Anda di halaman 1dari 49

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM


ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA PENEGAKAN
HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Dinda Noviantika


NIM : E1A020022
Fakultas & Prodi: FKIP/ Pendidikan Biologi
Semester :1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya
tugas ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan sanggup
untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Sholawat dan salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammah SAW
yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh akan ilmu seperti
yang kita rasakan saat ini.
Terima kasih saya sampaikan atsa bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S. Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan tugas makalah dengan judul “Ulasan Tema Keislaman” sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan saya berkaitan dengan materi tersebut.
Penyusun, Masbagik, 12 Oktober 2020

NAMA: DINDA NOVIANTIKA


NIM: E1A020022

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ………………………………………………………………………………… i


KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………..…… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………. iii

BAB I. Tauhid: Keistimewaan&Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam…………1


BAB II. Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits ………………………......
9
BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits ………………………………………… 15
BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits) ……………,,…….
18
BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta
Keadilan Hukum dalam Islam ………………………………………………………… 21

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………,… 28


LAMPIRAN…………………………………………………………………………………………. 29

iii
BAB I

KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

A. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam
surat  al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai


Tuhannya?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu
selain aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti
berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun
atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam
bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’:
aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi
Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang


dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan
diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri,
meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya
dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).

1
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk
apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis,
tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti
mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia)
mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan
dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang
bernama Allah.

C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1.    Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik
yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan
yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-
mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson
Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:

a.     Dinamisme

             Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan
yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada
benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana
tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b.    Animisme

2
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya
peran roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah
mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang
apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek
negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang
sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

 c.    Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena


terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian
disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya.
Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air,
ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

d.    Henoteisme

       Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh
karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai
kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih
definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan,
namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk
satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

 e.    Monoteisme

       Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam


monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max


Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka

3
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap
Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat
mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan
bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah
monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993:
26-37).

2.    Pemikiran Umat Islam

      Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang
menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah
menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan.
Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa
Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah
dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah
Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi
formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-
Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang
Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok
mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu
Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga
kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya.

4
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi
terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah
Usman

2
menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya
terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan
semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.  Dendam yang
dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan  darah, menjadi
motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara
dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok
Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan
pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak.
Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu
pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa
perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua
kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan
keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan
kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat
Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2)
Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan


menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya.
Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun
pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah,
sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka
mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َفأُولَئ‬


َ ‫ِك ُه ُم ْال َكافِر‬
‫ُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran),
maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain
membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik

5
(pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-
Bashry.

2
Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang 
yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah
mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim
perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar.
Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati,
sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan
pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah
bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang
dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan
jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara
keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar,
terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat
dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu,
karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik
tersebut Wasil bersama beberapa orang  yang sependapat dengannya memisahkan diri dari
kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama
Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari
kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok
MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang


diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu,
yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah
terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

6
Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban.
Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga
dan

2
wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-
pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu
kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat
(sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak
Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang
baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam
surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di
sebagaian umat Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi
penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang
mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya
ada dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi
ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula
berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165,
sebagai berikut:

ِ ‫ُون هَّللا ِ أَ ْندَ ا ًدا ُي ِحبُّو َن ُه ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ ‫اس َمنْ َي َّتخ ُِذ مِنْ د‬
ِ ‫َوم َِن ال َّن‬

 Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang
mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum

7
turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29).
Adanya nama

2
Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya
Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-
lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan
yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam
mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika
konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka
yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-
Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ ‫ْس َو ْال َق َم َر َل َي ُقولُنَّ هَّللا ُ َفأ َ َّنى ي ُْؤ َف ُك‬


‫ون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
wَ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّشم‬ ِ ‫َولَئِنْ َسأ َ ْل َت ُه ْم َمنْ َخلَقَ ال َّس َم َوا‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu
beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah
jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam
kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur
alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas
perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai
Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

8
2
BAB II
SAINS DANTEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

A. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama lain.
Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang
diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai
hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada
gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang
proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka
kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).

Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat
praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi
apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.

Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi
stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima
puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi
SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi alQur’an
tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian
manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan
mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar
berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam
adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan
membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya.

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-
Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir
sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi


ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal

9
ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir:
27;

2
al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca
(al‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat
jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl:
11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-
albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).

Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari
wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia
Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)

Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti menghimpun.
Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak.
Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)

Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan
ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak
mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam
meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan
beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut:

1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui.”

Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.

2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya
berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada surat
Fathir ayat 27-28:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami
hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-

10
binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya
(dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan
dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”)
dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha
Mulia.

3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata: Sesungguhnya
aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani,
1993: 44-45).
Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia,
karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini.
Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab manusia
sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah
‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-
Jatsiyah ayat 13:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”

Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu
banyak ditemukan di dalam al Qur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan
semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga
manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan
pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu.
Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 1516 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh
angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di
sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban
atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada
sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam
pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang
panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran
udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain.
Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga

11
benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan
sunnatullah yang dalam ilmu

2
pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang
aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu
menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan
kecepatan tertentu.

Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia
telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri
manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an
juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana
memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang
sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk
ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks
sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut.

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama alam
sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di
dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit
dan di bumi….”

Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar


memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama
terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20).
Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia


diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana
mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”

Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran terhadap


gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena alam
melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional.
Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 1112.

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir.

12
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-
bintang itu

2
ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang sesungguhnya yang
dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-
pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan
pengukuran itu.

Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah


rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap
gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang
menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang
Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.

Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang


yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki ilmu
(keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika, fisika, kimia,
astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk
memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta
didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan
tatanan (order) di alam ini tersingkap.

B. Berikut ini beberapa hadits tentang sains dan teknologi :


BUKHARI No. 3902 “TRANSPORTASI”

‫صلَّىاللَّه َُعلَي ِْه َو َسلَّ َم ِم ْنأَجْ أِل َ َّن ُه‬


َ ‫ىع ْنه َُرسُواُل للَّ ِه‬َ ‫ُس ْين َِح َّد َث َنا ُع َم ُر ْب ُن َح ْفصٍ َح َّد َث َناأَ ِبي َع ْنعَاصِ م ٍَع ْن َعام ٍِر َع ْنا ْبن َِعبَّاسٍ َرضِ َياللَّ ُه َع ْن ُه َما َقا َلاَل أَ ْد ِريأ َ َن َه‬
َ ‫َح َّد َثنِيم َُح َّم ُد ْب ُنأ َ ِبيالح‬
‫( َكا َن َحمُولَ َةال َّناسِ َف َك ِر َهأ َ ْن َت ْذ َه َب َحمُولَ ُت ُهمْأ َ ْو َحرَّ َم ُهفِي َي ْوم َِخ ْي َب َرلَحْ َم ْال ُحم ُِراأْل َهْ لِ َّي ِة‬BUKHARI – 3902)

Artinya : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abul Husain; Telah menceritakan
kepada kami Umar bin Hafsh; Telah menceritakan kepada kami ayahku dari ‘Ashim dari
‘Amir dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma mengatakan; “Saya tidak tahu, apakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang keledai dikarenakan ia kendaraan
masyarakat sehingga beliau tidak ingin jika kendaraan (sarana transportasi) mereka lenyap,
atau memang beliau mengharamkannya pada hari Khaibar khusus daging keledai jinak?”

Sanand : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abul Husain; Telah menceritakan
kepada kami Umar bin Hafsh; Telah menceritakan kepada kami ayahku dari ‘Ashim dari
‘Amir dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma mengatakan;

13
2
BUKHARI No. 2124 PERTANIAN

َ‫صلَّىاللَّ ُه َعلَي ِْه َو َسلَّ َم َخ ْي َب َر ْال َيهُو َدأَ ْن َيعْ َملُو َه َاو َي ْز َرعُو َه َاول‬ َ ‫ىرسُواُل للَّ ِه‬ َ ‫ُوسى ْب ُنإِسْ مَاعِ يلَ َح َّد َث َناج َُوي ِْر َي ُة ْب ُنأَسْ َما َء َع ْن َنافِ ٍع َع ْن َع ْبدِاللَّ ِه َرضِ َياللَّ ُه َع ْن ُه َقاأَل َعْ َط‬ َ ‫َح َّد َث َنام‬
‫ار‬ِ ‫َّصلَّىاللَّ ُه َعلَي ِْه َو َسلَّ َم َن َهى َع ْنك َِرا ِء ْال َم َز‬ َ ‫ج َح َّد َثأ َ َّنال َّن ِبي‬
ٍ ‫ظه َُوأَ َّن َراف َِع ْب َن َخدِي‬ُ ‫ٍسمَّا ُه َنافِ ٌعاَل أَحْ َف‬َ ‫ار َع َكا َن ْت ُت ْك َرى َعلَى َشيْ ء‬ َ َ ْ
ِ ‫هُمْ َشط ُر َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َه َاوأ َّنا ْب َن ُع َم َر َح َّد َثهُأ َّن ْال َم َز‬
‫( عِ َو َقالَ ُع َب ْيدُاللَّ ِه َع ْن َنافِ ٍع َع ْنا ْب ِن ُع َم َر َح َّتىأَجْ اَل ُه ْم ُع َم ُر‬BUKHARI – 2124)

