Anda di halaman 1dari 61

MATA KULIAH KEPERAWATAN GERONTIK

MAKALAH GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN PADA LANSIA

Disusun Oleh :
Bethania Sella Kurneus (01.1.18.00834)
Putri Ayu Irfani (01.1.18.00846)

STIKES RS BAPTIS KEDIRI


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIPLOMA III
TAHUN AKADEMIK 2020/2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Makalah gangguan system pernafasan pada lansia” dalam tugas mata kuliah
Keperawatan Gerontik oleh dosen Dewi Ika Sari H.P ., SST ., M.Kes dan Sandy
Kurniajati, SKM., M.Kes Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam
proses pembuatan makalah ini, namun kami mampu menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.
Jika didalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,maka kami
memohon maaf atasnya.Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari
kesempurnaan. Lebih dan kurangnya di ucapkan Terima Kasih.

Kediri, 29 September 2020


Penulis

29
DAFTAR ISI

Kata pengantar..............................................................................................................i
Daftar isi.......................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah..................................................................................................2
1.3 Tujuan ...................................................................................................................2

BAB II Tinjauan Teori


2.1 Definisi Sistem pernafasan.....................................................................................3
2.2 Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia..................................3
2.3 Faktor-faktor yang memperburuk paru...................................................................5
2.4 Gangguan-gangguan pada sistem pernafasan lansia..............................................7
2.5 Asuhan Keperawatan pada lansia
......................................................................................................................................
17

BAB III Penutup


3.1 Kesimpulan.............................................................................................................29
3.2 Saran.......................................................................................................................29
Daftar pustaka...............................................................................................................

29
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Perubahan-perubahan yang dialami oleh lansia tersebut diatas pada akhirnya akan
menyebabkan lansia mengalami degradasi atau penurunan terhadap kemampuan fisik, psikis
dan sosialnya sehingga lansia diharapkan mampu untuk menghadapinya serta tetap sanggup
menjadi individu yang mandiri dengan memiliki kualitas hidup yang baik (Frizky, 2016).
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Paraswari et al., (2015) yang menyebutkan
bahwasannya pada usia lanjut dibutuhkan kesehatan pada masa tuanya sehingga dapat
mewujudkan kehidupan yang berkualitas dan baik bagi para lansia. Berkaitan dengan hal
yang telah disebutkan sebelunya, pada lansia terjadi proses penuaan atau menua yang selalu
dikaitkan dengan progresifitas penurunan kemampuan atau fungsi pada setiap sistem organ.
Salah satunya yakni pada sistem respirasi atau pernapasan (Janssens, 2005 dalam
Pruthi&Multani, 2012).
Knudson et al., (1983, dalam Pegorari et al., 2013) mengemukakan bahwasannya
kemampuan paru-paru manusia akan terus berkurang sejalan dengan pertambahan umur
yang dimulai dari usia dewasa, bahkan hal tersebut juga terjadi pada orang yang sehat.
Penurunan kemampuan paru-paru tersebut juga terjadi pada orang yang sehat. Penurunan
kemampuan paru-paru tersebut juga akan berjalan lebih cepat lagi setelah manusia mencapai
usia 70 tahun dan seterusnya (Knudson et al., 1983 dalam Pegorari et al., 2013). Selain
terjadinya penurunan pada kemampuan paruparu, pada usia lanjut juga akan terjadi
perubahan-perubahan secara fisiologis. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut
diantaranya ialah penurunan pada elastisitas paru-paru, penurunan pada kinerja otot-otot
respirasi atau pernapasan serta penurunan compliance atau kepatuhan dari dinding dada
(Janssens, 2005 dalam Pruthi & Multani, 2012). Sedangkan menurut Pegorari et al., (2013),
pada proses penuaan terjadi perubahanperubahan terhadap sistem pernapasan berupa
penurunan kapasitas fisiologis yang meliputi progresifitas penambahan kekakuan pada
dinding dada dan penurunan elastisitas dari paru-paru itu sendiri.

29
1.2 Rumusan masalah
1. Definisi Sistem pernafasan
2. Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia
3. Faktor-faktor yang memperburuk paru
4. Gangguan-gangguan pada sistem pernafasan lansia
5. Asuhan Keperawatan pada lansia

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi Sistem pernafasan
2. Untuk mengetahui Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia
3. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang memperburuk paru
4. Untuk mengetahui Gangguan-gangguan pada sistem pernafasan lansia
5. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada lansia

29
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Pernapasan merupakan proses pertukaran udara di dalam paru. Pertukaran
udara yang terjadi adalah masuknya oksigen ke dalam tubuh (inspirasi) serta
keluarnya karbondioksida (ekspirasi) sebagai sisa dari proses oksidasi (Syaifuddin,
2006).
Sistem pernapasan mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti proses masuk dan keluarnya udara antara atmosfir
dan alveoli paru.
2. Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah.
3. Pengangkutan oksigen dan karbondioksida ke seluruh tubuh.
4. Pengaturan ventilasi dan pernapasan lainnya (Guyton dan Hall, 2007).

2.2 Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia


Berikut adalah penjelasan tentang penyakit pernapasan pada lansia yang dimulai
dengan penjelasan tentang perubahan anatomic dan fisiologik jantung:
1. Perubahan anatomik pada respirasi
Efek penuaan tersebut dapat terlihat dari perubahan-perubahan yang terjadi baik
dari segi anatomi maupun fisiologinya. Perubahan-perubahan anatomi pada lansia
mengenai hampir seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel,
jaringan atau organ. Perubahan anatomi yang terjadi turut berperan terhadap
perubahan fisiologis sistem pernafasan dan kemampuan untuk mempertahankan
homeostasis. Penuaan terjadi secara bertahap sehingga saat seseorang memasuki
masa lansia, ia dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perubahan
anatomik sistem respirastory akibat penuaan adalah sebagai berikut :
1. Paru-paru kecil dan kendur.
2. Pembesaran alveoli.
3. Penurunan kapasitas vital ; penurunan PaO2 dan residu

29
4. Kelenjar mucus kurang produktif 
5. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi
6. Penurunan sensivitas sfingter esophagush.
7. Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi pengembangani.
8. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru. Penurunan
sensivitas kemoreseptor.

(Stanley, 2006).

2. Perubahan Fisiologik pada pernapasan


Menurut Stanley, 2006 perubahan anatomi dan fisiologi yang terjadi pada
lansia, yaitu:
Hilangnya silia serta terjadinya penurunan reflex batuk dan muntah pada lansia
menyebabkan terjadinya penurunan perlindungan pada sistem respiratory. Hal ini
terjadi karena saluran pernafasan tidak akan segera merespon atau bereaksi apabila
terdapat benda asing didalam saluran pernafasan karena reflex batuk dan muntah
pada lansia telah mengalami penurunan.
Penurunan kompliants paru dan dinding dada. Hal ini menyebabkan jumlah
udara (O2) yang dapat masuk ke dalam saluran pernafasan menurun dan
menyebabkan terjadinya peningkatan kerja pernafasan guna memenuhi kebutuhan
tubuh.
Atrofi otot pernafasan dan penurunan kekuatan otot pernafasan. Kedua hal ini
menyebabkan pengembangan paru tidak terjadi sebagai mestinya sehingga klien
mengalami kekurangan suplay O2 dan hal ini dapat menyebabkan kompensasi
penigkatan RR yang dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan pada lansia.
Perubahan interstisium parenkim dan penurunan daerah permukaan
alveolar menyebabkan menurunnya tempat difusi oksigen yang menyebabkan klien
kekurangan suplay O2.
Penurunan mortilitas esophagus dan gaster serta hilangnya tonus sfringter
kardiak. Hal ini menyebabkan lansia mudah mengalami aspirasi yang apabila terjadi
dapat mengganggu fisiologis pernafasan.

29
Paru-paru kecil dan mengendur. Paru-paru yang mengecil menyebabkan
ruang atau permukaan difusi gas berkurang bila dibandingkan dengan dewasa.
2.4 Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Paru
Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan, terdapat beberapa
faktor yang dapat memperburuk fungsi paru, Faktor-faktor yang memperburuk fungsi
paru antara lain :
1. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi penyempitan saluran
nafas. Pada tingkat awal, saluran nafas akan mengalami obstruksi clan terjadi
penurunan nilai VEP1 yang besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
2. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang. Pada
obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher, dada dan (finding perut,
akan dapat mengganggu compliance dinding dada, berakibat penurunan volume paru
atau terjadi keterbatasan gerakan pernafasan (restriksi) dan timbul gangguan fungsi
paru tipe restriktif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
3. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-
otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan relatif'
berkurang. Imobilitas karena kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat
memperburuk fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan
imobilitas (paru), misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru dan
sebagainya. Perbaikan fungsi paru dapat dilakukan dengan menjalankan olah raga
secara intensif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
4. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru. Dari
pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti memberikan  pengaruh faal
paru adalah:

29
1) Pembedahan toraks (jantung dan paru)
2) Pembedahan abdomen bagian atas.
3) Anestesi atau jenis obat anastesi tertentu
Peruhahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan proses ventilasi,
distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah kapiler paru. Adanya perubahan
patofisiologik paru pasca bedah mudah menimbulkan komplikasi paru :
atelektasis, infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi kematian, karena
timbulnya gagal nafas.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
5. Penyakit pernapasan pada Usia Lanjut
Pada proses menua terjadi penurunan compliance dinding dada, tekanan
maksimalinspirasi dan ekspirasi menurun dan elastisistas jaringan paru juga
menurun. Pada pengukuran terlihat FEV1, FVC menurun, PaO 2 menurun, V/Q naik.
Penurunan ventilasi alveolar, merupakan risiko untuk terjadinya gagal napas. Selain
itu terjadi perubahan berupa (Lukman, 2009):
a. Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara
inspirasiberkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal.
b. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga
potensialterjadi penumpukan sekret.
c. Penurunan aktivitas paru ( inspirasi & ekspirasi ) sehingga jumlah udara
pernafasan yangmasuk keparu mengalami penurunan, kalau pada pernafasan
yang tenang kira kira 500 ml.
d. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas permukaan normal
50m²), menyebabkan terganggunya prose difusi.
e. Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu proses
oksigenasi darihemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua kejaringan.
f. CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga
menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
g. Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret & corpus alium
dari salurannafas berkurang sehingga potensial terjadinya obstruksi.

