Anda di halaman 1dari 39

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM


ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Dian Susilawati


NIM : C1G020066
Fakultas&Prodi : PERTANIAN / AGRIBISNIS
Semester :1

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

[1]
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya
tugas ini Atasizin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tigas dengan tepat waktu
tanpa kurang suatuapa pun. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam
kepada junjungan RasulullahMuhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita
di hari akhirat kelak.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sossebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam Besar harapan
saya tugas iniakan memberi manfaat pada kita semua khususnya buat saya sendiri
sebagai media introspeksidiri saya sebagai seorang mahasiswa. Akhirul kalam, penulis
menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan penulis agar
pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah
ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai
pihak.Aamiin.WassalamualaikumWassalamualaikum wr.wb

Penyusun, Mataram, 25 Oktober 2020

Dian Susilawati
(C1G020066)

[2]
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER………………………………………………………………………..….1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………....3
BAB I Tauhid: Keistimewaan Dan Kebenaran Konsep Ketuhanan Dalam Islam........4
BAB II. Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits…………………….............11
BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits……………………………………..........20
BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits) ……………...........24
BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta
Keadilan Hukum dalam Islam…………..……………………………………….....29
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..38

[3]
BAB I

TAUHID: KEISTIMEWAAN&KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi


tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran
filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan
dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di
alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat (baca: wujud Tuhan).

Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini
kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan
Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin
suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi
dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi
dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.

Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat.


Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas
tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi
alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan.
Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu
faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan
dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang
dipengaruhi oleh faktor tertentu.Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh
para Nabi dan Rasul yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas
langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud

BAB II

PEMBAHASAN

1. FILSAFAT KETUHANAN ISLAM

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos
yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau

[4]
hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat
bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV,
Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45)

Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami
perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal
sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa
kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau
semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian
filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.

Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus
dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan, pengharapan,
ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakkal nilai yang harus ditumbuhkan
secara subur dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang
lain dalam Islam.

Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS.
Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi
tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya
Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).

Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk
menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.

[5]
A. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan
berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS : 45
(Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:

Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?

Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:

‫ْْل ََْ ْألَ َْا اَ ُّا َيَ َاَ ُنْ َو َْرِ ََ َلَ َق‬
ِ ‫ألَنار َوتَع ََُ ََْرِ َاَ َل َُد َ َْل ْأ َياْنغ ٍََ ِل ْرْ ََ ِم ْك َوت‬
‫لَ َََُْ َْ ْق ي‬
َ َ‫انْ ر‬ َ ‫َِوع ٍََل ٍََع اَ ِنتطِ ََ َْتيل‬ َ ْ ‫ار ْ َر ُ ِ ُّإ ِل ٍََ يإل‬
َ ‫( ْألَ َمَِا‬٣٨)

dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain
aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku
bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya
aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung
arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata
(Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga
dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan
banyak (jama’: aalihatun). Derifasi makna dari kata ilah tersebut mengandung makna
bahwa ‘bertuhan nol’ atau atheisme adalah tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan
definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:

Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan
dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya
atau kerugian.

[6]
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:

Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan
di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989 : 56)

Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang
pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika
Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “laa ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam
hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT.

Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa menjelaskan
dalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina Ibnu Sina wa Ibnu Rusyd” yang
telah di edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam
Islam. Beliau mengatakan : Dalam ajaran Islam, Allah SWT adalah pencipta segala
sesuatu ; tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu
yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya. Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang paling
kecil dan paling halus sekali pun. Ia yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada
ada, tanpa perantara dari siapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan
agung.

B. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep


yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah,
baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah
agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori

[7]
tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB
Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada
yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada
pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah
(Melayu), dan syakti (India).

b. Animisme

Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun
bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup,
mempunyai rasa senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar
manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha
untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,


karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap kaum cendekiawan.


Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan
satu tuhan untuk satu bangsa disebut dengan Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).

[8]
e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi Monoteisme.


Dalam Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk Monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max


Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang
yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen.
Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas
terhadap tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-
usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-27).

2. Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa periode setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Yakni pada saat terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin
Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyyah. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat
liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya
aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran
dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional.
Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara
kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan
tradisional. Aliran-aliran tersebut yaitu :

a. Mu’tazilah

[9]
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian
akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Dalam
menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem
teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan
dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.

b. Qodariah

Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan


berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal
itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Jabariah

Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak


dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini
merupakan pecahan dari Murji’ah

d. Asy’ariyah dan Maturidiyah


Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran Qadariah
dan Jabariah. Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam
kalangan umat Islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas
tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih
aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya,
tidak menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-
Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.

[10]
BAB II
SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADIST

Perbincangan pada bab tiga ini akan diarahkan kepada integrasi sains
dan agama yang difokuskan pada defenisi sains, pendekatan Al-Qur’an
terhadap sains, serta kedudukan sains dalam Islam serta urgensinya.
Menurut Agus Purwanto dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta: Sisi Al- Qur’an yang
Terlupakan, Mizan, Bandung, 2008, jumlah ayat kauniyah ada 800 ayat.
Sementara menurut Syeikh Tantawi, ayat kauniyah berjumlah 750 ayat. Tidak
kalah menariknya adalah, dari 114 surah Al-Qur’an hanya 15 surat yang tidak
ada ayat kauniyahnya, hal ini menunjukkan pentingnya ayat kauniyah bagi
kehidupan umat Islam. Oleh sebab itu, sudah saatnya jika para ilmuwan muslim
kembali menggali ayat-ayat kauniyah, melakukan penelitian guna menyingkap
mukjizat sains dalam Al-Qur’an. Sepantasnyalah dalam bidang pendidikan sejak
tingkat yang paling dasar sampai pendidikan tinggi harus mampu
mengintegralkan penafsiran ilmiah Al- Qur’an dengan mata pelajaran yang
memiliki keterkaitan, misalnya fisika, biologi, sejarah dan sebagainya. Bahkan
lebih dari itu, melalui Al-Qur’an memotivasi untuk melakukan penelitian-
penelitian terhadap fenomena alam. Sains menurut bahasa berasal dari bahasa
Ingrias science, sedangkan kata science berasal dari bahasa Latin scientia. Yang
berasal dari kata scine yang artinya adalah mengetahui. Kata sains dalam
bahasa Ingris diterjemahkan sebagai al-‘ilm dalam bahasa Arab.3 Dari segi istilah
sains dan ilmu bermakna pengetahuan namun demikian menurut Sayyid Hussen
Al-Nasr kata science dalam bahasa Inggris tidak dapat diterjemahkan kedalam
bahasa Arab sebagai Al- Ilm, karena konsep ilmu pengetahuan yang dipahami

