Anda di halaman 1dari 33

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Intan Putri Yasa


NIM : E1A020043
Fakultas&Prodi : FKIP & Pendidikan Biologi
Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

Catatan:
Tema di atas bukan untuk dipilih salah satunya, dari nomor 1 s.d 5 harus dimuat di dalam 1 artikel besar
dengan BAB-BAB tersendiri.

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
kami dapat menyelsaikan tugas ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya saya tidak sangggup untuk menyelsaikan tugas ini dengan baik. Dan masih
diberikan kekuatan juga kesehatan yang sangat berharga.

Sholawat serta salam semoga ALLAH melimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita Rasulullah Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos. Semoga segala kebaikan mendapat limpahan balasan dari Allah SWT. Saya
tidak akan mendapat hasil yang baik tanpa adanya bimbingan, bantuan, dan dukungan
dari Bapak dosen juga kedua orang tua saya. Terimah kasih atas ilmu yang telah
Bapak berikan selama perkuliahan sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan
Agama Islam.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi penulis juga pembaca.

Penyusun, Lab.Sangor, 17 Oktober 2020

Nama: Intan Putri Yasa


NIM: E1A020043

2
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I. Tauhid: Keistimewaan&Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam 1
BAB II. Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits 2
BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits 3
BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits) 4
BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta
Keadilan Hukum dalam Islam 5
DAFTAR PUSTAKA iv
LAMPIRAN v

Ketentuan Penulisan:

Kertas A4
Margin: 3x3x3x3 cm
Spasi 1,5
Font: Arial 11
Jumlah halaman: Minimal 15
Jumlah Referensi Buku/Kitab/Web, situs, blog, dll: Minimal 10
Nomor Halaman Ketik di Sebelah pojok bawah sebelah kanan.

PERHATIAN:

Saat upload di scribd muncul form:

a. Form untuk diisi judul, maka ketik judul: Tauhid, Al-Qur'an&Hadits, Generasi Terbaik
dan Salafussalih, Berbagi, Keadilan dan Penegakan Hukum dalam Islam, Dosen:
Dr.Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos.
b. Form untuk diisi Diskripsi Dokumen/Informasi Dokumen maka ketik: Islam, Dr. Taufiq
Ramdani, S.Th.I., M.Sos, Universitas Mataram, Nama Fakultas, Nama Prodi, Nama
Kalian Sendiri.

3
BAB I

TAUHID: KEISTIMEWAAN&KEBENARAN KONSEP


KETUHANAN DALAM ISLAM

Hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan Yang mengatur alam raya
ini. Meskipun diakui bahwa mereka Mempercayai adanya banyak Tuhan. Karena itu
penting untuk Memahami hakikat Tuhan dalam istilah al-Rububiyah. Tulisan ini
Bertujuan untuk mendeskripsikan hakikat al-rububiyah (ketuhanan) Dalam Alquran,
wujud al-rububiyah dan mengungkapkan makna Teologisnya dalam kehidupan
manusia. Islam mencoba menampilkan Dan menggambarkan kepada manusia tentang
ajaran keseluruhan Watak Tuhan yang memungkinkan bahasa manusia
memahaminya. Islam adalah agama penghambaan kepada Allah swt. Sebagai
Realitas Tertinggi dan asal muasal seluruh realitas. Kata Rabb dalam Alquran Memiliki
tiga unsur makna yaitu: Yang Menciptakan, Yang Memiliki, Dan Yang Mengatur.
Maksudnya Rabb adalah yang menciptakan, yang Memiliki, dan yang mengatur alam
semesta ini. Pengakuan manusia Terhadap eksistensi Tuhan telah melahirkan
kesadaran bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah swt. Hal ini juga
akan Menjadikan manusia-manusia memiliki sifat rabbani yaitu mereka yang Memiliki
pengetahuan mendalam tentang hukum agama, hikmah dan Kebijaksanaan dalam
mengatur dan membina, serta berusaha Mewujudkan kemaslahatan manusia.
Keywords : al-Rububiyah – Tuhan – Rabbani. Jauh sebelum Islam datang ditemukan
bahwa hampir semua umat Manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam
raya ini. Meskipun Diakui bahwa mereka mempercayai adanya banyak Tuhan. 1
Keyakinan ini juga Merambah masuk ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka
ditanya siapa Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab “Allah”, tetapi
pada Saat yang sama mereka menyembah berhala. Oleh karena itu, mereka tidak
Dapat disebut kaum beriman, tetapi kaum yang mempersekutukan Tuhan. 1 Seperti
orang-orang Yunani Kuno yang menganut paham politeisme (keyakinan banyak
Tuhan), orang-orang Hindu masa lampau juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini
Sebagai tuhan-tuhan. Demikian juga pada masyarakat Mesir dan Persia. Lihat M.
QuraishShihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996), h. 14. Padahal mereka sadar betul bahwa sekutu itu bukan
Tuhan. Lebih dari itu, Pengertian orang-orang Arab pra-Islam tentang Allah-pun penuh
dengan Mitologi.2Kemudian Islam datang untuk meluruskan keyakinan itu dengan

4
Membawa ajaran tauhid,3 menjadi penyibak ajaran yang total dan menyeluruh Tentang
Tuhan yang dalam bahasa Arab disebut Allah swt. Islam mencoba menampilkan dan
menggambarkan kepada manusia tentang ajaran Keseluruhan Watak Tuhan yang
memungkinkan bahasa manusia Memahaminya. Islam adalah agama penghambaan
kepada Allah swt., Realitas Tertinggi, asal muasal seluruh realitas, dan kepada siapa
semua kembali, Karena Allah swt. Adalah asal, pencipta, pengatur, pemelihara dan
akhir alam Semesta.4 Sebuah pertanyaan pertama yang perlu diutarakan adalah:
mengapa Manusia harus mempercayai adanya Tuhan? Mengapa mereka tidak
membiarkan alam Beserta berbagai proses dan segala isinya berdiri sendiri tanpa
perlu meyakini adanya Yang lebih tinggi dari pada alam, yang hanya merumitkan
realitas serta memberatkan Akal pikiran dan jiwa manusia? Alquran mengatakan:

“keyakinan kepada yang Lebih tinggi daripada alam itu sebagai kesadaran terhadap
yang gaib” (QS. 2:3; 5:94).