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami
Juwairiyah bin Asma’ dari Nafi’ dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan kerjasama kepada orang Yahudi dari tanah khaibar
agar dimanfaatkan dan dijadikan ladang pertanian dan mereka mendapat separuh hasilnya.
Dan bahwa Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma menceritakan kepadanya bahwa ladang
pertanian tersebut disewakan untuk sesuatu yang lain, yang disebutkan oleh Nafi’, tapi aku
lupa. Dan bahwa Rafi’ bin Khadij menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang menyewakan ladang pertanian (untuk usaha selaian bercocok tanam). Dan
berkata, ‘Ubaidullah dari Nafi’ dari Ibnu’Umar radliallahu ‘anhuma; Hingga akhirnya ‘Umar
mengusir mereka (orang Yahudi).

Sanad : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il; telah menceritakan kepada kami
Juwairiyah bin Asma’; dari Nafi’ dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu;

BUKHARI No. 1734 “PEPOHONAN”

َ ‫ُوع ْبدِالرَّ حْ َمنِاأْل َحْ َولُ َع ْنأ َ َنسٍ َرضِ َياللَّه َُع ْن ُه َع ْنال َّن ِبي‬
‫ِّصلَّىاللَّ ُه َعلَي ِْه َو َسلَّ َم َقااَل ْل َمدِي َن ُة َح َر ٌم ِم ْن َك َذاإِلَى َك َذااَل ُي ْق َط ُع َش‬ َ ‫يدَح َّد َث َناعَاصِ مٌأَب‬
َ ‫َح َّد َث َناأَبُوال ُّنعْ َمان َِح َّد َث َنا َث ِاب ُت ْب ُن َي ِز‬
َ ‫احد ٌَث َم ْنأَحْ َد َث َحد ًَثا َف َعلَي ِْهلَعْ َن ُةاللَّ ِه َو ْال َماَل ِئ َكة َِوال َّناسِ أَجْ َمع‬
‫ِين‬ َ ‫( َج ُر َه َاواَل يُحْ د َُثفِي َه‬BUKHARI – 1734)

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu’man telah menceritakan kepada kami
Tsabit bin Tazid telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Abu ‘Abdurrahman Al Ahwal dari
Anas radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Madinah adalah
tanah suci dari ini dan ini. Yaitu tidak boleh ditebang pepohonannya dan tidak boleh berbuat
kemungkaran didalamnya. Barangsiapa yang berbuat kemungkaran (bid’ah) yang dilarang
agama didalamnya maka orang itu akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan
seluruh manusia”.

14
BAB III
3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

A. Generasi terbaik umat muslim


Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) menjelaskan kurun beliau dan
kurun para sahabatnya ialah sebaik-baik kurun secara mutlak. Tidak ada kurun yang
lebih baik daripada kurun mereka. Barang siapa mengatakan selain itu, maka ia
termasuk zindiq (orang sesat).

Dalam hadis ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Seorang lelaki bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Siapakah sebaik-baik
manusia?’ Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘(Yaitu) kurun, yang aku hidup
saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya’.”

Abu Burdah meriwayatkan dari ayahnya, bahwasanya ia berkata: Kami mengerjakan


salat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selepas salat, kami
berkata: “Bagaimana kalau kita duduk menunggu untuk mengerjakan ‘Isyâ bersama
beliau?” Maka kami pun sepakat duduk menunggu. Lalu beliau keluar menemui kami,
beliau berkata: “Apakah kalian masih di sini?”

Kami menjawab: “Wahai Rasulullah, kami mengerjakan salat Maghrib bersamamu,


kemudian kami duduk menunggu di sini agar dapat mengerjakan salat ‘Isyâ
bersamamu”.

“Bagus, sungguh tepat yang kalian lakukan itu!” sahut beliau.

Kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, biasanya beliau sering


menengadahkan wajah ke langit. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ص َحابِي أَ َم َن ٌة‬
ْ َ‫ص َحابِي َما ُيو َعدُونَ َوأ‬ ْ َ ‫وع ُد َوأَ َنا أَ َم َن ٌة أِل‬
ْ َ‫ص َحابِي َفإِ َذا َذ َه ْبتُ أَ َتى أ‬ َ ‫اء َما ُت‬ َّ ‫ت ال ُّن ُجو ُم أَ َتى ال‬
َ ‫س َم‬ َّ ‫ال ُّن ُجو ُم أَ َم َن ٌة لِل‬
ِ ‫سمَاءِ َفإِ َذا َذ َه َب‬
َ‫وعدُون‬ َ ‫ابي أَ َتى أ ُ َّمتِي َما ُي‬ َ ‫أِل ُ َّمتِي َفإِ َذا َذه‬
ْ َ‫َب أ‬
ِ ‫ص َح‬

“Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu

15
lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi
sahabatku, jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku.

2
Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan
datang apa yang telah dijanjikan atas umatku”.

Rasulullah bersabda

،‫ ُث َّم الَّذِينَ َيلُو َن ُه ْم‬،‫ ُث َّم الَّذِينَ َيلُو َن ُه ْم‬،‫اس َق ْرنِي‬


ِ ‫ َخ ْي ُر ال َّن‬:َ‫سلَّ َم َقال‬َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ َع ِن ال َّن ِب ِّي‬،ُ‫َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ بن مسعود َرضِ َي هَّللا ُ َع ْنه‬
‫ ومسلم‬،‫ رواه البخاري‬.ُ‫شهَادَ َته‬ َ ‫ َو َيمِي ُن ُه‬،ُ‫شهَادَ ةُ أَ َح ِد ِه ْم َيمِي َنه‬
َ ُ‫ُث َّم َي ِجي ُء أَ ْق َوا ٌم َت ْسبِق‬

Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah masaku, lalu
orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka. Selanjutnya datang
kaum-kaum yang kesaksian salah seorang mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya
mendahului kesaksiannya” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Tetapi diantara umat Rasulullah, terdapat beberapa generasi terbaik, sebagaimana beliau
sebutkan dalam sebuah hadits mutawatir, beliau bersabda :

“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni generasi
tabi’ut tabi’in).” (mutawatir. HR. Bukhari dan yang lainnya)

Ketiga Generasi Terbaik Umat Islam :

1. Sahabat

Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam


dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia
pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan
berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya,
berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam
pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat
yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah
bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat
Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151).

16
2. Tabi’in

Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau
setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta
melihat para sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para sahabat Rasulullah.
Rasulullah bersabda tentang keutamaan generasi tabiin:

َ ‫ ُث َّم الَّذ‬، ‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬


‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬ َ ‫ ُث َّم الَّذ‬، ‫اس َقرْ نِى‬
ِ ‫َخ ْي ُر ال َّن‬

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya,


kemudian generasi berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Salah seorang terbaik dari generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang
pernah mendatangi rumah Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi
sahabat, tetapi tidak berhasil bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah
disebutkan secara langsung melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di
bumi tapi terkenal di langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar
dan Ali, untuk mencari Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan
orang yang memiliki doa yang diijabah oleh Allah.

Adapun diantara orang-orang yang tergolong generasi tabi’in lainnya yakni


Umar bin Abdul Aziz, Urwah bin Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein, Muhammad
bin Al Hanafiyah, Hasan Al Bashri dan yang lainnya.

3. Tabi’ut Tabi’in
Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau
setelah mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan
generasi tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para tabi’in.
Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini adalah Imam Malik
bin Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Saad dan
yang lainnya.
Merekalah generasi terbaik umat ini, maka selayaknya kita sebagai umat
muslim yang datang belakangan untuk mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-
kitab yang telah mereka tuliskan. Semoga kita bisa mengikuti para generasi terbaik
umat ini.

17
17
BAB IV
PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)

A. Pengertian salaf

Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan,
keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan,
“Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak
kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka
generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu
yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini
serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala
mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka
semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi
orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan
mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana
perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan
mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang
dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan
tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau
bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik  salafmu adalah aku.” (HR. Muslim).
Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7).
Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat
seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan
orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang
bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita
semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka
kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…

Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara


bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?” . Maka
kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

18
Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara
objek

17
penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan
tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total
dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain.
Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli
agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun
menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan
secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas
bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh
Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).

B. Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama

Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang
mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:

Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).

Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam
Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi
bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf


berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu
‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap
dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal
umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun
yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang
yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai
salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal
Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun


Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta
meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau.

