Anda di halaman 1dari 115

22 Hari Bercerita

Buku Kedua Kumpulan Cerita Anak

Oleh:
Bellanissa B. Zoditama, Orizuka, Haya Aliya Zaki, Nia,
Priscila Stevanni, Debby Cynthiana, Indriana, Adyta Purbaya,
Hariadhi, Dina Antonia, Ollie, Diana Siti Khadijah,
Irene Wibowo, Andi Maulida Rahmania, Dini Kaeka Sari,

2
Judul : 22 Hari Bercerita

Copyright © 2011, Indonesia Bercerita


http://IndonesiaBercerita.org
http://blog.IndonesiaBercerita.org
Twitter: @IDcerita

Desain Sampul:
Zulsdesign Studio

3
PENGANTAR

Mendidik adalah sebuah panggilan hati. Jika


pendidikan anak merupakan panggilan yang niscaya
dari dalam diri, apa yang akan kita lakukan untuk
menjawab panggilan tersebut?

Setiap orang wajib mendidik anaknya. Setiap orang


berhak ikut terlibat dalam mendidik anak bangsa.
Apakah harus menyiapkan bekal mahal untuk
mendidik? Apakah harus menuntaskan pendidikan
tinggi untuk berpartisipasi? Apakah harus
mempunyai kekayaan berlimpah untuk menjadi
peduli? Tidak. Bahkan setiap nafas dan jentikan
jaripun punya arti jika kita mau melakukannya.
Karena itulah Indonesia Bercerita memilih langkah
termudah, namun punya makna. Mengupayakan dan
membangun cerita dan kebiasaan bercerita untuk
terlibat dalam mendidik anak bangsa.

Kenapa memilih cerita sebagai media? Dalam


pembentukan budaya, dimulai dari penciptaan
perilaku berpola. Perilaku apa yang mudah untuk
dijadikan pola? Tentu perilaku berulang yang
mendatangkan kesenangan. Karena itulah Indonesia
Bercerita memilih media cerita sebagai langkah
mudah untuk semua bisa terlibat dalam mendidik
anak bangsa.

4
Cerita jadi media mendidik sekaligus hiburan. Telah
lama cerita ditinggalkan hanya sebagai kesenangan,
tanpa makna yang menjadi muatan. Padahal cerita
adalah cara halus nan ampuh untuk menanamkan
nilai, menasehati dan mengubah perilaku tanpa
menyakiti.

Cerita juga media yang menjaga anak tetap bisa


berpikir secara terbuka. Keterbukaan atas berbagai
kemungkinan merupakan sumber kreativitas.
Sebenarnya ada dua cara mendidik sederhana yang
membuat sistem pada diri anak tetap terbuka, yaitu
bertanya dan bercerita. Pertanyaan membuat anak
menciptakan jawaban. Pada saat anak menciptakan
penejelasan versi mereka sendiri, anak-anak sedang
menciptakan sistem pribadinya. Instruksi dan
perintah berefek sebaliknya, anak ditata dan
dipolakan, sehingga membunuh kreativitasnya.
Cerita juga punya sifat yang sama. Cerita berjalan
pada track yang beriringan dengan anak dalam
menciptakan sistem pribadi mereka sendiri. Ketika
mendapatkan cerita, anak akan memaknai dengan
caranya sendiri. Anak akan mengonstruksi nilai, cara
berpikir dan merasa, serta berperilakunya, seiring
dengan cerita yang disimaknya. Karena itulah cerita
menjadi media menyenangkan yang ringan, tapi
dahsyat dampaknya.

Inilah yang menjadi landasan, Indonesia Bercerita


menggunakan cerita untuk mengemban misi

5
pendidikan untuk anak bangsa. Indonesia
memberikan cerita dan podcast gratis untuk
dimanfaatkan dalam mendidik. Selain itu, Indonesia
Bercerita juga berbagi buku elektronik gratis,
melakukan workshp, pelatihan dan pendampingan
untuk para pendidik dan orang tua.

Indonesia Bercerita merupakan komunitas ‘pendidik’


yang membuat dan menggunakan cerita. Karena itu,
cerita diciptakan, dikelola dan dimanfaatkan untuk
saling berbagi satu dan yang lainnya. Istilahnya,
cerita dari, oleh dan untuk kita semua.

Dengan semangat berbagi, Indonesia Bercerita


memfasilitasi dengan berbagai program penciptaan
(#22hari220cerita, Program Cerita #FAYA) dan
program berbagi sebagai tindak lanjutnya
(#socialdistribution).

Program yang dijalankan Indoensia Bercerita telah


berhasil menghimpun 30 cerita anak dan 22 podcast
cerita anak. Cerita anak dapat diakses di page
Indonesia Bercerita
(http://www.facebook.com/IndonesiaBercerita) dan
podcastnya bisa dinikmati dan diunduh di
http://indonesiabercerita.org/, sedangkan berbagai
pengetahuan tentang cerita dan bercerita dapat
disimak di http://blog.indonesiabercerita.org/.

6
Cerita-cerita yang masuk ke meja kerja Indonesia
Bercerita direview dengan menggunakan pohon
karakter. Apa itu pohon karakter? Pohon karakter
adalah figur pohon sebagai personifikasi dari
manusia yang mempunyai karakter. Dalam pohon
karakter terdapat karakter-karakter yang secara
keseluruhan akan membangu diri anak. Karakter-
karakter itu diletakkan pada posisi yang
mencerminkan setiap bagian pohon. Ada karakter
akar, karakter batang, karakter daun dan karakter
buah. Kesamaan sifat itulah yang menyebabkan
setiap karakter yang membangun anak juga punya
tempat di pohon karakter.

7
Kategori Karakter Elemen dan Pengertian
Buah : a. Kreatif: Kemauan untuk
menciptakan
Karakter yang menjadi
benda/peralatan/cara yang
dasar pengembangan
baru, dan berbeda
berkelanjutan bagi
seorang anak b. Kemauan belajar: Kemauan
untuk mencari pengetahuan
secara berkelanjutan
c. Kolaborasi: Kemauan untuk
berperan aktif dalam tim
sesuai kekuatan unik diri dan
respek terhadap kekuatan
unik anggotatimyang lain.
Daun: a. Empati: Kemauan

8
Kategori Karakter Elemen dan Pengertian
Karakter yang menjadi mendengarkan dan peduli
membentuk perilaku terhadap yang dirasakan
seorang anak dalam orang lain
berinteraksi sosial
b. Ramah : Kemauan untuk
menunjukkan ekspresi
positif dan persahabatan
pada orang lain
c. Penyayang: Kemampuan
menunjukkan rasa sayang
pada orang lain
d. Berbagi : Kemauan untuk
berbagi dengan tujuan
membantu orang lain
Batang – Dahan: a. Pengelolaan emosi:
Mengenali emosi yang
Karakter yang menjadi
dirasakan dan mau
membentuk perilaku
berusaha mengelolanya
seorang anak
secara positif
b. Motivasi diri: Mengenali
kemauannya dan mau
berjuang untuk
melaksanakan kemauan itu
c. Kemandirian: Kemauan
untuk mengerjakan aktivitas
dengan kemampuan sendiri,
tidak tergantung pada orang
lain

9
Kategori Karakter Elemen dan Pengertian
d. Rendah hati: Kesediaan
untuk mengapresiasi
perilaku dan capaian orang
lain
Akar: a. Penerimaan diri: Sadar dan
menerima kekuatan dan
Karakter yang menjadi
kelemahan diri (jujur pada
modal dasar,
diri sendiri)
melandasi jenis
karakter lainnya b. Berpikir apresiatif:
Bersyukur dan
mengapresiasi atas suatu
keadaan (diri dan orang
lain)
c. Imajinatif: Menciptakan
bayangan akan masa depan
(yang lebih baik dan
seringkali unik)
d. Rasa ingin tahu: dorongan
untuk mencari tahu atas
berbagai fenomena beserta
penjelasannya

Selain menjadi panduan Indonesia Bercerita untuk


mereview cerita, pohon karakter juga membantu
para pembuat cerita dalam menentukan karakter
apa yang akan dibangun dalam ceritanya. Pohon
karakter juga akan membantu orang tua, guru atau

10
pendamping untuk memilih cerita yang tepat buat
anak.

Hasil kerja dengan pohon karakter dalam mereview


cerita ini dapat dilihat dalam buku ini. Cerita-cerita
yang ada dalam buku ini merupakan hasil karya para
pencerita yang berkontribusi dalam komunitas
Indonesia Bercerita melalui program
#22hari220cerita. Dengan demikian, diharapkan
orang tua, guru atau pendamping dapat memilih
cerita dalam bukin ini secara tepat untuk berbagai
kebutuhan anak.

Buku kedua dari dua buku ini merupakan luncuran


pertama karya komunitas Indonesia Bercerita yang
dibukukan. Semoga kehadirannya bisa memberi
warna memikat dalam dunia cerita anak.

Segala kritik akan menjadi amunisi perbaikan dalam


berbagai program Indonesia Bercerita ke depan.
Karena itu, jangan segan-segan memberikan umpan
balik yang dapat membuat Indonesia Bercerita akan
semakin matang.

Rudi Cahyono, M.Psi

11
12
DAFTAR ISI

Surat untuk Papa 17


#pohonkarakter: Daun – Empati
Penulis: Bellanissa B. Zoditama
Twitter: @bellazoditama
Facebook: Bellanissa Brilia Zoditama

Ayah 25
#pohonkarakter: Daun – Empati
Penulis: Orizuka
Twitter: @authorizuka
Facebook: Orizuka Okke Rizka

Tiga Mantra Ajaib 27


#pohonkarakter: Daun – Ramah
Penulis: Haya Aliya Zaki
Twitter:
Facebook: Haya Aliya Zaki

Berkunjung ke Kebun Binatang 35


#pohonkarakter: Daun – Penyayang
Penulis: Priscila Stevanni
Twitter:
Facebook: Priscila Stevanni

Aku Sayang Ibuku 42


#pohonkarakter: Daun – Penyayang
Penulis: Nia
Twitter: @Khanisya
Facebook:

13
Mr. Tobiko dan Hutan Enenimon 48
#pohonkarakter: Daun – Penyayang
Penulis: Debby Cynthiana
Twitter: @bukandebi
Facebook: Debby Cynthiana Harjono

Dila ingin Memelihara Kucing 51


#pohonkarakter: Daun – Penyayang
Penulis: Indriana
Twitter: @ndindria
Facebook: Ndi Indriana

Sayang Kak Dhea 63


#pohonkarakter: Daun – Penyayang
Penulis: Adyta Purbaya
Twitter: @dheaadyta
Facebook: Adyta Purbaya

Kebun Empat Kelinci 75


#pohonkarakter: Daun – Berbagi
Penulis: Hariadhi
Twitter: @hariadhi
Facebook: Hariadhi HM

Pangeran Massak dan Raksasa di Belakang Bukit 79


#pohonkarakter: Daun – Berbagi
Penulis: Dina Antonia
Twitter: @dinantonia
Facebook: Dina Antonia

14
Cerita Selma 85
#pohonkarakter: Buah – Kemauan Belajar
Penulis: Ollie
Twitter: @salsabeela
Facebook: Ollie

Istana Sang Rajawali 91


#pohonkarakter: Buah – Kreatif
Penulis: Diana Siti Khadijah
Twitter: @andiana
Facebook: An Diana Moedasir

Batang dan Daun 98


#pohonkarakter: Buah – Kolaborasi
Penulis: Irene Wibowo
Twitter: @sihijau
Facebook: Irene Wibowo

Gelang Chita 100


#pohonkarakter: Buah – Kolaborasi
Penulis: Andi Maulida Rahmania
Twitter: @ulieulieulie
Facebook: Maulida Rahmania

Badak yang Berwarna Ungu 105


#pohonkarakter: Lingkungan sekitar
Penulis: Dini Kaeka Sari
Twitter: @dkaekas
Facebook: Dini Kaeka Sari

15
16
Surat untuk Papa
Oleh Kak Bellanissa B. Zoditama

Assalammualaikum,

Apa kabar Papa sekarang? Kata Mama, Papa


sekarang udah tenang dan bisa tersenyum terus.
Milda kangen sama Papa, padahal belom seminggu
Papa ninggalin kita. Kenapa sih Allah begitu cepat
ngambil Papa dari Milda? Milda sempet marah lho
Pa sama Allah, tapi kata Mama Milda nggak boleh
marah sama Allah, soalnya Allah itu baik karena
manggil Papa ketika Papa sakit supaya Papa nggak
menderita sakit itu terus-terusan.

Pa, sejak nggak ada Papa di sini Milda ngerasa


nggak punya temen bermain Pa. Mama sama Kak
Kinan sibuk melulu sama urusan mereka. Milda
kangen main ayun-ayunan sama Papa lagi.
Ngomong-ngomong certain dong Pa, surga itu kayak
apa sih?