Bagi orang-orang yang suka merenunginya eksistensi Tuhan itu dapat Mereka pahami,
sehingga eksistensi-Nya tidak lagi diyakini sebagai sesuatu Yang “irrasional” dan “tidak
masuk akal”, tetapi berubah menjadi Kebenaran Tertinggi.Yang menjadi masalah di
sini bukanlah bagaimana membuat manusia Beriman dengan mengemukakan bukti-
bukti “theologis” yang pelik dan Panjang lebar mengenai eksistensi Tuhan, tetapi
bagaimana membuatnya Beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai
fakta yang jelas Dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan
manusia Kepada eksistensi Tuhan.5 Dengan kata lain bahwa semua ciptaan Tuhan
(alam Dan seluruh isinya termasuk manusia) seharusnya membuat manusia semakin
Mengenal Penciptanya dan berusaha semakin dekat dengan-Nya. Sehingga 2M.
QurishShihab, Ibid., Lihat pula, Budhy Munawar-Rahman, Kata Pengantar Editor
dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina,
1994), h. Xvii. 3 asal makna tauhid adalah meyakinkan bahwa Allah adalah satu tidak
ada sekutu bagi-Nya. Ilmu Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud
Allah, sifat-sifat yang wajib Tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-
Nya, dan sifat-sifat yang sama sekali Wajib dilenyapkan dari pada-Nya. Juga disebut
Ilmu Kalam. Lihat, Syekh Muhammad Abduh, Risalatal-Tauhid. Diterjemahkan oleh
K.H. Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid(Jakarta-Idonesia: Bulan Bintang, 1992),
h. 3-4; Lihat juga Salih ibn Fauzan ibn „Abd Allah alFawazin, “Akidah al-Tauhid (Al-
Mamlakahal-“Arabiyahal-Su‟udiyah, Muassasahal-Haramain Al-Khaeriyah, 1418 H), h.
15.4Seyyed HosseinNasr, A Young Muslim‟sGuidetothe Modern World. Diterjemahkan

5
oleh Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern Bimbingan untuk Kaum
Muda Muslim, ((Bandung: Mizan, 1994), h. 15.5 Oleh karena itulah Alquran
berulangkali menamakan dirinya (dan Nabi Muhammad) sebagai “sebuah peringatan”
atau “yang memperingatkan”.

KemanapunKemanapun mereka memalingkan wajahnya, dia tetap berkata tiada


Tuhan selain Allah. Meskipun secara eksistensial manusia sadar dan mengakui
adanya Tuhan, namun secara substansial manusia tidak mungkin mengetahui Sosok
Tuhan. Relevan dengan ini, adalah kisah pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh
Ibrahim, seperti yang terekam dalam Al An‟am/6:75-79: “Dan demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda Keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan
di bumi, dan (Kami Memperlihatkan) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika
Malam telah menjadi gelap dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah
Tuhanku‟. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya Tidak suka kepada
yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan Terbit, dia berkata: „Inilah
Tuhanku‟. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia Berkata: Sesungguhnya jika Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.
Kemudian tatkala dia Melihat matahari terbit, dia berkata: “Inikah Tuhanku, ini yang
lebih Besar‟, maka tetkala matahari itu tenggelam, dia berkata: “Hai kaumku,
Sesungguhnya aku berlepas dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan Langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku Bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukanTuhan“.Kisah di atas memberikan pelajaran, betapa sesungguhnya
manusia Telah memiliki kesadaran terdalam terhadap eksistensi Tuhan. Tetapi, Ketika
manusia mencoba untuk “memperjelas” siapa (substansi) Tuhan, Seperti Ibrahim yang
mengira bintang, bulan, dan matahari sebagai Tuhan, maka pasti akan menemui
kegagalan. Oleh karena itu, penjelasan Yang bisa diterima adalah bahwa manusia
tidak akan pernah tahu siapa Tuhan itu, jika hanya berdasarkan logika dan
perasaannya sendiri, Sebagaimana logika dan perasaan Ibrahim yang pernah
menganggap Matahari sebagai Tuhan karena matahari itu besar dan mampu
menerangi Jagat bumi. Jika manusia tetap memaksa untuk menemukan Tuhan
Dengan akalnya, maka pasti Tuhan yang ditemukannya itu palsu. Dalam Bahasa lain,
barangsiapa merasa mengetahui Tuhan, maka sesungguhnya Justru pertanda bahwa
ia tidak tahu apa-apa. Kata lbnArabi dalam Sebuah syair:

6
“Barangsiapa mengaku ia tahu Allah bergaul dengan dirinya, dan Ia tidak lari (dari
pengakuan itu), maka itu tanda ia tidak tahu apa-apa. Tidak Ada yang tahu Allah
kecuali Allah sendiri, maka waspadalah, sebab yang sadar di Antara kamu tentulah
tidak seperti yang alpa …”

Lantas bagaimana manusia mengenal Tuhan? Jawabannya, adalah Ketika Tuhan


sendiri yang memperkenalkan diriNya kepada manusia. Di Sinilah kita akan memahami
fungsi malaikat, wahyu, dan rasul. Pertanyaan-pertanyaan seputar Tuhan: siapa Dia;
apa mauNya; Bagaimana cipatanNya; apa yang diperbolehkannya; atau apa yang
dilarangnya; hanya dapat dicari jawabannya lewat informasi yang diberikan Tuhan
kepada manusia. Inilah yang dimaksud dengan (fungsi) wahyu; yang wahyu
itudisampaikan oleh Tuhan melalui malaikat (Jibril) kepada rasul untuk kemudian
diteruskan kepada segenap manusia. Tentang siapa Dia, misalnya, Tuhan telah
memberikan informasi dalam AI Qur‟an:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (Thaha/20:24); “Katakanlah; Dialah
Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala
sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada suatupun yang
setara dengan Dia” (AI Ikhlash/112:1-4).

“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus mengurus
(makhlukNya); tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang ada di langit
dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izinnya? Allah
mengatahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi
Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya,
dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (AI Baqarah/2:255).

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan hakikat al-rububiyah (ketuhanan) dalam


Alquran, wujud al-rububiyah dan mengungkapkan makna teologisnya dalam
kehidupan manusia dengan pendekatan Ilmu Tafsir dan metode tafsir maudhu‟i
(tematik). Adapun kegunaan penelitian ini untuk mengembangkan wawasan keilmuan
dalam mengungkapkan tema-tema penting dalam Alquran.

