Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
Nama : Marpuah
NIM : G1D020039
Fakultas&Prodi: MIPA/Matematika
Semester : 1(Satu)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah saya haturkan kepada ALLAH SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan tugas ini yang berupa
artikel keislaman bisa terselesaikan tepat waktu.
Sholawat dan salam saya haturkan kepada utusan Allah yakni Rasulullah
Muhammad SAW atas tuntunannya yang telah membawa umat manisia dari alam
kegelapan menuju alam yang terang benderang yakni agama islam.
Terimakasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq
Ramdani,S.Th.I.,M.Sos sebagai Dosen pengampuh dari mata kuliah Pendidikan
Agama Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga saya dapat menambah
wawasan dan pengetahuan.
Besar harapan saya semoga tugas yang saya buat ini dapat memberikan
manfaat kepada diri saya khususnya dan para pembaca pada umumnya. Saya
menyadari bahwa artikel yang saya buat ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan untuk kesempurnaan artikel
keislaman ini.
Marpuah
G1D020039
2
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER………………………………………………………………………..1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...3
A. Sahabat………………………………………………………………………....10
B. Tabi’in……………………………………………………………………………10
C. Tabi’ut Tabi’in…………………………………………………………………...11
Pengertian Salaf (Referensi Hadits)………………………………………….......15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...19
3
I. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam
A. Konsep ketuhanan dalam islam
a. Apa itu Rububiyah (Ketuhanan)
Dalam bahasa Arab, kata “Rabb”, memiliki tiga unsur makna yaitu: Yang
Menciptakan, Yang Memiliki, dan Yang Mengatur. Maksudnya Rabb adalah
yang menciptakan, yang memiliki, dan yang mengatur alam semesta ini.
Rabb jelas hanya satu, yaitu Allah. Berbeda dengan kata “ilah” yang
artinya yang disembah atau sesembahan. Sesuatu yang disembah bisa
siapa saja atau apa saja, bisa Rabb yang sebenarnya (Allah), bisa juga
makhlukmakhluk ciptaan Allah seperti manusia, batu, atau pohon, matahari,
dan lainlain. Kalimat La ilaha illallah dimaknai dalam bahasa Indonesia:
“Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah.”
Bila kata “tuhan” saja digunakan tanpa keterangan lain dalam bahasa
Indonesia membuat kalimat tidak memiliki makna yang jelas. Kata “tuhan”
dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang kurang jelas dan tidak spesifik.
Bisa saja kata “tuhan” dipakai untuk menunjukkan Rabb, bisa juga
menunjukan apapun yang disembah (selain Rabb). Maka dari itu, orang-
orang muslim yang memahaminya lebih memilih menggunakan kata
“Rabb” daripada kata “tuhan” untuk menunjukan tunggalnya dzat yang
menciptakan, menguasai, dan memelihara seluruh alam seisinya ini.
Sedangkan penggunaan kata “ilah” dalam kalimat La ilaha illallah
digunakan sebagai persaksian untuk menolak atau menafikan segala yang
disembah, sekaligus menetapkan bahwa hanya Allah (Rabb alam semesta)
yang berhak disembah atau diibadahi.
Tidak semua kata Rabb dalam Alquran itu dilekatkan kepada Allah swt.,
tetapi ada yang dialamatkan kepada manusia, seperti dalam surah Yusuf
(12):42 رنىKKKKد أذكKKKKك عنKKKKرب...“ Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu
(rajamu)”... Kata Rabb yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah makna
yang dilekatkan kepada Allah swt. Kata ini adalah nama sifat Tuhan dan
bukan sebagai nama Zat Tuhan. Jadi ربKK الadalah Allah swt., penguasa
segala sesuatu (pemilik). Dari kata inilah muncul kata rububiyah yang
bermakna pemeliharaan bagi semua ciptaan-Nya dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Kata rububiyah tidak terdapat dalam Alquran maupun Hadis Nabi
saw. kata ini lebih sering digunakan dalam teologi mistik. Kata ini tidak
4
digunakan selain kepada Allah kecuali ia di-idhaf-kan kepada kata lain,
seperti )البيت ربtuan rumah).