[11]
oleh barat ada perbedaannya dengan ilmu pengetahuan menurut perspektif
Islam.
Ada beberapa pendapat tentang difenisi sains menurut Istilah, namun secara
umum dapat diartikan sebagai keutamaan dalam mencari kebenaran. Di dalam
the New Colombia Encyclopedia, sains diartikan sebagai satu kumpulan ilmu
yang sistematis mengenai metapisik yang bernyawa dan yang tidak bernyawa,
termasuk sikap dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk mendapatkan ilmu
tersebut. Oleh sebab itu sains adalah merupakan sejenis aktivitas dan juga hasil
dari aktivitas tersebut.6 Tidak jauh berbeda apa yang dikatakan oleh R.H.Bube,
menurutnya sains adalah pengetahuan yang berkaiatan dengan alam semula
jadi yang diperoleh melalui interaksi akal dengan alam.7
Berdasarkan defenisi diatas dapat ditegaskan bahwa sains adalah suatu proses
yang terbentuk dari interaksi akal dan panca indera manusia dengan alam
sekitarnya. Dengan arti kata, objek utama kajian sains adalah alam empirik
termasuk juga manusia. Sedangan objek sains yang utama adalah mencari
kebenaran.
A. Urgensi Sains
Sains dalam pengertian umum yaitu ilmu pengetahuan. Di dalam Al- Qur'an
banyak sekali ayat-ayat yang menyentuh tengtang Ilmu pengetahuan dan
ilmuan, al-Qur’an sentiasa mengarahkan manusia untuk menggunakan akal
fikirannya memerangi kemukjizatan dan memberi motivasi meningkatkan ilmu
pengetahuan. Selain itu Al-Qur’an memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap ilmuan. Al-Qur’an menyuruh manusia berusaha dan bekerja serta
selalu berdo’a agar ditambah ilmu pengetahuan. Sementara itu Rasulullah
memberi pengakuan bahwa ilmuan itu merupakan pewaris para nabi.9 Al-Qur’an
juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah ilmuan yang
mengenali dan mentaati Allah.
Sains dalam pengertian khusus mempunyai peran penting dalam kehidupan
seorang muslim, ia disejajarkan dengan ilmu-ilmu keislaman yang lain, dan bila
diklasifikasikan maka sains ini termasuk fardu kifayah, karena dapat memberikan
dampak positif bagi peningkatan keimanan seseorang, hal ini dapat dilihat pada
beberapa hal berikut:
a. Memperteguh Keyakinan Terhadap Allah
Terbentuknya alam semesta ini dengan berbagai fenomenanya merupakan
kunci hidayah Allah, demikian dikatakan oleh Sayyid Qutb dalam kitab fi Zilal al-

[12]
Qur’an.10 Menurut Yusuf Qardhawi, hal tersebut merupakan kitab Allah yang
terbentang untuk manusia membaca kekuasaan dan kebesaran Nya.11
Sekalipun Tuhan merupakan tema sentral dalam al-Qur’an, namun tidak pernah
memberikan gambaran figurative tentang penciptaan, namun hanya menyebut
tanda-tandanya saja. Keadaan seperti ini membawa implikasi bahwasanya untuk
memahami sifat Tuhan , seseorang perlu mengkaji dan menggenal semua aspek
ciptaannya.
Seperti telah dijelaskan sains adalah pengkajian terhadap penomena alam
dengan mengunakan metode ilmiah, sains mempunyai korelasi dengan proses
pengenalan manusia terhadap sifat-sifat Tuhan. Setiap benda dan setiap
penomena alam menjadi bukti kewujudan dan kekuasaan Allah Sains
mempunyai peran memperteguh keyakinan manusia terhadap Allah. Sains telah
membuktikan bahwa jagad raya ini bersifat tertib, dinamis dan segala elemennya
saling berkaitan dengan cara yang rapi dan teratur. Penemuan seperti ini
membuktikan kekuasaan Allah sebagai Rab semesta alam.
b. Menyingkap Rahasia Tasyri’
Sebagian hikmah dan maslahah disebalik disyariatkannya suatu hukum
didalam Al-Qur’an dapat diungkapkan melalui sains. Sains dapat membuktikan
bahwa hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an adalah mengenai realitas
kehidupan dan kondisi alam yang sebenarnya. Sebagai contoh dapat dilihat
tentang hukum khamar, Al-Qur’an mengharamkan karena memberi efek negatif
terhadap sistem dan organ tubuh manusia, dengan menggunakan sains, akan
dapat dilihat lebih jelas sejauh mana dampak negatif yang ditimbulkannya,
sehingga pantas diharamkan.
Namun demikian perlu digaris bawahi, bahawa agama tidak boleh hanya
difahami melalui teori sains semata, sebab sikap sains ini tidak sama dengan
sikap ibadah , Tuhan tidak akan dapat dikenali dan agama tidak dapat dihayati
hanya dengan teori-teori sains belaka, namun jika sains dijadi pendukung untuk
memahami agama lebih dalam lagi, tentu akan dapat memberi kesan yang lebih
fositif lagi terhadap hukum-hukum agama serta lebih memberi keyakinan bagi
orang Islam untuk mengamalkannya.

c. Bukti Kemu’jizatan Al-Qur’an.


Untuk membuktikan kemu’jizatan Al-Qur’an, sains juga dianggap sebagai
sesuatu yang penting, sebab banyak perkara yang waktunya belum samapai

[13]
telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an turun, kondisi manusia untuk
memahami penomena alam yang disinyalis oleh Al-Qur’an belum lagi memadai,
hal ini dapat dilihat tentang asal usul kejadian manusia, seperti yang disinyalis
dalam surah al-An’am(6) ayat 2 yang menyatakan manusia berasal dari tanah.
Dalam kajian sains, bahwa yang dimaksud dengan tanah pada ayat tersebut
adalah tanah yang terdiri beberapa unsur tertentu. Menurut analisa kimia
terdapat 105 unsur pada tanah yang semuanya ada pada diri manusia walaupun
kadarnya berbeda- beda, selain itu ada unsur-unsur kecil lainnya yang tidak
dapat dideteksi. Oleh sebab itu penemuan sains amat penting untuk menghayati
maha bijaksananya Allah.
d. Menyempurnakan Tanggung Jawab Peribadatan.
Dalam menjalani kehidupan manusuia butuh beberapa bantuan,
pengetahuan tentang sains merupakan salah satu yang dibutuhkan, begitu pula
dalam hal hubungannya dengan Allah sebagai tuhan semasta, pengetahuan
tentang sains juga dibutuhkan. Shalat sebagai ibadah yang wajib ditunaikan
diperintahkan untuk menghadap kiblat, Untuk menentukan arah kiblat diperlukan
ilmu geografi dan astronomi, begitu juga terhadap penetuan waktu-waktu
menjalankan shalat serta penentuan awal dan akhir bulan Ramadan. Dengan
demikian sains diperlukan dalam ibadah puasa ramadhan.
Dalam masalah zakat pengetahuan tentang matemateka tidak dapat
dikesampingkan begitu saja, begitu juga dengan ibadah haji , diperlukan arah
penunjuk jalan serta transportasi yang dijadikan alat angkutan dari berbagai
penjuru dunia menuju kota Makkah, yang semua itu memerlukan sains. Dengan
menggunakan sains para dokter dapat mendeteksi dan selanjutnya menggobati
berbagai macam penyakit dan kesehatan akan dapat terjaga dengan baik
sehingga manusia akan dapat beribadah kepada tuhannya secara sempurna.64)
Dengan demikian dapatlah difahami bahwa sains merupakan salah satu sarana
penunjang untuk kesejahteraan kehidupan manusia serta penunjang
kesempurnaan ibadah seorang hamba terhadap tuhannya.
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat diketahui bahwa sains juga merupakan
sesuatu yang urgensi untuk memenuhi tuntutan agama. Didalam Al-Qur’an Allah
menganjurkan orang-orang Islam untuk mempersiapkan diri dengan kekuatan
seoptimal mungkin, sama ada kekuatan mental maupun matrial untuk
mempertahankan diri dari ancaman musuh, sebagaimana yang dijelaskan dalam
al-Qur’an ayat 60 surah Al- An’am. Kekuatan material seperti peralatan perang

[14]
adalam menuntut kepada kecanggihan dan ketrampilan umat Islam dalam
bidang sains dan teknologi.
Alam semesta ini diciptakan Allah untuk kepentingan dan kebutuhan hidup
manusia sebagaimana dijelaskan pada ayat 20 surah Lukman(Q.S.31:20). Dalan
rangka mendapatkan berbagai fasilitas diperlukan pengolahan terhadap sumber
daya alam yang dikurnikan oleh Allah, dan untuk memperoleh hasil yang
maksimal tentunya diperlukan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu
pengatahuan tentang sains dan teknologi 66) . Pemanfaatan sumber daya alam
adalah sebagaian dari pada aktivitas sains. Dalam kontek ini, menurut
Muhammad Qutb, pada prinsipnya sains adalah merupakan suatu cara
melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh Allah kepada umat manusia.