Di samping itu, diharapkan pula tulisan dapat memberi kontribusi pengetahuan dasar
bagi masyarakat ilmiah maupun masyarakat umum dalam rangka lebih mengenal Allah
swt. sebagai Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Abduh, Syekh Muhammad ,

7
Risalatal-Tauhid. Diterjemahkan oleh K.H. Firdaus A.N. dengan judul Risalah Tauhid
(Jakarta-Idonesia: Bulan Bintang, 1992), Armstrong, Karen , A HistoryofGod: The
4.000-Year QuestofJudaism, ChristianityAnd Islam. Diterjemahkan oleh Zaimul Am
dengan judul Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang-orang
Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4.000 Tahun (Bandung: Mizan, 2004).Azad,
Maulana Abu Kalam ,The OpeningChapteroftheQur‟an (Kuala Lumpur: Islamic Book
Trust, 1991),

8
BAB II

SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada Masa Dinasti Bani Umayyah
mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam
pada Masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah Mengambil
kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia Menjadi pejabat-pejabat penting di
istana, terutama dari Keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah
lamaBersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme Yang
mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan Mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini
semakin nyata Setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu’tazilah,
sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab Resmi negara. Pada masa ini
pendidikan Islam mencapai zaman Keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan,
sains dan Pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat Sehingga
menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada Tandingnya di dunia dan filsafat
serta ilmu pengetahuannya Menjadi kiblat dunia pada saat itu. Perseteruan antara
agama dan ilmu pengetahuan (sains) Merupakan isu klasik yang sampai saat ini masih
berkembang Di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam tidak Mendekati
persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena Al-Qur’an dan al-Sunnah telah
memberikan sistem yang Lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek
Kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau Penyelidikan-penyelidikan
ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah Merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem
Islam Di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan Terhadap yang
lainnya.Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala
alam dan merenungkannya. AlQur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi,
ilmu Kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk Dipikirkan oleh
manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima Puluh ayat – sekitar seperdelapan al-
Qur’an– yang mendorong Orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan
Menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha Memperoleh
pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai Bagian dari hidupnya. Kaum muslim
zaman klasik Memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan Penyelidikan ilmiah
di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di Samping dorongan lebih lanjut dari karya-karya
Yunani dan Sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan
Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para Ilmuwan muslim tampil dengan

9
sangat mengesankan dalam Setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini
tidak Saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, Seperti al-Ghazali,
(1983:45-48 ) dan al-Suyuthi, ( Dhahabi, 1961: 420) bahkan sarjana Baratpun
mengakuinya, seperti R. Levy (1975:400) (1975: 400) dan George Sarton. (tt:23).

A. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an

Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang Sulit dipisahkan satu
sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah Himpunan pengetahuan manusia
tentang alam yang diperoleh Sebagai konsensus para pakar, melalui
penyimpulan secara Rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap
data Pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala Alam.
Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan Manusia tentang proses-
proses pemanfaatan alam yang Diperoleh dari penerapan sains, dalam
kerangka kegiatan yang Produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).Al-Qur’an,
sebagai kalam Allah, diturunkan bukan Untuk tujuan-tujuan yang bersifat
praktis. Oleh sebab itu, Secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains
dan Teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara Gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, Al-Qur’an memberikan
informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak,
sekitar tujuh ratus lima Puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan
(wahyu) paling Awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi Pentingnya
proses investigasi (penyelidikan). Informasi alQur’an tentang fenomena alam
ini, menurut Ghulsyani, Dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia
kepadaPencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan
Mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta Mendorong
manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-
Qur’an, fenomena alam adalah Tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu,
pemahaman Terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada
Tuhannya.Pandanganal-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat Ditelusuri
dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an Telah meletakkan posisi ilmu
pada tingkatan yang hampir sama Dengan iman seperti tercermin dalam surat
al-Mujadalah ayat 11:“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
Beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu Pengetahuan
beberapa derajat.” Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia Mencari
ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an Menggunakan berbagai

10
istilah yang berkaitan dengan hal ini.Misalnya, mengajak melihat,
memperhatikan, dan mengamati Kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5;
Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca
(al-‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5),
supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang Berpikir atau yang menalar
berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-
Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-
Zumar: 18),dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).Sedangkan pandangan al-
Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang
diterima Nabi Muhammad saw.:Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)Kata iqra’, menurut QuraishShihab, diambil dari
akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi
obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau
oleh manusia. (Shihab, 1996:433) Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan
untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai
agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri
dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan
kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan
beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama
sebagai berikut :

1). Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar: “Katakanlah:
adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui.”Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76;
QS 16: 70.

2). Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak
hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman
Allah pada surat Fathir ayat 27-28: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah
menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan

11
yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-
garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang
hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata
dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
"Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas
dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains:
(“hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri
di hadapan Allah Yang Maha Mulia.

3). Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:
Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44-45). Di samping itu, subyek yang dituntut
oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah itu
hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini
tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai
khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya
telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di
dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”Kata sakhkhara (menundukkan)
pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu banyak ditemukan di
dalam alQur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan semua
ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga
manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan
akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan
sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15-16 ) tertiupnya sehelai
daun yang kering dan pipih oleh angin yang membawanya membumbung tinggi
ke atas adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan
pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan:
“bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah
yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam
pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun
itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan

12
mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran
udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu
lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang
melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam
ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap
dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material
tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat
terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.Untuk dapat memahami
sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia telah dibekali oleh
Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia)
dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an
juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah
penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal.
Suatu cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu
pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya
mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains,
al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut. Pertama,
al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama
alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang
terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus
ayat 101. “Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa
yang ada di langit dan di bumi.” Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni
memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong,
melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap

13
BAB III

3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi
berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik umat ini. Dari Imran bin Hushain
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah dari Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

َ ‫َخي َْر أُ َّمتِـي َقرْ نِي ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬
‫ِين َيلُو َُن ْم‬

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah


mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-
Bukhari, no. 3650)

Mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui
dalam memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan
yang tertinggi (as-salafu ash-shalih).