Dari kata rabb ini pula terambil kata ربانىbentuk jamaknya 11 ,انيونKKرب
yaitu orang-orang yang menegakkan isi al-Kitab,12 seperti terdapat dalam
Alquran surah al-Maidah ayat 44 yang artinya “Sesungguhnya Kami
telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah,
oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka,
disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan
mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu
menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir”.
Bertitik tolak dari pengertian kata Rabb di atas dan setiap makna
perubahannya, maka makna al-rububiyah adalah sifat pengaturan dan
pemeliharaan Tuhan terhadap segala ciptaannya.
b. Wujud Al-rububiyah dalam Al quran
Penjelasan Alquran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad saw.
dimulai dengan pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya. Hal ini tampak
dalam rangkaian wahyu-wahyu pertama turun, seperti terlihat pada awal
surah al-„Alaq yang merupakan wahyu pertama turun,yakni artinya “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Dalam ayat tersebut, Alquran menunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan kata Rabbuka (Tuhan) Pemeliharamu (wahai Muhammad). Hal ini
untuk menggaris bawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa yang dapat
dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan. Setelah ayat pertama di atas
turun, maka silih berganti ayat turun mengarahkan manusia untuk mengenal
Tuhan dengan beberapa anjuran antara lain untuk: 1) memperhatikan
keteraturan dan ketelitian alam raya dan fenomenanya, 2) mengamati
5
manusia sejak lahir hingga mencapai kesempurnaan perkembangan
jiwanya, dan 3) mempelajari sejarah dengan segala dampak baik dan
buruknya.
Dalam membangun masyarakat Arab, yang waktu itu dikenal sebagai
zaman jahiliyah, Rasulullah Muhammad saw. telah berhasil membangun
masyarakat dengan menggunakan konsep pembelajaran. Hal ini sesuai
dengan surah al-„Alaq ayat 1 yang menyebutkan, “Iqra‟, yang artinya
“bacalah”, dilanjutkan dengan “bismi rabbi” (dengan nama Tuhanmu), suatu
kalimat yang mengandung konsep pembelajaran yang tidak terpisahkan
dengan Rabb (Tuhan)-nya. Alquran mengisyaratkan bahwa kehadiran
Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan
fitrah manusia sejak asal kejadiannya (QS. Al-Rum [30]:30):
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” dan (QS. Al-A‟raf
[7]:172):
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)".
Sejalan dengan ayat di atas, dalam QS. Al-Fatihah[1]:2, Tuhan
memperkenalkan diri-Nya sebagai rabb al-„alamin (Tuhan yang memelihara
semesta alam). Arti pemeliharaan dalam ayat ini adalah penyantunan dan
perlindungan pada semua aspek. Namun pemeliharaan Allah terhadap
seluruh alam bukan karena Allah memerlukan mereka untuk mendatangkan
manfaat atau menghindari bahaya, tetapi itu semata karena kasih sayang
dan kebaikanNya untuk semuanya.
B. Sejarah Pemikiran Umat Islam tentang Tuhan
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan ilmu tauhid, ilmu kalam,
ilmu ushuludin di kalangan umat islam, timbul beberapa periode setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW yakni pada saat terjadinya peristiwa tahkim
6
antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Muawiyah. Secara garis
besar, ada aliran yang bersifat liberal, ada bersifat tradisional, dan ada pula
yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah
karena adanya perbedaan meteodologi dalam memahami kitab Al quran dan Al
hadits. Aliran-aliran tersebut yaitu:
1. Khawarij
Kawarij merupakan golongan yang keluar dari golongan Ali, menentang
golongan Ali dan Muawiyyah. Ajaran mereka adalah mereka yang
melakukan dosa baik besar maupun kecil mereka dihukumi kaϐir, dan yang
berhak mendudukuki jabatan khalifah itu bukan hanya orang orang kaϐir.