B. Pendekatan Al-Qur’an Terhadap Sains

Dalam kajian sains, Al-Qur’an telah memberikan dasar yang jelas,


banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menyentuh berbagai bidang dalam disiplin
sains. Dalam buku Quranic Sicences, Afzalu Rahman telah menyebutkan
sebanyak 27 cabang ilmu sains yang disentuh oleh Al-Qur’an. Diantaranya
kosmologi, astronomi, astrologi, fisika, kimia serta betani dan lain sebaginya. Hal
ini menjadi bukti terhadap relevansi sains dalam agama. Selain itu Al-Qur’an
selalu menganjurkan manusia untuk mengasah dan menggunakan nalar .
Suatu hal yang perlu diingat bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab sains, maka cara
pendekatannya tidak sama dengan cara sains moderen. Pendekatan sains
memisahkan sesuatu dari semua yang ada kemudian menganalisa secara
terperinci, sedangkan al-Qur’an berbicara tentang sains dalam bentuk holistic
dan global serta ditempatkan pada berbagai surah di antaranya ayat 44, 73, 242,
surah al-Baqarah, begitu pula ayat 118 surah Ali Imran, ayat 61 surah al-Nur dan
ayat 30 surah al-Mukminun. .Penekanan sains dalam al-Qur’an lebih dititik
beratkan pada penomena-penemena alam, objek utama pemaparan ayat-ayat
seperti ini adalah sebagai tanda keesaan dan kekuasaan Khalik, Bahkan,
perbincangan tentang ayat-ayat ini merupakan tema utama dalam al-Qur’an.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa terdapat kaiatan yang kuat antara al-
Qur’an dengan penomena alam. Dalam konteks tersebut menurut Sayyid Husin
al-Nasr, kedua-duanya merupakan ayat Allah. Alam merupakan kitab yang
terbentang lebar (Al-Kitab al-Maftuh) yang tidak ditulis dan dibaca, diibaratkan

[15]
sebuah teks, alam bagaikan sehamparan bahan-bahan yang penuh dengan
lambang-lambang (ayat) yang mesti difahami menurut maknanya. al-Qur’an
merupakan kitab yang dibaca( al-Kitab al-Maqru’) yaitu teks dalam bentuk kata-
kata yang dipahami oleh manusia.
Ayat-ayat al-Qur’an yang ada kaitannya dengan sains, dapat diklassifikasikan
kepada dua ketegori. Yang pertama adalah ayat-ayat yang menjelaskan secara
umum , sama ada yang berhubungan dengan biologi, fisika,geografi atau
astonomi dalam lain sebagainya. Sedangkan yang kedua, adalah ayat-ayat yang
menjelaskan secara khusus dan terperinci, seperti tentang uraiannya mengenai
masalah reproduksi manusia.(Q.S. 23:12-14). Ayat-ayat tersebut secara umum
menyentuh tentang penomena alam semesta jadi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa pemaparan fenomena-fenomena tersebut
dilakukan oleh al-Qur’an bertujuan mengajak manusia mengenal Penciptannya
menerusi esensi yang wujud pada alam tersebut. Objek ini lah yang menjadi titik
perbedaan kajian sains sekuler dengan kajian sarjana muslim. Sekularisme
memandang dunia secara fisik dan mengabaikan metafisik secara mendalam,
padahal antara dunia fisik mempunyai kaitan yang erat dengan metafizik dan
penciptanya.
Dalam upaya mengajari manusia memahami dan mengenal kekuasan dan
keagungan Tuhannya, al-Qur’an telah menekankan akan arti pentingnya
manusia menggunakan akal fikiran serta panca indra. Bahkan al-Qur’an
mengibaratkan manusia yang tidak menggunakan fikiran dan panca indranya
laksana binatang ternak ,bahkan lebih jelek dari itu (Q.S:7:179). Oleh sebab itu
manusia selalu diingatkan untuk sentiasa membuat observasi, berfikir secara
reflektif, membuat penganalisaan yang kritis serta membuat pertimbangan yang
matang. Secara umum kajian sains menggunakan dua metode, yaitu observasi
dan eksprimen dimana kedua-duanya akan melibatkan fungsi akal dan panca
indra.
Akal bukanlah hanya satu objek yang terletak di kepala sebagaimana otak. Akal
merupakan daya untuk merasa atau berfikir yang bisa memberikan kekuatan
kepada manusia untuk memperhati dan mengkaji, memilih dan membuat
keputusan terhadap sesuatu perkara atau langkah-langkah serta berbagai
macam persoalan yang dihadapi untuk mencapai apa yang diinginkan.
Berdasarkan kepada wacana sains dalam Al-Qur’an, dapat difahami bahwa
Al-Qur’an memiliki peran penting serta motivator penggerak aktivitas sarjana

[16]
muslim dalam bidang ilmu pengetahuan, sejalan dengan faktor-faktor lain
khususnya kepentingan ilmu sains dalam kehidupan manusia. Kemudian jika
dilihat pada ayat-ayat Al-Qur’an yang bertemakan sains, akan nampak bahwa
pengerakan sains menurut pendekatan Al-Qur’an bukan hanya untuk sains itu
sendiri atau hanya untuk kesenangan manusia saja, tapi ada lebih penting dari
itu, yaitu memahami ayat-ayat Allah untuk agar manusia lebih mengenal
Khaliknya.
Al-Qur’an Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat itu, menguraikan berbagai
persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan
fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat
kauniyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal di
atas. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.
Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa
Al-Qur’an sama dengan kitab Ilmu Pengetahuan, atau bertujuan untuk
menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Qur’an memperkenalkan dirinya
sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan maksudnya menegaskan bahwa
ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Qur’an terdapat segala
pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.

Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala macam


ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan akan ada, kesemuanya terdapat
dalam Al-Qur’an". Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi,
Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku
sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan tidak mungkin dapat
mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan
bahwa pasti Al-Qur’an, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung
misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam Jawahir
Al-Qur'an. Di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang
pada hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak semua apa yang diketahui
dan diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh)
pengetahuan?
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui batas
kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih mengetahui
tentang kandungan Al-Qur’an" tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di
antara mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata Al-Syathibi lebih

[17]
jauh, "tidak boleh memahami Al-Qur’an kecuali sebagaimana dipahami oleh para
sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka." Ulama ini seakan-akan
lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayat nya tidak hanya
tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya
yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada
masanya masing-masing.

