Anda di halaman 1dari 19

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA PENEGAKAN
HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Ridho Ramdani

NIM : F1BO20121

Fakultas&Prodi : teknik/teknik elektro

Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MATARAM

T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT tuhan semesta alamatas izinnya tugas
ini dapat terselesaikan dengan baik dan seksama.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAWatas kenikmatan
yang telah diberikan hingga saat ini.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos sebagai dosen
pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah menyumbangkan ilmu yang sangat
bermanfaat bagi saya untuk menyelesaikan tugas ini .

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi semua orang agar dapat menambah wawasan
kita bersama guna untuk bekal hidup kita di kemudian hari kelak.

Penyusun, Mataram 13 oktober 2020

Ridho Ramdani

F1B020121

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER........................................................................................................................i

PENDAHULUAN.............................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................iii

BAB I. Keistimewaan&Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam..............................................1

BAB II. Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.......................................................

BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits.............................................................................

BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits)..............................................

BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta

Kadilan Hukum Dalam Islam.............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................

LAMPIRAN.....................................................................................................................................

iii
BAB I

KEISTIMEWAAN&KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

A. Siapakah Tuhan?
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat 
al-Furqan ayat 43.
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya ?
Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan
bagimu selain aku’.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung
arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang
tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Ibnu Taimiyah
memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah
ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri,
meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan
terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu
yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan
juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari
segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama
Allah.

B. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

iii
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith,
Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada
yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada
pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan
gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu
dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi
ia dapat dirasakan pengaruhnya.
b. Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif
sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai
kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut
kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut,
manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis
dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang
disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat
Nasional).

                   

iii
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh
Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-
orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-
sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak
datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut
diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki
oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti
bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan
monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).

2. Pemikiran Umat Islam


Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada
doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan
nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan
suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah
yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah
al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat
dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala
pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut
Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.
Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang
Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan
kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang
tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya. Ketika
khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi terbuka.
Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi
penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi
ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin
bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.  Dendam yang
dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan  darah, menjadi
motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua
kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah,

iii
perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin
Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling
bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai
penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan
pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang
tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung
dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok
kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga
kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3)
Kelompok Khawarij.
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-
segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok
lainnya. Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah
maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang
pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka
mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

Yَ ِ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ فَأُولَئ‬


َ‫ك هُ ُم ْال َكافِرُون‬
Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran),
.maka mereka dalah orang-orang kafir

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lainmembuat
pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul.
pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang
diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang  yang berbuat dosa besar.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain
mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak
Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu
mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang
mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman
itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang
yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti
.mereka kafir

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan


tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha
mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan
diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar,
terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam
perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena
orang yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut
Wasil bersama beberapa orang  yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok
pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry
mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-
kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat
Harun Nasution dalam Teologi Islam).

iii
Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep
yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu,
yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah terkenal
dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke
surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab
itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.
Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat
20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak
terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam
neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia
menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat
Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam


Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi
penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang
mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada
dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah
(tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan
sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai
berikut:

ِ ‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ أَ ْندَادًا ي ُِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬

  Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah.
Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai AllahZ

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep


tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-
ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib,
ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun
sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-
Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan
masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha
besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut
timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad?
Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah
mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa

iii
Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian
kejadiannya.Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam
dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ‫س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش ْم‬ َ َ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن خَ ل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬
 

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang
itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah
jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang
Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-
hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta. Pernyataan
lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-
Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan
pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran
manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran
serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

iii
BAB I

ISAINSDAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS

A. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu
sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang
alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional
mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari
observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan
manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains,
dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60). Al-Qur’an,
sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh
sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-
Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya
sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena
TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 124 alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar
tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal
yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi
(penyelidikan).
Informasi alQur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia
dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam
serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993).
Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab
itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada
Tuhannya.
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari
pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada
tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah
ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi
ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan
hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian
(Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30),
membaca (al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5),
supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai
fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah:
TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 125 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7;
190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).