2. Murji’ah
Murji’ah merupakan golongan yang timbul pada saat terjadinya
pertikaian anatara Ali, khawarij dengan golongan muawiyyah, golongan ini
bersifat netral tidak memihak salah satu golongan ini. Ajaran mereka yaitu
orang yang melakukan dosa baik besar maupun kecil tidak dihukumi kaϐir
tidak juga mukmin melainkan dikembalikan kepada Allah SWT pada hari
kiamat.
3. Jabariyah
Jabariyah merupakan golongan yang timbul bersamaan dengan firqah
Qodariyyah yaitu timbul karena menentang kebijakan politik bani Umayyah
yang dianggap kejam. Ajaran mereka yaitu apapun yang dilakukan manusia
baik dan buruk adalah terpaksa karena semua yang mengatur apa yang
dilakukan manusia hanyalah Allah SWT. Jadi manusia tidak tahu apa-apa.
4. Qadariyah
Pertumbuhan golongan ini karena peretentangan terhadap kebijakan
bani Umayah yang sangat kejam. Ajaran mereka yaitu Allah itu adil maka
Allah SWT akan menghukum orang orang yang berbuat jahat dan memberi
kebaikan kepada orang –orang yang berbuat baik. Manusia itu bebas
menentukan nasibnya sendiri dan memilih perbuatan yang baik ataupun
buruk. Jika Allah SWT menentukan terlebih dahulu nasib kita maka Allah itu
dzalim.
7
II. Sains&Teknologi dalam Al-Quran dan Al-Hadits
Sains dan teknologi sangat sulit dipisahkan satu sama lain. Menurut Baiquni,
sains adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh
sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai
hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari
observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan
pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh
dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni,
1995: 58-60).
Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang
bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi
sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.
Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan
informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak,
sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu)
paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses
investigasi (penyelidikan). Informasi alQur’an tentang fenomena alam ini, menurut
Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam
Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan
merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang
mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam
adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam
itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya.
Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari
pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada
tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-
Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui
dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa
yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5) Kata iqra’, menurut Quraish Shihab,
8
diambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi
obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh
manusia. (Shihab, 1996:433)
Ketika seseorang melaksanakan perintah membaca, apakah ayat Quraniyyah
atau kauniyyah pasti memperoleh sesuatu, pengetahuan (knowledge/tashdiq), atau
konsep (tashawwur), atau variabel, termasuk ketika sang pembaca itu mengatakan
“Aku tidak paham terhadap apa yang baru saja aku baca dengan serius”.
Ketidaktahuannya itu adalah pengetahuan yang baru saja ia peroleh dari kegiatan
membaca. Sebelum memba-ca, pasti ia dalam keadaan jahl (ketidaktahuan)
terhadap denotasi (ma shadaq) ‘ketidaktahuan setelah membaca’.
Dari kegiatan membaca dapat dihipotesiskan “semakin banyak membaca,
maka semakin banyak memiliki konsep, pengetahuan, atau variabel. Sebaliknya,
tidak mau membaca, tidak akan memiliki pengetahuan.
Untuk menjadi tahu (berpengetahuan) atau berilmu, di dalam Islam bukan
hanya didorong oleh rasa kagum atas sesuatu, hasrat selalu ingin tahu atau
karena tertumbuk pada masalah baik teoritis atau praktis yang harus ia
pecahkan32, melainkan juga merupakan kewajiban. Dalam Hal ini Rasulullah
bersabda: Thalabul ‘ilmi fariḍatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin. Mafhum
mukhalafah kandungan hadis ini menunjukkan bahwa tidak mau membaca dan
tidak mau mencari ilmu itu sebenarnya termasuk membangkang, sudah barang
tentu dosa. Dengan demikian, masuk ke dalam Islam itu belum cukup hanya
mengucapkan credo dua syahadad, melainkan harus ada kesediaan dan
realisasinya melakukan perintah membaca. Karena membaca adalah wajib, tentu
ada aturannya yang inherent di dalamnya. Mencari ilmu sebagai realisasi qara’a
dengan berbagai macam denotasinya bukan semata-mata tuntutan kompetensi
dan profesionalisme, melainkan harus juga disadari sebagai apresisasi atas nama
Tuhan.
III. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits
A. Sahabat
Sahabat berasal dari bahasa Arab yang berupa bentuk jamak dan bentuk
mufradnya adalah shahib. Makna etimologinya adalah ”yang empunya dan
yang menyertai”, sedangkan terminologinya dimaknai secara khusus yaitu
sahabat Nabi SAW, mereka yang mengenal dan melihat langsung Nabi
9
Muhammad SAW, membantu perjuangannya dan meninggal dalam keadaan
Muslim. Menurut Ibnu Hajar bahwa maksud dari sahabat adalah orang yang
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, beriman kepadanya serta meninggal
dalam keadaan beragama Islam. Sedangkan realitas sahabat Nabi SAW dalam
pandangan kebanyakan ahli hadis adalah orang yang bertemu Rasulullah SAW
dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan
Islam lagi beriman. Namun, pendapat sebagian ahli Ushul Fiqh menetapkan
bahwa yang disebut dengan sahabat adalah orang yang bertemu dan hidup
bersama Rasulullah SAW minimal setahun lamanya.
Masa sahabat diakui sebagai sebaik-baik masa walaupun terjadi ikhtilaf dan
peperangan di antara mereka, pengakuan dari Nabi SAW terhadap hal
demikian di ungkapkan Umar ibn Khattab dalam sebuah riwayat: Sa’id ibn al-
Musayyab rahimahullah berkata: Bahwasanya Umar ibn Khattab berkata: Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Aku memohon kepada Tuhan-ku
terhadap ikhtilaf para sahabat-ku setelah aku wafat?, maka Allah mewahyukan
kepadaku: Hai Muhammad, sesungguhnya para sahabat kamu di sisi-Ku
seperti bintang-bintang di langit, sebagian mereka menguatkan sebagian yang
lain, setiap mereka bercahaya, maka barangsiapa mengambil suatu pendapat
yang terjadi perbedaan antara mereka maka hal itu bagi-Ku berada dalam
petunjuk”. Umar berkata: Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda: ”Para
sahabat-ku bagaikan bintang-bintang, maka siapa saja yang kalian ikuti
sungguh kalian dapat petunjuk”.
Masa sahabat merupakan masa sesudah meninggal dunia Rasulullah SAW,
mulai masa Khulafur Rasyidin (dihitung dari tahun 11 H sampai tahun 100 H),
21 yang hidup pada Dinasti Umawiyah dan Abbasiyah. Adapun ynag termasuk
tokoh pada sahabat, yakni Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin
Auf, Abu dzar al ghifari, Abu hurairah, Abu thufail al laitsi, Abu Ubaidah bin
Jarrah, Ali bin abi thalib, Amru bin Ash, Bilal bin Rabah, Hakim bin Hazm,
Hamzah bin Abdul Muthalib, Kalid bin Walid, Salman al-Farisi, Sa’ad bin
Ubadah, Said bin Zayd bin amr, Thalhah bin ubidillah, Zain bin Khatab, Usman
bin Affan, Umar bin Khatab, Usamah bin zaid Haritsah,Wahsyi bin Harb, Zubair
bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas, Mus’ab bin umair.
B. Tabi’in
Secara umum Tabi’in adalah orang Islam yang hidup pada masa Rasulullah
atau setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulluah dan bertemu
10
serta melihat para sahabat. Menurut Hasbi as shidiqy pengertian tabi’in adalah
orang Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya, tidak
bertemu dengan Nabi dan tidak pula semasa dengan Nabi. Sedangkan
menurut Muhammad Abu Zahwu yang mengemukakan pendapat al-Khatib,
dikatakan bahwa tabi’in adalah orang yang menyertai sahabat, tidak cukup
hanya bertemu saja seperti batasan arti sahabat, mereka cukup dengan hanya
bertemu saja dengan Nabi Muhammad SAW, karena nilai kemuliaan,
ketinggian budi Nabi. Berkumpul sebentar dengan Nabi bisa berpengaruh
terhadap Nur Ilahi seseorang, sedangkan bertemu dengan orang lainnya tidak
(termasuk dengan para sahabat) meskipun waktunya lebih lama.