17
Kapan-kapan ajak Milda ke sana ya..

Milda sayang Papa…

Amilda pun melipat surat itu dengan wajah sendu,


dia terlalu rindu dengan papanya yang baru pergi
meninggalkannya dan keluarga tiga hari yang lalu.
Untuk anak seusianya yang masih berumur 6 tahun,
Amilda belum mengerti bahwa Papa sudah tidak ada
di tengah-tengah mereka. Mama pun berusaha
untuk membuat hati Amilda ikhlas, meskipun dia
sendiri masih belum dapat menerima kepergian
suami tercintanya yang begitu cepat ini karena sakit
diabetes. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana
dia membesarkan kedua anak mereka, Kinanti dan
Amilda seorang diri. Kakak Amilda sendiri, yang
bernama Kinanti saat ini sudah duduk di kelas 3
SMP.

Amilda lekas-lekas menuju kamar Mama, untuk


menunjukkan surat yang baru saja dia tulis.

“Mamamamamamamama...” Amilda berlari-lari


sambil mengibar-ngibarkan suratnya.

“Ada apa, Sayang?” Mama sedang sibuk memainkan


keyboard laptopnya, membuat laporan keuangan
tempat ia bekerja.

Milda menunjukkan suratnya di hadapan Mama.


“Baca deh, Ma. Aku baru bikin surat buat Papa.”

18
Mama mengambil surat itu dari tangan Amilda,
kemudian ia membacanya perlahan-lahan dan
kemudian menitikkan air mata. Dia kemudian
mengelus-elus rambut Amilda dengan lembut.
“Milda, kangen sama Papa ya? Gimana kalo sekarang
kita sholat dulu dan berdoa buat Papa.”

Amilda mengangguk, dan ingin mengajak Kinanti


untuk sholat bersama mereka. Ia pun pergi dari
kamar Mama, dan memanggil Kinan yang sedang
belajar. Setelah Amilda pergi, Mama kembali
menitikkan air mata.

Keesokan harinya, Mama pergi ke makam suaminya


seorang diri, tanpa ditemani Amilda maupun Kinanti
sambil membawa surat yang dituliskan Amilda
kemarin.

“Pa, Mama ke sini bawa surat yang Milda tulis


kemarin buat Papa. Mama bacain ya, Pa…” Mama
perlahan-lahan membacakan surat dari Amilda
untuk Papa dan lagi-lagi ia menangis membaca surat
itu. “Pa, asal Papa tau, anak-anak kita jadi agak
murung sejak kepergian Papa ini, terutama Milda
karena Milda yang paling deket sama Papa. Papa
tolong bantu Mama buat ngadepin semua ini ya…
Jujur aja Mama masih belum sanggup.” Mama
mencium nisan Papa, lalu meletakkan sebuket bunga

19
mawar putih, bunga kesukaan mereka berdua.
Mama pun beranjak pergi, untuk pulang ke rumah
menyiapkan makan malam buat Kinanti dan Amilda.

Ketika Mama pulang ke rumah, dia disambut oleh


aroma masakan yang begitu sedap. Ternyata Kinanti
dan Amilda membuat sendiri menu makan malam
kali ini spesial untuk Mama. Menu makanan kali ini
adalah telur campur isi wortel dan toge, menu
favorit Mama dan Papa.

Mama terharu melihat kedua anaknya memberikan


sebuah kejutan seperti ini. Kemudian, dia memeluk
Kinanti dan Amilda, lalu mereka bertiga pun makan
malam bersama. Sehabis makan, Amilda kembali
menulis surat untuk Papa.

Hari ini Milda seneng deh Pa, soalnya Milda sama


Kak Kinan bikin kejutan buat Mama, yaitu bikin
makan malam spesial pake menu kesukaan Mama
dan Papa. Mama keliatan seneng banget, walaupun
Milda tau kalo sebenarnya Mama juga masih sedih
kayak Milda gini.

Papa, Milda kangen… Papa kapan dateng ke sini?


Apa Papa masih bisa ngeliat Milda? Milda selalu
sayang Papa…

20
Sepeninggal Papa, Mama menjadi lebih sibuk dari
biasanya, sehingga terkadang meski lembur.
Walaupun begitu, perhatiannya tidak pernah lepas
kepada kedua anaknya, meski Amilda sendiri
merasakan perubahan yang drastic dari Mama.
Amilda rindu dengan sosok Mama yang dulu.

Amilda menghampiri Mama yang sedang menonton


TV bersama Kinanti.

“Mam, besok ada pertemuan rutin orang tua di


sekolah.” ujar Amilda.

“Besok? Aduh sayang, maaf Mama nggak bisa. Besok


harus ada rapat dari pagi sampai malam. Kinanti bisa
mewakili Mama?” tanya Mama ke arah Kinanti.

“Aku bisa sih, Ma. Kan besok sekolah libur. Besok


acaranya emang jam berapa, Da?”

Ekspresi Amilda berubah. Mulutnya ditekuk, alisnya


mengerut, dan dia hanya diam membisu. Dia ingin
Mama datang langsung ke acara pertemuan orang
tua itu, karena besok akan dibacakan sebuah cerita
olehnya, untuk Mama. “Jam 11 pagi. Sebenernya
besok Amilda mau bacain cerita buat Mama. Soalnya
kata Bu guru, cerita Milda bagus. Tapi kalo Mama
tetep nggak bisa dateng juga nggak apa-apa. Biar Kak
Kinanti aja yang dateng.”

21
Amilda langsung masuk kamar dan pergi tidur, tanpa
berpamitan dengan Mama ataupun Kinanti. Terjadi
pergulatan batin di benak Mama, biar bagaimanapun
juga besok rapat yang penting dan dia harus datang,
tapi dia juga tidak mau mengecewakan Amilda. Biar
bagaimanapun juga Mama tetap harus memilih…

Keesokan paginya, saat Amilda bangun dan bersiap-


siap untuk berangkat ke sekolah, Sang Mama sudah
tidak ada di rumah. Amilda kembali merengutkan
wajah, namun dengan segera Kinanti memeluk
adiknya dan mengelus-elus rambutnya agar tidak
bersedih.

Teman-teman sekelas Amilda sudah memenuhi


ruang kelas, mereka membawa serta kedua orang
tua Amilda, hanya Amilda sendiri yang diwakili oleh
kakaknya. Dalam hatinya, Amilda masih berharap
bahwa mamanya akan datang ke sini, saat dia
membacakan cerita.

Semua murid duduk di bangkunya masing-masing,


sedangkan wali muridnya berdiri di belakang. Satu
per satu teman-teman Amilda membacakan cerita
tentang orang tua Amilda. Amilda cemas, dia masih
berharap mamanya akan datang.

Setelah beberapa temannya yang maju, kini tibalah


giliran Amilda. Amilda berdiri, dan membacakan

22
secarik kertas yang dari tadi dia pegang di
tangannya.

“Namaku Amilda, umurku 6 tahun… Aku adalah anak


bungsu dari dua bersaudara. Kata Mamaku, aku anak
yang sangat manja. Entah kenapa Mama bisa bilang
begitu, padahal aku berusaha untuk tidak menangis.
Beberapa bulan ini, ayahku telah tiada. Dia sakit, dan
harus pergi meninggalkan kami. Kata Mama, Tuhan
sayang sama Papa, sehingga Tuhan mengambilnya
dari kami secepat ini. Walaupun aku sendiri tidak
mengerti apa arti kepergian Papa, yang jelas
sekarang aku tidak bisa lagi melihat wajahnya
ataupun mendengar suaranya. Sejak kematian Papa,
Mama berubah. Dia kini sibuk luar biasa… Pulangnya
lebih malam, dan kadang dia lupa memberikan
sarapan. Walaupun begitu, aku tau perhatian Mama
tetap tercurahkan untukku dan Kak Kinanti. Mama,
adalah pahlawan… Mama berjuang untuk kami, dan
aku tidak mau membuat Mama sedih.” Amilda
menangis membaca ceritanya untuk Mama...

“Sekarang Mama tidak dapat hadir dalam acara ini,


karena ada urusan kantornya yang jauh lebih
penting. Namun aku sadar, biar bagaimana pun juga
Mama tetap sayang padaku… Mama, I Love You…”

Amilda selesai membacakan ceritanya dan


mendapat tepukan riuh rendah dari teman-teman
dan orang tua murid. Ada seseorang yang

23
memeluknya dari belakang, ternyata Mama. Tanpa
Amilda ketahui, Mama menyempatkan diri untuk
datang ke acara pertemuan ini.

“Da, Mama memang nggak mendengar semua


ceritamu. Maafin Mama ya, Sayang. Tapi Mama tau,
kalo kamu sayang sama Mama dan Papa…” Mama
menangis dalam dekapan Amilda.

Sebelum tidur malam ini, Amilda kembali menulis


surat untuk Papa, menceritakan tentang apa yang
terjadi di sekolahnya pagi ini.

Pa, hari ini ada pertemuan orang tua. Amilda pikir


Mama nggak datang, jadi Kak Kinan yang
ngewakilin Mama. Tapi ternyata Mama datang Pa,
Mama rela jauh-jauh pergi dari kantornya cuma
buat ke sekolah Milda dan denger Milda cerita.

Mama emang nggak denger semua cerita Milda tapi


Milda tetep seneng karena Mama tau betapa
sayangnya Milda sama Mama, Milda juga sayang
sama Papa kok. Ngomong-ngomong, Papa mau aku
bacain ceritanya juga nggak? Kalo mau besok pagi
aku dateng ke makam ya, Pa. Dagh Papa…

24
Ayah
Oleh Kak Orizuka

Ayah adalah seorang pegawai kantoran. Setiap hari,


ia pergi pagi dan pulang larut malam. Namun ia
selalu berangkat dengan senyum, dan pulang
dengan wajah penuh kerinduan.

“Setiap hari Ayah tak sabar ingin segera pulang,”


begitu katanya padaku dan Ibu.

Beberapa hari ini, saat pulang ke rumah, ia selalu


terlihat lelah. Ia tak lagi bermain bersamaku. Tidak
lagi memelukku. Ia hanya terduduk, melamun. Tidak
tampak lagi senyum.

Aku tidak pernah melihat Ayah yang seperti ini. Ayah


yang dibentengi asap putih sehingga aku tidak bisa
mendekat. Ayah yang hanya menenggak secangkir
besar hitam pekat. Asap itu membuatku sesak. Pekat
itu membuatku takut.

25
Sekarang, aku hanya bisa melihatnya dari jauh.
Setiap bertanya, “Ayah kenapa?” pasti dijawabnya,
“Sana sama Ibu.”

Ibu bilang, aku tidak boleh mengganggu. Aku tidak


mengganggu. Aku hanya rindu.

Ada apa, Ayah?

Tidak apa-apa jika tidak mau memberitahu. Aku akan


pinjamkan bahuku. Mungkin bahuku tidak besar
sepertimu, tapi aku mau berbagi denganmu. Mari
berbagi, seperti dulu saat Ayah berbagi tawa
denganku.

Ayah, bersemangatlah. Ayah tidak sendiri. Masih ada


aku dan Ibu, yang jauh lebih baik daripada asap dan
pekat itu.

Tersenyumlah Ayah, seperti dulu.

26
Tiga Mantra Ajaib
Oleh Kak Haya Aliya Zaki

Pangeran Albert adalah pangeran cilik yang tampan


dan pintar. Sayang, ia suka berkata kasar. Teman-
teman dan seluruh penghuni kastil pernah menjadi
korban. Begitulah, semua hanya bisa mengelus dada.
Sepertinya tak ada yang bisa mencegah ulah
Pangeran Albert.

Seperti hari ini. Pangeran Albert mengejek gaya


berjalan Bibi Dora, bibinya yang tinggal di kerajaan
tetangga. Waktu itu mereka sedang berada di acara
jamuan teh di kastil Bibi Dora. Tentu saja Bibi Dora
tersinggung. Raja Bernard, ayah Pangeran Albert,
langsung menegur Pangeran Albert.

“Albert, kalau kau terus berbicara kasar, ayah akan


menghukummu!” demikian seru Raja Bernard. “Kau
tidak boleh bermain ke Taman Groga selama tiga
hari!”

Wah, Pangeran Albert sangat menyesal. Taman


Groga adalah taman bermain favorit Pangeran

27
Albert. Di sana ada ayunan gantung, perosotan
layang, gua bersuara, dan masih banyak macam
permainan yang lain. Hukuman itu memang
menghentikan sejenak kekacauan akibat ulah
Pangeran Albert. Namun keesokan harinya,
Pangeran Albert kembali berbuat hal yang sama. Ia
tak jera.

“Tampaknya kau harus memberi perhatian lebih


pada Albert, Bernard. Ia berubah sejak ditinggal
Renata…” Tante Klara, sahabat Raja Bernard yang
cantik dan baik hati, mencoba mengajak Raja
Bernard berbicara tentang sikap Pangeran Albert.
Sesungguhnya, ia sangat sayang pada putra
sahabatnya itu. Dulu, sewaktu Ratu Renata masih
hidup, Pangeran Albert adalah anak yang manis.
Namun, semua berbalik 180 derajat ketika Ratu
Renata meninggal dunia karena sakit.

Raja Bernard menunduk resah. “Kau benar, Klara.


