Beliau bertanya, “Apa ini hai penjual
tepung?”, ia menjawab, “Terkena hujan wahai Rasulullah”, lalu Beliau bersabda, “Mengapa engkau
tidak meletakkannya di bagian atas sehingga orang dapat melihatnya. Sesungguhnya orang yang
menipu tidak termasuk golonganku”. (HR. Muslim). Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari empat
hal pokok dalam hal jual beli berikut.
1. Kuantitas
Salah satu pihak (penjual) misalnya mengurangi takaran barang yang telah disepakati antara
penjual dan pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh si penjual.
Sekiranya pembeli mengetahui adanya pengurangan tersebut, dapat dipastikan pembeli tidak
akan rela dengan jual-beli yang telah dilakukan.
2. Kualitas
Dalam hal kualitas, misalnya salah satu pihak (penjual) mengetahui bahwa barang yang dijual
memiliki cacat yang sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual barang akan berkurang
sesuai dengan nilai barang sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja tidak memberi tahu
cacat barang tersebut agar dapat menjual dengan harga tinggi atau lebih tinggi dari sebenarnya.
Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu, maka ia tidak akan rela terhadap
transaksi tersebut.
3. Harga
Praktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli
tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan harga tinggi. Sekiranya
pembeli mengetahui bahwa harga tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedang orang
lain tidak, hal ini dapat mengakibatkan rusaknya kerelaan pembeli atas transaksi yang sudah
dilakukan.
4. Waktu Penyerahan
Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan menutupi kemampuan ia
dalam menyerahkan barang yang sebenarnya lebih lambat dari yang ia janjikan. Contoh praktik
tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah janji penjual bisa menyelesaikan proyek dalam
jangka waktu 1 bulan, padahal penjual tersebut memahami bahwa pada waktu yang disepakati
tersebut apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi. Kondisi ini juga bertentangan dengan
prinsip kerelaan dalam muamalah. Oleh karena sekiranya pembeli mengetahui hal demikian,
maka ia tidak akan mau bertransaksi dengan penjual tersebut.
39
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Ketiadaan informasi juga bisa terjadi pada penyedia jasa dalam transaksi sewa. Sebagai contoh,
pemberi kerja yang menyewa tenaga pekerja sengaja tidak menyebutkan bayaran yang akan diterima
pekerja dengan pertimbangan si pekerja akan keberatan bekerja karena tidak sesuai dengan harga
pasar. Setelah pekerja menyelesaikan pekerjaannya, barulah bayaran disampaikan dan pekerja tidak
memiliki pilihan selain menerima bayaran yang ditetapkan pemberi kerja.
Untuk menghindari praktik tadlis dalam perbankan syariah, semua transaksi yang dilakukan
oleh bank syariah, terutama yang terkait dengan jual beli barang maupun sewa jasa antara bank
syariah dengan nasabah dan pihak luar maupun antara bank syariah dengan para pegawainya, harus
dilakukan secara transparan. Segala hal yang pokok dalam jual beli barang atau sewa jasa harus
terinformasikan kepada kedua belah pihak dan dijelaskan pada akad yang disepakati kedua belah
pihak.
Gharar
Transaksi gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi
pada salah satu pihak, sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah
pihak yang bertransaksi jual beli. Landasan syar’i larangan transaksi gharar adalah: Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Nabi melarang jual beli hashah (jual beli tanah yang menentukan
ukurannya sejauh lemparan batu) dan juga melarang jual beli gharar. (HR. Muslim). Gharar
dapat terjadi pada salah satu dari empat hal pokok dalam jual beli berikut.
1. Kuantitas
Gharar dalam kuantitas, misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika pohon
atau tanaman belum menunjukkan hasilnya. Dalam hal ini, pada saat jual beli, baik
penjual atau pembeli tidak tahu berapa kuantitas hasil panen yang akan diperjualbelikan.
Nilai jual hasil panen bisa lebih tinggi dan bisa lebih lebih rendah dibanding nilai yang
diserahterimakan. Sekiranya hasil panen lebih tinggi dari nilai uang yang diberikan
pembeli, maka pembeli akan menjadi pihak yang diuntungkan, sedang penjual tidak dapat
menikmati keberhasilan panennya. Sebaliknya, jika hasil panen lebih rendah dibanding
nilai transaksi saat pembelian, pembeli akan menjadi pihak yang dirugikan.
2. Kualitas
Gharar dalam kualitas, misalnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut induknya.
Kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual, tidak mengetahui bagaimana kualitas
sapi itu nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya sapi yang dilahirkan berkualitas
baik, maka pembeli akan diuntungkan, dan sebaliknya akan menjadi pihak yang dirugikan
apabila sapi yang dilahirkan nantinya adalah sapi dengan kualitas buruk.
3. Harga
Gharar dalam hal harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti mengenai harga
yang dipakai dalam jual beli yang disepakati. Sebagai contoh adalah jual beli dengan
kesepakatan harga berikut, “sekiranya barang ini lunas dalam jangka waktu di bawah
satu tahun, maka marginnya adalah 20%, tapi seandainya lunas antara satu hingga dua
tahun, maka marginnya otomatis menjadi 40%.” Oleh karena kedua belah pihak tidak
tahu apakah pembayaran akan dilunasi dalam satu tahun atau lebih, dalam hal ini harga
barang mengalami ketidakpastian, apakah harga dengan margin 20% maupun harga
dengan margin 40%.
40
Prinsip Dasar Bank Syariah
4. Waktu Penyerahan
Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak tahu kapan
barang akan diserahterimakan. Sebagai contoh penjualan mobil yang sedang hilang dicuri
dengan akad pembeli membayar seharga tertentu dan berhak atas mobil yang sedang
hilang dilarikan pencuri.
elarangan jual beli di atas, selain memiliki dasar syariatnya (dalil naqli), juga
P
didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai keadilan serta
menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempitan. Perbankan syariah wajib menghindari transaksi yang dilarang ini. Dalam
praktik, transaksi ini dihindari dengan memastikan bahwa barang yang diperjualbelikan
dapat diserahterimakan pada waktu yang disepakati sesuai dengan kuantitas dan spesifikasi
kualitas yang disepakati. Pembelian tersebut juga harus disepakati pada satu harga yang
tertuang dalam akad kesepakatan jual beli.
Bai’ Ikhtikar
Bai’ Ikhtikar merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli yang dilarang oleh syariah
Islam. Ikhtikar, yaitu menahan barang yang merupakan hajat orang banyak dengan tidak
menjualnya agar permintaan bertambah dan harga menjadi naik, saat itulah kemudian ia
menjualnya. Dengan demikian, penjual akan memperoleh keuntungan yang besar karena
dapat menjual dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding harga sebelum kelangkaan
terjadi. Pelarangan tindakan ini didasarkan pada dalil naqli berikut.
Diriwayatkan dari Mu’amar bin Abdullah bahwa Nabi bersabda: “Orang yang melakukan
ikhtikar berdosa”. (HR. Muslim).
Pelarangan juga didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai
keadilan serta menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan
dalam kesempitan.
Bai’ Najasy
Bai’ najasy adalah tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan
terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk akan naik. Landasan syar’i larangan transaksi
Bai’ Najasy adalah:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah melarang najasy”. (HR.
Bukhari-Muslim).
41
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
3. melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentimen pasar. Bila harga sudah naik
sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung
dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli.
Bai’ najasy dapat dianalogikan dengan praktik “menggoreng” saham di pasar modal. Pada
saat harga saham yang “digoreng” jauh melampaui nilai fundamentalnya, spekulan saham yang
terlibat akan melepas saham yang dimiliki untuk mendapat keuntungan yang maksimal. Di lain
pihak, investor yang terpancing ikut membeli saham tersebut akan mengalami kerugian karena
dalam waktu singkat saham yang dibeli akan turun harganya.
Maysir
Ulama dan fuqaha mendefinisikan maysir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan
di mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita
kerugian (Ibnu Qudama: Al Mughni, 13/408). Landasan syar’i larangan transaksi Maysir adalah
Alquran surah Al-Maidah ayat 90–91:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan salat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu)”. (QS. Al-Maidah: 90–91).
Contoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah adalah larangan untuk
memberikan pembiayaan pada bisnis yang mengandung unsur judi. Contoh penerapan lain adalah
larangan pada bank untuk menjadikan uang sebagai instrumen spekulasi dan mendapatkan
keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang.
Riba
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh, atau membesar. Definisi riba yang banyak
digunakan dalam literatur ekonomi syariah adalah definisi yang dirumuskan oleh imam Sarakhsi
dalam Mabsut juz XII, hlm. 109 sebagai berikut.
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan
(iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan bersinggungan langsung
dengan praktik perbankan konvensional. Pada akhir tahun 2003, MUI secara resmi menfatwakan
haramnya bunga bank konvensional. Para ahli rakyu (ijtihad) dari kalangan Syiah berpendapat
bahwa alasan riba diharamkan oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad saw. adalah agar orang tidak
berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas
pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya,
padahal qard bertujuan menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia (Ja’far Ash-
Shadiq dari kalangan Syiah).
42
Prinsip Dasar Bank Syariah
Larangan riba dalam sejarah Islam dilakukan secara bertahap. Pola ini juga terjadi pada
fase pelarangan khamar (minuman yang memabukkan) yang juga bertahap. Adanya tahapan ini
memberikan makna bahwa perubahan kepada sesuatu yang baik tidak bisa diharapkan terjadi
dengan serta-merta. Untuk itu dituntut kesabaran dan ketepatan strategi dalam melakukan
perubahan. Fase pertama pelarangan riba dimulai dengan turunnya firman Allah Swt. dalam
Q.S. Ar- Rum ayat 39 dengan terjemahan sebagai berikut.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar-Rum: 39)
yat ini dinamakan dengan ayat Makkiyah karena diturunkan Allah Swt. ketika Rasulullah
A
saw. masih di Mekah. Melalui ayat ini, Allah membandingkan riba dengan zakat dan menyatakan
bahwa harta yang dibayarkan untuk riba tidak memiliki manfaat di sisi Allah Swt., sementara
harta yang dibayarkan untuk zakat memiliki manfaat yang berlipat. Penekanan ayat ini lebih
pada menggugah pemahaman dan kesadaran kognitif manusia tentang tidak bergunanya riba di
sisi Allah Swt.
Fase kedua dan berikutnya terjadi setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Fase kedua
ditandai ketika Allah Swt. mengabarkan kepada umat Islam melalui Alquran larangan riba yang
diberlakukan pada umat terdahulu, yaitu kaum Yahudi melalui Q.S. An-Nisa ayat 160–161
dengan terjemahan sebagai berikut.
ase ini dianggap sebagai fase mulai diharamkannya riba pada umat Islam. Akan tetapi,
F
pengharaman riba pada fase ini baru bersifat sebagian, yaitu pada riba yang berlipat.
43
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Fase keempat adalah fase di mana riba diharamkan secara keseluruhan tanpa membedakan
besar tambahan yang diberlakukan dalam riba tersebut. Hal ini tertuang pada Q.S. Al-Baqarah
ayat 275–276 dengan terjemahan sebagai berikut.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti maka
baginya adalah apa yang telah berlalu dan urusannya adalah kepada Allah dan barang
siapa yang kembali lagi, maka mereka adalah penghuni neraka yang kekal di dalamnya.
Allah akan menghapus riba dan melipatgandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada
orang-orang kafir lagi pendosa.”
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa
riba (yang belum dipungut), jika kamu orang- orang yang beriman. Jika kamu tidak
mengerjakan ( meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul- Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Pada Q.S. Al-Baqarah ayat 278–279 cukup jelas disebutkan bahwa larangan riba tidak
memperhatikan besar kecilnya tambahan yang diberlakukan. Dengan demikian, baik yang
berlipat maupun yang tidak berlipat juga diharamkan oleh Allah Swt.
Adapun sumber hukum yang diacu dalam menentukan kriteria riba adalah hadis Nabi
Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Samit yang terdapat dalam Abu Daud
hadis 3343 dan dalam At Tirmidzi hadis 2819 dengan bunyi sebagai berikut.
“Emas dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung
gandum dengan tepung gandum dalam ukuran yang sama, kurma dengan kurma dalam
ukuran yang sama, garam dengan garam dalam ukuran yang sama. Jika seseorang memberi
lebih atau meminta lebih, ia telah berhubungan dengan riba. Tetapi tidak diharamkan
penjualan emas dengan perak dan perak dengan emas dalam berat yang tidak sama.
Pembayaran dilakukan pada saat itu juga dan janganlah menjual jika dibayar belakangan.
Dan tidak diharamkan menjual gandum dengan tepung gandum dan tepung gandum
(dengan gandum) dalam ukuran yang berbeda, pembayaran dilakukan pada saat itu. Jika
pembayaran dilakukan kemudian, janganlah menjualnya.”
Acuan lain yang dijadikan sebagai dasar membedakan riba dengan yang tidak riba adalah
hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut.
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham;
satu sha’ dengan dua sha’ karena aku khawatir akan terjadinya riba. Seorang bertanya:
Wahai Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda
dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi saw.: Tidak mengapa, asal
dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).” (HR.Muslim)
44
Prinsip Dasar Bank Syariah
Dari kedua hadis Nabi tersebut, disimpulkan bahwa riba timbul dalam transaksi utang
piutang dan transaksi jual beli barang ribawi. Riba dalam transaksi utang piutang terbagi atas
dua kategori, yaitu riba qardh dan riba jahiliyyah. Riba qardh adalah kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berutang, sedang riba jahiliyyah adalah riba yang timbul karena
peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba
fadhl adalah riba yang timbul karena pertukaran antarbarang ribawi yang sejenis dengan
kadar atau takaran yang berbeda. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul karena penangguhan
penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang lainnya.
Berdasarkan hadis tersebut, juga disimpulkan bahwa hukum riba berlaku pada transaksi
antarbarang ribawi dengan jenis yang sama. Barang ribawi dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu kelompok mata uang dan kelompok makanan pokok.
1. Kelompok mata uang dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu jenis emas dan perak secara
khusus, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk lainnya. Contoh riba fadhl
dalam hal ini adalah jika A yang sedang membutuhkan uang pecahan bersedia membeli
10 lembar uang Rp10.000 dengan membayar sebesar Rp102.000 kepada B. Kelebihan
Rp2.000 untuk B dapat dikatakan sebagai riba fadhl yang dilarang sebagaimana dilarangnya
transaksi seperti ini pada emas di zaman Rasulullah. Adapun contoh riba nasi’ah dalam mata
uang adalah jual beli mata uang asing yang penyerahannya tidak dilakukan dalam waktu
bersamaan. Sebagai contoh, A membeli 100 yen Jepang pada B yang mana A menerima
uang Yen tersebut saat itu juga, sedangkan penyerahan uang rupiah dilakukan beberapa
hari, Minggu, atau bulan kemudian. Transaksi ini juga dilarang karena adanya penundaan
waktu bisa menyebabkan perbedaan harga pasar dalam jual beli mata uang, sehingga dapat
mengakibatkan salah satu pihak menjadi diuntungkan dan pihak lain dirugikan.
2. Kelompok bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Contoh riba fadhl pada kelompok
bahan makanan pokok adalah peminjaman 10 kg beras oleh si A kepada si B, dengan
persyaratan pengembalian lebih dari 10 kg kepada si B di kemudian hari. Adapun contoh
riba nasi’ah pada bahan makanan pokok adalah penjualan 10 kg beras milik Y dengan 20
kg biji jagung milik Z. Riba nasi’ah dalam transaksi ini terjadi jika salah satu pihak telah
menerima barang diinginkannya, sedang pihak lainnya belum menerima karena adanya
penundaan waktu penyerahan. Adanya penundaan tersebut berpotensi dirugikannya salah
satu pihak karena adanya perubahan nilai tukar barang.
Suatu transaksi, kendati telah menggunakan barang atau jasa yang halal dan diperoleh dengan
mekanisme pemerolehan keuntungan yang dibolehkan agama, juga harus memenuhi syarat
keabsahan suatu akad. Akad secara bahasa berarti ikatan. Adapun akad menurut istilah adalah
keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya
komitmen tertentu yang disyariatkan. Hukum fikih menyatakan bahwa akad yang sah harus
dipenuhi, sedang akad yang tidak sah tidak boleh dipenuhi.
45
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keabsahan suatu transaksi haruslah
memenuhi rukun-rukun akad. Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut.
1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad. Dalam hal ini, kedua pihak
dipersyaratkan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, jika
tidak, akad dianggap tidak sah. Kemampuan tersebut dibuktikan dengan kemampuan
membedakan yang baik dan yang buruk (sudah baligh dan tidak dalam keadaan tercekal
seperti dinyatakan pailit) dan tidak di bawah paksaan. Dalam hal ini, suatu jual beli barang
yang halal, misalnya, dapat menjadi batal secara syar’i jika yang terlibat dalam jual beli
tersebut tidak memenuhi syarat seperti di bawah umur atau dalam kondisi gila atau mabuk.
2. Adanya sesuatu yang diikat dengan akad, yakni barang yang dijual dalam akad jual beli,
atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Adapun syarat barang
tersebut dianggap sah bila:
a. Barang tersebut suci atau bila telah terkena najis, bisa disucikan.
b. Barang tersebut bisa digunakan dengan cara yang disyaratkan, misal hotel atau rumah
yang tidak diperuntukkan bagi aktivitas prostitusi.
c. Komoditas harus bisa diserahterimakan (contohnya tidak sah menjual barang yang
sedang diagunkan).
d. Barang yang dijual harus milik penjual.
e. Bila barang dijual langsung harus diketahui wujudnya, dan bila tidak berada di lokasi,
harus diketahui ukuran, jenis, dan kriterianya.
3. Adanya pengucapan akad berupa ungkapan serah terima (ijab kabul). Ijab adalah
ungkapan penyerahan kepemilikan oleh pemilik barang, sedangkan kabul adalah ungkapan
penerimaan kepemilikan oleh pemilik barang berikutnya. Ijmak ulama berpendapat tidak
ada keharusan ijab kabul harus secara lisan. Adapun sah atau tidaknya ungkapan ijab
kabul dapat menggunakan praktik yang umum di masyarakat tempat jual beli dilakukan.
Prinsipnya, kedua belah pihak rela atas serah terima kepemilikan.
Selain faktor rukun, akad yang dibuat tidak boleh mengandung unsur ta’alluq dan unsur
dua akad untuk satu transaksi (two in one). Ta’alluq adalah dua akad yang saling berkaitan,
di mana berlakunya akad 1 bergantung pada akad 2. Sebagai contoh adalah penjualan dengan
cara ’inah, yaitu seseorang menjual barang seharga tertentu secara cicilan (misalkan Rp11 juta)
kepada orang lain dengan syarat, orang lain tersebut kembali menjual barang tersebut secara
tunai (misalkan Rp10 juta).
Transaksi dua akad untuk satu transaksi juga tidak dibenarkan. Hal ini disebabkan karena
dapat menimbulkan ketidakpastian terhadap konsekuensi dari akad, misalnya saat transaksi sewa
modal (capital lease), yang merupakan transaksi antara dua pihak untuk menyewakan sesuatu
barang, terjadi pula transfer kepemilikan barang. Dalam transaksi ini mengandung ketidakjelasan
akad mana yang didahulukan, apakah akad sewa atau akad jual beli.
46
Prinsip Dasar Bank Syariah
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Al Mushlih, Abdullah dan Ash-Shawi, Shalah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul
Haq.
DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. Jakarta: DSN-MUI dan Bank
Indonesia.
Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhammad. 2004. Dasar-Dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: Ekonisia FE UII.
Soal-Soal Latihan
47
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
48
Prinsip Dasar Bank Syariah
11. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
12. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
13. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
14. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
15. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
49
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
50
SISTEM OPERASIONAL
BANK SYARIAH 4
Pendahuluan
Bab 4 akan membahas sistem operasional bank syariah yang meliputi aspek
penghimpunan dan penyaluran dana. Relevansi bab ini adalah sebagai landasan
untuk memahami model interaksi antara bank dengan nasabah yang tidak
bertentangan dengan syariah. Larangan memperoleh pendapatan dengan cara
riba telah mendorong fungsi intermediasi bank sebagai pemberi pinjaman beralih
pada fungsi-fungsi lain yang tidak bertentangan, yaitu manajer investasi, investor,
dan fungsi sosial.
Pada bab ini juga akan dibahas secara khusus tentang alternatif mekanisme
penghimpunan dan penyaluran dana. Untuk memahami sistem operasional bank
syariah, pembaca perlu membaca dengan cermat dan mengerjakan soal latihan
pada akhir bab ini.
Setelah membaca bab ini, pembaca diharapkan dapat memahami berbagai
alternatif skema operasional bank syariah yang dapat digunakan dalam hal
penghimpunan, penyaluran, dan penyediaan jasa layanan keuangan lain kepada
nasabah. Pembaca juga diharap dapat mengembangkan penalarannya dengan
memilih skema yang ada secara tepat untuk berbagai jenis transaksi yang
dibutuhkan oleh nasabah.
51
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, disebutkan bahwa bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. Bank terdiri atas dua jenis, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Bank
konvensional adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional yang terdiri
atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat. Di kedua jenis bank konvensional
tersebut, sistem operasi didasarkan pada prinsip simpan-pinjam dengan keuntungan penabung
didasarkan atas bunga dari uang yang disimpankan ke bank dan keuntungan bank diperoleh atas
bunga dari uang yang dipinjamkan. Bunga dalam hal ini dihitung dengan mengalikan persentase
tertentu terhadap uang yang disimpankan atau dipinjamkan, tanpa melihat hasil usaha dari
penggunaan uang yang disimpankan atau dipinjamkan tersebut. Dengan pendekatan tersebut,
hubungan bank dengan nasabah hanya sebatas hubungan antara kreditor dan debitur. Oleh
karena sifatnya pinjam-meminjam, dana yang disalurkan tidak wajib dijelaskan peruntukannya
secara detail dan dimonitor kesesuaian penggunaannya. Hal ini membuka kemungkinan untuk
digunakan pada pengeluaran selain dari yang sudah disepakati.
Disamping itu, sistem operasional bank konvensional hanya tunduk dan patuh pada
peraturan perundang-undangan, sehingga diperbolehkan memberi pinjaman pada usaha yang
tidak halal, tetapi dibolehkan secara hukum, seperti pemberian pinjaman pada bisnis minuman
beralkohol yang legal. Dengan demikian di perbankan konvensional, tidak dikenal adanya
dewan yang mengawasi aspek kesyariahan operasi bank sebagaimana halnya Dewan Pengawas
Syariah di perbankan syariah. Di perbankan konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya
negative spread, yaitu tingkat bunga simpanan lebih tinggi daripada tingkat bunga pinjaman
sebagai salah satu langkah mempertahankan dana nasabah saat adanya krisis ekonomi seperti
yang terjadi di Indonesia tahun 1997–1998.
Berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, disebutkan bahwa
Bank Syariah wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
Bank Syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya (antara
lain denda terhadap nasabah atau ta’zir) dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat. Selain itu, bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf
uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi
wakaf (wakif).
Dalam beberapa literatur perbankan syariah, bank syariah dengan beragam skema transaksi
yang dimiliki dalam skema non-riba memiliki setidaknya empat fungsi, yaitu (1) fungsi manajer
investasi; (2) fungsi investor; (3) fungsi sosial; dan (4) fungsi jasa keuangan. Keempat fungsi
tersebut akan dibahas secara detail sebagai berikut.
52
Sistem Operasional Bank Syariah
Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana, bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana). Sebagai
investor, penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor-
sektor yang produktif dengan risiko yang minim dan tidak melanggar ketentuan syariah. Selain
itu, dalam menginvestasikan dana bank syariah harus menggunakan alat investasi yang sesuai
dengan syariah. Investasi yang sesuai dengan syariah meliputi akad jual beli (murabahah, salam,
dan istishna’), akad investasi (mudharabah dan musyarakah), akad sewa-menyewa (ijarah dan
ijarah muntahiya bittamlik), dan akad lainnya yang dibolehkan oleh syariah.
Fungsi Sosial
Fungsi sosial bank syariah merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Setidaknya
ada dua instrumen yang digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya,
yaitu instrumen Zakat, Infak, Sadaqah, dan Wakaf (ZISWAF) dan instrumen qardhul hasan.
Instrumen ZISWAF berfungsi untuk menghimpun ZISWAF dari masyarakat, pegawai bank,
serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Dana yang dihimpun melalui instrumen
ZISWAF selanjutnya disalurkan kepada yang berhak dalam bentuk bantuan atau hibah untuk
53
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
memenuhi kebutuhan hidupnya. Instrumen qardhul hasan berfungsi menghimpun dana dari
penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana infak dan sedekah yang tidak
ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi. Selanjutnya, dana qardhul
hasan disalurkan untuk (1) pengadaan atau perbaikan kualitas fasilitas sosial dan fasilitas
umum masyarakat (terutama bagi dana yang berasal dari penerimaan yang tidak memenuhi
kriteria halal); (2) sumbangan atau hibah kepada yang berhak; dan (3) pinjaman tanpa bunga
yang diprioritaskan pada masyarakat golongan ekonomi lemah, tetapi memiliki potensi dan
kemampuan untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
Sistem operasional bank syariah dapat digambarkan dalam Figur 4.1. Pada Figur 4.1 ditunjukkan
mekanisme dengan alur sebagai berikut.
Jasa
Administrasi
5. Penyediaan tabungan, ATM,
Sebagai penyedia jasa transfer, kliring,
jasa keuangan Letter of Credit,
Bank Garansi,
Transaksi
valuta asing
dsb.
54
Sistem Operasional Bank Syariah
Pertama, sistem operasional bank syariah dimulai dari kegiatan penghimpunan dana
dari masyarakat. Penghimpunan dana dapat dilakukan dengan skema investasi maupun
skema titipan. Dalam penghimpunan dana dengan skema investasi dari nasabah pemilik
dana (shahibul maal), bank syariah berperan sebagai pengelola dana atau biasa disebut
dengan mudharib. Adapun pada penghimpunan dengan skema penitipan, bank syariah
berperan sebagai penerima titipan.
Kedua, dana yang diterima oleh bank syariah selanjutnya disalurkan kepada berbagai
pihak, antara lain mitra investasi, pengelola investasi, pembeli barang, dan penyewa
barang atau jasa yang disediakan oleh bank syariah. Pada saat dana disalurkan dalam
bentuk investasi, bank syariah berperan sebagai pemilik dana. Pada saat dana disalurkan
dalam kegiatan jual beli, bank syariah berperan sebagai penjual dan pada saat disalurkan
dalam kegiatan pengadaan objek sewa, berperan sebagai pemberi sewa.
Ketiga, dari penyaluran dana kepada berbagai pihak, bank syariah selanjutnya menerima
pendapatan berupa bagi hasil dari investasi, margin dari jual beli dan fee dari sewa dan
berbagai jenis pendapatan yang diperoleh dari instrumen penyaluran dana lain yang
dibolehkan.
Keempat, pendapatan yang diterima dari kegiatan penyaluran selanjut dibagikan kepada
nasabah pemilik dana atau penitip dana. Penyaluran dana kepada pemilik dana bersifat
wajib sesuai dengan porsi bagi hasil yang disepakati. Adapun penyaluran dana kepada
nasabah penitip dana bersifat sukarela tanpa ditetapkan di muka sebelumnya dan biasa
disebut dengan istilah bonus.
Kelima, selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dan penyaluran, bank syariah dalam
sistem operasionalnya juga memberikan layanan jasa keuangan seperti jasa ATM, transfer,
letter of credit, bank garansi, dan lain sebagainya. Oleh karena jasa tersebut dilakukan
tanpa menggunakan dana dari pemilik dana maupun penitip dana, maka pendapatan
yang diperoleh dari jasa tersebut dapat dimiliki sepenuhnya oleh bank syariah tanpa harus
dibagi.
Dengan demikian, sistem operasional bank syariah dapat disimpulkan terdiri atas sistem
penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun, dan sistem penyediaan jasa keuangan.
Jika dibandingkan dengan antara sistem operasional bank syariah dengan bank konvensional,
perbedaannya terletak pada mekanisme pemerolehan keuntungan pada pihak-pihak yang
terlibat dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana bank. Mekanisme pemerolehan
pendapatan pada bank konvensional menggunakan sistem bunga, yaitu sistem yang menjanjikan
pihak yang menyimpan uangnya atau yang menyalurkan dananya dengan persentase tertentu
terhadap dana yang disimpan atau disalurkan. Dengan demikian, pemerolehan pendapatan oleh
penabung atas uang yang ditabungkan tidak memiliki kaitan dengan pendapatan yang diperoleh
bank dari mekanisme penyaluran dananya. Dalam hal ini, nasabah bank konvensional bisa
langsung menghitung pendapatan yang akan diterimanya dari bank pada saat ia menyimpan
uangnya di bank konvensional. Sebagaimana telah dibahas pada Bab 2, sistem ini masuk dalam
kategori riba dan dilarang dalam agama Islam.
55
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank konvensional maupun syariah
dilakukan dengan menggunakan instrumen tabungan, deposito, dan giro yang secara total biasa
disebut dengan dana pihak ketiga. Akan tetapi, pada bank syariah, klasifikasi penghimpunan
dana bank syariah tidak didasarkan pada nama instrumen tersebut melainkan berdasarkan
pada prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), prinsip
penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua, yaitu prinsip wadiah dan
prinsip mudharabah.
1
Praktik jasa penitipan dengan meminta imbalan di masyarakat antara lain adalah jasa penitipan kendaraan, jasa
penitipan sepatu di beberapa masjid, jasa penitipan surat atau barang berharga di beberapa bank, serta jasa penitipan
anak. Walau jarang ditemukan, konsep penitipan dengan memberi imbalan pada yang dititipi ini juga boleh diterapkan
pada kasus penitipan uang.
56
Sistem Operasional Bank Syariah
Prinsip wadiah yang lazim digunakan dalam perbankan syariah adalah wadiah yad-
dhamanah dan biasa disingkat dengan wadiah. Prinsip ini dapat diterapkan pada kegiatan
penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Giro wadiah adalah titipan pihak ketiga pada
bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet
giro, kartu Automatic Teller Machine (ATM), sarana perintah pembayaran lainnya, atau
dengan cara pemindahbukuan. Adapun tabungan wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank
syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati dengan
menggunakan kuitansi, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara
pemindahbukuan. Berdasarkan observasi penulis, prinsip wadiah cenderung digunakan bank
syariah di Indonesia untuk kegiatan penghimpunan melalui giro, sedangkan penghimpunan
dana melalui tabungan cenderung menggunakan prinsip lain, yaitu prinsip mudharabah.
57
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
risiko apa pun. Pola executing adalah apabila bank sebagai agen juga menanggung risiko. Dana
mudharabah muqayyadah yang disalurkan dengan pola executing disajikan dalam neraca bank
syariah, sedangkan dana mudharabah yang disalurkan dengan pola channeling, disajikan dalam
laporan investasi terikat dan terpisah dari neraca bank syariah.
Pada dasarnya, semua bentuk kegiatan penghimpunan dana bank syariah (tabungan,
deposito, dan giro) dapat menggunakan prinsip mudharabah muthlaqah. Dalam praktik,
untuk keperluan kegiatan tabungan dan deposito, perbankan syariah di Indonesia umumnya
menggunakan prinsip mudharabah muthlaqah. Kendati hanya ditulis tabungan mudharabah
dan deposito mudharabah, skema yang dimaksud pada dasarnya adalah tabungan mudharabah
muthlaqah dan deposito mudharabah muthlaqah.
Tabungan Mudharabah
Tabungan mudharabah adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang
dipersamakan dengan itu. Pada sub-bab penghimpunan dengan prinsip wadiah, disebutkan
bahwa prinsip syariah dapat diterapkan pada transaksi tabungan wadiah. Perbedaan tabungan
wadiah dan tabungan mudharabah terletak pada tiga aspek, yaitu sifat dana, insentif, dan
pengembalian dana. Sifat dana pada tabungan wadiah bersifat titipan, sedang sifat dana pada
tabungan mudharabah bersifat investasi. Insentif pada tabungan wadiah berupa bonus yang
tidak disyaratkan di muka dan bersifat sukarela jika bank hendak memberikannya. Adapun
insentif pada tabungan mudharabah adalah berupa bagi hasil yang wajib diberikan oleh bank
jika memperoleh pendapatan atau laba pada setiap periode yang disepakati (biasanya 1 bulan)
kepada penabung sesuai dengan nisbah yang disepakati. Dalam hal pengembalian dana, tabungan
wadiah dijamin akan dikembalikan semua oleh bank, tetapi pada tabungan mudharabah tidak
dijamin dikembalikan semua. Tidak dijaminnya pengembalian tabungan mudharabah terkait
dengan prinsip mudharabah yang menyatakan bahwa kerugian usaha ditanggung seluruhnya
oleh shahibul maal sepanjang kerugian tidak disebabkan oleh kelalaian mudharib. Kendati secara
teori dimungkinkan menanggung kerugian bank syariah, dalam praktik, nasabah tabungan
mudharabah hampir tidak pernah mengalami hal demikian, kecuali bank syariah tersebut
mengalami kebangkrutan. Hal ini disebabkan karena dalam membagi hasil dengan nasabah
tabungan mudharabah, bank syariah umumnya menggunakan metode revenue sharing.2
Beberapa ahli perbankan syariah menambahkan perbedaan lain tabungan wadiah dengan
tabungan mudharabah, yaitu pada waktu penarikan. Berdasarkan waktu penarikan, tabungan
wadiah dapat dilakukan sewaktu-waktu, sedangkan tabungan mudharabah hanya dapat
dilakukan pada periode atau waktu tertentu. Akan tetapi, pandangan ini tidak disepakati oleh
semua ulama, termasuk oleh DSN MUI.
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 2 Tahun 2000 tentang tabungan, disebutkan ketentuan
tentang tabungan mudharabah adalah sebagai berikut.
1. Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2
Pembahasan tentang metode revenue sharing secara khusus dibahas pada Bab 7 tentang akuntansi transaksi
pembiayaan mudharabah.
58
Sistem Operasional Bank Syariah
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk melakukan
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
yang bersangkutan.
Deposito Mudharabah
Deposito mudharabah adalah simpanan dana dengan skema pemilik dana (shahibul maal)
memercayakan dananya untuk dikelola bank (mudharib) dengan hasil yang diperoleh dibagi
antara pemilik dana dan bank dengan nisbah yang disepakati sejak awal. Dalam transaksi
penyimpanan deposito mudharabah, bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai
nisbah dan tata cara pemberian keuntungan dan/atau perhitungan distribusi keuntungan serta
risiko yang dapat timbul dari deposito tersebut.
Periode penyimpanan dana biasanya didasarkan pada periode bulan. Deposito mudharabah
hanya dapat ditarik sesuai dengan waktu yang disepakati. Adapun pembayaran bagi hasil kepada
pemilik dana deposito mudharabah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dilakukan setiap
ulang tanggal pembukaan deposito mudharabah atau dilakukan setiap akhir bulan atau awal
bulan berikutnya tanpa memperhatikan tanggal pembukaan deposito mudharabah.
Penyaluran dana bank syariah dilakukan dengan menggunakan skema jual beli, skema investasi,
dan skema sewa. Skema jual beli memiliki beberapa bentuk, yaitu murabahah, salam, dan
istishna’. Skema investasi terdiri atas dua jenis, yaitu mudharabah dan musyarakah. Sementara
itu, skema sewa terdiri atas ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik.
59
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
barang tersebut dapat dibayar secara tunai maupun secara angsuran kepada bank dalam
jangka waktu yang disepakati.
Prinsip Investasi
Prinsip investasi dalam pembiayaan oleh bank syariah terdiri atas investasi dengan skema
mudharabah dan investasi dengan skema musyarakah.
60
Sistem Operasional Bank Syariah
muqayyadah, bank hanya berperan sebagai agen yang menghubungkan nasabah pembiayaan
mudharabah muqayyadah yang telah menetapkan batasan tertentu dalam kegiatan investasi oleh
nasabah yang menerima pembiayaan mudharabah muqayyadah. Dari upaya bank memfasilitasi
pemilik dana dan pengelola dana mudharabah muqayyadah tersebut, bank memperoleh fee
sejumlah tertentu yang telah disepakati.
Prinsip Sewa
Prinsip sewa terdiri atas dua skema, yaitu skema ijarah dan skema ijarah muntahiya bittamlik.
61
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Prinsip Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam konteks muamalah,
wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang (muwakkil) kepada yang lain (wakil)
dalam hal-hal yang diwakilkan (Antonio, 2001). Berdasarkan Fatwa DSN Nomor 10 Tahun 2000,
seorang muwakkil haruslah pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang ia wakilkan.
Adapun wakil haruslah orang yang dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya. Hal-
hal yang diwakilkan haruslah (1) diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, (2) tidak
bertentangan dengan syariah Islam, dan (3) dapat diwakilkan menurut syariah Islam.
Sebagai pihak yang mengerjakan suatu tugas, bank syariah berhak mendapatkan imbalan
(fee) sesuai dengan kesepakatan. Berdasarkan fatwa DSN, wakalah dengan imbalan bersifat
mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Dalam praktik perbankan, prinsip wakalah
dapat digunakan untuk transaksi berikut ini.
1. Letter of Credit (L/C)
2. Setoran kliring
3. Kliring antarkota
4. RTGS
5. Inkaso
6. Transfer
7. Transfer valuta asing
8. Pajak online
9. Pajak impor
Prinsip Kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ’anhu ’ashil) (Antonio,
2001). Dalam fatwa DSN Nomor 11 Tahun 2000, kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung (makfuul ’anhu ’ashil).
DSN mensyaratkan: (1) pihak penjamin dalam hal ini bank syariah, berhak penuh
melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah
tersebut; (2) pihak yang berutang (ashiil makfuul ’anhu) sanggup menyerahkan tanggungannya
kepada penjamin; (3) pihak yang berpiutang (makfuul lahu) dapat hadir pada waktu akad atau
memberikan kuasa. DSN juga mensyaratkan objek penjamin (makful bihi): (1) merupakan
tanggungan pihak yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan; (2) bisa
dilaksanakan oleh penjamin; (3) merupakan piutang yang mengikat yang tidak mungkin hapus
62
Sistem Operasional Bank Syariah
kecuali setelah dibayar atau dibebaskan; (4) jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, serta (5) tidak
bertentangan dengan syariah Islam.
Dalam praktik perbankan, prinsip kafalah digunakan dalam transaksi bank garansi. Bila
pihak yang dijamin gagal memenuhi kewajiban pembayarannya, pemegang bank garansi dapat
melakukan klaim kepada bank penerbit atas bank garansi tersebut. Bank garansi itu sendiri
dapat digunakan antara lain untuk:
1. Tender, yang diberikan oleh bank kepada kontraktor atau pemasok.
2. Perdagangan, yang diberikan oleh bank kepada produsen atau pemasok.
3. Uang muka kerja, yang diberikan oleh bank kepada pelaksana proyek untuk uang muka
proyek dalam kontrak-kontrak tertentu.
Prinsip Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil) kepada orang lain yang
menanggungnya (muhal ’alaih) (Antonio, 2001). Dalam transaksi hawalah, pada saat A (muhal)
memberi pinjaman kepada B (muhil), B masih mempunyai piutang pada C (muhal ’alaih). Begitu B
tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan utang tersebut kepada C. Selanjutnya,
C harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap selesai.
Dalam praktik perbankan, prinsip hawalah dapat digunakan untuk transaksi anjak piutang,
di mana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu
kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu
(Antonio, 2001).
Prinsip Sharf
Prinsip sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antarmata
uang sejenis maupun antarmata uang berlainan jenis. Berdasarkan fatwa DSN Nomor 28 Tahun
2002, terdapat beberapa syarat transaksi jual beli mata uang, yaitu (1) tidak untuk spekulasi
(untung-untungan); (2) ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); (3) apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka, nilainya harus sama dan secara tunai;
dan (4) apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Prinsip Ijarah
Prinsip ijarah merupakan prinsip yang sangat banyak digunakan dalam pelaksanaan fungsi jasa
keuangan bank syariah. Berdasarkan fatwa DSN Nomor 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa
objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa. Ijarah bila diterapkan
untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa-menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk
mendapatkan manfaat orang disebut upah-mengupah (Karim, 2004).
Menurut Karim (2004), ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang
pembayarannya bergantung pada kinerja yang disewa (ju’alah), di mana orang bersangkutan
memperoleh success fee, dan ijarah yang pembayarannya tidak bergantung pada kinerja yang
disewa atau disebut dengan ijarah di mana orang bersangkutan memperoleh gaji dan upah.
Dalam praktik perbankan, transaksi berikut banyak diimplementasikan dengan menggunakan
skema ijarah.
63
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
1. Kartu ATM.
2. SMS banking.
3. Pembayaran tagihan.
4. Pembayaran gaji elektronik.
64
Sistem Operasional Bank Syariah
Referensi
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
DSAK IAI. 2002. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. 2004. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 105 tentang Akuntansi Mudharabah”.
Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
Karim, Adiwarna. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi 2. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Tim Penulis DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Edisi 2. DSN-MUI dan Bank
Indonesia.
UU Nomor 10/1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
UU Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
Wiroso. 2005. Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: Grasindo.
Soal-Soal Latihan
65
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Lampiran
Kegiatan BUS, UUS, dan BPRS berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
66
Sistem O p erasio nal B ank Syariah
67
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
13. menyediakan tempat untuk menyimpan 13. menyediakan tempat untuk menyimpan
barang dan surat berharga berdasarkan barang dan surat berharga berdasarkan
prinsip syariah; prinsip syariah;
14.
memindahkan uang, baik untuk 14. memberikan fasilitas letter of credit atau
kepentingan sendiri maupun untuk bank garansi berdasarkan prinsip syariah;
kepentingan nasabah berdasarkan prinsip dan
syariah;
15.
melakukan kegiatan lain yang lazim
15. melakukan fungsi sebagai wali amanat dilakukan di bidang perbankan dan di
berdasarkan akad wakalah; bidang sosial, sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dan sesuai
16. memberikan fasilitas letter of credit atau
dengan ketentuan peraturan perundang-
bank garansi berdasarkan prinsip syariah;
undangan.
dan
17.
melakukan kegiatan lain yang lazim
dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial, sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(Pasal 19 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2008) (Pasal 19 ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2008)
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), BUS dapat dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat
pula: pula:
1. melakukan kegiatan valas berdasarkan 1. melakukan kegiatan valas berdasarkan
prinsip syariah; prinsip syariah;
2. melakukan kegiatan penyertaan modal 2. melakukan kegiatan dalam pasar modal,
pada BUS atau lembaga keuangan yang sepanjang tidak bertentangan dengan
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan ketentuan peraturan
prinsip syariah; perundang-undangan di bidang pasar
modal;
3. melakukan kegiatan penyertaan modal
sementara untuk mengatasi akibat 3. melakukan kegiatan penyertaan modal
kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip sementara untuk mengatasi akibat
syariah, dengan syarat harus menarik kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip
kembali penyertaannya; syariah, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya;
4. bertindak sebagai pendiri dan pengurus
dana pensiun berdasarkan prinsip syariah; 4. menyelenggarakan kegiatan atau produk
bank yang berdasarkan prinsip syariah
5. melakukan kegiatan dalam pasar modal,
dengan menggunakan sarana elektronik;
sepanjang tidak bertentangan dengan
68
Sistem O p erasio nal B ank Syariah
Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 20 ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2008
69
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
4. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah melalui
rekening BPRS yang ada di BUS, bank umum konvensional, dan UUS; dan
5. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank syariah lainnya yang sesuai
dengan prinsip syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
70
Sistem Operasional Bank Syariah
LEMBAR JAWABAN
71
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
11. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
12. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
13. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
14. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
15. ...................................................................................................................................
16. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
17. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
18. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
19. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
72
Sistem Operasional Bank Syariah
20. ...................................................................................................................................
Menurut Kelebihan terhadap Mudharabah
Murabahah
21. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
22. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
23. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
24. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
25. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
73
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
74
KERANGKA DASAR
PENYUSUNAN DAN
PENYAJIAN LAPORAN
KEUANGAN SYARIAH
5
Pendahuluan
75
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Kerangka dasar merupakan rumusan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian
laporan keuangan bagi para pemakai eksternal. Adanya perbedaan karakteristik antara bisnis
yang berlandaskan pada syariah dengan bisnis konvensional menyebabkan Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) mengeluarkan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan
Bank Syariah (KDPPLKBS) pada tahun 2002. KDPPLKBS selanjutnya disempurnakan pada
tahun 2007 menjadi Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
(KDPPLKS). Penyempurnaan KDPPLKS terhadap KDPPLKBS dilakukan untuk memperluas
cakupannya sehingga tidak hanya untuk transaksi syariah pada bank syariah, melainkan juga
pada jenis institusi bisnis lain, baik yang berupa entitas syariah maupun entitas konvensional
yang bertransaksi dengan skema syariah.
Berdasarkan pengantar yang disampaikan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan
dalam Exposure Draft KDPPLKS dan evaluasi penulis terhadap KDPPLKS yang telah disahkan,
terdapat perbedaan sistematika penulisan KDPPLKS dengan KDPPLKBS (2002). Sistematika
KDPPLKBS (2002) hanya menyajikan kerangka dasar yang berbeda atau bersifat tambahan
dari KDPPLK (2004) dan jika tidak diatur secara khusus diasumsikan kerangka dasar yang
ada dalam KDPPLK (1994) dianggap juga berlaku untuk bank syariah. Sementara itu pada
KDPPLKS, seluruh kerangka dasar dituliskan dengan tujuan agar pengguna dapat lebih mudah
memahami KDPPLKS dalam satu kesatuan secara utuh.
Pada bagian Pendahuluan KDPPLKS, dilakukan penyempurnaan, khususnya mengenai
pemakai dan kebutuhan informasi, paradigma transaksi syariah, asas transaksi syariah, dan
karakteristik transaksi syariah. Pada bagian Tujuan Laporan Keuangan terdapat tambahan
tujuan selain yang diatur dalam KDPPLK, yaitu tujuan laporan keuangan yang terkait dengan:
1. pemberian informasi dan peningkatan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah; dan
2. pemberian informasi pemenuhan kewajiban fungsi sosial entitas syariah.
Pada bagian Asumsi Dasar, selain diatur asumsi “dasar akrual” dan “kelangsungan usaha
(going concern)”, juga diatur bahwa penentuan bagi hasil harus didasarkan pada dasar kas.
Pendapatan atau hasil yang dimaksud ditentukan dari laba bruto (gross profit). Sementara itu,
bagian Unsur-Unsur Laporan Keuangan mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut.
1. Komponen laporan keuangan entitas syariah meliputi komponen laporan keuangan yang
mencerminkan antara lain kegiatan komersial, kegiatan sosial, serta kegiatan dan tanggung
jawab khusus entitas syariah.
2. Unsur neraca entitas syariah terdiri dari aset, kewajiban, dana syirkah temporer, dan
ekuitas.
3. Unsur kinerja terdiri dari penghasilan, beban, dan hak pihak ketiga atas bagi hasil. Hak
pihak ketiga atas bagi hasil bukan unsur beban walaupun secara perhitungan dikurangkan
dalam penentuan laba entitas.
Bagian Pengukuran Unsur mengatur bahwa dasar pengukuran unsur dalam laporan
keuangan syariah yang dapat digunakan adalah biaya historis, biaya kini, dan nilai realisasi/
penyelesaian.
76
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
Wiroso, yang juga anggota DSAS-IAI, menggambarkan bangun prinsip akuntansi syariah
yang berlaku umum di Indonesia adalah sebagaimana pada Figur 5.1 (Wiroso, 2011). Menurut
beliau, setiap landasan dibawahnya menjadi landasan bagi lapisan diatasnya. Sekiranya terjadi
pertentangan maka auditor harus mengikuti perlakuan akuntansi yang diatur pada lapisan yang
terletak lebih di bawah. Dijelaskan lebih lanjut, akuntansi syariah memiliki landasan utama yakni
yang bersumber pada Alqur’an, hadist dan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh yang berhak
yaitu Dewan Syariah Nasional. Salah satu implikasi kesesuaian dengan syariah ini adalah tidak
digunakannya konsep pengukuran present value sebagaimana yang biasa diterapkan secara
umum dalam akuntansi konvensional (KDPPLK paragraf 100 butir d)
Kerangka
Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum
untuk Entitas Syariah di Indonesia
Praktik, konvensi, dan kebiasaan
Buku teks/ajar, simpulan riset, artikel,
Tingkat 3 pelaporan yang sehat sesuai dengan
dan pendapat ahli
syariah
Landasan SAK Peraturan Pedoman atau
Operasional atau Internasional/ pemerintah praktik akuntansi
Tingkat 2 Buletin Teknis
Landasan Praktik negara lain yang untuk industri industri (kajian
sesuai syariah (regulasi) asosiasi syariah)
Tingkat 1 PSAK & ISAK Syariah PSAK & ISAK umum yang sesuai syariah
FATWA SYARIAH
Al QUR’AN
77
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
78
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
melainkan pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi
(KDPPLKS paragraf 24).
Prinsip syumuliah artinya adalah transaksi syariah dapat dilakukan oleh, dengan, dan
untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama,
ras, dan golongan sesuai dengan semangat rahmatan lil ’alamin (KDPPLKS paragraf 25).
79
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
80
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
1. meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan
usaha;
2. informasi kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip syariah, serta informasi aset,
kewajiban, pendapatan, dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada, serta
bagaimana perolehan dan penggunaannya;
3. informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab entitas syariah
terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada tingkat
keuntungan yang layak; dan
4. informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal dan
pemilik dana syirkah temporer serta informasi mengenai pemenuhan kewajiban fungsi
sosial entitas syariah, termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak, sedekah, dan
wakaf.
Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen (stewardship)
atau pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Pemakai
ingin menilai apa yang telah dilakukan atau pertanggungjawaban manajemen berbuat demikian
agar mereka dapat membuat keputusan ekonomi. Keputusan ini mungkin mencakup misalnya
keputusan untuk menahan atau menjual investasi mereka dalam entitas syariah atau keputusan
untuk mengangkat kembali atau mengganti manajemen (KDPPLKS paragraf 32).
Asumsi Dasar
Ada dua asumsi dasar penyusunan laporan keuangan entitas syariah, yaitu dasar akrual dan
kelangsungan usaha.
Dasar Akrual
Untuk mencapai tujuannya, laporan keuangan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar akrual,
pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau
setara kas diterima atau dibayar) serta diungkapkan dalam catatan akuntansi dan dilaporkan
dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun
atas dasar akrual memberikan informasi kepada pemakai, tidak hanya transaksi masa lalu
yang melibatkan penerimaan dan pembayaran kas, tetapi juga kewajiban pembayaran kas di
masa depan serta sumber daya yang merepresentasikan kas yang akan diterima di masa depan
(KDPPLKS paragraf 41).
Akan tetapi, perhitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha tidaklah
menggunakan dasar akrual, melainkan menggunakan dasar kas. Dalam pembagian hasil
usaha, disebutkan dalam KDPPLKS paragraf 42, pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah
laba bruto.
81
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Kelangsungan Usaha
Laporan keuangan biasanya disusun atas dasar asumsi kelangsungan usaha entitas syariah dan
akan melanjutkan usahanya di masa depan. Oleh karena itu, entitas syariah diasumsikan tidak
bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi secara material skala usahanya
(KDPPLKS paragraf 43).
Karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang membuat informasi dalam laporan keuangan
berguna bagi pemakai. Terdapat empat karakteristik kualitatif pokok, yaitu dapat dipahami,
relevan, andal, dan dapat diperbandingkan.
Dapat Dipahami
Maksud karakteristik dapat dipahami adalah pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan
yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis dengan ketekunan yang wajar. Namun
demikian, informasi kompleks yang seharusnya dimasukkan dalam laporan keuangan tidak
dapat dikeluarkan hanya atas dasar pertimbangan bahwa informasi tersebut terlalu sulit untuk
dapat dipahami oleh pemakai tertentu (KDPPLKS paragraf 45).
Relevan
Maksud karakteristik relevan adalah memiliki kemampuan untuk memengaruhi keputusan
ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi masa lalu, masa kini, atau masa
depan dengan menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu (KDPPLKS
paragraf 46).
Andal
Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan
material, dan disajikan secara jujur dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar
diharapkan dapat disajikan (KDPPLKS paragraf 52).
Dapat Dibandingkan
Pemakai harus dapat memperbandingkan laporan keuangan entitas syariah antarperiode
untuk mengidentifikasi kecenderungan posisi dan kinerja keuangan. Pemakai juga harus
dapat memperbandingkan laporan keuangan antarentitas syariah untuk mengevaluasi posisi
keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan secara relatif. Oleh karena itu, pengukuran
dan penyajian dampak keuangan dari transaksi dan peristiwa lain yang serupa harus dilakukan
secara konsisten untuk entitas syariah tersebut, antarperiode entitas syariah yang sama, dengan
entitas syariah yang berbeda maupun dengan entitas lain (KDPPLKS paragraf 60).
82
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
Konsistensi dalam pengukuran dan penyajian tidak berarti penyusun standar tidak dapat
memperkenalkan standar akuntansi keuangan syariah yang lebih baik. Demikian pula dengan
entitas syariah, tidak perlu meneruskan kebijakan akuntansi yang tidak lagi selaras dengan
karakteristik kualitatif relevan dan andal. Entitas syariah juga tidak perlu mempertahankan
suatu kebijakan akuntansi jika ada alternatif lain yang lebih relevan dan lebih andal (KDPPLKS
paragraf 62).
Agar dapat dibandingkan, pemakai harus mendapat informasi tentang kebijakan
akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan dan perubahan kebijakan serta
pengaruh perubahan tersebut. Para pemakai harus dimungkinkan untuk dapat mengidentifikasi
perbedaan kebijakan akuntansi yang diberlakukan untuk transaksi serta peristiwa lain yang
sama dalam sebuah entitas dari satu periode ke periode dan dalam entitas syariah yang berbeda.
Oleh karena pemakai ingin membandingkan posisi keuangan, kinerja, dan perubahan posisi
keuangan antarperiode, maka entitas syariah perlu menyajikan informasi periode sebelumnya
dalam laporan keuangan yang dipublikasikan (KDPPLKS paragraf 63).
Sesuai dengan karakteristiknya, laporan keuangan entitas syariah antara lain meliputi (KDPPLKS
paragraf 68) komponen-komponen berikut ini.
1. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan komersial. Komponen
ini meliputi laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan
perubahan ekuitas.
2. Komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan sosial. Komponen ini meliputi
laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan penggunaan dana
kebajikan.
3. Komponen laporan keuangan lainnya yang mencerminkan kegiatan dan tanggung jawab
khusus entitas syariah tersebut.
Di antara berbagai laporan keuangan tersebut, laporan posisi keuangan dan laporan laba
rugi merupakan dua laporan keuangan utama. Laporan keuangan lain seperti laporan arus kas,
laporan perubahan ekuitas, laporan sumber dan penggunaan dana zakat, serta laporan sumber
dan penggunaan dana kebajikan dipengaruhi oleh perubahan yang terdapat pada kedua laporan
keuangan utama.
83
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Tabel 5.1 Format Neraca Bank Syariah PT Bank Syariah “X” Laporan Posisi Keuangan
(Neraca) per 31 Desember 20X2 dan 20X1
Jumlah Aset xxxx xxxx Jumlah Liabilitas, Dana Syirkah Temporer & Ekuitas xxxx xxxx
84
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
Unsur yang berkaitan langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aset, kewajiban,
dana syirkah temporer, dan ekuitas (KDPPLKS paragraf 71).
1. Aset. Aset adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari
peristiwa masa lalu dan memiliki manfaat ekonomi masa depan bagi entitas syariah.
Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset dapat mengalir ke dalam entitas
syariah dengan beberapa cara, misalnya (KDPPLKS paragraf 77): digunakan sendiri
maupun bersama aset lain dalam produksi barang dan jasa yang dijual oleh entitas
syariah; dipertukarkan dengan aset lain yang diperlukan; digunakan untuk menyelesaikan
kewajiban; atau dibagikan kepada para pemilik entitas syariah.
2. Kewajiban. Kewajiban adalah utang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa
masa lalu, yang penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber
daya entitas syariah yang mengandung manfaat ekonomi. Penyelesaian kewajiban yang
ada sekarang dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain (KDPPLKS paragraf 84):
pembayaran kas; penyerahan aset lain; pemberian jasa; penggantian kewajiban tersebut
dengan kewajiban lain; serta konversi kewajiban menjadi ekuitas. Kewajiban juga dapat
dihapuskan dengan cara lain, seperti kreditur membebaskan atau membatalkan haknya.
3. Dana syirkah temporer. Dana syirkah temporer adalah dana yang diterima sebagai investasi
dengan jangka waktu tertentu dari individu dan pihak lainnya, yang mana entitas syariah
mempunyai hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana tersebut dengan pembagian
hasil investasi berdasarkan kesepakatan. Contoh dana syirkah temporer adalah dana dari
pembiayaan mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah, musyarakat, dan akun
lain yang sejenis. Dana syirkah temporer tidak dapat digolongkan sebagai kewajiban karena
entitas syariah tidak berkewajiban, ketika mengalami kerugian, untuk mengembalikan
jumlah dana awal dari pemilik dana kecuali akibat kelalaian atau wanprestasi entitas
syariah. Dana syirkah temporer juga tidak bisa dikategorikan sebagai ekuitas karena
mempunyai waktu jatuh tempo dan pemilik dana tidak mempunyai hak kepemilikan yang
sama dengan pemegang saham seperti hak voting dan hak atas realisasi keuntungan yang
berasal dari aset lancar dan non-investasi (KDPPLKS paragraf 87-88).
4. Ekuitas. Ekuitas adalah hak residual atas aset entitas syariah setelah dikurangi semua
kewajiban dan dana syirkah temporer. Ekuitas dapat berupa setoran modal oleh para
penanam saham, saldo laba, dan penyisihan saldo laba (KDPPLKS paragraf 92).
85
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Tabel 5.2 Format Laporan Laba Rugi Bank Syariah PT Bank Syariah “X” Laporan Laba Rugi
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20X2 dan 20X1
* Berdasarkan hasil konsultasi dengan Dewan Syariah Nasional, IAI tidak memasukkan zakat dalam laporan laba rugi, karena
menurut DSN pembayaran zakat merupakan kewajiban individu Muslim dalam suatu entitas dan bukan merupakan
kewajiban entitas. Pandangan ini menurut penulis merupakan suatu yang masih diperdebatkan, mengingat zakat
perniagaan merupakan salah satu jenis zakat yang juga disepakati ulama. Selain itu, kaidah zakat banyak diacu oleh pakar
akuntansi syariah dalam upaya pengembangan akuntansi syariah. Dengan demikian, penulis memandang pencantuman
akun zakat dalam laporan laba rugi sangatlah relevan bagi setiap entitas syariah.
86
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
Unsur yang berkaitan langsung dengan pengukuran laba adalah penghasilan, beban, dan hak
pihak ketiga atas bagi hasil. Berikut akan dibahas ketiga unsur tersebut, ditambah dengan
unsur zakat yang menurut pandangan penulis relevan untuk dimasukkan sebagai unsur yang
keempat.
1. Penghasilan. Penghasilan adalah kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode
akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban
yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal
(KDPPLKS paragraf 97).
2. Beban. Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam
bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan
penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian pada penanam modal (KDPPLKS
paragraf 97).
3. Hak pihak ketiga atas bagi hasil. Hak pihak ketiga atas bagi hasil adalah bagian bagi
hasil pemilik dana atas keuntungan dan kerugian hasil investasi bersama entitas syariah
dalam suatu periode laporan keuangan. Hak pihak ketiga atas bagi hasil merupakan
alokasi keuntungan dan kerugian kepada pemilik dana atas investasi yang dilakukan
bersama dengan entitas syariah. Oleh karena itu, hak pihak ketiga atas bagi hasil tidak bisa
dikelompokkan sebagai beban (ketika untung) atau pendapatan (ketika rugi) (KDPPLKS
paragraf 107).
4. Zakat. Zakat adalah besarnya zakat yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk
periode akuntansi penghitungan zakat. Pembahasan tentang zakat entitas syariah sangat
terbatas dalam KDPPLKS. Aspek zakat hanya muncul pada bahasan tentang laporan dana
zakat yang dikelola oleh entitas syariah sebagai amil zakat. Dalam literatur akuntansi
syariah, kepatuhan entitas syariah dalam menghitung dan membayar zakat merupakan
salah satu bentuk kepatuhan entitas tersebut pada syariah Islam. Dengan demikian, dengan
adanya kebutuhan untuk mengevaluasi kepatuhan bank syariah dalam penghitungan dan
pembayaran zakat, semestinya rekening zakat yang harus dikeluarkan oleh bank syariah
merupakan rekening utama yang mesti muncul dalam laporan laba rugi bank syariah.
Konsisten dengan konsep akrual dalam laporan laba rugi, semestinya zakat juga diakui
dengan menggunakan dasar akrual dan bukan dasar kas seperti yang pernah dipraktikkan
oleh industri perbankan syariah.
87
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
88
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
Penambah:
Pendapatan tahun sebelumnya yang
kasnya diterima pada tahun berjalan:
Penerimaan pelunasan piutang:
Keuntungan murabahah xxxx xxxx
Pendapatan sewa ijarah xxxx xxxx
Pendapatan Sertifikat Bank Indonesia Syariah xxxx xxxx
Pendapatan sukuk negara dan perusahaan xxxx xxxx
Jumlah penambah xxxx xxxx
Pendapatan yang tersedia untuk bagi hasil
Bagi hasil yang menjadi hak Bank xxxx xxxx
Bagi hasil yang menjadi hak pemilik dana xxxx xxxx
Bagi hasil yang menjadi hak pemilik
dana dirinci atas:
Hak pemilik dana atas bagi hasil yang
sudah didistribusikan xxxx xxxx
Hak pemilik dana atas bagi hasil yang
belum didistribusikan xxxx xxxx
Pada Bab 15 buku ini akan dibahas secara detail teknis perhitungan bagi hasil.
89
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Penerimaan dana kebajikan oleh entitas syariah diakui sebagai kewajiban paling likuid dan
diakui sebagai pengurang kewajiban ketika disalurkan (PSAK 101 paragraf 77). Penerimaan non-
halal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara
lain penerimaan jasa giro atau bunga yang berasal dari bank umum konvensional. Penerimaan
non-halal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh
entitas syariah karena secara prinsip dilarang oleh syariah.
90
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
1. Pengakuan aset. Aset diakui dalam neraca jika besar kemungkinan bahwa manfaat
ekonominya di masa depan diperoleh entitas syariah dan aset tersebut mempunyai nilai atau
biaya yang dapat diukur dengan andal. Aset tidak diakui dalam neraca jika pengeluaran
telah terjadi dan manfaat ekonominya dipandang tidak mungkin mengalir ke dalam entitas
syariah setelah periode akuntansi berjalan (KDPPLKS paragraf 116–117).
2. Pengakuan kewajiban. Kewajiban diakui dalam neraca jika besar kemungkinan bahwa
pengeluaran sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi akan dilakukan untuk
menyelesaikan kewajiban sekarang dan jumlah yang harus diselesaikan dapat diukur secara
andal (KDPPLKS paragraf 118).
3. Pengakuan dana syirkah temporer. Pengakuan dana syirkah temporer dalam neraca
hanya dilakukan jika entitas syariah memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana
yang diterima melalui pengeluaran sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi dan
jumlah yang harus diselesaikan dapat diukur secara andal. Jumlah dana syirkah temporer
dapat berubah sesuai dengan hasil dari investasinya (KDPPLKS paragraf 119).
4. Pengakuan penghasilan. Pengakuan penghasilan diakui dalam laporan laba rugi jika
kenaikan manfaat ekonomi di masa depan yang berkaitan dengan peningkatan aset atau
penurunan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur secara andal. Ini berarti pengakuan
penghasilan terjadi bersamaan dengan pengakuan kenaikan aset atau penurunan kewajiban.
Kriteria yang ditetapkan dalam pengakuan penghasilan adalah penghasilan tersebut telah
diperoleh. Prosedur ini dimaksudkan untuk membatasi pengakuan penghasilan pada pos-
pos yang dapat diukur secara andal dan memiliki derajat kepastian yang cukup (KDPPLKS
paragraf 120–121).
5. Pengakuan beban. Beban diakui dalam laporan laba rugi jika penurunan manfaat
ekonomi masa depan yang berkaitan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban
telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Ini berarti bahwa pengakuan beban terjadi
bersamaan dengan pengakuan kenaikan kewajiban atau penurunan aset. Beban diakui
dalam laporan laba rugi atas dasar hubungan langsung antara biaya yang timbul dan pos
penghasilan tertentu yang diperoleh. Prinsip ini biasanya disebut dengan pengaitan biaya
dengan pendapatan (matching costs with revenue). Beban segera diakui dalam laporan laba
rugi jika pengeluaran tidak menghasilkan manfaat ekonomi masa depan atau sepanjang
manfaat ekonomi masa depan tidak memenuhi syarat untuk diakui dalam neraca sebagai
aset. Beban juga diakui dalam laporan laba rugi pada saat timbul kewajiban tanpa adanya
pengakuan aset, seperti apabila timbul kewajiban akibat garansi produk (KDPPLKS
paragraf 122–123).
91
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Untuk memenuhi kriteria relevansi suatu informasi, entitas syariah dapat merevaluasi
nilai aset, kewajiban, dan dana syirkah temporer secara periodik dengan syarat harus terjamin
keandalannya. Akan tetapi, penggunaan konsep pengukuran nilai realisasi tidak mudah
diterapkan dalam kondisi sekarang. Penggunaan konsep nilai realisasi dapat diterapkan untuk
tujuan penyajian informasi tambahan yang relevan dengan suatu akun investasi yang telah
ada atau yang prospektif. Kendati demikian, penyajian informasi tambahan tersebut tidak
mewajibkan entitas syariah untuk mendistribusikan hasil investasi yang belum terealisasi
(KDPPLKS paragraf 131).
Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian jumlah yang tertera
dalam laporan keuangan utama. Catatan atas laporan keuangan suatu entitas syariah harus
mengungkapkan hal-hal sebagai berikut.
1. Informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan akuntansi yang
dipilih dan diterapkan terhadap peristiwa dan transaksi yang penting.
2. Informasi yang diwajibkan dalam PSAK, tetapi tidak disajikan dalam Neraca, Laporan Laba
Rugi, Laporan Arus Kas; Laporan Perubahan Ekuitas; Laporan sumber dan Penggunaan
Dana Zakat; dan Laporan Penggunaan Dana Kebajikan.
3. Informasi tambahan yang tidak disajikan dalam laporan keuangan, tetapi diperlukan
dalam rangka penyajian secara wajar.
92
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
Referensi
DSAK IAI. 2007. “Kerangka dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah”. Jakarta: IAI
dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
Wiroso 2011. “Akuntansi Transaksi Syariah”. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.
Soal-Soal Latihan
1. Jelaskan tujuan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
bagi penyusun standar, penyusun laporan keuangan, auditor, dan para pemakai laporan
keuangan.
2. Uraikan maksud paradigma transaksi syariah.
3. Jelaskan yang dimaksud dengan asas ukhuwah, ’adalah, mashlahah, tawazun, dan
syumuliyah beserta kaitannya dengan akuntansi.
4. Transaksi syariah dapat berupa komersial dan non-komersial, jelaskan kedua bentuk
transaksi tersebut.
5. Sebutkanlah pihak-pihak yang membutuhkan laporan keuangan.
6. Bandingkan laporan keuangan suatu bank syariah dengan suatu bank konvensional
(usahakan yang pemiliknya sama, misal Bank Mandiri dengan Bank Syariah Mandiri),
identifikasi perbedaan yang ada dari segi laporan yang disampaikan maupun akun yang
digunakan! Tunjukkan perbedaan tersebut dengan screen shoot file pdf laporan masing-
masing bank dan ulaslah perbedaan tersebut berdasarkan karakteristik bank masing-
masing!
7. Jelaskan yang dimaksud dengan pemilik dana syirkah temporer dan informasi apakah yang
diperlukannya dari laporan keuangan.
8. Jelaskan yang dimaksud dengan pemilik dana titipan dan informasi apakah yang
diperlukannya dari laporan keuangan.
9. Jelaskan informasi yang diperlukan oleh pembayar dan penerima zakat, infak, sedekah,
dan wakaf.
10. Jelaskan kepentingan pengawas syariah terhadap laporan keuangan perusahaan.
11. Apakah tujuan utama dan tujuan lain laporan keuangan syariah?
12. Apakah yang dimaksud dengan asumsi dasar akrual?
13. Apakah yang dimaksud dengan asumsi kelangsungan usaha?
14. Jelaskan empat karakteristik kualitatif informasi keuangan syariah.
15. Dalam bentuk apakah manfaat ekonomi masa depan dalam suatu aset mengalir dalam
entitas syariah?
93
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
16. Dengan cara apakah penyelesaian kewajiban suatu entitas syariah dapat dilakukan di masa
depan?
17. Apakah yang dimaksud dengan dana syirkah temporer?
18. Sebutkan beberapa contoh dana syirkah temporer.
19. Kenapa dana syirkah temporer tidak dapat digolongkan sebagai kewajiban maupun
ekuitas?
20. Jelaskan yang dimaksud dengan penghasilan, beban, dan hak pihak ketiga atas bagi hasil.
21. Kapankah suatu aset diakui?
22. Kapankah suatu kewajiban diakui?
23. Kapankah dana syirkah temporer diakui?
24. Kapankah suatu penghasilan diakui?
25. Kapankah suatu beban diakui?
94
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
LEMBAR JAWABAN
95
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
11. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
12. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
13. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
14. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
15. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
16. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
17. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
18. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
19. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
20. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
21. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
96
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
22. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
23. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
24. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
25. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
97
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
98
AKUNTANSI
PENGHIMPUNAN DANA 6
Pendahuluan
99
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Ketentuan Syariah
Tabungan
Tabungan menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah simpanan
yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Sama halnya dengan giro, mekanisme tabungan yang dibenarkan oleh DSN bagi bank syariah
adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadiah. Tabungan mudharabah
harus mengikuti ketentuan mudharabah yang ditetapkan DSN, sedang tabungan wadiah harus
mengikuti ketentuan wadiah yang difatwakan DSN. Dalam praktik perbankan syariah di
Indonesia, sebagian besar bank syariah menggunakan skema tabungan mudharabah. Berikut
akan dibahas lebih detail tentang akuntansi tabungan mudharabah terlebih dahulu, kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan tabungan wadiah.
100
Akuntansi Penghimpunan dana
PSAK 105 paragraf 25, dinyatakan bahwa dana yang diterima dari pemilik dana (nasabah
penabung) dalam akad mudharabah diakui sebagai dana syirkah temporer sebesar jumlah
kas atau nilai wajar aset non-kas yang diterima. Pada akhir periode akuntansi, dana syirkah
temporer diukur sebesar nilai tercatatnya.
Bank Murni Syariah (BMS) cabang Yogyakarta menerima setoran tunai pembukaan tabungan
02 Jun 20XA
mudharabah atas nama Ursila sebesar Rp3.500.000.
08 Jun 20XA Ursila menerima transfer dari nasabah BMS cabang Solo sebesar Rp500.000.
17 Jun 20XA Ursila menerima kiriman dari nasabah Bank Peduli Syariah (BPS) sebesar Rp1.500.000.
31 Jun 20XA Ursila menerima bagi hasil tabungan mudharabah dari BMS sebesar Rp20.000.
Untuk transaksi yang bersifat transfer antarkantor, dalam praktik perbankan biasa digunakan
rekening sementara dengan nama rekening antarkantor (RAK), seperti dapat dilihat pada jurnal
transaksi tanggal 8 Juni. Adapun untuk transaksi yang melibatkan transaksi antarbank yang
berbeda, biasanya diselesaikan dalam mekanisme yang difasilitasi oleh Bank Indonesia atau
pihak yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Mekanisme ini biasa disebut dengan kliring. Pada
transaksi kliring, semua penerimaan dari atau pembayaran kepada bank lain dilakukan melalui
rekening giro pada Bank Indonesia, seperti yang terlihat pada jurnal transaksi tanggal 17 Juni.
101
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Ursila, nasabah Bank Murni Syariah (BMS) cabang Yogyakarta menarik tunai tabungan
07 Jun 20XA
mudharabah sebesar Rp1.500.000.
Ursila mentransfer sebesar Rp500.000 dari rekeningnya ke rekening tabungan nasabah BMS
11 Jun 20XA
cabang Solo.
Ursila mentransfer sebesar Rp250.000 dari rekeningnya ke rekening giro nasabah Bank Syariah
14 Jun 20XA
Muhammadiyah (BSM).
Potongan tabungan mudharabah Ursila untuk administrasi tabungan sebesar Rp2.000 dan pajak
31 Jun 20XA sebesar Rp4.000 (20% dari bagi hasil yang diterima sebesar Rp20.000 pada transaksi Kasus 6.1 di
atas).
Kr Kas 1.500.000
102
Akuntansi Penghimpunan dana
penyetoran atau penarikan yang dilakukan oleh pemilik rekening. Setoran tabungan wadiah
yang diterima secara tunai diakui pada saat uang diterima. Setoran tabungan wadiah melalui
kliring diakui setelah efektif diterima (hal. 11.2).
Insentif yang diberikan kepada nasabah tabungan mudharabah disebut dengan hak pihak
ketiga atas bagi hasil yang dihitung dalam persentase tertentu yang harus dibayar oleh bank secara
periodik sesuai dengan tingkat keuntungan bank syariah. Adapun nasabah tabungan wadiah,
menerima insentif dalam bentuk bonus wadiah1 yang bersifat sukarela dan tidak disyaratkan
di muka, Berdasarkan PAPSI 2013, pemberian bonus atas simpanan kepada nasabah diakui
sebagai beban pada saat terjadinya.
Berdasarkan ilustrasi jurnal pada PAPSI 2013 (hal 11.2), transaksi pembayaran pajak
terhadap bonus wadiah, langsung mengurangi tabungan wadiah.
Db. Beban bonus tabungan wadiah
Kr. Tabungan wadiah
Kr. Kewajiban pajak penghasilan
Akan tetapi, dalam praktik, Bank cenderung menunjukkan jumlah total bonus yang
diberikan dalam buku tabungan.
Misalkan pada tanggal 5 Maret 20XA, Haniya nasabah tabungan wadiah Bank Peduli
Syariah (BPS) menerima bonus wadiah sebesar Rp20.000 dan dipotong pajak Rp4.000. Maka
jurnalnya adalah sebagai berikut:
Giro
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan
cek, bilyet, giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Dalam
perbankan syariah, mekanisme giro yang dibenarkan ada dua jenis, yaitu wadiah dan mudharabah.
Dengan demikian, dikenal istilah giro wadiah dan giro mudharabah. Dalam praktik perbankan,
skema yang umum digunakan adalah giro wadiah. Bagian berikut akan membahas kedua jenis
giro tersebut.
Giro Wadiah
Giro wadiah adalah giro yang harus mengikuti fatwa DSN tentang wadiah. Akad wadiah
adalah akad penitipan dana dengan ketentuan penitip dana mengizinkan kepada bank untuk
memanfaatkan dana yang dititipkan tersebut dan bank wajib mengembalikan apabila sewaktu-
1
Disajikan pada pos beban operasional.
103
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
waktu penitip mengambil dana tersebut. Dalam transaksi giro wadiah ini, nasabah bertindak
sebagai penitip dana (mudi’) dan bank bertindak sebagai penerima dana titipan (muda’). Bank
berkewajiban menjaga dana titipan dan bertanggung jawab atas pengembaliannya bila sewaktu-
waktu ditarik oleh nasabah pemilik dana titipan.
Keuntungan atas pengelolaan dana titipan tersebut menjadi milik bank, karena hakikat
wadiah adalah qardh dan pada prinsipnya tidak ada bonus yang diberikan oleh bank kepada
pemilik dana wadiah. Kendati demikian, bank syariah diperbolehkan memberikan bonus
sukarela kepada pemilik dana wadiah, dengan syarat tidak diperjanjikan di muka.
Bank Murni Syariah (BMS) cabang Yogyakarta menerima setoran tunai pembukaan giro wadiah
01 Mar 20XA
atas nama Thariq sebesar Rp35.000.000.
05 Mar 20XA Thariq menerima transfer dari BMS cabang Solo sebesar Rp5.000.000.
Thariq menerima bilyet giro dari nasabah Bank Peduli Syariah (BPS) yang pernah membeli
10 Mar 20XA sesuatu dari Thariq seharga Rp15.000.000. Bilyet giro tersebut dicairkan oleh Thariq untuk
dimasukkan ke rekening giro wadiah Thariq di BMS.
31 Mar 20XA Thariq menerima bonus giro wadiah dari BMS sebesar Rp50.000.
Untuk transaksi yang bersifat transfer antarkantor, dalam praktik perbankan biasa
digunakan rekening sementara dengan nama RAK, seperti dapat dilihat pada jurnal transaksi
tanggal 5 Maret. Adapun untuk transaksi yang melibatkan transaksi antarbank yang berbeda,
biasanya diselesaikan dalam mekanisme yang difasilitasi oleh Bank Indonesia atau pihak yang
ditunjuk oleh Bank Indonesia.
104
Akuntansi Penghimpunan dana
Thariq menggunakan cek untuk mencairkan dana di rekening giro wadiahnya di Bank Murni
03 Mar 20XA
Syariah (BMS) secara tunai sebesar Rp12.000.000.
Thariq menggunakan bilyet giro untuk mentransfer sejumlah dana ke nasabah giro wadiah BMS
07 Mar 20XA
cabang Jakarta sebesar Rp5.000.000.
Thariq menggunakan bilyet giro untuk pembayaran pembelian sebuah mesin kepada nasabah
12 Mar 20XA
giro bank lain sebesar Rp10.000.000.
Dipotong giro wadiah Thariq untuk administrasi giro wadiah sebesar Rp15.000 dan untuk pajak
31 Mar 20XA sebesar Rp10.000 (20% dari bonus giro wadiah yang diterima sebesar Rp50.000 seperti yang
sudah dicatat pada kasus 6.3).
Kr Kas 12.000.000
Giro Mudharabah
Giro mudharabah merupakan instrumen penghimpunan dana melalui produk giro yang
menggunakan akad mudharabah. Giro mudharabah harus mengikuti fatwa DSN tentang
mudharabah. Akad mudharabah adalah akad yang digunakan dalam perjanjian antara pihak
penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
105
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Penjelasan konsep dasar lebih lanjut dapat dilihat pada pembahasan tentang mudharabah dalam
Bab 7 buku ini.
Akuntansi giro mudharabah pada prinsipnya sama dengan akuntansi giro wadiah. Pembeda
antara akuntansi giro mudharabah dengan giro wadiah yang sudah dibahas adalah dalam hal
insentif yang diterima oleh nasabah. Dalam giro wadiah, insentif yang diterima adalah bonus
giro wadiah yang bersifat sukarela dan tidak disyaratkan di muka. Adapun insentif yang diterima
nasabah giro mudharabah adalah bagi hasil dalam persentase tertentu yang harus dibayar oleh
bank secara periodik sesuai dengan tingkat keuntungan bank syariah.
Sebagai contoh, pada tanggal 5 Maret 20XA Haniya, nasabah giro mudharabah Bank
Peduli Syariah (BPS), menerima imbalan bagi hasil atas rekening gironya sebesar Rp45.000.
Dengan demikian, jurnalnya adalah sebagai berikut.
Deposito Mudharabah
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, deposito adalah investasi dana
berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah
penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS). Fatwa DSN Nomor 3 Tahun 2000
menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan dalam syariah adalah deposito yang berdasarkan
prinsip mudharabah. Dalam transaksi deposito mudharabah, nasabah bertindak sebagai pemilik
dana (shahibul maal) dan bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib). Dalam kapasitasnya
sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk bermudharabah dengan pihak lain.
Modal yang didepositokan harus dinyatakan dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Adapun
pembagian piutang harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam pembukaan
rekening. Sebagai mudharib, bank menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya dan bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.
Siklus kegiatan deposito dimulai dari transaksi pembukaan deposito oleh nasabah. Pada saat
itu, antara nasabah dan bank sudah menyepakati nisbah bagi hasil dasar dan jangka waktu deposito
(tanggal pencairan deposito). Selama jangka waktu deposito, saldo deposito bersifat tetap, karena
pengambilan atau penambahan deposito hanya dilakukan saat jatuh tempo atau saat penutupan jika
ingin diambil sebelum jatuh tempo, bagi hasil yang diterima oleh nasabah dimasukkan ke rekening
106
Akuntansi Penghimpunan dana
yang lain, dan pajak yang mesti dibayar langsung diambil dari bagi hasil yang akan diberikan kepada
nasabah. Transaksi berikut adalah ilustrasi terkait dengan transaksi deposito mudharabah.
Bank Murni Syariah (BMS) menerima setoran atas nama Bunda Dolly Rp5.000.000 sebagai
01 Sep 20XA investasi deposito mudharabah untuk jangka waktu satu bulan dengan nisbah 60% untuk
nasabah dan 40% untuk BMS.
Berdasarkan perhitungan distribusi pendapatan, bagi hasil yang akan dibayar untuk
30 Sep 20XA
kelompok deposito mudharabah adalah sebesar Rp15.000.000.
Dibayarkan bagi hasil deposito mudharabah kepada Bunda Dolly sebesar Rp40.000 dan
04 Okt 20XA atas pembayaran tersebut dipotong pajak sebesar 20%. Pembayaran bagi hasil dilakukan ke
rekening tabungan mudharabah atas nama pemilik yang sama*.
05 Okt 20XA Bunda Dolly mencairkan deposito mudharabah. Pencairan dilakukan secara tunai.
* Dalam praktik perbankan, bagi hasil deposito dapat dibayarkan ke berbagai rekening sesuai permintaan nasabah deposito, antara
lain ke tabungan mudharabah, giro wadiah, penambah saldo deposito periode berikut, atau rekening nasabah di bank lain.
30/09/XA Db. Hak pihak ke-3 atas bagi hasil – deposito mudharabah* 15.000.000
* Hak pihak ke-3 atas bagi hasil dicadangkan sebagai beban yang masih harus dibayar setiap bulan. Besar
pencadangan ini mempunyai dua alternatif. Pertama, dicadangkan sebesar total bagi hasil yang akan dibayarkan
selama 1 bulan penuh pada bulan jatuh tempo. Kedua, dicadangkan sebesar porsi bagi hasil yang hanya menjadi
beban pada akhir bulan pencatatan. Kemudian saat pembayaran bagi hasil pada saat jatuh tempo, mengakui
adanya tambahan hak pihak ke-3 (biaya bagi hasil).
** Terdapat sedikit perbedaan dalam mekanisme penyaluran bagi hasil tabungan dengan bagi hasil deposito. Pada
tabungan, bank memasukkan semua bagi hasil untuk tabungan terlebih dahulu sebelum memotong pajak PPh
Pasal 4 (2) agar nasabah bisa melihat besar masing-masing bagi hasil dan pajak. Adapun bagi hasil deposito yang
disalurkan kepada nasabah bersifat neto karena sudah dipotong langsung.
107
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Penyajian akun yang berkaitan dengan transaksi penghimpunan dana didasarkan pada akad
yang digunakan. Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.13), terdapat beberapa akun yang yang berkaitan
dengan penghimpunan dana dengan akad mudharabah disajikan sebagai berikut:
1. Dana mudharabah disajikan sebagai dana syirkah temporer dengan memisahkan antara
dana mudharabah yang berasal dai bank dan yang berasal dari bukan bank.
2. Bagi hasil dana mudharabah yang sudah diperhitungkan dan telah jatuh tempo tetapi
belum diserahkan kepada nasabah disajikan dalam pos kewajiban segera.
3. Bagi hasil dana mudharabah yang sudah diperhitungkan pada akhir periode tetapi belum
jatuh tempo disajikan dalam pos bagi hasil yang belum dibagikan.
Untuk penghimpunan dengan skema wadiah, PAPSI 2013 (h. 11.2) menyatakan bahwa
saldo simpanan wadiah disajikan sebesar jumlah nominalnya untuk masing-masing bentuk
simpanan.
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.14-15), untuk dana yang dihimpun dengan skema mudharabah
harus mengungkap antara lain:
1. Isi kesepakatan utama akad mudharabah berupa porsi dana dan pembagian hasil usaha.
2. Rincian dana mudharabah yang diterima berdasarkan:
a. Jenis mudharabah (mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayadah).
b. Pemilik dana mudharabah (bank dan bukan bank).
c. Jenis mata uang dana mudharabah (rupiah dan valuta asing).
3. Rincian dana mudharabah yang disalurkan berdasarkan:
a. Sumber dana mudharabah yang berasal dari mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayadah.
b. Penerima dana mudharabah: Bank dan bukan Bank Syariah.
c. Jenis mata uang yang digunakan: Rupiah dan valuta asing.
4. Pihak-pihak yang berelasi, baik nasabah (pemilik dana, shahibul maal) atau nasabah
penerima penyaluran dana mudharabah.
5. Jumlah simpanan yang diblokir untuk tujuan tertentu antara lain sebagai jaminan
pembiayaan dan atau transaksi perbankan syariah lainnya.
Untuk penghimpunan dengan skema wadiah, PAPSI 2013 (h. 11.2) menyebutkan hal-hal
yang harus diungkapkan antara lain:
1. Rincian simpanan mengenai:
a. Jumlah dan jenis simpanan, termasuk pihak berelasi.
b. Jumlah simpanan yang diblokir untuk tujuan tertentu.
2. Pemberian fasilitas istimewa kepada penyimpan.
108
Akuntansi Penghimpunan dana
Referensi
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
DSAK IAI. 2002. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 105 tentang Akuntansi Mudharabah”.
Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. Jakarta: DSN-MUI dan Bank
Indonesia.
Taswan. 2003. Akuntansi Perbankan: Transaksi dalam Valuta Rupiah Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan perbedaan antara penghimpunan dana pada bank syariah dengan penghimpunan
dana pada bank konvensional.
2. Jelaskan yang dimaksud dengan giro wadiah.
3. Jelaskan perbedaan mekanisme transfer antar kantor bank yang sama dengan antar bank
yang berbeda.
4. Akad wadiah banyak digunakan oleh bank syariah di Indonesia untuk instrumen giro. (a)
Jelaskan kelebihan dan kekurangan giro wadiah bagi nasabah; dan (b) Analisislah potensi
maupun praktik penggunaan akad mudharabah pada giro!
5. Akad mudharabah biasa digunakan untuk tabungan di Indonesia. (a) Jelaskan kelebihan
dan kekurangan tabungan mudharabah bagi nasabah; dan (b) Analisislah potensi maupun
praktik penggunaan akad wadiah pada tabungan!