19
Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-
Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan
Allah dengan

17
penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan
memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai
keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

wَ ‫َّ ِذ‬w‫ ال‬w‫ ُث َّم‬w،w‫ ْم‬w‫ ُه‬w‫يلُو َن‬wَ ‫ين‬w


«ww‫ ْم‬w‫ ُه‬w‫يلُو َن‬wَ ‫ين‬w wَ ‫َّ ِذ‬w‫ ال‬w‫ ُث َّم‬w،w‫رنِي‬w
wْ ‫ َق‬w‫س‬ wَ
wِ ‫َّا‬w‫ر الن‬wُ ‫ي‬wْ‫»خ‬

 “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka


(tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

w،w‫و َن‬w‫ ُن‬w‫ َم‬w‫ ُْؤ َت‬w‫ال ي‬ wَ ‫و‬w‫ ُد‬w‫ َه‬w‫ ْش‬w‫ْس َت‬w ‫ال ُي‬
َ ‫و‬wَ w‫و َن‬w‫و ُن‬w‫ ُخ‬w‫ َو َي‬w، ‫ن‬w wْ ‫نَّ َب‬wِ‫ إ‬w‫ َّم‬w‫ ُث‬w،w‫ ْم‬w‫ ُه‬w‫ُو َن‬w‫ن َيل‬w
َ ‫ َو‬w‫ن‬wَ ‫و‬w‫ه ُد‬wَ ‫ش‬wْ ‫ي‬wَ w‫ما‬wً ‫و‬wwْ ‫م َق‬wْ ‫ك‬wُ ‫د‬wَ ‫ع‬w wَ ‫ي‬w‫ الَّ ِذ‬w‫ َّم‬w‫ ُث‬w،w‫ ْم‬w‫ ُه‬w‫ُو َن‬w‫ن َيل‬w wَ ‫ِذي‬w َّ‫ ال‬w‫ َّم‬w‫ ُث‬،w‫ي‬w‫ْر ِن‬w w‫ي َق‬wِ‫ت‬w‫ر أ ُ َّم‬wُ ‫ي‬wْ‫خ‬wَ
‫ن‬w
wُ ‫ َم‬w‫ ال ِّس‬w‫ه ُم‬w wِ ‫ي‬w‫ُر ِف‬w w‫ َه‬w‫ ْظ‬w‫ َو َي‬w،w‫و َن‬w‫ال َي ُف‬ wَ ‫ن َو‬w wَ ‫ذ ُرو‬w wُ ‫ ْن‬w‫َو َي‬

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup
pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian
akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya,
dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim (2533))

Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap
orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang
menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut
Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-
tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian
akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta
pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai
dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun
jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa
dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka
bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan
saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33
dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).

20
17
BAB V
AJARAN DAN TUNTUTAN TENTANG BERBAGAI, PENEGAKAN SERTA KEADILAN
HUKUM DALAM ISLAM

A. Bebagi dalam islam


Dalam Islam sedekah atau berbagi kepada sesama adalah salah satu bukti
bahwa hambanya bertakwa kepada Allah SWT. Karena Rasulullah dalam Hadis HR.
Tirmidzi dan Hadis Hasan Shahih bersabda, “bertakwalah kepada Allah SWT di mana
pun engkau berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut
akan menghapuskan keburukan. Dan pergauilah manusia dengan akhlak yang mulia.”
Hadis tersebut mengandung tiga wasiat Nabi yang sangat penting, yakni wasiat tentang
hubungan secara vertikal manusia kepada Allah (habluminallah) dan hubungan secara
horizontal sesama manusia (habluminannas).
Tidak menunda melakukan amal soleh adalah wasiat Nabi yang kedua. Dosa kecil dapat
terhapuskan dengan perbuatan baik, yakni bersedekah. Ketika kamu terjerumus dalam dosa
dan maksiat wajib bagimu untuk segera bertaubat. Dengan cara tidak melakukannya lagi
dan salah satunya dengan  bersedekah kepada orang lain yang membutuhkan.
Wasiat Nabi yang ketiga adalah memiliki akhlak mulia. Akhlak mulia dalam arti hubungan
antar sesama manusia (habluminannas). Cara yang paling mudah adalah dengan
tersenyum diiringi wajah yang berseri ketika bertemu dengan orang lain dan bertegur sapa.
Karena itu, Rasulullah mengaitkan antara akhlak mulia dengan iman yang sempurna.