29
Penyebab kegawatan napas pada lansia meliputi obstruksi jalan napas
atas, hipoksi karena penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumotoraks,
pneumonia aspirasi, rasa nyeri, bronkopneumonia, emboli paru, dan asidosis
metabolik. Akan tetapi penyakit respirasi yang sering terjadi pada lansia adalah
pneumonia, tuberkulosis paru, sesak napas, nyeri dada.
2.3 Gangguan-gangguan pada sistem pernafasan lansia
1. Pneumonia
1) Pengertian
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan
pertukaran gas setempat. Pneumonia memiliki tanda klasik berupa demam,
batuk, sesak. Tetapi pada usia lanjut usia, gejalanya menjadi atipikal, yaitu
suhu normal, takada batuk, status mental terganggu, nafsu makan menurun,
aktivitas berkurang. Pemeriksaan fisik didapatkan ronki, bronkofoni, suara
napas menurun. Leukosit naik, dan pada rontgen thoraks terlihat infiltrat
(Lukman, 2009).
Pneumonia merupakan istilah umum yang menandakan inflamasi
pada daerah pertukaran gas dalam pleura; biasanya mengimplikasikan
inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi. (Caia Francis 2011)
Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan usia yang
mempengaruhi kapasitasdan fungsi paru meliputi:
1) Peningkatan diameter anteroposterior dada
2) Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta
3) Penurunan efisiensi otot pernapasanPeningkatan rigiditas paru
4) Penurunan luas permukaan alveoli.
2) Etiologi
1) Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme
gram positif seperti streptococcus pnemonia, S. Aureus dan S.

29
Pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza,
klabsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
2) Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi
droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini di kenal sebagai penyebab utama
pnemonia virus.
3) Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada
kotoran burung, tanah serta kompos.
4) Protozoa
Menimbulkan terjadinya pneumocystis sarini pneumonia (CPC).
Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi.

3) Manifestasi klinis
Menurut Brunner & Suddarth, (2011) Gambaran klinis beragam,
bergantung pada organisme penyebab dan penyakit pasien.
1. Menggigil mendadak dan dengan cepat berlanjut menjadi demam (38,5°C
sampai 40,5°C).
2. Nyeri dada pleuritik yang semakin berat ketika bernafas dan batuk.
3. Pasien yang sakit parah mengalami takipnea berat (25 sampai 45 kali
pernafasan/menit) dan dispnea , ortopnea ketika tidak disangga
4. Nadi cepat dan memantul, dapat meningkat sepuluh kali/ menit per satu
5. derajat peningkatan suhu tubuh (Celsius).
6. Bradikardia relatif untuk tingginya demam menunjukkan infeki virus,
inveksi mikoplsama, atau infeksi organisme legionella.
7. Tanda lain : infeksi alura nafas atas, sakit kepala, demam derajat rendah,
nyeri pleuritik, mialgia, ruam, faringitis; setelah beberapa hari, spurum
mukoid atau mukopurulen dikeluarkan.
8. Pneumonia berat; pipi memerah; bibir dan bantalan kuku menunjukkan
sianosis sentral.

29
9. Sputum purulen, berwarna seperti karat, bercamur darah, kental, atau hijau,
bergantung pada agens penyebab.
10. Nafsu makan buruk, pasien mengalami diaforesis dan mudah lelah.
11. Tanda dan gejala penumonia dapat juga bergantung pada kondisi utama
pasien ( misalnya, tanda berbeda dijumpai pada pasien dengan kondisi
seperti kanker, dan pada mereka yang menjalani terapi imunosupresan,
yang menurunkan resistansi terhadap infeksi).

4) Patofisiologi
Reaksi inflamasi dapat terjadi di alveoli, yang menghasilkan eksudat yang
mengganggu difusi oksigen dan karbondioksida, bronkospasme juga dapat
terjadi apabila pasien menderita penyakit jalan nafas reakfif.
Bronkopneumonia, bentuk pneumonia yang paling umum, menyebar dalam
model bercak yang meluas dari bronki ke parenkim paru sekitarnya.
Pneumonia lobar adalah istilah yang digunakan jika pneumonia mengenai
bagian substansial pada satu atau lebih lobus. Pneumonia disebabkan oleh
berbagai agen mikroba di berbagai tatanan. Organisme yang biasa
menyebabkan pneumonia adalah Pseudomonas aeruginosa dan spesies
Klebsiella, Staphylococcus aureus, Haemopbilus influenzae, Staphylococcus
pneumoniae, dan basilus Gram negatif, jamur, dan virus. ( Brunner &
Suddarth, 2011).
5) Komplikasi
1) Komplikasi menurut (fakultas kedokteran UI 2012) Dengan pengunaan
antibiotika, komplikasi hampir tidak pernah dijumpai komplikasi yang
dapat di jumpai adalah : Epiema, Otitis media akut,
2) komplikasi lain seperti Meningitis, perikarditis, osteolitis, peritonitis
lebih jarang dilihat.

6) Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X : Mengidentifikasi distribusi struktural ( misal: lobar,
bronchial: dapat juga menyatakan abses) luas/infiltrasi, empiema

29
(stapilacoccus), infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial),
atau
penyebatran /perluasan infiltrasi nodul ( lebih sering virus). Pada
pneumonia mikoplasma, sinar x dada mungkin bersih.
2. GDA/ nadi oksimetris : Tidak normal mungkin terjadi, tergantung
pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang
ada
3. Pemeriksaan gram/kultur, Sputum dan darah Untuk dapat diambil biosi
jarum, aspirasi transtrakea, bronkoskofi fiberobtik atau biosi pembukaan
paru untuk mengatasi organisme penyebab. Lebih dari satu organisme ada :
Bakteri yang umum meliputi diplococcus pneumonia, stapilococcus, Aures
A-hemolik streptococcus, hemophlus influenza : CMV. Catatan: keluar
sekutum tak dapat di identifikasi semua organisme yang ada. Keluar darah
dapat menunjukan bakteremia sementaraa.
4. JDL : Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi
pada infeksi virus, kondisi tekanan imum seperti AIDS, Memungkinkan
berkembangnya pneumonia bakterial.
5. Pemeriksaan serelogi : mis, Titer virus atau legionella, agglutinin dingin,
membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.
6. Pemeriksaan fungsi paru : Volume mungkin menurun ( kongesti dan kolaps
alveolar): tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain. Mungkin
terjadi perembesan (hipoksemia) Elektrolit : Natrium dan klorida mungkin
rendah Bilirubin : Mungkin meningkat
7. Aspirasi perkutan/ biopsi jaringan paru terbuka Dapat menyatakan jaringan
intra nuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik ( CMP : karakteristik sel
rekayasa (rubela).
7) Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Diagnosis pneumonia selain didapat dari gambaran klinik dapat diketahui
dengan pemeriksaan penunjang yang meliputi:
a. Darah perifer lengkap

29
1) Pneumonia virus umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal
atau
2) sedikit meningkat. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis
yang
3) berkisar antara 15.000-40.000/mm3
4) dengan predominan PMN, dan risiko
5) terjadinya komplikasi lebih tinggi. Efusi pleura merupakan cairan
eksudat
6) dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3
7) , protein >2,5 g/dL, dan
8) glukosa relatif lebih rendah dari glukosa darah, kadang-kadang
terdapat
9) anemia ringan dan Laju Endap Darah (LED) yang meningkat (Said
2015).
b. C-Reactive Protein (CRP)
CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara
factor infeksi dan noninfeksi atau infeksi virus dan bakteri (Said
2015). Nilai normal CRP adalah 3 mg/L, dan kadar 10 mg/L
merupakan indikasi inflamasi yang signifikan. CRP mempunyai
spesifisitas yang rendah. Kadar CRP >100 mg/L dapat digunakan
untuk menentukan prognosis dan kebutuhan ventilasi mekanik pada
pasien pneumonia (PDPI 2014).
c. Uji serologi
Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri yang mempunyai sensitivitas rendah (Said 2015). Uji serologi
merupakan uji laboratorium untuk menemukan bakteri atipik. Uji serologi
meliputi cold agglutinin, uji fiksasi komplemen untuk mnentukan
diagnosis
M. pneomuniae, Micro Immunofluorescence (MIF) untuk diagnosis C.
pneumoniae, dan antigen dari urin untuk pemeriksaan diagnosis
Legionella

29
(PDPI 2014).
d. Pemeriksaan mikrobiologis
1) Pemeriksaan biakan diperlukan untuk menentukan kuman penyebab
menggunakan bahan sputum, darah, atau aspirat endotrakeal, aspirat
jaringan paru dan bilasan bronkus. Sputum memenuhi syarat adalah
sputum yang mengandung lebih dari 25 leukosit dan kurang dari 40
sel epitel (Said 2015).
2) Menurut PDPI (2014), pengambilan sampel untuk uji mikrobiologi
dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pengambilan spesimen
dahak langsung yang dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotik,
spesiemen aspirat trakeostomi dan pipa endotrakeal, serta
pengambilan specimen Bronchoalveolar Lavage (BAL).
e. Pemeriksaan rontgen toraks
1) Foto rontgen torak dilakukan pada pasien pneumonia berat yang
dirawat inap.
2) Pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, foto rontgen toraks
tidak diperlukan. Foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinik
menetap, penyakit memburuk, atau untuk tindak lanjut. Diagnosis
positif pneumonia pada foto toraks terdapat infiltrat (Said 2015)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Peran perawat dalam penatalaksanaan penyakit pneumonia secara primer
yaitu memberikan pendidikan kepada keluarga klien untuk meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit pneumonia dengan perlindungan kasus
dilakukan melalui imunisasi, hygiene personal, dan sanitasi lingkungan.
Peran sekunder dari perawat adalah memberikan fisioterapi dada,
nebulasi, suction, dan latihan nafas dalam dan batuk efektif agar penyakit
tidak kembali kambuh.