6. Lihatlah laporan keuangan tahun terakhir salah satu bank syariah pada bagian penyajian
dan pengungkapan untuk penghimpunan dana. Lakukanlah check list tingkat kesesuaian
antara yang diterapkan oleh perbankan dengan standar yang relevan dari PAPSI 2013!
109
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
B. S oal Kasus
Kasus 1 Buatlah jurnal untuk transaksi terkait dengan giro wadiah berikut.
Bank Murni Syariah (BMS) cabang Bogor menerima setoran tunai pembukaan giro wadiah atas
05 Jan 20XA
nama Gina sebesar Rp55.000.000.
06 Jan 20XA Gina menarik cek untuk mencairkan dananya secara tunai sebesar Rp18.000.000.
Gina mengeluarkan bilyet giro untuk mentransfer sejumlah dana ke rekening Daniel nasabah
07 Jan 20XA
tabungan BMS cabang Jakarta sebesar Rp7.000.000.
10 Jan 20XA Gina menerima transfer dari BMS cabang Yogya sebesar Rp5.000.000 untuk rekening giro Gina.
Gina mengeluarkan bilyet giro untuk pembayaran pembelian sebuah mesin kepada PT Andrizal
15 Jan 20XA
Jaya nasabah giro Bank Berkah Syariah (BBS) sebesar Rp15.000.000.
20 Jan 20XA Gina menerima transfer dari BMS cabang Solo sebesar Rp5.000.000.
Gina menerima bilyet giro dari Fajar nasabah Bank Peduli Syariah (BPS) yang pernah membeli
23 Jan 20XA sesuatu dari Gina seharga Rp15.000.000. Bilyet giro tersebut dicairkan oleh Gina untuk dimasukkan
ke rekening giro Gina di Bank Murni Syariah cabang Bogor.
25 Jan 20XA Gina menerima transfer dari BMS cabang Yogya sebesar Rp12.000.000 untuk rekening giro Gina.
31 Jan 20XA Gina menerima bonus giro wadiah dari BMS sebesar Rp35.000.
31 Jan 20XA Dipotong giro Gina untuk administrasi sebesar Rp10.000 dan pajak sebesar Rp7.000.
Kasus 2 Buatlah jurnal untuk transaksi terkait dengan transaksi deposito mudharabah berikut.
Bank Syariah Muhammadiyah (BSM) menerima setoran atas nama Sdr. Donal sebesar Rp20.000.000
01 Sep 20XB sebagai investasi deposito mudharabah untuk jangka waktu satu bulan dengan nisbah 60 untuk
nasabah dan 40 untuk BSM.
Berdasarkan perhitungan distribusi pendapatan beban bagi hasil yang akan dibayar untuk
25 Sep 20XB
kelompok deposito mudharabah adalah sebesar Rp35.000.000.
Dibayarkan bagi hasil deposito mudharabah kepada Sdr. Donal sebesar Rp80.000 dan atas
01 Okt 20XB pembayaran tersebut dipotong pajak sebesar 20%. Pembayaran bagi hasil dilakukan ke
rekening tabungan mudharabah atas nama pemilik yang sama.
110
Akuntansi Penghimpunan dana
LEMBAR JAWABAN
111
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
112
Akuntansi Penghimpunan dana
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
113
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
114
7
AKUNTANSI TRANSAKSI
PEMBIAYAAN
MUDHARABAH
Pendahuluan
115
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah kepada pihak
lain untuk suatu usaha yang produktif. Secara bahasa, Mudharabah berasal dari kata Dharb
yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga. Istilah Dharb populer
digunakan oleh penduduk Irak. Untuk maksud yang sama, penduduk Hijaz menggunakan istilah
muqharadah atau qiradh yang berarti memotong. Dalam pengertian ini, makna qiradh adalah
pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan
ia juga akan memotong keuntungan usahanya. Secara teknis, Antonio (2001) mendefinisikan
Mudharabah sebagai akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah adalah bentuk kerja sama antara pemilik dana dan pengelola, dengan
kondisi pengelola dikenakan pembatasan oleh pemilik dana dalam hal tempat, cara, dan/atau
objek investasi. Dalam transaksi mudharabah muqayyadah, bank syariah bersifat sebagai agen
yang menghubungkan shahibul maal dengan mudharib. Peran agen yang dilakukan oleh bank
syariah mirip dengan peran manajer investasi pada perusahaan sekuritas. Imbalan yang diterima
oleh bank sebagai agen dinamakan fee dan bersifat tetap tanpa dipengaruhi oleh tingkat
keuntungan yang dihasilkan oleh mudharib. Fee yang diterima oleh bank dilaporkan dalam
laporan laba rugi sebagai pendapatan operasi lainnya. Mudharabah muqayyadah biasa disebut
dengan mudharabah terikat (restricted mudharabah). Dalam praktik perbankan, mudharabah
muqayyadah terdiri atas dua jenis, yaitu mudharabah muqayyadah executing dan mudharabah
muqayyadah channeling. Pada mudharabah muqayyadah executing, bank syariah sebagai
pengelola menerima dana dari pemilik dana dengan pembatasan dalam hal tempat, cara, dan/
atau objek investasi. Akan tetapi, bank syariah memiliki kebebasan dalam melakukan seleksi
terhadap calon mudharib yang layak mengelola dana tersebut. Sementara itu pada mudharabah
muqayyadah channeling, bank syariah tidak memiliki kewenangan dalam menyeleksi calon
mudharib yang akan mengelola dana tersebut.
116
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemilik dana dan pengelola tanpa
adanya pembatasan oleh pemilik dana dalam hal tempat, cara, maupun objek investasi.
Dalam hal ini, pemilik dana memberi kewenangan yang sangat luas kepada mudharib untuk
menggunakan dana yang diinvestasikan. Kontrak mudharabah muthlaqah dalam perbankan
syariah digunakan untuk tabungan maupun pembiayaan. Pada tabungan mudharabah, penabung
berperan sebagai pemilik dana, sedang bank berperan sebagai pengelola yang mengontribusikan
keahliannya dalam mengelola dana penabung. Adapun pada pembiayaan mudharabah, bank
berperan sebagai pemilik dana yang menginvestasikan dana yang ada padanya kepada pihak lain
yang memerlukan dana untuk keperluan usahanya. Pihak lain yang memerlukan dan mengelola
dana tersebut biasa disebut dengan nasabah pembiayaan. Dana yang diterima oleh bank dari
penabung dilaporkan dalam neraca di bagian dana syirkah, sedangkan dana yang disalurkan
oleh bank kepada nasabah pembiayaan melalui akad mudaharabah dilaporkan dalam neraca
pada bagian aset lancar. Adapun bagian bank dari keuntungan yang dihasilkan oleh mudharib
dari kegiatan investasi yang dilakukannya dilaporkan dalam laporan laba rugi sebagai salah
satu unsur pendapatan operasi utama bank. Mudharabah muthlaqah biasa juga disebut dengan
mudharabah mutlak atau mudharabah tidak terikat (unrestricted mudharabah).
Mudharabah Musytarakah
Mudharabah musytarakah adalah bentuk mudharabah di mana pengelola dana menyertakan
modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Akad musyatarakah ini merupakan solusi
sekiranya dalam perjalanan usaha, pengelola dana memiliki modal yang dapat dikontribusikan
dalam investasi, sedang di lain sisi, adanya penambahan modal ini akan dapat meningkatkan
kemajuan investasi. Akad musytarakah ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara
akad mudharabah dan akad musyarakah. Dalam mudharabah musyatarakah, pengelola
dana berdasarkan akad (mudharabah) menyertakan juga dananya dalam investasi bersama
(berdasarkan akad musyarakah). Setelah penambahan dana oleh pengelola, pembagian hasil
usaha antara pengelola dana dan pemilik dana dalam mudharabah adalah sebesar hasil usaha
musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik dana musyarakah.
Nasabah dana
bank
dengan sistem
pool of fund Nasabah pengelola
(mudarib)
investor
117
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Nasabah penghimpunan bank berperan sebagai mudharib, sedangkan nasabah penyaluran bank
berperan sebagai pemilik dana. Pada saat yang sama, bank melakukan kerja sama dengan investor
lain untuk membiayai suatu proyek yang dikerjakan oleh nasabah pengelola. Investor lain yang
terlibat dalam kerja sama ini memiliki peran sebagai pemilik dana. Bank dan investor memperoleh
pendapatan dari posisi sebagai pemilik dana (berbagi sesuai porsi masing-masing). Selanjutnya,
pendapatan hak bank tersebut dibagihasilkan lagi dengan nasabah deposan pool of fund.
Transaktor
Kedua pihak transaktor di sini adalah investor dan pengelola modal. Investor biasa disebut
dengan istilah shahibul maal atau rabbul maal, sedang pengelola modal biasa disebut dengan
istilah mudharib. Kedua pihak disyaratkan memiliki kompetensi beraktivitas. Kriteria kompetensi
tersebut antara lain mampu membedakan yang baik dan yang buruk (baligh) dan tidak dalam
keadaan tercekal seperti pailit.
Objek Mudharabah
Objek mudharabah meliputi modal dan usaha. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai
objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah.
Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya.
Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap
maupun tidak sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Sementara itu, kerja yang diserahkan dapat
berbentuk keahlian menghasilkan barang atau jasa, keahlian mengelola, keahlian menjual, dan
keahlian maupun keterampilan lainnya. Tanpa dua objek ini, mudharabah tidak dibenarkan. Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah menyatakan
bahwa kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib) sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh
penyedia dana harus memperhatikan hal-hal berikut.
1. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi
ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
2. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
3. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan
dengan mudharabah dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.
Dalam praktik perbankan, bentuk kegiatan usaha pengelola merupakan satu faktor yang
sangat diperhatikan oleh bank dalam memutuskan persetujuan pembiayaan mudharabah.
Adanya kewajiban bank menanggung kerugian yang timbul dari usaha mudharib menyebabkan
118
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Kesepakatan pembagian keuntungan atau nisbah harus dinyatakan pada waktu kontrak.
Dalam hal ini, juga perlu disepakati dasar bagi hasil yang akan digunakan. Dewan Syariah
Nasional dalam fatwa DSN Nomor 15 Tahun 2000 menyatakan bahwa bank syariah boleh
menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) sebagai
dasar bagi hasil.
Pembagian dasar bagi hasil tersebut dijelaskan dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 59 dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah (PAPSI) 2003 dalam bentuk
berikut.
119
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Laba bruto 35
Beban 25
Dalam praktik, terdapat perbedaan dalam penggunaan istilah revenue sharing. Revenue
sharing dalam praktik lebih mengacu pada gross profit sharing. Dalam akuntansi, terminologi
revenue adalah nilai penjualan suatu barang (harga pokok plus margin keuntungan). Adapun
revenue yang dimaksud dalam dasar bagi hasil bank syariah dan yang dipraktikkan selama ini
adalah pendapatan dikurangi harga pokok barang yang dijual. Dalam akuntansi, konsep ini
biasa dinamakan dengan laba bruto (gross profit). Dengan demikian, istilah revenue sharing
yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah, pada dasarnya identik dan sama dengan
makna gross profit sharing. Adapun dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan Syariah tahun 2007, Ikatan Akuntan telah menyatakan secara eksplisit bahwa dalam
hal prinsip pembagian hasil usaha, terminologi pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah
laba bruto (KDPPLKS paragraf 42). PAPSI 2013 dan PSAK Nomor 105 paragraf 11 menyatakan
bahwa pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau
bagi laba dan jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha adalah
laba bruto, bukan total pendapatan usaha (omzet). Sementara itu, jika berdasarkan prinsip
bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto (net profit), yaitu laba bruto dikurangi beban yang
berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah.
Penjualan 100
Beban 25
Penggunaan gross profit sebagai dasar pembagian keuntungan cukup adil bagi perbankan
syariah, karena di sisi bagi hasil kepada nasabah penabung, bank syariah juga menggunakan
praktik yang sama. Penggunaan praktik gross profit sharing sebagai dasar bagi hasil nasabah
penabung atau deposan dengan skema mudharabah dapat terlihat pada pengakuan pendapatan
bank syariah. Pendapatan murabahah yang dibagi hasil misalnya adalah nilai margin murabahah
(selisih harga jual dengan harga pokok barang yang dijual) yang uangnya telah diterima oleh
bank syariah. Ini menunjukkan bahwa dasar bagi hasil kepada nasabah penabung pada dasarnya
adalah gross profit sharing dan bukan revenue sharing.
120
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Syekh Muhammad Taqi Usmani (2002) dalam bukunya An Introduction to Islamic Finance
secara eksplisit juga merekomendasikan penggunaan gross profit sekiranya terdapat kesulitan
dalam penggunaan net profit suatu pembiayaan mudharabah atau musyarakah. Gross profit,
dalam pandangan beliau dihitung dari selisih antara penjualan dengan biaya-biaya yang bersifat
langsung, dalam hal ini adalah harga pokok penjualan.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank syariah untuk
berhati-hati dalam melakukan transaksi mudharabah dengan para nasabah. Selain itu, bank
juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan
DPS dapat tersedia setiap saat pengawasan dilakukan.
121
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
1. Negosiasi dan
Bank Syariah Akad Nasabah
(Shahibul maal) Mudharabah (Mudharib)
Pertama, dimulai dari pengajuan permohonan pembiayaan oleh nasabah dengan mengisi
formulir permohonan pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada bank syariah
beserta dokumen pendukung. Pihak bank selanjutnya melakukan evaluasi kelayakan
pembiayaan mudharabah yang diajukan nasabah dengan menggunakan analisis 5C
(Character, Capacity, Capital, Commitment, dan Collateral). Analisis diikuti kemudian dengan
verifikasi. Bila nasabah dan usaha dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam
bentuk penandatanganan kontrak mudharabah dengan mudharib di hadapan notaris.
Kontrak yang dibuat setidaknya memuat berbagai hal untuk memastikan terpenuhinya
rukun mudharabah.
Kedua, bank mengontribusikan modalnya dan nasabah mulai mengelola usaha yang
disepakati berdasarkan kesepakatan dan kemampuan terbaiknya.
Ketiga, hasil usaha dievaluasi pada waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara bank sebagai shahibul maal dengan
nasabah sebagai mudharib sesuai dengan porsi yang telah disepakati. Seandainya terjadi
kerugian yang tidak disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mudharib, maka kerugian
ditanggung oleh bank. Adapun kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasabah
sepenuhnya menjadi Akuntansi tanggung jawab nasabah.
122
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Keempat, bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan
metode perhitungan yang telah disepakati.
Kelima, bank menerima pengembalian modalnya dari nasabah. Jika nasabah telah
mengembalikan semua modal milik bank, selanjutnya usaha menjadi milik nasabah
sepenuhnya.
Ketentuan tentang akuntansi mudharabah diatur dalam PSAK 105 Tahun 2007 tentang
Akuntansi Mudharabah. Standar ini mengatur pengakuan dan pengukuran transaksi, baik dari
sisi pemilik dana maupun dari sisi pengelola dana. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pengakuan dan pengukuran transaksi adalah mengenai dana mudharabah yang disalurkan, jenis
investasi berupa kas maupun non-kas, penurunan nilai investasi sebelum usaha dimulai, dana,
penghasilan usaha, kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pengelola, hak pihak ketiga atas
bagi hasil dana syirkah, penyertaan dana pengelola dalam skema musytarakah, dan pembagian
hasil pada mudharabah musytarakah.
Tanggal 1 Agustus 20XA Bank Murni Syariah (BMS) menyetujui pemberian fasilitas
mudharabah Muthlaqah PT Haniya yang bergerak di bidang SPBU dengan kesepakatan
sebagai berikut.
Plafon : Rp1.450.000.000
Objek bagi hasil : Pendapatan (gross profit sharing)
Nisbah : 70% PT Haniya dan 30% BMS
Jangka Waktu : 10 bulan (jatuh tempo tanggal 10 Juni 20XB)
Biaya administrasi : Rp14.500.000 (dibayar saat akad ditandatangani)
Pelunasan : Pengembalian pokok di akhir periode.
Keterangan : Modal dari BMS diberikan secara tunai tanggal 10 Agustus 20XA.
Pelaporan dan pembayaran bagi hasil oleh nasabah dilakukan setiap
tanggal 10 mulai bulan September.
123
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
* Dalam praktik perbankan, istilah “pembiayaan mudharabah”, sebagaimana yang terdapat dalam PSAK 105, belum
umum dipakai. Saat ini perbankan syariah di Indonesia masih menggunakan istilah “pembiayaan mudharabah”.
124
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Jumlah Laba Bruto Porsi Bank 30% Tanggal Pelaporan Tanggal Pembayaran
No. Bulan
(Rp) (Rp) Bagi Hasil Bagi Hasil
1. Ags XA 20.000.000 6.000.000 10 Sep 10 Sep
2. Sep XA 50.000.000 15.000.000 10 Okt 10 Okt
3. Okt XA 45.000.000 13.500.000 10 Nov 10 Nov
4. Nov XA 40.000.000 12.000.000 10 Des 10 Des
5. Des XA 60.000.000 18.000.000 10 Jan 10 Jan
6. Jan XB 50.000.000 15.000.000 10 Feb 10 Feb
7. Feb XB 40.000.000 12.000.000 10 Mar 10 Mar
8. Mar XB 50.000.000 15.000.000 10 Apr 10 Apr
9. Apr XB 55.000.000 16.500.000 10 Mei 05 Jun
10. Mei XB 60.000.000 18.000.000 15 Jun 15 Jun
Transaksi di atas dapat kita klasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Penerimaan bagi hasil yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pelaporan bagi
hasil, seperti bagi hasil untuk bulan Agustus, September, Oktober, November, Desember,
Januari, Februari, Maret. Bentuk transaksinya adalah berikut ini.
125
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
2. Penerimaan bagi hasil yang waktu pembayarannya berbeda dengan tanggal pelaporan bagi
hasil seperti pada bagi hasil bulan April dan Mei. Berdasarkan PSAK 105 paragraf 24,
disebutkan bahwa bagian hasil usaha belum dibayar oleh pengelola, maka bagian tersebut
diakui sebagai piutang. Bentuk transaksinya adalah sebagai berikut.
Piutang pendapatan bagi hasil mudharabah disajikan dalam neraca pada bagian aset. Akun ini
merupakan sub-akun dari piutang. Adapun akun pendapatan bagi hasil mudharabah akrual
disajikan dalam laporan laba rugi. Oleh karena bagi hasil tersebut belum berwujud kas, maka
pendapatan bagi hasil akrual tidak diikutsertakan dalam perhitungan bagi hasil dengan nasabah
penghimpunan. Untuk keperluan praktis, pendapatan bagi hasil akrual perlu dibedakan dengan
pendapatan bagi hasil yang telah berwujud kas. Dalam pembahasan selanjutnya, khusus untuk
pendapatan yang belum berwujud kas, penulis akan menambahkan istilah akrual.
Dalam praktik perbankan, di beberapa bank terdapat deviasi dalam bentuk pengabaian
pendapatan bagi hasil mudharabah akrual. Pada tahun berjalan, kendati telah ada pemberitahuan
laba bruto oleh nasabah pembiayaan, bank tidak mengakuinya sebagai pendapatan bagi hasil.
Pengakuan pendapatan ditunda hingga bank menerima porsi bagi hasilnya. Selanjutnya untuk
keperluan pelaporan akhir tahun, bank mengidentifikasi pendapatan yang bersifat akrual secara
manual, untuk selanjutnya mengakuinya sebagai pendapatan pada laporan laba rugi dan piutang
pendapatan bagi hasil mudharabah pada laporan neraca.
126
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Variasi Transaksi
1. Pembiayaan mudharabah dengan menggunakan aset non-kas.
Secara teori, transaksi pembiayaan mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan
aset non-kas. Akan tetapi, berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa praktisi bank
syariah, dapat disimpulkan bahwa transaksi jenis ini tidak lazim diterapkan dalam
dunia perbankan syariah. Semua pembiayaan mudharabah oleh bank pada umumnya
berwujud kas. Akan tetapi, jika suatu bank syariah melakukan pembiayaan mudharabah
dengan menggunakan aset non-kas, dapat mengacu pada paragraf 12 dan 13 PSAK 105.
Berdasarkan PSAK 105 paragraf 12, disebutkan bahwa dana mudharabah yang disalurkan
oleh pemilik dana diakui sebagai pembiayaan mudharabah pada saat pembayaran kas atau
penyerahan aset non-kas kepada pengelola dana. Penggunaan aset non-kas memungkinkan
terjadi tiga variasi, yaitu nilai wajar aset sama dengan nilai tercatatnya, nilai wajar aset
lebih tinggi dari nilai tercatatnya, dan nilai wajar aset lebih rendah dari nilai tercatatnya.
a. Nilai wajar aset mudharabah non-kas sama dengan dari nilai tercatatnya
Berdasarkan PSAK 105 paragraf 13, disebutkan bahwa pembiayaan mudharabah dalam
bentuk aset non-kas diukur sebesar nilai wajar aset non-kas pada saat penyerahan.
Misalkan pada tanggal 10 Agustus 20XA, bank telah memiliki peralatan pompa bensin
dengan nilai buku sebesar Rp1.400.000.000, (harga perolehan Rp1.500.000.000 dan
akumulasi penyusutan Rp100.000.000). Peralatan tersebut selanjutnya diserahkan
kepada PT Haniya sebagai pembiayaan berwujud non-kas dan dihargai dengan nilai
Rp1.400.000.000. Maka jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
127
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
b. Nilai wajar aset mudharabah non-kas lebih tinggi dari nilai tercatatnya
Berdasarkan PSAK 105 paragraf 13, disebutkan bahwa jika nilai wajar lebih tinggi
daripada nilai tercatatnya, maka selisihnya diakui sebagai keuntungan tangguhan dan
diamortisasi sesuai jangka waktu akad mudharabah (PSAK 105 paragraf 13b-i).
Misalkan pada tanggal 10 Agustus 20XA, bank telah memiliki peralatan pompa bensin
dengan nilai buku sebesar Rp1.400.000.000, (harga perolehan Rp1.500.000.000 dan
akumulasi penyusutan Rp100.000.000). Peralatan tersebut selanjutnya diserahkan
kepada PT Haniya sebagai pembiayaan berwujud non-kas dan dihargai dengan nilai
Rp1.450.000.000. Maka jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
c. Nilai wajar aset mudharabah non-kas lebih rendah dari nilai tercatatnya
Berdasarkan PSAK 105 paragraf 13b-ii, jika nilai wajar lebih rendah daripada nilai
tercatatnya, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.
Misalkan pada tanggal 10 Agustus 20XA, bank telah memiliki peralatan pompa bensin
dengan nilai buku sebesar Rp1.400.000.000, (harga perolehan Rp1.500.000.000 dan
akumulasi penyusutan Rp100.000.000). Peralatan tersebut selanjutnya diserahkan
kepada PT Haniya sebagai pembiayaan berwujud non-kas dan dihargai dengan nilai
Rp1.350.000.000. Maka jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
128
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
129
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Berdasarkan PSAK 105 paragraf 23, disebutkan bahwa kerugian akibat kelalaian
atau kesalahan pengelola dana dibebankan pada pengelola dana dan tidak
mengurangi pembiayaan mudharabah.
Misalkan untuk bagi hasil bulan April, dilaporkan pada tanggal 10 Mei 20XB
dilaporkan bahwa PT Haniya mengalami kerugian Rp40 juta. Setelah diteliti
kerugian disebabkan oleh kesalahan mudharib.
Dalam hal ini tidak ada jurnal karena kelalaian nasabah dan kerugian ini tidak
berpengaruh pada pembayaran modal pembiayaan mudharabah pada bank
syariah.
Menurut PSAK 105 paragraf 18, kelalaian atas kesalahan pengelola dana, antara
lain ditunjukkan oleh:
a) persyaratan yang ditentukan di dalam akad tidak terpenuhi;
b) tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeur) yang lazim dan/
atau yang telah ditentukan dalam akad; atau
c) hasil keputusan dari institusi yang berwenang.
2) Kerugian disebabkan karena kelalaian pengelola dan dipandang tidak mampu
melanjutkan usaha (bangkrut).
Dalam praktik perbankan, kerugian yang terjadi pada nasabah yang lalai, sangat
mungkin menyebabkan nasabah tidak mampu lagi melanjutkan usaha atau
mengalami bangkrut. Dalam hal ini, bank syariah juga bisa mengikuti perlakuan
kebijakan kolektibilitas bank Indonesia.
Berikut ini adalah ilustrasi pembiayaan mudharabah dengan kasus nasabah
pengelola melakukan kelalaian dan dipandang tidak mampu melanjutkan usaha
(bangkrut).
130
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Jurnal Penyisihan
Saat akhir bulan 31 Januari 2009, bank melakukan penilaian atas kualitas aset. Karena baru
cair dan status lancar, bank wajib membentuk cadangan kerugian sebesar 1%.
Misalkan selama bulan Februari, Maret, dan April, nasabah secara rutin mengangsur
pokok dan bagi hasil kepada bank syariah dengan jumlah sebagai berikut.
131
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Misalkan, pada 10 Februari 2009, nasabah mengangsur pokok dan bagi hasil. Realisasi
profit adalah 20.000. Jurnal untuk angsuran pokok dan bagi hasil pada tanggal tersebut adalah
sebagai berikut.
Misalkan pada tanggal 10 Mei 2009, nasabah tidak mengangsur pokok dan bagi hasil.
Realisasi profit adalah 0. Diketahui 7 hari yang lalu, usaha nasabah berhenti total karena
kebakaran akibat kecerobohan nasabah.
Jurnal angsuran pokok : tidak ada
Jurnal bagi hasil : tidak ada
Atas kejadian ini, bank menentukan kolektibilitas 5 pada investasi yang disalurkan tersebut.
Hal ini disebabkan karena sudah tidak dimungkinkan lagi usaha yang dibiayai memberikan
hasil atau keuntungan. Diketahui juga bahwa agunan yang digunakan dalam investasi turut
terbakar.
Saldo pokok investasi saat ini yang belum terbayar adalah 700.000 (besarnya investasi
awal 1.000.000 dikurangi 3× angsuran pokok @100.000). Berdasarkan ketentuan BI, maka
investasi kolektibilitas harus membentuk cadangan kerugian 100% dari saldo pokok investasi
yang belum terbayar.
132
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Atas jurnal penyisihan ini, maka penyajian di neraca sisi aset adalah:
Pembiayaan mudharabah = 700.000
Penyisihan penghapusan = (700.000)
Pembiayaan mudharabah net = 0
Jurnal Penghapusbukuan
Sebagai perusahaan berbadan hukum, maka bank melakukan penghapusbukuan atas investasi
ini sesuai prosedur misalnya melalui RUPS. Disepakati bahwa hapus buku dilakukan 12 bulan
kemudian setelah diajukan ke RUPS tahun buku 2009. Hapus buku dilakukan pada tanggal 31
Mei 2010. Maka jurnal penghapusbukuan pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
133
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Menurut PAPSI 2013 (h. 5.3), akun-akun yang berkaitan dengan transaksi pembiayaan
mudharabah disajikan sebagai berikut.
1. Pembiayaan mudharabah disajikan sebesar saldo pembiayaan mudharabah nasabah kepada
bank. Pembiayaan mudharabah yang diakhiri sebelum jatuh tempo atau sudah berakhir
dan belum diselesaikan oleh nasabah tetap disajikan sebagai bagian dari pembiayaan
mudharabah.
2. Piutang bagi hasil disajikan sebagai bagian dari dari aset lainnya lainnya pada saat nasabah
tergolong performing. Sedangkan, apabila nasabah tergolong non-performing maka
piutang bagi hasil disajikan pada rekening administratif.
3. Cadangan kerugian penurunan nilai pembiayaan mudharabah disajikan sebagai pos lawan
(contra account) pembiayaan mudharabah.
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.4–5) hal-hal yang harus diungkapkan terkait transaksi pembiayaan
mudharabah antara lain:
1. Rincian jumlah pembiayaan mudharabah berdasarkan sifat akad (mudharabah mutlaqah
atau mudharabah muqayadah), jenis penggunaan dan sektor ekonomi.
2. Klasifikasi pembiayaan mudharabah menurut jangka waktu (masa akad), kualitas
pembiayaan, valuta, cadangan kerugian penurunan nilai dan tingkat bagi hasil rata-rata.
3. Jumlah dan persentase pembiayaan mudharabah yang diberikan kepada pihak-pihak
berelasi.
4. Jumlah pembiayaan mudharabah yang telah direstrukturisasi dan informasi lain tentang
pembiayaan mudharabah yang direstrukturisasi selama periode berjalan.
5. Kebijakan manajemen dalam pelaksanaan pengendalian risiko portofolio pembiayaan
Mudharabah.
6. Besarnya pembiayaan mudharabah bermasalah dan cadangan kerugian penurunan nilai
untuk setiap sektor ekonomi.
7. Kebijakan dan metode yang dipergunakan dalam penanganan mudharabah bermasalah.
8. Ikhtisar pembiayaan mudharabah yang dihapus buku yang menunjukkan saldo awal,
penghapusan selama tahun berjalan, penerimaan atas pembiayaan mudharabah yang telah
dihapusbukukan dan pembiayaan mudharabah yang telah dihapus-tagih dan saldo akhir
pembiayaan mudharabah yang dihapus buku.
134
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Bank Indonesia. 2006. Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional–MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. Jakarta: DSN-
MUI dan Bank Indonesia.
DSAK IAI. 2002. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan
Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba
DSAK IAI. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 105 tentang Akuntansi Mudharabah”.
Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
Harahap, Sofyan S., Wiroso, Yusuf, M. 2004. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE USAKTI.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2003. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: IAI.
Usmani, Muhammad Taqi. 2002. An Introduction to Islamic Finance. Netherland: Kluwer Law
International.
Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah berdasarkan PSAK dan
PAPSI. Jakarta: Grasindo.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan definisi mudharabah.
2. Jelaskan perbedaan antara mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah, dan
mudharabah musytarakah.
3. Dalam kondisi apakah masing-masing mudharabah muthalaqah, mudharabah muqayyadah,
dan mudharabah musytarakah cocok diterapkan?
4. Apakah landasan syar’i dibolehkannya transaksi mudharabah?
5. Jelaskan rukun transaksi mudharabah.
6. Perhatikan dan lakukanlah screen shoot terhadap penyajian dan pengungkapan yang
berkaitan dengan transaksi pembiayaan mudharabah di laporan keuangan di salah satu
bank syariah. Analisislah penerapannya jika dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat
di PSAK 105 maupun PAPSI 2013.
135
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
B. Soal Kasus
Pada tanggal 5 Januari 20XA, ditandatangani akad pembiayaan mudharabah antara BPRS
Minang Raya dengan PT Ufi Widi senilai Rp100.000.000 untuk pembiayaan proyek renovasi
2 unit puskesmas dari Pemerintah Kota Padang. Bagi hasil usaha didasarkan atas laba bruto
proyek dengan komposisi 25% untuk BPRS. Buatlah jurnal untuk rangkaian transaksi berikut.
1. Tanggal 5 Januari BPRS Minang Raya membuka rekening komitmen administratif
pembiayaan tersebut.
2. Tanggal 5 Januari BPRS membebankan biaya administrasi pembiayaan kepada PT Ufi Widi
sebesar 0,2% dari nilai pembiayaan. Pembebanan langsung dilakukan dengan mendebit
rekening PT Ufi Widi.
3. Tanggal 10 Januari 20XA, BPRS mencairkan pembiayaan sebesar Rp100.000.000 untuk
pembiayaan mudharabah pada proyek renovasi Puskesmas yang dikelola oleh PT Ufi
Widi.
4. Tanggal 10 Maret 20XA PT Ufi Widi melaporkan telah menerima uang proyek dari
pemerintah untuk puskesmas pertama dengan laba bruto sebesar Rp20.000.000, bagi hasil
untuk BPRS (25%) langsung diserahkan secara tunai pada tanggal yang sama.
5. Tanggal 20 April 20XA PT Ufi Widi melaporkan telah menerima uang proyek dari
pemerintah untuk puskesmas kedua dengan laba bruto sebesar Rp16.000.000, bagi hasil
untuk BPRS (25%) dibayarkan secara tunai pada tanggal 27 April 20XA.
6. Tanggal 10 Mei 20XA, saat jatuh tempo PT Ufi Widi melunasi pembiayaan mudharabah
secara tunai sebesar Rp100.000.000.
136
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
LEMBAR JAWABAN
2. Tanggal 5 Januari BPRS membebankan biaya administrasi pembiayaan kepada PT Ufi Widi
sebesar 0,2% dari nilai pembiayaan. Pembebanan langsung dilakukan dengan mendebit
rekening PT Ufi Widi.
137
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
4. Tanggal 10 Maret 20XA PT Ufi Widi melaporkan telah menerima uang proyek dari
pemerintah untuk puskesmas pertama dengan laba bruto sebesar Rp20.000.000, bagi hasil
untuk BPRS (25%) langsung diserahkan secara tunai pada tanggal yang sama.
5. Tanggal 20 April 20XA PT Ufi Widi melaporkan telah menerima uang proyek dari
pemerintah untuk puskesmas kedua dengan laba bruto sebesar Rp16.000.000, bagi hasil
untuk BPRS (25%) dibayarkan secara tunai pada tanggal 27 April 20XA.
138
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Mudharabah
6. Tanggal 10 Mei 20XA, saat jatuh tempo PT Ufi Widi melunasi pembiayaan mudharabah
secara tunai sebesar Rp100.000.000. Maka, jurnal transaksi tersebut adalah sebagai
berikut.
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
139
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
140
8
AKUNTANSI TRANSAKSI
PEMBIAYAAN
MUSYARAKAH
Pendahuluan
141
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Musyarakah berasal dari kata syirkah. Syirkah artinya pencampuran atau interaksi. Secara
terminologi, syirkah adalah persekutuan usaha untuk mengambil hak atau untuk beroperasi.
IAI dalam PSAK 106 mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan,
sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Seperti halnya transaksi mudharabah,
transaksi ini merupakan salah satu bentuk transaksi dengan skema investasi. Dengan demikian,
transaksi ini memiliki banyak kesamaan dengan transaksi mudharabah. Beberapa kesamaan
transaksi musyarakah dengan transaksi mudharabah adalah pembiayaan hanya diberikan untuk
mendanai usaha yang bersifat produktif dan keuntungan yang diperoleh berasal dari bagi hasil
atas usaha yang didanai.
142
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
dan pedagang, lalu setelah dijual bagian keuntungan mereka dibagi bersama. Mazhab Syafi’i dan
Maliki menolak bentuk ini dengan alasan tidak adanya modal yang dikembangkan. Sebaliknya,
mayoritas ulama membolehkan dan menganggap kebutuhan terhadap modal uang lebih besar
dari kebutuhan terhadap pengembangan modal uang yang sudah ada.
Adapun musyarakah mufawadhah adalah musyarakah di mana para anggotanya memiliki
kesamaan dalam modal, aktivitas, dan utang piutang, dari mulai berdirinya musyarakah hingga
akhir (jika asas persamaan tidak terpenuhi, kategorinya masuk pada musyarakah ‘inan). Dalam
syirkah ini, masing-masing menyerahkan kepada mitranya untuk secara bebas mengoperasikan
modalnya, baik ketika ia ada atau tidak. Dengan demikian, ia bebas menjalankan berbagai
aktivitas finansial dan aktivitas kerja yang menjadi tuntutan bentuk kerja sama, seperti jual beli,
penjaminan, pegadaian, sewa-menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya.
Mayoritas ulama membolehkan jenis syirkah mufawadhah. Akan tetapi, Imam Syafi’i
melarang syirkah ini karena mitra akan ikut menanggung akibat dari tindakan yang dilakukan
oleh mitra lainnya, kendati ia tidak mengetahuinya. Dengan demikian, jika hal ini dilaksanakan,
maka akan dikhawatirkan masuk dalam kategori gharar yang dilarang dalam agama Islam.
Alasan ini dibantah oleh mayoritas ulama karena penanggungan terhadap sesuatu yang tidak
diketahui bukanlah tujuan dari syirkah mufawadhah, melainkan konsekuensi dari kerja sama
yang memberikan kebebasan kepada mitra dalam menjalankan usaha.
Berdasarkan perubahan porsi dana para mitra, musyarakah dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu musyarakah permanen dan musyarakah menurun. Berikut akan dibahas kedua jenis
musyarakah tersebut.
1. Musyarakah permanen, yaitu musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra
bersifat tetap hingga akhir masa akad.
2. Musyarakah menurun atau biasa disebut dengan musyarakah mutanaqisha, yaitu
musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan bertahap
kepada mitra lainnya, sehingga bagian dananya akan menurun dan pada akhir masa akad
mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha itu.
Ketentuan syar’i transaksi musyarakah yang dilakukan oleh bank syariah mengacu pada
Fatwa DSN Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut, diatur berbagai hal terkait
ijab kabul, ketentuan tentang pihak-pihak yang bertransaksi, objek akad musyarakah, dan
biaya operasional yang disengketakan. Secara detail, fatwa DSN tentang transaksi musyarakah
dibahas dalam bagian rukun transaksi musyarakah berikut.
Transaktor
Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi musyarakah harus cakap hukum, serta berkompeten
dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Para mitra harus memperhatikan
143
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
hal-hal yang terkait dengan ketentuan syar’i transaksi musyarakah. Berdasarkan fatwa DSN
Nomor 8 Tahun 2000, disebutkan bahwa setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan
serta setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur
aset musyarakah dalam proses bisnis normal. Dalam hal pengelolaan aset, setiap mitra memberi
wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah
diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan
mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja. Kendati demikian, seorang
mitra tidak diizinkan menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
Objek Musyarakah
Objek akad musyarakah meliputi tiga aspek, yaitu:
1. Modal
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 8 Tahun 2000 tentang musyarakah disebutkan bahwa modal
yang diberikan dapat berupa kas dan/atau aset non-kas. Modal kas dapat dalam bentuk uang
tunai emas, perak, dan setara kas lainnya yang dapat dicairkan secara cepat menjadi uang.
Adapun modal berupa aset non-kas dapat berupa barang perdagangan, properti, aset tetap,
dan lainnya yang digunakan dalam proses usaha. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih
dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan, atau menghadiahkan
modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan para mitra. Pada
prinsipnya, tidak ada jaminan dalam transaksi musyarakah, tetapi untuk menghindari
penyimpangan, DSN membolehkan bank syariah meminta jaminan.
2. Kerja
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 8 tentang Musyarakah, partisipasi para mitra dalam
pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah. Akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lain,
dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap
mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya.
Kedudukan masing-masing dalam organisasi harus dijelaskan dalam kontrak. Mitra yang
aktif mengelola usaha musyarakah disebut mitra aktif. Sekiranya ada mitra yang tidak
ikut mengelola usaha musyarakah dan menyerahkan hak pengelolaannya pada mitra lain,
maka mitra tersebut disebut dengan mitra pasif. Dalam praktik perbankan, bank syariah
biasanya menempatkan diri sebagai mitra pasif.
3. Keuntungan dan kerugian
Dalam hal keuntungan musyarakah, DSN mewajibkan para mitra untuk menghitung
secara jelas keuntungannya untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu
alokasi keuntungan maupun ketika penghentian musyarakah. Setiap keuntungan mitra
harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah
144
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
nominal yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Jika keuntungan usaha
musyarakah melebihi jumlah tertentu, seorang mitra boleh mengusulkan kelebihan atau
persentase itu diberikan kepadanya. Adapun aspek-aspek sistem pembagian keuntungan
seperti dasar bagi hasil, persentase bagi hasil, dan periode bagi hasil harus tertuang jelas
dalam akad.
Dalam hal kerugian, DSN mewajibkan kerugian dibagi di antara para mitra secara
proporsional menurut bagian masing-masing. Apabila rugi disebabkan oleh kelalaian mitra
pengelola, maka rugi tersebut ditanggung oleh mitra pengelola usaha musyarakah. Rugi
karena kelalaian mitra pengelola diperhitungkan sebagai pengurang modal mitra pengelola
usaha, kecuali mitra mengganti kerugian tersebut dengan dana baru.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank syariah untuk
hati-hati dalam melakukan transaksi musyarakah dengan para nasabah. Selain itu, bank juga
dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS
dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.
145
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Alur transaksi musyarakah dapat dilihat pada Figur 8.1. dengan urutan sebagai berikut.
1. Negosiasi dan
Bank Syariah Akad Nasabah
(mitra pasif ) Musyarakah (mitra aktif )
Kedua, bank dan nasabah mengontribusikan modalnya masing-masing dan nasabah sebagai
mitra aktif mulai mengelola usaha yang disepakati berdasarkan kesepakatan dan kemampuan
terbaiknya.
Ketiga, hasil usaha dievaluasi pada waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara bank dengan nasabah sesuai dengan porsi
yang telah disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kelalaian
146
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
nasabah sebagai mitra aktif, maka kerugian ditanggung proporsional terhadap modal
masing-masing mitra. Adapun kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai
mitra aktif sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah.
Keempat, bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan
metode perhitungan yang telah disepakati.
Kelima, bank menerima pengembalian modalnya dari nasabah. Jika nasabah telah
mengembalikan semua modal milik bank, usaha selanjutnya menjadi milik nasabah
sepenuhnya.
Ketentuan tentang perlakuan akuntansi transaksi musyarakah didasarkan pada PSAK 106 Tahun
2007 tentang Akuntansi Musyarakah. PSAK ini menjelaskan tentang karakteristik musyarakah,
pengakuan dan pengukuran seputar transaksi musyarakah, serta penyajian dan pengungkapan
informasi pembiayaan musyarakah dalam laporan keuangan. PSAK ini membedakan akuntansi
untuk mitra aktif dan mitra pasif. Menurut PSAK 106, mitra aktif adalah mitra yang mengelola usaha
musyarakah, baik mengelola sendiri atau menunjuk pihak lain atas nama mitra tersebut. Adapun
mitra pasif adalah mitra yang tidak ikut mengelola usaha musyarakah. Berdasarkan pembedaan
jenis mitra tersebut, bank syariah dalam skema pembiayaan musyarakah yang diberikan cenderung
masuk dalam kategori mitra pasif, karena tidak ikut mengelola usaha musyarakah.
147
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
148
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
Penyerahan pembiayaan musyarakah tidak harus dilakukan pada saat akad. Penyerahan
investasi dilakukan ketika nasabah siap menggunakan investasi yang diperlukan. Dengan
demikian, investasi bisa diserahkan lebih dari satu termin.
Dalam kasus Bu Nasibah di atas, anggaplah bahwa pada tanggal 12 Februari bank mentransfer
sebesar Rp35.000.000 ke rekening Bu Nasibah sebagai pembayaran tahap pertama. Selanjutnya
pada tanggal 2 Maret, bank syariah menyerahkan dana tahap kedua sebesar Rp25.000.000.
Adapun bentuk jurnalnya adalah sebagai berikut.
Tanggal Pembayaran
No. Periode Jumlah Laba Bruto (Rp) Porsi Bank 25% (Rp)
Bagi Hasil
149
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Piutang pendapatan bagi hasil musyarakah disajikan dalam neraca pada bagian aset. Akun
ini merupakan sub-akun dari piutang. Adapun akun pendapatan bagi hasil musyarakah
akrual disajikan dalam laporan laba rugi. Oleh karena bagi hasil ini belum berwujud kas,
maka pendapatan bagi hasil akrual tidak diikutsertakan dalam perhitungan bagi hasil dengan
nasabah penghimpunan. Untuk kemudahan mengidentifikasi pendapatan yang belum berwujud
kas, pendapatan bagi hasil akrual perlu dibedakan dengan pendapatan bagi hasil yang telah
berwujud kas.