Karenanya, sudah merupakan kemestian bila menghendaki pemahaman dan


pengamalan Islam yang benar merujuk kepada mereka (as-salafu ash-shalih). Mereka
adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan mereka pun ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:

ٍ ‫ان َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه ْم َو َرضُوا َع ْن ُه َوأَ َع َّد لَ ُه ْم َج َّنا‬


‫ت َتجْ ِري‬ َ ‫ار َوالَّذ‬
ٍ ‫ِين ا َّت َبعُو ُه ْم ِبإِحْ َس‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ين َواأْل َ ْن‬ َ ُ‫ون اأْل َوَّ ل‬
َ ‫ون م َِن ْال ُم َها ِج ِر‬ َ ُ‫َّابق‬ِ ‫َوالس‬
َ ‫َتحْ َت َها اأْل َ ْن َها ُر َخالِد‬
َ ِ‫ِين فِي َها أَ َب ًدا َذل‬
‫ك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-
orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100) Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengikuti para sahabat. Berjalan di
atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang telah mereka perbuat.
Menapaki manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj mereka. Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

14
َ ‫َوا َّت ِبعْ َس ِبي َل َمنْ أَ َن‬
َّ‫اب إِلَي‬

“Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)

Menukil ucapan Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, terkait ayat di
atas disebutkan bahwa setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Maka, wajib mengikuti jalannya, perkataan-perkataannya, dan
keyakinan-keyakinan (i’tiqad) mereka. Dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang
kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, (dikuatkan lagi) dengan firman-Nya yang
menunjukkan mereka adalah orang-orang yang telah diberi Allah Subhanahu wa Ta’ala
petunjuk. Firman-Nya:

ُ‫َو َي ْهدِي إِلَ ْي ِه َمنْ ُينِيب‬

“Dan (Allah) memberi petunjuk kepada (agama)-Nya, orang yang kembali (kepada-
Nya).” (Asy-Syura: 13) (Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, Abdussalam bin Salim bin
Raja’ As-Suhaimi, hal. 14)

Maka, istilah as-salafu ash-shalih secara mutlak dilekatkan kepada tiga kurun yang
utama. Yaitu para sahabat, at-tabi’un, dan atba’u tabi’in (para pengikut tabi’in).
Siapapun yang mengikuti mereka dari aspek pemahaman, i’tiqad, perkataan maupun
amal, maka dia berada di atas manhaj as-salaf. Adanya ancaman yang diberikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang memilih jalan-jalan selain jalan yang
ditempuh as-salafu ash-shalih, menunjukkan wajibnya setiap muslim berpegang
dengan manhaj as-salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫يل ْالم ُْؤ ِمن‬


ْ ‫ِين ُن َولِّ ِه َما َت َولَّى َو ُنصْ لِ ِه َج َه َّن َم َو َسا َء‬
‫ت مَصِ يرً ا‬ ِ ‫َو َمنْ ُي َشاق ِِق الرَّ سُو َل مِنْ َبعْ ِد َما َت َبي ََّن لَ ُه ْالهُدَى َو َي َّت ِبعْ غَ ي َْر َس ِب‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)

Disebutkan oleh Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman Al-Jabiri hafizhahullah,
bahwa tidaklah orang yang berpemahaman khalaf (lawan dari salaf), termasuk orang-
orang yang tergabung dalam jamaah-jamaah dakwah sekarang ini, kecuali dia akan
membenci (dakwah) as-salafiyah. Karena, as-salafiyah tidak semata pada hal yang
terkait penisbahan (pengakuan). Tetapi as-salafiyah memurnikan keikhlasan karena

15
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memurnikan mutaba’ah (ikutan) terhadap Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Manusia itu terbagi dalam dua kelompok (salah satunya)
yaitu hizbu Ar-Rahman, mereka adalah orang-orang Islam yang keimanan mereka
terpelihara, tidak menjadikan mereka keluar secara sempurna dari agama. Jadi, hizbu
Ar-Rahman adalah orang-orang yang tidak sesat dan menyesatkan serta tidak
mengabaikan al-huda (petunjuk) dan al-haq (kebenaran) di setiap tempat dan zaman.
(Ushul wa Qawa’id fi al-Manhaj As-Salafi, hal. 12-13)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah
radhiyallahu ‘anhu, berkata:

ِ ‫الَ َي َزا ُل َطا ِئ َف ٌة مِنْ أ ُ َّمتِـي َظاه ِِري َْن َح َّتى َيأْ ِت َي ُه ْم أَمْ ُر‬
َ ‫هللا َو ُه ْم َظا ِهر‬
‫ُون‬

“Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang unggul/menang hingga tiba
pada mereka keputusan Allah, sedang mereka adalah orang-orang yang
unggul/menang.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7311)

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, bahwa yang


dimaksud hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang teguh
dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di
atasnya. Mereka adalah orang-orang yang unggul/menang, tak akan termudaratkan
oleh orang-orang yang menelantarkannya dan orang-orang yang menyelisihinya.
(Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104)

Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memunculkan para pembela risalah-Nya.


Mereka terus berupaya menjaga as-sunnah, agar tidak redup diempas para ahli bid’ah.
Bermunculan para imam, seperti Al-Imam Al-Barbahari, Al-Imam Ibnu Khuzaimah, Al-
Imam Ibnu Baththah, Al-Imam Al-Lalika’i, Al-Imam Ibnu Mandah, dan lainnya dari
kalangan imam Ahlus Sunnah. Lantas pada kurun berikutnya, ketika muncul bid’ah
sufiyah, ahlu kalam dan filsafat, hadir di tengah umat para imam, seperti Al-Imam Asy-
Syathibi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya, yaitu Ibnul Qayyim,
Ibnu Abdilhadi, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, dan lainnya rahimahumullah. Sosok Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah sendiri bagi sebagian umat Islam bukan lagi sosok yang asing.
Kiprah dakwahnya begitu agung. Pengaruhnya sangat luas. Kokoh dalam memegang
sunnah. Sebab, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya tidak ada
kebahagiaan bagi para hamba, tidak ada pula keselamatan di hari kembali nanti (hari
kiamat) kecuali dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