C. Al-Quran Dan Alam Raya


Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Qur’an berbicara tentang alam dan
fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan menyangkut
hal tersebut :
1. Al-Qur’an memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk
memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat
dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya
kepada kesadaran akan Keesaan dan Kemahakuasaan
Allah SWT. Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi
untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena
alam tersebut. Namun, pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan
tujuan puncak (ultimate goal).
2. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya,
diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan
sangat teliti.
Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali
jika dikehendaki oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:
a. Alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah, dipertuhankan
atau dikultuskan.
b. Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang adanya
ketetapan- ketetapan yang bersifat umum dan mengikat bagi alam raya dan
fenomenanya (hukum-hukum alam).
c. Redaksi ayat-ayat kauniyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga
pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat
bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing
penafsir.
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu digaris bawahi beberapa prinsip
dasar yang dapat, atau bahkan seharusnya, diperhatikan dalam usaha

[18]
memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengambil corak ilmiah.
Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :
a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari
dan memahami Kitab Suci yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti
bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapat-
pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat syarat-syarat tertentu.
b. Al-Qur’an diturunkan bukan hanya khusus ditujukan untuk orang-orang
Arab ummiyyin yang hidup pada masa Rasul . dan tidak pula hanya untuk
masyarakat abad ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Qur’an serta dituntut menggunakan
akalnya dalam rangka memahami petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari
bahwa akal manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat latar
belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman, kondisi sosial, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka adalah wajar
apabila pemahaman atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik
dalam satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.
c. Berpikir secara kontemporer sesuai dengan perkembangan zaman dan
iptek dalam kaitannya dengan pemahaman Al-Qur’an tidak berarti menafsirkan
Al-Qur’an secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang
telah disepakati oleh para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang ini.
d. Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan
Al- Qur’an adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subjek
bahasan ayat-ayat Al-Qur’an. Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus
kedalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kauniyah tanpa memiliki
pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-
pokok bahasan ayat yang lain.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas, ulama-ulama tafsir
memperingatkan perlunya para mufasir, khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan penafsiran ilmiah, untuk menyadari sepenuhnya sifat
penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan
konteks ayat-ayat Al-Quran.

[19]
BAB III
3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIST

Siapakah generasi terbaik dari umat Muhammad? Hadis shahih dibawah ini
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, mari kita simak dan baca dengan
seksama hadis berikut ini :

‫ألر ور‬ َ ‫ْر اْر وْْ َن‬ ِ ‫اا‬ َ ِ‫ُ ِ َني َل ر‬ِ ََْ ‫اتِع الُّ ألَ ِإ َلَ َق َلَ َق َو ْإ ِي‬ ِ ‫ار َِّ ِك ل َلنْ إ َْاْنِ ِم ْك ََ َوتِ َك َوتَاْل‬
َ ُِ َ َِِ‫أل‬
‫ار َِّ ِك َاتَِ َإ ِي ْك‬
َ َِِ‫ َاتَِ َإ ِي ْك أل‬. (‫ اْنَل‬،‫ ألَ اَْنغ‬،‫ ْ و تك‬،‫ألا ر ألَ تنِْغ‬،‫)َارْأ ََْل ألَ إ وَئ ل‬

Artinya : Dari Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang hidup pada zamanku (generasiku)
kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka”. (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Penjelasan Hadis

Berdasarkan hadis Nabi diatas, generasi terbaik dari ummat Islam secara umum ada 3
generasi. Pertama ; generasi para sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi dalam
keadaan beriman dan wafat juga dalam keadaan beriman, kedua ; generasi tabi’in
mereka yang bertemu dengan para sahabat dalam keadaan beriman dan meninggal
dalam keadaan beriman juga, ketiga ; generasi tābiu at-tābi’īn, yang pernah bertemu
dengan tābi’īn dan hidup sezaman dengan mereka dalam keadaan beriman.
Sahabat yang Wafat Paling Akhir

Tahukah antum siapakah sahabat yang paling akhir meninggal dunia? Beliau adalah
Abu at-Thufail Āmir bin Wātsilah al-Laitsiy, meninggal pada tahun ke-100 hijriyah,
menurut versi riwayat lain, ada juga yang mengatakan beliau wafat pada tahun 110
hijriyah.

Batasan Zaman Hidupnya Tābi’u at-Tābi’īn

Siapakah golongan Tābiu at-Tābi’īn yang perkataannya bisa kita terima dan termasuk
yang hidup digenerasi terbaik terakhir atau yang ketiga? Mereka adalah orang yang

[20]
hidup sebelum tahun 220 hijriyah, demikian menurut informasi dari al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari.

Sumber informasi ini bisa kita baca dalam kitab Syarh al-Aqīdah al-Wāshitiyyah karya
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimīn.

 KEDUDUKAN 4 IMAM MAZHAB

Apakah Imam mazhab yang empat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam as-Syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hanbal termasuk dalam golongan 3 generasi terbaik seperti
dijelaskan diatas?

Imam Abu Hanifah (80-150 H)

Abu Hanifah nama aslinya adalah an-Nu’man bin Tsabit bin Zhuthā lahir pada tahun 80
Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah, ada yang mengatakan beliau termasuk
golongan tabi’in, karena hidup dimasa masih ada 4 orang sahabat Nabi yang masih
hidup, yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad, dan Abu Thufail Amir
bin Watsilah al-Laitsiy, meskipun demikian tidak ada satupun riwayat dari Abu Hanifah
yang diambil langsung dari salah satu keempat sahabat tersebut. Lihat kitab al-Madkhal
ilā Dirāsati al-Mazāhib al-Fiqhiyyah halaman 95 karya Ali Jum’ah Muhammad.

Diantara perkataan populer dari Abu Hanifah yang patut kita jadikan prinsip adalah
pernyataan berikut ini ;

‫ُ َت نم َأل ; َ و تك و ت ال ُ ا تع ألَ ن وَق َْ ان ُ م تَب ا ََْ ف ل َ ال ل تل ٍِأل‬


‫ل ََ ل‬.

“Jika aku mengatakan sesuatu yang menyelisih kitab Allah dan khabar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku”

Terkait pernyataan populer dari para Imam Mazhab yang empat ini semuanya diambil
dari kitab Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhīhu Mazāhibi al-Aimmah, karya
Abu Malik Kamal bin Sayyid Sālim.

[21]
Imam Malik (93-179 H)

Imam Malik, kunyahnya Abu Abdillah, nama aslinya Malik bin Anas bin Malik bin Abi
‘Āmir bin Amru bin al-Harits bin Ghaiman, beliau termasuk generasi tābiut ta’bi’īn, hidup
pada masanya beberapa ulama dari generasi tabi’in, bahkan Imam Malik merasakan
belajar langsung dari para ulama tabi’in seperti Nafi’ pelayannya Umar bin al-Khattab,
Muhammad bin al-Mukandir, Abu az-Zubair, az-Zuhri, Abdullah bin Dinar dan Abu
Hazim.

Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah, beliau berguru pertama kali kepada
Abdurrahman bin Hurmuz dalam kurun waktu cukup lama. Sejak lahir sampai wafat,
Imam Malik tinggal di Madinah, banyak orang dari berbagai negeri berguru kepada
beliau, hingga beliau wafat pada tahun 179 Hijriyah. (Lih. Kitab Tarīkh at-Tasyrī’ al-
Islāmiy, halaman 160-162, karya Syeikh Muhammad al-Khudriy Bik)
‫ُ ا تع ألَ إ ال ا ْأ ارأ َ اس‬ ‫ُ ا تع ألَ إ ال ٍال ل َا تنك ل ََ ل ْر َا ؤِْ ٍ ال َ و تك و ت ال‬ ‫و ت ال‬
‫َ و تك‬.