Kian hari ulah Albert kian menjadi-jadi. Tampaknya
putraku butuh belaian seorang ibu. Pengasuh Darli
tak bisa sepenuhnya berperan. Aku sedang
memikirkan mencari pengganti Renata. Bukan untuk
menggantikan sosok ibu di hati Albert, tapi
kehadiran ibu di sisi Albert untuk saat ini dan
seterusnya, sangat penting.”

Tante Klara mengangguk setuju. Raja Bernard


menatap Tante Klara penuh arti. Tante Klara tak tahu

28
apa sebenarnya yang ada dalam pikiran raja tampan
itu.

***

“Ssshh… Bangun! Bangun, Pangeran!” Suara halus


mengusik tidur Pangeran Albert. Pangeran Albert
mengucek matanya. Sepertinya hari belum beranjak
pagi. Ia masih sangat mengantuk. Tapi demi melihat
makhluk super kecil mengitari ujung hidungnya,
mata Pangeran Albert langsung membelalak. Olala,
makhluk apakah ini gerangan? Ukuran tubuhnya
hanya sebesar jempol ibu jari! Serbuk cahaya
memenuhi sekujur tubuh dan wajahnya yang
cemerlang. Sedangkan kedua sayap di punggung
makhluk tersebut tak henti mengepak. Sayap itu
mengeluarkan bunyi dengung.

“Hai, aku Peri Vairy! Sudah, jangan kelamaan


bengong, Pangeran! Maukah kau kuajak
berpetualang ke Negeri Impian? Negeri Impian
adalah negeri yang saaa….ngat indah!” ajak Peri
Vairy.

“A…a…apa? Ne… Negeri Impian?” ulang Pangeran


Albert terbata. Ia langsung ingat dengan dongeng-
dongeng yang selalu dibacakan ibunda Ratu sebelum
ia tidur. Mungkinkah Negeri Impian sungguh ada?
Tapi bagaimana kalau makhluk kecil ini bohong?
Apakah ia bukan makhluk jahat?

29
“Ayolah, aku tahu apa yang ada dalam benakmu!
Negeri Impian itu ada! Dan aku, makhluk paling baik
sejagat raya! Tapi agar kau bisa melalui perjalanan
ke sana dengan mulus, kau harus mematuhi syarat
yang kuajukan!” tukas Peri Vairy.

“Baiklah, aku mau! Apa syaratnya?” tantang


Pangeran Albert semangat. Keraguannya pupus. Ia
tak sabar ingin bersenang-senang. Siapa tahu setelah
berada di Negeri Impian, ia bisa melupakan
kesedihannya karena ditinggal ibunda Ratu.

“Syaratnya, kau sama sekali tak boleh berkata kasar.


Itu saja!” ucap Peri Vairy.

“Ah… Gampang!” Pangeran Albert tertawa remeh.


Setelah sepakat, Peri Vairy menaburkan serbuk
cahaya ke sekeliling tubuh Pangeran Albert. Wow!
Pangeran Albert bisa terbang! Ia mengikuti Peri Vairy
ke Negeri Impian.Peri Vairy membuktikan
ucapannya. Negeri Impian memang benar-benar
indah! Dimana-mana terhampar taman dengan
ribuan macam bunga. Hewan-hewan gemuk dan
sehat tersebar di penjuru negeri. Penduduk Negeri
Impian berpakaian sangat bagus. Bukan itu saja,
mereka juga terlihat akur dan saling menyayangi.
Pangeran Albert disuguhi makanan yang enak-enak.
Uhh, rasanya Pangeran Albert ingin tinggal di sana
selamanya!

30
“Hei, makhluk apa itu?” desis Pangeran Albert.
Sekelompok kurcaci dengan derap langkah yang
kompak, lewat di depannya. Para kurcaci berpakaian
warna-warni. Mereka riang bernyanyi. Wah, wah…
Pangeran Albert tak tahan untuk tidak
mencela.“Wahai, makhluk-makhluk cebol, ternyata
di Negeri Impian ada juga makhluk bertampang
buruk seperti kalian ya! Hahaha…!”

Begitu kalimatnya selesai, kedua telinga Pangeran


Albert langsung memanjang. Pangeran Albert
menjerit ketakutan. Tapi Peri Vairy tenang-tenang
saja. Bukankah ia sudah mengingatkan? Pangeran
menyalahi janji karena berkata kasar.

Lalu Pangeran Albert bertemu sekelompok raksasa.


Ia kembali berkata kasar. Kini, hidung Pangeran
Albert memanjang. Dan ketika berpapasan dengan
gerombolan nenek penyihir, lagi-lagi Pangeran
Albert berkata kasar. Tanpa ampun, dagu sang
pangeran ikut memanjang juga!

“Tolooong…! Aku kapok, Peri Vairy! Kembalikan


wajahku! Aku ingin pulang!” Pangeran Albert
menangis.

“Maaf, Pangeran! Kalau kau ingin wajahmu kembali


seperti sediakala, kau harus berkata yang baik hingga
tengah malam nanti. Dan jangan lupa, ucapkan tiga

31
mantra ajaib!” Peri Vairy menepuk bahu Pangeran
Albert dengan wajah sedih. Ia turut prihatin.

“Tiga mantra ajaib? Apa saja itu?” Pangeran Albert


bingung.“Aku tidak bisa memberitahumu. Aku harus
pergi! Tugasku menemanimu sudah selesai!” Peri
Vairy terbang menjauh. Serbuk cahaya berjatuhan di
setiap kepakan sayapnya. Pangeran Albert hanya
melongo.

Gawat! Apa tiga mantra ajaib itu? Pangeran Albert


menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia pun
terbang dan terus terbang. Ia berusaha keras untuk
tidak berkata kasar. Sejauh ini semua aman-aman
saja. Tapi, wajahnya masih tampak mengerikan. Ia
belum menemukan tiga mantra ajaib itu.

Malam menjelang. Pangeran Albert lelah dan lapar


sekali. Ia terduduk di sebuah sulur akar pohon
raksasa. Seorang anak kecil dengan sekeranjang
buah-buahan segar, mendekatinya. Anak kecil tadi
memberikan beberapa buah miliknya. Pangeran
Albert senang bukan kepalang.

“Te…terima…ka…sih…” kata Pangeran Albert. Ia


langsung melahap buah-buahan itu. Mendadak,
kedua telinga pangeran kembali normal. Pangeran
Albert meraba-raba telinganya, tak percaya.

Ternyata, mantra ajaib yang pertama adalah kata


‘terima kasih’! pikir Pangeran Albert. Ia pun

32
melanjutkan perjalanan. Saking senangnya,
Pangeran Albert menabrak seorang kakek tua dekat
Sungai Madu.

“Ma…maaf, Kakek! Aku tak sengaja!” Pangeran


Albert membantu kakek tua berdiri. Mendadak,
hidungnya kembali normal. Hmm, berarti mantra
ajaib yang kedua adalah kata ‘maaf’! Hebat!
Pangeran Albert terbang menyongsong langit.
Tengah malam tinggal sebentar lagi. Pangeran Albert
tak menyadari tali sepatunya yang longgar. O-ow!
Sebelah sepatu pangeran terjatuh, tepat di ujung
kaki seekor kuda sembrani.

“Kuda sembrani yang gagah, tolong ambilkan


sepatuku!” pinta Pangeran Albert panik. Mendadak,
dagu Pangeran Albert kembali normal. Tuntas
sudah! Mantra ajaib yang terakhir adalah kata
‘tolong’! Tubuh pangeran seolah seringan kapas. Ia
melayang menyusuri lorong hitam besar dan
panjang, balik ke kerajaan tempat ia tinggal. Samar-
samar pangeran mendengar gema suara Peri Vairy.

“Ibunda Ratu di surga akan tersenyum bila


melihatmu selalu berkata baik. Jangan lupa, ucapkan
tiga mantra ajaib, maka semua orang akan
mengasihimu!”

“Bangun… Bangun, Anakku! Bangun!”

33
Pangeran Albert mengerjap-kerjapkan mata. Ia
melihat ayahnya dan Tante Klara berdiri di sisi kanan
dan kiri tempat tidurnya. Oh… Ternyata aku cuma
mimpi, batin Pangeran Albert. Tapi… Kenapa mimpi
itu terasa begitu nyata ya?

“Anakku! Akhirnya kau siuman juga!” Raja Bernard


memeluk putranya. Tante Klara menatap pangeran
dengan pandangan berkaca-kaca.

“Si…siuman?” ulang Pangeran Albert heran.

“Kau tertidur selama setahun! Kami kuatir sekali,


Albert!” jelas Tante Klara.

Apaaa…??? Bukankah aku hanya pergi sehari ke


Negeri Impian? Pangeran tak habis pikir.

Sejak itu, Pangeran Albert menjadi pangeran yang


manis. Ia tak pernah lagi berkata kasar. Tak lupa,
‘tiga mantra ajaib’ kerap diucapkannya bila perlu. Ya,
Pangeran Albert ingin ibunda Ratu tersenyum di atas
sana. Setelah Raja Bernard menikah dengan Tante
Klara, kebahagiaan pangeran semakin lengkap. Kastil
pun tambah ramai oleh kelahiran adik-adik Pangeran
Albert ke dunia.

34
Berkunjung ke Kebun
Binatang
Oleh Kak Priscila Stevanni

Hari ini Mira senang sekali karena ia dan kedua


sepupunya, Bayu dan Dimas akan pergi bersama
Paman Karyo ke kebun binatang. Selama perjalanan
menuju ke kebun binatang dengan mobil Paman
Karyo, mereka bertiga asyik mengobrol dengan satu
sama lain.

“Kira-kira, di kebun binatang ada apa saja ya?” tanya


Bayu yang baru pertama kali pergi ke kebun
binatang.

“Pasti di sana ada banyak binatang dong!” sahut


Dimas.

“Iya! Ada jerapah, gajah, monyet, burung, dan


pastinya masih banyaaaak lagi…” celoteh Mira
bersemangat.

35
“Kamu sudah pernah ke kebun binatang ya, Mir?”
tanya Bayu.

“Iya! Dulu aku pernah di ajak ke kebun binatang


sama Ayah dan Ibu,” jawab Mira, ”Kalau, kamu
Dimas? Sudah pernah ke kebun binatang belum?”

“Kata Ayah dan Ibu sih, aku sudah pernah ke kebun


binatang. Tapi kayaknya aku sudah lupa deh, soalnya
waktu itu aku masih sangat kecil,” jawab Dimas
sambil tertawa kecil.

“Oh, begitu ya…” Bayu mengangguk, ”Aku sudah


nggak sabar banget nih pengen cepat-cepat sampai
di kebun binatang!”

“Paman, nanti di sana kita boleh memberi makan


binatang tidak?” tanya Dimas.

“Kalau kata Ayah dan Ibu, kita nggak boleh kasih


makan ke mereka, Dim…” jawab Mira cepat,”Betul
‘kan, Paman?”

“Kamu betul sekali, Mira. Kita tidak boleh memberi


makan satwa yang ada di sana,” jawab Paman Karyo.

“Tapi, kenapa Paman?” Bayu jadi


penasaran,”Bukannya memberi makan itu hal yang
baik?”

“Memang benar, memberi makan para satwa adalah


hal yang baik,” terang Paman,”Tapi, kita ‘kan tidak

36
tahu apakah makanan yang kita berikan kepada para
satwa tersebut aman bagi mereka. Siapa tahu
mereka tidak cocok dengan makanan tersebut, dan
karena ulah kita mereka jadi sakit. Kasihan ‘kan
mereka?”

“Iya juga ya…” Mira menyetujui.

“Kalau begitu siapa dong yang boleh memberi


mereka makan?” tanya Bayu lagi.

“Tentu saja petugas kebun binatang!” jawab Paman


Karyo. “Oh iya, satu hal lagi. Kita juga harus menjaga
kebersihan kebun binatang dengan tidak membuang
sampah sembarangan lho! Karena lingkungan yang
bersih juga penting untuk kesehatan para satwa.”

“Siap, Paman!” jawab mereka kompak dan lantang.

Tidak beberapa lama kemudian, Mira, Dimas, Bayu,


dan Paman Karyo sampai di kebun binatang.

“Mira, Dimas, Lihat deh! Yang lehernya panjang itu


jerapah ‘kan?” tanya Bayu antusias.

“Iya, Bayu! Kamu benar!” sahut Mira.

“Kalian tahu tidak, kalau jerapah itu termasuk hewan


herbivora?” tanya Paman Karyo.

“Her-bi-vo-ra?” Dimas dan kedua sepupunya


nampak bingung, ”Apa itu, Paman?”

37
“Herbivora itu, artinya pemakan tumbuh-tumbuhan.
Jadi, jerapah hanya makan tumbuh-tumbuhan,”
jawab Paman, ”Seperti sayur-sayuran”.

“Oh, begitu ya! Kalau begitu jerapah pasti sehat


dong ya! Soalnya, kata Ibu, Di dalam sayur terdapat
banyak vitamin dan serat yang baik untuk tubuh. Aku
saja selalu diminta untuk menghabiskan sayur kalau
makan!” timpal Mira.