16
َ‫ص هللا‬ َ ‫ت َتجْ ِري مِنْ َتحْ ِت َها اأْل َ ْن َها ُر َخالِد‬
ِ ْ‫ َو َمنْ َيع‬.‫ِين فِي َها َو َذل َِك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬ ٍ ‫هللا َو َمنْ يُطِ ِع هَّللا َ َو َرسُولَ ُه ي ُْدخ ِْل ُه َج َّنا‬
ِ ‫ك ُحدُو ُد‬ َ ‫ت ِْل‬
ٌ‫َو َرسُولَ ُه َو َي َت َع َّد ُحدُودَ هُ ي ُْدخ ِْل ُه َنارً ا َخال ًِدا فِي َها َولَ ُه َع َذابٌ م ُِهين‬

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat


kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’:
13-14)

Maka, ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan poros kebahagiaan


yang seseorang berupaya mengitarinya, juga merupakan tempat kembali yang selamat
yang seseorang tak akan merasa bingung darinya. Sungguh Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menciptakan makhluk dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya,
sebagaimana firman-Nya:

‫ُون‬ َ ‫ت ْال ِجنَّ َواإْل ِ ْن‬


ِ ‫س إِاَّل لِ َيعْ ُبد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Sesungguhnya peribadahan mereka dengan menaati-Nya dan taat terhadap Rasul-


Nya. Tidak ada ibadah kecuali atas sesuatu yang telah Dia (Allah Subhanahu wa
Ta’ala) wajibkan dan sunnahkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain dari
itu, maka yang ada hanyalah kesesatan dari jalan-Nya. Untuk hal ini Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ْس َعلَ ْي ِه أَمْ رُنا َ َفه َُو َر ٌّد‬


َ ‫َمنْ َع ِم َل َع َمالً لَي‬

“Barangsiapa melakukan satu amal yang tidak ada dasar perintah kami, maka
tertolak.” (Shahih Al-Bukhari no. 2697 dan Shahih Muslim, 1718)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula dalam hadits Al-Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Ahlu Sunan dan dishahihkan At-Tirmidzi
rahimahullahu:

17
َ ‫ِين ْالـ َم ْه ِدي‬
‫ِّين مِنْ َبعْ دِي َت َم َّس ُكوا ِب َها َو َعضُّوا‬ َ ‫اخ ِتاَل ًفا َكثِيرً ا َف َعلَ ْي ُك ْم ِب ُس َّنتِـي َو ُس َّن ِة ْالـ ُخلَ َفا ِء الرَّ اشِ د‬
ْ ‫إِ َّن ُه َمنْ َيعِشْ ِم ْن ُك ْم َبعْ دِي َف َس َي َرى‬
‫ضاَل لَ ٌة‬ ُ ِ ‫ َوإيَّا ُك ْم َومُحْ دَ َثا‬،ِ‫َعلَي َها بال َّن َواجذ‬
َ ‫ُور َفإِنَّ ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬ ِ ‫ت اأْل م‬ ِ ِ ِ

“Sesungguhnya kalian akan hidup setelahku, kalian akan mendapati banyak


perselisihan. Maka, pegang teguh sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang
mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguh sunnah dan gigit dengan gerahammu.
Dan hati-hatilah dari perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR.
At-Tirmidzi no. 2676) [Lihat Majmu’ah Al-Fatawa,1/4]

Itulah manhaj (cara pandang) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam
menetapi Islam. Cara pandang inilah yang telah hilang dari sebagian kaum muslimin
sehingga terjatuh pada perkara-perkara yang diada-adakan, yang perkara tersebut
tidak dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkara tersebut mereka
ada-adakan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal Islam sendiri tak mengajarkan
semacam itu. Mereka terbelenggu bid’ah nan menyesatkan.

Kekokohan memegang teguh prinsip beragama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu digambarkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu. Kata Al-Hafizh Al-
Mizzi rahimahullahu, “Aku tak pernah melihat orang yang seperti beliau. Tidak pula dia
melihat orang yang seperti dirinya. Aku melihat, tidak ada seorangpun yang lebih
mengetahui dan sangat kuat mengikuti Al-Kitab dan sunnah Rasul-Nya dibanding
beliau. Pantaslah bila sosok Syaikhul Islam senantiasa membuat susah para ahlu
bid’ah. Disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi rahimahullahu, bahwa beliau
rahimahullahu adalah pedang terhunus bagi orang-orang yang menyelisihi (Al-Kitab
dan As-Sunnah). Menyusahkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, yang suka
mengada-adakan ajaran (baru) dalam agama. (Al-Ushul Al-Fikriyah Lil-Manahij As-
Salafiyah ‘inda Syaikhil Islam, Asy-Syaikh Khalid bin Abdirrahman Al-‘Ik)

Kecemburuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu terhadap harkat martabat


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar. Itu bisa tergambar melalui tulisan
beliau rahimahullahu yang berjudul Ash-Sharimu Al-Maslul ‘ala Syatimi Ar-Rasul
(Pedang Terhunus terhadap Orang yang Mencaci Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Tulisan ini merupakan sikap ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam
menyikapi orang yang mencaci-maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mencaci
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bukan perkara ringan. Ini menyangkut
nyawa manusia. Sikap tegas, ilmiah, dan selaras akal sehat ini merupakan bentuk

18
penjagaan beliau rahimahullahu terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
risalah yang dibawanya.

Demikianlah kehidupan seorang alim. Keberadaannya senantiasa memberi manfaat


kepada umat. Dia menebar ilmu, menebar cahaya di tengah keterpurukan manusia.
Dia laksana rembulan purnama di tengah bertaburnya bintang gemilang. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perumpamaan keutamaan antara seorang alim
dengan seorang abid (ahli ibadah). Dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

،‫ إِنَّ اأْل َ ْن ِب َيا َء لَـ ْم ي َُورِّ ُثوا ِد ْي َنارً ا َوالَ دِرْ َهمًا‬،‫ إِنَّ ْال ُعلَ َما َء َو َر َث ُة اأْل َ ْن ِب َيا َء‬،ِ‫َو َفضْ ُل ْال َعال ِِم َعلَى ْال َع ِاب ِد َك َفضْ ِل ْال َق َم ِر َعلَى َسائ ِِر ْال َك َوا ِكب‬
‫إِ َّن َما َورَّ ُثوا ْالع ِْل َم َف َمنْ أَ َخ َذهُ أَ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر‬

“Dan keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah, bagai rembulan atas
seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi
tidaklah mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa
mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.”
(Sunan At-Tirmidzi, no. 2682, Sunan Abi Dawud no. 3641, Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini).