Perkataan populer dari Imam Malik yang patut dijadikan pegangan diantaranya adalah
pernyataan berikut ini ;

“Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kecuali perkataan mereka
itu bisa diambil atau bisa ditinggalkan, kecuali perkataan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam”

Imam As-Syafi’i (150-204 H)

Imam as-Syafi’iy, kunyahnya Abu Abdillah, nama aslinya Muhammad bin Idris
bin al-Abbas bin Utsman bin Syāfi’ as-Syāfi’i. Lahir di Ghaza pada tahun wafatnya Abu
Hanifah yaitu tahun 150 Hijriyah. Imam as-Syafi’iy wafat di Mesir pada tahun 204
Hijriyah. (Lih. Kitab Manhaj al-Imam as-Syāfi’i Fī Itsbāti al-Aqīdah, halaman 19-44)
Pernah berguru langsung kepada Imam Malik, saat mempelajari kitab karya Imam Malik
sendiri, yaitu kitab al-Muwaththa’. Imam as-Syafi’i termasuk generasi tābiu at-Tābi’īn,
sebagaimana halnya Imam Malik.

[22]
Diantara pernyataan penting dari Imam as-Syafi’i yang menujukkan kuatnya berpegang
teguh kepada sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah pernyataan berikut ini ;

‫ ُ يَ َ و تك و ت ال ُ ا تع ألَ إ ال ور رأا ث م ق‬،‫ْ إل ت وْ َْه َ ك ٍَر ل ََ ل‬.

“Setiap hadis dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada (rujukan) perkataanku, meskipun
kalian tidak pernah mendengarnya dariku” (lih. Kitab Shahīh Fiqhus Sunnah, halaman
41, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Sālim).

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)

Imam Ahmad bin Hanbal, nama Aslinya Ahmad bin Hanbal bin Hilal adz-Dzuhliy
as-Syaibāniy al-Marwaziy, lahir di Baghdad pada tahun 164 Hijriyah, wafat pada tahun
241 Hijriyah, dan beliau termasuk golongan generasi terbaik umat ini, yaitu generasi
tābiu at-tābi’īn.
Pernah berguru kepada Imam as-Syafi’i saat beliau berada di Baghdad, bahkan
Imam Ahmad termasuk murid senior Imam As-Syafi’i, kemudian beliau mempunyai
pandangan-pandangan hasil ijtihadnya sendiri yang tidak sedikit berbeda dengan
pandangan Imam As-Syafi’i. Imam Ahmad temasuk ulama Mujtahid dari kalangan Ahli
Hadis, yang mendahulukan perkataan para sahabat diatas qiyas. Kemudian menyusun
kitab al-Musnad yang berisi lebih dari 40.000 hadis didalamnya. (Lih. Kitab Tarīkh at-
Tasyrī’ al-Islāmiy, karya Syeikh Muhammad al-Khudriy Bik)

Diantara perkataan Imam Ahmad yang populer adalah pernyataan beliau berikut ini ;

“Janganlah kalian bertaqlid kepadaku, juga jangan taqlid kepada Malik, as-Syafi’i, al-
Auzā’iy dan at-Tsauriy, (tetapi) ambilah dari (sumber) dimana mereka mengambil.

[23]
BAB IV
PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH

1. Pengertian Salaf

a. Secara Etimologi (secara bahasa):


Ibnul Faris berkata, “Huruf sin, lam, dan fa’ adalah pokok yang menunjukkan
‘makna terdahulu’. Termasuk salaf dalam hal ini adalah ‘orang-orang yang telah lampau’,
dan arti dari ‘al-qoumu as-salaafu’ artinya mereka yang telah terdahulu.” (Mu’jam
Maqayisil Lughah: 3/95)

b. Secara Terminologi (secara istilah)


Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam mengartikan istilah “Salaf” dan
terhadap siapa kata itu sesuai untuk diberikan. Pendapat tersebut terbagi menjadi 4
perkataan :

Di antara para ulama ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para Sahabat Nabi
saja.
Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para Sahabat Nabi
dan Tabi’in (orang yang berguru kepada Sahabat).
Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka adalah para
Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. (Luzumul Jama’ah (hal: 276-277)). Dan
pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian besar ulama ahlussunnah
berpendapat adalah pendapat ketiga ini.
Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama tiga kurun
waktu/periode yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka itulah yang berada di tiga
kurun/periode, yaitu para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

«‫ َلنْ إل ألَ ِإَس َْ ْا ِن‬، ‫ار َِّ ِك‬


َ َِِ‫ َاتَِ َإ ِي ْك أل‬، ‫ار َِّ ِك‬
َ َِِ‫» ِي ْك َاتَِ َإ أل‬

[24]
Artinya,“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang
hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya.”
(HR. Bukhari (2652), Muslim (2533))

Maka dari itu, setiap orang yang mengikuti jalan mereka, dan menempuh sesuai
manhaj/metode mereka, maka dia termasuk salafi, karena menisbahkan/menyandarkan
kepada mereka.

Dalil-dalil Yang Menunjukkan Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih

a. Dalil Dari Al Qur’anul Karim

ْ‫ار َوااق َيا َْن ََ َا ِتاطْ ْألَيِأَ ا ََ ِل َت َاا َِر ََْ َاْْ أ ْرْ ألَنِ وَِ َق ِا َقَلش ََ َْر‬
َ ‫ََ ِإاْ تل ع َت َََِ ََْ ِإ َََيل ْألَْ ِْؤْإ‬
‫ل ََ َي ِإ َك‬
ْ ‫َْاانَ أل ََ َوَ َا‬

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

َ ِ ََُ‫أل‬
َ َِّ‫َر ََألَوَِا‬
‫َر‬ ِ ‫ار ْ َر‬ َ ‫اَن ْألَ ِْ َيََن‬
َ ‫ار ََألُ ْإ‬ َ َِِ‫َر أل ِت َاَِْ ُِ ْك ََأل‬
ِ ‫ُِ َني َل انرْ َو‬ ِ ‫ي َو ْإ ِي ْك‬ َ ‫َو ْإ ِل‬
ِ ‫َألَ َن‬
‫ل ََ ِي ْك ََاَ َو ِأ‬ َ ‫ْألَ َْ ا ِك ْألَ َْ َْ ِْ ََِ َك اَ َا َأأل ُا َيَ َََْأ‬
ِ َ‫ار ألُ ْإ َيَ ِن َترْ َت َيَ َتَْ نغ ََ ِإ‬

Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-
Taubah : 100]

[25]
Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang mengikuti jalan
selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga dan keridhaan-Nya bagi
siapa yang mengikuti jalan mereka.

b. Dalil Dari As-Sunnah

1. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda,

‫ َلنْ إل اِِْتل َْ ْا ِن‬، ‫ار َِّ ِك‬


َ َِِ‫ َإ ِي ْك َاتَِ أل‬، ‫ار َِّ ِك‬
َ َِِ‫ َاتَِ َإ ِي ْك أل‬، ‫َر َل َََْْ َاْْ أَ ِم ْك ٍرِ َِّ ِك‬
َ ‫َراِوْ ََالَ َا ْق َي ِأ‬
َ ‫ َت ْق َي ِأ‬،
َ ‫َر ََالَ ََ َا َِْ ِإ‬
‫َر‬ َ ِ‫َر ََالَ ََ َا ْإ ِِن‬
َ ‫ا ِْؤ َت َْ ِإ‬، ‫َر‬ َ ِْ‫ َا‬، ‫ألَ يو َْرِ ُاي ِك ََ َا ْ َي ِن‬

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup
pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian
akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului
sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim
(2533))

2. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan),
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini
(Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu
al-Jama’ah.”