29
2. TB paru
3) Pengertian
Tuberkulosis (TB) paru adalah infeksi pada paru-paru dan kadang
pada struktur-struktur disekitarnya, yang disebabkan oleh Mycrobacterium
tuberculosis (Saputra, 2010). Sedangkan menurut Rubenstein, dkk (2007),
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi batang tahan asam-alkohol (acid-
alcoholfast bacillus/AAFB) Mycrobacterium tuberkulosis terutama
mengenai paru, kelenjar getah bening, dan usus.
Menurut NANDA-NIC-NOC (2013, 192). Tuberculosis (TBC) adalah
penyakit infeksi menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis
yang menyerang paru-paru dan hampi seluruh organ tubuh lainnya. Bakteri
ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan (GI)
dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi droplet
yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut.
4) Etiologi
Agen infeksius utama, M. tuberculosis adalah batang aerobic tahan asam
yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar matahari.
M. bovis dan M. avium adalah kejadian yang jarang yang berkaitan dengan
terjadinya infeksi tuberkulosis (Wijaya & Putri, 2013).
M. tuberculosistermasuk famili Mycobacteriaceace yang mempunyai
berbagai genus, salah satunya adalah Mycobaterium dan salah satu speciesnya
adalah M. tuberculosis. Bakteri ini berbahaya bagi manusia dan mempunyai
dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Bakteri ini memerlukan waktu untuk
mitosis 12 – 24 jam. M. tuberculosis sangat rentan terhadap sinar matahari
dan sinar ultraviolet sehingga dalam beberapa menit akan mati. Bakteri ini
juga rentan terhadap panas – basah sehingga dalam waktu 2 menit yang
berada dalam lingkungan basah sudah mati bila terkena air bersuhu 1000 C.
Bakteri ini juga akan mati dalam beberapa menit bila
terkena alkhohol 70% atau Lysol 5% (Danusantoso, 2012).

29
5) Tanda dan gejala
NANDA-NIC-NOC (2013, 194 ) : Demam 40-41 C, serta ada batuk atau
batuk darah,Sesak napas dan nyeri dada, Malaise, keringat malam,Suara
khas pada perkusi dada, bunyi dada,Peningkatan sel darah putih dengan
dominasi limfosit. Pada anak : Berkurang berat badan 2 bulan berturut turut
tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh, Demam tanpa sebab jelas,
terutama jika berlanjut sampai 2 minggu, Batu kronik > 3 minggu dengan
atau tanpa wheeze.

6) Pemeriksaan penunjang
NANDA-NIC –NOC (2013, 195):
1. Laboratorium darah rutin : LED normal/limfositosis
2. Pemeriksaan sputum BTA: untuk memastikan diagnostik Tb paru,
namun pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien
yang dapat di diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
3. Tes PAP (Peroksidase Anti Perioksidase):Merupakan uji serologi
imunoperioksidase memakai alat histogen staining untuk
menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB
4. Tehnik Polymerase Chain Reaction : Deteksi DNA kuman secara
spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu
mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya
resistensi.
5. Becton Dickinson diagnostik instrumen sistem (BACTEC) : Deteksi
growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme
asam lemak oleh mikrobakterium tuberculosis.
6. MYCODOT : Deteksi antibodi memakai antigen liporabinomannan
yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir
plastik,kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai memakai warna
sisir akan berubah.

29
7. Pemeriksaan radiology: Rontgen thorax PA dan lateral Gambaran
foto thorax yang menunjang diagnosis TB,yaitu:
1) Bayangan lesi terletak dilapangan paru-paru atas atau segment
apical lobus bawah
2) Bayangan berwarna (Patchy) atau bercak (nodular)
3) Adanya kavitas,tunggal atau ganda
4) Kelainan bilateral terutama dilapangan atas paru
5) Adanya klasifikasi
6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
7) Bayangan milie
5) Penatalaksanaan

NANDA-NIC-NOC (2013, 197) Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase


yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

1. Obat Anti Tuberculosis (OAT) : Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan
adalah:
1) Rifampisin ( Dosis 10 mg/kg BB,maksimal 600 mg 2-3X/minggu atau,
BB> 60 kg: 600 mg ,BB 40-60 kg: 450 mg.BB<40 kg:300 mg,Dosis
intermiten 600 mg/kali)

2) INH : Dosis 5mg/kg BB,maksimal 300mg,10mg/kg BB 3 kali


seminggu,15 mg/kg BB 2 kali seminggu atau 300 mg/hari, Untuk
dewasa,intermiten:600 mg/kali

3) Pirazinamid : Dosis fase intensif 25 mg/kg BB 3 kali seminggu,50 mg/kg


BB 2 kali seminggu atau,BB>60 Kg:1500 mg BB 40-60 kg:1000 mg,BB<40
kg:750 mg

4) Streptomisin : Dosis 15 mg/kgBB atau, BB>60 kg:1500 mg, BB 40-60


kg:1000 mg, BB<40 kg:750 mg

5) Etambutol : Dosis fase intensif 20 mg/kgBB, fase lanjutan 15 mg/kg,30


mg/kgBB 3X seminggu,45 mg/kgBB 2X seminggu atau BB>60kg:1500, BB
40- 60 kg:1000 mg,BB<40 kg:750 mg, Dosis intermiten 40 mg/kgBB/kali

2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination),kombinasi dosis ini terdiri:

29
1. Empat obat antituberculosis dalam satu tablet,yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg,pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan

2. Tiga obatantituberculosis dalam satu tablet,yaitu rifampisin 150 mg


isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg

3. Kombinasi dosis tetap rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis

tetap,penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif

sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat

antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan


pedoman

pengobatan.

4. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

1. Kanimisin

2. Kuinolon

3. Obat lain masih dalam penelitian;mikrolid,amoxilin+ asam klavulanat.

4. Derivat rifampisin dan INH

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping . Oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat
ringan atau berat,bila efek samping ringan atau berat,bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat di
lanjutkan.

29
2.4 Asuhan Keperawatan Lansia
2.4.1 Pengkajian
2.4.1.1 Anamnesa
1. Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas pasien dan isi identitasnya, yang meliputi: nama, jenis
kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal pengkajian.
2. Keluhan Utama
keluhan dimulai dengan infeksi saluran pernafasan, kemudian
mendadak panas tinggi disertai batuk yang hebat, nyeri dada dan
nafas sesak
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita pneumonia menampakkan gejala nyeri, sesak napas, batuk dengan dahak yang
kental dan sulit dikeluarkan, badan lemah, ujung jari terasa dingin.
4. Riwayat Penyakit Masa Lalu
Penyakit yang pernah dialami oleh pasien sebelum masuk rumah sakit, kemungkinan
pasien pernah menderita penyakit sebelumnya seperti : asthma, alergi terhadap
makanan, debu, TB dan riwayat merokok.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat adanya penyakit pneumonia pada anggota keluarga yang lain seperti : TB,
Asthma, ISPA dan lain-lain.
6. Pola Aktivitas Sehari- Hari
1) Istirahat dan Tidur
Menggambarkan masukan nutrisi keseimbangan cairan dan elektrolit
2) Eliminasi
Ekskresi usus dan kandung kemih
3) Aktivitas atau Latihan
Gejala: kelelahan dan kelemahan, napas pendek saat bekerja
4) Seksualitas atau Reproduksi

29
Menggambarkan kepuasan atau masalah yang aktual atau di rasakan dengan
seksualitas.
7. Keadaan atau Penampilan atau Keadaan Umum Pasien
gambaran secara umum, misalnya kurus, gemuk, lemah, gaya hidup, ekspresi wajah,
distress, keadaan umum.
8. Tanda- tanda Vital
Diambil saat melakukan pengkajian yang meliputi suhu tubuh, denyut nadi, nafas,
dan tekanan darah. (Carpenito, 2014)
2.2 Pemeriksaa Fisik
Inspeksi:
1. Keadaan umum dan pola nafas klien. Apakah klien mengalami distressed atau
diaphoresis? Apakah pernafasannya regular dan dalam? tergantung padari#ayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru
2. Penggunaan otot-otot pernafasan tambahan (misal scalenes, sternocleidomastoids).
Pasien yang menggunakan otot-otot pernafasan tambahan menunjukkan bahwa paisen
mengalami kesulitan bernafas.
3. Ada tidaknya retraksi intercosta atau retraksi supraclavikuler
4. Warna kulit terutama area kuku dan bibir. Warna cyanosis pada area tersebut
menunjukkan bahwa pasien hipoksia.
5. Apakah ada kelainan bentuk dada atau tulang belakang seperti
a. barrel chest: kelainan bentuk dada ini dapat dijumpai pada kasus emphysema.
b. Pectus exavatum atau funnel chest depresi pada sternum.
c. Kyphosis, scoliosis
Palpasi:
Pemeriksaan taktil fremitus, terdapat nyeri tekan atau tidak pada tulang kosta, massa atau
krepitus tulang
Perkusi:
Suara paru saat diperkusi normal atau tidak
Auskultasi:
Suara pernafasan normal/tidak, terdapat suara nafasa tambahan atau tidak.

29
2.3 Diagnosa
2.3.1 Ketidakefektifan pola napas
Ketidakefektifan pola napas 00032
Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
Batasan karakteristik Faktor yang Berhubungan
1. Pola 1. Ansietas
napas abnormal 2. Posisi tubuh yang menghambat
2. Peru ekspansi paru
bahan ekskursi dda 3. Keletihan
3. Bradi 4. Hiperventilasi
pnea 5. Obesitas
4. Penu 6. Nyeri
runan tekanan ekspirasi 7. Keletihan otot pernapasan
5. Penu Kondisi yang terkait
runan tekanan inspirasi 1. Deformitas tulang
6. Penu 2. Deformitas dinding dada
runan ventilasi semenit 3. Sindrom hipoventilasi
7. Penu 4. Gangguan muskuloskeletal
runan kapasitas vital 5. Imaturitas neurologis
8. Disp 6. Gangguan neurologis
nea 7. Disfungsi neuromuskular
9. Penin 8. Cedera medula spinalis
gkatan diameter anterior-posterior
10. Perna
pasan cuping hidung
11. Orto
pnea
12. Fase
ekspirasi memanjang
13. Perna

29
pasan hidung
14. Taki
pnea
15. Peng
gunaan otot bantu pernapasan
16. Peng
gunaan posisi tiga-titik

2.3.2 Ketidakefektifan bersihan jalan napas


Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00081)

Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran


napas untuk mempertahankan kebersihan jalan napas.