Salah seorang terbaik dari generasi tabi’in adalah Uwais al Qarni yang
pernah mendatangi rumah rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi
sahabat tetapi tidak berhasil bertemu dengan Rasulluah. Uwais al Qarni
pernah disebutkan langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang asing di
bumi tapi terkenal di langit.
Adapun diantara tokoh-tokoh yang tergolong generasi Tabi’in yang lain
adalah Said bin Al-musayyib, Urwah bin az- zubair, Saalim bin Abdullah bin
Umar, Ubaidillah bin abdillah bin utbah bin mas’ud, Muhammad bin Al-
hanafiyah, Ali bin hasan zainal abiding, Al- qaasim bin Muhammad bin abi
bakar, Al-hasan al-bashry, Muhammad bin sirrin, Abu hanifah bin umar bin
Abdul Aziz, Muhammad bin Syihab az-zuriy, Rabi’ah al-ra’yi, Al-qamah bin qais
al-nakhal, Ibnu abi mulaikah, serta Umar bin Abdul Aziz.
C. Tabi’ut tabi’in
Tabi’ut tabi’in adalah orang islam yang hidup pada masa sahabat atau
setelah mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu
dengan generasi tabi’in. Tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar
dan mewariskan ilmu dari para tabi’in.
Adapun tokoh-tokoh yang tergolong dalam generasi tabi’ut tabi’in, yaitu
Malik bin An-nas, Al-Auzaiy, Sufyan ats sauriy, sufyan al hunanan al hilaliy, al
laits bin saad, Abdullah bin al mubarok,Waki’, asy syafi’I, Abdurrahman bin
mahdiy, Yahya bin Saad al-qathan, yahya bin ma’in, Ali bin al –madiniy, dan
ja’far al-sadiq.
11
IV. Pengertian Salaf (Referensi Hadits)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( ُلَفKKلس
َّ َ ) اartinya yang terdahulu (nenek
moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti para pendahulu. Jika
ِ Kلَفُ الرَّ ُجK)س
dikatakan (لK َ salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah
mendahuluinya. Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama
dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut
Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)
pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
َيلُ ْو َنهُمْ الَّ ِذ ْي َن ُث َّم َيلُ ْو َنهُمْ الَّ ِذ ْي َن ُث َّم َقرْ ِنيْال َّناسِ َخ ْي ُر
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat),
kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa
Tabi’ut Tabi’in).”
Adapun salaf menurut istilah adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para
sahabat. Ketika disebutkan salaf, maka yang dimaksud pertama kali adalah para
sahabat. Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang–
orang yang mengikuti mereka. Artinya bila mereka mengikuti para sahabat, maka
disebut Salafiyyun (orang- orang yang mengikuti salafush shalih) (Yazid : 15). Allah
berfirman dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 100 yang maksudnya bahwa:
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-
lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Dari segi zaman, kata salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik-baik
kurun, dan yang lebih patut dicontoh dan diikuti yaitu tiga kurun yang pertama
(dalam Islam) yang diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan kebaikan
melalui lisan sebaik-baik manusia, yaitu Rasulullah. (Yazid : 18)
Apakah pembatasan dari segi zaman ini cukup untuk membatasi pengertian
salaf, sehingga setiap orang yang hidup pada tiga generasi awal adalah termasuk
dalam kriteria salaf. Tentu saja tidak demikian, sesungguhnya sudah banyak
golongan dan kelompok muncul pada masamasa tersebut. Terdahulu berdasarkan
masa, tidak cukup untuk menentukan itu salaf atau tidak. Harus ditambahkan
syarat dalam hal ini yatiu kesesuaian dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga
12
siapapun yang akalnya menyelisihi kedua sumber tersebut bukanlah salafi,
meskipun dia hidup ditengah-tengah para sahabat dan tabi’in. (Abdussalam bin
Salim al-Suhaimi 1429 H : 56).