Seperti halnya pada transaksi mudharabah, dalam praktik perbankan, beberapa
bank mengabaikan pengakuan pendapatan bagi hasil musyarakah akrual. Pada tahun
berjalan, kendati telah ada pemberitahuan laba bruto oleh nasabah pembiayaan, bank
belum mengakuinya sebagai pendapatan bagi hasil. Pengakuan pendapatan ditunda hingga
bank menerima porsi bagi hasilnya. Selanjutnya untuk keperluan pelaporan akhir tahun,
bank mengidentifikasi pendapatan yang bersifat akrual secara manual, untuk selanjutnya
mengakuinya sebagai pendapatan pada laporan laba rugi dan piutang pendapatan bagi hasil
musyarakah pada laporan neraca.
150
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
Jika dikemudian hari nasabah membayar piutang pembiayaan musyarakah jatuh tempo,
maka jurnalnya adalah sebagai berikut.
Variasi Transaksi
1. Pembiayaan musyarakah dengan menggunakan aset non-kas
Secara teori, transaksi pembiayaan musyarakah dapat dilakukan dengan menggunakan
aset non-kas. Akan tetapi, berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa praktisi bank
syariah dapat disimpulkan bahwa transaksi jenis ini tidak lazim diterapkan dalam dunia
perbankan syariah. Semua pembiayaan musyarakah oleh bank pada umumnya berwujud
kas. Akan tetapi, jika suatu bank syariah melakukan pembiayaan musyarakah dengan
menggunakan aset non-kas, dapat mengacu pada PSAK 106 paragraf 27, yang disebutkan
bahwa pembiayaan musyarakah diakui pada saat pembayaran kas atau penyerahan aset
non-kas kepada mitra aktif.
a. Nilai wajar aset non-kas lebih tinggi dari nilai buku
Aset yang berwujud non-kas dinilai sebesar nilai wajar dan jika terdapat selisih
antara nilai wajar dan nilai tercatat aset non-kas, maka selisih tersebut diakui sebagai
keuntungan tangguhan dan diamortisasi selama masa akad; atau sebagai kerugian pada
saat terjadinya (paragraf 28b). Pembiayaan musyarakah non-kas yang diukur dengan
nilai wajar aset yang diserahkan akan berkurang nilainya sebesar beban penyusutan
atas aset yang diserahkan, dikurangi dengan amortisasi keuntungan tangguhan (jika
ada) (paragraf 29). Adapun biaya yang terjadi akibat akad musyarakah, seperti biaya
studi kelayakan, tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan musyarakah kecuali
ada persetujuan dari seluruh mitra (paragraf 30).
151
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Berdasarkan PSAK 106 paragraf 29, keuntungan tangguhan diamortisasi selama masa
akad.
Misalkan pada kasus di atas, dengan lama akad 6 bulan, dan bank melakukan
amortisasi setiap bulan, maka jurnal amortisasi keuntungan setiap bulan adalah
sebagai berikut.
152
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
* Jumlah pokok pembiayaan yang harus diserahkan per bulan dapat dihitung dengan rumus berikut:
Pengembalian pokok per bulan = Total pembiayaan/jumlah bulan pelunasan
= Rp60.000.000/4
= Rp15.000.000
Pola pembayaran nasabah dapat dibedakan atas dua, yaitu pembayaran tepat pada jadwal
yang disepakati seperti pada pembayaran bulan Mei dan Juni, dan pembayaran melewati
jadwal yang ditentukan seperti pada bulan Juli dan Agustus.
a. Pembayaran cicilan pokok pembiayaan sesuai dengan jadwal yang disepakati
Pada kasus Bu Nasibah di atas, jurnal untuk pengembalian pokok pada bulan Mei
dan Juni yang dibayar pada tanggal jatuh tempo 2 Mei dan 2 Juni adalah sebagai
berikut.
153
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
154
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
Investasi bank
Porsi tanggung jawab bank = Total pembiayaan × Rp1.000.000
musyarakah
Rp60.000.000
= × Rp1.000.000
Rp80.000.000
= Rp750.000
Dengan demikian, jurnal saat Bu Nasibah mengembalikan modal musyarakah pada waktu
jatuh tempo adalah sebagai berikut.
Dalam praktik perbankan, pengakuan kerugian pada pembiayaan musyarakah sejauh ini
diperlakukan mengikuti perlaukan kebijakan kolektibilitas bank Indonesia.
b. Kerugian disebabkan karena kelalaian pengelola
1) Kerugian disebabkan karena kelalaian pengelola dan dipandang masih mampu
melanjutkan usaha.
Berdasarkan PSAK 106 paragraf 24, disebutkan bahwa kerugian akibat kelalaian
atau kesalahan mitra aktif, maka kerugian tersebut ditanggung oleh mitra aktif atau
pengelola usaha musyarakah.
155
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Misalkan pada bagi hasil masa panen kedua, dilaporkan pada tanggal 2 Agustus
20XA bahwa Bu Nasibah mengalami kerugian Rp1 juta. Setelah diteliti, kerugian
disebabkan oleh kesalahan Bu Nasibah. Dalam hal ini tidak ada jurnal karena kelalaian
nasabah dan kerugian ini tidak berpengaruh terhadap pembayaran modal pembiayaan
musyarakah pada bank syariah.
2) Kerugian disebabkan karena kelalaian pengelola dan dipandang tidak mampu
melanjutkan usaha (bangkrut).
Dalam praktik perbankan, kerugian yang terjadi pada nasabah yang lalai sangat mungkin
menyebabkan nasabah tidak mampu lagi melanjutkan usaha atau mengalami bangkrut.
Dalam hal ini, bank syariah juga bisa mengikuti perlakuan kebijakan kolektibilitas bank
Indonesia.
Berikut ini adalah ilustrasi pembiayaan musyarakah menurun dengan kasus nasabah
pengelola melakukan kelalaian dan dipandang tidak mampu melanjutkan usaha
(bangkrut).
Misalkan pada tanggal 10 Januari 2009, bank melakukan pencairan ke rekening nasabah,
maka jurnal saat pencairan adalah sebagai berikut.
2. Jurnal Penyisihan
Saat akhir bulan 31 Januari 2009, bank melakukan penilaian atas kualitas aset. Karena baru
cair dan status lancar, maka bank wajib membentuk cadangan kerugian sebesar 1%.
156
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
Atas jurnal penyisihan ini, maka penyajian di neraca sisi aset adalah:
Pembiayaan musyarakah Rp1.000.000
Penyisihan penghapusan Rp (10.000)
Pembiayaan musyarakah net Rp 990.000
Misalkan selama bulan Februari, Maret, dan April, nasabah secara rutin mengangsur pokok
dan bagi hasil kepada bank syariah dengan jumlah sebagai berikut.
Misalkan, pada 10 Februari 2009, nasabah mengangsur pokok dan bagi hasil. Realisasi
profit adalah 20.000. Jurnal untuk angsuran pokok dan bagi hasil pada tanggal tersebut
adalah sebagai berikut.
157
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Misalkan pada tanggal 10 Mei 2009, nasabah tidak mengangsur pokok dan bagi hasil.
Realisasi profit adalah 0. Diketahui 7 hari kemudian, usaha nasabah berhenti total karena
kebakaran akibat kecerobohan nasabah.
Jurnal angsuran pokok : tidak ada
Jurnal bagi hasil : tidak ada
Atas kejadian ini, bank menentukan kolektibilitas 5 pada investasi yang disalurkan
tersebut. Hal ini disebabkan karena sudah tidak dimungkinkan lagi usaha yang dibiayai
memberikan hasil atau keuntungan. Diketahui juga bahwa agunan yang digunakan dalam
investasi turut terbakar.
Saldo pokok investasi saat ini yang belum terbayar adalah 700.000 (besarnya investasi
awal 1.000.000 dikurangi 3× angsuran pokok @100.000). Berdasarkan ketentuan BI,
maka investasi kolektibilitas harus membentuk cadangan kerugian 100% dari saldo pokok
investasi yang belum terbayar.
Penyisihan yang harus dibentuk: 100% × 700.000 = 700.000
Penyisihan yang telah dibentuk pada 31 Jan 2009 = (10.000)
Kekurangan penyisihan adalah = 690.000
Atas jurnal penyisihan ini, maka penyajian di neraca sisi aset adalah:
Pembiayaan musyarakah = 700.000
Penyisihan penghapusan = (700.000)
Pembiayaan musyarakah net = 0
4. Jurnal Penghapusbukuan
Sebagai perusahaan berbadan hukum, bank melakukan penghapusbukuan atas investasi
ini sesuai prosedur, misalnya melalui RUPS. Disepakati bahwa hapus buku dilakukan 12
bulan kemudian setelah diajukan ke RUPS tahun buku 2009. Hapus buku dilakukan pada
tanggal 31 Mei 2010. Maka jurnal penghapusbukuan pembiayaan musyarakah menurun
adalah sebagai berikut.
158
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.8) terdapat beberapa akun terkait transaksi pembiayaan
musyarakah. Akun tersebut adalah pembiayaan musyarakah, piutang bagi hasil, cadangan
kerugian penurunan nilai pembiayaan musyarakah,
1. Pembiayaan musyarakah disajikan sebesar saldo pembiayaan musyarakah nasabah kepada
bank. Tagihan kepada mitra aktif yang disebabkan akibat kelalaian atau penyimpangan
mitra aktif (nasabah) disajikan sebagai bagian dari pembiayaan musyarakah. Pembiayaan
musyarakah yang diakhiri sebelum jatuh tempo atau sudah berakhir dan belum diselesaikan
oleh nasabah tetap disajikan sebagai bagian dari pembiayaan musyarakah.
2. Piutang bagi hasil disajikan sebagai bagian dari aset lainnya pada saat nasabah tergolong
performing. Sedangkan, apabila nasabah tergolong non-performing maka piutang bagi
hasil disajikan pada rekening administratif.
3. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan Musyarakah disajikan sebagai pos lawan
(contra account) Pembiayaan Musyarakah.
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.9-10), hal-hal yang harus diungkapkan terkait dengan transaksi
pembiayaan berdasarkan musyarakah adalah:
1. Rincian jumlah pembiayaan musyarakah berdasarkan modal mitra, jenis valuta, jenis
penggunaan, sektor ekonomi, status bank dalam pembiayaan musyarakah (mitra pasif),
dan mitra aktif (jika mitra aktif bukan berasal dari salah satu mitra musyarakah).
2. Klasifikasi pembiayaan musyarakah menurut jangka waktu akad pembiayaan, kualitas
pembiayaan, dan tingkat bagi hasil rata-rata.
3. Jumlah dan persentase pembiayaan musyarakah yang diberikan kepada pihak-pihak
berelasi.
159
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
4. Jumlah dan persentase pembiayaan musyarakah yang telah direstrukturisasi dan informasi
lain tentang pembiayaan musyarakah yang direstrukturisasi selama periode berjalan.
5. Kebijakan manajemen dalam pelaksanaan pengendalian risiko portofolio pembiayaan
musyarakah.
6. Besarnya pembiayaan musyarakah bermasalah dan cadangan kerugian penurunan nilai
untuk setiap sektor ekonomi.
7. Kebijakan dan metode yang dipergunakan dalam penanganan musyarakah bermasalah.
8. Ikhtisar pembiayaan musyarakah yang dihapus buku yang menunjukkan saldo awal,
penghapusan selama tahun berjalan, penerimaan atas pembiayaan musyarakah yang telah
dihapusbukukan dan pembiayaan musyarakah yang telah dihapustagih dan saldo akhir
pembiayaan musyarakah yang dihapus buku.
160
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Bank Indonesia. 2006. Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional–MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. Jakarta: DSN-
MUI dan Bank Indonesia.
DSAK IAI. 2002. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah”. Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 106 tentang Akuntansi Musyarakah”.
Jakarta: IAI dan Penerbit Salemba.
Harahap, Sofyan S., Wiroso, Yusuf, M. 2004. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE USAKTI.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2003. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: IAI.
Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah berdasarkan PSAK dan
PAPSI. Jakarta: Grasindo.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan definisi pembiayaan musyarakah.
2. Jelaskan perbedaan antara transaksi dengan skema musyarakah dan yang dengan skema
mudharabah.
3. Jelaskan rukun transaksi musyarakah.
4. Jelaskan perbedaan antara musyarakah menurun dengan musyarakah permanen.
5. Jelaskan perbedaan antara revenue sharing, profit sharing, dan gross profit sharing. Jelaskan
juga kelebihan dan kelemahan masing-masing metode bagi hasil tersebut.
6. Perhatikan dan screen shoot-lah penyajian dan pengungkapan yang berkaitan dengan
transaksi pembiayaan musyarakah di laporan keuangan di salah satu bank syariah.
Analisislah, apakah praktik yang dilakukan sudah mengikuti ketentuan yang terdapat
dalam PSAK 106 maupun PAPSI 2013.
161
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
B. Soal Kasus
Kasus 1
Pada tanggal 12 Januari 20XA, BPRS Bangun Marwah Warga (BMW) dan Bapak Hendra
menandatangani akad musyarakah permanen untuk pembiayaan usaha fotokopi senilai Rp40.000.000,
yang terdiri dari Rp30.000.000 kontribusi BPRS dan Rp10.000.000 kontribusi Bapak Hendra. Bagi
hasil didasarkan pada laba bruto (penjualan dikurangi biaya kertas) dengan nisbah bagi hasil 20%
BPRS dan 80% Bapak Hendra. Bagi hasil disepakati untuk dibayar dan dilaporkan setiap tanggal 20
mulai bulan Februari. Pembiayaan musyarakah disepakati jatuh tempo pada tanggal 20 April 20XA.
Buatlah jurnal untuk transaksi berikut.
1. Tanggal 12 Januari BPRS (saat akad) membuka cadangan pembiayaan musyarakah untuk
Bapak Hendra.
2. Tanggal 12 Januari (saat akad) BPRS membebankan biaya administrasi sebesar 0,2% dari
nilai pembiayaan dan langsung diambil dari rekening Bapak Hendra.
3. Tanggal 20 Januari BPRS mentransfer sebesar Rp30.000.000 ke rekening Bapak Hendra
sebagai pembayaran porsi investasi BPRS.
4. Tanggal 20 Februari 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp5.000.000
dan pada tanggal yang sama membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto.
5. Tanggal 20 Maret 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp4.000.000
dan membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto pada tanggal 25 Maret
20XA.
6. Tanggal 20 April 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp6.000.000
dan pada tanggal yang sama membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba
bruto.
7. Tanggal 20 April 20XA, saat jatuh tempo, Bapak Hendra melunasi pembiayaan musyarakah
sebesar Rp30.000.000 via debit rekening.
Kasus 2
Berikut adalah informasi singkat investasi musyarakah menurun:
• Besarnya investasi BPRS Amanah Rp4.000.000.
• Besarnya investasi nasabah Rp1.000.000.
• Angsuran pokok dibayarkan 10× dalam setiap bulan @ Rp400.000.
• Bagi hasil ditentukan berdasarkan nisbah dari laba bruto 60% untuk Nasabah dan 40%
untuk Bank.
• Pencairan dilakukan 10 Januari 2015.
• Angsuran pokok dan bagi hasil dijadwalkan dibayar setiap tanggal 10, yaitu tanggal 10
Februari 2015 s.d. 11 November 2015.
162
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
Diminta:
Buatlah jurnal untuk transaksi-transaksi berikut!
1. Tanggal 10 Januari 2015, bank melakukan pencairan ke rekening nasabah.
2. Pada tanggal 31 Januari, bank melakukan penilaian atas kualitas aset dan membentuk
penyisihan kerugian sebesar 1%.
3. Selama bulan Februari, Maret, dan April, nasabah secara rutin mengangsur pokok dan
bagi hasil kepada bank syariah dengan jumlah sebagai berikut.
Bulan Jumlah Laba Bruto (Rp) Porsi Bank 40% (Rp) Jumlah Angsuran Pokok
Februari 300.000 120.000 400.000
Maret 200.000 80.000 400.000
April 150.000 60.000 400.000
4. Tanggal 10 Mei 2015, nasabah tidak mengangsur pokok dan bagi hasil. Realisasi profit
adalah Rp0. Diketahui 7 hari kemudian, usaha nasabah berhenti total karena kebakaran
akibat kecerobohan nasabah. Atas kejadian ini, bank menentukan kolektibilitas 5 pada
investasi yang disalurkan tersebut. Hitung penyisihan yang harus dibentuk, berapa
kekurangan penyisihannya serta buatlah jurnal penyisihan penghapusan.
5. Berdasarkan persetujuan RUPS, pada tanggal 31 Mei 2016, dilakukan penghapusbukuan
investasi musyarakah menurun.
163
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
2. Tanggal 12 Januari (saat akad) BPRS membebankan biaya administrasi sebesar 0,2% dari
nilai pembiayaan dan langsung diambil dari rekening Bapak Hendra.
164
Akuntansi Transaksi Pembiayaan Musyarakah
4. Tanggal 20 Februari 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar
Rp5.000.000 dan pada tanggal yang sama membayarkan secara tunai porsi bank
sebesar 20% dari laba bruto.
5. Tanggal 20 Maret 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp4.000.000
dan membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto pada tanggal 25 Maret
20XA.
165
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
6. Tanggal 20 April 20XA Bapak Hendra melaporkan laba bruto usahanya sebesar
Rp6.000.000 dan pada tanggal yang sama membayarkan secara tunai porsi bank
sebesar 20% dari laba bruto.
7. Tanggal 20 April 20XA, saat jatuh tempo, Bapak Hendra melunasi pembiayaan
musyarakah sebesar Rp30.000.000 via debit rekening. Jurnal transaksi tersebut adalah
sebagai berikut.
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
166
AKUNTANSI TRANSAKSI
MURABAHAH 9
Pendahuluan
167
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah
keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut
kepada pembeli (PSAK 102 paragraf 5). Definisi ini menunjukkan bahwa transaksi murabahah
tidak harus dalam bentuk pembayaran tangguh (kredit), melainkan dapat juga dalam bentuk
tunai setelah menerima barang, ditangguhkan dengan mencicil setelah menerima barang,
ataupun ditangguhkan dengan membayar sekaligus di kemudian hari (PSAK 102 paragraf 8).
Jual beli spesifik yang diperuntukkan bagi skema pembayaran ditangguhkan biasa disebut
dengan Bai’ Bithaman ’Ajil atau disingkat dengan BBA. Kendati menggunakan istilah berbeda,
dalam praktiknya kedua istilah pada dasarnya mengacu pada transaksi yang sama, yaitu jual
beli dengan pembayaran ditangguhkan. Transaksi murabahah, kendati memiliki fleksibilitas
dalam hal waktu pembayaran, dalam praktik perbankan di Indonesia adalah tidak umum
menggunakan skema pembayaran langsung setelah barang diterima oleh pembeli (nasabah).
Praktik yang paling banyak digunakan adalah skema pembayaran dengan mencicil setelah
menerima barang. Adapun praktik dengan pembayaran sekaligus setelah ditangguhkan
beberapa lama, diterapkan secara selektif pada nasabah pembiayaan dengan karakteristik
penerimaan pendapatan musiman, seperti nasabah yang memiliki usaha pemasok barang
dengan pembeli yang membayar secara periodik.
Dari Shuaib Ar Rumi R.A. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkahan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah.”
Ketentuan syar’i terkait dengan transaksi murabahah, digariskan oleh fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tersebut membahas tentang ketentuan umum
murabahah dalam bank syariah, ketentuan murabahah kepada nasabah, jaminan, utang dalam
murabahah, penundaan pembayaran, dan kondisi bangkrut pada nasabah murabahah. Secara
spesifik, ketentuan syar’i tersebut akan dibahas pada bagian rukun transaksi murabahah
berikut.
168
Akuntansi Transaksi Murabahah
ijab dan kabul berupa pernyataan kehendak masing-masing pihak, baik dalam bentuk ucapan
maupun perbuatan.
Transaktor
Adanya pihak yang bertransaksi (transaktor) merupakan rukun transaksi murabahah. Transaktor
dalam transaksi murabahah terdiri atas pembeli (yaitu nasabah yang memerlukan barang)
dan penjual (yaitu bank syariah). Dalam fikih muamalah, transaktor disyaratkan memiliki
kompetensi berupa akil baligh dan kemampuan memilih yang optimal, seperti tidak gila, tidak
sedang dipaksa, dan lainnya. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan
dengan izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan jual beli, DSN membolehkan bank
meminta nasabah untuk membayar uang muka (urbun) saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan. Kebijakan meminta uang muka diterapkan secara ketat pada transaksi murabahah
yang pembelian asetnya dilakukan oleh bank. Pada umumnya, nilai uang muka yang diterapkan
adalah 30% dari harga perolehan. Penerapan uang muka pada dasarnya adalah untuk menguji
kemampuan finansial nasabah pada saat transaksi murabahah diadakan. Pada segmen nasabah
tertentu yang memiliki risiko rendah (misal pegawai pemerintah atau pegawai dari institusi
yang dianggap mapan secara finansial), beberapa bank tidak menerapkan ketentuan uang muka
secara ketat. Adanya uang muka juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kerugian bank akibat
pembatalan nasabah membeli barang yang sudah dipesan dan diperoleh bank. Sekiranya terdapat
kerugian bank akibat pembatalan pembelian, bank dapat mengurangi uang muka sebesar
kerugian yang ditanggung oleh bank. Adapun jika uang muka tidak mencukupi untuk menutupi
kerugian Bank, DSN membolehkan bank meminta sisa kerugiannya kepada nasabah.
Fatwa DSN MUI tentang Murabahah membolehkan bank syariah meminta nasabah untuk
menyediakan jaminan yang dapat disimpan oleh bank. Penyerahan jaminan dapat dilakukan ketika
transaksi pemesanan maupun ketika akad jual beli sudah dilakukan. Jaminan tersebut bertujuan
agar nasabah serius dengan pesanannya maupun dengan pelunasan piutangnya. Dalam praktik,
biasanya jaminan yang digunakan adalah barang yang dibeli atau tanda kepemilikan harta tertentu
seperti sertifikat tanah atau tanda kepemilikan kendaraan yang dapat menutup biaya kerugian yang
ditanggung bank sekiranya terjadi kegagalan pembayaran angsuran.
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 17, nasabah tidak dibenarkan menunda-nunda pembayaran,
termasuk dalam pembayaran piutang murabahah. Penundaan pembayaran oleh nasabah
pembiayaan di satu sisi dapat mengganggu bank syariah dalam operasinya dan di lain sisi
merugikan nasabah penabung karena tidak jadi mendapatkan keuntungan bagi hasil yang
semestinya mereka terima. Atas pertimbangan ini, DSN MUI membolehkan bank syariah
menerapkan sanksi berupa denda sejumlah uang tertentu kepada nasabah yang menunda-nunda
menunaikan kewajibannya padahal memiliki kemampuan untuk melunasi kewajibannya.
Sanksi yang dikenakan atas penundaan pembayaran didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu
agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Dengan demikian, nasabah
yang tidak atau belum mampu membayar karena kondisi force majeur tidak boleh dikenai
sanksi. Bagi bank syariah, dana denda yang diterima harus diperuntukkan sebagai dana sosial
(Fatwa DSN Nomor 17 Tahun 2000).
169
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Objek Murabahah
Rukun objek akad transaksi murabahah meliputi barang dan harga barang yang diperjualbelikan.
Terkait dengan barang, fatwa DSN Nomor 4 menyatakan bahwa dalam jual beli murabahah,
barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang diharamkan oleh syariah Islam. DSN
mensyaratkan bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan harus
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian kepada nasabah, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.
Menurut fatwa DSN, bank harus memiliki terlebih dahulu aset yang akan dijualnya kepada
nasabah. Pemilikan barang dapat dilakukan sebelum adanya pesanan maupun setelah pesanan
(PSAK 102 mengenai Akuntansi Murabahah paragraf 6). Pemilikan barang oleh bank sebelum
adanya pesanan disebut dengan murabahah tanpa pesanan, sedangkan pemilikan barang
oleh bank setelah adanya pesanan dinamakan dengan murabahah dengan pesanan. Dalam
teori, murabahah dengan pesanan terbagi atas dua, yaitu yang bersifat mengikat dan bersifat
tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesan (PSAK 102 paragraf 7). Dalam
praktik perbankan, umumnya barang yang dipesan nasabah bersifat mengikat untuk dibeli
oleh nasabah. Dengan pertimbangan kepraktisan dan menghindari kesalahan spesifikasi yang
diinginkan nasabah, DSN membolehkan bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga atas nama bank. Hal ini diperbolehkan dengan catatan akad jual
beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. Transaksi
mewakilkan pembelian barang kepada nasabah biasanya didasarkan atas akad wakalah (fatwa
DSN Nomor 10 Tahun 2000). Dalam hal ini, aspek syariah yang harus diperhatikan adalah
pembelian tersebut adalah atas nama bank. Dengan demikian, saat jual beli antara bank dengan
nasabah dilakukan, barang yang dijual adalah barang milik bank.
Selanjutnya, bank menjual barang dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya.
Dalam hal ini, fatwa DSN Nomor 4 mensyaratkan bank memberi tahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah, berikut biaya yang diperlukan. Selanjutnya, nasabah membayar harga
barang tersebut berdasarkan jangka waktu dan metode pembayaran yang telah disepakati.
Berdasarkan PAPSI 2003, metode pengakuan pendapatan margin murabahah yang dianjurkan
adalah metode proporsional yang mengakui pendapatan secara proporsional atas jumlah piutang
yang berhasil ditagih (PSAK 102 paragraf 24). Akan tetapi, pada kenyataannya, sebagian bank
ada yang menggunakan metode anuitas. Perbedaan pilihan pendekatan yang digunakan oleh bank
lebih terkait dengan kebijakan insentif bagi hasil kepada nasabah pihak ketiga. Sekiranya bank
cenderung memberikan bagi hasil yang lebih tinggi kepada nasabah pihak ketiga atau berorientasi
pada penghimpunan, penggunaan tabel anuitas merupakan pilihan yang tepat. Akan tetapi jika
bank tidak dalam kondisi ekspansi penghimpunan dana pihak ketiga, maka penggunaan secara
proporsional relatif lebih tepat untuk digunakan. Oleh karena kedua pendekatan tersebut pada
prinsipnya tidak berbeda untuk jangka panjang, bank syariah hampir tidak mengubah kebijakan
perhitungan margin yang sudah ditetapkan kendati dapat memiliki implikasi jangka pendek
terhadap bagi hasil kepada nasabah penghimpunan dana. Dalam perkembangannya PAPSI 2013
(h. 4.2) mengakomodasi kedua pendekatan tersebut tanpa menyebutkan bahwa salah satunya
adalah lebih dianjurkan.
‘Pengakuan pendapatan murabahah secara non-tunai dapat menggunakan metode anuitas
(efektif) atau metode proporsional (flat)’.
170
Akuntansi Transaksi Murabahah
Pelunasan piutang umumnya dilakukan dengan mencicil setiap bulan dengan jumlah yang
sama. Pada pelunasan piutang dengan angsuran, nasabah diwajibkan membayar angsuran
sebelum waktu jatuh tempo angsuran dengan cara mengisi rekening tabungannya. Selanjutnya,
bank melakukan penarikan dana di tabungan nasabah sebesar utang angsurannya yang jatuh
tempo. Pada sebagian bank, penarikan dana tabungan nasabah ada yang dilakukan langsung
pada saat tanggal jatuh tempo dan ada pula yang dilakukan beberapa hari setelah waktu jatuh
tempo. Pada bank yang berkepentingan untuk memperbaiki kinerja Dana Pihak Ketiga (DPK)
yang dihimpun, akan cenderung untuk menunda penarikan angsuran nasabah.
Jumlah angsuran piutang oleh nasabah biasanya adalah sama setiap bulan. Dalam administrasi
bank, adanya pembayaran angsuran piutang berarti adanya pengakuan pendapatan margin
murabahah dalam bentuk kas yang selanjutnya pendapatan tersebut akan dibagi antara bank
dan nasabah pemilik dana (penabung dan deposan yang menempatkan dana di bank dengan
akad mudharabah).
Sesuai dengan Fatwa DSN Nomor 17 Tahun 2000, bank syariah diperbolehkan
mengenakan denda pada nasabah yang sengaja menunda-nunda pembayaran kewajibannya.
Dalam hal ini, pengenaan denda lebih bertujuan untuk mendidik kedisiplinan dan tanggung
jawab nasabah, karena denda yang diterima tidak boleh masuk dalam pendapatan bank
syariah. Denda yang dikenakan selanjutnya dijadikan sebagai penambah dana kebajikan
untuk disalurkan kepada masyarakat.
Dalam praktik, terdapat beragam kebijakan penentuan besaran denda. Sebagian bank
menentukan besaran denda sebesar persentase tertentu terhadap pendapatan margin yang
tertunggak tanpa dikaitkan dengan jumlah hari keterlambatan, sedang sebagian lagi menentukan
besaran denda dengan persentase yang sangat kecil terhadap total kewajiban yang tertunggak dan
mengaitkannya dengan jumlah hari keterlambatan. Kendati demikian, dalam praktiknya bank
syariah sangat hati-hati menerapkan ketentuan denda. Sejauh ini, bank lebih mengedepankan
pendekatan persuasif dengan mengingatkan nasabah untuk memenuhi kewajibannya. Oleh
karenanya, beberapa bank syariah hampir tidak menerapkan kebijakan dendanya kepada
nasabah. Dalam situasi nasabah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank
menunda tagihan pembiayaan sampai menjadi sanggup kembali.
1
Berbagai item yang terdapat dalam akad murabahah ini juga digunakan pada skema transaksi yang lain dengan
penyesuaian pada aspek khusus skema yang digunakan.
171
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
harga beli, margin keuntungan, surat pengakuan pembayaran, masa berlakunya surat
pembayaran, dokumen jaminan, jangka waktu perjanjian, hari kerja bank, pembukuan
pembiayaan, surat penawaran (offering letter), surat permohonan realisasi pembiayaan,
cedera janji, dan penggunaan fasilitas pembiayaan.
5. Kesepakatan-kesepakatan yang disepakati, meliputi kesepakatan tentang fasilitas
pembiayaan dan penggunaannya, pembayaran dan jangka waktu, realisasi fasilitas
pembiayaan, pengutamaan pembayaran, biaya dan pengeluaran, jaminan, syarat-
syarat penarikan fasilitas pembiayaan, peristiwa cedera janji, pernyataan dan jaminan,
kesepakatan untuk tidak berbuat sesuatu, penggunaan fasilitas pembiayaan, pajak-pajak,
dan penyelesaian sengketa.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS, menuntut bank syariah untuk hati-
hati dalam melakukan transaksi jual beli murabahah dengan para nasabah. Di samping itu, bank
juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan
DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.
Gambaran transaksi murabahah dapat dilihat pada Figur 9.1 dengan alur sebagai berikut.
Pertama, dimulai dari pengajuan pembelian barang oleh nasabah. Pada saat itu, nasabah
menegosiasikan harga barang, margin, jangka waktu pembayaran, dan besar angsuran
per bulan.
172
Akuntansi Transaksi Murabahah
1. Negosiasi
2. Akad Murabahah
5. kirim dokumen
3. Beli barang
PEMASOK
4. kirim barang
Ketiga, setelah akad disepakati pada murabahah dengan pesanan, bank selanjutnya
melakukan pembelian barang kepada pemasok. Akan tetapi, pada murabahah tanpa
pesanan, bank dapat langsung menyerahkan barang kepada nasabah karena telah
memilikinya terlebih dahulu. Pembelian barang kepada pemasok dalam murabahah
dengan pesanan dapat diwakilkan kepada nasabah atas nama bank. Dokumen pembelian
barang tersebut diserahkan oleh pemasok kepada bank
Keempat, barang yang diinginkan oleh pembeli selanjutnya diantar oleh pemasok kepada
nasabah pembeli.
173
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Pembahasan teknis perhitungan dan penjurnalan transaksi jual beli murabahah akan
didasarkan pada Kasus 9.1 berikut.
174
Akuntansi Transaksi Murabahah
Pada tanggal 5 Januari 20XA, PT HANIYA melakukan negosiasi dengan Bank Murni
Syariah untuk memperoleh fasilitas Murabahah dengan pesanan untuk pembelian
kendaraan sebuah mobil dengan rencana sebagai berikut.
Harga Barang Rp 100 juta
Uang muka Rp 10 juta (10% dari harga barang)
Pembiayaan oleh bank Rp 90 juta
Margin Rp 18 juta
Harga jual Rp 118 juta (harga barang plus margin)
Jangka waktu 24 bulan
Biaya administrasi 1 % dari pembiayaan oleh bank
Misalkan, dengan menggunakan data murabahah dengan pesanan di atas (total piutang
Rp118 juta; uang muka Rp10 juta, jangka waktu 24 bulan), maka:
175
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Dalam PSAK 102 paragraf 24 disebutkan bahwa persentase keuntungan dihitung dengan
perbandingan antara margin dan biaya perolehan aset murabahah. Menurut pandangan
penulis, penggunaan persentase keuntungan dari perbandingan margin dengan biaya
perolehan aset murabahah tidaklah praktis untuk diterapkan terutama dalam melakukan
perhitungan margin yang diakui oleh bank pada saat adanya angsuran oleh nasabah. Untuk itu
perhitungan persentase keuntungan sebaiknya diambil dari perbandingan margin dengan
total piutang diluar uang muka yang telah dibayar nasabah
Perhitungan persentase keuntungan dari perbandingan margin dengan total piutang adalah
sebagai berikut ditunjukkan oleh rumus berikut.
Total Margin
Persentase keuntungan = × 100%
Total Piutang Neto
176
Akuntansi Transaksi Murabahah
Rp. 18.000.000
= × 100%
Rp108.000.000
= 16,666666 %
Penggunaan pendekatan ini akan sangat membantu dalam hal perhitungan margin perbulan
yang dihitung proporsional terhadap jumlah yang dibayar.
Margin per bulan = persentase keuntungan × angsuran per bulan
= 16,6666666 % × Rp4.500.000
= Rp750.000
Dengan demikian, untuk setiap pembayaran angsuran sebesar Rp4.500.000 per bulan,
terkandung di dalamnya margin sebesar Rp750.000.dan pokok sebesar Rp3.750.000.
Berdasarkan perhitungan angsuran, pokok dan margin per bulan di atas, bank selanjutnya
menyiapkan skedul pembayaran murabahah untuk PT HANIYA seperti terlihat pada Tabel 9.1.
177
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Saat Negosiasi
Pada waktu negosiasi, bank syariah tidak melakukan jurnal apa pun mengingat negosiasi
tersebut belum memiliki implikasi terhadap posisi keuangan bank syariah.
178
Akuntansi Transaksi Murabahah
*sekiranya pemasok memiliki rekening di bank syariah, maka pembayaran akan dilakukan via rekening. Akan tetapi,
jika pemasok tidak memiliki rekening di bank syariah, maka pembayaran akan dibayar dengan menyerahkan sejumlah
kas.
179
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Selanjutnya, jurnal saat pelunasan utang pada pemasok adalah sebagai berikut.
Berdasarkan PSAK 102 paragraf 22, piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan aset
murabahah ditambah keuntungan yang disepakati. Adapun jurnalnya adalah sebagai berikut:
180
Akuntansi Transaksi Murabahah
* Margin murabahah yang ditangguhkan, disajikan di neraca sebagai pengurang piutang murabahah. Cara penyajiannya
sama dengan penyajian akumulasi depresiasi aset tetap. Margin murabahah yang ditangguhkan akan berkurang
apabila telah jatuh tempo atau dibayar.
181
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
182
Akuntansi Transaksi Murabahah
102 paragraf 23 (a)]. Jika murabahah dilakukan dengan transaksi tangguh lebih dari satu tahun,
terdapat beberapa alternatif metode pengakuan yang sesuai dengan karakteristik risiko dan
upaya transaksi murabahahnya [PSAK 102 paragraf 23 (b)]. Beberapa metode tersebut adalah
sebagai berikut.
(i) Keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah. Metode ini diterapkan untuk
murabahah tangguh dimana risiko penagihan kas dari piutang murabahah dan beban
pengelolaan piutang serta penagihannya relatif rendah.
(ii) Keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang
murabahah. Metode ini diterapkan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko
piutang tidak tertagih relatif besar dan/atau beban untuk mengelola dan menagih
piutang tersebut relatif besar juga.
(iii) Keuntungan diakui saat seluruh piutang murabahah berhasil ditagih. Metode ini
diterapkan untuk transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak tertagih
dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar. Dalam praktik
metode ini jarang dipakai karena transaksi murabahah tangguh mungkin tidak terjadi
bila tidak ada kepastian yang memadai akan penagihan kasnya.
Pada praktik di bank untuk penerapan PSAK 102 paragraf 23 (b) butir (i) sampai (iii) terkait
dengan risiko adalah dengan melakukan pengukuran risiko pembiayaan sejak awal pembiayaan
diberikan. Secara umum, risiko pembiayaan dapat dinilai dari mitigasi yang dilakukan bank,
yaitu credit scoring dan agunan. Credit scoring merupakan instrumen standar (best practices)
dan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia tentang manajemen risiko kredit. Credit
scoring mengukur risiko dari profil nasabah dan dibuat spesifik sesuai produk bank yang
bersangkutan.
Agunan tertentu seperti deposito atau emas dapat menjadi mitigasi risiko yang mengurangi
risiko pembiayaan menjadi nihil. pertimbangan lain yang disusun bank dalam menyusun risiko
adalah risk rating sesuai industri dan kondisi ekonomi yg diperbarui (update) berkala. Untuk
pembiayaan dengan kualitas memburuk (dari lancar menja di non-perform), bank melakukan
switching skedul pengakuan pendapatan dengan mengakui margin di belakang. Semua hal ini
dilakukan untuk menyelamatkan aset bank (aset produktif) sehingga rasio non-performing
financing (NPF) dapat ditekan.
Dalam perbankan, praktik akuntansi yang cenderung digunakan dalam hal pengakuan
keuntungan adalah alternatif yang terdapat pada paragraf 23 (b) butir (ii), yaitu pengakuan
keuntungan proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih. Hal ini disebabkan karena
nasabah cenderung melunasi piutang dalam jangka waktu lebih satu tahun. Selain itu, dengan
menggunakan prinsip konservatisma, bank cenderung menilai tinggi terhadap risiko piutang
murabahah tidak tertagih. Berikut akan dibahas praktik akuntansi metode pengakuan keuntungan
proporsional dengan besar kas yang berhasil ditagih. Adapun dua metode pengakuan pendapatan
yang lain akan dibahas pada bagian variasi transaksi murabahah bab ini.
Misalnya, dalam kasus piutang murabahah PT Haniya, bank memilih untuk menggunakan
metode pengakuan keuntungan proporsional terhadap kas yang berhasil ditagih. Seiring
berjalannya waktu, realisasi pembayarannya yang dibandingkan dengan skedul pembayarannya,
ditunjukkan pada tabel berikut.
183
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Angsuran per
Tanggal Jatuh Pokok Margin Tanggal
No. Bulan Jumlah yang Dibayar
Tempo (Rp) (Rp) Pembayaran
(Rp)
1. 10/02/XA 4.500.000 3.750.000 750.000 10/02/XA 4.500.000
2. 10/03/XA 4.500.000 3.750.000 750.000 20/03/XA 4.500.000
10/04/XA 2.000.000
3. 10/04/XA 4.500.000 3.750.000 750.000
15/04/XA 2.500.000
4. 10/05/XA 4.500.000 3.750.000 750.000 30/05/XA 4.500.000 plus denda
Pelunasan dini
5. 10/06/XA 4.500.000 3.750.000 750.000 10/06/XA
(Rp90.000.000) minus potongan
Berdasarkan skedul diatas, terdapat beberapa pola pembayaran oleh nasabah. Pola pembayaran
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pembayaran angsuran dilakukan pada waktu tanggal jatuh tempo. Pola ini ditunjukkan oleh
pembayaran pada bulan Februari.
2. Pembayaran angsuran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo tanpa dikenakan denda. Pola
ini ditunjukkan oleh pembayaran pada bulan Maret.
3. Pembayaran angsuran dilakukan sebagian pada waktu tanggal jatuh tempo dan sebagian
lagi setelah jatuh tempo tanpa dikenakan denda. Pola ini ditunjukkan oleh pembayaran pada
bulan April.
4. Pembayaran angsuran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo dengan pengenaan denda
keterlambatan. Pola ini ditunjukkan oleh pembayaran pada bulan Mei.
5. Pembayaran untuk melunasi piutang lebih awal dari waktu yang ditentukan (pelunasan dini).
Pola ini ditunjukkan oleh pembayaran pada bulan Juni.
Misalkan pada saat jatuh tempo tanggal 10 Februari, nasabah membayar angsuran
sebesar Rp4.500.000. Dengan menggunakan perhitungan kasus 7.1 dan jadwal
pembayaran pada Tabel 9.2, pada angsuran nasabah per bulan Rp4.500.000, terdapat
pendapatan margin sebesar Rp750.000, maka jurnal untuk transaksi tersebut adalah
sebagai berikut.
184
Akuntansi Transaksi Murabahah
* Margin murabahah yang ditangguhkan dilaporkan di neraca sebagai pengurang piutang murabahah.
Dalam laporan keuangan bank syariah, semua piutang murabahah net telah dikurangi terlebih dahulu
dengan margin murabahah yang ditangguhkan. Akan tetapi terkadang bank tidak mengeksplisitkan
adanya akun margin murabahah yang ditangguhkan.
** Pendapatan margin murabahah dilaporkan di laporan laba rugi pada bagian pendapatan pengelolaan dana
sebagai mudharib. Jika pendapatan margin murabahah telah berwujud kas, maka jumlah tersebut dapat
diikutsertakan dalam perhitungan bagi hasil dengan nasabah penghimpunan dana yang menggunakan
akad mudharabah (pembahasan lebih lanjut lihat bab 15 tentang perhitungan bagi hasil).
(ii) Pembayaran angsuran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo tanpa dikenakan
denda
Misalkan pada pembayaran bulan Maret, hingga tanggal jatuh tempo, bank belum
menerima pembayaran angsuran dari nasabah. Pembayaran angsuran baru dilakukan
oleh nasabah pada tanggal 20 Maret, sebesar Rp4.500.000. Oleh karena nasabah
memberi alasan yang dapat diterima, bank menoleransi keterlambatan tersebut dan
tidak mengenakan denda. Jurnal untuk transaksi tersebut adalah sebagai berikut.
Pada saat jatuh tempo, bank mencatat dua pasang jurnal, yaitu pengakuan
terhadap perubahan piutang murabahah menjadi piutang murabahah jatuh tempo,
dan pengakuan terhadap perubahan margin yang ditangguhkan menjadi pendapatan
margin murabahah akrual. Selanjutnya, pada saat pendebitan rekening nasabah, bank
mengakui berkurangnya piutang murabahah jatuh tempo dan terjadinya perubahan
pendapatan margin akrual menjadi pendapatan margin.
Pendapatan margin murabahah akrual adalah pendapatan margin yang sudah
menjadi hak bank karena jatuh temponya angsuran piutang, akan tetapi belum
berwujud kas karena belum adanya penerimaan atas angsuran piutang tersebut.