Batasan karakteristik Faktor yang berhubungan

 batuk yang tidak efektif Lingkungan


 dispnea
 perokok
 gelisah
 perokok pasif
 kesulitan verbalisasi
 terpajan asap
 mata terbuka lebar
obstruksi jalan napas
 ortopnea
 penurunan bunyi napas  adanya jalan napas buatan
 perubahan frekuensi napas  benda asin dalam jalan napas
 perubahan pola napas  eksudat dalam alveoli
 sianosis  hiperplasia pada dinding
 sputum dalam jumlah yang brokus
berlebihan  mukus berlebih
 suara napas tambahan  penyakit paru obstrukti kronis
 tidak ada batuk  sekresi yang tertahan
 spasme jalan napas
fisiologis

29
 asma
 disfungsi neuromuskular
 infeksi
 jalan napas alergik

2.3.3 Hambatan pertukaran gas


Hambatan pertukaran gas
Definisi : Kelebihan atau defisit oksigenasi dan/atau eliminasi karbon dioksida pada
membran alveolar-kapiler

Batasan karakteristik Faktor yang Berhubungan

1. Gas darah arteri abnormal  Akan dikembangkan


2. pH arteri abnormal
Kondisi yang terkait
3. Pola pernapasan abnormal
4. Warna kulit abnormal  perubahan membran alveolar-kapiler
5. Konfusi  ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
6. Penurunan karbon dioksida (CO2)
7. Diaforesis
8. Dispnea
9. Sakit kepala saat terbangun
10. Hiperkapnia
11. Hipoksemia
12. Hipoksia
13. Iritabilitas
14. Nafas cuping hidung
15. Gelisah
16. Somnolen

29
17. Takikardia
18. Gangguan penglihatan

2.4 Intervensi

Monitor pernapasan (3350)


Definisi : Sekumpulan data dan analisis keadaan pasien untuk memastikan kepatenan
jalan nafas dan kecukupan pertukaran gas

Aktivitas-aktivitas 19. Auskultasi Suara nafas, catat area


1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dimana terjadi penurunan atau
dan kesulitan bernapas tidak adanya ventilasi dan
2. Catat pergerakkan dada, catat keberadaan suara nafas
ketidaksemestrian, penggunaan otot- tambahan
otot bantu nafas, dan retraksi pada otot 20. Kaji perlunya penyedotan pada
Supraclaviculas dan interkosta jalan nafas dengan auskultasi
3. Monitor suara nafas tambahan seperti suara nafas setelah tindakan,
ngorok atau mengi untuk dicatat
4. Monitor pola napas (Misalnya, 21. Monitor nilai fungsi Paru,
bradipneu, takipneu, hiperventilasi, terutama kapasitas vital paru
pernapasan kusmaul, pernapasan 1:1 volume inspirasi maksimal,
apneustik, respirasi biot dan pola volume ekspirasi maksimal
ataxic) selama 1 detik ( FEV1/FVC
5. Monitor Saturasi oksigen pada pasien sesuai dengan data yang tersedia
yang tersedasi (seperti 22. Monitor hasil pemeriksaan
SaO2,SvO2,SpO2) Sesuai dengan ventilasi mekanik, catat
protocol yang ada peningkatan tekanan inspirasi
6. Pasang sensor pemantauan oksigen dan penurunan volume tidal
non-invasive (Misalnya, pasien yang 23. Monitor peningkatan kelelahan,
obesitas Melaporkan pernah kecemasan dan kekurangan

29
mengalami apnea saat tidur , udara pada pasien
mempunyai riwayat penyakit denagn 24. Catat perubahan pada saturasi O2,
terapi oksigen menetap usia ekstrim) Volume tidal akhir CO2, dan
sesuai dengan procedure tetap yang perubahan nilai analisa gas darah
ada dengan tepat
7. Palpasi kesimetrian ekpansi paru 25. Monitor kemampuan batuk efektif
8. Perkusi Torak anterior san posterior, pasien
dari apeks ke basis paru kanan dan kiri 26. Catat onset, Karateristik, dan
9. Catat lokasi trakea lamanya batuk
10. Monitor kelelahan otot-otot diafragma 27. Monitor sekresi pernapasan pasien
dengan pergerakkan parasoksikal 28. Monitor secara ketat pasien-pasien
11. Monitor keluhan sesak nafas pasien, yang beresiko tinggi mengalami
termasuk kegiatan yang meningkatkan gangguan respirai (Misalnya,
atau memperburuk sesak nafas tersebut pasien dengan terapi opiod, bayi
12. Monitor suara serak dan perubahan baru lahir, pasien dengan
suara tersebut setiap jam pada pasien ventilasi mekanik, pasien dengan
luka bakar luka bakar di wajah dan dada,
13. Monitor suara krepitasi pada pasien gangguan neuromuscular)
14. Monitor hasil foto toraks
15. Buka jalan nafas dengan menggunakan
manever chin lift atau jaw thrust
dengan tepat
16. Posisikan pasien miring ke samping
sesuai indikasi untuk mencegah
aspirasi, lakukan tehnik log roll, jika
pasien diduga mengalami cedera leher
17. Berikan bantuan resuitasi jika
diperlukan
18. Berikan bantuan terapi nafas jika
diperlukan (misalnya, nebulizer)

29
Manajemen jalan nafas (3140)

Definisi : Fasilitas Kepatenan jalan nafas

Aktivitas-aktivitas 13. Kelola pemberian bronkodilator,


1. Buka jalan nafas dengan tehnik chin sebagaimana mestinya
lift atau jaw thrust, sebagai mana
14. Ajarkan pasien bagaiman
mestinya
menggunakan inhaler sesuai
2. Posisikan pasien untuk
resep sebagaimana mestinya
memaksimalkan ventilasi
15. Kelola pengobatan aerosol,
3. Identifikasi kebutuhan aktual/potensial
sebagimana mestinya
pasien untuk memasukkan alat
16. Kelola nebulizer ultrasonik,
membuka jalan nafas
sebagaimana mestinya
4. Masukkan alat nasopharyngeal airway
17. Kelola udara atau oksigen yang
(NPA) Atau oropharyngeal airway
dilembabkan, sebagaimana
(OPA), sebagaimana mestinya
mestinya
5. Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana
18. Ambil benda asing dengan forsep
mestinya
McGill, sebagaimana mestinya
6. Buang sekret dengan memotivasi
19. Regulasi asupan cairan untuk
pasien untuk melakukan batuk atau
mengoptimalkan keseimbangan
menyedot lender
cairan
7. Motivasi pasien untuk bernafas pelan,
20. Posisikan untuk meringankan
dalam, berputar dan batuk
sesak nafas
8. Gunakan teknik yang menyenangkan
21. Monitor status pernafasan dan
untuk memotivasi bernafas dalam
oksigenasi, sebagaimana
kepada anak-anak (missal; meniup
mestinya
gelembung, meniup kincir, peluit,
harmonika, balon, meniup layaknya
pesta; buat lomba meniup dengan bola
ping pong, meniup bulu)
9. Instruksikan bagaimana agar bisa

29
melakukan batuk efektif
10. Bantu dengan dorongan spirometer,
sebagaimana mestinya
11. Auskultasi suara nafas, catat area yang
ventilasinya menurun atau tidak
adanya suara nafas tambahan
12. Lakukan penyedotan melalui
endotrakea atau nasotrakea,
sebagaimana mestinya

Terapi Oksigen (3320)


Definisi : Pemberian oksigen dan pemantauan mengenai efektivitasnya

Aktivitas-aktivitas  Anjurkan pasien untuk mendapatkan


 Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi oksigen tambahan sebelum perjalanan
trakea dengan tepat udara atau perjalanan ke dataran tinggi
 Batasi [aktivitas] merokok dengan cara yang tepat
 Pertahankan kepatenan jalan napas  Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain
 Siapkan peralatan oksigen dan berikan mengenai penggunaan oksigen
melalui sistem humidifer tambahan selama kegiatan dan/atau

 Berikan oksigen tambahan seperti yang tidur

diperintahkan  Anjurkan pasien dan keluarga mengenai

 Monitor aliran oksigen penggunaan oksigen di rumah

 Monitor posisi perangkat [alat]  Atur dan ajarkan pasien mengenai


pemberian oksigen penggunaan perangkat oksigen yang

 Anjurkan pasien mengenai pentingnya memudahkan mobilitas

meninggalkan perangkat [alat]  Rubah kepada pilihan peralatan


pengiriman oksigen dalam keadaan siap pemberian oksigen lainnya untuk

pakai meningkatkan kenyamanan dengan

 Periksa perangkat [alat] pemberian tepat

29
oksigen secara berkala untuk
memastikan bahwa konsentrasi [yang
telah] ditentukan sedang diberikan
 Monitor efektifitas terapi oksigen
(misalnya, tekanan oksimetri, ABGs)
dengan tepat
 Pastikan penggantian masker
oksigen/kanul nasal setiap kali
perangkat diganti
 Monitor kemampuan pasien untuk
mentolerir pengangkatan oksigen ketika
makan
 Rubah perangkat pemberian oksigen
dari masker ke kanul nasal saat makan
 Amati tanda-tanda hipoventilasi induksi
oksigen
 Pantau adanya tanda-tanda keracunan
oksigen dan kejadian atelektasis
 Monitor peralatan oksigen untuk
memastikan bahwa alat tersebut tidak
menganggu upaya pasien untuk
bernapas
 Monitor kecemasan pasien yang
berkaitan dengan kebutuhan
mendapatkan terapi oksigen
 Monitor kerusakan kulit terhadap
adanya gesekan perangkat oksigen
 Sediakan oksigen ketika pasien
dibawa/dipindahkan

29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut seperti penurunan kondisi fisik,
penurunan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek sosial, perubahan yang berkaitan
dengan pekerjaan, dan perubahan dalam peran sosial dimasyarakat Perubahan anatomi
fisiologi sistem pernapasan pada lansia yaitu perubahan anatomik pada respirasi,
perubahan fisiologik pada pernapasan, faktor-faktor yang memperburuk fungsi paru,
dan penyakit pernapasan pada usia lanjut Gangguan pada sistem pernafasan pada lansia
seperti pneumonia, tb paru, asma, bromkiektaksis, dan epusi pleura Asuhan keperawatan
pada lansia dengan gangguan sistem pernafasan meliputi pengkajian, diagnose,
intervensi, implementasi.
3.2 Saran
1. Bagi Institusi
Diaharapkan agar institusi lebih mengembangkan pendidikan keperawatan gerontik, khusus
nya gangguan system pernafasan pada lansia serta asuhan keperawatan yang tepat
2. Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat memahami tentang system pernafasan pada lansia serta
asuhan keperawatan yang tepat pada lansia.