[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi
(II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150).
Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin
Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur.

[26]
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-
204)]

Dalam riwayat lain disebutkan:

Artinya:

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku
dan para Sahabatku berjalan di atasnya.” [Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan
al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-
Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343)]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73
golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang telah
dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan
As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).

3. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam bersabda,

‫ألْت َِ ََُ ا َُ َو َا َن ْ ْإ ِم ْك َاْعْ َْرْ َُن ِإ ِل‬ْ ‫ َمَّانَ أل‬، ‫يار َرألَنِ ألقأا ْألَ ِْتَ ََْا ََ ِو ِإس ا ِو ِإتل َُ َْ َت ْا ِم ْك‬
َ ‫يَأل ْألَ َْيْأا‬
ُّ ‫ِو‬
َ‫اََ ِإ ََألَِ َو َت ْا َي‬، ‫»ي َََِ َس ا ْأ َو ِس ِم ِق َُنرِ ْألَُِِْن ََِْرْ أَ َََّل ٍََاَِ ِم ْك‬َ

Artinya:

“Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia akan melihat
perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku
dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para khalifah) yang mendapat petunjuk
sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham,
dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena
sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
[Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam
Shahihul Jami’ (1184, 2549)]

[27]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada ummat agar mengikuti sunnah
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khualafaur Rasyidin yang hidup
sepeninggal beliau disaat terjadi perpecahan dan perselisihan.

c. Dari perkataan Salafush Shalih

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,

“‫” ِمْا ِت ْك َُ ََّ ْأ َت ْا َتأ ِوَأل ََ َال أل ِتاَِْأل‬

Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-Bida’
Wan Nahyu Anha (hal. 13))

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata,

َ ‫َل َل ْأ ا َْرْ َُ ْت َاوْ َترِ ِْوْ َت َلإَ ْ ْإ ِم ْك َم‬


ْ‫َر َْر‬ ْ ‫ْ َِر ِْ ِأ َبِ اَاْ َر اَََِئ َك‬
َ َْ ، ِ‫ألَْ ْت َإ ِس َوتَاْل ِت ْؤ َْرِ َال ْألَ َرلِ َُنر‬،
‫اتِع‬َ ُِ ِ ‫َ َوتِ َك َوتَاْل‬، َ ‫ي َق َمَ ِإَأل‬ َ ُْ َ‫ألُِِْس َُِه ا‬،
ْ ََُ ِ‫لِتَِاََ اَ َان‬، َ‫ َت َمتُّ ََْ ََاَ َلتِ َيَ و ْتََْ ََاَوْ َْ ََّ َي‬، َْ ‫َن ُِ ِك َك َل‬ ْ
َ ‫ألْ َت‬
ِ ‫أاإل ٍََ َلَ َْس َإاايل َاِرْ َاس‬، ‫ َُيْ تَ ِي ْك ََ ِي ْك ََُوْ َنَُِأل‬، ‫ْ َََّنُ ْك ُل ََأل ِتاَِْ ُِ ْك‬، ‫ْرْ ألوْ َت َنْْ ِت ْك َ َْا ََ َت َْ ِو ِمَأل‬
ُِ
‫َأاإي ْك اَ ْْ َِلي ْك‬،
َ ‫ألَِْوْ َتَّاك ْألَ َي ْأغ َو َتع َمَ ِإَأل َُن ِإ ِي ْك‬.
ْ

Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh
orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup
tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat
Rasulullah, mereka adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya,
paling dalam ilmunya, paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah
untuk menemani NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan
mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97))

[28]
BAB V

ANJURAN DAN TENGAN BERBAGI, PENEGAKAN SERTA KEADILAN HUKUM


DALAM ISLAM

A. Pengertian Adil

Adil menurut bahasa adalah tidak berat sebelah, tidak memihak atau
menyamakan yang satu dengan yang lain, meletakkan sesuatu pada tempatnya,
bersikap proporsional, dan memihak kepada yang benar.

Adil menurut istilah adalah seimbang atau tidak memihak dan memberikan hak
kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan
meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan
mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti kecuali terhadap Allah
SWT saja.Kemudian menetapkan suatu kebenaran terhadap dua masalah atau
beberapa masalah untuk dipecahkan sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh agama.Dengan demikian perbuatan adil adalah suatu tindakan
yang berdasar kepada kebenaran, bukan mengikuti kehendak hawa nafsu
pribadi. Allah swt berfirman dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa.Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”

Adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam
memberikan hukum, sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan

[29]
dalam memberikan hak orang lain., tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi.
Seperti yang dijelaskan dalam Q.S. Ar-Rahman/55 ayat 7-9 yang artinya:

“ Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)
suapaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan
itu dengan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”

Kata adil sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth
(moderat/seimbang) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim.
Sebagai umat Islam yang beriman, kita dituntut untuk selalu menegakan
kebenaran karena Allah, bila kita menjadi saksi maka kita harus menjadi saksi
yang sebenar-benarnya, dan sejujur-jujurnya.Kita tidak boleh berbohong atau
memihak pada salah satu pihak, karena itu termasuk perbuatan yang tidak
adil.Kemudian yang selanjutnya, adalah nasihat bagi para pemimpin dan kita
semua.Dimana sebagai seorang pemimpin harus adil kepada seluruh rakyatnya
dan tidak terkecuali kepada musuhnya atau rakyat yang tidak memihak
kepadanya.
Contoh yang paling baik untuk berperilaku adil adalah pada diri Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW selalu berbuat adil dan menegakkan keadilan kepada
seluruh umatnya, dalam haditnya beliau bersabda yang artinya :

“Jika sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong


tangannya.”(HR. Bukhari)

Dari hadits ini dapat kita ambil kesimpulan bawa Nabi Muhammad tidak
membeda-bedakan, walaupun anaknya sendiri apabila Fatimah tertangkap
mencuri Nabi Muhammad SAWakan tetap memberikan sanksi yang tegas yaitu
akan memotong tangannya.
Pengertian adil menurut Ulama adalah sebagai berikut:

1. Adil dalam arti “sama”


Dalam arti memperlakukan sama terhadap orang-orang, tidak
membedakan hak-haknya.

Firman Allah dalam Q.S. An-Nisa (4) ayat 58 sebagai berikut :

[30]
ْ
۞ ِ‫ُ ٍر‬ َ ِ ‫َْ ْأقا ََْ َترْ ِمَِْأل اَرْ ألَ ِإَس َاا َْر َر َمْْ ِت ْك ٍََ َِأل اَُْ ت َيَ ٍََ ِع ْألَُ ََْ َإَل ِت َؤ ُّأَأل اَرْ َادِْنِ ِم ْك‬
ِ َِْْ‫ُ ٍرِ ال َاْ ِ ِم ْك إ‬
ِ‫َُ ٍر‬ َ ِ ‫َر‬
َ ‫َااانَ أل َوْاَْ َ َم‬
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”(Q.S. An-Nisa : 58)

2. Adil dalam arti “seimbang”


Keseimbangan sangat diperlukan dalam suatu kelompok yang
didalamnya terdapat beragam bagian yang bekerja menuju satu tujuan
tertentu.Dengan terhimpunnya bagian-bagian itu, kelompok tersebut dapat
berjalan atau bertahan sesuai tujuan kehadirannya.