PAPSI 2013 tidak membedakan antara pendapatan margin murabahah yang sudah
berwujud kas maupun belum. Keduanya digabung dalam satu rekening, yaitu
pendapatan margin murabahah. Pemisahan yang masih bersifat akrual dan kas dalam
buku ini lebih bersifat praktis untuk keperluan bagi hasil yang hanya menggunakan
pendapatan berwujud kas.
185
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
(iii) Pembayaran angsuran dilakukan sebagian pada waktu tanggal jatuh tempo
dan sebagian lagi setelah jatuh tempo tanpa dikenakan denda
Sering kali, nasabah baru bisa membayar sebagian dari jumlah angsuran yang harus
dibayar. Dalam kondisi ini, bagian angsuran piutang yang belum dibayar berubah
menjadi piutang murabahah jatuh tempo. Adapun jumlah margin murabahah yang
ditangguhkan sebagian berubah menjadi pendapatan margin sebesar proporsional
terhadap jumlah yang dibayar dan sebagian lagi berubah menjadi pendapatan margin
murabahah akrual sebesar proporsional terhadap jumlah yang belum dibayar.
Misalkan pada tanggal 10 April (tanggal jatuh tempo), ketika bank hendak
mendebit rekening nasabah, didapati tidak terdapat dana yang cukup di rekening
PT Haniya untuk membayar angsuran bulan April. Saldo rekening yang tersedia
hanya Rp2.025.000 dan BMS maksimal hanya dapat mendebit rekening sebesar
Rp2.000.000. Maka jurnal yang diperlukan adalah sebagai berikut:
186
Akuntansi Transaksi Murabahah
187
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
(v) Pembayaran untuk melunasi piutang lebih awal dari waktu yang ditentukan
(pelunasan dini)
188
Akuntansi Transaksi Murabahah
(2) penerimaan pembayaran sebesar piutang murabahah yang telah diberi diskon; (3)
pengakuan pendapatan margin murabahah.
Berdasarkan PSAK no. 102 paragraf 28, potongan angsuran murabahah diakui sebagai
pengurang keuntungan murabahah jika diberikan karena pembeli membayar secara
tepat waktu atau lebih cepat dari yang disepakati.
Selain dengan cara pengakuan potongan dengan cara mengakui adanya beban potongan
seperti yang contoh diatas yang diberikan, alternatif lain adalah dengan mereverse
pendapatan margin sebesar jumlah potongan. Metode mereverse pendapatan margin
tidak diintrodusir dalam PAPSI 2013, sehingga tidak dijelaskan lebih lanjut dalam
buku edisi ini sebagaimana pernah dijelaskan dalam edisi yang pertama.
189
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Terkait potongan piutang murabahah PAPSI 2013 (h. 4.9) menyatakan bahwa
potongan pelunasan piutang Murabahah diakui sebagai pengurang pendapatan
murabahah pada saat pelunasan sebesar jumlah yang diberikan. Jika potongan
pembayaran cicilan piutang murabahah diberikan kepada nasabah:
i. karena membayar cicilan tepat waktu, maka potongan pembayaran diakui
sebagai pengurang pendapatan murabahah; dan/atau
ii. karena adanya penurunan kemampuan pembayaran oleh nasabah, maka
potongan pembayaran diakui sebagai beban bank.
Perbedaan ini memiliki implikasi pada pendapatan yang dibagihasilkan. Jika
diperlakukan sebagai pengurang pendapatan murabahah, pendapatan yang
dibagihasilkan relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode potongan sebagai
beban bank, karena potongan tersebut akan mengurangi jumlah pendapatan yang
akan dibagi hasil. Adapun pada metode potongan sebagai beban bank, pendapatan
yang dibagi hasil tidak terpengaruh, karena potongan yang diberikan seluruhnya
ditanggung oleh bank syariah sebagai bagian beban operasional.
Dalam praktik perbankan, terdapat tiga macam alternatif mekanisme perlakuan uang muka.
Pertama dengan mendebit langsung uang muka yang disepakati tersebut, kedua memblokir
rekening nasabah sebesar nilai yang disepakati, dan ketiga uang muka dipegang dan dibayar
langsung oleh nasabah kepada pemasok. Perlakuan alternatif pertama telah dibahas pada bagian
terdahulu. Berikut akan dibahas dua alternatif lainnya.
1. Memblokir rekening nasabah sebesar nilai uang muka yang disepakati
Pada praktik pemblokiran rekening, bank tidak melakukan penjurnalan. Uang yang terdapat
dalam rekening tabungan nasabah masih utuh tanpa dikurangi oleh bank. Hanya saja dengan
adanya pemblokiran tersebut, nasabah hanya dapat mengambil sebagian tabungannya saja
hingga menyisakan dana minimal sebesar nilai uang muka yang disepakati. Sekiranya akad
murabahah jadi disepakati, maka dana tabungan nasabah akan ditarik oleh bank sebesar
nilai uang muka, sebagai pengurang piutang atau harga jual. Uang muka dengan pendekatan
pemblokiran ini bank tidak memerlukan adanya jurnal.
2. Uang muka tidak diserahkan pada bank, tetapi dipegang dan dibayar langsung oleh nasabah
kepada pemasok
Pada perlakuan uang muka yang dipegang dan dibayar langsung oleh nasabah kepada pemasok,
bank tidak melakukan jurnal terhadap uang muka yang dipegang oleh nasabah tersebut. Dalam
hal ini, akad jual beli tetap dinyatakan sebesar Rp118.000.000, akan tetapi untuk kepraktisan
akuntansi, dalam buku bank dicatat sebesar Rp108.000.000 (pembiayaan bank Rp90.000.000
dan margin Rp18.000.000) dengan memberi keterangan bahwa uang muka sudah dibayar
langsung oleh nasabah kepada pemasok tanpa melalui bank. Dengan demikian, besar margin
dan angsuran per bulan adalah tetap sebesar Rp750.000 dan Rp4.500.000 berturut-turut.
190
Akuntansi Transaksi Murabahah
Pengakuan uang muka sebagai bagian pelunasan piutang murabahah dilakukan sesuai dengan
metode pencatatan uang muka sebelum akad murabahah disepakati yaitu alternatif 1 jika uang
muka di debit langsung dari rekening sebesar yang disepakati, alternatif 2, jika rekening diblokir
sebesar uang muka yang disepakati, alternatif 3 jika uang muka dipegang dan dibayarkan sendiri
oleh nasabah kepada pemasok. Berikut akan dibahas dua alternatif terakhir, adapun alternatif
pertama telah dibahas pada bagian terdahulu.
1. Alternatif jika rekening diblokir sebesar uang muka yang disepakati
Dalam hal ini pemblokiran hanya dilakukan hingga akad disepakati. Selanjutnya pada saat
akad disepakati, bank mendebit rekening nasabah dan menjadikannya sebagai bagian dari
pelunasan piutang. Jurnal yang digunakan saat mendebit rekening nasabah adalah sebagai
berikut.
2. Alternatif jika uang muka dipegang dan dibayarkan sendiri oleh nasabah kepada pemasok
Transaksi ini biasanya didahului dengan pembelian barang dengan mewakilkan kepada
nasabah pembeli. Karena uang muka dipegang oleh nasabah pembeli, uang yang diserahkan
pada nasabah pembeli hanyalah sebesar pembiayaan oleh bank.
Misalkan, pada transaksi murabahah PT Haniya sebelumnya, karena uang muka sebesar
Rp10.000.000 dipegang sendiri oleh PT Haniya, maka bank syariah mewakilkan
pembelian aset murabahah dengan menyerahkan uang sebesar Rp90.000.000. Jurnal
transaksi tersebut adalah sebagai berikut.
*Adanya pembayaran uang muka sebesar Rp10.000.000 yang langsung dilakukan oleh nasabah bisa berdampak
pada perbedaan catatan akuntansi sebesar Rp90.000.000 dengan bukti pembelian sebesar Rp100.000.000. Dalam
hal ini, baik pada catatan akuntansi maupun dokumen pembelian perlu ditulis keterangan tambahan terkait
dengan pembayaran uang muka sebesar Rp10.000.000 yang langsung dilakukan oleh nasabah.
191
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Dalam hal ini, bank tidak perlu mengakui dan mengukur nilai uang muka yang digunakan
nasabah dalam jurnal. Dengan demikian, jurnal saat penjualannya adalah sebagai berikut.
192
Akuntansi Transaksi Murabahah
2. Alternatif: Pengakuan pendapatan hanya pada saat piutang murabahah berhasil ditagih
seluruhnya
Alternatif ini diterapkan jika transaksi murabahah tangguh dimana risiko piutang tidak
tertagih dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya cukup besar.
Misalkan pada transaksi murabahah PT Haniya di atas, bank menilai bahwa risiko
penagihan kas dari piutang murabahah dan beban pengelolaan piutang serta penagihannya
cukup besar, maka pengakuan pendapatannya dilakukan saat seluruh piutang murabahah
berhasil ditagih. Beberapa jurnal terkait dengan transaksi tersebut adalah sebagai berikut.
193
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Nominal LC : $100,000.00
jenis LC : LC sight (bayar saat dokumen barang sesuai syarat penerimaan)
periode : 3 bulan (bank membayar tunai kpd supplier (eksportir) di luar negeri,
nasabah tangguh kepada bank)
terbit LC : 6-May-09
jatuh tempo : 6 Agt 2009
rate bank : 4%
Skema praktik transaksi LC terdiri atas beberapa langkah, yaitu sebagai berikut.
1. Nasabah bank (importir) mengajukan LC atas pembelian barang dari supplier di luar
negeri.
2. Setelah melewati prosedur pembiayaan, bank setuju menerbitkan LC. Saat terbit LC, bank
mencatat sebagai komitmen bank (rekening administratif).
3. Saat LC dikonfirmasi di luar negeri, bank membayar kepada bank beneficiary atas petunjuk
eksportir.
4. Saat bank membayar kepada bank beneficiary, akad murabahah pembiayaan dimulai.
5. Nasabah membayar bank sesuai skedul yang telah ditetapkan.
1. Saat penerbitan LC
194
Akuntansi Transaksi Murabahah
(mencatat kewajiban kpd beneficiary & tagihan kpd nasabah pada neraca)
3. Saat akad murabahah dengan nasabah atas LC
195
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 4.9-10) terdapat beberapa akun terkait pembiayaan murabahah
yang relevan untuk disajikan dalam laporan keuangan.
1. Uang muka murabahah dari pembeli disajikan sebagai liabilitas lainnya.
2. Tagihan kepada nasabah atas pembatalan transaksi murabahah dimana uang muka
nasabah lebih kecil dari beban riil yang dikeluarkan nasabah disajikan sebagai piutang
qardh.
3. Piutang murabahah disajikan sebesar saldo pembiayaan murabahah nasabah kepada
bank.
4. Margin murabahah ditangguhkan disajikan sebagai pos lawan piutang murabahah.
5. Beban potongan pelunasan/angsuran murabahah sebagai pos lawan pendapatan marjin
murabahah.
6. Dalam hal bank menggunakan metode proporsional, pendapatan dan beban yang terkait
langsung dengan transaksi murabahah yang belum diamortisasi, disajikan sebagai liabilitas
lainnya dan aset lainnya.
7. Pendapatan margin murabahah yang akan diterima disajikan sebagai bagian dari aset
lainnya pada saat nasabah tergolong performing. Sedangkan, apabila nasabah tergolong
non-performing maka pendapatan margin murabahah yang akan diterima disajikan pada
rekening administratif.
8. Cadangan kerugian penurunan nilai murabahah disajikan sebagai pos lawan (contra
account) piutang murabahah.
9. Denda (ta’zir) disajikan sebagai komponen dari sumber dana kebajikan (qardhul hasan).
196
Akuntansi Transaksi Murabahah
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 4.14-15), hal-hal yang harus diungkapkan terkait transaksi
pembiayaan dengan skema murabahah antara lain:
1. rincian piutang murabahah berdasarkan jumlah, jangka waktu, jenis valuta, kualitas
piutang, jenis penggunaan, sektor ekonomi dan cadangan kerugian penurunan nilai;
2. jumlah piutang murabahah yang diberikan kepada pihak yang berelasi;
3. kebijakan dan metode akuntansi untuk pengakuan pendapatan, cadangan kerugian
penurunan nilai, penghapusan dan penanganan piutang murabahah yang bermasalah;
4. besarnya piutang murabahah baik yang dibebani sendiri oleh bank maupun secara bersama-
sama dengan pihak lain sebesar bagian pembiayaan bank.
197
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional–MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. DSN-MUI dan
Bank Indonesia.
DSAK IAI. 2002. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah”. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah”. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. “Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 102 tentang Akuntansi Murabahah”.
Jakarta: IAI.
Harahap, Sofyan S., Wiroso, Yusuf, M. 2004. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE USAKTI.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2003. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: IAI.
Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah berdasarkan PSAK dan
PAPSI. Jakarta: Grasindo.
Bank Indonesia. 2006. Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan definisi murabahah.
2. Untuk transaksi apa sajakah murabahah cocok digunakan.
3. Sebutkan landasan syar’i transaksi murabahah.
4. Jelaskan rukun transaksi murabahah.
5. Bolehkah bank syariah mengenakan denda terhadap nasabah mampu, tapi yang menunda-
nunda pembayaran dengan sengaja? Bagaimanakah perlakuan akuntansi terhadap denda
yang dikenakan.
6. Perhatikan dan screen shoot-lah terhadap penyajian dan pengungkapan yang berkaitan
dengan transaksi murabahah di laporan keuangan di salah satu bank syariah. Analisislah
tingkat kesesuaiannya dengan PSAK 102 maupun PAPSI 2013.
B. Soal Kasus
Kasus 1
Pada tanggal 1 Maret 20XA PT Kemal Sejahtera melakukan negosiasi dengan BPRS Khairu
Ilahi untuk memperoleh fasilitas Murabahah dengan pesanan pembelian 1 set server seharga
Rp80.000.000 dengan rencana sebagai berikut:
198
Akuntansi Transaksi Murabahah
Margin Rp7.375.570,25
Diminta:
1. Hitunglah angsuran per bulan yang mesti dibayar oleh PT Kemal Sejahtera.
2. Hitunglah persentase keuntungan dari total piutang neto.
3. Hitunglah besar margin dan pokok piutang dalam setiap angsuran perbulan yang dibayar
oleh PT Kemal Sejahtera jika menggunakan metode proporsional.
Kasus 2
Dengan menggunakan data pada Kasus 1, buatlah jurnal untuk transaksi berikut:
1. Tanggal 3 Maret 20XA, PT Kemal Sejahtera menyerahkan uang muka sebesar Rp20.000.000
kepada BPRS.
2. tanggal 8 Maret 20XA, Untuk keperluan transaksi murabahah dengan PT Kemal Sejahtera,
BPRS melakukan pembelian barang pesanan PT Kemal Sejahtera kepada pemasok senilai
Rp80.000.000 secara tunai.
3. Tanggal 10 Maret, akad jual beli murabahah disepakati antara Bank dan PT Kemal
Sejahtera. Pada saat itu Bank langsung menyerahkan satu set server kepada PT Kemal
Sejahtera.
4. Pada tanggal akad, uang muka yang sebelumnya sudah diterima oleh BPRS diakui sebagai
pengurang piutang murabahah.
5. Pada tanggal akad, nasabah dikenakan biaya administrasi sebesar 0,5% dari pembiayaan
oleh BPRS
6. Tanggal 10 April 20XA, saat jatuh tempo angsuran pertama nasabah membayar sebesar
Rp3.743.087,24
7. Pada pembayaran bulan Mei, hingga tanggal jatuh tempo angsuran kedua, BPRS belum
menerima pembayaran angsuran dari PT Kemal Sejahtera. Pembayaran angsuran baru
dilakukan oleh nasabah pada tanggal 20 Mei, sebesar Rp3.743.087,24 melalui debit
rekening.
8. Tanggal 10 Juni (tanggal jatuh tempo angsuran ketiga), ketika BPRS hendak mendebit
rekening nasabah, didapati tidak terdapat dana yang cukup di rekening PT Kemal Sejahtera
untuk membayar angsuran ketiga. Saldo rekening yang tersedia hanya Rp1.025.000 dan
BPRS mendebit rekening sebesar Rp1.000.000.
199
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Kasus 3
Pada tanggal 3 Maret 20XA, PT Agifira melakukan negosiasi dengan BPRS Arta Makmur
untuk memperoleh fasilitas murabahah dengan pesanan untuk 5 unit Laptop @ Rp10.000.000
dengan rencana sebagai berikut.
Diminta:
1. Hitunglah angsuran per bulan yang mesti dibayar oleh PT Agifira.
2. Hitunglah persentase keuntungan dari total piutang neto.
3. Hitunglah besar margin dan pokok piutang dalam setiap angsuran yang dibayar oleh PT
Agifira jika menggunakan metode proporsional.
200
Akuntansi Transaksi Murabahah
4. Hitunglah besar margin dan pokok piutang dalam setiap angsuran yang dibayar oleh
PT Agifira selama periode berjalan dengan menggunakan metode anuitas. (lihat contoh
perhitungan pada lampiran A bab ini).
5. Jawablah pertanyaan nomor 3 dan 4 dengan menggunakan file Ms. Excel pada CD
pendamping. (Jika diperlukan password untuk unprotect sheet, ketiklah ‘riajahyaya’
{tanpa koma di atas}. Aplikasi ini bisa digunakan untuk pembuatan berbagai variasi soal
oleh dosen atau instruktur.)
201
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Lampiran
202
Akuntansi Transaksi Murabahah
10 %
Angsuran margin bulan I = × Rp100.000.000
12
Angsuran margin bulan I = Rp833.333,33
6. Perhitungan untuk bulan kedua dan seterusnya, mengulangi lagi langkah 3, 4 dan 5.
Perhitungan angsuran margin pada bulan kedua menggunakan data pokok piutang yang
masih berjalan pada bulan sebelumnya (yaitu bulan pertama) yang diperoleh dari hasil
perhitungan langkah 5.
203
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
100,000,000.00
1 20-Jan-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 95,833,333.33
2 20-Feb-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 91,666,666.67
3 20-Mar-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 87,500,000.00
4 20-Apr-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 83,333,333.33
5 20-May-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 79,166,666.67
6 20-Jun-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 75,000,000.00
7 20-Jul-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 70,833,333.33
8 20-Aug-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 66,666,666.67
9 20-Sep-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 62,500,000.00
10 20-Oct-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 58,333,333.33
11 20-Nov-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 54,166,666.67
12 20-Dec-08 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 50,000,000.00
13 20-Jan-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 45,833,333.33
14 20-Feb-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 41,666,666.67
15 20-Mar-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 37,500,000.00
16 20-Apr-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 33,333,333.33
17 20-May-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 29,166,666.67
18 20-Jun-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 25,000,000.00
19 20-Jul-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 20,833,333.33
20 20-Aug-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 16,666,666.67
21 20-Sep-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 12,500,000.00
22 20-Oct-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 8,333,333.33
23 20-Nov-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 4,166,666.67
24 20-Dec-09 4,166,666.67 447,825.97 4,614,492.63 0.00
204
Akuntansi Transaksi Murabahah
Rp110.747.823,21
Angsuran per bulan =
24
Angsuran per bulan = Rp4.614.492,63
205
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
206
Akuntansi Transaksi Murabahah
3. Margin dan pokok piutang dalam setiap angsuran yang dibayar oleh PT Kemal Sejahtera
jika menggunakan metode proporsional.
Kasus 2
1. Tanggal 3 Maret 20XA, PT Kemal Sejahtera menyerahkan uang muka sebesar Rp20.000.000
kepada BPRS
2. Tanggal 8 Maret 20XA, Untuk keperluan transaksi murabahah dengan PT Kemal Sejahtera,
BPRS melakukan pembelian barang pesanan PT Kemal Sejahtera kepada pemasok senilai
Rp80.000.000 secara tunai. Jurnal untuk mencatat transaksi tersebut adalah sebagai
berikut.
3. Tanggal 10 Maret, akad jual beli murabahah disepakati antara Bank dan PT Kemal
Sejahtera. Pada saat itu Bank langsung menyerahkan satu set server kepada PT Kemal
Sejahtera.
207
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
4. Pada tanggal akad, uang muka yang sebelumnya sudah diterima oleh BPRS diakui sebagai
pengurang piutang murabahah.
5. Pada tanggal akad, nasabah dikenakan biaya administrasi sebesar 0,5% dari pembiayaan
oleh BPRS.
6. Tanggal 10 April 20XA, saat jatuh tempo angsuran pertama nasabah membayar sebesar
Rp3.743.087,24.
7. Pada pembayaran bulan Mei, hingga tanggal jatuh tempo angsuran kedua, BPRS belum
menerima pembayaran angsuran dari PT Kemal Sejahtera. Pembayaran angsuran baru
dilakukan oleh nasabah pada tanggal 20 Mei, sebesar Rp3.743.087,24 melalui debit
rekening.
208
Akuntansi Transaksi Murabahah
8. Tanggal 10 Juni (tanggal jatuh tempo angsuran ketiga), ketika BPRS hendak mendebit
rekening nasabah, didapati tidak terdapat dana yang cukup di rekening PT Kemal Sejahtera
untuk membayar angsuran bulan April. Saldo rekening yang tersedia hanya Rp1.025.000
dan BPRS mendebit rekening sebesar Rp1.000.000.
10. Hingga tanggal 10 Juli PT Kemal Sejahtera tidak memenuhi kewajiban pembayaran
angsurannya untuk bukan Juni.
209
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
11. PT Kemal Sejahtera baru membayar kewajibannya pada tanggal 5 Agustus 20XA. Karena
ketidakdisiplinan PT Kemal Sejahtera tersebut, BPRS mengenakan denda sebagaimana
yang telah disepakati dalam akad yaitu sebesar 10% dari total pendapatan margin
akrual yang tertunggak. PT Kemal Sejahtera mengakui ketidakdisiplinannya dan bersedia
membayarnya. Semua pembayaran dilakukan pada tanggal 5 Agustus 20XA.
12. Tanggal 10 Agustus 20XA, PT Kemal Sejahtera bermaksud melunasi sisa kewajibannya
dengan nilai buku Rp52.403.221,30 yang terdiri atas pokok pembiayaan sebesar
Rp46.666.666,66 dan margin yang ditangguhkan sebesar Rp5.736.554,64. Disepakati
pada saat pelunasan bahwa potongan pelunasan akan diberikan sebesar 80% dari sisa
margin murabahah yang masih ditangguhkan.
210
Akuntansi Transaksi Murabahah
Kasus 3
1. Angsuran per bulan yang mesti dibayar PT Agifira
Angsuran per bulan =
Angsuran per bulan =
Angsuran per bulan =
Angsuran per bulan =
Angsuran per bulan =
3. Margin dan pokok piutang dalam setiap angsuran yang dibayar oleh PT Agifira jika
menggunakan metode proporsional.
Margin per bulan =
Pokok per bulan =
4. Margin dan pokok piutang dalam setiap angsuran yang dibayar oleh PT Agifira selama
periode berjalan dengan menggunakan metode anuitas.
211
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Langkah keempat dan seterusnya: melakukan perhitungan dengan cara yang sama pada
langkah pertama hingga ketiga, untuk bulan kedua dan seterusnya.
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
212
10
AKUNTANSI TRANSAKSI
SALAM DAN
SALAM PARALEL
Pendahuluan
Bab 10 ini akan membahas secara khusus akuntansi untuk transaksi salam dan
salam paralel. Pembahasan diawali dengan definisi transaksi salam dan keunggulan
penggunaannya dalam bisnis perbankan syariah. Kemudian, akan dibahas tentang
ketentuan syar’i transaksi salam dan salam paralel dan dilanjutkan dengan teknik
pengakuan dan pengukuran berbagai transaksi yang terjadi dalam siklus salam
dan salam paralel. Pada bagian akhir bab ini, akan dibahas tentang penyajian
transaksi salam di laporan keuangan dan kebijakan pengungkapan transaksi
salam yang dianjurkan oleh Bank Indonesia. Relevansi bab ini adalah sebagai
dasar pengetahuan dalam menguasai praktik akuntansi terkait pengakuan dan
pengukuran berbagai transaksi yang terjadi dalam aktivitas penyaluran dana
bank syariah dengan menggunakan skema salam dan salam paralel. Penguasaan
teori dan praktik terkait pengakuan dan pengukuran transaksi ini sangat penting
dikuasai, mengingat transaksi ini merupakan skema penyaluran yang akan banyak
diterapkan dalam pengembangan sektor pertanian.
213
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Bai’ as salam, atau biasa disebut dengan salam, merupakan pembelian barang yang pembayarannya
dilunasi di muka, sedangkan penyerahan barang dilakukan di kemudian hari. Akad salam ini
digunakan untuk memfasilitasi pembelian suatu barang (biasanya barang hasil pertanian) yang
memerlukan waktu untuk memproduksinya. Adapun salam paralel merupakan jual beli barang
yang melibatkan dua transaksi salam, dalam hal ini transaksi salam pertama dilakukan antara
nasabah dengan bank, sedang transaksi salam kedua dilakukan antara bank dengan petani atau
pemasok. Penerapan transaksi salam dalam dunia perbankan masih sangat minim, bahkan
sebagian besar bank syariah tidak menawarkan skema transaksi ini. Hal ini dapat dipahami
karena persepsi masyarakat yang sangat kuat bahwa bank, termasuk bank syariah, merupakan
institusi untuk membantu masyarakat jika mengalami kendala likuiditas. Dengan demikian,
ketentuan salam yang mensyaratkan pembayaran di muka merupakan suatu hal yang masih
sulit untuk diaplikasikan.
Kendati demikian, skema transaksi ini tetap potensial dikembangkan di Indonesia seiring
dengan meningkatnya perhatian pemerintah untuk mengembangkan sektor pertanian. Secara
khusus, jika pemerintah terlibat dalam upaya mengembangkan kemampuan akses pendanaan
petani, penggunaan skema salam relatif lebih tepat dan lebih menguntungkan dibanding skema
lainnya. Keuntungan menggunakan skema salam antara lain adalah:
1. Bagi Petani
Skema salam dengan pembayaran di muka akan sangat membantu petani dalam membiayai
kebutuhan petani dalam memproduksi barang pertanian. Dengan demikian, petani memiliki
kesempatan dan dorongan yang lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksinya
agar dapat menghasilkan produk pertanian yang lebih banyak sehingga di samping untuk
diserahkan kepada pembeli sebanyak yang sudah ditentukan, juga dapat digunakan untuk
diri sendiri atau untuk dijual kepada pihak lain.
2. Bagi Pemerintah
Penggunaan skema salam dengan ciri pembayaran di muka akan dapat mempercepat
pencapaian target-target pemerintah dalam mendorong peningkatan cadangan pengadaan
produk pertanian. Skema ini dipandang dapat mengantisipasi keengganan petani menjual
produknya kepada pemerintah selama ini, baik karena telah terbiasa menjual kepada
tengkulak atau kepada pedagang besar. Keuntungan lainnya bagi pemerintah adalah dengan
tercapainya target cadangan pengadaan produk pertanian dengan dana yang terjangkau,
maka akan mempercepat peran serta pemerintah dalam ekspor produk pertanian ke luar
negeri yang belakangan ini mengalami kenaikan harga.
3. Bagi Pengusaha
Penggunaan skema salam bagi pengusaha berpotensi meningkatkan efisiensi dan nilai
penjualan pengusaha produk pertanian. Pengusaha, yang dalam hal ini berperan sebagai
penjual produk pertanian baik untuk konsumsi lokal maupun ekspor, akan dapat memiliki
produk pertanian dari petani dengan harga yang relatif akan lebih rendah dibanding
harga pasar mengingat pembayaran yang dilakukan di muka. Adanya harga pembelian
yang relatif lebih murah tersebut akan memberikan keuntungan bagi pengusaha untuk
memperoleh margin yang menarik. Keuntungan lain bagi pengusaha adalah adanya
kepastian memperoleh barang yang diinginkan, sehingga tidak perlu khawatir atas
persaingan mendapatkan barang pada saat panen dengan pengusaha lain.
214
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
Transaktor
Transaktor terdiri atas pembeli (muslam) yang dalam hal ini adalah nasabah dan penjual (muslam
ilaih) dalam hal ini bank syariah. Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi berupa
akil baligh dan kemampuan memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa,
dan lain-lain yang sejenis. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan
izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, Fatwa DSN Nomor 05/DSN-MUI/
IV/2000 mengharuskan agar penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas
dan jumlah yang telah disepakati. Penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari
waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan
dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
Sekiranya penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak
boleh meminta tambahan harga. Akan tetapi, jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas
yang lebih rendah dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan
harga (diskon). Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau
kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka pembeli memiliki dua
215
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
pilihan, yaitu pertama, membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya; kedua, menunggu
sampai barang tersedia.
Objek Salam
DSN dalam fatwanya menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh
barang yang diperjualbelikan dalam transaksi salam. Ketentuan tersebut antara lain:
1. harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang
2. harus dapat dijelaskan spesifikasinya
3. penyerahannya dilakukan kemudian
4. waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan
5. pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
Terkait dengan alat pembayaran, DSN mensyaratkan alat bayar harus diketahui jumlah dan
bentuknya. Alat bayar bisa berupa uang, barang, atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada
saat kontrak disepakati. Pembayaran itu sendiri tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.
216
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank syariah untuk hati-hati
dalam melakukan transaksi jual beli salam dengan para nasabah. Di samping itu, bank juga dituntut
untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia
setiap saat dilakukan pengawasan terhadap kesyariahan transaksi salam yang dilakukan.
Kedua, setelah akad disepakati, pembeli melakukan pembayaran terhadap barang yang
diinginkan sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat.
Ketiga, pada transaksi salam, penjual mulai memproduksi atau menyelesaikan tahapan
penanaman produk yang diinginkan pembeli. Setelah produk dihasilkan, pada saat atau
sebelum tanggal penyerahan, penjual mengirim barang sesuai dengan spesifikasi kualitas
dan kuantitas yang telah disepakati kepada pembeli. Adapun transaksi salam paralel,
yang biasanya digunakan oleh penjual (bank syariah) yang tidak memproduksi sendiri
produk salam, setelah menyepakati kontrak salam dan menerima dana dari nasabah salam,
selanjutnya secara terpisah membuat akad salam dengan petani sebagai produsen produk
salam.
Keempat, Setelah menyepakati transaksi salam kedua tersebut, bank langsung melakukan
pembayaran kepada petani.
Kelima, Dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan kesepakatan dengan bank, petani
mengirim produk salam kepada petani sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
Keenam, bank menerima dokumen penyerahan produk salam kepada nasabah dari
petani.
217
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
1. Negosiasi
dan Akad
Bank Syariah Salam
sebagai Penjual
(muslam ilaih) 2. bayar Nasabah
pada salam 1 sebagai
dan Pembeli Pembeli
(Muslim) pada (Muslim)
salam 2
6. Kirim Dokumen
4. bayar
PEMASOK
5. kirim barang
3. Negosiasi dan
Akad Salam
Akuntansi salam diatur dalam PSAK Nomor 103 tentang Akuntansi Salam. Standar tersebut
berisikan tentang pengakuan dan pengukuran, baik sebagai pembeli maupun sebagai penjual.
Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam ketentuan pengakuan dan pengukuran salam
adalah terkait dengan piutang salam, modal usaha salam, kewajiban salam, penerimaan barang
pesanan salam, denda yang diterima oleh pembeli dari penjual yang mampu, tetapi sengaja
menunda-nunda penyelesaian kewajibannya serta tentang penilaian persediaan barang pesanan
pada periode pelaporan. Konsep dan aplikasi detail standar akuntansi salam dan salam paralel
akan dibahas langsung pada sub-bab teknis perhitungan dan penjurnalan transaksi.
218
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
PT Thariq Agro Mandiri , membutuhkan 100 ton biji jagung hibryda untuk keperluan ekspor
6 bulan yang akan datang. Pada tanggal 1 Juni 20XA, PT Thariq Agro Mandiri melakukan
pembelian jagung dengan skema salam kepada Bank Syariah Sejahtera. Adapun informasi
tentang pembelian tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk pengadaan produk salam sebagaimana diinginkan oleh PT Thariq Agro Mandiri, bank
syariah selanjutnya pada tanggal 2 Juni 20XA mengadakan transaksi salam dengan petani
yang bergabung dalam KUD. Tunas Mulia dengan kesepakatan sebagai berikut:
219
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Berdasarkan PSAK 103 paragraf 18 disebutkan bahwa modal usaha salam yang diterima dapat
berupa kas dan aset non-kas. Modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah
yang diterima, sedangkan modal usaha salam dalam bentuk aset non-kas diukur sebesar nilai
wajar. Dalam praktik perbankan, penggunaan aset non-kas dapat dikatakan relatif tidak lazim
digunakan.
Penyerahan Modal Salam dari Bank Syariah kepada Pemasok atau Petani
Pada saat akad salam kedua dilakukan antara bank syariah dengan petani atau pemasok, bank
syariah langsung melakukan penyerahan modal salam kepada pemasok. Pemilihan pemasok
dilakukan dengan pertimbangan kemampuan pemasok menghasilkan produk sesuai dengan
spesifikasi jagung yang diinginkan dan harga yang lebih rendah dibanding harga penjualan
salam bank syariah kepada Bulog.
Berdasarkan PSAK 103 paragraf 11 disebutkan bahwa piutang salam diakui pada saat
modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan kepada penjual. Modal usaha salam dalam
bentuk kas diukur sebesar jumlah yang dibayarkan (PSAK 103 paragraf 12).
Misalkan pada tanggal 1 Juni, bank syariah menyerahkan modal berupa uang tunai sebesar
Rp650.000.000 ke rekening KUD di bank maka jurnal saat penyerahan modal salam oleh bank
syariah kepada KUD adalah sebagai berikut:
220
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
Berdasarkan PSAK 103 paragraf 13a, disebutkan bahwa jika barang pesanan sesuai dengan
akad, maka dinilai sesuai dengan nilai yang disepakati.
Misalkan pada tanggal 1 September 20XA dan 1 Desember 20XA, KUD TM menyerahkan
masing-masing 50 ton biji jagung manis hybrida kualitas nomor 2 sebagaimana yang disepakati
dalam perjanjian salam. Adapun nilai wajar produk tersebut pada saat penyerahan sama
dengan nilai kontrak yaitu Rp325.000.000 (50 ton × Rp6.500.000 per ton). Jurnal untuk saat
penyerahan produk salam dari KUD ke bank syariah adalah sebagai berikut.
221
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
b. Nilai wajar aset salam non-kas sama lebih tinggi dari nilai tercatatnya
Berdasarkan PSAK 103 paragraf 12 disebutkan selisih antara nilai wajar dan nilai
tercatat modal usaha non-kas yang diserahkan, diakui sebagai keuntungan atau
kerugian pada saat penyerahan modal usaha.
Misalkan mesin pertanian yang diserahkan memiliki nilai buku sebesar Rp25.000.000,
(harga perolehan Rp30.000.000.000 dan akumulasi penyusutan Rp5.000.000).
Peralatan tersebut selanjutnya diserahkan kepada KUD TM sebagai pembiayaan
berwujud non-kas dan dihargai dengan nilai Rp27.000.000. Maka jurnal untuk
transaksi penyerahan aset non-kas adalah sebagai berikut:
Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Piutang salam 27.000.000
Db. Akumulasi penyusutan 5.000.000
Kr. Aset salam – mesin pertanian 30.000.000
Kr. Keuntungan pada saat penyerahan 2.000.000
c. Nilai wajar aset salam non-kas sama lebih rendah dari nilai tercatatnya
Misalkan mesin pertanian yang diserahkan memiliki nilai buku sebesar Rp25.000.000,
(harga perolehan Rp30.000.000.000 dan akumulasi penyusutan Rp5.000.000).
Peralatan tersebut selanjutnya diserahkan kepada KUD TM sebagai pembiayaan
berwujud non-kas dan dihargai dengan nilai Rp23.000.000. Maka jurnal untuk
transaksi penyerahan aset non-kas adalah sebagai berikut:
222
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
b. kualitas barang dan nilai wajar barang, lebih tinggi dari nilai kontrak
Jika kualitas barang lebih tinggi sehingga nilai wajar lebih tinggi dari nilai kontrak,
berdasarkan PSAK 103 paragraf 13b(i), barang pesanan yang diterima diukur sesuai
nilai akad.
Misalkan pada tanggal 1 September 20XA, KUD TM menyerahkan 50 ton biji
jagung manis hybrida kualitas nomor 1. Adapun nilai wajar produk tersebut adalah
Rp350.000.000 (50 ton × Rp6.500.000). Jurnal saat penyerahan produk salam dari
KUD ke bank syariah adalah sebagai berikut.
223
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
3. Pemasok atau petani gagal menyerahkan seluruh atau sebagian produk salam pada masa
akhir kontrak.
Pada akhir masa kontrak, sangat mungkin pemasok atau petani gagal menyerahkan seluruh
atau sebagian produk salam. Kegagalan tersebut bisa disebabkan karena bencana alam atau
wabah yang tidak bisa di atasi. Di samping itu pemasok atau petani juga tidak berhasil
mendapatkan produk pengganti dari pemasok atau petani lain. Dalam kondisi tersebut,
bank sebagai pembeli memiliki dua alternatif pilihan yaitu pertama memperpanjang masa
pengiriman dan kedua membatalkan pembelian barang yang dikirim.
Selanjutnya untuk melunasi piutang KUD TM, terdapat beberapa alternatif yaitu (1)
dilunasi dengan dana kas KUD TM, (2) dilunasi dengan penjualan jaminan. Adapun
jurnalnya adalah sebagai berikut:
Alternatif 2: Bank mengeksekusi jaminan atas akad salam. Jika terjadi penjualan jaminan
dengan hasil lebih kecil dari piutang salam, misalkan dalam kasus KUD TM hanya sebesar
Rp300.000.000 maka jurnalnya adalah:
224
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
Jika penjualan jaminan dengan hasil lebih besar dari piutang salam, misalkan dalam kasus
KUD TM hanya sebesar Rp350.000.000 maka jurnalnya adalah:
225
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Penyajian
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 4.24-25), piutang salam dan utang salam adalah akun yang terkait
dengan jual beli dengan skema salam. Ketentuan penyajian transaksi tersebut dalam laporan
keuangan adalah sebagai berikut.
a. Piutang salam disajikan sebesar jumlah tercatat. Piutang salam yang tidak dapat dipenuhi
oleh pemasok dan pemasok menyatakan tidak dapat memenuhi kewajibannya disajikan
sebagai piutang qardh.
b. Utang salam disajikan sebesar jumlah tercatat.
Pengungkapan
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 4.25), hal-hal yang harus diungkapkan terkait transaksi pembiayaan
dengan skema salam antara lain:
1. rincian piutang salam dan utang salam berdasarkan jumlah, jangka waktu, jenis valuta,
jenis, dan kuantitas barang pesanan;
2. piutang salam dari pemasok dan utang salam kepada nasabah yang merupakan pihak
berelasi.
226
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Bank Indonesia. 2006. Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional-MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Edisi ke-2. Jakarta:
DSN-MUI dan Bank Indonesia.
DSAK IAI. 2002. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 103 tentang Akuntansi Salam. Jakarta:
IAI.
Harahap, Sofyan S., Wiroso, Yusuf, M. 2004. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE USAKTI.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2003. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: IAI, 2003.
Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah berdasarkan PSAK dan
PAPSI. Jakarta, Grasindo.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan definisi jual beli dengan skema salam.
2. Jelaskan kelebihan dan kekurangan menggunakan akad salam.
3. Jelaskan perbedaan jual beli salam dengan jual beli murabahah.
4. Apakah landasan syar’i dibolehkannya transaksi salam?
5. Jelaskan rukun transaksi salam.
6. Perhatikanlah laporan keuangan bank syariah yang ada di Indonesia, carilah informasi
tentang produk salam yang tersedia dan apa pendapat Anda tentang penerapan transaksi
ini.
B. Soal Kasus
PT Minang Indah, membutuhkan 10 ton Beras Solok untuk keperluan ekspor 6 bulan yang akan
datang. Pada tanggal 10 Januari 20XB, PT Minang Indah melakukan pembelian beras dengan
skema salam kepada sebuah bank syariah. Adapun informasi tentang pembelian tersebut adalah
sebagai berikut:
227
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
1. Tanggal 10 Januari 20XB, bank syariah melakukan akad salam dengan PT Minang Indah
dan menerima dana salam.
2. Tanggal 12 Januari 20XB, bank syariah menyerahkan modal berupa uang tunai sebesar
Rp65.000.000 ke rekening KUD. Talawi Jaya dan aset salam berupa peralatan pertanian
nilai buku sebesar Rp30.000.000, (harga perolehan Rp30.000.000 dan akumulasi
penyusutan Rp0).
3. Tanggal 12 April 20XB KUD. Talawi Jaya menyerahkan 5 ton Beras Solok sebagaimana
yang disepakati dalam perjanjian salam. Adapun nilai wajar produk tersebut pada saat
penyerahan sama dengan nilai kontrak yaitu Rp47.500.000 (5 ton × Rp9.500.000 per
ton).
4. Tanggal 12 April 20XB bank langsung mengirim produk salam ke gudang milik PT Minang
Indah pada kuantitas dan kualitas sesuai kesepakatan.
5. Tanggal 12 Juli 20XB, KUD Talawi Jaya menyerahkan 5 ton Beras Solok tahap kedua
sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian salam.
6. Tanggal 12 Juli 20XB, Bank Syariah menyerahkan 5 ton Beras Solok pada PT Minang Indah
pada kuantitas dan kualitas sesuai kesepakatan.
228
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
LEMBAR JAWABAN
2. Tanggal 12 Januari 20XB, bank syariah menyerahkan modal berupa uang tunai sebesar
Rp650.000.000 ke rekening KUD. Talawi Jaya dan aset salam berupa peralatan pertanian
nilai buku sebesar Rp30.000.000, (harga perolehan Rp30.000.000 dan akumulasi
penyusutan Rp0).
229
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
3. Tanggal 12 April 20XB KUD. Talawi Jaya menyerahkan 5 ton Beras Solok sebagaimana
yang disepakati dalam perjanjian salam. Adapun nilai wajar produk tersebut pada saat
penyerahan sama dengan nilai kontrak yaitu Rp47.500.000 (5 ton × Rp9.500.000 per
ton).
4. Tanggal 12 April 20XB bank langsung mengirim produk salam ke gudang milik PT Minang
Indah pada kuantitas dan kualitas sesuai kesepakatan.
5. Tanggal 12 Juli 20XB, KUD Talawi Jaya menyerahkan 5 ton Beras Solok tahap kedua
sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian salam.
230
Akuntansi Transaksi Salam dan Salam Paralel
6. Tanggal 12 Juli 20XB menyerahkan 5 ton Beras Solok pada PT PT Minang Indah pada
kuantitas dan kualitas sesuai kesepakatan.
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
231
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
232
11
AKUNTANSI
TRANSAKSI ISTISHNA’
DAN ISTISHNA’ PARALEL
Pendahuluan
Bab 11 ini akan membahas secara khusus akuntansi untuk transaksi istishna’
dan istishna’ paralel. Pembahasan diawali dengan definisi transaksi istishna’
dan keunggulan penggunaannya dalam bisnis perbankan syariah. Kemudian,
akan dibahas tentang ketentuan syar’i transaksi istishna’ dan istishna’ paralel
dan dilanjutkan dengan teknik pengakuan dan pengukuran berbagai transaksi
yang terjadi dalam siklus istishna’ dan istishna’ paralel. Pada bagian akhir bab
ini, akan dibahas tentang penyajian transaksi istishna’ di laporan keuangan dan
kebijakan pengungkapan transaksi istishna’ yang dianjurkan oleh Bank Indonesia.
