Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
NIM : F1BO20121
Semester : 1 (satu)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT tuhan semesta alamatas izinnya tugas
ini dapat terselesaikan dengan baik dan seksama.
Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAWatas kenikmatan
yang telah diberikan hingga saat ini.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos sebagai dosen
pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah menyumbangkan ilmu yang sangat
bermanfaat bagi saya untuk menyelesaikan tugas ini .
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat bagi semua orang agar dapat menambah wawasan
kita bersama guna untuk bekal hidup kita di kemudian hari kelak.
Ridho Ramdani
F1B020121
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER........................................................................................................................i
PENDAHULUAN.............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................iii
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................
LAMPIRAN.....................................................................................................................................
iii
BAB I
A. Siapakah Tuhan?
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat
al-Furqan ayat 43.
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya ?
Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan
bagimu selain aku’.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung
arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang
tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Ibnu Taimiyah
memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah
ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri,
meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan
terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu
yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan
juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari
segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama
Allah.
iii
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith,
Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada
yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada
pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan
gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu
dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi
ia dapat dirasakan pengaruhnya.
b. Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif
sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai
kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut
kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut,
manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis
dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang
disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat
Nasional).
iii
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh
Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-
orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-
sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak
datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut
diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki
oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti
bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan
monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).
iii
perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin
Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling
bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai
penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan
pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang
tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung
dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok
kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga
kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3)
Kelompok Khawarij.
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-
segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok
lainnya. Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah
maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang
pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka
mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44
Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lainmembuat
pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul.
pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang
diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain
mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak
Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu
mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang
mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman
itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang
yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti
.mereka kafir
iii
Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep
yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu,
yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah terkenal
dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:
Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke
surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab
itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.
Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat
20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak
terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam
neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia
menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat
Islam.
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah.
Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai AllahZ
iii
Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian
kejadiannya.Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam
dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;
َس َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون َ ْت َواأْل َر
َ ض َو َس َّخ َر ال َّش ْم َ ََولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن خَ ل
ِ ق ال َّس َم َوا
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang
itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah
jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang
Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-
hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta. Pernyataan
lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-
Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan
pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran
manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran
serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.
iii
BAB I
iii
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui
dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia
Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5) Kata iqra’,
menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari
menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak.
Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)
Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu
agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling
lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan
penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini,
Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu
non agama sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar: TA’DIB, Vol.
XV No. 01. Edisi, Juni 2010 126 “Katakanlah: adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” Beberapa ayat lain
yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak
hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman
Allah pada surat Fathir ayat 27-28: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah
menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan
yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis
putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam
pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah
“ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." Dengan
jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan
orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”)
dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang
Maha Mulia.
3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:
Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44- 45). Di samping itu, subyek yang dituntut
oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah
TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 127 itu hanya diberikan oleh Allah swt.
kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari
iii
fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi.
Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan
manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berpikir.”
Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang
panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan
mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara
tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih
tinggi dari TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 128 pada bagian lainnya
sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan
penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut
aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika
dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu
menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju
dengan kecepatan tertentu. Untuk dapat memahami sunnatullah yang
beraturan di alam semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua
potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi
sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga
memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting
bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara
penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan
ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup
proses kagum, mengamati, dan memahami.
iii
Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa
langkah/proses sebagai berikut. Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada
manusia untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui
sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini,
misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101. “Katakanlah (wahai
Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit dan di bumi….”
Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar
memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang
seksama terhadap TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 129 kebesaran Allah
SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini
tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:
iii
(keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika,
fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang
dapat digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat.
Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional,
maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini
tersingkap.
iii
3. Prinsip Taskhir Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk
pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat
dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus
ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya)
telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah
menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan
fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif
dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai
dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta.
Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas.
Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan
metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun
bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan
kemanusiaan.