Firman Allah dalam surah Al-Infithar (82) ayat 6-7 yaitu :

َ‫ك ََْ أل ْ ْإ َوَرِ اَ ُّا َيَ َا‬ َ ‫ْألَ َمناك ا َنا‬


َ ِ‫يك َين‬
‫ألك َْتَ ََّ َك ألَِِغ‬ َ ََ َ‫َُ َْأ‬
َ َِ‫ك َُ َو‬

Artinya :
”Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuhmu) seimbang.”
(Q.S. Al-Infithar :6-7)
Kata ‫ وأق‬dalam ayat tersebut berarti seimbang. Tubuh manusia akan normal
selama bagian-bagian tubuh itu semua bekerja atau berfungsi sesuai tujuan
kehadirannya.

3. Adil dalam arti “Perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak
itu kepada setiap pemiliknya”

[31]
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada
tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”.
Lawannya adalah kedzaliman dalam arti melanggar hak-hak pihak lain.
Pengertian ini melahirkan keadilan sosial.
4. Adil yang dinisbatkan kepada Ilahi
Adil disini artinya memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi,
tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat
banyak kemungkinan untuk itu”.Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan
kebaikanNya.Keadilannya mengandung konsekwensi bahwa rahmat Allah SWT
tidak tertahan untuk diperoleh, sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Jadi, adil yaitu keadilan secara mutlak dalam setiap keadaan yang dihadapi oleh
tiap individu dan masyarakat, baik ia seorang hakim atau yang dihakimi, kaya
atau miskin, kuat atau lemah, lelaki atau wanita, besar atau kecil, kerabat atau
orang jauh, lawan atau teman, karena melakukan keadilan termasuk amal
perbuatan yang paling utama dan termasuk kewajiban dalam agama.

B. Macam-Macam Perilaku Adil

Hadis diriwayatkan oleh Muslim

ِ‫أَ اْل َا م ْت َتَ ََ ألَنِ رْ َْر َاْاْر َورْ ِإ َْ ِن ْرْ َْ َإَا َن و تع ألََِّْنا َْر ألر‬
‫)كْ وق نَأله( َََِ َْأل ََْ ََألَُْ تاْي ْك ر ِْمْي ْك ُ ل َاْأَِ َْ َر ي‬
ِ‫ َاْاْر‬، ‫ألَِا َْر‬

Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang adil berada diatas mimbar-mimbar dari cahaya
disisi Ar Rahman (Maha Penyayang), kedua tangannya sebelah kanan, mereka
yang adil dalam keputusan mereka. (HR. Muslim)

Berlaku adil dapat diklasifikasikan kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Berlaku adil kepada Allah SWT, yaitu menjadikan Allah SWT sebagi
satu-satunya Tuhan yang memiliki kesempurnaan. Kita sebagai
makhluk-Nya harus senantiasa tunduk dan patuh perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.Maksud dari berlaku adil kepada Allah

[32]
adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Az-Dzariaat ayat 56 yang
artinya :

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”(QS. Az-Dzariaat:56)

Kita harus yakin bahwa nikmat yang kita terima selama hidup di dunia ini
adalah pemberian dari Allah SWT.Maka berbuat adil dalam arti berlaku
proporsional kepada Allah adalah dengan memenuhi hak-Nya.
Hak Allah SWT adalah disembah, dan kewajiban kita adalah menyembahnya.Ini
bisa dilakukan dengan menjalankan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala
larangan-Nya.
2. Berlaku adil pada diri sendiri, yaitu menempatkan diri pribadi pada
tempat yang baik dan benar.Dimana kita harus memenuhi kebutuhan
baik jasmani maupun rohani sesuai dengan norma-norma syariat.Diri
kita harus terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan,
tidak menganiaya diri sendiri dengan menuruti hawa nafsu yang
akibatnya dapat mencelakakan diri sendiri.
Contoh berlaku adil terhadap diri sendiri, makan makanan yang halal dan
baik.Istirahat yang cukup, tidak menyiksa diri sendiri seperti mentato, minum
alkohol, narkoba, dan lain sebagainya.
3. Berlaku adil kepada orang lain, yaitu menempatkan orang lain pada
tempat yang sesuai, layak, benar, memberikan hak orang lain dengan
jujur dan benar serta tidak menyakiti serta merugikan orang lain. Maksud
dari berlaku adil kepada orang lain artinya adalah meletakkan orang lain
pada tempat yang seharusnya. Berperilaku adil kepada orang lain harus
kita lakukan, dan itu kita lakukan kepada semuanya tidak terkecuali
bahkan kepada musuh atau orang yang kita benci sesuai dengan Q.S.
Al-Maidah ayat 8.
Contoh berlaku adil kepada orang lain yaitu, tidak menghukum orang lain dengan
berlebihan (tidak sesuai dengan besar kesalahannya), tidak mengejek dan
menghina karena kita pasti juga tidak mau bila di ejek atau dihina oleh orang lain.

[33]
4. Berlaku adil kepada makhluk lain, yaitu dapat memperlakukan makhluk
Allah yang lain dengan layak sesuai syariat dan menjaga kelestariannya
dengan merawat serta tidak merusaknya. Maksud dari berlaku adil yang
ke empat ini adalah kita harus menyayangi dan merawat hewan atau
tumbuhan serta lingkungan yang ada disekitar kita.Terlebih lagi apabila
kita memelihara hewan seperti burung, kelinci, kucing atau yang lainnya
maka kita harus berbuat adil, diantaranya dengan merawatnya dengan
sebaik-baiknya, memberikan makan dan minum setiap hari, tidak
menyiksanya dan lain sebagainya.

Perilaku adil adalah perilaku yang terpuji, kita dapat membiasakan dalam
kehidupan sehari-hari dengan cara yang sederhana berikut ini :
1. Menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi apa saja yang telah di
larang oleh Allah SWT.
2. Memberikan rasa keadilan kepada orang lain, dari mulai keluarga, teman,
tetangga dan lain sebagainya.
3. Selalu mengargai dan menghormati orang lain, tanpa adanya sikap
diskriminasi (membeda-bedakan).
4. Memberikan hak-hak orang lain, misal : tidak merokok di samping orang
yang tidak merokok.
5. Menghormati orang yang sedang berbicara dengan cara
mendengarkannya.
6. Tidak menyakiti diri sendiri, mabuk-mabukan, narkoba dan lain sebagainya.
7. Tidak suka menyiksa hewan, tidak mengadu hewan, dll.
8. Selalu merawat hewan dan tumbuhan dengan sebaik-baiknya, juga tidak
merusak lingkungan sekitar.

Cara menunjukkan sikap adil kepada orang lain dapat dilakukan dengan
hal-hal berikut :
1. Memberikan rasa aman kepada orang lain dengan sikap ramah,sopan dan
santun.
2. Patuh pada perintah Allah dan melaksanakan serta menjauhi larangan-
Nya.
3. Menjadi teladan dan menciptakan suasana yang kondusif, tenteram serta
rukun.