Relevansi bab ini adalah sebagai dasar pengetahuan dalam menguasai praktik
akuntansi terkait pengakuan dan pengukuran berbagai transaksi yang terjadi
dalam aktivitas penyaluran dana bank syariah dengan menggunakan skema
istishna’ dan istishna’ paralel. Penguasaan teori dan praktik terkait pengakuan
dan pengukuran transaksi istishna’ sangat penting dikuasai, mengingat
transaksi ini merupakan skema penyaluran yang akan banyak diterapkan dalam
pengembangan sektor konstruksi.
233
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Bai’ al istishna’ atau biasa disebut dengan istishna’ merupakan kontrak jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’). Transaksi istishna’ memiliki
kemiripan dengan transaksi salam, dalam hal barang yang dibeli belum ada pada saat transaksi
melainkan harus dilunasi terlebih dahulu. Berbeda dengan transaksi salam yang barangnya
adalah hasil pertanian, pada transaksi istishna’, barang yang diperjualbelikan biasanya adalah
barang manufaktur. Adapun dalam hal pembayaran, transaksi istishna’ dapat dilakukan di
muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Penggunaan akad istishna’ oleh bank syariah di Indonesia relatif masih minim. Akan tetapi,
seiring dengan makin meningkatnya jenis barang yang baru dilunasi setelah adanya pesanan dari
pembeli, sangat dimungkinkan akad istishna’ juga menjadi makin meningkat penggunaannya.
Transaktor
Transaktor terdiri atas pembeli dan penjual. Kedua transaktor disyaratkan memiliki kompetensi
berupa akil baligh dan kemampuan memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa,
dan lain-lain yang sejenis. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan
izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan agar penjual
menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
Penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan
syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menuntut
tambahan harga.
234
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk
menerima barang istishna’ dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan istishna’.
Akan tetapi, sekiranya pada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai
dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.
Objek Istishna’
Rukun objek akad transaksi jual beli istishna’ meliputi barang yang diperjualbelikan dan harga
barang tersebut. Terkait dengan barang istishna’, DSN dalam fatwanya menyatakan bahwa ada
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut antara lain:
• harus jelas spesifikasinya.
• penyerahannya dilakukan kemudian.
• waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
• pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
• Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
• memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati.
• Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan barang massal.
Terkait dengan alat pembayaran, DSN mensyaratkan alat bayar harus diketahui jumlah dan
bentuknya di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka
waktu akad. Alat bayar bisa berupa uang, barang, atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan
sesuai kesepakatan. Pembayaran itu sendiri tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.
235
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank syariah untuk hati-
hati dalam melakukan transaksi jual beli istishna’ dan istishna’ paralel dengan para nasabah. Di
samping itu, bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen
yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.
Pada istishna’ paralel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu Bank, Nasabah, dan Pemasok.
Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan
pemasok selama masa periode pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank.
Atas pembiayaan terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual
beli barang yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok dengan
harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank mendapatkan pendapatan selain
margin berupa pendapatan administrasi.
Pengertian yang dibuat atau dibangun dalam istishna’ menunjukkan periode yang diperlukan
(antara akad jual beli dengan penyerahan barang) untuk suatu pekerjaan penyelesaian barang.
Pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan manufaktur atau konstruksi (bangunan/kapal/pesawat),
rakit/assemble (kendaraan/mesin), instalasi (mesin atau software) atau istilah teknis engineering
lainnya. Adapun skema transaksi istishna’ paralel ditunjukkan pada Figur 11.1. Transaksi
dilakukan dengan alur sebagai berikut.
236
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
1. Negosiasi,
pesan barang
dan Akad
Bank Syariah Istishna’
1 Nasabah
sebagai Penjual
(shani’) pada 6.6.penagihan
penagihanpada
padapembeli
pembeli sebagai
istishna’ 1 dan Pembeli
pembeli (mustashni’)
(mustashni’) pada 9. pelunasan pembayaran
istishna’ 2
4. Kirim tagihan penyelesaian barang
8.8.Kirim
KirimDokumen
dokumenpengiriman
pengiriman
5. bayar 7. kirim barang
PEMASOK 3. buat barang
2. Negosiasi ,
(Shani’)
pesan barang
dan Akad
Istishna’
Kedua, pada transaksi istishna’ setelah akad disepakati, penjual mulai membuat atau
menyelesaikan tahapan pembuatan barang yang diinginkan pembeli. Setelah barang
dihasilkan, pada saat atau sebelum tanggal penyerahan, penjual mengirim barang sesuai
dengan spesifikasi kualitas dan kuantitas yang telah disepakati kepada pembeli. Adapun
transaksi istishna’ paralel, yang biasanya digunakan oleh penjual (bank syariah) yang tidak
membayar sendiri barang istishna’, setelah menyepakati kontrak istishna’ dan menerima
dana dari nasabah istishna’, selanjutnya secara terpisah membuat akad istishna’ dengan
produsen barang istishna’.
Ketiga, setelah menyepakati transaksi istishna’ dalam jangka waktu tertentu, pemasok
kemudian mulai melakukan pengerjaan barang yang dipesan.
237
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Keempat, selama mengerjakan barang yang dipesan, pemasok melakukan tagihan kepada
bank syariah senilai tingkat penyelesaian barang pesanan
Kelima, bank syariah melakukan pembayaran kepada pembuat barang sebesar nilai yang
ditagihkan.
Keenam, bank syariah melakukan tagihan kepada nasabah pembeli berdasarkan tingkat
penyelesaian barang.
Kesembilan, nasabah melunasi pembayaran barang istishna’ sesuai dengan akad yang
telah disepakati.
Akuntansi istishna’ diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 104
tentang istishna’. Terkait dengan pengakuan dan pengukuran transaksi, standar ini mengatur
tentang penyatuan dan segmentasi akad, pendapatan istishna’ dan istishna’ paralel, istishna’
dengan pembayaran tangguh, biaya perolehan istishna’, penyelesaian awal, pengakuan taksiran
rugi, perubahan pesanan, dan tagihan tambahan. Pembahasan detail tentang konsep dan
penerapan akuntansi istishna’ akan dibahas pada bagian teknis perhitungan dan penjurnalan
transaksi istishna’.
238
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Untuk mengembangkan klinik ibu dan anak yang dikelolanya, dr. Ursila berencana menambah
satu unit bangunan seluas 100 m2 khusus untuk rawat inap di sebelah barat bangunan utama
klinik. Untuk kebutuhan itu, dr. Ursila menghubungi Bank Berkah Syariah untuk menyediakan
bangunan baru sesuai dengan spesifikasi yang diinginkannya. Setelah serangkaian negosiasi
beserta kegiatan survey untuk menghasilkan desain bangunan yang akan dijadikan acuan
spesifikasi barang, pada tanggal 10 Februari 20XA ditandatanganilah akad transaksi istishna’
pengadaan bangunan untuk rawat inap. Adapun kesepakatan antara dr. Ursila dengan Bank
Berkah Syariah adalah sebagai berikut:
Harga Bangunan : Rp150.000.000
Lama penyelesaian : 5 bulan (paling lambat tanggal 10 Juli)
Mekanisme panagihan : 5 termin sebesar Rp30.000.0000 per termin mulai tanggal 10
April
Mekanisme pembayaran : setiap 3 hari setelah tanggal penagihan
Untuk membuat bangunan sesuai dengan keinginan dr. Ursila, pada tanggal 12 Februari
20XA, Bank Berkah Syariah memesan kepada kontraktor PT Thariq Konstruksi dengan
kesepakatan sebagai berikut:
Harga Bangunan : Rp130.000.000
Lama penyelesaian : 4 bulan 15 hari (paling lambat tanggal 25 Juni)
Mekanisme penagihan kontraktor : tiga termin pada saat penyelesaian 20%, 50% dan
100%.
Mekanisme pembayaran oleh Bank : dibayar tunai sebesar tagihan dari kontraktor.
239
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Misalkan pada Kasus 11.1 di atas, pada tanggal 5 Februari 20XA, untuk keperluan survei
dan pembuatan desain bangunan yang akan dijadikan acuan spesifikasi barang, Bank Berkah
Syariah telah mengeluarkan kas hingga Rp2.000.000. Jurnal untuk mengakui transaksi ini
adalah sebagai berikut.
Dalam laporan keuangan, beban praakad disajikan dalam neraca pada bagian aset lancar
dengan perlakuan seperti memperlakukan beban dibayar di muka. Akan tetapi, karena rekening
ini bersifat sementara, biasanya saldo rekening ini adalah nol dan tidak disajikan pada laporan
keuangan.
Dalam praktik perbankan, jika akad jadi disepakati, beberapa bank memperlakukan beban
praakad sebagai piutang istishna’.
240
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 29 disebutkan bahwa biaya perolehan istishna’ paralel terdiri
dari:
1. biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan produsen atau kontraktor kepada
entitas;
2. biaya tidak langsung, yaitu biaya overhead termasuk biaya akad dan praakad; dan
3. semua biaya akibat produsen atau kontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya, jika
ada.
Biaya perolehan istishna’ paralel diakui sebagai aset istishna’ dalam penyelesaian pada saat
diterimanya tagihan dari produsen atau kontraktor sebesar jumlah tagihan.
Misalkan pada tanggal 1 April, PT Thariq Konstruksi menyelesaikan 20% pembangunan dan
menagih pembayaran termin pertama sebesar Rp26.000.000 (20% × Rp130.000.000) kepada
Bank Berkah Syariah. Jurnal pengakuan penagihan pembayaran oleh pembuat barang adalah
sebagai berikut.
Adapun dasar pembukuan transaksi adanya utang istishna’ dan timbulnya aset istishna’ dalam
penyelesaian adalah dokumen tagihan. Dokumen tagihan umumnya didasari oleh dokumen
teknis progres pembangunan barang. Pada pekerjaan yang nilainya besar, dokumen progres
dikeluarkan oleh appraisal independen yang disepakati kedua belah pihak.
241
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Selanjutnya, untuk membayar tagihan pembuat barang, bank syariah dapat membayar secara
tunai maupun melalui kredit rekening. Praktik yang lazim di perbankan, tagihan biasa dibayar
melalui rekening.
Misalkan pembayaran dilakukan tanggal 8 April, maka jurnal pembayaran tersebut adalah
sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Jurnal sejenis juga dilakukan pada saat penerimaan tagihan dan pembayaran kedua (penyelesaian
50%) dan ketiga (penyelesaian 100%).
Misalkan, tagihan kedua diterima pada tanggal 15 Mei dan diikuti dengan pembayaran oleh
bank pada tanggal 22 Mei 20XA. Tagihan ketiga diterima tanggal 25 Juni 20XA dan dibayarkan
pada tanggal 2 Juli 20XA. Jurnal untuk transaksi tersebut adalah sebagai berikut.
Umumnya, pembayaran dilakukan tidak 100% lunas pada saat serah terima barang selesai,
namun ditahan sebesar 5% untuk masa commissioning. Lima persen merupakan nilai best
practice. Setelah bank yakin tidak ada permasalahan teknis atas barang yang selesai dibangun,
baru 5% sisa pembayaran diserahkan. Masa commissioning dapat berlangsung 1–3 bulan setelah
penyerahan barang tergantung dari kesiapan penggunaan operasional aset istishna’ tersebut.
242
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
setelah barang selesai. Pengakuan pendapatan di belakang berlaku juga untuk metode persentase
penyelesaian di mana tidak terdapat alasan rasional yang kuat untuk mengukur persentase
penyelesaian (progress pekerjaan atas barang yang dibangun).
Pada metode persentase penyelesaian, pendapatan diakui sesuai persentase penyelesaian dan
menambah nilai aset istishna’ dalam penyelesaian. Dasar dari pengakuan pendapatan adalah
alasan rasional yang terdokumentasi di mana bank dapat menaksir persentase penyelesaian
barang secara moneter untuk dijadikan nilai harga pokok jual beli. Pengakuan pendapatan ini
dapat dilakukan secara periodik (bulanan, triwulanan, dll) atau pada periode tertentu sepanjang
bank memiliki dokumen persentase penyelesaian.
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 18, disebutkan bahwa jika metode persentase penyelesaian
digunakan, maka:
1. bagian nilai akad yang sebanding dengan pekerjaan yang telah diselesaikan dalam periode
tersebut, diakui sebagai pendapatan istishna’ pada periode yang bersangkutan;
2. bagian margin keuntungan istishna’ yang diakui selama periode pelaporan ditambahkan
kepada aset istishna’ dalam penyelesaian; dan
3. pada akhir periode harga pokok istishna’ diakui sebesar biaya istishna’ yang telah
dikeluarkan sampai dengan periode tersebut.
Pada proyek dengan periode pembuatan atau konstruksi aset istishna’ yang melewati satu
periode laporan keuangan, maka timbul konsekuensi bahwa bank tidak dapat mengakui adanya
pendapatan. Untuk itu, bank cenderung memilih penggunaan metode persentase penyelesaian
dan menyusun jadwal pembayaran piutang dari nasabah yang besarnya disesuaikan kemampuan
arus kas nasabah. Hal ini akan menghindari tiadanya pendapatan bank terlalu lama yang
ujungnya mengakibatkan bagi hasil untuk nasabah deposan menurun atau rendah pada periode
tersebut. Termin istishna disajikan sebesar jumlah tagihan termin Bank kepada nasabah.
Untuk Kasus 11.1 di atas, dengan menggunakan metode persentase penyelesaian, maka
pendapatan diakui sesuai dengan persentase penyelesaian. Adapun perhitungan pendapatan
istishna’, harga pokok istishna’ dan keuntungan istishna’ adalah sebagai berikut.
• Pendapatan istishna diukur sebesar bagian nilai akad yang sebanding dengan pekerjaan
yang telah diselesaikan dalam periode tersebut.
Pendapatan istishna = persentase penyelesaian × nilai akad penjualan
Maka pada tanggal 1 April saat penyelesaian 20%, diakui pendapatan sebesar
Rp30.000.000 (20% × Rp150.000.000).
• Harga pokok istishna’ diakui sebesar persentase penyelesaian aset istishna’.
Harga pokok istishna’ = persentase penyelesaian × nilai akad pembelian
= 20% × Rp130.000.000
= Rp26.000.000
• Keuntugan istishna’ yang dimaksud adalah bagian margin keuntungan istishna’ yang
diakui selama periode pelaporan yang ditambahkan kepada aset istishna’ dalam
penyelesaian.
243
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Secara keseluruhan, jurnal yang terkait dengan transaksi pengakuan pendapatan saat penyelesaian
20%, 50% dan 100% adalah sebagai berikut.
= 20% × Rp130.000.000
= Rp26.000.000
Aset istishna’ = % penyelesaian × keuntungan istishna’
dalam penyelesaian
= 20% × Rp20.000.000
= Rp4.000.000
15/05/XA Db. Aset istishna’ dalam penyelesaian 6.000.000
Db. Harga pokok istishna’ 39.000.000
Kr. Pendapatan istishna’ 45.000.000
Ket:
pendapatan margin = % penyelesaian × harga jual
= (50% – 20%) x Rp150.000.000
= Rp45.000.000
Harga pokok istishna’ = % penyelesaian × harga beli
= (50% – 20%) × Rp130.000.000
= Rp39.000.000
Aset istishna’ = % penyelesaian × keuntungan istishna’
dalam penyelesaian
= (50% – 20%) × Rp20.000.000
= Rp6.000.000
25/06/XA Db. Aset istishna’ dalam penyelesaian 10.000.000
Db. Harga pokok istishna’ 65.000.000
Kr. Pendapatan istishna’ 75.000.000
244
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Dasar dari pengakuan pendapatan adalah laporan teknis yang dijadikan dasar perusahaan untuk
mengakui adanya pendapatan. Laporan teknis ini berupa laporan unit kerja produksi atau unit
kerja teknis terhadap kondisi pekerjaan konstruksi yang dilakukan (unit kerja akuntansi tidak
dapat menyusun sendiri laporan teknis karena masalah teknis berada di luar domain legitimasi
dari akuntan).
245
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Menurut PAPSI 2013 (h. 4.19), pada saat barang pesanan telah diserahkan kepada nasabah,
bank melakukan jurnal balik atas rekening aktiva istishna’ dalam penyelesaian dan termin
istishna. Untuk Kasus 11.1, misalkan barang pesanan diserahkan pada tanggal 13/8/XA, maka
jurnal pada saat penyerahan barang tersebut adalah sebagai berikut.
246
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Beban operasional yang diakui pada periode berjalan, disajikan dalam laporan laba rugi
bank syariah.
2. Pengakuan pendapatan dengan metode akad selesai
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 17, disebutkan bahwa pendapatan istishna’ diakui
dengan menggunakan metode persentase penyelesaian atau metode akad selesai. Dalam
hal ini, penjurnalan transaksi 11.1 menggunakan metode persentase penyelesaian. Adapun
metode akad selesai, dapat digunakan jika estimasi persentase penyelesaian akad dan biaya
untuk penyelesaiannya tidak dapat ditentukan secara rasional pada akhir periode laporan
keuangan (PSAK 104 paragraf 19).
Akad dikatakan selesai jika proses pembuatan barang pesanan selesai dan diserahkan
kepada pembeli. Berdasarkan PSAK 104 paragraf 19, disebutkan bahwa pada metode
akad selesai melekat beberapa ketentuan berikut.
1. tidak ada pendapatan istishna’ yang diakui sampai dengan pekerjaan tersebut selesai;
2. tidak ada harga pokok istishna’ yang diakui sampai dengan pekerjaan tersebut
selesai;
3. tidak ada bagian keuntungan yang diakui dalam istishna’ dalam penyelesaian sampai
dengan pekerjaan tersebut selesai; dan
4. pengakuan pendapatan istishna’, harga pokok istishna’, dan keuntungan dilakukan
hanya pada saat penyelesaian pekerjaan..
Untuk Kasus 11.1 dengan menggunakan metode akad selesai, pendapatan, harga pokok
istishna’ dan bagian keuntungan baru diakui pada saat pekerjaan selesai dikerjakan 100%.
Misalkan, pada tanggal 25 Juni 20XA, pemasok melaporkan bahwa pekerjaan telah
berhasil diselesaikan. Maka, jurnal pengakuan pendapatan dengan menggunakan metode
akad selesai pada saat pekerjaan selesai dikerjakan oleh pemasok adalah sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
247
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Dengan mangacu pada Kasus 11.1, misalkan barang bangunan yang dipesan oleh dr. Ursila
disepakati untuk dibayar dalam masa 3 tahun. Dalam pembayaran tangguh tersebut disepakati
nilai pembayaran secara angsuran selama 3 tahun adalah Rp190.000.000. Berikut adalah
ringkasan informasi transaksi dengan pembayaran tangguh.
Untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemasok, pencatatan transaksi istishna’ dengan pembayaran
tangguh pada dasarnya sama dengan pembayaran tunai seperti yang dibahas pada kasus 11.1.
Berikut jurnal yang relevan dengan transaksi tersebut:
Mengacu pada Kasus 11.1 yang mendahului Kasus 11.2, terdapat tiga kali pengakuan
pengeluaran untuk memperoleh istishna’ sesuai dengan tagihan dan pembayaran oleh bank
kepada pemasok:
248
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Sebagaimana halnya pada istishna’ dengan pembayaran tunai, pengakuan pendapatan pada
istishna’ tangguh didasarkan pada metode yang dipilih: metode persentase penyelesaian
atau metode akad selesai. Jika menggunakan metode persentase penyelesaian, maka
pengakuan pendapatannya adalah sebagaimana yang dibahas pada kasus 11.1. Pada
metode tersebut pengakuan pendapatan istishna’, harga pokok istishna’ dan keuntungan
istishna’ dilakukan seiring dengan tingkat persentase penyelesaian yang ditandai dengan
tagihan oleh pemasok. Adapun jika menggunakan metode akad selesai, pengakuan
pendapatan istishna’, harga pokok istishna’ dan keuntungan istishna’ dilakukan hanya
pada saat penyelesaian pekerjaan dengan jurnal sebagai berikut:
249
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Misalkan cicilan istishna’ dibayar per bulan selama 3 tahun (36 bulan), maka pembayaran
perbulan adalah:
Rp190.000.000
Pembayaran per bulan =
36 bulan
Pembayaran per bulan = Rp5.277.778
Pada saat yang sama, pendapatan istishna’ yang ditangguhkan berubah menjadi pendapatan
istishna’ sebesar
Rp40.000.000
Pendapatan per bulan = 36 bulan
250
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Berdasarkan PSAK 106 paragraf 31, disebutkan bahwa jika pembeli melakukan pembayaran
sebelum tanggal jatuh tempo dan penjual memberikan potongan, maka potongan tersebut
diakui sebagai pengurang pendapatan istishna’. Pengurangan pendapatan istishna’ akibat
penyelesaian awal piutang istishna’ dapat diperlakukan sebagai:
(a) potongan secara langsung dan dikurangkan dari piutang istishna’ pada saat
pembayaran; atau
(b) penggantian reimbursement kepada pembeli sebesar jumlah keuntungan yang
dihapuskan tersebut setelah menerima pembayaran piutang istishna’ secara
keseluruhan.
Misalkan dalam Kasus 11.2, nasabah melunasi lebih awal pembiayaannya pada akhir tahun
kedua saat sisa pembayaran sebesar Rp63.333.333. Atas pelunasan lebih awal tersebut,
bank memberikan potongan sebesar Rp10.000.000.
Alternatif I: potongan secara langsung dan dikurangkan dari piutang istishna’ pada saat
pembayaran.
Db.Kas 53.333.333
Alternatif II: penggantian reimbursement kepada pembeli sebesar jumlah keuntungan yang
dihapuskan tersebut setelah menerima pembayaran piutang istishna’ secara keseluruhan.
Db.Kas 63.333.333
251
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Penyajian
Menurut PAPSI 2013 (h. 4.19-20), ketentuan penyajian transaksi terkait jual beli dengan skema
istishna dalam laporan keuangan adalah sebagai berikut:
1. Uang muka Istishna disajikan sebagai liabilitas lainnya.
2. Uang muka kepada pemasok disajikan sebagai aset lainnya.
3. Utang Istishna disajikan sebesar tagihan dari pemasok yang belum dilunasi.
4. Aktiva Istishna Dalam Penyelesaian disajikan sebesar dana yang dibayarkan Bank kepada
supplier.
5. Termin Istishna disajikan sebesar jumlah tagihan termin Bank kepada nasabah.
6. Piutang Istishna disajikan sebesar jumlah yang belum dilunasi oleh pembeli akhir.
7. Marjin Istishna ditangguhkan disajikan sebagai pos lawan piutang istishna.
Pengungkapan
Menurut PAPSI 2013 (h. 4.21) hal-hal yang harus diungkapkan terkait jual beli dengan skema
istishna antara lain:
1. Rincian piutang istishna berdasarkan jumlah, jangka waktu, jenis valuta dan kualitas
piutang dan cadangan kerugian penurunan nilai piutang Istishna.
2. Jumlah piutang murabahah yang diberikan kepada pihak yang berelasi.
3. Kebijakan akuntansi yang dipergunakan dalam pengakuan pendapatan cadangan kerugian
penurunan nilai, penghapusan dan penanganan piutang istishna yang bermasalah.
4. Besarnya piutang istishna baik yang dibiayai sendiri oleh bank maupun secara bersama-
sama dengan pihak lain sebesar bagian pembiayaan bank.
5. Jumlah akumulasi biaya atas kontrak berjalan serta pendapatan dan keuntungan sampai
dengan akhir periode berjalan.
6. Jumlah sisa kontrak yang belum selesai menurut spesifikasi dan syarat kontrak.
7. Klaim tambahan yang belum selesai dan semua denda yang bersifat kontinjen sebagai
akibat keterlambatan pengiriman barang.
8. Nilai kontrak istishna yang sedang berjalan serta rentang periode pelaksanaannya.
9. Nilai kontrak istishna yang telah ditandatangani bank selama periode berjalan tetapi belum
dilaksanakan dan rentang periode pelaksanaannya.
10. Rincian utang istishna berdasarkan jumlah, tujuan (pemasok atau nasabah), jangka waktu
dan jenis mata uang.
11. Utang istishna kepada nasabah yang merupakan pihak berelasi.
12. Jenis dan kuantitas barang pesanan.
252
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Bank Indonesia. 2006. Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan Bagi
Dewan Pengawas Syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional–MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Edisi 2. DSN-MUI dan
Bank Indonesia.
DSAK IAI. 2002. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 104 tentang Akuntansi Istishna’.
Jakarta: IAI.
Harahap, Sofyan S., Wiroso, Yusuf, M. 2004. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE USAKTI.
Ikatan Akuntan Indonesia. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: IAI.
Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah berdasarkan PSAK dan
PAPSI. Jakarta, Grasindo.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan definisi jual beli Istishna’.
2. Jelaskan perbedaan antara jual beli istishna’ dengan jual beli murabahah dan jual beli
salam.
3. Jelaskan rukun transaksi istishna’.
4. Untuk keperluan apakah transaksi istishn’a sangat cocok untuk digunakan?
5. Jelaskan perbedaan antara istishna’ dengan istishna’ paralel.
6. Perhatikan dan screen shoot-lah aspek penyajian dan pengungkapan yang berkaitan dengan
transaksi istishna’ di laporan keuangan di salah satu bank syariah. Analisislah tingkat
kesesuaian praktiknya dengan PSAK 104 maupun PAPSI 2013.
B. Soal Kasus
Pada tanggal 5 Maret 20XA sebuah bank syariah mendapat pesanan dari Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta dengan kontrak istishna’ untuk pembelian 10 unit rumah untuk
karyawannya dengan total nilai kontrak Rp600.000.000, dengan spesifikasi luas bangunan
75m2 bahan batu bata dan kayu bengkire.
253
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
1. Tanggal 2 Maret 20XA, untuk keperluan survei dan pembuatan desain bangunan yang
akan dijadikan acuan spesifikasi barang, Bank Syariah telah mengeluarkan kas hingga
Rp5.000.000.
2. Tanggal 5 Maret 20XA disepakati akad transaksi istishna pembuatan 10 unit rumah antara
bank syariah dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saat akad, beban praakad
diakui sebagai biaya istishna’
3. Tanggal 20 Mei, PT Mentari Prima Karsa menyelesaikan 50% pembangunan dan menagih
pembayaran termin pertama sebesar Rp280.000.000 (50% × Rp560.000.000) kepada
Bank Syariah.
4. Diakui pendapatan istishna’ saat penyelesaian 50%.
5. Tanggal 25 Mei 20XA, Bank Syariah membayar tagihan PT Mentari Prima Karsa sebesar
yang ditagihkan.
6. Tanggal 30 Juli, PT Mentari Prima Karsa menyelesaikan 100% pembangunan dan menagih
pembayaran termin kedua sebesar Rp280.000.000 kepada Bank Syariah.
7. Diakui pendapatan istishna’ saat penyelesaian 100%.
8. Tanggal 4 Agustus 20XA, Bank Syariah membayar tagihan PT Mentari Prima Karsa
sebesar yang ditagihkan.
9. Tanggal 5 Agustus 20XA bank syariah melakukan penagihan termin pertama pada
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebesar Rp200.000.000.
10. Tanggal 15 Agustus 20XA Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membayar tagihan
istishna’ termin pertama sebesar Rp200.000.000.
254
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
11. Tanggal 5 September 20XA bank syariah melakukan penagihan termin kedua pada
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebesar Rp200.000.000.
12. Tanggal 15 September 20XA Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membayar tagihan
istishna’ termin kedua sebesar Rp200.000.000.
13. Tanggal 5 Oktober 20XA bank syariah melakukan penagihan termin ketiga pada Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta sebesar Rp200.000.000.
14. Tanggal 15 Oktober 20XA Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membayar tagihan
istishna’ termin ketiga sebesar Rp200.000.000.
15. Saat penerimaan pembayaran termin yang terakhir dari nasabah, tanggal 15 Oktober,
rumah pesanan diakui secara akuntansi penyerahannya kepada Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
255
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
2. Tanggal 5 Maret 20XA disepakati akad transaksi istishna pembuatan 10 unit rumah antara
bank syariah dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saat akad, beban praakad
diakui sebagai biaya istishna’.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
256
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
3. Tanggal 20 Mei, PT Mentari Prima Karsa menyelesaikan 50% pembangunan dan menagih
pembayaran termin pertama sebesar Rp280.000.000 (50% × Rp560.000.000) kepada
Bank Syariah.
5. Tanggal 25 Mei 20XA, Bank Syariah membayar tagihan PT Mentari Prima Karsa sebesar
yang ditagihkan.
6. Tanggal 30 Juli, PT Mentari Prima Karsa menyelesaikan 100% pembangunan dan menagih
pembayaran termin kedua sebesar Rp280.000.000 kepada Bank Syariah.
257
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
8. Tanggal 4 Agustus 20XA, Bank Syariah membayar tagihan PT Mentari Prima Karsa sebesar
yang ditagihkan.
9. Tanggal 5 Agustus 20XA bank syariah melakukan penagihan termin pertama pada
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebesar Rp200.000.000.
258
Akuntansi Transaksi Istishna’ dan Istishna’ Paralel
11. Tanggal 5 September 20XA bank syariah melakukan penagihan termin kedua pada
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebesar Rp200.000.000.
13. Tanggal 5 Oktober 20XA bank syariah melakukan penagihan termin ketiga pada Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta sebesar Rp200.000.000.
259
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
260
12
AKUNTANSI TRANSAKSI
IJARAH DAN IJARAH
MUNTAHIYA BIT TAMLIK
Pendahuluan
Bab 12 akan membahas secara khusus akuntansi untuk transaksi ijarah dan
ijarah muntahiya bittamlik. Pembahasan diawali dengan bahasan detail tentang
ketentuan syariah terkait skema transaksi ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik.
Kemudian, akan dibahas tentang alur transaksi beserta variasi yang mungkin
muncul terkait dengan sifat dasar transaksi ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik
dan dilanjutkan dengan teknik pengakuan dan pengukuran berbagai transaksi
yang terjadi tersebut. Pada bagian akhir bab ini, akan dibahas tentang penyajian
transaksi ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik di laporan keuangan dan kebijakan
pengungkapan transaksi ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik yang dianjurkan
oleh Bank Indonesia. Relevansi bab ini adalah sebagai dasar pengetahuan dalam
menguasai praktik akuntansi terkait pengakuan dan pengukuran berbagai
transaksi yang terjadi dalam aktivitas penyaluran dana bank syariah dengan
menggunakan skema ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik. Penguasaan teori dan
praktik terkait pengakuan dan pengukuran transaksi ini sangat penting dikuasai,
mengingat transaksi ini mulai banyak dikembangkan untuk mengatasi kesulitan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya terhadap jasa yang diperlukan.
261
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) merupakan transaksi sewa-menyewa yang
diperbolehkan oleh syariah. Akad ijarah merupakan akad yang memfasilitasi transaksi
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah tanpa diikuti pemindahan kepemilikan barang. Adapun akad IMBT
memfasilitasi transaksi ijarah, yang pada akhir masa sewa, penyewa diberi hak pilih untuk
memiliki barang yang disewa dengan cara yang disepakati oleh kedua belah pihak. Akad ijarah
dalam suatu lembaga keuangan syariah dapat digunakan untuk transaksi penyewaan suatu
barang maupun penggunaan suatu jasa yang dibutuhkan oleh nasabah.
Bagi bank syariah, transaksi ini memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan
jenis akad lainnya, yaitu:
1. Dibandingkan dengan akad murabahah, akad ijarah lebih fleksibel dalam hal objek
transaksi. Pada akad murabahah, objek transaksi haruslah berupa barang sedangkan
pada akad ijarah, objek transaksi dapat berupa jasa seperti jasa kesehatan, pendidikan,
ketenagakerjaan, pariwisata, dan lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah.
2. Dibandingkan dengan investasi, akad ijarah mengandung risiko usaha yang lebih rendah,
yaitu adanya pendapatan ijarah yang relatif tetap.
Kendati mengandung kelebihan dibanding transaksi jual beli maupun investasi, pada
transaksi ijarah dan IMBT, melekat konsekuensi yang harus ditanggung oleh bank sebagai
pemberi sewa. Pembahasan tentang konsekuensi yang melekat pada bank sebagai pemberi sewa
akan dibahas pada bagian ketentuan syar’i dan rukun transaksi ijarah dan IMBT.
262
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Transaktor
Transaktor terdiri atas penyewa (nasabah) dan pemberi sewa (Bank Syariah). Kedua transaktor
disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan kemampuan memilih yang optimal
seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa, dan lain-lain yang sejenis. Adapun untuk transaksi
dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya. Perjanjian sewa-
menyewa antara bank syariah sebagai pemberi sewa dengan nasabah sebagai penyewa memiliki
implikasi kepada kedua belah pihak. Implikasi perjanjian sewa kepada bank syariah sebagai
pemberi sewa adalah sebagai berikut.
a. Menyediakan aset yang disewakan.
b. Menanggung biaya pemeliharaan aset. Biaya ini meliputi biaya yang terkait langsung
dengan substansi objek sewaan yang manfaatnya kembali kepada pemberi sewanya
(misalnya renovasi, penambahan fasilitas dan reparasi yang bersifat insidental). Semua
biaya ini dibebankan kepada pemberi sewa. Jika pemberi sewa menolak menanggung,
maka sewa-menyewa sifatnya batal. Jika terdapat kelalaian penyewa, tanggung jawab ada
pada penyewa.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan
Objek Ijarah
Objek kontrak ijarah meliputi pembayaran sewa dan manfaat dari penggunaan aset. Manfaat dari
penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia merupakan
rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
Adapun ketentuan objek ijarah adalah sebagai berikut.
1. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Dalam hal
ini, hendaklah fasilitas objek sewaan itu mempunyai nilai komersial, dengan demikian kita
dilarang menyewakan durian untuk sekadar dicium baunya. Hendaknya juga penggunaan
263
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
fasilitas objek sewaan tidak menghabiskan substansinya, sebagai contoh tidak boleh
menyewakan lilin untuk penerangan atau sabun mandi.
3. Fasilitasnya mubah (dibolehkan). Dalam hal ini, menyewa tenaga atau fasilitas untuk
maksiat atau sesuatu yang diharamkan adalah haram. Berdasarkan pedoman pengawasan
syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, disebutkan bahwa transaksi multijasa yang
biasanya menggunakan akad ijarah dapat dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, dan kepariwisataan.
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah. Dalam hal ini
objek transaksi bisa diserahterimakan secara substansi dan syariat. Dengan demikian,
dilarang menyewakan orang buta untuk penjagaan yang memerlukan penglihatan atau
menyewakan unta yang hilang karena secara substantif tidak akan dapat menjalankan
fungsinya. Begitu pula dilarang menyewa wanita haid membersihkan masjid karena secara
syariat tidak boleh masuk ke dalam masjid pada waktu haid.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan ketidaktahuan
yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas termasuk jangka waktunya. Atau bisa
juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik. Untuk sesuatu yang tidak aktif,
kapasitas diketahuinya adalah waktu sewa. Untuk sesuatu yang aktif seperti manusia
dan binatang kapasitas diketahuinya adalah dasar pekerjaan dan waktu.
7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar kepada LKS sebagai pembayaran
manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa
dalam ijarah.
8. Ketentuan dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan
jarak.
264
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Skema transaksi istishna’ ditunjukkan pada Figur 11.1. Transaksi dilakukan dengan alur sebagai
berikut.
Pertama, nasabah mengajukan permohonan ijarah dengan mengisi formulir permohonan.
Berbagai informasi yang diberikan selanjutnya diverifikasi kebenarannya dan dianalisis
kelayakannya oleh bank syariah. Bagi nasabah yang dianggap layak, selanjutnya diadakan
perikatan dalam bentuk penandatanganan kontrak ijarah atau IMBT.
Kedua, sebagaimana difatwakan oleh DSN, bank selanjutnya menyediakan objek sewa
yang akan digunakan oleh kepada nasabah. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk
mencarikan barang atau jasa yang akan disewa nasabah untuk selanjutnya dibeli atau dibayar
oleh bank syariah.
Ketiga, nasabah menggunakan barang atau jasa yang disewakan sebagaimana yang telah
disepakati dalam kontrak. Selama penggunaan objek sewa, nasabah menjaga dan menanggung
biaya pemeliharaan barang yang disewa sesuai kesepakatan. Sekiranya terjadi kerusakan bukan
karena kesalahan penyewa, maka bank syariah sebagai pemberi sewa akan menanggung biaya
perbaikannya.
265
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Keempat, nasabah penyewa membayar fee sewa kepada bank syariah sesuai dengan
kesepakatan akad sewa.
Kelima, pada transaksi IMBT, setelah masa ijarah selesai, bank sebagai pemilik barang
dapat melakukan pengalihan hak milik kepada penyewa.
1. Negosiasi dan
Akad Ijarah
Bank Syariah
sebagai Nasabah
pemberi sewa sebagai
4. membayar sewa pada penyewa
barang/jasa
3.menggunakan
objek ijarah
2. membeli
barang/jasa
pada pemasok
OBJEK IJARAH
(Barang/Jasa)
5. mengalihkan hak milik
barang ijarah pada akhir
masa sewa (khusus IMBT)
Ketentuan akuntansi untuk transaksi ijarah diatur dalam PSAK No. 107 yang berlaku untuk
penyusunan dan penyajian laporan keuangan mulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2009.
Standar ini memuat tentang mekanisme transaksi dan ketentuan tentang pengakuan dan
pengukuran transaksi yang terdapat dalam skema ijarah baik untuk pemberi sewa maupun
penyewa. Beberapa hal dicakup dalam standar ini adalah pengakuan dan pengukuran biaya
perolehan, penyusutan, pendapatan, beban dan perpindahan kepemilikan. Bentuk aplikasi
standar ini akan dibahas pada subbab teknis perhitungan dan penjurnalan transaksi ijarah bagi
bank syariah.
266
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Pembahasan teknis perhitungan dan penjurnalan transaksi ijarah akan mengacu pada
Kasus 12.1 berikut.
PT Namira membutuhkan sebuah mesin untuk keperluan produksi usahanya. Pada bulan
Januari 20XA, PT Namira mengajukan permohonan ijarah kepada Bank Syariah. Adapun
informasi tentang penyewaan tersebut adalah sebagai berikut:
Biaya perolehan barang : Rp120.000.000
Umur ekonomis barang : 5 tahun (60 bulan)
Masa Sewa : 24 bulan
Nilai sisa umur ekonomis : Rp0
Sewa per bulan : Rp2.400.000
Biaya administrasi : Rp480.000
Harga perolehan barang dalam hal ini merupakan nilai historis yang dikeluarkan oleh bank
syariah untuk memperoleh barang yang akan disewakan. Umur ekonomis dihitung berdasarkan
standar yang umum diterapkan terhadap kebijakan penyusutan suatu aset. Adapun nilai sisa
adalah perkiraan nilai aset setelah habisnya umur ekonomis. Masa sewa ditentukan oleh
kebutuhan nasabah dalam menggunakan fasilitas yang akan disewa. Sewa per bulan dihitung
dengan mempertimbangkan tingkat keuntungan yang ingin diperoleh bank Syariah.
Rp120.000.000 – Rp0
Penyusutan per bulan = = Rp2.000.000
60
267
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
268
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
10 Des XA 1.400.000
6. 10 Des XA 2.400.000 2.000.000 400.000
3 Jan XA 1.000.000
Pembayaran yang dilakukan oleh PT Namira diatas dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk.
Pertama, pembayaran pada saat tanggal jatuh tempo seperti pada pembayaran bulan Juli sampai
dengan bulan Oktober. Kedua, pembayaran setelah tanggal jatuh tempo seperti pada pembayaran
untuk bulan November. Ketiga pembayaran yang dilakukan sebagian pada saat jatuh tempo
dan sisanya setelah tanggal jatuh tempo seperti pada pembyaran untuk bulan Desember. Berikut
akan ditunjukkan penjurnalan untuk masing-masing klasifikasi tersebut.
269
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
(ii) Pembayaran sewa oleh nasabah dilakukan setelah tanggal jatuh tempo
Penambahan istilah akrual pada pendapatan ijarah akrual adalah untuk keperluan
praktis membedakannya dengan pendapatan yang telah berwujud kas. Pembedaan
ini dipandang perlu untuk keperluan bagi hasil, yang mana pendapatan yang belum
bewujud kas tidak diikutsertakan dalam perhitungan bagi hasil.
(iii) Pembayaran sewa oleh nasabah dilakukan sebagian pada saat jatuh tempo
dan sebagian lagi setalah tanggal jatuh tempo
270
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Misalkan pada tanggal 23 Desember 20XA dilakukan perbaikan aset ijarah sebesar
Rp500.000. Perbaikan tersebut dilakukan atas tanggungan Bank Syariah sebagai pemilik objek
271
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
sewa dengan sistem pembayaran langsung pada perusahaan jasa ruko maka jurnal atas transaksi
tersebut adalah:
Penyajian pada Laporan Laba Rugi dan Laporan Perhitungan Bagi Hasil
Pendapatan ijarah dilaporkan, baik pada laporan laba rugi maupun laporan perhitungan
bagi hasil. Pada kedua laporan, pendapatan yang disajikan adalah pendapatan neto, yaitu
pendapatan ijarah dikurangi dengan beban-beban yang terkait dengan ijarah, antara lain beban
penyusutan dan beban perbaikan dan pemeliharaan. Pada laporan laba rugi biasanya dibuat
pada akhir tahun, sedangkan laporan perhitungan bagi hasil biasanya disajikan setiap bulan
untuk keperluan perhitungan bagi hasil dengan pemilik dana pihak ketiga. Laporan laba rugi
memasukkan pendapatan ijarah yang memang terjadi pada periode terkait, tetapi laporan untuk
perhitungan bagi hasil hanya memasukkan pendapatan ijarah yang sudah berwujud kas pada
periode terkait.