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya,” HR. Tirmidzi
dan hadis Shahih. Dengan memiliki akhlak yang mulia, otomatis akan dicintai oleh manusia
lainnya, terlebih lagi Allah dan Rasulullah.
Bukhari juga menyebutkan Rasulullah bersabda, “menyingkirkan batu, duri dan tulang dari
tengah jalan adalah sedekah bagimu.” Lalu, Rasulullah bersabda dalam HR Ibnu Majah,
“tidaklah ada satu pekerjaan yang paling mulia dilakukan oleh seseorang daripada
pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahkan
hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya melainkan akan menjadi sedekah.”

1. Mamfaat berbagi
Salah satu pahala berbagi adalah dibuat gembira oleh Allah SWT pada hari kiamat. Nabi
SAW berpesan, “Barangsiapa yang menjumpai saudaranya yang Muslim dengan (memberi)
sesuatu yang disukainya agar dia gembira, maka Allah akan membuatnya gembira pada
hari kiamat.” (HR. Thabrani). Gembira pada hari kiamat adalah dambaan setiap orang.

21
Selain itu, berbagi juga akan mendapat pahala besar. Allah SWT tegaskan, “Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah
telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan yang menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. al-
Hadid/57: 7).

2. Hadist tentang sedekah atau berbagi

Hadits sedekah yang paling utama diriwayatkan Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah
Saw bersabda, "Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari di saat terbitnya
matahari: berbuat adil terhadap dua orang (mendamaikan) adalah sedekah; menolong
seseorang naik kendaraannya, membimbingnya, dan mengangkat barang bawaannya
adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah; Berkata yang baik juga termasuk
sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan sholat adalah sedekah.
Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedekah yang paling mudah berupa tenaga. Dalam buku 'Dahsyatnya Sedekah' oleh
Ahmad Sangid, B.Ed., M.A, bentuk-bentuk sedekah dapat dilihat dari beberapa hadits Nabi
Muhammad Saw sebagai berikut:

"Hendaknya setiap muslim bersedekah. "Para sahabat bertanya, "Wahai Rasul, bagaimana
orang-orang yang tidak memiliki sesuatu bisa bersedekah?" Rasulullah Saw menjawab,
"Hendaklah ia berusaha dengan tenaganya hingga ia memperoleh keuntungan bagi dirinya,
lalu ia bersedekah (dengannya)." Mereka bertanya lagi, "Jika ia tidak memperoleh sesuatu?
"Jawab Rasulullah Saw, "Hendaklah ia menolong orang yang terdesak oleh kebutuhan dan
yang mengharapkan bantuannya."

Mereka bertanya lagi, "Dan jika hal itu tidak juga dapat dilaksanakan?" Rasulullah Saw
bersabda, "Hendaklah ia melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan, karena hal
itu merupakan sedekahnya." (HR. Ahmad bin Hambal).

B. Penegakan hukum dan keadilan dalam islam

"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.

22
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." [Al Maa-idah:8]

17
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu menegakkan kebenaran
dan berlaku adil.

Seorang wanita di jaman Rasulullah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu
Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui
Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar
penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda : "Apakah
kamu akan minta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?"
Usamah lalu menjawab, "Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah." Pada sore
harinya Nabi Saw berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah.
Inilah sabdanya : "Amma ba'du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan
bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tidak dihukum), tetapi jika yang mencuri
seorang yang miskin maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam
genggamanNya. Apabila Fatimah anak Muhammad mencuri maka aku pun akan
memotong tangannya." Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh
memotong tangan wanita yang mencuri itu. (HR. Bukhari)

Begitulah sabda Nabi Muhammad. Hukum harus ditegakkan tidak peduli orang itu kaya
atau miskin. Hukum harus dijalankan tidak peduli dia orang asing atau anak kita sendiri.

Tidak boleh uang menyebabkan seseorang lolos dari hukuman. Tidak pantas jika karena
uang atau hal lainnya akhirnya yang salah jadi benar dan yang benar disalahkan. Jika
tidak, maka bangsa itu akan rusak.

Sering seorang pejabat atau penegak hukum tidak dapat berlaku adil jika dia mendapat
uang sogokan atau yang dihukum adalah keluarganya sendiri. Padahal itu adalah
perbuatan dosa.

Pernah seorang Yahudi di Mesir yang menolak digusur rumahnya untuk perluasan
masjid oleh Gubernur Mesir, ‘Amr bin ‘Ash. Padahal dia dapat ganti rugi yang pantas.
Akhirnya orang Yahudi itu pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin
Khaththab ra.

Setelah menceritakan masalahnya, Umar ra mengambil sebuah tulang unta kemudian


menorehkan garis lurus dari atas ke bawah kemudian dari kiri ke kanan sehingga
berbentuk silang. Oleh Umar ra, tulang itu diserahkan kepada orang Yahudi tersebut.