29
Daftar Pustaka

Academia. Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Gangguan Pernafasan. Diperoleh 9


September 2020, dari
https://www.academia.edu/19972848/asuhan_keperawatan_lansia_dengan_gangguan_pern
afasan
Hasan, H., & Arusita, R.M. (2017). Perubahan Fungsi Paru Pasa Usia Tua. Jurnal
Respirasi, 3.
Anna Keliat, Budi dkk. 2017. NANDA International Inc. Diagnosa Keperawatan: Definisi
& Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Ed. 5. Yogyakarta:
CV. Mocomedia
Bulechek, Gloria dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC), Ed. 6. Yogyakarta:
CV. Mocomedia
MATA KULIAH KEPERAWATAN GERONTIK

MAKALAH GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN PADA LANSIA

Disusun Oleh :
Bethania Sella Kurneus (01.1.18.00834)
Putri Ayu Irfani (01.1.18.00846)

STIKES RS BAPTIS KEDIRI


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIPLOMA III
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena dengan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Gangguan system perkemihan pada lansia” dalam tugas mata kuliah Keperawatan
Gerontik oleh dosen Dewi Ika Sari H.P ., SST ., M.Kes dan Sandy Kurniajati, SKM.,
M.Kes .Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pembuatan makalah
ini, namun kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Jika didalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan,maka kami
memohon maaf atasnya.Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari
kesempurnaan. Lebih dan kurangnya di ucapkan Terima Kasih.

Kediri, 29 September 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar.........................................................................................................i
Daftar isi..................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan............................................................................................................2

BAB II Tinjauan Teori


2.1 Definisi system perkemihan...........................................................................3
2.2 Organ Sistem Perkemihan..............................................................................3
2.3 Perubahan Sistem Ginjal Pada Lanjut Usia....................................................4
2.4 Gangguan System Perkemihan Pada Lanjut Usia..........................................6
2.5 Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan Pada Lansia.................................17

BAB III Penutup


3.1 Kesimpulan......................................................................................................26
3.2 Saran................................................................................................................26
Daftar pustaka..........................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pada usia lanjut terjadi proses penuaan yang mempengaruhi berbagai fungsi organ tubuh.
Proses menjadi tua secara ilmiah akan mengakibatkan lansia mengalami kemunduran fisik
maupun mental (Maryam dkk, 2012). Perubahan fisik pada lansia dapat di lihat dari berbagai
sistem seperti sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, system temperatur tubuh,
penurunan sistem syaraf, sistem respirasi, system endokrin, sistem kulit, sistem perkemihan,
sistem musculoskletal. Perubahan-perubahan tersebut berdampak terhadap kemunduran
kesehatan baik fisik maupun psikis sehingga mengakibatkan lansia menjadi rentan terkena
berbagai penyakit (Kemenkes RI, 2015).
Pola eliminasi urine merupakan salah satu perubahan fisik yang akan dialami oleh usia
lanjut, salah satunya dalam proses berkemih, seperti merasakan keluarnya urine dalam
bentuk beberapa tetes pada saat sedang batuk, jogging atau berlari. Bahkan ada juga yang
mengalami kesulitan menahan urine sehingga keluar sesaat sebelum berkemih. Semua gejala
ini disebut dengan inkontinensia urine (Suparman dan Rospas, 2008).
Sistem perkemihan pada lansia akan terjadi masa ginjal menurun, tidak ada glomerulus,
jumlah nefron yang berfungsi menurun, perubahan dinding pembuluh darah kecil penurunan
tonus otot kandung kemih, penurunan GFR (Filtrasi glomelurus), kemampuan penghematan
natrium menurun, peningkatan BUN (Blood Urea Nitrogen), aliran darah ginjal menurun,
penurunan peningkatan urgensi, kapasitas kandung kemih dan peningkatan urin residual.
Pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas terjadi penurunan kadar hormon estrogen,
akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Ikonitnensia urine mempunya dampak medik,
psikososial dan ekonomik.
Beberapa kondisi yang menyertai inkontinensia urine antara lain kelainan kulit, dan
ganguan tidur sehingga dampak psikososial dan ekonomik, seperti depresi, mudah marah
terisolasih, hilang percaya diri, pembatasan aktifitas sosial dan besaranya biaya perawatan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi system perkemihan
2. Organ Sistem Perkemihan
3. Perubahan Sistem Ginjal Pada Lanjut Usia
4. Gangguan System Perkemihan Pada Lanjut Usia
5. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan Pada Lansia
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi system perkemihan
2. Untuk mengetahui Organ Sistem Perkemihan
3. Untuk mengetahui Perubahan Sistem Ginjal Pada Lanjut Usia
4. Untuk mengetahui Gangguan System Perkemihan Pada Lanjut Usia
5. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan Pada Lansia

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Sistem perkemihan merupakan sistem ekskresi utama dan terdiri atas 2 ginjal
(untuk menyekresi urine), 2 ureter (mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih),
kandung kemih (tempat urine dikumpulkan dan disimpan sementara), dan uretra
(mengalirkan urine dari kandung kemih ke luar tubuh (Nurachmah & Angriani, 2011).
Sistem perkemihan berperan penting dalam ekresi sisa hasil metabolisme
tubuh dalam keseimbangan cairan dan elektrolit.Sistem ini secara terus menerus
membuang dan mereabsorbsi air dan substansi yang terlarut dalam darah, serta
mengeleminasi setiap substansi yang tidak dibutuhkan dalam tubuh (Wylie, 2011).
Organ perkemihan terdiri atas ginjal, kandung kemih dan uretra.Pada sistem
perkemihan ini ada 2 buah ginjal untuk menjaga sekresi. Organ ini memproduksi
urin yang berisi air, ion dan senyawa – senyawa solute. Urin meninggalkan kedua ginjal
dan melewati sepasang ureter menuju kandung kemih untuk ditampung, kemudian
terjadi proses ekskresi urin yang dinamakan miksi, dapat terjadi ketika ada
kontraksi dari otot-otot kandung kemih menekan urin untuk keluar melewati uretra
(Muttaqin & Sari, 2014).

2.2 Organ Sistem Perkemihan


Organ Sistem Perkemihan Ginjal adalah organ ekresi dalam vetebrata yang
berbentuk mirip seperti kacang.Merupakan bagian dari system urin, ginjal berfungsi
untuk menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan
air dalam bentuk urin.Cabang dari ilmu kedokteran yang mempelajari ginjal serta
penyakitnya disebut nefrologi (Purnomo, B, 2014).
Ginjal terletak pada dinding posterior, terutama didaerah lumbal kanan dan
kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal, kedudukan ginjal diperkirakan
dari belakang, dimulai dari ketinggian vertebra torakalis sampai vertebra lumbalis

3
ketiga.Ginjal kanan posisinya lebih rendah dari ginjal kiri, karena hati menduduki ruang
banyak disebelah kanan.Setiap ginjal dilingkupi kapsul tipis dari jaringan fibrus yang
rapat dan membentuk pembukus yang halus warna ungu (Purnomo, 2014).

2.3 Perubahan Sistem Ginjal Pada Lanjut Usia


Proses menua merupakan proses yang terus-menerus berlanjut secara alamiah.
Dalam proses proses ini, ini, terjadi terjadi berbagai berbagai perubahan perubahan
sistem sistem tubuh tubuh pada pada lansia, lansia, salah salah satunya satunya
perkemihan. Berikut perkemihan. Berikut pembahasan terkait pembahasan terkait
perubahan fisiologis perubahan fisiologis sistem perkemihan sistem perkemihan pada
lansiapada lansiadan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sistem perkemihan
pada lansia berdasarkandan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sistem
perkemihan pada lansia berdasarkanliteratur yang diperoleh.literatur yang diperoleh:
1. Ginjal
1) Massa ginjal berkurang 25% pada usia 80 tahun ke atas.
2) Setelah umur 30 tahun mulai terjadi penurunan kemampuan ginjal dan
padausia 60 tahun kemampuan tingggal 50% dari umur 30 tahun, ini
disebabkan berkurangnya populasi nefron dan tidak adanya kemampuan
regenerasi.Dengan menurunnya jumlah populasi nefron akan terjadi
penurunan kadar renin yang menyebabkan hipertensi.
3) Terjadi penebalan membran basalis kapsula Bowman dan terganggunya
permeabilitas, perubahan degeneratif tubuli, perubahan vaskuler
pembuluhdarah kecil sampai hialinisasi arterioler dan hiperplasia intima
arterimenyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut pada pembentukan
berbagaisitokin yang menyebabkan resobsi natrium ditubulus ginjal.
Efisien ginjaldalam pembuangan sisa metabolisme terganggu dengan
menurunnya massadan fungsi ginjal- jumlah neufron tinggal 50% pada
akhir rentang hidup rata-rata- aliran darah ginjal tinggal 50% pada usia 75
tahun- tingkat filtrasi glomerulus dan kapasitas ekskresi maksimum
menurun. Halini dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal dan
pengurangan dariukuran dan jumlah glomerulus.

4
4) Aliran plasma ginjal yang efektif menurun sejalan dari usia 40 ke 90-
an.Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian berkurang
tetapitidak terlalu banyak pada usia 70, 80, dan 90 tahunan. Transport
maksimaltubulus untuk tes ekskresi PAH (paraaminohipurat) menurun
progresif sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR.
5) Membran basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada
areafokal, dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang
danvolume tubulus proksimal berkurang. Implikasi dari hal ini adalah
filtrasimenjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang
mampumenyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada
lansiamenurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan fungsi penyaringan
proteindan eritrosit menjadi terganggu.
2. Pembuluh darah ginjal
Sejak umur 40 tahun, aliran darah renal berkurang, terutama di korteks.Pada
korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti
terjadi pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus.
3. Vesica Urinaria/Kandung kemih
1) Otot kandung kemih menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200
mlatau menyebabkan frekuensi BAK meningkat.
2) Aktivitas kendali sfingter dan detrusor hilang, sehingga sering kencing
tanpasadar, terutama di malam hari
3) Penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan
volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kemih yang tidak
disadari dan atopi pada otot kandung kemih secara umum.
4) Dengan bertambahnya usia kapasitas kandung kemih menurun, sisa urin
setelah selesai berkemih cenderung meningkat dan kontraksi otot kandung
kemih yang tidak teratur sering terjadi. Keadaan ini menyebabkan sering
berkemih dan kesulitan menahan keluarnya urin. Pada wnaita pasca
menopause karena menipisnya mukosa disertasi dengan menurunnya
kapasitas, kandung kemih lebih rentan dan sensitive terhadap rangsangan
urine, sehingga akan berkontraksi tanpa dapat dikendalikan.