“Pantas saja kamu selalu sehat, Mir! Ternyata kamu


sering makan sayur ya?” tutur Bayu. “Oh iya, selain
sayur, kata ibuku, buah-buahan juga mengandung
banyak vitamin lho! Kalau aku paling suka buah
apel!”

“Ada juga lho, binatang yang suka dengan buah-


buahan,” tandas Paman Karyo, ”Coba, kalian bisa
tidak menyebutkan salah satunya?”

Mira, Dimas, dan Bayu asik berunding untuk


menjawab pertanyaan Paman Karyo.

“Monyet!” terka Bayu bersemangat.

“Iya, monyet kan Paman?”

“Pasti monyet!” Dimas dan Mira ikut bersahut-


sahutan menyetujui.

“Pintar! Kalian benar sekali,” puji Paman Karyo.

38
“Paman, Paman, kalau binatang yang mirip monyet
tapi besar itu apa namanya?” tanya Bayu.

“Oh, Itu orang utan, Bayu. Masih dalam keluarga


kera namun ukurannya memang lebih besar dari
monyet,” Paman Karyo kembali menjelaskan, ”Orang
utan itu termasuk salah satu binatang yang langka,
lho. Jadi harus kita jaga dengan baik.”

“Langka?” tanya Bayu tidak mengerti.

“Langka itu artinya hampir punah kan, Paman?”


tanya Mira, ”Berarti jumlahnya di bumi tinggal
sedikit?”

“Iya, karena hutan tempat tinggal mereka banyak


yang dirusak oleh penebang yang tidak bertanggung
jawab, maka banyak diantara mereka yang mati
karena tidak punya tempat berlindung,” lanjut
Paman Karyo.

“Oh begitu ya. Kalau begitu, nanti kalau Dimas udah


besar, Dimas pengen jadi polisi hutan ah, biar bisa
menghukum para penebang jahat itu.”

“Kenapa harus nunggu besar?” tanya Paman


Karyo,”Menyelamatkan mereka bisa lho, dimulai dari
sekarang.”

“Sekarang?” ulang Mira,”Kami kan masih kecil.


Bagaimana caranya?”

39
“Coba, sekarang Paman tanya, kalian tahu kertas dan
tisu yang kalian pakai asalnya dari mana?”

“Aku tahu!” seru Dimas,”Pohon kan Paman?”

“Ya, benar! Nah, dengan menghemat kertas dan tisu,


kalian sudah membantu menyelamatkan mereka.”

“Wah… Ternyata gampang yah, membantu


menyelamatkan mereka!” seru Mira gembira.

“Tuh kan, nggak perlu nunggu dewasa untuk bisa


menyelamatkan bumi ini,” Paman Karyo memberi
semangat.

“Kalau gitu, mulai sekarang aku akan menghemat


penggunaan kertas dan tisu, ah!” tukas Bayu.

“Iya, aku juga…” susul Mira dan Dimas bersamaan.

“Nah, sekarang sudah siang nih. Bagaimana kalau


kita makan siang dulu? Supaya tubuh kita kuat dan
punya tenaga lagi untuk melanjutkan melihat-lihat
binatang,” usul Paman.

“Setuju!” Bayu bersemangat,”Aku udah lapar banget


nih!”

“Haha… Aku juga,” timpal Dimas.

“Tapi, sebelum makan sebaiknya kita cuci tangan


dulu ya! Supaya kuman-kuman yang menempel di

40
tangan kita tidak masuk ke tubuh bersama dengan
makanan yang kita makan.”

“Oke, Paman!” mereka bertiga berseru berbarengan.


Mereka pun segera mencari tempat cuci tangan
terdekat dan menyantap makan siang mereka.
Setelah makan siang, mereka siap untuk kembali
melihat-lihat satwa yang ada di kebun binatang. Hari
itu menjadi hari yang sangat menyenangkan bagi
Mira, Bayu, dan Dimas. Karena, mereka bisa belajar
banyak hal di kebun binatang, dan yang paling
penting mereka jadi ingin ikut menyelamatkan satwa
langka melalui kehidupan mereka sehari-hari!
Bagaimana dengan teman-teman? Mau ‘kan ikut
menyelamatkan mereka?

41
Aku Sayang Ibuku
Oleh Kak Nia

Suatu sore di depan rumahku.

Aku ditemani Ibu belajar naik sepeda roda dua,


dalam rangka mengisi liburan sekolah. Kata Ibu,
liburan tidak harus bepergian, tetapi dapat mengisi
hari libur dengan hal-hal yang bermanfaat. Aku
dibelikan sepeda sejak 3 tahun lalu. Dan aku belum
pernah mencoba untuk bersepeda roda dua karena
aku takut. Takut jatuh. Ah, padahal ibuku selalu
mengingatkan aku, bahwa rasa takut itu harus
disingkirkan jauh-jauh. “Bagaimana mau berhasil
kalau tidak pernah mencoba”, begitu yang selalu
dikatakan Ibu. Akhirnya sore ini, aku pun belajar naik
sepeda. Dengan takut-takut dan gemetar, mulai aku
kayuh. Awalnya masih dipegangi Ibu, untuk menjaga
keseimbangan. Berkali-kali gagal. “Bu, Tita tidak bisa,
Tita tidak bisa,” kataku sambil menangis.

“Ayo Sayang, kamu pasti bisa. Sebaiknya tidak


menyerah, harus tetap berusaha sampai berhasil.

42
Kalau tekun berlatih, kamu pasti bisa,” ibuku
memberi semangat padaku.

Aku mencoba lagi. Ah... Berhasil dua kayuhan. Aku


coba lagi, yay... Sudah semakin banyak kayuhannya.
Aku semakin bersemangat. Ternyata memang tidak
terlalu sulit kalau kita sungguh-sungguh mau
berlatih. Meski kedua kakiku harus jadi korban kena
benturan pedal sepeda, tapi aku sangat senang.
Alhamdulillah, sehari belajar aku langsung bisa. “Tita
hebat!!!”, kata Ibu. Aku jadi bangga nih. Terima kasih
Ibu yang sudah selalu menyemangatiku,
mendukungku dan dengan sabar menemaniku
berlatih.

Ah, besok ada lomba mewarnai. Tapi aku malas buat


ikutan. “Tita besok ikut lomba mewarnai, kan?”
tanya Ibu.

“Tidak, Bu,” jawabku.

“Lho, kenapa? Kan kamu suka sekali mewarnai?”


tanya Ibu lagi.

“Tita malas, Bu. Tita tidak pernah juara. Tita tidak


pernah menang. Tita tidak pernah dapat piala,”
kataku.

Ibu lalu mendekatiku, sambil membelai kepalaku.

43
“Tita sayang, namanya perlombaan, pasti ada
menang dan kalah. Kemenangan itu bonus. Piala
juga hanya bonus. Yang terpenting adalah semangat
dan usaha kamu untuk melakukan yang terbaik
dalam berlomba. Tidak penting menang atau kalah,”
ibuku menjelaskan.

“Tapi kan Tita juga ingin punya piala, Bu. Rani sudah
pernah dapat piala, Rafi juga. Aiz juga pernah. Tita
kapan?” Aku masih belum bergeming.

“Kalau Tita ingin piala, Ibu dan Ayah bisa belikan.


Kamu ‘kan sudah berhasil naik sepeda roda dua, Ibu
bisa kasih piala juga. Tapi intinya bukan di pialanya.
Tapi usaha kamu. Tanpa piala pun Ibu sudah amat
sangat bangga pada Tita,” kata Ibu.

Aku diam. Ada benarnya juga kata-kata ibuku. Dan


akan kuingat baik-baik, bahwa usaha dan semangat
mengikuti lombalah yang paling penting. Baiklah,
aku akan ikutan lomba mewarnai besok.

“Ibu, Tita mau ikut lomba mewarnai,” kataku


bersemangat. Ibuku tersenyum bahagia.

Besoknya, ditemani ayah dan ibu, aku berangkat ke


arena lomba mewarnai. Ramai sekali yang ikutan.
Dengan dukungan orangtuaku, aku pun mulai
mewarnai. Bismillah... Waktu berjalan. Aku dan
peserta lain diberi waktu 1 jam untuk
menyelesaikannya.

44
Saatnya pengumuman, aku harap-harap cemas. Tapi
aku yakin bisa menang, biar bisa dapat piala. Saat
namaku tidak disebut, aku langsung sedih. Aku
menangis. Ternyata aku masih belum siap untuk
kalah. Ayah dan ibu langsung memelukku, dan
memberiku kata-kata penyemangat.

“Tita sayang, jangan lupa, ini hanya perlombaan.


Pasti ada yang menang dan kalah,” kata Ayah.

“Lukisan Tita jelek ya?” tanyaku.

“Lukisan Tita tidak jelek. Lukisan Tita bagus. Hanya


saja, masih ada yang lukisannya lebih bagus dari Tita.
Dan itu artinya, Tita harus lebih rajin dan giat
berlatih,” jawab Ibu.

“Beneran?” tanyaku lagi.

“Iya benar,” jawab Ibu.

Aku tersenyum. Dan aku berjanji akan semakin giat


berlatih mewarnai dengan rapi.

***

Malam harinya...

“Ibuuuu... Tita minta tolong dooong,” panggilku.

“Minta tolong apa?” tanya Ibu.

45
“Tita tidak bisa mengambil susu yang di kulkas nih,”
kataku.

“Iya, sebentar yaa,” kata Ibu.

Ah... Kenapa Ibu lama sekali? Aku masuk kamar


mencari Ibu. Ibu kok tidur sih?

“Bu, Ibu kenapa?” tanyaku. Aku pegang dahi Ibu.


Panas sekali.

“Ibu sakit ya?” tanyaku.

Ibu mengangguk lemah.

“Ibu istirahat dulu ya. Biar Tita dibantu Ayah saja,”


kataku.

***

Besok paginya saat aku bangun tidur, aku lihat ibu


sedang menyiapkan sarapan dan bekal sekolahku.
“Bu, Ibu sedang memasak?” tanyaku.

“Iya Tita sayang... Ibu sedang membuat sarapan dan


bekal buat kamu,” jawab Ibu.

Ah Ibu, padahal kau sedang sakit, tapi tetap saja


berusaha menyenangkan aku dan Ayah.
Semangatmu besar sekali Ibu. Seakan-akan tak ada
yang bisa menggantikan Ibu. Saat aku mulai lemah,
putus asa, malas, Ibu selalu ada buat aku. Ibu selalu

46
memberi semangat dan dukungan buatku.
Terkadang aku sangat nakal, tidak patuh pada Ibu,
Ibu juga tidak marah. Ibu selalu mengingatkan aku
apa yang salah dan apa yang benar. Ibu, aku sayang
Ibu. Lekas sembuh ya. Biar bisa menemani aku
belajar, naik sepeda, berlomba, dan memasak
buatku dan Ayah. Aku sayang Ibuku...

47
Mr. Tobiko dan Hutan
Enenimon
Oleh Kak Debby Cynthiana

Di negeri fantasi yang bernama Lilipina terdapat


sebuah hutan yang luas sekali, hutan itu bernama
hutan Anenimon. Di hutan itu terdapat banyak
pepohonan besar yang sangat rindang, daun-
daunnya lebat, buahnya besar dan segar. Buah-buah
yang ranum itu berwarna-warni dan rasanya lezat
sekali. Para binatang di hutan Anenimon setiap hari
memakan buah-buahan itu. Karena jumlahnya yang
banyak, para penghuni hutan tidak pernah
kehabisan. Mr. Tobiko adalah sebuah pohon
terbesar di hutan itu, ia selalu melindungi para
penghuni dari terik matahari dan hujan lebat. Di
sekitar Mr. Tobiko terdapat peri-peri cantik yang
selalu mengelilinginya. Baju-baju peri tersebut
berwarna warni dan berkilauan diterpa cahaya
matahari.

48
Tiba-tiba pada suatu hari hujan lebat mengguyur
hutan Anenimon disertai dengan angin yang sangat
kencang! Petir menyambar-nyambar dan tiba-tiba
muncul awan hitam yang membuat hutan Anenimon
menjadi sangat gelap. Dari balik awan tiba-tiba
muncul seorang peri jahat bernama Merimida
dengan bajunya yang hitam. Ia menyihir para
binatang menjadi batu! Mr. Tobiko yang melihat
perbuatan Merimida itu menjadi sangat marah. Peri-
peri cantik pun ketakutan dan bersembunyi di balik
batang Mr Tobiko yang besar. Mr. Tobiko
menggerak-gerakan cabang-cabangnya untuk
menjatuhkan Merimida. Tetapi Merimida terlalu
gesit untuk dijatuhkan.

Mr. Tobiko pun berdoa kepada Tuhan supaya akar-


akarnya bisa ia cabut supaya ia bisa bergerak dengan
leluasa. Karena Mr Tobiko adalah sebuah pohon
yang baik maka Tuhan pun mengabulkan doanya,
akar-akarnya tercabut keluar dari tanah dan ia pun
mengejar ke manapun Merimida terbang. Ke kiri, ke
kanan, ke depan, dan ke belakang. Karena kelelahan,
tiba-tiba pukulan dari cabang Mr. Tobiko mengenai
Merimida, ia pun jatuh tersungkur di atas tanah.
Diangkatnya tubuh Merimida yang lemah dengan
cabang-cabangnya, Mr. Tobiko pun berdoa pada
Tuhan supaya Merimida bisa berubah menjadi peri
cantik yang baik hati.