Umat Rasulullah merupakan umat terbaik dari seluruh umat-umat para Nabi yang
diutus sebelum beliau. Meskipun umat Rasulullah datang sebagai yang terakhir
diantara umat-umat lainnya, tetapi di akhirat kelak umat Rasulullah-lah yang akan
memasuki Surga terlebih dahulu di bandingkan dengan umat-umat lainnya.

Inilah beberapa generasi terbaik yang beliau sebutkan dalam hadits tersebut :

1. Sahabat

Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam secara langsung serta membantu perjuangan
beliau. Menurut Imam Ahmad, siapa saja diantara orang beriman yang bertemu
dan melihat Rasulullah, baik sebulan, sepekan, sehari atau bahkan Cuma
sesaat maka ia dikatakan sebagai sahabat. Derajatnya masing-masing
ditentukan dengan seberapa lama ia menyertai Rasulullah.

Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah


shallallahu alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang terbaik adalah para

19
Khulafaur Rasyidin, kemudian 10 orang sahabat yang namanya disebutkan
oleh Rasulullah yang mendapatkan jaminan surga.

2. Tabi’in

Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau
setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta
melihat para sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan
mewariskan ilmu dari para sahabat Rasulullah.

Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat,
tetapi tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan
secara langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi
terkenal di langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan
Ali, untuk mencari Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan
orang yang memiliki doa yang diijabah oleh Allah.

Adapun diantara orang-orang yang tergolong generasi tabi’in lainnya yakni


Umar bin Abdul Aziz, Urwah bin Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein,
Muhammad bin Al Hanafiyah, Hasan Al Bashri dan yang lainnya.

3. Tabi’ut Tabi’in

Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau
setelah mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu
dengan generasi tabi’in. Tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar
dan mewariskan ilmu dari para tabi’in. Diantara orang-orang yang termasuk
dalam generasi ini adalah Imam Malik bin Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan
Ats-Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Saad dan yang lainnya.

Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat
muslim yang datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari
kitab-kitab yang telah mereka tuliskan. Semoga kita bisa mengikuti para
generasi terbaik umat ini.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak


mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal.

20
Mereka itu adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu
mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka
adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh
karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena
sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish shalih, hal. 198)

21
BAB IV

PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERESNSI AL-HADITS)

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari
ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para
Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

‫اس ُث َّم َقرْ نِيْ ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم‬
ِ ‫خ ْي ُر ال َّن‬.
َ

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian
yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in)”

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang
pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya.

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah


bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya
dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.).
Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai
‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi
meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa
pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi
meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan
tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada
generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

22
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti
manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang
mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang
masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan
kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan
manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang
lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan
kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang
dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu
anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[7] berkata: “Bukanlah
merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya
kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak
lain kecuali kebenaran.”

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau
buruk. Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk
yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan
ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan
orang yang menyalahinya akan dicela.

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-
Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada
apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang
terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-
Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan
As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini
diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th.
157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-
belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang

23
berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan
mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini,
yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam
kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah
untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran
dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang
menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah
yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan
kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:

َ ْ‫اَ ْل َج َما َع ُة َما َوافَقَ ْال َح َّق َوإِنْ ُك ْنتَ َوح‬.


‫دَك‬

“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter
mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara
yang baru dan bid’ah dalam agama. Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’
(mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti
Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan
Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul
Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah
(golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-


sabda:

ِ ‫هللا الَ َيضُرُّ ُه ْم َمنْ َخ َذلَ ُه ْم َوالَ َمنْ َخالَ َف ُه ْم َح َّتى َيأْ ِت َي ُه ْم أَمْ ُر‬
َ ِ‫هللا َو ُه ْم َعلَى َذل‬
‫ك‬ ِ ‫الَ َت َزا ُل مِنْ أ ُ َّمتِيْ أُم ٌَّة َقا ِئ َم ٌة ِبأ َ ْم ِر‬.

24
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah,
tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang
menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang
demikian itu.”

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫ َف‬،ً‫ َو َس َيع ُْو ُد َك َما َبدَأَ َغريْبا‬،ً‫ َبدَأَ ْاإلسْ الَ ُم غَريْبا‬.
‫ط ْو َبى ل ِْل ُغ َر َبا ِء‬ ِ ِ ِ

“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka
beruntunglah bagi al-Ghurabaa’ (orang-orang asing).”

Sedangkan makna al-Ghurabaa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh


‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu ketika suatu hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa’, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫اس س ُْو ٍء َك ِثي ٍْر َمنْ َيعْ صِ ي ِْه ْم أَ ْك َث ُر ِممَّنْ يُطِ ْي ُع ُه ْم‬ ُ َ ٌ‫أ ُ َناس‬.
ِ ‫صالِح ُْو َن فِيْ أ َن‬

“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek,
orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa’:

ِ ‫اَلَّ ِذي َْن يُصْ لِح ُْو َن عِ ْندَ َف َسا ِد ال َّن‬.


‫اس‬

“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya


manusia.” Dalam riwayat yang lain disebutkan”:

… ْ‫الَّ ِذي َْن يُصْ لِح ُْو َن َما أَ ْف َسدَ ال َّناسُ مِنْ َبعْ دِي مِن‬

“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”

Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut


juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-

25
Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak
generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan
kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para
Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-
Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya.

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata:

“Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan
ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama
untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan mengenai
Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan
selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah
para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka
dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ashhaabul hadits dan yang mengikuti mereka
dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam
yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”

26
BAB V

AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, PENEGAKAN SERTA


KEADILAN HUKUM DALAM ISLAM

Keadilan merupakan harapan dan bambaan setiap orang dalam tatanan kehidupan
sosial. Setiap negara maupun lembaga-lembaga dan organisasi di manapun
mempunyai visi dan misi yang sama terhadap keadilan, walaupun persepsi dan
konsepsi mereka bisa saja berbeda. Karena dalam pemahaman mereka keadilan
sebagai konsep yang relatif dan tolok ukur yang sangat beragam antara satu negara
dengan negara lain, dan masing-masing ukuran keadilan itu didefinisikan dan
ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial masyarakat yang
bersangkutan. Menurut Majid Khadduri, (1999: 1), sumber keadilan itu ada dua:
keadilan positif dan keadilan revelasional. Keadilan positif adalah konsep-konsep produk
manusia yang dirumuskan berdasarkan kepentingan-kepentingan individual maupun
kepentingan kolektif mereka. Skala keadilan berkembang melalui persetujuan-
persetujuan diam-diam waupun tindakan formal, sebagai produk interaksi antara
harapan-harapan dan kondisi yang ada. Sedangkan keadilan revelasional adalah
bersumber dari Tuhan yang disebut dengan keadilan Ilahi. Keadilan ini dianggap
berlaku bagi seluruh manusia, terutama bagi pemeluk agama yang taat.
WahbahZuhayli (1991: 41), dalam menafsirkan surat Al-Syura ayat 14:

“milik Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi. Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
(Q.S. Al-Syura[42]:14).