5
4. Mekanisme control
Perubahan pada system saraf dan system regulator lain mempengaruhi fungsi
perkemihan. Impuls motorik dalam saraf spinal mengontrol perkemihan,
sedangkan otak bertanggung jawab untuk mendektesi sensasi pemenuhan
kandung kemih, menghambat pengosongan kandung kemih saat dibutuhkan,
dan stimulasi kontraksi pengosongan kandung kemih. Saat kandung kemih
terisi, reseptor sensori di dinding kandung kemih mengirim sinyal ke syaraf
spinal sacral. Pada lansia, perubahan degenerative di korteks serebral dapat
mengubah sensai pemenuhan kandung kemih dan kemampuan pengosongan
kandung kemih dan kemampuan mengosongkan kandung kemih terisi dan
kemampuan mengosongkan kandung kemih dengan komplet. Pada orang
dewasa, sensasi penuh dimulai ketika kandung kemih terisi setengah. Tetapi,
pada lansia interval antara persepsi awal dari dorongan untuk mengosongkan
dan kebutuhan sebenarnya untuk mengosongkan kandung kemiih menjadi
lebih singkat sehingga meningkatkan kejadian inkontinensia urin.

2.4 Gangguan Sistem Perkemihan Pada Lanjut Usia


1. ISK
1) Definisi ISK
Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi akibat berkembang biaknya mikroorganisme
dedalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung
bakteri, virus, mikroorganisme lain. (Nanda NicNoc, 2012).
Infeksi Saluran Kemih adalah keadaan adanya infeksi yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembang biakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi infeksi
parenkim ginjal sampai kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna
(Widagdo, 2012).

2) Etiologi ISK
Menurut sumber Aru S, dkk (2009) mengatakan etiologi dari infeksi saluran
kemih penyebab terseringnya adalah E.coli . Penyebab lain ialah klebsiela,

6
enterobakteri, pseudomonas, streptokok, dan stafilokok.
1) Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain :
1. Escherichia Coli : 90% penyebab ISK uncomplicated( simple )
2. Psedomonas, proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
3. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan lain-lain
2) Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain :
1. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan
kandung kemih yang kurang efektif.
2. Mobilitas menurun
3. Nutrisi yang sering kurang baik
4. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
5. Adanya hambatan pada aliran darah
6. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Berbagai jenis orgnisme dapat menyebabkan Infeksi Saluran Kemih,
Escherichia coli (80% kasus) dan organisme enterik garam-negatif lainny
merupakan organisme yang paling sering menyebabkan ISK kumankuman ini
biasanya ditemukan di daerah anus dan perineum. Organisme
lain yang menyebabkan ISK antara lain Proteus, Pseudomonas, Klebsiella,
Staphylococcus aureus, Haemophilus, dan Staphylococcus koagulsenegatif. Beberapa
faktor menyebabkan munculnya Infeksi Saluran Kemih
di masa kanak-kanak (Wong, 2008).
3) Manifestasi ISK
Tanda Gejala Infeksi Saluran Kemih Digiulio, Mary, dkk. ( 2014).
1. Bakteriuria
2. Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih (sistisis)
3. Hematuria
4. Nyeri punggung
5. Demam
6. Menggigil, nyeri ketika berkemih
7. Terdesak kencing (urgency), disuria
8. Frekuensi terkait dengan iritasi otot kandung kemih

7
9. Urgensi terkait dengan iritasi otot kandung kemih
4) Patofiologi ISK
Hariyono, Rudi. (2012) infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya
mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini
masuk melalui kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen,
limfogen. Ada dua jalur utama terjadi isk, yaitu ansending dan hematogen.
1. Secara asending
1) masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih, antara lain faktor anatomi
dimana wanita memiliki uretra yang lebih pendek dari pada laki-laki sehingga
insiden terjadinya isk lebih tinggi, faktor tekanan urin saat miksi, kontaminasi
fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sitoskopik,
pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
2) Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal. Kuman penyebab ISK pada
umumnya adalah kuman yang berasal dari flora normal usus. Dan hidup secara
komensal di dalam introitus vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan di
sekitar anus.
2. Secara hematogen
Sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah
penyebaran infeksi secara hematogen. Ada beberapa hal yang memengaruhi
struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu
adanya bendungan total urin yang mengakibatkan distensi kandung kemih,
bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dll.
3. Limfogen
Pielonefritis (infeksi traktus urinarius atas) merupakan infeksi bakteri piala ginjal,
tobulus dan jaringan intertisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai
kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal meskipun ginjal 20 % sampai 25
% curah jantung; bakteri jarang mencapai ginjal melalui aliran darah ; kasus
penyebaran secara hematogen kurang dari 3 %. Pielonefritis akut biasanya terjadi
akibat infeksi kandung kemih asendens. Pielonefritis akut juga dapat terjadi
melalui infeksi hematogen. Infeksi dapat terjadi di satu atau di kedua ginjal.

8
Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya dijumpai
pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau refluks vesikoureter.
Sistitis (inflamasi kandung kemih) yang paling sering disebabkan oleh menyebarnya
infeksi dari uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik urine dari uretra ke
dalam kandung kemih (refluks urtrovesikal), kontaminasi fekal, pemakaian kateter
atau sistoskop. Uretritis suatu inflamasi biasanya adalah suatu infeksi yang menyebar
naik yang digolongkan sebagai general atau mongonoreal. Uretritis gnoreal
disebabkan oleh niesseria gonorhoeae dan ditularkan melalui kontak seksual. Uretritis
nongonoreal; uretritis yang tidak berhubungan dengan niesseria gonorhoeae biasanya
disebabkan oleh klamidia frakomatik atau urea plasma urin.

5) Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut M. Clevo Rendy dan Margareth TH (2012 : hal. 221), pengobatan
infeksi saluran kemih bertujuan untuk menghilangkan gejala dengan cepat,
membebaskan saluran kemih dari mikroorganisme dan mencegah infeksi
berulang, sehingga dapat menurunkan angka kecacatan serta angka kematian.
Tujuan tersebut dapat dicapai dengan dengan
Perawatan dapat berupa :
1) Meningkatkan intake cairan 2 – 3 liter/hari bila tidak ada kontra indikasi.
2) Perubahan pola hidup diantaranya :
1. Membersihkan perineum dari depan ke belakang
2. Pakaian dalam dari bahan katun
3. Menghindari kopi, alkohol
2. Penatalaksanaan Medis
1. Obat-obatan
1) Anti biotik : Untuk menghilangkan bakteri.
2) Anti biotik jangka pendek dalam waktu 1 –2 minggu
3) Anti biotik jangka panjang ( baik dengan obat yang sama atau di ganti ) dalam
jangka waktu 3 – 4 minggu
4) Pengobatan profilaktik dengan dosis rendah satu kali sehari

9
sebelum tidur dalam waktu 3 – 6 bulan atau lebih ini merupakan
pengobatan lanjut bila ada komplikasi lebih lanjut.
5) Analgetik dan Anti spasmodik
Untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan oleh penderita
6) Obat golongan Venozopyridine : Pyridium.
Untuk meredakan gejala iritasi pada saluran kemih
7) Komplikasi
Menurut Purnomo (2011), adapun komplikasi yang ditimbulkan yaitu :
1. Pyelonefritis
Infeksi yang naik dari ureter ke ginjal, tubulus reflux urethrovesikal dan jaringan
intestinal yang terjadi pada satu atau kedua ginjal.
2. Gagal Ginjal
Terjadi dalam waktu yang lama dan bila infeksi sering berulang atau tidak diobati
dengan tuntas sehingga menyebabkan kerusakan ginjal baik secara akut dan
kronik.
2. Inkontinensia Urine
1) Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine didefinisikan oleh International Continence Society
(ICS) sebagai keluhan atas kebocoran urin yang tidak disadari. Inkontinensia
urine menyebabkan masalah sosial dan higienis bagi penderitanya. Penting untuk
mengetahui penyebab dari inkontinensia urine sehingga penatalaksanaanya
dapat dilakukan dengan tepat. Empat penyebab pokok dari inkontinensia urine
pada pasien usia lanjut, yaitu: gangguan urologik, gangguan neurologis,
gangguan fungsional atau psikologis, dan gangguan lingkungan (Setiati,
2007). Penulis menyimpulkan bahwa inkontinensia adalah suatu kondisi
pengeluaran atau kebocoran urin tanpa disadari, tidak terkendali, terjadi di
luar keinginan, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sering.
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya, keadaan ini
dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan (Kurniasari,
2016).

10
2) Etiologi Inkontinensia Urine
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain disebabkan melemahnya otot dasar
panggul, kebiasaan mengejan yang salah ataupun karena penurunan esterogen.
Kelemahan otot dasar panggul dapat terjadi karena kehamilan, setelah
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan
operasi vagina. Semakin bertambahnya usia seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,
sudah menimbulkan rasa ingin berkemih (Widiastuti, 2011).

3) Patofisiologi Inkontinensia Urin


Inkontinensia urin dapat terjadi karena beberapa penyebab, antara lain:
1) Perubahan terkait usia pada sistem perkemihan
Menurut Stanley M & Beare G Patricia, (2006) dalam Aspiani, (2014) kapasitas
kandung kemih (vesiko urinaria) yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi
atau keinginan berkemih di antara 150-350 ml. Berkemih dapat ditunda 1-2 jam
sejak keinginan berkemih dirasakan. Keinginan berkemih terjadi pada otot
detrusor yang kontraksi dan sfingter internal serta sfingter eksternal relaksasi,
yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urin dikeluarkan
saat berkemih, sedangkan pada lansia tidak semua urin dikeluarkan. Pada lansia
terdpat residu urin 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah residu lebih dari
100 ml mengindikasikan retensi urin. Perubahan lain pada proses penuaan adalah
terjadinya kontraksi kandung kemih tanpa disadari. Pada seorang wanita lanjut
usia terjadinya
penurunan hormon estrogen mengakibatkan atropi pada jaringan uretra dan efek
dari melahirkan menyebabkan lemahnya otot-otot dasar panggul.