[34]
4. Bila bermitra harus saling menguntungkan dan memanfaatkan alam untuk
kemaslahatan dan kebaikan hidup didunia dan diakhirat.
5. Tidak sombong atau angkuh bila bergaul dengan masyarakat berbagai
lapisan.
6. Berpikiran positif ( positive thinking ), yaitu berprasangka baik terhadap
orang-orang yang ada disekitarnya.
7. Selalu berbuat kebajikan atau kebaikan terhadap sesama, khususnya fakir
miskin.
8. Selalu menggunakan akal dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan.
9. Tidak pilih kasih bila berkawan.
10. Tidak membuat kerusakan, permusuhan dan kedengkian.
11. Tidak mendahulukan emosi didalam menghadapi masalah, kumpulkan
informasi selengkap mungkin dengan adil dan gunakan rujukan sesuai kehendak
Allah SWT.

C. Kewajiban Berlaku Adil


Wahai manusia bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah
ta’ala memerintahkan berbuat adil dan mengabarkan bahwa Ia mencintai orang-
orang yang adil. Allah ta’ala berfirman yang artinya :”Sesungguhnya Allah
memerintahkan berbuat adil dan baik”. (QS. An-Nahl : 90) “Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang adil”. (QS. Al-Maidah :42) Adil adalah sikap tengah-
tengah dalam segala sesuatu dan keadilan adalah karakter yang mengharuskan
seseorang menjaga diri dari hilangnya kehormatannya. Rasulullah
‫ا تى ََ تي ْ ت ايَ و تك‬ berkata “Orang yang adil di sisi Allah di atas mimbar dari
cahaya, mereka adalah orang-orang yang adil dalam hukum dan keluarga”. (HR.
Muslim)

Sungguh kedudukan adil dalam Islam sangat agung dan pahalanya banyak di
sisi Allah.Keadilan itu banyak macamnya dan tiap orang haruslah adil sesuai
dengan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini.Maka seorang pemimpin wajib
adil terhadap rakyatnya. Allah ta’ala berfirman :
ِ ِْ ْ‫َترْ ِمَِْأل اَرْ ألَ ِإَس َاا َْر َر َمْْ ِت ْك ٍََ َِأل اَُْ ت َيَ ٍََ ِع ْألَُ ََْ َإَل ِت َؤ ُّأَأل اَرْ نِ ِم ْك َاد‬
۞ ِ‫َُ ٍر‬
‫َُ ٍرِ ا ََْ َْ ْأق‬ ِ َِْْ‫َُ ٍرِ ال َاْ ِ ِم ْك إ‬ ِ ‫َر‬ َ ‫َااانَ أل َوْاََْ َم‬

[35]
Artinya:
” Sesungguhnya Allah memerintahlan kamu menunaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya, dan memerintah kamu apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil, Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”. (QS. An-Nisaa :58)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tujuh golongan yang


Allah lindungi dalam naungan Arsy-Nya pada hari kiamat yang tidak ada
perlindungan selain perlindungan-Nya yaitu pemimpin yang adil.”. (HR. Muslim)
Wajib bagi Hakim adil dalam menghakimi manusia. Allah SWT berfirman : “
Putuskanlah perkara di antara mereka menurut hukum Allah dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka”. (QS. Al-Maidah :49). Kemudian Allah SWT
berfirman : “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(pengganti nabi-nabi sebelumnya) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS. Shad:26)
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :Hakim itu ada tiga: dua di
neraka dan satu di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran (Al-Qur’an dan As-
Sunnah) dan menetapkan dengannya maka ia di surga, Hakim yang mengetahui
kebenaran tetapi tidak berhukum dengannya dan ia dzalim dalam menetapkan
hukum maka ia di neraka, dan hakim yang tidak mengetahui kebenaran lalu
menetapkan hukum di atas kebodohannya maka ia di neraka”. (HR.Abu Dawud
dan lainnya, shahih). Akan tetapi apabila seorang hakim berniat adil dan
mengikuti kebenaran serta berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkannya maka ia diberi pahala seandainya ia salah karena ia tidak
berniat salah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:Jika seorang
hakim menetapkan hukum dengan ijtihadnya kemudian benar maka ia
mendapatkan dua pahala dan bila menetapkan hukum lalu salah maka ia
mendapatkan satu pahala”. (HR. Bukhari dan Muslim)
 Hikmah Berperilaku Adil
Berperilaku adil pasti ada hikmahnya, dan berikut ini beberapa hikmah
yang akan kita dapatkan apabila kita berbuat adil yaitu :

[36]
1. Menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, karena adil
lebih dekat dengan taqwa. (Q.S. Al-Maidah ayat 8)
2. Menjadi pemimpin dan teladan sekaligus pengayom bagi orang lain.
3. Disegani dan dipercaya oleh masyarakat sekitar.
4. Menumbuhkan rasa kepuasan, aman dan nyaman bagi orang lain.
5. Menciptakan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Mempererat tali persaudaraan dan pesatuan.
7. Doanya cepat dikabulkan oleh Allah swt, dan juga mendapatkan
perlindungan/pertolongan (naungan) dari Allah swt ketika di akhirat nanti, jika kita
menjadi pemimpin yang adil.
Nabi SAW bersabda yang artinya: ”Tiga orang yang tidak ditolak doanya: orang
yang sedang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang
teraniaya, Allah mengangkat doa mereka ke atas awan dan dibuka untuk doa itu
segala pintu langit. Seraya Allah SWT berfirman: Demi kebesaran-Ku
sesungguhnya Aku akan menolong engkau walau pertolongan-Ku Aku berikan
pada masa kelak”. (HR. Ahmad)

[37]
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al Karima agung Sukses, Konsep Ketuhanan Dalam Islam,


http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-islam/
Ahmadi, Abu, dkk.1991. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta:Bumi Aksara
Azra, Azyumardi, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam Perguruan Tinggi umum. Jakarta:
Departemen Agama RI
Dr. M. Yusuf Musa, 1984, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (editor : DR. Ahmad
Daudy, MA) Jakarta : Bulan Bintang.
Kamal, Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Shadrian,
http://eurekamal.wordpress.com/2007/06/25/konsep-ketuhanan-dalam-filsafat-
shadrian/
Pringgabaya, Konsep Ketuhanan,
http://pringgabaya.blogspot.com/2011/01/konsep-ketuhanan.html
Prof. Dr. H. M Rasjidi, 1978, Filsafat Agama, Cetakan keempat, Jakarta : Bulan Bintang
Sayyid Mujtaba Musawwi Lari, 1989. God and His Attributes: Lessons on Islamic
Doctrine.

Cet. 1. (Terj. Ilham Mashuri dan Mufid Ashfahani). Mengenal Tuhan dan Sifat-SifatNya.
jakarta: PT. Lentera Basritama.

Yunus, Muhammad.1997.Pendidikan Agama Islam untuk SLTP.Jakarta,Erlangga


www.agungsukses.wordpress.com
www.qodirjae.wordpress.com/2008/05/20/keimanan-dan-ketaqwaan/
www.tafany.wordpress.com
www.wikipedia.com
www.sahabatilmu.blogspot.com

Ahmad Hasanuddin Umar


https://www.google.com/amp/s/islamicsqh.wordpress.com/2018/07/10/generasi-
terbaik-kaum-muslimin/amp/
2 tahun yang lalu(diakses pada 24 okt2020)

Syaikh Abdurrahman, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, PT. Karya Agung:

Surabaya, 2010, hal. 51.

Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.I Muraja’ah: Mu’taqad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah Fi


tauhidil Asma’ Was Sifat k karya Syaikh Muhammad bin Khalifah At-
tamimi, engan beberapa perubahan redaksi.

https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html(di akses pada 23 okt 2020)

[38]
[39]

Anda mungkin juga menyukai