(Beban lain) – – – – – – –
Pendapatan ijarah neto 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 (100.000) 1.900.000
(Beban lain) – – – – – – –
Pendapatan ijarah neto 400.000 400.000 400.000 400.000 (2.000.000) 1.300.000 900.000
272
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Misalkan PT Yasmina menyewa sebuah ruko untuk usaha pakaian Muslim. Pemilik
tempat sepakat untuk menyewakan ruko dengan harga sewa Rp150 juta untuk 2 tahun (24
bulan). Karena PT Yasmina hanya memiliki uang tunai untuk sewa Rp50 juta, PT Yasmina
mengajukan permohonan pembiayaan kepada bank syariah. Skim yang disepakati adalah
skim ijarah dan agunan yang disepakati adalah kendaraan milik PT Yasmina, Toyota Kijang
Innova tahun 2006. Setelah dilakukan proses analisis, maka bank memberikan persetujuan
pembiayaan dengan keterangan sebagai berikut.:
1. tujuan pembiayaan: pembiayaan modal kerja untuk usaha ruko
2. jangka waktu: 24 bulan
3. ujroh bank (margin sewa): Rp12.976.333,34 (perhitungan margin annuity 12% untuk
24 bulan)
4. total harga sewa: Rp162.976.333,34
5. uang muka nasabah: Rp50 juta
6. jumlah pembiayaan: Rp100 juta
7. sewa yang diangsur: Rp112.976.333,34 (pembiayaan bank Rp100 juta + keuntungan
bank)
8. angsuran pembiayaan: Rp4.707.347,22 (Rp112.976.333,34 : 24 bulan)
9. amortisasi perbulan : Rp4.166.666,67 (Rp100.000.000 : 24 bulan)
273
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Oleh karena menggunakan skema sewa atas sewa, maka aset ijarah yang dimiliki adalah
aset tidak berwujud. Hal ini tidak bertentangan dengan syariah karena seseorang boleh
menyewakan kepada orang lain suatu objek yang disewanya dari pemilik objek sewa
sepanjang tidak ada larangan dalam kesepakatan dengan pemilik objek sewa. Dalam
hal ini istilah yang digunakan adalah amortisasi dan bukan depresiasi. Di PSAK 107,
suatu entitas syariah dibenarkan menggunakan istilah penyusutan atau amortisasi
untuk transaksi ijarah. Jurnal untuk pengakuan amortisasi tersebut adalah sebagai
berikut:
sisa aset yang diperoleh untuk ijarah 16.666.666,67 (sisa angsuran pokok bulan ke 21–24)
sisa sewa yang masih harus dibayar 18.829.388,89
{112.796.333,34 – (20 × 4.707.347,22)}
sewa neto yang akan diterima 2.162.722,22
Maka jurnal saat pelunasan sebelum masa sewa berakhir adalah sebagai berikut:
274
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Dalam jurnal pelunasan di atas, rekening nasabah didebit sebesar jumlah sisa sewa
yg harus dibayarkan nasabah, akumulasi penyusutan didebit sebesar nilai akumulasi
penyusutan yg tercantum dalam neraca, keuntungan ijarah dibagihasilkan dikredit
sebesar selisih sisa aset ijarah dengan sisa sewa yang masih harus dibayar, adapun aset
ijarah dikredit sebesar biaya perolehan aset sehingga set ijarah terhapus dari neraca.
Pembahasan teknis perhitungan dan penjurnalan transaksi IMBT akan dilakukan dengan
mengacu pada Kasus 12.2 berikut.
Dengan mengacu pada transaksi kasus 12.1. PT Namira yang telah dibahas pada bagian
terdahulu, misalkan akad yang disepakati adalah IMBT dengan informasi tentang penyewaan
sebagai berikut:
Biaya perolehan barang : Rp120.000.000
Umur barang : 5 tahun (60 bulan)
Masa Sewa (umur ekonomis) : 24 bulan
Waktu Pembelian barang : Setelah bulan ke–24
275
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Berdasarkan kasus diatas maka beban penyusutan perbulan barang IMBT adalah:
Biaya perolehan
Penyusutan IMBT per bulan =
Jumlah bulan masa sewa
Rp120.000.000
Penyusutan IMBT per bulan =
24
276
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Pada perpindahan hak milik sewa dalam IMBT melalui hibah, maka jumlah tercatat objek
ijarah diakui sebagai beban
Dalam kasus transaksi IMBT, PT Namira di atas, sekiranya pada akhir masa sewa (setelah
bulan ke-24) dilakukan pelepasan aset ijarah oleh bank syariah dengan menghadiahkan aset
tersebut kepada PT Namira. Adapun nilai buku aset di neraca pada bulan ke-24 adalah:
maka jurnal atas transaksi pelepasan dengan menghadiahkan tersebut adalah sebagai
berikut:
Misalkan setelah penerimaan pendapatan ijarah bulan ke–20, bank syariah menjual
mesin yang menjadi aset ijarah tersebut sebesar sisa cicilan sewa kepada nasabah
penyewa yaitu Rp24.000.000 (4 × Rp6.000.000), Adapun nilai buku aset di neraca
pada bulan ke–20 adalah:
277
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Misalkan setelah penerimaan pendapatan ijarah bulan ke–20, bank syariah menjual
mesin yang menjadi aset ijarah tersebut sebesar Rp15.000.000. Adapun nilai buku
aset di neraca pada bulan ke–20 adalah:
278
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 6.4) terdapat beberapa ketentuan penyajian di laporan keuangan
terhadap akun yang berkaitan dengan transaksi ijarah dengan aset berwujud.
1. Objek sewa yang diperoleh bank disajikan sebagai aset ijarah.
2. Akumulasi penyusutan/amortisasi dan cadangan kerugian penurunan nilai dari aset ijarah
disajikan sebagai pos lawan aset ijarah.
3. Porsi pokok atas pendapatan sewa yang belum dibayar disajikan sebagai piutang sewa.
4. Porsi ujrah atas pendapatan sewa yang belum dibayar disajikan sebagai pendapatan sewa
yang akan diterima yang merupakan bagian dari aset lainnya pada saat nasabah tergolong
performing. Sedangkan, apabila nasabah tergolong non-performing maka pendapatan
sewa yang akan diterima disajikan pada rekening administratif.
5. Cadangan kerugian penurunan nilai atas piutang sewa disajikan sebagai pos lawan (contra
account) piutang ijarah.
6. Beban penyusutan/amortisasi aset ijarah disajikan sebagai pengurang pendapatan ijarah
pada laporan laba rugi.
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 6.6-7), hal-hal yang harus diungkapkan terkait transaksi ijarah
dengan menggunakan aset berwujud antara lain:
1. sumber dana yang digunakan dalam pembiayaan ijarah;
2. jumlah piutang cicilan ijarah yang akan jatuh tempo hingga dua tahun terakhir;
3. jumlah objek sewa berdasarkan jenis transaksi (ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik),
jenis aset dan akumulasi penyusutannya serta cadangan kerugian penurunan nilai jika ada,
apabila bank sebagai pemilik objek sewa;
4. komitmen yang berhubungan dengan perjanjian ijarah muntahiyah bittamlik yang berlaku
efektif pada periode laporan keuangan berikutnya;
279
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
5. kebijakan akuntansi yang digunakan atas transaksi Ijarah dan Ijarah muntahiyyah
bittamlik;
6. transaksi dan saldo dengan pihak-pihak yang berelasi.
Praktik perhitungan dan penjurnalan transaksi ijarah untuk jasa pada dasarnya sama dengan
perhitungan dan penjurnalan transaksi ijarah untuk barang. Perbedaannya adalah pada ijarah
untuk jasa tidak terdapat kegiatan pemeliharaan dan perbaikan aset ijarah. Berikut adalah salah
contoh kasus transaksi ijarah untuk multijasa.
Ibu Ulli melakukan transaksi ijarah dengan BPRS Anugerah Sejahtera untuk keperluan biaya
sekolah anaknya selama 1 semester di Universitas Gadjah Mada (UGM). Adapun informasi
tentang transaksi untuk penyediaan jasa tersebut adalah sebagai berikut.
Harga perolehan jasa : Rp9.000.000 (dibayar ke UGM tanggal 1 Februari 20XA
Masa sewa : 6 bulan (mulai 1 Februari 20XA s.d. 1 Agustus 20XA)
Sewa per bulan : Rp1.700.000 (setiap tanggal 1 mulai bulan Maret)
Penyusutan per bulan : Rp1.500.000 (setiap tanggal 1 mulai bulan Maret)
Biaya administrasi 0,5% : Rp45.000 (diterima tanggal 1 Februari 20XA)
Jurnal untuk transaksi di atas meliputi jurnal pengadaan aset ijarah, jurnal pada saat akad,
jurnal penyusutan aset ijarah, dan jurnal penerimaan pendapatan ijarah ijarah.
280
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
281
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 6.8) terdapat beberapa ketentuan penyajian di laporan keuangan
terhadap akun yang berkaitan dengan transaksi ijarah dengan jasa
1. Perolehan atas jasa disajikan sebagai bagian aset ijarah dan disajikan terpisah dari aset
ijarah lain.
2. Amortisasi atas perolehan aset ijarah disajikan sebagai pos lawan dari aset ijarah.
3. Porsi pokok atas pendapatan sewa multijasa yang belum dibayar disajikan sebagai piutang
sewa.
4. Porsi ujrah atas pendapatan sewa multijasa yang belum dibayar disajikan sebagai
pendapatan sewa multijasa yang akan diterima yang merupakan bagian dari aset lainnya
pada saat nasabah tergolong performing. Sedangkan, apabila nasabah tergolong non-
performing maka pendapatan sewa multijasa yang akan diterima disajikan pada rekening
administratif.
5. Cadangan kerugian penurunan nilai atas piutang sewa disajikan sebagai pos lawan (contra
account) piutang sewa.
6. Beban amortisasi aset ijarah disajikan sebagai pengurang pendapatan ijarah pada laporan
laba rugi.
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 6.10), hal-hal yang harus diungkapkan terkait transaksi ijarah
dengan jasa antara lain:
1. Sumber dana yang digunakan dalam pembiayaan ijarah.
2. Rincian perolehan atas jasa berdasarkan jenis.
3. Jumlah piutang cicilan ijarah yang akan jatuh tempo hingga dua tahun terakhir.
4. Transaksi dan saldo dengan pihak-pihak yang berelasi.
282
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Bank Indonesia. 2006. Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan Bagi
Dewan Pengawas Syariah. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional-MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Edisi 2. Jakarta: DSN-
MUI dan Bank Indonesia.
DSAK IAI, 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 107 tentang Akuntansi Ijarah. Jakarta:
IAI.
DSAK IAI. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan
Syariah. Jakarta: IAI.
Harahap, Sofyan S., Wiroso, Yusuf, M. 2004. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE USAKTI.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2003. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: IAI.
Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah berdasarkan PSAK dan
PAPSI. Jakarta, Grasindo.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ijarah.
2. Jelaskan perbedaan antara antara ijarah dengan ijarah muntahiya bittamlik.
3. Jelaskan rukun transaksi ijarah.
4. Jelaskan bentuk pengawasan syariah pada transaksi ijarah dan IMBT.
5. Jelaskan keuntungan penggunaan transaksi ijarah dibanding jenis akad lainnya.
6. Perhatikan dan screen shoot-lah aspek penyajian dan pengungkapan yang berkaitan
dengan transaksi ijarah di laporan keuangan di salah satu bank syariah. Analisislah tingkat
kesesuaian praktiknya dengan PSAK 107 maupun PAPSI 2013.
B. Soal Kasus
Kasus 1
Bapak Hasanudin membutuhkan sebuah bangunan kantor untuk keperluan usahanya. Pada awal
bulan Maret 20XA, Bapak Hasanudin mengajukan permohonan ijarah kepada Bank Syariah
Nahdatul Ulama (BSNU). Permohonan tersebut disetujui dengan menggunakan pola sewa atas
sewa kepada pemilik bangunan. Adapun informasi tentang penyewaan tersebut adalah sebagai
berikut.
283
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
1. Tanggal 7 Maret, Bapak Hasanudin dan BSNU menyepakati akad ijarah untuk sebuah
bangunan kantor. Pada tanggal tersebut bank menyerahkan dana sebesar Rp50.000.000
ke pemilik bangunan kantor untuk keperluan sewa Bapak Hasanudin.
2. Tanggal 7 April 20XA, saat jatuh tempo angsuran pertama, bank syariah mengakui
amortisasi aset ijarah sebesar Rp2.777.777,78. Pada saat itu Bapak Hasanudin membayar
angsuran ijarah pertamanya sebesar Rp3.002.854.
3. Tanggal 7 Mei 20XA, saat jatuh tempo angsuran kedua, bank syariah mengakui amortisasi
aset ijarah sebesar Rp2.777.777,78. Pada saat itu Bapak Hasanudin belum dapat membayar
angsuran keduanya.
4. Tanggal 10 Mei 20XA, Bapak Hasanudin melakukan pembayaran angsuran keduanya.
5. Tanggal 7 Juni 20XA, saat tanggal jatuh tempo ketiga, bank syariah mengakui
amortisasi aset ijarah. Pada saat itu, Bapak Hasanudin hanya membayar angsurannya
sebesar Rp1.000.000.
6. Tanggal 14 Juni 20XA, Bapak Hasanudin membayar sisa angsuran tahap ketiga sebesar
Rp2.002.854.
7. Tanggal 20 Juni 20XA, Bapak Hasanudin melunasi semua sisa sewa hingga bulan ke–18
sebesar Rp45.042.810,01.
Kasus 2
Haniya membutuhkan sebuah rumah untuk tempat tinggal sementara. Pada awal bulan Maret
2014, Haniya mengajukan permohonan ijarah kepada Bank Syariah Peduli Umat (BSPU)
dengan jangka waktu lima tahun (60 bulan). Permohonan tersebut disetujui dengan informasi
tentang penyewaan sebagai berikut.
• harga perolehan aset ijarah: Rp200.000.000
• umur ekonomis 10 tahun (120 bulan)
• nilai sisa umur ekonomis: Rp0
• jangka waktu sewa: 60 bulan
• total porsi pokok (selama 60 bulan) Rp100.000.000
• total porsi ujroh (selama 60 bulan) Rp13.227.402
• biaya administrasi Rp100.000
284
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
A. Hitunglah beban penyusutan perbulan, porsi ujrah per bulan, dan angsuran sewa perbulan
(porsi pokok perbulan plus porsi ujrah per bulan), keterangan: porsi pokok perbulan sama
dengan beban penyusutan perbulan.
B. Buatlah jurnal untuk transaksi berikut.
1. Untuk keperluan transaksi tersebut, pada tanggal 5 Maret 2014, Bank Syariah membeli
aset kepada developer (pengembang) seharga Rp200.000.000.
2. Tanggal 7 Maret 2014, Haniya menandatangani akad ijarah sebuah rumah dengan BSPU
dan membayar biaya administrasi.
3. Tanggal 7 April 2014, saat jatuh tempo angsuran pertama, Bank Syariah mengakui
penyusutan aset ijarah dan pada saat itu Haniya membayar angsuran ijarah pertamanya.
4. Tanggal 7 Mei 2014, saat jatuh tempo angsuran kedua, bank syariah mengakui penyusutan
aset ijarah dan pada saat itu Haniya belum dapat membayar angsuran keduanya.
5. Tanggal 10 Mei 2014, Haniya melakukan pembayaran angsuran keduanya.
6. Tanggal 7 Juni 2014, saat tanggal jatuh tempo ketiga, Bank Syariah melakukan penyusutan
aset ijarah. Pada saat itu, Haniya hanya membayar angsurannya sebesar Rp1.000.000.
7. Tanggal 8 Juni 2014, Haniya membayar sisa angsuran tahap ketiga.
8. Tanggal 9 Juni 2014, bank melakukan perbaikan aset ijarah sebesar Rp250.000 yang
dibayar secara tunai kepada rekanan pemeliharaan.
9. Nasabah membayar lunas sisa angsuran sewanya.
285
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
286
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
2. Tanggal 7 April 20XA, saat jatuh tempo angsuran pertama, bank syariah melakukan
amortisasi aset ijarah sebesar Rp2.777.777,78. Pada saat itu, Bapak Hasanudin membayar
angsuran ijarah pertamanya sebesar Rp3.002.854.
3. Tanggal 7 Mei 20XA, saat jatuh tempo angsuran kedua, bank syariah melakukan amortisasi
aset ijarah sebesar Rp2.777.77,78. Pada saat itu, Bapak Hasanudin belum dapat membayar
angsuran keduanya.
287
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
5. Tanggal 7 Juni 20XA, saat tanggal jatuh tempo ketiga, bank syariah melakukan
amortisasi aset ijarah. Pada saat itu, Bapak Hasanudin hanya membayar angsurannya
sebesar Rp1.000.000.
6. Tanggal 14 Juni 20XA, Bapak Hasanudin membayar sisa angsuran tahap ketiga sebesar
Rp2.002.854.
7.
Tanggal 20 Juni 20XA, Bapak Hasanudin melunasi semua sisa sewa hingga bulan ke–18
sebesar Rp45.042.810,01.
Keuntungan ijarah :
288
Akuntansi Transaksi Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Maka jurnal saat pelunasan sebelum masa sewa berakhir adalah sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
289
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
290
AKUNTANSI TRANSAKSI
DANA ZAKAT, DANA
KEBAJIKAN, DAN
PINJAMAN QARDH
13
Pendahuluan
Bab 13 akan membahas secara khusus akuntansi untuk dana zakat, dana kebajikan,
dan transaksi pinjaman qardh. Pembahasan diawali dengan bahasan detail tentang
akuntansi dana zakat dan dana kebajikan. Pada bagian akhir pembahasan dana
zakat dan dana kebajikan, akan disajikan format laporan keuangan untuk dana
zakat dan dana kebajikan. Kemudian, dilanjutkan dengan transaksi pinjaman qardh.
Pada transaksi pinjaman qardh, akan dijelaskan definisi dan aplikasi pinjaman
qardh, ketentuan syar’i yang harus diperhatikan dalam transaksi pinjaman qardh,
dan dilanjutkan dengan gambaran alur transaksi dan teknis perhitungan serta
penjurnalan pinjaman qardh. Relevansi bab ini adalah sebagai dasar pengetahuan
dalam menguasai praktik akuntansi terkait pengakuan dan pengukuran berbagai
transaksi sosial yang terjadi dalam bank syariah. Penguasaan teori dan praktik terkait
pengakuan dan pengukuran transaksi dana ini sangat penting dikuasai mengingat
dana sosial ini merupakan salah satu ciri khas bank syariah.
291
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Dana Zakat
Penyaluran dana zakat dibatasi pada 8 golongan (asnaf) yang sudah ditentukan oleh
syariah, yaitu:
(1) Fakir
(2) Miskin
(3) Amil
(4) Orang yang baru masuk Islam (muallaf)
(5) Hamba sahaya (riqab)
(6) Orang yang terlilit utang (ghorimin)
(7) Orang yang sedang berjihad (fisabilillah)
(8) Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil)
Pada laporan keuangan tahun 20XA, saldo dana zakat Bank Syariah Peduli adalah sebesar
Rp15.000.000. Berikut adalah transaksi yang terkait dengan dana zakat pada Bank Syariah
Peduli selama tahun 20XB.
15 Jan 20XB diterima zakat dari Bapak Rahmad secara tunai sebesar Rp3.000.000.
13 Mar 20XB diterima zakat dari Bapak Thariq secara tunai sebesar Rp12.000.000.
17 Mar 20XB disalurkan tunai dana zakat kepada masyarakat miskin sebesar
Rp12.000.000.
1 Apr 20XB diterima zakat perniagaan Bank Syariah Peduli selama tahun 20XB sebesar
Rp50.000.000.
2 Mei 20XB diterima via rekening tabungan, zakat dari jamaah pengajian BUMN sebesar
Rp10.000.000.
292
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
7 Mei 20XB disalurkan dana zakat kepada ustad yang berdakwah di pedalaman pulau
Kalimantan sebesar Rp10.500.000.
16 Ags 20XB diterima dana zakat penghasilan dari nasabah giro sebesar Rp20.000.000 via
rekening nasabah.
25 Sp 20XB disalurkan tunai dana zakat kepada orang miskin Rp65.000.000.
30 Nov 20XB disalurkan tunai dana zakat kepada mualaf sebesar Rp2.000.000.
15 Des 20XB disalurkan tunai dana zakat kepada ibnu sabil sebesar Rp500.000.
27 Des 20XB ditransfer honorarium amil sebesar Rp500.000 ke rekening tabungan Bapak
Abdi petugas penyaluran bantuan dana ZIS.
293
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
294
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
PAPSI 2003 (h. 224) memberikan kebebasan bank syariah menyalurkan langsung dana
zakat yang dihimpun kepada pihak yang berhak menerima zakat atau kepada lembaga amil
zakat atau Badan Amil Zakat. Dalam perkembangannya, PAPSI 2013 (h.18.1) menyebutkan
bahwa bank hanya dapat menyalurkan dana zakat yang diterima kepada lembaga amil zakat
atau Badan Amil Zakat. Dijelaskan dalam PAPSI terdahulu (h.224) bahwa sekiranya bank
syariah menyalurkan dana zakat melalui pengelola zakat yang badan hukumnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan tentang zakat dan terpisah dari badan hukum bank, maka bank
dianggap telah menyalurkan dana zakat yang diterimanya secara keseluruhan berdasarkan
prinsip syariah. Oleh karenanya dalam laporan sumber dan penggunaan dana zakat tidak perlu
merinci penyaluran dana zakat seperti di atas, tetapi cukup menyebutkan lembaga pengelolanya
seperti dalam contoh berikut.
Hal-hal yang harus diungkapkan terkait transaksi dana zakat antara lain:
1. Sumber dana zakat yang berasal dari internal bank.
2. Sumber dana zakat yang berasal dari eksternal bank.
3. Kebijakan penyaluran zakat.
4. Proporsi dana yang disalurkan untuk masing-masing entitas pengelola zakat yang
diklasifikasikan menjadi pihak berelasi dan pihak ketiga.
295
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Dana Kebajikan
Infak dan sedekah yang dimaksud dalam dana kebajikan adalah semua jenis infak dan
sedekah baik yang peruntukannya ditentukan secara khusus oleh pemberi infak dan sedekah
maupun yang tidak. Denda merupakan sanksi berupa uang yang dikenakan oleh bank syariah
kepada nasabah yang mampu, tetapi dengan sengaja menunda-nunda pembayaran kewajibannya
kepada bank syariah. Semua penerimaan bank syariah dari nasabah yang merupakan denda
dimasukkan ke dalam dana kebajikan. Sumbangan atau hibah pada dasarnya merupakan salah
satu bentuk sedekah sunah. Akan tetapi, istilah sumbangan atau hibah secara terminologi
dipandang universal, sehingga dapat menampung bantuan yang mungkin berasal dari orang
yang bukan beragam Islam ataupun dari instansi dan lembaga yang cenderung memilih istilah
yang umum dalam memberikan suatu bantuan. Pendapatan non-halal merupakan sumber dana
kebajikan yang berasal dari transaksi bank syariah dengan pihak lain yang tidak menggunakan
skema syariah. Untuk keperluan lalu lintas keuangan, bank syariah dalam hal tertentu harus
memiliki rekening di bank konvensional. Dengan memiliki rekening di bank konvensional, baik
yang ada di dalam maupun di luar negeri, adanya bunga bank dari bank mitra merupakan suatu
yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, bunga yang diterima tersebut tidak boleh menambah
pendapatan bank syariah, tetapi dimasukkan sebagai tambahan dana kebajikan.
Berdasarkan PSAK 101, dana kebajikan dapat digunakan untuk:
1. Dana kebajikan produktif;
2. Sumbangan; dan
3. Penggunaan lainnya untuk kepentingan umum
1
Sumbangan atau hibah tidak terdapat dalam PSAK 101, akan tetapi cukup relevan untuk masuk dalam kategori
sumber dana kebajikan. Memang terdapat asosiasi antara sumbangan dengan sedekah, akan tetapi istilah sumbangan
lebih tepat digunakan terhadap dana sosial yang diberi oleh non-Muslim.
296
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
Pada laporan keuangan tahun 20XA, saldo dana kebajikan Bank Syariah Peduli adalah sebesar
Rp10.000.000. Berikut adalah transaksi yang terkait dengan dana kebajikan pada BPRS Peduli
selama tahun 20XB.
5 Januari 20XB diterima infak dari Bapak Andan secara tunai Rp2.000.000
1 Februari 20XB diterima transfer dari rekening Bapak Wahyu sebagai sedekah sebesar Rp5.000.000
diterima transfer dari rekening Bapak Rudi sebagai denda atas keterlambatan pembayaran
7 Maret 20XB
angsuran murabahah sebesar Rp100.000
13 April 20XB diterima transfer dari rekening PT Antariksa sebagai sumbangan sebesar Rp10.000.000
30 April 20XB diterima bunga dari rekening giro di Chase Manhattan Bank sebesar Rp250.000
disalurkan dana kebajikan sebagai sumbangan kepada Panti Asuhan Yatim Putra
15 Mei 20XB
Muhammadiyah secara tunai sebesar Rp10.000.000
disalurkan dana Kebajikan sebagai sumbangan kepada Sekolah Dasar Negeri 1 Sidoarjo
11 Juni 20XB
secara tunai sebesar Rp5.000.000
disalurkan secara tunai dana Kebajikan untuk pinjaman Qardhul hasan Mbah Mujir yang
12 Agustus 20XB
hendak merintis usaha pisang goreng sebesar Rp100.000.
diterima secara tunai pengembalian dana Qardhul hasan tahap 1 oleh Mbah Mujir sebesar
8 September 20XB
Rp50.000.
disalurkan dana Kebajikan untuk pinjaman Qardhul hasan Ibu Sukini yang hendak merintis
18 Oktober 20XB
usaha pecel lele sebesar Rp500.000.
diterima secara tunai pengembalian dana Qardhul hasan tahap 2 oleh mbah Mujir sebesar
17 Desember 20XB
Rp50.000 dan tahap 1 oleh Ibu Sukini sebesar Rp100.000.
297
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
298
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
Pinjaman Qardh2
2
Dalam PSAK 101, istilah pinjaman qardh diganti dengan istilah dana kebajikan produktif. Menurut penulis,
penggantian istilah tersebut kuranglah tepat mengingat dalam praktiknya pinjaman yang diberikan tidak harus
dalam bentuk usaha produktif melainkan juga dalam pemenuhan kebutuhan dana non-produktif. Akan tetapi,
terdapat di dalamnya kesepakatan pengembalian dana tanpa adanya tambahan pendapatan yang disyaratkan di
muka. Dalam hal ini, istilah pinjaman qardh beserta hukum-hukum syar’i yang melekat pada qardh justru lebih tepat
untuk digunakan.
299
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
oleh syariah dengan menggunakan skema pinjam-meminjam. Akad qardh merupakan akad
yang memfasilitasi transaksi peminjaman sejumlah dana tanpa adanya pembebanan bunga atas
dana yang dipinjam oleh nasabah. Transaksi qardh pada dasarnya merupakan transaksi yang
bersifat sosial karena tidak diikuti dengan pengambilan keuntungan dari dana yang dipinjamkan.
Kendati demikian, transaksi ini juga bermanfaat bagi bank syariah untuk memfasilitasi berbagai
keperluan bank syariah dalam hal:
1. Pemenuhan tanggung jawab sosial bank syariah untuk membantu mengembangkan usaha
kecil mikro yang memerlukan dana tanpa bunga.
2. Menyalurkan dana sosial yang dihimpun oleh bank syariah baik dari sumber dana yang
sesuai dengan syariah seperti dana infak, sedekah, hibah, denda, dan lainnya maupun yang
tidak sesuai dengan syariah seperti bunga bank konvensional yang tidak dapat dihindari
terkait dengan pembukaan giro dan sebagainya di bank konvensional.
3. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya
yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek, ataupun nasabah
yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik karena dananya tersimpan
di bank syariah dalam bentuk deposito (Antonio, 2001).
4. Sebagai skema khusus membantu pegawai bank syariah yang membutuhkan pinjaman
untuk kebutuhan yang bersifat insidental.
5. Pengambilalihan utang bank konvensional kepada bank syariah. Proses pengambilalihan
tersebut didahului dengan bank syariah memberikan dana qardh kepada nasabah. Dengan
dana qardh tersebut, nasabah melunasi utang konvensionalnya. Jaminan yang sudah jadi
milik nasabah kemudian dijual kepada bank syariah. Dengan hasil penjualan tersebut,
nasabah melunasi qardh kepada bank syariah. Selanjutnya, bank syariah menyewakan
aset yang telah dimilikinya tersebut kepada nasabah dengan akad al-Ijarah Muntahiya
Bittamlik. Kesemua akad dilakukan terpisah dan tidak ada mempersyaratkan satu dengan
yang lain.
Disarikan dalam PAPSI 2013 (h. 7.1), akad Qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah
terdiri dari dua macam:
a. Akad Qardh yang berdiri sendiri untuk tujuan sosial semata sebagaimana dimaksud dalam
Fatwa DSN-MUI Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh, bukan sebagai sarana
atau kelengkapan bagi transaksi lain dalam produk yang bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan;
b. Akad Qardh yang dilakukan sebagai sarana atau kelengkapan bagi transaksi lain yang
menggunakan akad-akad mu’awadhah (pertukaran dan dapat bersifat komersial) dalam
produk yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Penggunaan dana dari pihak
ketiga hanya diperbolehkan untuk tujuan komersial antara lain seperti produk Rahn Emas,
Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, Pengalihan Utang, Syariah
Charge Card, Syariah Card, dan Anjak Piutang.
300
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
Q.S. Al-Baqarah: 245, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Hadis riwayat Ibnu Hibban, “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya
dua kali, maka ia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.”
Hadis riwayat Bukhari, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah
yang paling baik dalam mengembalikan utang.”
Ketentuan yang terkait dengan transaksi pinjaman qardh meliputi berbagai aspek antara lain:
Akan tetapi, asal tidak dipersyaratkan pada saat akad, orang yang meminjam boleh
saja mengembalikan lebih baik dari yang dipinjamnya (bahkan ini dianjurkan oleh rasul
kepada peminjam). Nabi pernah mengembalikan utang unta bakr dengan unta ruba’ie.
Hadis riwayat Bukhari yang artinya:
“Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan
utang.”
301
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
a. Transaktor
Transaktor pada transaksi pinjaman qardh terdiri atas pemberi pinjaman (muqridh) dan
penerima pinjaman (muqtaridh). Sebagaimana pada transaksi lainnya, para pihak yang
terlibat dalam transaksi pinjaman qardh haruslah memenuhi prinsip syariah.
302
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
1. Seleksi dan
Akad Qardh
Bank Syariah Nasabah
sebagai penerima
pemberi pinjaman
pinjaman 2. menyerahkan dana qardh qardh
qardh
303
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Pertama, bank syariah melakukan evaluasi dan seleksi terhadap kelayakan nasabah
menerima pinjaman qardh. Evaluasi dan seleksi lebih dilihat pada aspek kesesuaian
nasabah dengan kriteria yang ditetapkan bagi penerima dana qardh yang bersifat sosial.
Selanjutnya kedua belah pihak menyepakati akad qardh.
Kedua, setelah akad qardh disepakati, bank syariah selanjutnya menyerahkan dana qardh
sesuai dengan yang disepakati.
Ketiga, nasabah melakukan pengembalian pinjaman qardh sebesar yang dipinjam, baik
secara langsung keseluruhan maupun angsuran.
Bapak Hartanto, yang bekerja pada sebuah bank syariah meminjam kepada bank syariah
tersebut dengan skema qardh untuk membayar uang masuk sekolah anaknya di Perguruan
Tinggi. Pinjaman qardh ini menggunakan dana intern bank. Informasi terkait akad yang
disepakati adalah sebagai berikut.
Jumlah pinjaman : Rp1.000.000
Lama pinjaman : 4 bulan
Biaya administrasi : Rp10.000
304
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
Rp1.000.000
Angsuran per bulan =
4
305
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Mengingat pada transaksi qardh jumlah pinjaman yang diterima adalah sama dengan
jumlah yang dibayarkan, maka angsuran yang dibayarkan tidak mengandung unsur
pendapatan sama sekali. Hal ini berbeda halnya dengan angsuran pada transaksi jual
beli yang mengandung unsur margin.
iii. Terdapat dana yang terbatas sehingga hanya dapat mendebit sebagian dari jumlah
angsuran
Apabila pada tanggal 20 November 20XA (tanggal jatuh tempo angsuran ketiga) terdapat
dana yang terbatas sehingga bank syariah hanya dapat mendebit sebesar Rp150.000.
Pendebitan berikut baru dapat dilakukan pada tanggal 10 Desember 20XA, setelah Bapak
306
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
307
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
2. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai pinjaman Qardh disajikan sebagai pos lawan (contra
account) pinjaman Qardh.
308
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
Referensi
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional-MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Edisi 2. Jakarta: DSN-
MUI dan Bank Indonesia.
DSAK IAI. 2002. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah. Jakarta: IAI.
Harahap, Sofyan S., Wiroso, Yusuf, M. 2004. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE USAKTI.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2005. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: IAI.
Wiyono, Slamet. 2005. Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah berdasarkan PSAK dan
PAPSI. Jakarta, Grasindo.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan dana kebajikan.
2. Jelaskan berbagai keperluan bank syariah yang dapat difasilitasi dengan menggunakan
skema pinjaman qardh dan identifikasilah transaksi tersebut di salah satu laporan keuangan
bank syariah yang ada.
3. Dari mana sajakah sumber dana kebajikan diperoleh dan bisa digunakan untuk apa sajakah
dana kebajikan?
4. Dari mana sajakah sumber dana ZIS diperoleh dan bisa digunakan untuk apa sajakah dana
Zakat?
5. Jelaskan ketentuan syar’i terkait dengan pinjaman qardh.
6. Perhatikan dan screen shoot-lah aspek penyajian dan pengungkapan yang berkaitan dengan
transaksi dana zakat, dana kebajikan, dan pinjaman qardh di laporan keuangan di salah
satu bank syariah. Analisislah tingkat kesesuaian praktiknya dengan PAPSI 2013.
B. Soal Kasus
Kasus 1
Pada awal bulan Juli 20XB, Bapak Hari, yang berprofesi sebagai tukang sapu jalan, meminjam
kepada bank syariah dengan skema qardh untuk membayar uang masuk sekolah anaknya di
SMA. Informasi terkait akad yang disepakati adalah sebagai berikut:
309
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Kasus 2
Saldo dana zakat Bank Syariah Peduli tahun 20XB adalah sebesar Rp15.000.000. Berikut adalah
transaksi yang terkait dengan dana zakat pada Bank Syariah Peduli selama tahun 20XB:
25 Januari 20XB diterima zakat dari Bpk Tono secara tunai Rp2.000.000.
16 Maret 20XB diterima zakat dari Bpk Umar secara tunai untuk korban bencana gempa
Bantul sebesar Rp10.000.000.
19 April 20XB disalurkan dana zakat untuk masyarakat miskin sebesar Rp11.000.000.
18 Mei 20XB diterima zakat Bank Syariah Peduli atas perniagaan selama tahun 20XB
sebesar Rp45.000.000.
29 Juli 20XB diterima via rekening sedekah dari jamaah pengajian FE UMY untuk zakat
sebesar Rp13.000.000.
310
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
LEMBAR JAWABAN
3. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
4. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
5. ...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
311
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
2. Tanggal 7 Agustus 20XB (tanggal jatuh tempo cicilan pertama) bank syariah mendapati
rekening nasabah memiliki saldo dana yang cukup untuk pembayaran cicilan, maka jurnal
pendebitan rekening untuk pembayaran cicilan pinjaman qardh adalah sebagai berikut:
3. Tanggal 7 September 20XB (tanggal jatuh tempo cicilan kedua) Bapak Hari belum memiliki
uang di rekeningnya untuk membayar cicilan.
4. Tanggal 20 September 20XB, setelah Bapak Hari mengisi rekeningnya, bank syariah untuk
mendebit rekening sebesar cicilan tahap kedua yang jatuh tempo.
5. Pada tanggal 7 Oktober 20XB (tanggal jatuh tempo cicilan ketiga) terdapat dana yang
terbatas sehingga bank syariah hanya mendebit sebesar Rp 200.000.
312
Akuntansi Transaksi Dana Zakat, Dana Kebajikan, dan Pinjaman Qardh
6. Pada tanggal 15 Oktober 20XB, Bpk Hari memasukkan sejumlah dana sehingga
memungkinkan bank syariah untuk mendebit sisa cicilan yang belum didebit rekening oleh
bank.
7. Tanggal 7 November 20XB (waktu pembayaran cicilan terakhir) yang juga merupakan
waktu akhir periode pinjaman qardh, Bpk Hari, di samping membayar cicilannya yang
terakhir, sebagai rasa terima kasihnya kepada bank syariah yang telah memberi pinjaman
qardh untuk pembayaran uang kuliah anaknya, memberikan imbalan sebesar Rp 20.000
kepada bank syariah. Penyerahan cicilan dilakukan via debit rekening sedangkan dan
imbalan dilakukan secara langsung tanpa melalui debit rekening. Jurnal transaksi pada
tanggal 20 Desember tersebut adalah sebagai berikut.
Kasus 2
313
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
314
AKUNTANSI KAS,
PENEMPATAN PADA
BANK INDONESIA,
KLIRING, DAN PAJAK
14
Pendahuluan
Bab 14 ini akan membahas secara khusus akuntansi untuk transaksi kas,
penempatan pada Bank Indonesia dan bank lain, serta pembayaran pajak.
Pembahasan diawali dengan pengenalan transaksi yang berpengaruh pada
kas dan dilanjutkan dengan alternatif mekanisme pengelolaan dana kas kecil.
Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan akuntansi transaksi penempatan
pada Bank Indonesia dan bank lain serta pembayaran pajak. Setelah membaca
bab ini, mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman dan praktik yang baik
tentang akuntansi kas, penempatan pada Bank Indonesia dan bank lain,
serta pembayaran pajak. Penguasaan teori dan praktik terkait pengakuan
dan pengukuran transaksi ini sangat penting untuk dikuasai karena banyak
digunakan dalam praktik perbankan.
315
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Akuntansi Kas
Kas adalah mata uang kertas dan logam baik dalam valuta rupiah maupun valuta asing yang
masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Perubahan posisi saldo kas di bank dapat
disebabkan oleh beberapa hal berikut.
a. Penyetoran dan penarikan tunai oleh nasabah,
b. Penyetoran kepada Bank Indonesia atau penarikan dari rekening bank yang bersangkutan
di Bank Indonesia,
c. Penggunaan untuk transaksi internal bank seperti untuk dana kas kecil, pembayaran biaya-
biaya operasional, biaya gaji, dan sebagainya.
Akuntansi kas senantiasa terkait dengan beberapa jenis transaksi di atas. Berikut ini
akan dibahas akuntansi kas untuk transaksi internal bank syariah. Transaksi penyetoran
dan penarikan tunai oleh nasabah dapat dilihat secara detail di Bab 6 tentang akuntansi
penghimpunan dana. Adapun transaksi penyetoran kepada Bank Indonesia atau penarikan
dari rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia akan dibahas pada Sub-bab Giro
Pada Bank Indonesia di bab ini.
Transaksi internal bank syariah dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tanpa menggunakan
kas kecil dan dengan menggunakan kas kecil. Untuk transaksi tanpa menggunakan kas kecil,
bank biasanya melakukan pembayaran via rekening. Adapun transaksi dengan menggunakan
kas kecil biasanya dilakukan untuk transaksi yang nilai rupiahnya relatif kecil, antara lain untuk
pembayaran konsumsi, biaya transpor, biaya langganan koran atau majalah, dan biaya listrik
atau air. Akuntansi kas kecil pada bank dapat menggunakan sistem dana tetap (imprest fund
system) maupun sistem dana berfluktuatif (fluctuating system).
Transaksi dana kas kecil dengan sistem dana tetap meliputi pembentukan dana kas
kecil, pemakaian dana kas kecil, dan pengisian dana kas kecil. Dalam sistem ini, pada saat
pembentukan dana kas kecil, bank akan mendebit dana kas kecil dan selanjutnya pemakaian
kas kecil tidak dijurnal, tapi hanya diarsip sehingga saldo dana kas kecil akan tetap. Yang
berubah adalah komposisi kasnya, karena komposisi kasnya terdiri atas uang tunai dan arsip
yang bernilai untuk ditukarkan pada saat pengisian kembali. Jumlah uang berkurang, tetapi
bukti pemakaiannya bertambah. Pada saat pengisian kembali, bank akan mendebit biaya-biaya
yang telah dikeluarkan dan mengkredit rekening kasnya.
Adapun pada akuntansi kas kecil dengan sistem dana berfluktuasi, pada saat pengisian kas
kecil, bank akan mendebit dana kas kecil dan mengkredit rekening kas. Pada saat pemakaian
kas kecil akan didebit biaya-biaya atau utang yang terjadi dan mengkredit dana kas kecil. Pada
pada saat pengisian kembali mendebit rekening dana kas kecil dan mengkredit rekening kas.
Kasus berikut adalah ilustrasi transaksi kas kecil Bank Peduli Syariah.
316
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
Jurnal bila menggunakan sistem dana tetap (imprest fund system) adalah sebagai berikut.
Jurnal bila menggunakan sistem dana berfluktuasi (fluctuating system) adalah sebagai berikut.
317
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Akuntansi Kas untuk Penyetoran dan Penarikan oleh Nasabah Melalui Teller
Variasi transaksi penyetoran dan penarikan oleh nasabah melalui teller didasarkan pada lokasi.
Berikut akan ditunjukkan bentuk jurnal pada masing-masing lokasi transaksi:
318
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
319
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
320
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
Kas ATM merupakan pos tersendiri untuk memudahkan identifikasi transaksi. Pengisian
ATM dilakukan apabila stok kas pada mesin sudah melewati titik minimal. jurnal pada ATM
dilakukan otomatis oleh sistem.
Tanggal 1 Agustus 20XA, Bank Murni Syariah cabang Padang menyetor tunai untuk giro di
Bank Indonesia sebesar Rp1 miliar.
Tanggal 10 Agustus 20XA, Bank Murni Syariah cabang Padang mengambil dana di Bank
Indonesia sebesar Rp400 juta.
321
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
entuk lain penempatan dana bank syariah pada Bank Indonesia adalah dalam bentuk
B
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Syariah yang merupakan instrumen pengganti atas Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI). Baik SBI Syariah maupun SWBI merupakan sarana penitipan
dana jangka pendek oleh bank syariah yang mengalami kelebihan likuiditas. SBI syariah
menggunakan skema jualah dengan kebijakan return saat ini mengacu pada SBI konvensional.
Sebagai alternatif terhadap acuan pada SBI konvensional, beberapa pakar ekonomi Islam di
Indonesia cenderung mengusulkan kebijakan return yang mengacu pada rata-rata return seluruh
bank syariah yang ada di Indonesia. Dengan demikian, perkembangan bank syariah akan
tetap seiring dengan perkembangan ekonomi riil masyarakat dan konsisten dengan prinsip the
existence of underlying transaction pada setiap keuntungan yang diperoleh.
Catatan: SBI syariah maupun FASBIS hanya bisa dilakukan atas pendebitan atau pengkreditan rekening giro bank di BI.
322
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
Kliring
Kliring merupakan sarana atau cara perhitungan utang-piutang dalam bentuk surat berharga
atau surat dagang dari suatu bank peserta yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak
lain yang ditunjuk. Untuk mengikuti kliring, Bank komersial harus terlebih dahulu terdaftar
sebagai peserta kliring pada penyelenggara kliring, yaitu Bank Indonesia. Dalam kegiatan
kliring, digunakan warkat, dokumen, dan formulir kliring. Warkat adalah alat pembayaran
bukan tunai yang diperhitungkan atas beban atau untuk rekening nasabah atau bank melalui
kliring. Beberapa bentuk warkat adalah cek, bilyet giro, wesel bank untuk transfer, surat bukti
penerimaan transfer, surat bukti penerimaan transfer, nota debit, dan nota kredit. Dokumen
kliring adalah dokumen yang berfungsi sebagai alat bantu dalam proses perhitungan kliring
ditempat penyelenggara. Dokumen kliring yang digunakan adalah daftar warkat kliring
penyerahan/pengembalian yang disediakan oleh masing-masing-masing peserta. Formulir
kliring adalah formulir yang digunakan untuk proses perhitungan kliring meliputi neraca kliring
penyerahan dan pengembalian yang disediakan oleh penyelenggara kliring, neraca kliring
penyerahan, dan pengembalian yang disediakan peserta kliring dan bilyet saldo kliring yang
disediakan oleh peserta. Berikut disajikan ilustrasi penarikan dan penyetoran kliring.
• Tanggal 5 Juli 20XA, Bank Murni Syariah menerima tagihan dari Bank Peduli Syariah
sebesar Rp200.000.000 untuk beban Bapak Rahmad.