23
17
"Bawalah tulang ini dan berikan kepada Gubernur Mesir, ‘Amr bin ‘Ash. Katakan ini dari
Umar bin Khaththab", begitu kata Umar ra.

Orang Yahudi itu meski merasa aneh, namun memberikan tulang itu kepada ‘Amr bin
‘Ash. Muka ‘Amr bin ‘Ash segera pucat pasi begitu melihat tulang yang digaris dengan
pedang itu. Dia segera mengembalikan rumah orang Yahudi tersebut tanpa pikir
panjang.

Orang Yahudi itu bertanya mengapa ‘Amr begitu melihat tulang itu begitu ketakutan dan
segera mengembalikan rumahnya?

‘Amr bin ‘Ash menjawab, "Ini adalah peringatan dari ‘Umar bin Khaththab agar aku selalu
berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus,
maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horisontal di tulang ini.

Begitulah sikap seorang Kepala Negara. Dia harus mau mendengar keluhan rakyatnya
yang digusur semena-mena oleh anak buahnya. Dia harus memiliki rasa keadilan dan
kepedulian terhadap rakyatnya.

Seorang pemimpin harus berani menindak anak buahnya yang bersikap sewenang-
wenang dan membela rakyatnya yang dizalimi. Tidak boleh membiarkan rakyatnya
terlunta-lunta dan menderita karena kezaliman atau ketidak-mampuan anak buahnya.

Menjadi seorang penegak hukum atau hakim sangat berat. Dari 3 golongan, 2 golongan
masuk neraka, dan hanya satu golongan saja yang masuk surga.

Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan
hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum
dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi
tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan
perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak
mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia
juga masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi)

Hakim yang adil, masuk ke surga. Sebaliknya hakim yang zhalim masuk neraka.

Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau

24
neraka. (HR. Abu Na'im dan Ad-Dailami)

Seorang hakim tidak bisa membiarkan perasaan atau emosinya mempengaruhi


keputusannya.

Janganlah hendaknya seorang hakim mengadili antara dua orang dalam keadaan
marah. (HR. Muslim)

Seorang hakim harus mendengarkan seluruh keterangan dari semua pihak yang
bersengketa. Tidak boleh berat sebelah.

Bila dua orang yang bersengketa menghadap kamu, janganlah kamu berbicara sampai
kamu mendengarkan seluruh keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu
mendengarkan keterangan dari orang pertama. (HR. Ahmad)

Saksi Palsu atau berbohong adalah dosa besar. Bahkan Nabi sampai menyamakannya
dengan dosa syirik. Oleh karena itu membuat seseorang bersaksi palsu baik dengan
iming-iming atau pun dengan intimidasi/penyiksaan adalah dosa yang besar.

Salah satu dosa paling besar ialah kesaksian palsu. (HR. Bukhari)

Rasulullah Saw bersabda : "Disejajarkan kesaksian palsu dengan bersyirik kepada


Allah." Beliau mengulang-ulang sabdanya itu sampai tiga kali. (Mashabih Assunnah)

Nabi Saw mengadili dengan sumpah dan saksi. (HR. Muslim)

Terkadang ada orang yang ingin menzalimi seseorang dengan memakai pengacara
hitam yang pintar bicara dan pandai "mengatur" kasus. Padahal nerakalah imbalan bagi
mereka.

Sesungguhnya aku mengadili dan memutuskan perkara antara kalian dengan bukti-bukti
dan sumpah-sumpah. Sebagian kamu lebih pandai mengemukakan alasan dari yang
lain. Siapapun yang aku putuskan memperoleh harta sengketa yang ternyata milik orang
lain (saudaranya), sesungguhnya aku putuskan baginya potongan api neraka. (HR.
Aththusi)

Jika kita mengetahui satu kejadian penting yang berkaitan dengan satu kasus hukum,

25
hendaknya kita bersaksi di depan hakim.

Maukah aku beritahukan saksi yang paling baik? Yaitu yang datang memberi kesaksian
sebelum dimintai kesaksiannya. (HR. Muslim)

Dalam Islam, kejahatan yang keji seperti pembunuhan dan perkosaan hukumannya
adalah hukuman mati.