iii
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui
dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia
Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5) Kata iqra’,
menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari
menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak.
Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu
agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling
lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan
penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini,
Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu
non agama sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar: TA’DIB, Vol.
XV No. 01. Edisi, Juni 2010 126 “Katakanlah: adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” Beberapa ayat lain
yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak
hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman
Allah pada surat Fathir ayat 27-28: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah
menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan
yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis
putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam
pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
“ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." Dengan
jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan
orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”)
dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang
Maha Mulia.
3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:
Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45). Di samping itu, subyek yang dituntut
oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah
TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 127 itu hanya diberikan oleh Allah swt.
kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari

iii
fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi.
Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan
manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berpikir.”

Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang


semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan
bahwa Allah swt. menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-
peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat
sepanjang manusia mau menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti
langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut
Baiquni, (1997: 15- 16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin
yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di
sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”,
niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu
bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya.

Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang
panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan
mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara
tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih
tinggi dari TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 128 pada bagian lainnya
sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan
penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut
aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika
dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu
menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju
dengan kecepatan tertentu. Untuk dapat memahami sunnatullah yang
beraturan di alam semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua
potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi
sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga
memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting
bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara
penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan
ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup
proses kagum, mengamati, dan memahami.

iii
Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa
langkah/proses sebagai berikut. Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada
manusia untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui
sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini,
misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101. “Katakanlah (wahai
Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit dan di bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar
memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang
seksama terhadap TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 129 kebesaran Allah
SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini
tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta


bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung
bagaimana mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.” Kedua,
al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran
terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat
149. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.” Ketiga,
al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena
alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan
yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11- 12. “Dia
menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau
berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu;
dan bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya.
Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi
kaum yang menalar.”

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang


sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi
(pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni
2010 130 menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan
pengukuran itu.

Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan


ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses
penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti
pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran
adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki
di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan. Memahami tanda-tanda
kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terdidik
dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki ilmu

iii
(keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika,
fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang
dapat digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat.
Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional,
maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini
tersingkap.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an


Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan teknologi),
dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan
ilmiah manusia sebagai berikut.
1. Prinsip Istikhlaf Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang
digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah.
Konsep istikhlaf ini berkaitan TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 131 erat
dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki
sifat yang multi dimensional. Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan
manusia sebagai pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu
Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan
sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan dalam
kehidupan kini dan kehidupan nanti. Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia
adalah makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan
makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari
anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya. Ketiga, sebagai khalifah
Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan penting untuk mengolah
potensipotensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam mengelola
seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang didasarkan
pada hukum-hukum Allah. Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam
semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu,
dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan
terbatas.
2. Prinsip Keseimbangan Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an
adalah keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan
material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-Qur’an
dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah
dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan
TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 132 kehendak-Nya untuk memenuhi
kebutuhan susunan yang membentuk manusia itu. Dengan demikian, al-Qur’an
menghendaki terwujudnya keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian
manusia (spiritual dan material) sehingga manusia mampu berbuat, berubah
dan bergerak secara seimbang.

iii
3. Prinsip Taskhir Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk
pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat
dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus
ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya)
telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah
menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan
fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif
dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai
dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta.
Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan
metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun
bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan
kemanusiaan.
4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik Prinsip penting lainnya adalah
keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta
Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak TA’DIB, Vol. XV
No. 01. Edisi, Juni 2010 133 untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan
keterkaitan itu. Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian
besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap
fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan
tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang
diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang
berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah
ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang
Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.

Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan


(sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia
melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta
mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang
benar dan memuaskan.

C. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam Proses Pembelajaran


Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan sains, secara
umum ada empat pola yang menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan
itu adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Hubungan yang bersifat
konflik menempatkan agama dan sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling
bertentangan. Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan menegasi
kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan sebagainya.
Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai interdependensi
menganggap adanya distribusi wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah

iii
sains. Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban
tentang proses kerja sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik yang
obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih
besar bagi kehidupan seseorang. TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 138 Yang ketiga
adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama bertautan dalam model dialog.
Model ini menggambarkan sains dan agama itu memiliki dimensi irisan yang bisa
diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains bisa dipecahkan melalui kajian-kajian
agama dan sebaliknya. Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan
sebagai hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni
teologi natural (natural theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu
merupakan sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology of nature) yang
menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa di-up grade sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005). Sejak pertama kali
diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu pengetahuan dan
menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah.
Di samping itu, al-Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada
dikotomi ilmu dalam pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran,
yang secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sain
merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains
dan agama merupakan dua hal yang terintegrasi. Proses pembelajaran pada hakikatnya
adalah proses mengamati, menemukan, memahami, dan menghayati sunnatullah, yang
berupa fenomena alamiah maupun sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman
tersebut bagi kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta menjadikan
kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan
hakiki dari kegiatan TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 139 pembelajaran.
Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas
supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-
prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan, taskhir,
dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam
mempelajari subyek apapun. Pada tataran praktis, proses pembelajaran di
lembagalembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi,
masih menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada
beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu:
1. Munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada munculnya
split personality dalam diri peserta didik.
2. Kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada
out put pendidikan yang jauh dari citacita pendidikan Islam. Untuk meretas
persoalan dikotomi tersebut, maka perlu dilakukan upaya integrasi dalam
pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan
atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tesebut. Ada tiga
tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu:

iii
a. integrasi kurikulum,
b. integrasi pembelajaran,
c. integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).

Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilainilai ilahiyah dalam


keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi sampai
dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah
menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang sains kepada peserta didik di
saat proses pembelajran berlangsung. Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan
integrasi TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 140 pembelajaran) merupakan langkah
strategis ke arah integrasi ilmu.

Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya,


pembelajaran sains (kealaman maupun sosial) harus mampu menghantarkan peserta
didik kepada kesadaran yang permanen tentang keberadaan Allah. Sementara
pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan
ilmiah secara terus-menerus. Inilah yang sesungguhnya yang menjadi inti pandangan al-
Quran tentang sains.

iii
BAB III

GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADIS

A. Tiga generasi terbaik

Umat Rasulullah merupakan umat terbaik dari seluruh umat-umat para Nabi yang diutus
sebelum beliau. Meskipun umat Rasulullah datang sebagai yang terakhir diantara umat-umat
lainnya, tetapi di akhirat kelak umat Rasulullah-lah yang akan memasuki Surga terlebih dahulu di
bandingkan dengan umat-umat lainnya. Allah telah memberikan pujian kepada umat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, dalam firman-Nya :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS. Ali Imran : 110)
Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik, sebagaimana beliau
sebutkan dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda :
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang
yang mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni generasi
tabi’ut tabi’in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya)
Ada 3 generasi terbaik yang menjadi panutan bagi kaum muslimin. Tiga generasi itu
adalah:
1. Sahabat
Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam secara langsung serta membantu perjuangan beliau.
Menurut Imam Ahmad, siapa saja diantara orang beriman yang bertemu dan melihat
Rasulullah, baik sebulan, sepekan, sehari atau bahkan cuma sesaat maka ia dikatakan
sebagai sahabat. Derajatnya masing-masing ditentukan dengan seberapa lama ia
menyertai Rasulullah.
Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang terbaik adalah para Khulafaur
Rasyidin, kemudian 10 orang sahabat yang namanya disebutkan oleh Rasulullah yang
mendapatkan jaminan surga.
2. Tabi’in
Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau
setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta
melihat para sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para sahabat Rasulullah.
Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi
tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan secara
langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk mencari
Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang memiliki doa
yang diijabah oleh Allah.

iii
Adapun diantara orang-orang yang tergolong generasi sebagai generasi Tabi’ut
tabi’in antara lain:
3. Tabi’ut tabi’in
Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau
setelah mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan
generasi tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para tabi’in.Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah
Imam Malik bin Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al Auza’i, Al Laits
bin Saad dan yang lainnya.
Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat muslim yang
datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab yang telah mereka
tuliskan. Semoga kita bisa mengikuti para generasi terbaik umat ini.

iii

Anda mungkin juga menyukai