Menyatakan keadilan sebagai suatu ajaran universal setiap Rasul tidak mengalami
perubahan dari setiap generasi Rasul dan berakhir pada Muhammad saw. Al-Qur`an
dan Al Hadis disepakati sebagai dua sumber pokok dan utama ajaran Muhammad
saw, karenanya umat Islam memiliki pegangan yang kuat untuk menggali dan
memahami konsep keadilan yang akan diaplikasikan dalam kehidupan individual dan
sosial mereka.

Dalam Islam, keadilan disebutkan dengan kata-kata al-Adl, al-Qisth dan alMizan
(Muhammad Fuad Abd al-Baqi, 1987: 448-449 dan 544-545). Dalam Ayat Al-Qur`an

27
menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, untuk menyebut “keadilan” dengan kata al-Adl,
dalam berbagai bentuk katanya disebut sebanyak 28 kali, kata al-Qisth dalam berbagai
shighahnya disebut sebanyak 27 kali, dan kata al-Mizan yang mengandung makna
yang relevan dengan keduanya disebut 23 kali. Banyaknya ayat Al-Qur`an yang
membicarakan keadilan menunjukkan bahwa Allah Swt. Adalah sumber keadilan dan
memerintahkan menegakkan keadilan di dunia ini kepada para rasul dan seluruh
hambaNya. Walaupun tidak ada satupun ayat Al-Qur`an yang secara eksplisit
menunjukkan bahwa Al-‘Adl merupakan sifat Allah, namun banyak Ayat yang
menerangkan keadilanNya (M.Quraisy Shihab, 2000: 149). Oleh karena itu, dalam
kajian al-Asma al-Husna, al-Adl merupakan salah satu asma Allah, tepatnya asma
yang ke- 30 dari 99 al-Asma Al-Husna itu. Melalui sifat keadilan ini Allah menyuruh
untuk lebih meyakini dan mendekatkan diri kepadaNya dan mendorong manusia
berakhlak dengan sifat adil Allah itu, dan juga mendorong mereka dengan sungguh-
sungguh untuk meraih sifat adil itu, menghiasi diri, dan berakhlak dengan keadilan itu
(M.Quraisy Shihab, 2000: 32-33).

Al-Qur`an, memerintahkan agar menegakkan keadilan kepada para Rasul, yang


terdapat pada surat al-Hadid (57) ayat 25:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa buktibukti


yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan)
agar manusia dapat menegakkan keadilan´. (Q.S. Al-Hadid [57]: 25). Allah SWT juga
memerintahkan orang-orang mukmin untuk menegakkan keadilan…”. (Q.S Al-Hadit
[57]: 25).

Allah SWT juaga memerintahkan orang-orang mukmin untuk menegakkan keadilan,


dan termasuk ke dalam amal Shalih serta orang mukmin yang menegakkan keadilan
dapat dikategorikan sebagai orang yang telah berupaya meningkatkan kualitas
ketakwaan dirinya. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa keadilan itu sebagai
salah satu indikator yang paling nyata dan dekat dengan ketakwaan. Firman Allah
tersebut adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang


menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah telah

28
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih, bahwa untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar’. (Q.S. Al-Maidah [5]: 8 dan 9).

Ayat ini memerintahklan orang mukmin menegakkan keadilan di bidang hukum, baik
sebagai hakim maupun saksi. Dalam ayat al-$Q·am (6) ayat 152, Allah juga
memerintahkan untuk menegakkan keadilan dalam bentuk ucapan walaupun kepada
kaum kerabat:

“… Dan apabila kalian berkata, maka berkatalah dengan adil walaupun terhadap
kerabat”. (Q.S. Al-Al-An’am [6]:152).

Pada hakikatnya, perintah keadilan itu meliputi aspek-aspek kehidupan manusia. Majid
Khadduri (1999; 13-14), mengklafikasikan keadilan dalam 8 aspek yang sangat luas:
keadilan politik, keadilan teologis, keadilan fillosofis, keadilan etis, keadilaln legal,
keadilan diantara bangsa-bangsa, dan keadilan sosial.

Para pakar agama islam, umumnya merumuskan keadilan menjadi empat makna (M.
Quraisy Shihab, 1996:144-116):

Pertama, adil dalam arti sama. Dengan pengertian, adil, artinya memperlakukan sama
antara orang yang satu dengan orang yang lain. Maksud persamaan disiini adalah
persamaan dalam hak. Dalam surah al-Nisa (4): 58 dinyatakan:

“Apabila kamu sekalian memutuskan perkara di antara manusia, maka kamu sekalian
harus memutuskan secara adil”. (Q.S. An-Nisa [4]: 58).

Al-adl ada ayat ini, menurut Quraisy Shihab (1996: 144), berarti persamaan, dalam arti
bahwa seorang hakim harus memperlakukan sama antara oaring-orang yang
berperkara, karena perlakuan sama antara para pihak yang berperkara, karena
perlakuan sama antara yang berperkara itu merupakan hak mereka.

Perwujudan Keadilan Hukum Menurut Islam

Menurut (Siti Musdah Mulia, 2005: 302), hukum adalah aturan-aturan normatif yang
mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh di ruang vakum (kosong),
melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya satu aturan
bersama. Hukum Islam oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana yang dikutip oleh
Ismail Muhammad Syah (1992: 19) dirumuskan sebagai koleksi daya upaya para ahli
hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat. Dalam kaitanya dengan
aspek hukum, maka keadilan hukum Islam bersumber dari Tuhan yang Maha Adil,

29
karena pada hakikatnya Allah-lah yang menegakkan keadilan (qaiman bilqisth).
Karenanya, harus diyakini bahwa Allah tidak berlaku aniaya (zalm) kepada hamba-
hambaNya (Q.S. 10/Yunus: 110).