11
2) Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih
Menurut Aspiani, (2014) adanya hambatan pengeluaran urin karena pelebaran
kandung kemih, urin terlalu banyak dalam kandung kemih sehingga melebihi
kapasitas normal kandung kemih. Fungsi sfingter yang terganggu mengakibatkan
kandung kemih mengalami kebocoran ketika bersin atau batuk.

4) Klasifikasi Inkontinensia Urin


Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
1) Inkontinensia urge
Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan
ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul,
manifestasinya dapat berupa perasaan ingin berkemih yang mendadak (urge),
berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan berkemih di malam hari
(nokturia).
2) Inkontinensia stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara tidak terkontrol keluar
akibat peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul,
operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya antara lain keluarnya urin
sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang lain yang
meningkatkan tekanan pada rongga perut.
3) Inkontinensia overflow
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung
kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat dari
penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan saluran kemih yang
tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah berkemih (merasa urin
masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya
lemah.

12
4) Inkontinensia refleks
Hal ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yang terganggu, seperti demensia.
Dalam hal ini rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
5) Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi fisik dan kognitif sehingga
pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada
demensia berat, gangguan neurologi, gangguan mobilitas dan psikologi.
5) Manifestasi Klinis
Menurut Aspiani ( 2014) ada beberapa manifestasi klinis inkontinensia urin, antara
lain :
1. Inkontinensia urge
Gejala dari inkontinensia urge adalah tingginya frekuensi berkemih (lebih
sering dari 2 jam sekali). Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih
dalam jumlah sedikit (kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari
500 ml).
2. Inkontinensia stress
Gejalanya yaitu keluarnya urin pada saat tekanan intra abdomen meningkat dan
seringnya berkemih.
3. Inkontinensia overflow
Gejala dari inkontinensia jenis ini adalah keluhan keluarnya urin sedikit dan
tanpa sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh, distensi kandung kemih.
4. Inkontinensia refleks
Orang yang mengalami inkontinensia refleks biasanya tidak menyadari bahwa
kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya sensasi ingin berkemih, dan
kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.
5. Inkontinensia fungsional
Mendesaknya keinginan berkemih sehingga urin keluar sebelum mencapai toilet
merupakan gejala dari inkontinensia urin fungsional.
6) Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu dengan mengurangi
faktor risiko, mempertahankan homeostatis, mengontrol inkontinensia urin,

13
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa
hal tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu berkemih, jumlah urin yang keluar
baik secara normal maupun karena tak tertahan. Banyaknya minuman yang
diminum, jenis minuman yang diminum, dan waktu minumnya juga dicatat
dalam catatan tersebut.
2. Terapi non farmakologi
Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, dan hiperglikemi.
Cara yang dapat dilakukan adalah :
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga waktu berkemih 6-
7x/hari. Lansia diharapkan mampu menahan keinginan berkemih sampai waktu
yang ditentukan. Pada tahap awal, diharapkan lansia mampu menahan
keinginan berkemih satu jam, kemudian meningkat 2-3 jam.
2) Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi berkemih. Hal ini
bertujuan untuk membiasakan lansia berkemih sesuai dengan kebiasaannya.
Apabila lansia ingin berkemih diharapkan lansia memberitahukan petugas.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif.
3) Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel. Latihan kegel ini
bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul dan mengembalikan
fungsi kandung kemih sepenuhnya serta mencegah prolaps urin jangka
panjang.
3. Terapi farmakologi
Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge) yaitu
antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir neurotransmitter, yang
disebut asetilkolin yang membawa sinyal otak untuk mengendalikan otot. Ada
beberapa contoh obat antikolenergik antara lain oxybutinin, propanteline,
dyclomine, flsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress diberikan
obat alfa adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari obat tersebut

14
yaitu pseudosephedrine yang berfungsi untuk meningkatkan retensi urethra. Pada
sfingter yang mengalami relaksasi diberikan obat kolinergik agonis yang bekerja
untuk meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin baik langsung maupun
tidak langsung. Obat kolinergik ini antara lain bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk menstimulasi kontraksi.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urge, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Pada inkontinensia
overflow biasanya dilakukan pembedahan untuk mencegah retensi urin. Terapi ini
biasanya dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvis.
5. Modalitas lain
Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan
pengobatan masalah inkontinensia urin, caranya dengan
menggunakan beberapa alat bantu bagi lansia antara lain pampers,
kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan bedpan.
7) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk masalah
inkontinensia urin, antara lain :
1) Urinalis
Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab inkontinensia
urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria, dan proteinuria.
2) Pemeriksaan darah
Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa, dan
kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan
poliuria.
3) Tes laboratorium tambahan
Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium, glukosa, dan
sitologi.

15
4) Tes diagnostik lanjutan :
1. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
2. Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di dalam uretra saat istirahat dan
saat dinamis.
3. Imaging tes untuk saluran kemih bagian atas dan bawah.
5) Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih ini dilakukan selama 1-3 hari untuk mengetahui pola berkemih.
Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, serta gejala yang berhubungan
dengan inkontinensia urin

16
2.5 Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan Pada Lansia
2.5.1 Pengkajian
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosamedis.
2) Keluhan Utama
Pada kelayan ISK keluhan-keluhan yang ada adalahnokturia, urgence, disuria, poliuria,
oliguri, dan staguri.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan,usaha yang telah
dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK yang berulang. penyakit kronis yang
pernah diderita.
5) Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yangmenderita penyakit
Inkontinensia Urine, adakah anggota keluargayang menderita DM, Hipertensi.
6) Pola kebiasaan sehari-hari
1. Pola nutrisi
Pola nutrisi meliputi frekuensi makan, nafsu makanan, jenis makanan yang dimakan,
kebiasaan sebelum makan, makanan yang disukai dan tidak disukai, alergi dengan
makanan, dan keluhan yang berhubungan dengan makan. Selain makan juga perlu
dikaji asupan cairannya, meliputi jumlah air yang diminum dalam sehari, jenis
minuman (air putih, teh, cokelat, minuman berkafein, bersoda, dan beralkohol), dan
minuman kesukaan.
2. Pola eliminasi
Menurut Maas, (2014) pengkajian pola eliminasi khusus untuk lansia dengan
inkontinensia urin yaitu :
1. Buang air kecil, frekuensi berkemih sepanjang hari, frekuensi berkemih di
malam hari, kesulitan dalam berkemih (perlu mengejan atau tidak), aliran

17
urin, nyeri saat berkemih, adanya campuran darah saat berkemih, dan warna
urin.
2. Buang air besar, frekuensi buang air besar, konsistensi, warna feses, keluhan
saat buang air besar, dan penggunaan obat pencahar.
3. Pola personal hygiene
Menggambarkan frekuensi mandi, gosok gigi, mencuci rambut, penggunaan alat mandi
(sabun, pasta gigi, dan shampo), dan kebersihan tangan serta kuku.
4. Pola istirahat dan tidur
Menggambarkan pola tidur, lamanya tidur saat malam hari, lama tidur saat tidur siang,
dan keluhan saat tidur.
5. Pola hubungan dan peran
Menggambarkan hubungan responden dengan keluarga, masyarakat, dan tempat tinggal.
6. Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi pengkajian
penglihatan, pendengaran, perasaan, dan pembau.
7. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan konsep diri.
Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran dan identitas diri. Mengkaji
tingkat depresi responden menggunakan format pengkajian status psikologis.
8. Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan masalah terhadap seksualitas.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik
1. Sistem perkemihan
Inspeksi : Pada pasien gangguan perkemihan , Lakukan inspeksi pada daerah
meatus ( pembukaan yang dilalui urine untuk meninggalkan tubuh)
apakah terjadi adanya oliguria, dan disuria.
Palpasi : pada palpasi biasanya terjadi nyeri hebat dan distensi
Perkusi : pada perkusi terdapat nyeri pada abdomen bagian bawah abdomen dan
nyeri saat berkemih

18
2.1.3 Diagnosa
Nyeri akut (00132)
Definisi :Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau pontensial atau yang
digambarkan sebagai kerusakan (international association for the study of
pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi.
Batasan karakteristik Faktor yang berhubungan
 Bukti nyeri dengan  Agens cedera biologis ( mis.,
menggunakan standar daftar infeksi, iskimia, neoplasma)
periksa nyeri untuk pasien yang  Agens cedera fisik ( mis.,abses,
tidak dapat mengungkapkannya amputasi, luka bakar, terpotong,
(mis., Neonatal Infant Pain mengangkat berat, prosedur
Scale, Pain Assessment bedah, trauma, olaraga
Checklist for Senior with berlebihan)
Limited Ability to  Agens cedera kimiawi( mis.,
communicate) luka bakar, kapsaisin, metilen
 Diaforesis klorida, agens mustard)
 Dilatasi pupil
 Ekspresi wajah nyeri (mis., mata
kurang bercahaya, tampak
kacau, gerak mata berpencar
atau tetap pada satu fokus,
meringis)
 Fokus menyempit (mis.,
persepsi waktu, proses berfikir,
interaksi dengan orang dan
kingkungan)
 Fokus pada diri sendiri
 Keluhan tentang intensitas
menggunakan standar skala

19
nyeri (mis., skala Wong –Baker
FACES, skala analog visual,
skala penilaian numerik)
 Keluhan tentang karakteristik
nyeri dengan menggunakan
standar instrumen nyeri (mis.,
McGill Pain Questionnaire,
Brief Pain Inventory)
 Laporan tentang perilaku nyeri/
perubahan aktivitas (mis.,
anggota keluarga, pemberi
asuhan)
 Mengekspresikan perilaku (mis.,
gelisah,merengek, menangis
waspada)
 Perilaku distraksi
 Perubahan pada parameter
fisiologis (mis., tekanan darah,
frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan,saturasi oksigen, dan
end-tidal karbon dioksida
[CO2])
 Perubahan posisi untuk
menghindari nyeri
 Perubahan selera makan
 Putus asa
 Sikap melindungi area nyeri
 Sikap tubuh melindungi