4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik Prinsip penting lainnya adalah
keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta
Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak TA’DIB, Vol. XV
No. 01. Edisi, Juni 2010 133 untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan
keterkaitan itu. Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian
besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap
fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan
tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang
diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang
berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah
ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang
Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.
iii
sains. Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban
tentang proses kerja sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik yang
obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih
besar bagi kehidupan seseorang. TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 138 Yang ketiga
adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama bertautan dalam model dialog.
Model ini menggambarkan sains dan agama itu memiliki dimensi irisan yang bisa
diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains bisa dipecahkan melalui kajian-kajian
agama dan sebaliknya. Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan
sebagai hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni
teologi natural (natural theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu
merupakan sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology of nature) yang
menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa di-up grade sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005). Sejak pertama kali
diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu pengetahuan dan
menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah.
Di samping itu, al-Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada
dikotomi ilmu dalam pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran,
yang secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sain
merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains
dan agama merupakan dua hal yang terintegrasi. Proses pembelajaran pada hakikatnya
adalah proses mengamati, menemukan, memahami, dan menghayati sunnatullah, yang
berupa fenomena alamiah maupun sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman
tersebut bagi kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta menjadikan
kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan
hakiki dari kegiatan TA’DIB, Vol. XV No. 01. Edisi, Juni 2010 139 pembelajaran.
Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas
supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-
prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan, taskhir,
dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam
mempelajari subyek apapun. Pada tataran praktis, proses pembelajaran di
lembagalembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi,
masih menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada
beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu:
1. Munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada munculnya
split personality dalam diri peserta didik.
2. Kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada
out put pendidikan yang jauh dari citacita pendidikan Islam. Untuk meretas
persoalan dikotomi tersebut, maka perlu dilakukan upaya integrasi dalam
pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan
atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tesebut. Ada tiga
tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu:
iii
a. integrasi kurikulum,
b. integrasi pembelajaran,
c. integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).
iii
BAB III
Umat Rasulullah merupakan umat terbaik dari seluruh umat-umat para Nabi yang diutus
sebelum beliau. Meskipun umat Rasulullah datang sebagai yang terakhir diantara umat-umat
lainnya, tetapi di akhirat kelak umat Rasulullah-lah yang akan memasuki Surga terlebih dahulu di
bandingkan dengan umat-umat lainnya. Allah telah memberikan pujian kepada umat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, dalam firman-Nya :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (QS. Ali Imran : 110)
Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik, sebagaimana beliau
sebutkan dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda :
“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang
yang mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni generasi
tabi’ut tabi’in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya)
Ada 3 generasi terbaik yang menjadi panutan bagi kaum muslimin. Tiga generasi itu
adalah:
1. Sahabat
Sahabat adalah orang-orang beriman yang bertemu dan melihat Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam secara langsung serta membantu perjuangan beliau.
Menurut Imam Ahmad, siapa saja diantara orang beriman yang bertemu dan melihat
Rasulullah, baik sebulan, sepekan, sehari atau bahkan cuma sesaat maka ia dikatakan
sebagai sahabat. Derajatnya masing-masing ditentukan dengan seberapa lama ia
menyertai Rasulullah.
Para sahabat merupakan orang-orang yang mewariskan ilmu dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Diantara sahabat yang terbaik adalah para Khulafaur
Rasyidin, kemudian 10 orang sahabat yang namanya disebutkan oleh Rasulullah yang
mendapatkan jaminan surga.
2. Tabi’in
Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau
setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta
melihat para sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para sahabat Rasulullah.
Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah
mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi
tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan secara
langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk mencari
Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang memiliki doa
yang diijabah oleh Allah.
iii
Adapun diantara orang-orang yang tergolong generasi sebagai generasi Tabi’ut
tabi’in antara lain:
3. Tabi’ut tabi’in
Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau
setelah mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan
generasi tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para tabi’in.Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah
Imam Malik bin Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al Auza’i, Al Laits
bin Saad dan yang lainnya.
Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat muslim yang
datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab yang telah mereka
tuliskan. Semoga kita bisa mengikuti para generasi terbaik umat ini.
iii