Adil secara hukum dalam pegertian persamaan (equality), yaitu persamaan dalam hak,
tanpa membedakan siapa; dari nama orang yang akan diberikan sesuatu keputusan
oleh orang yang diserahkan menegakkan keadilan, sebagaimana dimaksud firman
Allah Q.S 4/al-Nisa’:58:

“Dan …Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah


engkau putuskan dengan adil’. (Q.S. An-Nisa [4]:58).

Ketegasan prinsip keadilan tersebut dijelaskan oleh ayat Al-Qur’an Q.S. 57/al-Hadid:
25 tersebut di atas. Kata mizan (keadilan) dengan hadid (besi). Besi adalah suatu yang
keras, dan ditegakkan dengan cara apapun, jika perlu dengan paksa dan dengan
kekerasan, agar yang bersalah atau yang batil harus menerima akibatnya berupa
sanksi atau kenistaan, sedangkan yang benar atau yang hak dapat menerima haknya.
Muhammad Tahir Azhari, 2003:117 – 124).

Dalam prinsip keadilan hukum, Nabi SAW menegaskan adanya persamaan mutlak
(egalitarisme absolute, al-musawah al-muthlaqah) di hadapan hukum-hukum syariat,
tidak membedakan status social seseorang, apakah ia kaya atau miskin, pejabat atau
rakyat jelata, dan tidak pula karena perbedaan warna kulit serta perbedaan bangsa
dan agama. Di hadapan hukum semuanya sama. Konsep persamaan yang terkandung
dalam keadilan tidak pula menutup kemungkinan adanya pengakuan tentang kelebihan
seseorang karena prestasi yang dimilikinya. Akan tetapi kelebihan tersebut tidaklah
akan membawa perbedaan perlakuan hukum atas dirinya.

Pengakuan adanya persamaan, bahkan dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai


“pemberian’ Allah yang mempunyai implikasi terhadap tingkah laku manusia, adalah
bagian dari sifat kemuliaan manusia (al-karamah al-insanyah), yang juga bagian dari
ketetapan Tuhan (Q.S. 17/al-Isra: 70), yang berbunyi:

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan [862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang
telah Kami ciptakan” . (Q.S. Al-Isra [17]: 70).

30
Martabat dan harkat manusia dalam pandangan Al-Qur’an adalah sebagai anugerah
Allah SWT,. Oleh karena itu tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat merusakkan
dan menghancurkannya. Pengakuan ini mempeerkuat adanya kewajiban dan
tanggung jawab manusia yang seimbang dalam kehidupan ini. Karenanya, keadilan
hukum berarti pula adanya keseimbangan dalam hukuman terhadap kejahatan atau
pelanggaran, hukuman seimbang atau setimpal dengan kejahatan atau pelanggaran
yang dilakukan. Penegakan hukum secara adil atau merata tanpa pilih bulu adalah
menjadi keharusan utama dalam bidang perdilan, walaupun berkaitan dengan diri
sendiri, keluarga dekat, atau orang-orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan,
(Didin Hafidhuddin, 2000: 215). Sebagaimana dikemukakan di dalam surat an-Nisa
ayat 135.

“Wahai orang-orang yang beriman tetaplah berman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-
rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya’. (Q.S. An-Nisa [4]: 135).

Di atas dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Keadilan dalam Islam paling tidak mencakup empat makna; keadilan dalam
arti sama atau persamaan, keadilan dalam arti seimbang (proporsional),
keadilan dalam arti memberikan hak kepada pemiliknya, dan keadilan Ilahi.
2. Keadilan diperintahkan kepada para rasul dan amanat kepada manusia,
sebagai pengemban keadilan dari Allah yang Maha Adil.
3. Semua orang di mata hukum mesti diperlakukan secara adil tanpa ada
perbedaan dari segi fungsi dan jabatan serta strata, walaupun
memungkinkan bahwa semakin tinggi jabatan seseorang yang melanggar
hukum akan diberi hukuman yang jebih berat. Sebaliknya orang yang
kurang/tidak berperstasi di bidang ekonomi, berhak mendapat santunan di
bidang ekonomi berhak mendapat santunan dari pemerintah Islam, baik dari
harta zakat, atau lainnya.
4. Para penguasa sebagai pemegang mandat dari Allah untuk menegakkan
keadilan pada pemerintahannya dan rakyatnya.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, kuliah tauhid, (Jakarta: yayasan sari insane,


1989),h. 16-21, 54-56.

Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. serambi ilmu


semesta, 2001), h. 28-39.

Attas, Syed Naquib al- 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung:


Pustaka Salman.

Balquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, ilmu pengetahuan dan


Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
…………….. (b). 1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,
Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa.

Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin. 2010. Tiga Generasi Terbaik Umat Manusia.
https://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/29/tiga-generasi-terbaik-umat-
manusia/

Abu Mushlih Ari Wahyudi. 2020. Inilah Generasi Terbaik Dalam Sejarah.
https://muslim.or.id/2406-inilah-generasi-terbaik-dalam-sejarah.html.

Lilik Ibadurohman. 2013. Siapakah Salafus Shalih.


https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html. (13 November 2013)

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. 2020. Defenisi Salaf, Defenisi Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
https://almanhaj.or.id/3428-defenisi-salaf-defenisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
(17 Oktober 2020)

Abd al-Baqi, Muhammad Fu’ad, 1987, al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadh Al-Qur’an


al-Karim, Bairut: Dar al-Fikr

Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Demensi Mahdah Dan Sosial

Al-Ashfahani, t.t., Mu’jam Mufradat Al-Fadh Al-Qur’an, Dar al-Kitab al-Arabi

32
LAMPIRAN

1. Peta konsep ketuhanan 2. Anjuran untuk 3. 3 generasi terbaik


dalam islam mengembangkan menurut H.R.
sains dan teknologi Al-Bukhari
Q.S. Al-Ankabut 20

4. Indahnya berbagi serta 5. penegarakan hukum


Q.S. Al-Maidah 8 tentang dalam Islam
keadilan dalam Islam

33

Anda mungkin juga menyukai