49
Sesaat kemudian baju Merimida berubah menjadi
merah muda dan bebatuan di bajunya bersinar-sinar
sangat terang! Merimida terlihat cantik sekali. Para
binatang pun seketika itu pula kembali hidup! Para
binatang dan peri-peri cantik pun bersorak
kegirangan. Horee! Horee! Merimida menyesal dan
meminta maaf pada Mr Tobiko. Awan hitam
menghilang dan hutan Anenimon pun menjadi
damai kembali..

50
Dila Ingin Memelihara
Kucing
Oleh Kak Indriana

Senin pagi ini Dila senang sekali, karena sepulang


sekolah nanti mama berjanji akan mengajak Dila
jalan-jalan ke pameran flora dan fauna. Setelah bel
akhir pelajaran berbunyi Dila langsung pergi menuju
gerbang sekolah dan ternyata Mama telah
menunggu di sana dengan senyum hangat khas
Mama. Dengan menaiki metromini Dila menuju
tempat pameran yang berada di pusat kota. Mama
Dila sangat menyukai tanaman sehingga rumah Dila
tampak hijau dan asri dipenuhi oleh tanaman yang
dikoleksi Mama, mulai dari bunga, pohon, hingga
tanaman obat. Setelah sampai di tempat pameran
Dila dan mama berkeliling melihat-lihat serta
berbelanja mulai dari tanaman, bibit, pupuk, dan
barang-barang keperluan lain yang diperlukan mama
untuk merawat tanaman tersebut.

51
Perhatian Dila tiba-tiba teralih ke deretan stan
fauna. Dila melihat bermacam-macam hewan
dipajang, mulai dari ular, kura-kura, kelinci, kucing,
hamster, dan masih banyak lagi. Saat melihat
deretan kucing yang dipajang dalam kandangnya,
Dila jadi teringat kunjungannya ke rumah Putri
teman sekelasnya beberapa hari yang lalu. Putri
memiliki seekor kucing Persia berumur 3 bulan yang
sangat lucu. Masih terbayang dalam ingatan Dila
saat menggendong kucing tersebut, bulunya sangat
halus, dan badannya empuk. Lebih menyenangkan
lagi kucingnya sangat jinak, sehingga asyik diajak
bermain oleh Dila dan Putri. Dila jadi sangat ingin
memelihara kucing Persia.

“Ma, ayo kita ke sana,” ajak Dila pada mamanya


yang sedang asyik memilih pot gantung.

“Sebentar ya Dila sayang,” jawab mama.

Setelah membayar, Mama pun mengikuti Dila ke


stan yang menjual beragam kucing ras dan
keturunan.

“Ma, Dila ingin memelihara kucing ini,” ujar Dila


sambil menunjuk salah satu kucing Persia yang
sedang tertidur.

Mama hanya tersenyum dan mengusap-usap kepala


Dila. Mama tahu betul bahwa Dila yang baru duduk
di kelas 3 SD itu belum bisa telaten dalan mengurus

52
hewan peliharaan. Merapikan buku dan mainannya
saja susah betul, harus disuruh berkali-kali baru Dila
mau berbenah. Enam bulan yang lalu Mama juga
sudah pernah membelikan seekor hamster yang Dila
minta dan janji untuk dirawat dengan sungguh-
sungguh. Nasib berkata lain, hamster tersebut hanya
bertahan 2 hari karena Dila lupa membuka toples
tempat meletakkan hamsternya, dan hamster itu
pun mati akibat kekurangan oksigen.

“Maaaa, ayo dong beli kucing ini, Dila mau punya


kucing seperti Putri Ma,” rengek Dila lagi.

Mama pun mencoba memberi pengertian kepada


Dila, “Dila sayang, merawat kucing akan lebih sulit
daripada merawat hamster, apa Dila sanggup?”

Dila terdiam sejenak mendengar perkataan Mama,


tapi tidak lama kemudian Dila merajuk lagi, “Bisa
Ma, bisa, buktinya Putri aja bisa melihara kucing itu,
masa Dila engga, nanti Dila janji akan merawatnya
baik baik ma, makanya mama beliin Dila ya, ya?”

Mama tahu benar watak Dila, ia memang selalu


bersikap seperti itu setiap kali melihat benda yang ia
inginkan. Jika yang diinginkan Dila berupa benda
mati seperti buku, alat tulis, atau mainan, Mama
dengan mudah akan mengabulkan permintaan Dila
tersebut. Tapi kali ini lain, Dila menginginkan benda
hidup. Mama tidak ingin putri kesayangannya

53
menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab pada
benda-benda yang dimilikinya, jadi Mama berpikir
untuk tidak membelikan Dila seekor kucing Persia.
Mama baru akan membelikannya jika suatu saat Dila
dirasa sudah bisa lebih bertanggung jawab.

“Dila, nanti Dila bukan hanya harus memberi kucing


itu makan, tapi harus membersihkan kotorannya,
memandikannya, juga mengajaknya bermain. Nanti
saja Mama belikan kalau Dila sudah besar ya,” Mama
berusaha menenangkan Dila.

Dila merajuk makin keras, “Aah Dila mau sekarang


maaaaa...,” air mata Dila pun mulai membasahi
kedua pipinya.

“Dila, jangan begitu dong sayang,” sahut Mama yang


mulai panik karena menjadi tontonan orang-orang
akibat ulah Dila. Dila adalah anak satu-satunya, dan
mamanya terlanjur memanjakan Dila sejak kecil,
akibatnya Dila agak keras kepala sekarang, semua
keinginannya harus terpenuhi, termasuk urusan
membeli kucing yang satu ini.

Mama mencoba memutar otak, mencari ide agar


dapat memberikan alasan pada Dila sehingga Dila
mau mengubah keinginannya itu. “Dila sayang, kan
di sekitar rumah juga ada kucing, Dila kasih makan
aja nanti kucingnya pasti betah terus mau main sama
Dila di rumah, ya Dila.”

54
“Dila nggak mau kucing kampung, Dila mau yang
bulunya bagus Maaaa, Dila mau yang ini, nggak mau
yang lain…” tangisan Dila makin kencang, dan
semakin menjadi pusat perhatian.

Akhirnya Mama pun menyerah pada tingkah Dila,


“Iya Dila... Iya sayang... Nanti Mama belikan, tapi
ngga hari ini ya, kita kan naik metromini, susah
bawanya, lagian kasian kucingnya kalau dibawa naik
angkutan umum.”

“Terus kapan dong Ma belinya?” tanya Dila yang


sudah mulai agak tenang.

“Hari minggu aja ya sayang, kita ajak Papa biar bisa


bawa mobil, ya? Udah dong nangisnya,” ujar Mama
sambil mengusap air mata Dila.

Dila mengangguk, dan mereka berdua pun pergi


meninggalkan stan kucing itu. Mama pasrah, dan
berpikir bahwa jika Mama membelikan Dila kucing
itu hari minggu besok, Mama harus bersiap-siap
untuk lebih sibuk bekerja di rumah, mengurus si
kucing. Ini semua demi Dila, anak semata
wayangmya.

**

Dua hari pun berlalu setelah kejadian di pameran itu.


Di suatu sore yang tenang, terdengar suara miaw…
miaw…miaw… dari luar rumah. Mama, Papa, dan

55
Dila yang saat itu sedang bersantai di ruang keluarga
segera keluar rumah untuk mengecek suara tersebut
yang makin lama makin kencang saja
kedengarannya. Ternyata suara tersebut berasal dari
post satpam yang berada di dekat rumah. Setelah
menemukan sumber suaranya, ternyata itu adalah
suara dari anak kucing yang tercebur ke dalam got.

Untung saja got di perumahan Dila tinggal tidak


tinggi airnya, sebab tetangga-tetangga Dila bersama
pak RT rajin membersihkan got sebulan sekali untuk
mencegah banjir. Anak kucing tersebut masih bisa
mengangkat kepalanya dari dalam air got, sehingga
ia bisa bernapas dan mengeong meminta
pertolongan. Papa langsung menjulurkan tangannya
untuk mengambil si kucing. Setelah diangkat, Mama
langsung membawanya ke rumah, sebab kasihan kan
kalau ditinggal begitu saja. Dila merasa jijik melihat
Mama saat membawa kucing itu ke rumah. Air got
menetes-netes dari badannya, mana warnanya
hitam lagi. “Iiih…,” ujar Dila sambil menjauh dari si
kucing, takut-takut terkena cipratannya.

Mama langsung membersihkan si kucing kecil,


melapnya dengan kain yang dibasahi air hangat.
“Dila, tolong ambil kardus yang tidak terpakai di
dapur,” kata Mama sambil terus membersihkan si
kucing.

“Buat apa Ma?” sahut Dila.

56
“Buat kucing ini, kasihan kan kalau diletakkan begitu
saja di luar, nanti dia kemana-mana, padahal
badannya masih lemah,” jawab mama.

Dila pun mengambil kardus di dapur, dan berpikir


jangan-jangan mamanya mau memelihara kucing ini.
Dila jadi merasa kesal, karena ia tidak mau kucing
kurus, hitam, dan dekil seperti itu. Bagaimana jika
nanti Putri datang ke rumah dan melihat kucing
peliharaannya, bisa-bisa Dila malu. Dila yang terus
berpikiran buruk menjadi semakin tidak suka dengan
anak kucing tersebut.

“Mama mau memelihara kucing itu ya?” Dila tiba-


tiba berbicara sambil menyerahkan kardus yang
telah ia ambil pada Mama.

Mama menoleh ke Dila, dan menangkap wajah


cemberut Dila. Mama tersenyum lalu berkata,
“Kasihan kalau kucing ini kita lepas sekarang Dila,
nanti Mama akan beri dia makan beberapa hari
sampai badannya segar lagi. Setelah itu kalau Dila
tidak suka, Mama akan lepas kucing ini.”

Dila mengangguk mendengar penjelasan Mama, lalu


langsung pergi menuju papanya yang berada di
ruang keluarga. “Pa, janji ya hari minggu kita ke
pameran buat beli kucing,” Dila berkata sambil naik
ke pangkuan papanya. Papa Dila hanya tersenyum
sambil mengelus-elus kepala Dila.

57
**

Keesokan harinya saat pulang dari sekolah, Dila


mendapati rumahnya dalam keadaan sepi. Biasanya
kalau jam segini Mama tidak ada di rumah, berarti
Mama sedang berbelanja untuk keperluan bisnis
pakaiannya. Saat melihat ke dalam kardus di teras,
Dila melihat anak kucing itu tidak berada di
dalamnya, melainkan sedang bermain di semak-
semak halaman rumahnya, melompat ke sana ke
mari. Dila tidak peduli, dan terus masuk ke dalam
rumah.

Untuk anak seusianya, Dila bisa dibilang cukup


mandiri. Ia sudah bisa ditinggal mamanya di siang
hari, biasanya Mama baru pulang jam 4 sore. Setelah
menyantap makan siang yang sudah disiapkan
Mama di atas meja makan, Dila pergi ke kamarnya.
Dila sebenarnya tidak suka kondisi rumah yang sepi
seperti ini, ia ingin punya teman untuk diajak
berbagi. Itu sebabnya Dila ingin dibelikan hewan
peliharaan, agar ada yang menemaninya saat Mama
pergi. Dila jadi teringat hamsternya yang telah mati,
sebenarnya Dila sangat sedih akan kematian
hamsternya, ia juga merasa sangat bersalah. Itu
sebabnya Dila ingin dibelikan kucing Persia yang lucu
agar ia bisa memperbaiki kesalahannya. Dila
sebenarnya agak takut jika harus memelihara hewan
lagi, namun ia ingin punya teman bermain, sekaligus

58
membuktikan pada Mama bahwa Dila bisa
bertanggung jawab atas hewan peliharaannya.

Dari balik jendela kamarnya Dila melihat anak kucing


itu sedang bermain sendirian. Setelah dilihat-lihat
anak kucing itu sudah tidak sekurus saat pertama
kali ditemukan. Perutnya yang buncit menonjol di
antara kaki-kakinya yang kurus. Badannya sudah
lebih bersih, dan tampak warna bulunya yang
ternyata berwarna kecoklatan. Binar matanya juga
kelihatan, dan tiba-tiba kucing itu jadi terlihat sangat
lucu. “Tidak... Tidak boleh,” pikir Dila dalam hati
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dila tidak
boleh suka pada kucing itu, titik.

Tiba-tiba terdengar suara kreeeek dari arah luar. Dila


sangat kaget melihat kucing kecil itu sedang main di
pohon kesayangan Mama, dan Dila melihat robekan
besar di salah satu pohon anterium. “Aduh gawat
nih”, Dila panik dan langsung menuju ke luar rumah.
Dila tahu betul kalau anterium itu mahal, dan Mama
akan sangat marah melihat ada robekan di
anteriumnya yang cantik itu. Dila langsung
mengangkat kucing itu lalu meletakannya di tempat
yang jauh dari tanaman-tanaman mahal Mama.