Salafiyah adalah sebuah gerakan dakwah yang sama artinya dengan gerakan
dakwah Ahlul Sunnah wal Jama’ah. Gerakan dakwah ini sudah mulai dari masa
Rasulullah, lalu terus berlanjut dan Manhaj Salafiyah, Muhammaddin 149
mempertahankan eksistensinya hingga menjelang akhir zaman kelak. Salafi
adalah sebutan untuk orang yang menyatakan diri sebagai muslim yang berupaya
mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Hadits, sesuai dengan pemahaman ulama al-
Salaf. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa salafiyah adalah arus pemikiran
yang mengedepankan nash-nash syar’iyah berbagai macam pemikiran baik
secara metode maupun sistem, yang senantiasa komitmen terhadap petunjuk
Nabi dan petunjuk para sahabat baik secara keilmuan dan pengamalan, menolak
berbagai manhaj yang menyelisihi petunjuk tersebut, baik terkait masalah ibadah
maupun ketetapan syari’at. (Zainal Abidin bin Syamsudin 2009 : 26)
Imam al-Safarini mengatakan bahwa yang dimaksud mazhab salaf ialah apa
yang berjalan di atasnya para sahabat yang mulia, orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik (tabi’in), tabi’ul tabi’in, para imam Islam yang diakui keimanan
mereka dan dikenal besar peranannya dalam Islam serta diterima ucapannya oleh
kaum muslimin generasi demi generasi, bukan mereka yang tertuduh dengan
kebid’ahan, atau dikenal dengan julukan yang tidak diridhai seperti Khawarij,
Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah, Jabariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah dan sebagainya.
(Abdussalam : 56). Salaf atau salafiyah memiliki nama-nama lain, diantaranya ; al-
Jama’ah, Ahlul Sunnah wal Jama’ah, Ahlul Atsar, alFirqatun Najiyah, al-Thaifah al-
Manshurah. (Yazid : 33) Penyebutan alJama’ah berdasrkan sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang artinya “Ketahuilah sesungguhnya orang-
orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah terpecah belah menjadi 72 (tujuh puluh
dua) golongan. Sesungguhnya umat Islam akan terpecah belah menjadi 73 (tujuh
puluh tiga) golongan, 72 golongan tempatnya di dalam neraka, dan hanya satu
golongan di dalam surga, yaitu al-Jama’ah. (Yazid : 34)
Penamaan mereka dengan nama ahlul sunnah wal jama’ah, ini disebabkan
karena mereka membedakan diri dengan dua pembeda yang utama, yaitu:
pertama, berpegang teguh dengan sunnah Rasul, hingga menjadi ahlinya.