Hambatan eliminasi urine 00016

20
Definisi: Disfungsi eliminasi urine
Batasan karakteristik Faktor yang berhubungan
 Disuria  Penyebab multipel
 Sering berkemih
 Anyang-anyangan Kondisi terkait

 Nokturia  Obstruksi anatomik

 Inkontinensia urine  Gangguan sensori motorik

 Retensi urine  Infeksi saluran kemih

 Dorongan berkemih

2.1.4 Intervensi
Manajemen Nyeri (1400)
Definisi : pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang
dapat diterima oleh pasien

Aktivitas-aktivitas
 Lakukan pengkajian nyeri  Berikan informasi mengenai
komprehensif yang meliputi lokasi, nyeri, seperti pada penyebab
karakteristik, onset/durasi, nyeri, berapa lama nyeri akan
frekuensi, kualitas, intensitas, atau dirasakan, dan antisipasi dari
beratnya nyeri dan faktor pencetus tindaknyamanan akibat
 Observasi adanya petunjuk prosedur
nonverbal mengenai  Kendalikan faktor lingkungan
ketidaknyamana terutama pada yang dapat mempengaruhi
mereka yang tidak dapat respon pasien terhadap
berkomunikasi secara efektif ketidaknyamanan ( misalnya.,
 Pastikan perawat analgesik bagi suhu ruangan, pencahayaan,
pasien dilakukan dengan suara bising)
pemantauan yang ketat  Kurangi atau eliminasi faktor-
 Gunakan strategi komunikasi faktor yang dapat mencetuskan

21
terapeutik untuk mengetahui atau meningkatkan nyeri
pengalaman nyeri dan sampaikan ( misalnya.,
penerimaan pasien terhadap nyeri ketakutan,kelelahan, keadaan
 Gali pengetahuan dan kepercayaan monoton, dan kurang
pasien mengenai nyeri pengetahuan )
pertimbangkan pengaruh budaya  Pertimbangkan keinginan
terhadap respon nyeri tentukan pasien untuk berpartisipasi,
akibat dari pengalaman nyeri kemampuan berpartisipasi,
terhadap kualitas hidup pasien kecenderungan, dukungan dari
( misalnya., tidur, nafsu makan, orang terdekat terhadap metode
pengertian, perasaan, hubungan, dan kontraidikasi ketika
performa kerja dan tanggung jawab memilih strategi penurunan
peran) nyeri
 Gali bersama pasien faktor-faktor  Pilih dan implementasikan
yang dapat menurunkan atau tindakan yang beragam
memperberat nyeri (misalnya.,
 Evaluasi pengalaman nyeri di masa farmakologi,nonfarmakologi,
lalu yang meliputi riwayat nyeri interpersonal) untuk
kronik individu atau keluarga atau memfasilitasi penurunan
nyeri yang menyebabkan disability/ nyeri,sesuai dengan kebutuhan
ketidakmampuan/kecatatan, dengan  Ajarkan prinsip-prinsip
tepat manajemen nyeri
 Evaluasi bersama pasien dan tim  Pertimbangkan tipe dan
kesehatan lainnya, mengenai sumber nyeri ketika memilih
efektifitas tindakan mengontrol strategi penurunan nyeri
nyeri yang pernah digunakan  Dorong pasien untuk
sebelumnya memonitor nyeri dan
 Bantu keluarga dalam mencari dan menangani nyeri dengan tepat
menyediakan dukungan  Ajarkan penggunaan teknik
 Gunakan metode penilaian yang non farmakologi (seperti,
sesuai dengan tahapan biofeedback, TENS, hypnosis,

22
perkembangan yang relaksasi, bimbingan
memungkinkan untuk memonitor antisipatif, terapi musik, terapi
perubahan nyeri dan akan dapat bermain, terapi aktivitas,
membantu mengidentifikasi faktor akupressur, aplikasi
pencetus aktual dan pontensial panas/dingin dan pijatan,
( misalnya., catatan perkembangan, sebelum, sesudah dan jika
catatan harian) memungkinkan, ketika
 Tentukan kebutuhan frekuensi melakukan aktivitas yang
untuk melakukan pengkajian menimbulkan nyeri;sebelum
ketidaknyaman pasien dan nyeri terjadi atau meningkat;
menginplementasikan rencana dan bersamaan dengan
monitor tindakan penurunan rasa nyeri
 Berikan individu penurun nyeri lainnya)
yang optimal dengan peresepan  Gali penggunaan metode
analgesik farmakologi yang dipakai
 Implementasikan penggunaan pasien saat ini untuk
pasien terkontrol analgesik (PCA), menurunkan nyeri
jika sesuai  Ajarkan metode farmakologi
 Gunakan tindakan pengontrol nyeri untuk menurunkan nyeri
sebelum nyeri bertambah berat  Dorong pasien untuk
 Berikan obat sebelum melakukan menggunakan obat-obatan
aktivitas untuk meningkatkan penurun nyeri yang adekuat
partisipasi,namun [lakukan]  Kolaborasi dengan pasien,
evaluasi [mengenai] bahaya dari orang terdekat dan tim
sedasi kesehatan lainnya untuk
 Pastikan pemberian analgesik dan memilih dan
atau strategi nonfarmakologi menginplementasikan tindakan
sebelum dilakukan prosedur yang penurun nyeri nonfarmakologi,
menimbulkan nyeri sesuai kebutuhan
 Periksa tingkat ketidaknyamanan  Pertimbangkan untuk merujuk
bersama pasien, catat perubahan pasien, keluarga dan orang

23
dalam catatan medis pasien, terdekat pada kelompok
informasikan petugas kesehatan pendukung dan sumber-
lain yang merawat pasien sumbernya, sesuai kebutuhan
 Evaluasi keektifan dari tindakan  Berikan informasi yang akurat
pengontrol nyeri yang dipakai untuk meningkatkan
selama pengkajian nyeri dilakukan pengetahuan dan respon
 Mulai dan memodifikasi tindakan keluarga terhadap pengalaman
pengontrol nyeri berdasarkan nyeri
respon pasien  Libatkan keluarga dalam
 Dukung istirahat/tidur yang modalitas penurun nyeri, jika
adekuat untuk membantu memungkinkan
penurunan nyeri  Monitor kepuasaan pasien
 Dorong pasien untuk terhadap manajemen nyeri
mendiskusikan pengalaman nyeri dalam interval yang spesifik
sebelumnya
 Beri tahu dokter jika tindakan
berhasil atau jika keluhan pasien
saat ini bersifat signitifikan dari
pengalaman nyeri sebelumnya
 Informasikan tim kesehatan
lain/anggota keluarga mengenai
strategi nonfarmakologi yang
sedang digunakan untuk
mendorong pendekatan preventif
terkait dengan manajemen nyeri
 Gunakan pendekatan multi disiplin
untuk manajemen nyeri, jika sesuai

NIC
Manajemen Eliminasi Perkemihan 0590
Definisi: Pemeliharaan pola eliminasi urine yang optimal
Aktivitas-aktivitas:

24
 Monitor eliminasi urine termasuk frekuensi, konsistensi, bau, volume, dan
warna
 Pantau tanda dan gejala retensi urine
 Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya episode
inkontinensia
 Ajarkan pasien mengenai tanda dan gejala infeksi saluran kemih
 Catat waktu eliminasi urine terakhir
 Anjurkan pasien atau keluarga untuk mencatat output urine, yang sesuai
 Masukkan supositoria uretra, dengan tepat
 Dapatkan spesimen urine pancaran tengah, dengan tepat
 Rujuk ke dokter jika tanda dan gejala infeksi saluran kemih terjadi
 Ajarkan pasien untuk mendapatkan spesimen urine pancaran tengah pada
tanda pertama dari kembalinya tanda dan gejala infeksi
 Intruksikan untuk segera merespon keinginan mendesak untuk berkemih
 Ajarkan pasien untuk minum 8 gelas perhari pada saat makan, diantara
jam makan dan di sore hari
 Bantu pasien untuk mengembangkan rutinitas eliminasi dengan tepat
 Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih sebelum
(pelaksanaan) prosedur yang relevan
 Catat waktu berkemih pertama setelah prosedur, dengan tepat
 Batasi cairan, sesuai kebutuhan
 Anjurkan pasien untuk memantau tanda-tanda dan gejala infeksi saluran
kemih

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

25
Penurunan dan perubahan baik secara fisik, psikologis, sosial dan spritual yang di
alami lansia sangat mempengaruhi status kesehatan lansia. Sistem perkemihan
merupakan salah satu perubahan fisik yang perlu diperhatikan pada lansia. Sistem
perkemihan berperan penting dalam ekresi sisa hasil metabolisme tubuh dalam
keseimbangan cairan dan elektrolit.Sistem ini secara terus menerus membuang dan
mereabsorbsi air dan substansi yang terlarut dalam darah, serta mengeleminasi setiap
substansi yang tidak dibutuhkan dalam tubuh (Wylie, 2011).

3.2 Saran
1. Bagi Institusi
Diaharapkan agar institusi lebih mengembangkan pendidikan keperawatan gerontik, khusus
nya gangguan system perkemihan pada lansia serta asuhan keperawatan yang tepat
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat memahami tentang system perkemihan pada lansia serta
asuhan keperawatan yang tepat pada lansia.

26
DAFTAR PUSTAKA

Fikriana, E.2020.Sistem perkemihan lansia. Pada 16 September 2020, dari


http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2617/4/Chapter%202.pdf
Diakses pada 16 September 2020, dari
https://www.academia.edu/34213542/Asuhan_Keperawatan_Infeksi_Saluran_Kemih_ISK
Diakses pada 19 September 2020, dari http://repository.phb.ac.id/427/2/Layout%20Perawatan
%20Lansia.pdf
Anna Keliat, Budi dkk. 2017. NANDA International Inc. Diagnosa Keperawatan: Definisi &
Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Ed. 5. Yogyakarta: CV.
Mocomedia
Bulechek, Gloria dkk. 2016. Nursing Intervention Classification (NIC), Ed. 6. Yogyakarta: CV.
Mocomedia

27

Anda mungkin juga menyukai