“Kamu jangan nakal ya,” Dila mengomel pada si


kucing kecil. Bukannya takut si kucing malah
bermain-main di kaki Dila. Kucing itu menempel-
nempelkan badannya pada kaki Dila, seolah-olah ia

59
baru mendapat teman baru. Dila kaget, tapi juga ada
sedikit perasaan senang di hatinya. Namun karena
Dila ingat Mama akan membelikannya kucing besok,
jadi Dila acuh dan menjauhi kucing itu. Kucing
tersebut ternyata mengikuti Dila, tapi Dila terus saja
berjalan menuju pintu masuk rumahnya. Karena si
kucing terus mengikuti di dekat kaki Dila, tidak
sengaja Dila menginjak kaki si kucing. Si kucing
langsung menjerit, meeeeew, lalu berlari menjauhi
Dila, dan mengumpat di semak-semak. Dila kaget
mendengr jeritan tersebut, ia langsung merasa
bersalah dan langsung menuju semak-semak
mencari si kucing. Si kucing kecil tampak sedang
menjilat-jilat kakinya. Dila mengelus si kucing sambil
mengucapkan permintaan maafnya. “Maaf ya Pus,
maafin Dila, sakit ya? Kamu juga sih ngapain ngikutin
Dila, kan jadi keinjek tuh. Maafin Dila ya Pus, Dila
ngga sengaja,” kata Dila sambil terus mengelus si
kucing.

Tidak disangka, si kucing malah bermain-main


dengan tangan Dila. Si kucing kecil berusaha
memegang, dan mengigit tangan Dila, tapi karena
belum ada giginya Dila malah merasa geli, dan Dila
pun tertawa. Sesaat Dila lupa akan keinginannya
untuk punya kucing Persia. Dila lalu bermain-main
dengan si kucing. Sampai sore hari Dila terus
bermain dengan si kucing, Dila memberinya daging
ayam, mengajak si kucing nonton TV, dan mengelus-

60
elusnya sampai si kucing tertidur di pangkuan Dila.
Dila yang kelelahan tak lama kemudian juga tertidur
di sofa. Dila da si kucing kecil tertidur bersama,
sungguh pemandangan yang sangat indah.

Saat Mama pulang dan mendapati putrinya sedang


tidur bersama kucing yang tidak disukainya, mama
terheran-heran. Mama membangunkan Dila karena
sebentar lagi waktu maghrib tiba dan Dila harus
mandi sebelum malam tiba. Dila pun terbangun
begitu pula dengan si kucing. Mama meletakkan
kembali si kucing kecil dalam kardus, lalu
memberinya makan.

Malam harinya Dila menceritakan pengalamannya


saat bermain dengan si kucing, mulai dari saat si
kucing merobek tanaman Mama hingga saat mereka
tidur bersama. Mama awalnya agak sedikit melotot
mengetahui tanamannya yang robek, tapi setelah itu
Mama tersenyum lagi. Apalagi setelah mengetahui
bahwa Dila bermain dengan si kucing kecil. Mama
tahu bahwa Dila sudah jatuh hati pada si kecil
tersebut.

Mama bertanya pada Dila, “Jadi, besok kita jadi ke


pameran untuk membeli kucing Persia?”

Dila menggeleng-gelengkan kepalanya, “Nggak Ma,


kasihan si kecil nanti mau ditaruh di mana. Biar aja

61
kucing Persia itu tetap tinggal bersama abang
penjualnya.”

“Jadi Dila mau merawat kucing ini?” tanya papa yang


sedari tadi menyimak cerita Dila.

“Iya Pa,” ujar Dila mantap. “Sebenarnya kucing Putri


itu nggak enak diajak main Pa, kucingnya malas dan
kerjaannya tidur terus, tapi kalau si kecil ini lain Pa,
dia mau diajak main, mau Dila gendong, malahan
tidur sama Dila. Dila ingin si kecil ini jadi teman Dila
Pa,” Dila menjawab sambil nyengir cengengesan.

“Baguslah kalau begitu, Mama senang karena Dila


tidak memilih-milih teman, mau yang kampung atau
Persia sama saja, yang penting dia sayang dengn
Dila, dan Dila juga sayang dengannya,” ujar mama,
bangga pada Dila.

Mulai saat ini Dila berjanji pada dirinya sendiri untuk


merawat si kucing kecil sebaik-baiknya. Karena
semua kucing sama saja, mereka bukan makhluk
yang harus dibeda-bedakan, melainkan makhluk
yang harus kita beri kasih sayang. Bagaimana
denganmu, sudahkah kamu menyayangi hewan
peliharaanmu?

62
Sayang Kak Dhea
Oleh Kak Adyta Purbaya

Rinda baru saja tiba di rumah, sepulang dari sekolah,


ketika Mamah menghampirinya dengan sepucuk
surat di tangan.

Surat beramplop putih yang Rinda sudah bisa


menebak siapa pengirimnya.

Itu pasti dari kakaknya. Gadis cantik berjilbab yang


sekarang sedang kuliah di kota lain.

Rinda hanya dua bersaudara. Rinda hanya punya


satu kakak. Satu kakak cewek yang sangat dia benci.

Rinda membenci kakaknya bukan tanpa alasan. Tapi


terlebih karena Mamah selalu membanggakan
kakaknya dan membanding-bandingkan dengan
dirinya. Rinda benci kakaknya yang selalu terlihat
sempurna di mata Mamah. Bahkan Rinda sendiri
tidak berhasil menemukan dimana celah kejelekan
kakaknya itu.

63
“Eh Si Kecil udah pulang,” Mamah meraih Rinda ke
dalam pelukannya.

Selalu saja begitu. Mamah selalu memanggil Rinda


dengan panggilan “Si Kecil”, meskipun Rinda sudah
bukan anak kecil lagi. Yah, itu menurutnya. Rinda
sekarang sudah kelas 5 Sekolah Dasar. Tentu bukan
anak kecil lagi, tapi Mamah tetap menganggapnya si
kecil yang belum bisa apa-apa dan selalu
membutuhkan bantuan Mamah untuk mengerjakan
sesuatu. Termasuk PR.

Rinda hanya tersenyum kecut di dalam pelukan


Mamah.

“Ini ada surat dari kak Dhea,” Mamah berkata penuh


senyum. Menyerahkan sepucuk amplop putih
kepada Rinda. “Kakakmu nggak pernah lupa ya
mengirimimu surat” Rinda melirik ke arah Mamah
yang masih tersenyum.

“Kenapa kakak nggak nelpon aja sih, Mah?” tanya


Rinda.

Teknologi yang berkembang sangat pesat dewasa ini


mengakibatkan anak “sekecil” Rinda pun sudah
menggenggam handphone pribadi.

Lagi-lagi Mamah tersenyum.

64
“Menelpon dan mengirimi surat kan sensasinya
beda, Sayang” Mamah mengelus sayang rambut
gadis bungsunya itu.

Rinda diam. Tangannya menggenggam erat surat


dari kakaknya.

“Kamu harus bisa mencontoh kakakmu. Dia pintar,


baik, suka menolong. Belum lagi anaknya sopan,
nggak pernah bantah orangtua. Nggak kayak
kamu…”

Yeah! Mulai! Mamah mulai dengan kebiasaan


membandingkan dirinya dengan si kakak. Belum lagi
dengan kalimat “nggak kayak kamu” andalannya.

Rinda muak dengan semua pujian Mamah untuk


kakak, dan semua kalimat perbandingan antara
dirinya dan kakak. Tapi sekali lagi Rinda sadar, Kak
Dhea memang sempurna.

Dia baik, tidak pernah marah. Dia pintar, Kak Dhea


selalu jadi juara kelas dan juara Olimpiade. Dia
ramah, dia nggak pernah memilih teman. Semua
orang suka pada Kak Dhea. Dan itulah yang
membuat Rinda benci. Rinda benci kakaknya yang
disukai banyak orang. Rinda benci tidak bisa menjadi
seperti itu.

“Ayo dibaca suratnya,” Mamah menyenggol tangan


Rinda.

65
Rinda melenguh, dan ogah-ogahan menyobek
amplop putih itu.

Rinda membaca dalam diam.

……

Untuk Adikku yang manis, Rinda Pradipta.

Apa kabar, sayang? Semoga kamu, Mamah, dan


Papah selalu dalam lindungan Allah. Amin.

Bagaimana sekolahnya, sayang? Sudah mulai ujian


belom, ya?

Kak Dhea tak pernah lupa menanyakan sekolah nya.


Kak Dhea yang pintar dan Rinda yang lemot
menangkap pelajaran. Sifat yang sangat bertolak
belakang.

Kakak kangen sama kamu… Pengen nyium pipi


temben kamu itu, hihi… Ahhh, kamu selalu bikin
kakak kangen rumah. Kamulah alasan kakak untuk
selalu pulang.

Rinda mencibir. Rinda tahu persis, Mas Gilanglah


alasan kakak untuk selalu pulang. Pacar yang sudah
lebih dari 3 tahun ini bersama kakaknya itu. Bahkan
Rinda sudah terbiasa pergi berdua saja, jalan-jalan
sore atau sekedar jajan, dengan pacar kakaknya itu.

66
Adikku yang manis, tanggal 4 nanti kakak pulang…
Kamu mau nitip oleh-oleh apa? Bisa bilang ke
Mamah ya, supaya nanti waktu Mamah nelpon
kakak, bisa disampekan pesenannya dan langsung
deh kakak beliin. Okeee?

Kak Dhea pulang? Rinda mengingat-ingat ini tanggal


berapa. Tanggal 2. Lusa berarti Kak Dhea pulang.
Hmm, Rinda mulai memikirkan apa saja yang mau
dititipnya dengan kakaknya itu. Kak Dhea memang
selalu membawakan Rinda sesuatu kalau pulang. Kak
Dhea yang baik, dan Rinda benci itu.

Oh iya, kakak juga belikan kamu beberapa buku


bacaan waktu minggu lalu kakak ke Gramidia Book
Fair. Nanti sekalian kakak bawa. Walaupun kakak
tau kamu nggak suka baca, tapi tetap kakak belikan.
Siapa tau nanti kamu tergerak untuk mulai
membaca :)

Rinda mengingat, satu lagi perbedaan dirinya dan


kakaknya itu. Kak Dhea sangat kutubuku. Dia bisa
menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca.
Sementara Rinda? Satu buku penuh gambar pun
akan dihabiskan dalam waktu yang lama.

Rinda melanjutkan membaca surat.

Yaudah, kayaknya segini dulu ya sayang… Kalo surat


ini udah nyampe, telepon ya? Kakak kangen denger

67
suara kamu. Kamu sih suka nggak mau ngomong
kalo kakak nelpon.

Rinda mengingat lagi. Ya, dia memang nggak


pernah–eh, jarang deh–mau ngomong kalo kakaknya
itu menelpon. Rinda kan benci dia.

Salam buat Mamah Papah ya, jangan lupa belajar.

Salam sayang, Kak Dhea :*

Rinda melipat surat itu dan memandangi Mamah


yang ternyata ikut membaca.

“Tuh! Lihat! Kakakmu bahkan membelikanmu buku


walaupun dia tahu kamu tidak suka membaca…”

“…”

“Membaca itu menyenangkan, sayang. Kamu bisa


dapet banyak informasi dari buku. Kamu bisa pintar
seperti Kak Dhea. Kamu…”

Mamah belum menyelesaikan ucapannya ketika


Rinda ngeloyor pergi. Amplop putih berisi durat dari
kakaknya dibiarkan saja tergeletak di pangkuan
Mamahnya.

Aku benci kak Dhea. Rinda mengumpat kesal,


berjalan menuju kamarnya di lantai dua.

68
Ketika melewati ruang keluarga, telepon di ruang
keluarga berdering nyaring. Tapi Rinda
mengabaikannya.

Rinda masih bisa melihat lewat ekor matanya ketika


Mamah berjalan tergesa-gesa ke arah telepon dan
mengangkatnya.

“Hallo. Iya. Benar, saya sendiri. Ada apa ya? Hah?


Sekarang... Gimana…”

Rinda menghentikan langkahnya dan menguping.


Sepertinya sesuatu telah terjadi. Dan melihat
ekspresi mamahnya, Rinda mengambil kesimpulan
bahwa itu adalah hal buruk.

“Baik, saya dan keluarga segara ke sana. Terima


kasih informasinya. Baiklah. Walaikumsalam.”

Rinda melihat Mamah meletakkan gagang telepon


dan jatuh terduduk lemas. Air mata membanjiri
wajahnya. Mamah menangis.

Rinda yang masih belum mengerti duduk


permasalahan menghampiri mamahnya.

“Ada apa, Mah?” Rinda bertanya pelan.

mamah menatap wajah anak bungsunya. Air mata


kian mengucur deras.

69
“Kakakmu kecelakaan. Motornya ditabrak truk.
Sekarang dia di rumah sakit. Kita harus ke jakarta
sekarang.