• Tanggal 6 Juli 20XA, Bank Murni Syariah menyerahkan warkat kliring ke Bank
Indonesia dan pada tanggal itu juga kliring dinyatakan berhasil sebesar Rp300.000.000
untuk keuntungan rekening giro Bapak Syamsul.
Akuntansi Pajak
323
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
2. Penerimaan bagi hasil oleh nasabah giro mudharabah, tabungan mudharabah, dan deposito
mudharabah dikenakan pajak PPh Pasal 4 (2). Ketiganya dikenakan pajak sebesar 20%
dari bagi hasil atau bonus yang diterima.
3. Penghasilan yang diterima pegawai bank syariah dikenakan PPH 21 perorangan dikenakan
pajak 10%.
4. Penghasilan bank syariah yang kena pajak dikenakan PPH 21 badan.
5. Dividen yang dibayar bank syariah kepada pemegang saham dikenakan PPH Pasal 4 (2)
dividen.
Pajak yang dipungut oleh bank disimpan terlebih dahulu dalam rekening Titipan Kas
Negara dengan sub-rekening sesuai dengan jenis pajak yang dipungut. Secara berkala, pajak
tersebut dibayar pada rekening pemerintah di Bank Indonesia. Berikut adalah ilustrasi transaksi
pemotongan berbagai pajak oleh Bank Murni Syariah.
• Tanggal 30 Oktober 20XA, dibayar bonus giro wadiah pada rekening Thariq Muhammad
Ridho, nasabah giro wadiah BMS sebesar Rp100.000. BMS memotong pajak 20% PPh
Pasal 4 (2) giro.
• Tanggal 30 Oktober 20XA, dibayar bagi hasil yang sudah diumumkan, tapi belum
dibayar dan langsung dipotong pajak ke (1) rekening Ursila Husnul Ridho nasabah
tabungan mudharabah sebesar Rp60.000, (2) rekening tabungan mudharabah Dolly
Viviane, nasabah deposito mudharabah sebesar Rp200.000.
• Tanggal 1 November 20XA, dibayar gaji Thariqullah pegawai BMS sebesar Rp3.000.000,
dipotong pajak sebesar 10 %. Gaji langsung masuk rekening tabungan mudharabah
thariqullah.
• Tanggal 1 November 20XA, dipotong PPH 21 badan masa sebesar Rp15.000.000.
• Tanggal 1 November, dibayar dividen kepada Juoro Rochmadi, salah seorang pemegang
saham sebesar 20.000.000 dan dipotong PPh Pasal 4 (2) dividen. Dividen dibayar via
tabungan mudharabah Juoro.
• Tanggal 5 November, disetor semua pajak yang telah dipotong BMS ke rekening
pemerintah di Bank Indonesia sebesar Rp256.640.000.
324
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
325
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Referensi
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
DSAK IAI. 2002. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan
Syariah. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan
Syariah. Jakarta: IAI.
DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi 2. Jakarta: DSN-MUI dan Bank
Indonesia.
Taswan. 2003. Akuntansi Perbankan: Transaksi dalam Valuta Rupiah Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Transaksi apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perubahan posisi saldo kas?
2. Apakah perbedaan akuntansi kas kecil sistem dana tetap dengan sistem dana
berfluktuatif?
3. Apakah yang dimaksud dengan kliring?
4. Dalam hal apa sajakah kliring dilakukan?
5. Jelaskan objek pajak dan tarif pajak yang terdapat pada bank syariah.
B. Soal Kasus
Kasus 1
Berikut adalah ilustrasi transaksi kas kecil Bank Murni Syariah bulan Juni.
01 Juni 20XB dibentuk dana kas kecil sebesar Rp1.000.000
06 Juni 20XB dibayar biaya bahan bakar mobil kantor 240.000
09 Juni 20XB dibayar biaya konsumsi rapat 260.000
10 Juni 20XB dibayar asuransi cash in save 60.000
10 Juni 20XB dibayar asuransi cash in transit 40.000
11 Juni 20XB dibayar biaya servis kendaraan kantor 100.000
18 Juni 20XB dibayar biaya listrik bulan terakhir 180.000
24 Juni 20XB dibayar biaya air bulan terakhir 50.000
26 Juni 20XB dibayar biaya langganan koran dan majalah 50.000
30 Juni 200XB kas kecil diisi kembali
326
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
Kasus 2
Bank Berkah Syariah (BBS) cabang Padang menerima setoran tunai
7 Okt. 20XB
pembukaan tabungan atas nama Heri Mulyadi sebesar Rp75.000.000.
Heri Mulyadi melakukan setoran tunai di kantor cabang Padang ke rekening
12 Okt. 20XB
Zeno, nasabah BBS cabang Surabaya sebesar Rp17.000.000.
Heri Mulyadi melakukan penarikan tunai uang di rekeningnya di kantor
13 Okt. 20XB
cabang Padang sebesar Rp10.000.000.
Heri Mulyadi melakukan penarikan tunai di kantor cabang Jakarta sejumlah
15 Okt. 20XB
uang di rekeningnya sebesar Rp5.000.000.
30 Okt. 20XB Heri Mulyadi menerima bagi hasil sebesar Rp70.000.
30 Okt. 20XB Dipotong tabungan Heri Mulyadi untuk PPh Pasal 4(2) sebesar Rp14.000.
Diminta:
Buatlah jurnal di kantor cabang Padang yang
terkait dengan transaksi di atas!
327
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
328
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
329
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Kasus 2
330
Akuntansi Kas, Penempatan pada Bank Indonesia, Kliring, dan Pajak
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
331
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
332
PERHITUNGAN
BAGI HASIL 15
Pendahuluan
333
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Untuk menghitung pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank maupun nasabah di mana
bank sebagai mudharib sedangkan nasabah sebagai sahibul maal, dilakukan beberapa tahapan
yang dilakukan, sebagai berikut.
1. Menentukan prinsip perhitungan bagi hasil.
2. Menghitung jumlah pendapatan yang akan didistribusikan untuk bagi hasil.
3. Menentukan sumber pendanaan yang digunakan sebagai dasar perhitungan bagi hasil.
4. Menentukan pendapatan bagi hasil untuk bank dan nasabah.
5. Akuntansi bagi hasil untuk bank syariah.
Secara ringkas, tahapan perhitungan bagi hasil pendapatan dapat digambarkan sebagai
berikut.
Prinsip perhitungan bagi hasil pendapatan sangat penting untuk ditentukan di awal dan diketahui
oleh kedua belah pihak yang akan melakukan kesepakatan kerja sama bisnis karena apabila hal
ini tidak dilakukan, maka berarti telah terjadi ghoror, sehingga transaksi menjadi tidak sesuai
dengan prinsip syariah. Prinsip perhitungan bagi hasil menentukan jumlah pendapatan yang
digunakan sebagai dasar perhitungan untuk bagi hasil, apakah menggunakan penerimaan neto,
laba bruto, atau laba neto. Dewan Syariah Nasional dalam fatwanya dengan Nomor 15 tahun
2000 menyatakan bahwa bank syariah boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing)
maupun bagi untung (profit sharing) sebagai dasar bagi hasil.
334
Perhitungan Bagi Hasil
Penjualan 100
Beban 25
Dalam praktik perbankan, gross profit sharing yang dibagi hasil kepada pihak ketiga
meliputi:
1. margin bank yang meliputi margin Murabahah, salam, dan istishna. Dalam hal ini margin
bank adalah selisih antara harga jual barang dengan harga beli barang. Sekiranya ada
pemberian potongan kepada nasabah, maka potongan tersebut akan mengurangi margin
bank.
2. Pendapatan ijarah neto. Dalam hal ini pendapatan ijarah neto adalah selisih antara
pendapatan ijarah dengan akumulasi penyusutan ijarah. Gain atas penjualan aset ijarah
juga termasuk dalam pendapatan ijarah.
3. Bagi hasil pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah Penggunaan gross profit
sharing sebagai dasar perhitungan bagi hasil lebih adil bagi perbankan syariah maupun
nasabah, karena penggunaan laba bruto sebagai dasar perhitungan bagi hasil telah
mempertimbangkan faktor kinerja (penjualan) dan juga biaya (harga pokok penjualan)
sebagai komponen perhitungan laba atau pendapatan bruto. Secara ideal prinsip profit
sharing lebih mencerminkan laba yang sesungguhnya karena dihasilkan dari perhitungan
seluruh pendapatan dikurang seluruh biaya, namun secara teknis dilapangan prinsip profit
335
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
sharing membuka peluang yang besar adanya ketidak seimbangan informasi (assimetric
information) antara sahibul maal dan mudharib, yang dapat menimbulkan kerugian bagi
sahibul maal.
Penggunaan praktik gross profit sharing sebagai dasar bagi hasil bagi nasabah penabung atau
deposan dengan skema mudharabah dapat terlihat pada pengakuan pendapatan bank syariah.
Pendapatan murabahah yang dibagi hasil misalnya adalah nilai margin murabahah (selisih harga
jual dengan harga pokok barang yang dijual) yang uangnya telah diterima oleh bank syariah.
Ini menunjukkan bahwa dasar bagi hasil kepada nasabah penabung pada dasarnya adalah gross
profit sharing dan bukan revenue sharing. Demikian pula dalam pengakuan pendapatan ijarah,
besaran pendapatan ijarah yang disajikan dalam pendapatan utama pada laporan rugi laba
adalah pendapatan ijarah setelah dikurangi biaya operasional aset yang disewakan sebelum
dikurangi biaya operasional rutin lainnya.
Perbandingan prinsip revenue sharing dan profit sharing dapat dilihat dalam gambar 15.2
berikut.
Figur 15.2 Perbedaan Prinsip Bagi Hasil Revenue Sharing dan Profit Sharing
Pendapatan utama:
• Bagi hasil
• Margin
• Sewa
• Pendapatan utama
lainnya
336
Perhitungan Bagi Hasil
Dari Figur 15.2 terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah pendapatan yang akan dijadikan
sebagai dasar untuk menghitung distribusi bagi hasil dari kedua prinsip bagi hasil tersebut.
Dengan prinsip revenue sharing pendapatan yang digunakan untuk diperhitungkan dalam
perhitungan bagi hasil adalah pendapatan bruto yang terdiri atas pendapatan bagi hasil yang
diterima dari bagi hasil investasi pembiayaan, pendapatan margin murabahah (penjualan setelah
dikurangi harga pokok), pendapatan ijarah neto setelah dikurangi biaya-biaya opersional sewa
aset yang bersangkutan dan pendapatan neto lainnya, sedangkan dengan prinsip profit sharing
pendapatan yang menjadi dasar perhitungan bagi hasil dengan prinsip revenue sharing harus
dikurangi lagi dengan biaya operasional rutin bank, sehingga diperoleh laba neto. Laba neto
inilah yang digunakan sebagai dasar perhitungan bagi hasil.
Sebagai ilustrasi kasus untuk menghitung bagi hasil pendapatan digunakan data berikut
dalam Tabel 15.2 berikut.
Sumber Lain
Lainnya
337
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Setelah menentukan prinsip perhitungan bagi hasil yang akan digunakan, misalnya menggunakan
revenue sharing, maka dari laporan laba rugi dapat diperoleh jumlah pendapatan yang akan
diperhitungkan untuk bagi hasil dari masing-masing jenis pembiayaan (lihat Tabel 15.1). Tahap
selanjutnya adalah menghitung pendapatan yang akan didistribusikan sebagai pendapatan bagi
hasil untuk bank dan nasabah. Dalam perolehan pendapatan, terdapat dua variasi sumber dana
untuk memperoleh pendapatan yang diterima oleh bank syariah, yaitu sebagai berikut.
1. Seluruh pendapatan berasal dari pembiayaan yang sumbernya dari dana nasabah.
2. Sebagian pendapatan berasal dari pembiayaan yang sumbernya dari dana nasabah dan
sebagian pendapatan dari modal bank.
Oleh karena adanya variasi tersebut, maka perlu dipisahkan mana yang pendapatannya
diterima dari sumber dana nasabah dan yang berasal dari dana bank. Hal ini penting karena
jika pendapatan diperoleh dari sumber dana yang dimiliki bank, maka tidak ada distribusi
bagi hasil untuk nasabah, artinya semua pendapatan menjadi hak bank. Apabila pendapatan
berasal dari pembiayaan yang sumbernya dari dana nasabah, maka pendapatan tersebut harus
didistribusikan (bagi hasil) untuk nasabah dan bank.
Untuk menghitung jumlah pendapatan yang akan didistribusikan, terdapat tiga alternatif
pendekatan. Pendapatan yang akan dibagi hasil dihitung berdasarkan:
a. Sumber Dana Pihak ketiga dari Dana Mudharabah saja (Rp200.000.000).
b. Sumber Dana Pihak ketiga dari Dana Mudharabah dan Wadiah (Rp330.000.000).
c. Seluruh Sumber dana (Rp400.000.000).
Apabila perhitungan pendapatan yang akan dibagi hasil menggunakan pendekatan sumber
dana dari dana mudharabah saja, maka tahapan perhitungannya seperti berikut.
1. Menghitung Rata-rata Saldo Harian Sumber Dana (RSSD). Hal ini dilakukan karena saldo
nasabah dapat berubah setiap hari. Perhitungan Rata-Rata Saldo Harian Sumber Dana
menggunakan rumus berikut.
Saldo tanggal 1 + saldo tanggal 2, dan seterusnya.... tanggal n
RSSD =
Jumlah hari n
Rata-rata Saldo Harian Sumber Dana disajikan dalam Tabel 15.2 kolom 1.
2. Menghitung Rata-Rata Saldo Harian Pembiayaan (RSP). Hal ini dilakukan karena saldo
untuk masing-masing pembiayaan dapat berubah setiap hari. Perhitungan Rata-Rata Saldo
Harian Pembiayaan menggunakan rumus berikut.
Saldo tanggal 1 + saldo tanggal 2, dan seterusnya.... tanggal n
RSP =
Jumlah hari n
Rata-Rata Saldo Harian Pembiayaan disajikan dalam Tabel 15.2 kolom 2.
Setelah diketahui rata-rata saldo harian sumber dana dan rata-rata saldo harian pembiayaan,
kemudian tambahkan data jumlah hasil usaha untuk masing-masing pembiayaan pada
kolom 3 yang diperoleh dari Tabel 15.1.
338
Perhitungan Bagi Hasil
3. Menghitung pendapatan untuk bagi hasil. Pendapatan untuk bagi hasil dihitung dengan
menggunakan rumus:
Jumlah Rata-rata Saldo Sumber Dana
Pendapatan Bagi Hasil = × Jumlah Pendapatan
Jumlah Rata-rata Saldo Harian Pembiayaan
200.000.000
Pendapatan Bagi Hasil = × 2.000.000
400.000.000
Dari perhitungan di atas diperoleh jumlah pendapatan yang akan dibagi hasil antara bank
dengan nasabah sebesar Rp1.000.000.
Tabel 15.3 Perhitungan Pendapatan yang Akan Dibagi Hasil Berdasarkan Sumber Dana Pihak
Ketiga dari Sumber Dana Mudharabah
1 2 3 4
Penghimpunan Dana
Penyaluran dana
339
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Tabel 15.4 Perhitungan Pendapatan yang Akan Dibagi Hasil Berdasarkan Sumber Dana Pihak
Ketiga dari Sumber Dana Mudharabah dan Wadiah
Prinsip Wadiah
Jumlah 130.000.000
Penghimpunan Dana
Jumlah 200.000.000
Penyaluran dana
330.000.000
Pendapatan Bagi Hasil = × 2.000.000
400.000.000
Dari perhitungan di atas diperoleh jumlah pendapatan yang akan dibagi hasil antara bank
dengan nasabah sebesar Rp1.650.000.
Apabila perhitungan pendapatan yang akan dibagi hasilkan menggunakan pendekatan
berdasarkan dana pihak ketiga yang berasal dari seluruh sumber dana maka dihasilkan
perhitungan seperti dalam Tabel 15.5 berikut.
340
Perhitungan Bagi Hasil
Tabel 15.5 Perhitungan Pendapatan yang Akan Dibagi Hasil Berdasarkan Seluruh Sumber Dana
Pendapatan Pendapatan
Rata-Rata Harian Rata-rata Harian
Kelompok Penyaluran dana untuk bagi hasil
1 2 3 4
Prinsip Wadiah
Tabungan Wadiah 50.000.000
Jumlah 130.000.000
Penghimpunan Dana
- Tab Mudharabah 60.000.000
Jumlah 200.000.000
Modal 70.000.000
Jumlah 70.000.000
Jumlah Sumber Dana 400.000.000
Penyaluran dana
- Jual Beli 180.000.000 550.000
- Ijarah 30.000.000 100.000
- Bagi Hasil 140.000.000 1.050.000
- Penyaluran lainnya 50.000.000 300.000
Jumlah – 400.000.000 2.000.000 2.000.000
Tahapan selanjutnya adalah menghitung distribusi pendapatan yang akan dibagi hasil
kepada bank dan nasabah. Dalam perhitungan distribusi pendapatan yang akan dibagi hasil
kepada bank dan nasabah dapat menggunakan pendekatan sumber dana dari dana pihak ketiga
mudharabah saja (Rp200.000.000) atau sumber dana dari dana pihak ke tiga dari sumber
dana mudharabah dan wadiah (Rp330.000.000), atau seluruh sumber dana (Rp400.000.000).
Perhitungan selanjutnya dalam penjelasan buku ini menggunakan pendekatan sumber dana dari
sumber dana pihak ketiga dari sumber dana mudharabah saja.
341
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Untuk melanjutkan menghitung hasil akhir berapa pendapatan bagi hasil yang akan diterima
bank dan nasabah, maka diperlukan informasi tambahan yang digunakan seperti tersaji dalam
Tabel 15.6.
Tabel 15.6 Tabel Kelompok Sumber Dana dan Nisbah Bagi Hasil
Deposito Mudharabah
Untuk data saldo rata-rata dalam tabel di atas diperoleh dari perhitungan dalam Tabel
15.3. sedangkan jumlah besaran nisbah diperoleh dari kebijakan atau kesepakatan antara bank
dengan nasabah pada saat persetujuan penyetoran dana dari nasabah.
Dari data dalam Tabel 15.3 dan Tabel 15 .4 dihitung proporsi pendapatan yang akan dibagi
hasil untuk masing-masing kelompok sumber dana dengan menggunakan rumus:
60.000.000
Proporsi Tabungan Mudharabah = × 1.000.000
200.000.000
Setelah diketahui jumlah pendapatan yang akan dibagi hasil untuk masing-masing kelompok
investasi, selanjutnya dihitung pendapatan bagi hasil untuk bank dan nasabah dengan
menggunakan rumus berikut.
Pendapatan Nasabah Proporsi Pendapatan
= × Nisbah bagi hasil nasabah
Tabungan Mudharabah Tabungan Mudharabah
Pendapatan Nasabah Tabungan Mudharabah = 300.000 × 40% = 120.000.
342
Perhitungan Bagi Hasil
Untuk perhitungan sumberdana deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan mengikuti
perhitungan yang sama dengan perhitungan tabungan.
Tabel 15.7 Tabel Distribusi Bagi Hasil kepada Nasabah dan Bank
Dep. Mudharabah – – – – – –
Di lapangan, para praktisi khususnya marketing bank syariah menghadapi kesulitan untuk
memberi penjelasan kepada calon nasabah investor mengenai gambaran perkiraan return masa
datang yang akan diterima apabila calon nasabah berinvestasi di bank syariah dalam bentuk
investasi tabungan maupun investasi deposito. Hal tersebut terjadi karena:
a. bank syariah hanya memberikan informasi kepada nasabah investor besaran nisbah bagi
hasil yang belum dapat memberi gambaran pasti jumlah return yang akan diterima nasabah,
karena pendapatan bagi hasil sesungguhnya hanya dapat dihitung setelah pendapatan riil
direalisasi;
b. bank syariah tidak diperbolehkan memberikan janji pendapatan kepada nasabah investor,
karena pendapatan riil hanya dapat diketahui setelah hasil investasi direalisasi.
Untuk menjembatani masalah tersebut maka digunakan data masa lalu, biasanya digunakan data
return beberapa bulan sebelumnya. Data return inipun dibuat dalam bentuk tingkat persentase
(indication rate) pendapatan bagi hasil dari rata-rata investasi pada bulan-bulan sebelumnya.
Digunakannya satuan persentase rate indikasi ini karena pada umumnya para nasabah mudah
memperoleh gambaran dalam bentuk prosentase yang biasa digunakan dalam perhitungan
bunga bank pada bank konvensional, sehingga istilah yang digunakan oleh para praktisi bank
syariah menyebutnya equivalent rate, artinya jika pendapatan bulan sebelumnya dengan bagi
hasil tertentu, maka apabila dihitung dalam bentuk persentase maka equivalent rate (dalam
bank konvensional) adalah sebesar sekian persen.
Apabila data dalam Tabel 15.7 dilanjutkan dengan perhitungan equivalent rate. Untuk
menghitung equivalent rate digunakan infomasi jumlah hari dalam satu tahun (misalnya 365
hari) dan jumlah hari dalam satu bulan, misalnya 30 hari. Perhitungan equivalent rate untuk
sumber dana kelompok tabungan mudharabah sebagai berikut.
343
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Untuk sumber dana deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan menggunakan rumus
yang sama dengan sumber dana tabungan.
Tabel 15.8 Tabel Equivalent Rate atas Bagi Hasil untuk Nasabah
Nasabah Bank
Proporsi
Jenis Kelompok Saldo Rata-Rata
Pendapatan Dibagi
Nisbah Pendapatan Eq R Nisbah Pendapatan
Dep. Mudharabah –-
Setelah equivalent rate diperoleh, bank selanjutnya dapat menghitung bagi hasil bagi
nasabah perorangan pada setiap akhir bulan. Untuk menghitung bagi hasil untuk nasabah
perorangan dapat menggunakan rumus berikut.
Misalkan Hanif nasabah tabungan mudharabah memiliki saldo rata-rata pada bulan Januari
sebesar Rp1.000.000. Maka perhitungan bagi hasil yang diperolehnya adalah sebagai berikut.
Rp1.000.000 × 30 × 2,43%
Bagi hasil Hanif =
365
Rp72.900.000
Bagi hasil Hanif =
36500
344
Perhitungan Bagi Hasil
Referensi
Bank Indonesia. 2013. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewan Syariah Nasional - MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. (Jakarta: DSN-MUI
dan Bank Indonesia, 2003)
DSAK IAI, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan
Syariah. (Jakarta: IAI, 2007)
Ikatan Akuntan Indonesia, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia, (Jakarta: IAI, 2003)
Soal-Soal Latihan
A. Soal Teori
1. Jelaskanlah tahapan perhitungan bagi hasil!
2. Apakah yang dimaksud dengan revenue sharing, gross profit sharing dan profit sharing?
Jelaskanlah perbedaan ketiganya!
3. Apakah dasar bagi hasil yang umum digunakan perbankan syariah di Indonesia saat
ini? Jelaskan kelebihan yang terdapat dalam dasar bagi hasil tersebut sehingga banyak
digunakan dalam praktik perbankan!
4. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan saldo rata-rata harian!
5. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan equivalent rate dan apakah kegunaannya bagi
nasabah penghimpunan!
B. Soal Kasus
Kasus 1
Berikut data harian sumber dana dan pembiayaan bank Murni Syariah selama bulan Desember
20XA dan pendapatan yang diperoleh selama bulan Desesember 20XA. Buatlah tabel perhitungan,
berapa pendapatan yang dibagi hasil, jika menggunakan pendekatan:
a. Sumber dana dari mudharabah muthlaqah saja.
b. Sumber dana dari mudharabah dan wadiah.
Rata-Rata Harian Sumber Dana Rata-Rata Harian Penyaluran Dana Pendapatan Bulan Juli
Penghimpunan dengan skema Penyaluran dengan skema Bagi Hasil
Wadiah
Tab. Wadiah 40.000.000 Pemb. Mudharabah 100.000.000 60.000.000
Giro Wadiah 100.000.000 Pemb. Musyarakah 245.000.000 225.000.000
Jumlah 140.000.000 Jumlah 345.000.000 285.000.000
345
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Rata-Rata Harian Sumber Dana Rata-Rata Harian Penyaluran Dana Pendapatan Bulan Juli
Penghimpunan dengan skema Penyaluran dengan skema Bagi Hasil
Wadiah
Tab. Mudharabah 120.000.000 Murabahah 100.000.000 30.000.000
Dep. Mudharabah 200.000.000 Salam 75.000.000 2.500.000
Jumlah 320.000.000 Istishna 50.000.000 1.000.000
Jumlah 225.000.000 33.500.000
Sumber Lain
Modal 340.000.000 Penyaluran dengan skema Ijarah (Sewa)
Jumlah 340.000.000 Ijarah 60.000.000 1.200.000
Jumlah 60.000.000 1.200.000
Lainnya
IMA 30.000.000 800.000
SBI Syariah 40.000.000 700.000
Jumlah 70.000.000 1.500.000
Total 800.000.000 700.000.000 321.200.000
Kasus 2
Berikut ini adalah data rata-rata harian penghimpunan dana dan rata-rata harian pembiayaan
serta perhitungan pendapatan yang akan dibagi hasil pada bank Murni Syariah pada bulan
April 20XB.
1 3 4
Penghimpunan Dana
Penyaluran dana
- Jual Beli 1.550.000.000 30.000.000
- Ijarah 80.000.000 2.400.000
- Bagi Hasil 1.300.000.000 22.300.000
- Penyaluran lainnya 70.000.000 1.300.000
Jumlah 3.000.000.000 56.000.000 16.800.000
346
Perhitungan Bagi Hasil
Berikut ini adalah tabel saldo rata-rata harian simpanan serta nisbah bagi hasil antara bank
dengan nasabah penabung dan deposan.
Deposito Mudharabah
Dengan menggunakan data harian 365 hari dalam setahun dan 30 hari dalam sebulan, hitunglah
berapa jumlah berikut.
a. Pendapatan yang diperoleh bank syariah dan nasabah tabungan serta deposito 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
b. Berapa equivalent rate tingkat retur nasabah tabungan dan deposito pada bulan April
20XB.
c. Misalkan Rofi adalah nasabah tabungan mudharabah dengan saldo rata-rata harian
sebesar Rp10.000.000. Hitunglah bagi hasil yang diterimanya untuk bulan tersebut.
d. Jika Nita adalah nasabah deposito 6 bulan dengan saldo rata-rata harian sebesar
Rp8.000.000. Hitunglah bagi hasil yang diterimanya untuk bulan tersebut.
347
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
LEMBAR JAWABAN
Kasus 2
348
Perhitungan Bagi Hasil
Komentar Dosen :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
349
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
350
DAFTAR PUSTAKA
D-1
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 102 tentang Akuntansi Murabahah. Jakarta:
IAI.
DSAK IAI. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 103 tentang Akuntansi Salam. Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 104 tentang Akuntansi Istishna’.
Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 105 tentang Akuntansi Mudharabah.
Jakarta: IAI.
DSAK IAI. 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 106 tentang Akuntansi Musyarakah.
Jakarta: IAI.
DSN MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional edisi 2. DSN-MUI dan Bank Indonesia.
Gambling, Trevor dan Karim, R.A.A. 1991. Business and Accounting Ethics in Islam. London: Mansell
Publishing Ltd.
Hameed, Shahul. 2000. “The need for Islamic Accounting: Perception of Its Objectives and Characteristics
by Malaysia Accountants and Academics”. Ph.D. Thesis. University of Dundee.
Hameed, Shahul dan Yaya, Rizal. 2005. “The Emerging Issues on the Objectives and Characteristics of
Islamic Accounting for Islamic Business Organizations”. Malaysian Accounting Review 4, 1, hlm.
75-92.
Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam, Analisis Fiqih, dan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mirza, M & Baydoun, N. 2000. “Accounting Policy in a Riba Free Environment”. Accounting, Commerce
and Finance: The Islamic Perspective Journal. 4 (1): 30-40.
Muhammad. 2004. Dasar-Dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: Ekonisia FE-UII.
Rashid, S. 1987. “Islamic Economics: a Historic-Inductive Approach”. Paper of the Seminar on Islamic
Economics. Washington.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta:
Ekonisia.
Syahatah, Husein. 2001. Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam. Diterjemahkan Khusnul Fatarib. Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana.
Taswan. 2003. Akuntansi Perbankan: Transaksi dalam Valuta Rupiah Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
Triyuwono, Iwan. 1997. “Akuntansi Syariah dan Koperasi: Mencari Bentuk dalam Bingkai Metafora
Amanah”. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. 4, 1, hlm. 1-34.
Triyuwono, Iwan. 2000. “Akuntansi Syariah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora
Amanah”. Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia. 4, 1, hlm. 1-34.
Triyuwono, Iwan. 2006. Perspektif, Metodologi dan Teori Akuntansi Syariah. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Yaya, Rizal dan Hameed, Shahul. 2006. “The Emerging Issues on the Objectives and Characteristics
of Islamic Accounting its Impact on Indonesia Islamic Accounting Development”. Proceeding
International Joint Seminar on Muslim Countries and Development. Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
D-2
Daftar Pustaka
D-3
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
D-4
GLOSARIUM
A
Akad Keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang
memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
Akad Mudharabah Akad yang digunakan dalam perjanjian antara pihak penanam
dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang
telah disepakati sebelumnya.
Akad Qardh Akad yang memfasilitasi transaksi peminjaman sejumlah dana tanpa
adanya pembebanan bunga atas dana yang dipinjam oleh nasabah.
Akad Salam Pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, dengan cara
penawaran dari penjual (bank syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh
pembeli (nasabah).
Akad Wadiah Akad penitipan dana dengan ketentuan penitip dana mengizinkan
kepada Bank untuk memanfaatkan dana yang dititipkan tersebut dan bank
wajib mengembalikan apabila penitip mengambil sewaktu-waktu dana
tersebut.
Aset Sumber daya yang dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari peristiwa
masa lalu dan memiliki manfaat ekonomi masa depan bagi entitas syariah.
B
Bai’ najasy Tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak
permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk akan naik.
Baitulmal Organisasi yang berperan dalam pengumpulan dan penyaluran dana non-
profit seperti zakat, infak, dan shadaqah.
G-1
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
D
Dana Qardh Dana sosial yang berasal dari masyarakat yang dikelola oleh bank syariah yang dalam
penyalurannya tidak dibatasi secara khusus oleh pemberi dana.
Dana Syirkah Temporer Dana Syirkah temporer adalah dana yang diterima sebagai investasi dengan
jangka waktu tertentu dari individu dan pihak lainnya yang mana entitas syariah mempunyai
hak untuk mengelola dan menginvestasikan dana tersebut dengan pembagian hasil investasi
berdasarkan kesepakatan.
Dana ZIS Dana yang bersumber dari zakat, infak, dan shadaqah.
Deposito Mudharabah Simpanan dana dengan skema pemilik dana (shahibul maal) mempercayakan
dananya untuk dikelola bank (mudharib) dengan hasil yang diperoleh dibagi antara pemilik dana
dan bank dengan nisbah yang disepakati sejak awal.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) Badan terafiliasi yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN) dalam setiap lembaga keuangan Syariah.
Dewan Syariah Nasional (DSN) Bagian dari MUI yang membuat fatwa terkait dengan produk keuangan
syariah.
E
Ekuitas Hak residual atas aset entitas syariah setelah dikurangi semua kewajiban dan dana syikah
temporer. Ekuitas dapat berupa setoran modal oleh para penanam saham, saldo laba dan
penyisihan saldo laba (KDPPLKS paragraf 92).
I
Ikhtikar Mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun.
Istishna’ Pembelian barang yang pembayarannya dilunasi di muka, sedangkan penyerahan barang
dilakukan di kemudian hari.
Istishna’ Paralel Jual beli barang yang melibatkan dua transaksi istishna’, dalam hal ini transaksi istishna’
pertama dilakukan dilakukan antara nasabah dengan bank, sedang transaksi istishna’ kedua
dilakukan antara bank dengan petani atau penyuplai.
J
Jual beli dengan Skema Istishna’ Jual beli yang didasarkan atas penugasan oleh pembeli kepada penjual
yang juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu produk sesuai dengan spesifikasi yang
disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati.
G-2
Glosarium
Jual beli dengan Skema Murabahah Jual beli dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan
yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Jual beli dengan Skema Salam Jual beli yang pelunasannya dilakukan oleh pembeli sebelum barang
pesanan diterima.
K
Karakteristik Andal Bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan disajikan
secara jujur dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan
(KDPPLKS paragraf 52).
Karakteristik dapat dipahami Pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang dapat memadai
tentang aktivitas ekonomi dan bisnis dengan ketekunan yang wajar.
Karakteristik Relevan Memiliki kemampuan untuk memengaruhi keputusan ekonomi pemakai
dengan membantu mereka mengevaluasi masa lalu, masa kini, atau masa depan menegaskan
atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu (KDPPLKS paragraf 46).
Kas Mata uang kertas dan logam baik dalam valuta rupiah maupun valuta asing yang masih berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah.
Kewajiban Utang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, yang penyelesaiannya
diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas syariah yang mengandung
manfaat ekonomi.
Komite Akuntansi Syariah (KAS) Komite yang dibentuk oleh Ikatan Akuntan Indonesia untuk
merumuskan standar akuntansi syariah.
L
Laporan Laba Rugi Ukuran kinerja entitas syariah yang juga merupakan dasar bagi ukuran yang lain
seperti imbalan investasi atau penghasilan per saham.
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah
dan yang mendapat izin operasional sebagai lembaga keuangan syariah (DSN-MUI, 2003).
M
Maysir Sebuah permainan di mana satu pihak akan memperoleh keuntungan, sementara pihak lainnya
akan menderita kerugian (Ibnu Qudama: Al Mughni, 13/408).
Mudharabah Perjanjian atas suatu jenis kerja sama usaha di mana pihak pertama menyediakan dana
dan pihak kedua bertanggung jawab atas pengelolaan usaha.
Mudharabah Akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal)
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Mudharabah Muqayyadah Shahibul maal memberi batasan kepada mudharib dalam pengelolaan dana
berupa jenis usaha, tempat, penyuplai, maupun konsumen.
Mudharabah Muthlaqah Mudharabah yang memberi kuasa kepada mudharib secara penuh untuk
menjalankan usaha tanpa batasan apa pun yang berkaitan dengan usaha tersebut.
Mudharib Pihak yang mengelola usaha.
Murabahah Transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin)
yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
G-3
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
Musyarakah (Syirkah) Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dengan
kondisi masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.
Musyarakah ‘Inan Kerja sama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama
untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama.
Musyarakah Abdan (Syirkah Usaha) Kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan
oleh tubuh (skill) mereka, seperti kerja sama sesama dokter di klinik atau sesama tukang jahit,
atau sesama akuntan/konsultan.
Musyarakah Mufawadhah Musyarakah di mana para anggotanya memiliki kesamaan dalam modal,
aktivitas, dan utang-piutang, dari mulai berdirinya musyarakah hingga akhir (jika asas persamaan
tidak terpenuhi kategorinya masuk pada musyarakah ‘inan).
Musyarakah Wujuh Kerja sama dua pihak atau lebih dengan cara mereka membeli barang dengan
menggunakan nama baik mereka dan kepercayaan pedagang kepada mereka tanpa keduanya
memiliki modal uang sama sekali, menjualnya dengan pembagian keuntungan mereka dan
pedagang, lalu setelah dijual bagian keuntungan mereka dibagi bersama.
P
Pasar Modal Tempat perusahaan menerbitkan surat berharga baik berupa saham maupun obligasi agar
memperoleh dana dari investor.
Pegadaian Syariah Lembaga pegadaian yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah.
Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Syariah kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif.
Pengakuan Proses pembentukan pos yang memenuhi definisi unsur serta kriteria pengakuan dalam
neraca atau laporan laba rugi.
Pengukuran Proses penetapan jumlah uang untuk mengakui dan memasukkan setiap unsur laporan
keuangan dalam neraca dan laporan laba rugi.
Prinsip Maslahah Transaksi syariah haruslah merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan kolektif.
Prinsip Ukhuwah Transaksi yang diadakan merupakan bentuk interaksi sosial dan harmonisasi
kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara umum dengan semangat saling tolong-
menolong.
Prinsip ’Adalah Menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan sesuatu pada yang berhak
serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya.
Prinsip Keseimbangan Transaksi harus memperhatikan keseimbangan aspek material dan spiritual,
aspek privat dan publik, sektor keuangan dan riil, bisnis dan sosial dan keseimbangan aspek
pemanfaatan dan pelestarian.
Prinsip Universalisme (Syumuliah) Transaksi syariah yang dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk
semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras, dan
golongan sesuai dengan semangat rahmatan li alamin (KDPPLKS paragraf 25).
G-4
Glosarium
Q
Qardh Transaksi yang diperbolehkan oleh syariah dengan menggunakan skema pinjam-meminjam.
R
Reksadana Syariah Perusahaan sekuritas yang khusus memfasilitasi investor yang menginvestasikan
dananya pada saham-saham yang memenuhi kriteria syariah.
Riba Tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan
syariah atas penambahan tersebut.
S
Salam Pembelian barang yang pembayarannya dilunasi di muka, sedangkan penyerahan barang
dilakukan di kemudian hari.
Salam Paralel Jual beli barang yang melibatkan dua transaksi salam, dalam hal ini transaksi salam
pertama dilakukan antara nasabah dengan bank, sedang transaksi salam kedua dilakukan antara
bank dengan petani atau penyuplai.
Sewa dengan Skema Ijarah Transaksi sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk
mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.
Sewa dengan Skema Ijarah Muntahiya Bit Tamlik Transaksi sewa-menyewa antara pemilik objek sewa
dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disediakannya dengan opsi
perpindahan hak milik pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa.
Shadaqah Istilah yang umum digunakan untuk segala sesuatu yang kita kontribusikan kepada orang
lain.
Shahibul Maal Pihak yang menyediakan dana.
T
Tabungan Mudharabah Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu
yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan dengan itu.
Tadlis Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (unknown to
one party).
Gharar Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh kedua belah pihak.
Takaful Lembaga asuransi yang beroperasi dengan sistem syariah.
W
Wadiah Titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga
dan dikembalikan oleh yang penerima titipan, kapan saja si penitip menghendaki.
Wadiah Yad-amanah Penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai si
penitip mengambil kembali titipannya.
Wadiah Yad-dhamanah Titipan yang selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan
oleh penerima titipan.
G-5
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
G-6
INDEKS
F Istishna’, 51
Iwan Triyuwono, 8
four bottom line, 9
J
G Jaridah Al-Kharaj, 4
Gaffikin, 8, 10 Jaridah Al-Mal, 4
Gamal Abdul Naser, 14 Jaridah Al-Musadareen, 4
General Council of Islamic Banks and Financial Jaridah An-Nafaqat, 4
Institution, 20
Gharar, 35, 36, 38, 45
Giro mudharabah, 97, 100
K
Giro wadiah, 97–99 Kafalah, 60, 61, 65
Global Reporting Initiative, 9 Kafiil, 60
GRI, 9 KDPPLKBS, 70
Gross profit, 114, 115 KDPP-LKS, 7
Gross profit sharing, 114 KDPPLKS, 69–77, 79, 81, 84, 85, 86
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
I LAZ, 23
Lembaga Amil Zakat, 23
IAI, 7, 8, 17, 30 Lembaga Keuangan Syariah, 34
IDB, 14, 16, 17, 29 Leonard of Piza, 5
IFSB, 16, 19, 20, 29 Liquidity Management Center, 20
IICRCA, 20 LKS, 34
IIFM, 16–18, 29 LMC, 20
IIRA, 20 Luca Pacioli, 1
Ijarah, 51, 57, 59, 60, 61, 64, 65, 67
Ijarah muntahiya bittamlik, 51, 57, 59, 64, 65, 67
Ikatan Akuntan Indonesia, 7, 17
M
Ikhtikar, 35, 36, 45 Makful bihi, 60
International Islamic Center for Reconciliation Makfuul ’anhu ’ashil, 60
and Comercial Arbitration, 20 Makfuul lahu, 60
International Islamic Financial Market, 15, 17, 29 Maysir, 35, 36
I-2
Indeks
Mirza, 8
Mit Ghamr Bank, 14 Q
Mit Ghamr Savings Bank, 14 Qardhul hasan, 51, 52
Mudharabah, 51, 54–59, 63–65, 67, 94–97,
99–101, 104
Mudharabah muqayyadah, 55, 56, 58, 59, 63, 110, R
129
Reksa Dana Syariah, 22
Mudharabah muqayyadah channeling, 110
Restricted mudharabah, 110
Mudharabah muqayyadah executing, 110
Revenue sharing, 113–115
Mudharabah musytarakah, 55, 110, 117, 129
Riba, 35, 36, 40
Mudharabah muthlaqah, 55, 110, 111, 129
Riba fadhl, 42, 43
Mudharabah terikat, 110
Riba jahiliyyah, 42
Mudharib, 51, 55, 57, 61, 110–113, 115, 124
Riba nasi’ah, 42, 43
Muhal, 51, 61
Riba qardh, 42
Muhal ’alaih, 51
Muhil, 51
Musyarakah, 67, 136, 137, 139–142, 144, 147, 159 S
Musyarakah abdan, 136
Musyarakah akad, 136 Salam, 51, 57, 58, 64, 65, 67
Musyarakah hak milik, 136 SFA, 7, 8
Musyarakah ‘inan, 136 Shahibul maal, 51, 53, 55–58, 100
Musyarakah menurun, 137, 147 Shahul Hameed, 9
Musyarakah mutanaqisha, 137, 147 Sharf, 60, 61
Musyarakah muwafadhah, 136 Sheikh Muhammad Taqi Usmani, 17
Musyarakah permanen, 137, 142 Skema ijarah, 59, 61, 64
Musyarakah wujuh, 136 Skema ijarah muntahiya bittamlik, 59
Skema investasi, 53, 57
Skema istishna’, 58
N Skema jual beli, 57
Skema mudharabah, 58, 64
Naser Social Investment, 14
Skema musyarakah, 58, 59
Net profit, 114, 115
Skema salam, 58
Nisbah, 51, 55
Skema sewa, 57
Skema wadiah, 74
P Syariah compliance, 9
Syirkah, 136, 137
Pacioli, 1, 4–6, 10, 11 Syirkah usaha, 136
PAPSI, 161, 173, 196 Syirkatul amlak, 136
Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Syirkatul uqud, 136
Indonesia, 161, 196
Pemberi dana qardh, 73
Pemilik dana syirkah temporer, 73, 74 T
Pemilik dana titipan, 74
Ta’alluq, 44, 45
Prinsip ’adalah, 72
Tadlis, 35–38, 45
Prinsip hawalah, 61
Transaksi mudharabah, 136, 144
Prinsip ijarah, 61
Transaksi musyarakah, 135–137, 139, 141, 142,
Prinsip maslahah, 72
144, 155
Prinsip sharf, 61
Transaktor, 112
Prinsip syumuliah, 73
Triple bottom line, 9
Prinsip tawazun, 72
Prinsip ukhuwah, 72
I-3
Ak u nt an s i Perb an k an Syar i a h: Teo ri d an Prak tik Ko ntemp o rer
U
Unit Usaha Syariah, 20, 25, 64
Unrestricted mudharabah, 111
UU No. 21 Tahun 2008, 21
UU Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008, 20
UUS, 20
V
Venice, 5
W
Wadiah, 54–56, 63, 64, 94, 96–101, 103, 104
Wadiah yad-amanah, 54, 63
Wadiah yad-dhamanah, 54, 55, 63
Wolf, 5
Z
Zaid, 3, 4, 5, 6, 10
I-4