Berbeda dengan golongan lain yang berpegang teguh dengan akal dan nafsunya
serta pendapat para tokohnya. Maka mereka ini tidak dinisbahkan kepada al-
13
sunnah, tetapi kepada kebid’ahannya. Kedua, mereka adalah ahlul jama’ah,
karena bersatu di atas al-haq, tidak terpecah belah. Berbeda dengan golongan
lain, karena mereka tidak bersatu di atas al-haq, tetapi hanya mengikuti hawa
nafsunya. Adapun makna ahlul atsar, menurut al-Safarini adalah mereka yang
hanya mengambil aqidah mereka dari apa yang diriwayatkan dan dinukilkan dari
Allah dalam kitab-Nya, sunnah Nabi, sesuatu yang shahih dan tsabit dari salaful
shalih dari kalangan para sahabat yang mulia dan para tabi’in. (Abdussalam : 52)
Sebutan al-firqatun najiyah artinya golongan yang selamat, yaitu golongan yang
selamat dari api neraka. Nabi mengecualikan golongan ini ketika menyebutkan
seluruh golongan yang ada dengan sabda beliau “Seluruhnya masuk neraka,
kecuali satu golongan”, yaitu yang tidak masuk neraka. (Yazid : 20) Sedangkan
penyebutan al-thaifah almanshurah artinya, golongan yang mendapatkan
pertolongan Allah. Berdasarkan sabda Nabi “ Senantiasa ada di antara umatku
yang selalu dalam kebenaran menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai
mereka orang yang melecehkan mereka dan orang yang menyelisihi mereka
sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”
(Yazid : 36) Lukman bin Ba’abduh (2005 : 88) dalam bukunya “Mereka adalah
Teroris”, memeberikan pemahaman bahwa sebutan ahlul hadits. al-firqatun
najiyah dan al-thaifah al-manshurah itu diperuntukkan bagi siapa saja yang dalam
semua urusan agama senantiasa mengikuti apa yang Rasulullah dan para
sahabatnya berjalan di atasnya. Sebaliknya, barang siapa yang menyimpang dari
jalan tersebut, maka dia termasuk golongan yang celaka dan sesat.
Untuk lebih mudah memahami tentang salafi, perlu diketahu hal yang khas dari
salafi yaitu (Yazid : 159) : orang-orang yang berpegang teguh pada Kitabullah
dan Sunnah Rasul, dan jalan hidup generasi Islam awal terdahulu dari kalangan
al-muhajirin dan al-anshar; mereka adalah teladan baik yang menunjukkan
kepada kebenaran serta mengamalkannya; ahlul sunnah adalah orang-orang
pilihan yang melarang kebid’ahan dan menjauhi para pelakunya; ahlul sunnah
adalah orang -orang asing di saat zaman sudah penuh dengan kerusakan; ahlul
sunnah adalah orang-orang yang membawa cahaya ilmu mencegah
penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, perpecahan ahli kebatilan
dan penakwilan orang-orang yang jahil; dan ahlul sunnah adalah yang membuat
sedih orang banyak bila terpisah dengan mereka.
14
V. Islam, Ajaran tentang Berbagi serta Penegakan Hukum dalam Islam
15
sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah dan pahala semata. Sedekah
dalam pengertian diatas oleh para fuqoha (ahli fikih) disebut Sadaqah at-
Tatawwu’ (sedekah secara spontan dan sukarela).
Sedekah yang tidak disertai dengan rasa yang ikhlas tidak dapat digolongkan
sebagai bentuk sedekah, tetapi hanya dipandang sebagai pemberian belaka.
Sedekah adalah pemberian dari muslim ke sesama muslim atau non-muslim.
Jadi pemberian yang berasal dari nonmuslim, meskipun diberikan dengan hati
yang tulus, tetap tidak dikategorikan sebagai sedekah. Imam Ja’far As-Shadiq
pernah berkata, “sedekah itu wajib dilakukan setiap anggota tubuhmu, untuk
setiap helai rambutmu, dan untuk setiap saat dalam hidupmu”.
Bersedekah memberikan banyak manfaat bagi siapa saja terutama bagi yang
memberi sedekah, antara lain yaitu:
16
B. Keadilan Penegakan Hukum dalam Persfektif Islam
17
(kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan”.
Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu
mereka dan katakanlah:
“Aku beriman kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku diperintahkan
supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu
amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).
18
DAFTAR PUSTAKA
Ta’dib,vol. XV, No. 01, juni 2010. Fakuri Fauzi. Sains dan teknologi dalam Al-
Quran dan implikasinya dalam pembelajaran.
Wahyudi, Ari. 2010. Inilah Generasi Terbaik dalam Sejarah. Manhaj.
Zulkipli. 2013. Penegakan hukum atas keadilan dalam pandangan islam. Jurnal
ilmu syariah Vol. 1, No. 2 PP 143-148.
https://customslawyer.wordpress.com/2014/06/21/keadilan-dalam-perspektif-
islam/
https://umma.id/article/share/id/1002/272772
19