Mamah menagis tersedu-sedu.

Rinda masih berusaha mencerna penjelasan


mamahnya. Entah kenapa semua itu terasa sulit
untuk diterimanya.

Rinda menatap mamah yang kini berusaha meraih


gagang telepon dan menghubungi seseorang. Papah
tentunya.

“Halo, Pah.. Dhea…”

***

Dan di sinilah mereka sekarang. Papah, Mamah, dan


Rinda. Di rumah sakit tempat kak Dhea di rawat.
Semua berwarna putih dengan bau obat yang
menyengat.

Rinda melihat kakaknya yang cantik dan selalu rapi,


kakaknya yang tak pernah lupa untuk tersenyum,
kakak yang dibencinya tapi tetap sayang padanya
kini terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit.

Rinda menghampiri kakaknya. Perban menempel di


sekujur tubuh.

70
Dokter bilang Kak Dhea baik-baik saja. Hanya saja
kaki kanannya patah, tapi akan segera pulih dengan
sedikit terapi.

Rinda tidak mengerti semua yang dikatakan dokter,


tapi dia sedih melihat kakaknya sakit.

“Kak Dhea…” Rinda menyentuh lengan kakaknya


pelan. Kakaknya tidak bergeming. Masih diam.
Samar-samar Rinda mendengar tangis Mamah di
belakangnya.

“Kak Dhea bangun….” Rinda mengguncang badan


kakaknya. Tapi gadis itu tetap diam.

Rinda merasakan tangan menyentuh pundaknya.


Papah. “Kakak kenapa? Kok diem aja?” tanya Rinda
polos.

“Kakak sakit. Dia lagi tidur. Istirahat.” Papah


mencoba menjelaskan dengan bahasa yang simpel.

“Tapi biasanya Kakak langsung bangun kalo Rinda


bangunin.”

“Iya, sekarang dia lagi capek banget. Makanya


tidurnya pulas begitu” Papah tak kuasa menahan air
matanya.

“Trus kenapa Mamah sama Papah?” tanya Rinda


lagi.

71
“…”

Mamah diam, Papah juga. Mamah masih


sesengukan.

“Makanya kamu jangan nakal. Kalo Kakak nelpon


kamu harus mau ngomong. Kamu juga jangan judes
lagi sama Kakak. Kalo kakak ‘tidur’ begini kan dia jadi
nggak bisa ngomong sama kamu.”

Mamah terdengar menekankan kata tidur, Mamah


masih terus terisak.

Rinda diam, tertunduk.

Mamah meraih gadis bungsunya itu ke dalam


pelukannya.

Rinda melepaskan diri dari pelukan Mamah dan


berjalan mendekati ranjang kakaknya berbaring.
Rinda memegang lembut ujung jemari kakaknya.

“Kak Dhea. Rinda minta maaf yah. Rinda janji kalo


Kakak bangun nanti, Rinda nggak bakal nakal lagi.
Rinda janji bakal sering nelpon Kakak. Rinda janji
nggak benci sama Kakak lagi. Kak Dhea bangun dong,
Rinda mau dibacain buku sama Kakak.”

Tak terasa air mata mulai menetes di pipinya. Rinda


menangis.

72
“Rinda sayang Kak Dhea…” Untuk pertama kalinya
kalimat itu keluar dengan tulus dari mulutnya.

“Kak Dhea bangun… Rinda sayang Kak Dhea.”

Dan, ajaib… jemari kakaknya bergerak perlahan.


Rinda terkejut. Menghapus buliran air mata dan
menoleh ke arah raut manis kakaknya yang hampir
semua tertutup perban.

“Rinda…”

Bahkan di saat pertama kali kakaknya membuka


mata, nama Rindalah yang dia sebut.

“Kak Dhea…” Rinda menghampiri wajah berbalut


perban kakaknya.

“Rinda…” Kakak nya masih berkata lirih.

Rinda mencium kening kakaknya.

“Rinda sayang kak Dhea. Cepet sembuh ya kak.”

Sebutir air mata hangat yang jatuh dari sudut mata


Rinda membasahi pipi kakaknya. Rinda melihat
kakaknya tersenyum tulus, meskipun harus bersusah
payah.

Ah, bodohnya dia selalu membenci orang yang


begitu baik seperti Kak Dhea.

73
Mulai hari ini Rinda berjanji, dia nggak akan pernah
membenci kakaknya lagi.

74
Kebun Empat Kelinci
Oleh Kak Hariadhi

Di hutan Cemara, hiduplah empat anak kelinci. Ibu


Kelinci mengantarkan mereka ke padang rumput
yang luas sekali. Mereka semua lalu membuat rumah
dan bertani.

Nana punya kebun apel. Setiap hari ia memetik


buahnya. Bentuknya bulat dan besar sekali. Eda
punya kandang ayam. Setiap hari ayamnya berkotek
riang. Telurnya banyak sekali. Jan punya ladang
gandum. Setiap hari ia membuat roti. Baunya harum
sekali. Keli punya kawanan sapi. Setiap hari ia
memerah susu. Rasanya segar dan dingin sekali.

Nana berkunjung ke kebun Eda. Karena tidak tahu, ia


membuat ayam-ayam kaget dan berlarian. Eda
mengusir Nana. “Pergi.. pergi.. nanti ayamku tidak
bisa bertelur. Jangan pernah datang lagi ke sini.”
Nana marah sekali.

Keli bermain-main ke kebun apel Nana. Karena tidak


tahu cara memanjat, ia mematahkan pohon apel

75
Nana. Nana mengusir Keli “Pergi… pergi,.... nanti
apelku tidak bisa berbuah lagi. Jangan pernah datang
lagi ke sini.” Keli marah sekali.

Jan bermain ke kandang sapi Keli. Karena tidak tahu


cara memerah susu, ia ditendang sapi-sapi Keli. Keli
mengusir Jan. “Pergi.. pergi… nanti sapiku tidak mau
diperah lagi. Jangan pernah kembali ke sini.” Jan
marah sekali.

Eda bermain ke rumah Jan. Karena tidak tahu cara


membuat roti, ia merusak panggangan roti Jan. Jan
mengusir Eda. “Pergi.. pergi.. nanti kalau
pangganganku rusak semua, aku mau makan apa?
Jangan pernah kembali ke sini.” Eda marah sekali.

Nana, Keli, Jan, dan Eda sekarang bermusuhan.


Mereka tidak mau lagi saling menyapa. Nana tidak
mau berbagi apelnya. Eda menyimpan telurnya
rapat-rapat. Jan mengunci roti-rotinya di dapur. Keli
menyembunyikan susu di gentong dan memakunya
rapat-rapat.

Ibu Kelinci bingung melihat keempat anaknya.


“Mengapa kalian saling bermusuhan?” “Tidak, aku
tidak suka mereka!” kata anak-anak kelinci
bersahutan. “Maukah kalian saling bermaafan?”
tanya Ibu Kelinci. “Tidak, tidak! Dia yang harus minta
maaf lebih dahulu!” kata anak-anak kelinci
bersahutan. Ibu Kelinci sedih sekali.

76
Suatu hari, saat jam makan siang, mereka
kebingungan.

Kata Nana, “Oh tidak, aku sudah bosan makan apel


tiap hari. Nanti apelku dimakan ulat”.

Eda juga menjerit, “Tolong.. Aku bosan makan telur.


Kalau telurku busuk, ayam-ayamku bisa marah!”

Jan juga berseru, “Aku muak makan roti, rasanya


hambar. Kalau tidak dihabiskan, burung gagak akan
memenuhi rumahku.”

Keli membalas, “Aku kembung kebanyakan minum


susu. Kalau basi, baunya busuk sekali.”

Keempatnya lalu saling mengunjungi rumah masing-


masing sambil membawa hasil kebunnya.

Nana membagikan apelnya kepada Eda, Jan, dan Keli


“Maukah kalian membantu menghabiskan apel-apel
ini?”

Eda juga membagikan telur-telurnya kepada Nana,


Jan, dan Keli “Telurku kebanyakan, maukah kalian
menerimanya?”

“Aku juga punya banyak roti, bisakah kalian


menyimpannya?” Jan membagikan rotinya kepada
Nana, Eda, dan Keli.

77
“Ambillah, susuku sudah kebanyakan. Pasti kalian
suka!” kata Keli kepada Nana, Eda, dan Jan.

Ibu kelinci tertawa dan mereka pun berpelukan


“Nah.. sekarang kita semua punya cukup apel, telur,
roti, dan susu setiap hari!”

78
Pangeran Massak dan
Raksasa di Belakang Bukit
Oleh Kak Dina Antonia

Nun jauh di negeri antah berantah, terdapatlah


Kerajaan Sedap-sedap. Kerajaan mereka sangat
subur dan kaya. Sayur-sayuran, buah-buahan, dan
bermacam-macam ternak ada di sana. Semuanya
bisa dijadikan makanan.

Rajanya, Raja Makhan Trus, suka sekali makan. Ia


punya dua orang anak. Yang pertama bernama
Pangeran Massak Trus, dan yang kedua bernama
Puteri Chicip Trus. Pangeran Massak punya hobi
memasak, sedangkan Puteri Chihip suka mencicipi
masakan kakaknya. Di sana, tiada hari tanpa pesta
pora makanan yang sedap-sedap.

Suatu hari…. raja sakit keras! Semua orang di


Kerajaan Sedap-sedap gempar! Puluhan tabib sudah
dipanggil. Tapi tak ada yang mampu
menyembuhkannya. Bagaimana ini? Kedua pangeran

79
kalang kabut dibuatnya. Mereka sangat mencintai
ayah mereka. Mereka ingin ayah cepat sembuh!

Akhirnya, datanglah seorang tabib bijaksana


membawa secercah harapan. “Hamba tahu obat
untuk raja. Obat ini bisa menyembuhkan segala
macam penyakit.”

“Lekas beri kami obat itu, Pak Tabib! Tak usah


banyak bicara!” sahut Puteri Chicip tak sabaran.

“Ah, sayang sekali. Hamba tak punya obat tersebut.


Tapi…”

Belum selesai Sang Tabib berbicara, Puteri Chicip


sudah memotongnya lagi, “Kalau begitu untuk apa
kau sebutkan obat tersebut? Tak ada gunanya! Sama
juga bohong!”

Pangeran Massak mengingatkan adiknya, “Biarkan


Pak Tabib selesai bicara dulu, Cip!”

“Obat itu ada di balik Bukit Tungku Api. Setangkai


daun ajaib. Semua orang yang memakannya akan
segar bugar, dan panjang umur,” lanjut Sang Tabib.

“Bah! Lelucon macam apa lagi ini, Pak Tua! Semua


orang tahu bahwa di balik Bukit Tungku Api ada
raksasa yang suka membakar dan memakan orang!
Kita sendiri suka melihat percikan apinya, kemudian
jeritan kesakitan! Iya, kan?”

80
Semua orang saling berpandangan ngeri. Siapa yang
mau ke sana?

Akhirnya Pangeran Massak angkat bicara, “Aku akan


ke sana.”

“Jangan, Kak!” Puteri Chicip hendak melarang


kakaknya. Tapi niat Pangeran Massak sudah bulat. Ia
pun berangkat.

***

Perjalanan menuju ke Bukit Tungku Api tidaklah


mudah. Semakin jauh meninggalkan Kerajaan Sedap-
sedap, pemandangan yang subur berganti menjadi
kering dan gersang. Banyak binatang buas yang
tampak kelaparan. Ciat!! Pangeran Massak berhasil
menangkis terkaman serigala yang hendak
memangsanya. Untung, keterampilannya
menggunakan pisau dapur bisa juga dimanfaatkan
saat memakai pedang.

Akhirnya, Pangeran Massak berhasil sampai di balik


Bukit Tungku Api. Memang benar, sekali-sekali
tampak percikan-percikan api besar dan asap hitam.
Karena itulah bukit ini dinamakan Bukit Tungku Api.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan, “Auw-aw-
aw!” Lalu, BUM! Terdengar dentuman yang sangat
keras. Apa itu?

81
Pangeran Massak tidak gentar. Pelan-pelan, ia
mendekati asal percikan api dan suara-suara itu. Ia
bersembunyi di balik sebuah dahan pohon yang
kering. Ia mengintip. Dari sana, ia melihat seorang
raksasa besar.

Raksasa itu sedang berusaha memasak. Pangeran


Massak mengamati lebih lanjut. Tak ada sayur-
sayuran yang tumbuh di sekitar situ, buah-buahan,
juga hewan yang bisa dimakan. Apa yang ia masak?
Raksasa itu mengambil sesuatu dari sakunya,
beberapa helai daun yang berwarna keemasan! Itu
pasti daun ajaib! Seru Pangeran Massak dalam hati.

Raksasa menusuk helai-helai daun ajaib dengan


ranting pohon, lalu membakarnya di atas api
unggun. Tapi, “AUW!” BUM! Jari-jarinya tak sengaja
terkena api, lalu ia melompat-lompat kesakitan,
menimbulkan dentuman yang sangat keras. Lalu,
“AHH! TIDAK!!” Raung raksasa itu. “Makananku
hangus!!” Ah, rupanya raksasa itu tidak bisa masak!