Dari Anas Ibnu Malik ra bahwa ada seorang gadis ditemukan kepalanya sudah retak di
antara dua batu besar, lalu mereka bertanya kepadanya: Siapakah yang berbuat ini
padamu? Si Fulan? atau Si Fulan? Hingga mereka menyebut nama seorang Yahudi,
gadis itu menganggukkan kepalanya. Lalu ditangkaplah orang Yahudi tersebut dan ia
mengaku. Maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk meretakkan kepalanya di antara
dua batu besar itu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Masalah pertama yang
akan diputuskan antara manusia pada hari kiamat ialah masalah darah." Muttafaq Alaihi.

Dari Ibnu Umar ra bahwa Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling
durhaka kepada Allah ada tiga: Orang yang membunuh di tanah haram, orang yang
membunuh orang yang tidak membunuh, dan orang yang membunuh karena balas
dendam jahiliyyah." Hadits shahih riwayat Ibnu Hibban.

Pencurian dengan nilai di bawah ¼ dinar (kurang dari 1 gram emas) atau sekarang di
bawah Rp 375 ribu tidak dikenakan hukuman.

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

Rasulullah saw. memotong tangan pencuri dalam pencurian sebanyak seperempat dinar
ke atas. (Shahih Muslim No.3189)

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

Pada zaman Rasulullah saw. tangan seorang pencuri tidak dipotong pada (pencurian)
yang kurang dari harga sebuah perisai kulit atau besi (seperempat dinar) yang keduanya
berharga. (Shahih Muslim No.3193)

26
17
Tapi meski tidak dihukum, barang curian harus dikembalikan.

Oleh karena itu kasus nenek berumur 55 tahun yang dituduh mencuri 3 biji Kakao senilai
Rp 2.100 tidaklah layak diterima oleh polisi untuk diteruskan ke pengadilan. Apalagi
barang curiannya sudah dikembalikan.

Bahkan Khalifah Umar ra pernah membebaskan seorang miskin yang mengambil buah
yang jatuh di jalan. Sebaliknya Umar ra menghukum orang kaya yang melaporkan hal itu
karena orang itu tidak berperi-kemanusiaan dengan membiarkan tetangganya yang
miskin kelaparan.
Itulah yang seharusnya kita lakukan. Hukum itu adalah untuk peri kemanusiaan dan
keadilan. Bukan sekedar menghukum tanpa ada rasa kemanusiaan sedikitpun.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan,


1989), h. 16-21, 54-56.
2. Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001), h. 28-39.
3. Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.
4. Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah, 1981), h.
9-11.
5. Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1983), h. 39-101.
6. Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h. 67-77.
7. Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 55-
152.
8. Jamal Fakhri Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung . Sains Dan Teknologi
Dalam Al-Qur’an Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran. Alamat: Jl. Raden Intan No.
23 Tanjungkarang, Lampung .
9. https://republika.co.id/berita/qbmuvy374/pahala-berbagi.
10. https://www.kompasiana.com/nizami/cara-islam-menegakkan-hukum-dan-
keadilan_54ff2ecea33311fb4550fb20.

28
LAMPIRAN

• Al quran : sebuah kitab suci utama dalam agama Islam, yang umat Muslim percaya


bahwa kitab ini diturunkan oleh Tuhan, (bahasa Arab: ‫هللا‬, yakni Allah) kepada Nabi
Muhammad.
• Tauhid : keyakinan bahwa Tuhan penguasa Alam semesta hanyalah satu, tidak
beranak, tidak beristri, tidak bersaudara
• Kalbu : hati, paangkal perasaan
• Sufi : orang yg mendalami ipmu tasawwuf
• Sains : pengetahuan
• Ensiklopedia : karya referensi atau ringkasan yang menyediakan rangkuman informasi
dari semua cabang pengetahuan atau dari bidang tertentu.
• Iqra : bacalah, merupakan firman Allah Swt. Untuk membaca.
• Tekanan : suatu gaya untuk mengukur kekuatan.
• Fisika : adalah ilmu mengenai alam, yang mempelajari unsur-unsur dasar
pembentuk alam semesta, gaya-gaya yang bekerja di dalamnya, dan akibat-akibatnya;
mencakup rentang yang luas
• Kimia : cabang dari ilmu fisik yang mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, dan
perubahan materi
• Biologi : ilmu hayat adalah kajian tentang kehidupan, dan organisme hidup, termasuk
struktur, fungsi, pertumbuhan, evolusi, persebaran, dan taksonominya
• Matematika : ilmu yang mempelajari besaran, struktur, ruang, dan perubahan.
• Teknologi : keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan
bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia
• Hadits : adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam.
• Leluhur : nenek moyang (yg di leluhurkan)
• Faedah : mamfaat dari sesuatu
• Bid'ah : adalah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah
ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan

29

Anda mungkin juga menyukai