Pangeran Massak segera menghampiri, “Kau butuh


bantuan?”

Raksasa itu ternyata tidak jahat. Ia malah bercerita


dengan sedih, “Lihatlah, di sini tidak ada sangat
gersang dan tandus. Tidak ada yang bisa dimakan!
Hanya ada daun-daun ini yang kumakan setiap hari.
Aku lapar!”

82
“Kasihan sekali kau, Raksasa! Jadi dengan tubuh
sebesar ini, tiap hari kau Cuma makan beberapa
lembar daun ini?”

“Ya, dan rasanya tidak enak! Gosong pula!”

Hm, tentulah itu memang daun ajaib, kalau tidak,


mana mungkin raksasa sebesar dia bisa hidup hanya
dengan makan beberapa helai daun? Pangeran
Massak memutar otak dan mengajukan penawaran.

***

BUM! BUM! BUM!

Terdengar dentuman yang sangat keras. Tanah pun


bergetar. Kerajaan Sedap-sedap panik. Puteri Chicip
menangis, “Oh, tidak! Kak Massak dimakan raksasa!
Dan sekarang ia juga akan memakan kita!!”

Prajurit-prajurit Kerajaan Sedap-sedap ketakutan.


Tak ada yang berani melawan raksasa. Selama ini
mereka terlalu sering pesta makan dan kurang sering
berlatih. Perut mereka gendut-gendut. Bahkan untuk
melarikan diri saja mereka sudah terengah-engah.
Mereka jatuh terjerembab, sementara raksasa
semakin mendekat.

Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Massak, “Jangan


takut! Raksasa ini teman kita!”

83
Pangeran Massak pun menjelaskan semuanya.
Raksasa kelaparan karena tempat tinggalnya sangat
tandus dan gersang. Apalagi, ia tak bisa masak.
Setiap hari, ia makan daun ajaib sehingga bisa tetap
hidup. Sementara itu, Kerajaan Sedap-sedap
berlimpah makanan, tapi raja membutuhkan daun
ajaib. Jadi, mereka sepakat bahwa raksasa akan
memberikan daun ajaibnya, asal Pangeran Massak
akan memasakkan makanan yang enak-enak untuk
raksasa. Semua tampak setuju dan bahagia dengan
kesepakatan itu.

Benar saja, setelah makan daun ajaib, Raja Makhan


Trus langsung sembuh. Rupanya, selama ini ia
kebanyakan makan, sehingga berbagai macam
penyakit bercokol di tubuhnya.

Kini, Kerajaan Sedap-sedap tahu bahwa makan


terlalu banyak tidak baik. Masih banyak orang di luar
sana yang tidak seberuntung mereka. Mereka harus
berbagi, dan mengatur menu makan yang seimbang.

BUM! BUM! BUM! CIAT! Apa itu? Ah, rupanya para


prajurit kerajaan sedang berlatih perang dengan
raksasa. Betul, mereka juga butuh olahraga supaya
sehat!

84
Cerita Selma
Oleh Kak Ollie

Namaku Selma dan aku ingin jadi penulis.

Sepertinya jadi penulis itu menyenangkan. Kakakku


Dika adalah penulis terkenal. Hidupnya enak banget.
Bangun selalu siang. Kadang pas aku pulang sekolah,
kakak baru muncul dengan muka ngantuknya.
Bandingkan sama aku... Tiap hari harus bangun
pagi... Belajar... Ngerjain tugas... Duh... Males banget
deh!

Satu lagi... Mama suka sekali membaca.


Perpustakaannya penuh buku-buku yang aku nggak
begitu mengerti isinya. Bisa berjam-jam Mama
membaca di sofa empuk kesayangannya. Karena
suka membaca, Mama juga jadi sayang banget sama
Kakak. Ke mana Kakak pergi, Mama selalu ikut.
Apapun yang Kakak minta, juga selalu dipenuhi.
Bahkan kalau Kakak nakal pun, jadi dimaklumi.
Padahal kalau aku, pasti Mama udah mengomel dari
Jakarta sampai Bogor. Oke, memang aku agak
berlebihan, tapi begitulah kira-kira kenyataannya.

85
Jadi, jelas, kan? Hidupku pasti lebih menyenangkan
kalau aku sudah jadi penulis.

Tentu saja aku tak memberitahukan rencana ini ke


Kak Dika. Aku bisa diledekin habis-habisan. Atau
mungkin nanti dia bakal takut kalau aku bisa lebih
terkenal dari dia hihihi... Membayangkannya saja
aku sudah senyum-senyum sendiri! Bayangkan! Pas
lagi jalan di mall bareng Mama, bakal ada yang
mengenali aku, cepat-cepat mengeluarkan bukuku
dari dalam tas-nya, siap-siap minta tandatanganku
dan memanggil, “Selma!”

ADUH! Pundakku ditepuk kasar dari belakang.

Ternyata itu Putri, anak paling besar dan kasar di


kelasku. Aku memandang kaget ke sekitarku. Sudah
berapa lama aku melamun di kantin ya?

“Traktir es jeruk ya, Sel!” Kata Putri, sudah


memegang es jeruk yang dia mau. Aku diam saja. Dia
memang doyan malak. Aku kesel banget sama dia,
tapi nggak berani laporin ke guru. Aku ‘kan masih
lama sekolah di SD ini.

“Lagi ngapain kamu?!” Tanya Putri sambil melirik


sekilas ke kertas yang aku pegang.

Refleks aku menurunkan tanganku ke bawah meja.


Gawat! Aku memang lagi pingin ikutan lomba

86
menulis yang diadain di sekolah. Jangan sampai Putri
baca tulisanku!

“Mm... Nggak ngapa-ngapain... Duduk aja...,”


sahutku gugup.

Tapi tentu saja Putri tidak sebodoh itu. Dengan


tatapan curiga, ia melirik ke arah tanganku yang
menyembunyikan sesuatu.

“Apa tuh?!” Sahutnya penasaran. Keningnya


berkerut, bibirnya mengerucut. Hiiii... Aku mulai
takut.

Aku cepat-cepat menggeleng. “Nggak ada apa-apa


kok!”

“Oooh....” sahut Putri pendek, kemudian ia


melanjutkan meminum es jeruknya. Aku bernapas
lega. Fiuhhhh.

Tapi tiba-tiba... BRET!

Kertas yang kupegang direbut paksa sama Putri.


Kertasnya jadi robek setengah. Putri membawa
robekannya sambil berlari ke depan kantin.

Aku spontan berdiri sambil memegang setengah


robekan kertas.

“PUTRI!” Aku berteriak kencang. Tapi terlambat.


Putri sudah berada di depan berpuluh pasang mata.

87
“Ini ada tulisan... yang bikin Selma... aku bacain
yaaa!” Putri berteriak kencang.

ADUH. Wajahku pasti sudah sepucat kapas.

“Suatu hari di kerajaan dunia ajaib, Pangeran


bersepatu emas datang ke rumah sang putri...,” Putri
mulai membacakan keras-keras.

“Ihhhh... laki-laki kok pake sepatu emas?! Pangeran


apa tuh...,” seorang anak laki-laki menyeletuk.

“HAHAHAHAHA!” Semua anak tertawa.

Mataku berkaca-kaca. Sebentar lagi air mata pasti


jatuh, tapi aku tahan. Aku melihat ke depan dan
Putri masih tertawa, bersiap membacakan ceritaku
selanjutnya.

“STOPPP...! BERHENTIIIII...!” Aku berteriak kencang.

Mata membuka. Sepi. Gelap. Cahaya lampu dari luar


masuk dari jendela kamarku.

Huhuhuhu. Mimpi buruk. Mataku basah. Aku


menangis tersedu-sedu.

Aku mendengar langkah kaki mendekat. Itu pasti


Mama. Aku berusaha berhenti menangis. Malu sama
Mama. Tapi aku tak bisa.

88
KRIET. Pintu membuka. Mama berdiri di pintu
dengan wajah bingung.

“Selma... kenapa sayang? Mimpi buruk ya?” Mama


mendekatiku.

Aku hanya bisa mengangguk sambil mengucek


mataku.

Mama duduk di samping tempat tidur dan


memelukku. Ah, hangat sekali. Sudah lama aku tidak
dipeluk seperti ini sama Mama.

Aku membenamkan kepalaku di dada Mama. Air


mataku terus mengalir.

“Cup cup... Mimpi apa sayang?” sahut Mama sambil


membelai rambutku.

Aku terdiam. Bingung apakah harus memberitahu


Mama atau tidak. Tapi kuputuskan untuk bercerita.
Memang aku sedang bingung bagaimana caranya
menjadi penulis yang baik sesuai cita-citaku.
Mungkin Mama tahu jawabannya.

“Aku pingin jadi penulis Ma... seperti Kak Dika....”


sahutku pelan.

Mama diam sebentar. Seperti berpikir. Apa


hubungannya ingin jadi penulis, dengan mimpi
buruk.

89
“Wah... Mama senang banget, ada anak Mama satu
lagi yang bakal jadi penulis!” Mama memelukku erat.

“Iya, biar nanti bukuku ada di meja atau rak buku


mama... Terus, Mama juga bisa temani aku kemana-
mana... Kayak sama Kak Dika...,” lanjutku.

Aku lihat mata Mama berkaca-kaca. Semoga itu air


mata bahagia. Aku tak bisa menebak perasaan
Mama. Yang jelas, Mama memelukku dan tak
dilepasnya lagi.

“Iya Nak... Besok ya... Mama minta Kak Dika ngajarin


kami, kursus privat menulis!”

Aku tersenyum lebar.

“Asyiiikk! Bener ya, Ma? Aku nanti bakal bisa nulis


novel kayak Kakak Dika?!” Aku berteriak senang.

Mama mengangguk sambil membalas senyumku


dalam remang-remang.

“I love you, Ma...!” Aku memeluk Mama. Bahagia.

“Mama love you too, Selma...!”

*Story inspired by watching my genius writer friend


Raditya Dika and his cute student Selma.

90
Istana Sang Rajawali
Oleh Kak Diana Siti Khadijah

Sore ini Bima ingin sekali pergi ke hutan cemara itu.


Ia penasaran karena sudah sebulan ini dia
mendengar teman-temannya bercerita tentang
sebuah gua kecil yang ditemukan oleh Kak Reza.
Tetapi gerimis mengurungkan niatnya. “Besok pasti
cerah. Mmm, aku harus ke sana. Mungkin besok pagi
ya?” gumam Bima sambil mengangguk.

Karena setiap pergi dan pulang sekolah Bima pasti


melewati semak yang dapat menembus hutan
cemara, membuatnya semakin penasaran. Maka
Bima memaksakan hatinya untuk masuk ke sana.
Sebenarnya takut, tapi Bima tidak mau mundur. Ia
tidak menyadari seseorang mengikutinya dari
belakang.

Bima menghentikan langkahnya tepat di depan gua.


Ia menelan ludahnya. Perasaan antara takut, takjub,
dan senang membuatnya gemetar. Sambil menahan
napas, perlahan ia memasuki mulut gua. Baru saja ia
hendak melangkahkan kakinya lebih ke dalam, ia

91
dikejutkan oleh sebuah suara. “Mau apa kamu
masuk?”

Bima menoleh ke belakangnya. Kak Reza! Wajah


Bima memucat. “Eh, Kak Reza. Euh, nngggg.... Ini...
Nnnggg... Cuma pengen liat aja. Penasaran,” jawab
Bima terbata-bata. Ia ketakutan. Ia pernah
mendengar kabar kalau Kak Reza itu galak dan
pemarah.

Bima melangkah mundur, tetapi kakinya tersandung


dahan pohon dan terjatuh. Kak Reza mendekat dan
Bima menjerit ketakutan. “Jangan, Kak! Ampun! Aku
gak akan bilang siapapun Kak! Ampun! Jangan pukul
aku, Kak!”

Kak Reza tertawa. Diraihnya tangan Bima dan


membantunya berdiri. “Kamu ini aneh, Bim!
Memangnya aku ini segitu nakutinnya, ya?”

Lalu Kak Reza menyuruh Bima duduk di sampingnya.


Kak Reza mengeluarkan dua kaleng Cola dan
sebungkus besar keripik kentang dari kantong plastik
yang tadi dijinjingnya.

“Ini rumahku,” ujar Kak Reza tanpa diminta. “Rumah


yang membuatku betah berlama-lama. Aku suka di
sini.”

“Tapi bukannya rumah Kakak di Jalan Rajawali?”


tanya Bima bingung.

92
Kak Reza tersenyum. “Memang. Itu tempat tinggal
Kakak. Tetapi rumah yang paling Kakak rindukan ya
di sini.”

“Kok bisa? Bedanya apa? Di sini kan sepi?”

“Di Rajawali tempat tinggalku. Artinya ya tempat


kakak melakukan rutinitas setiap hari. KTP dan Kartu
Keluarga juga di sana, Bim. Tetapi di sini, di gua ini,
beda. Aku menyebutnya Istana Sang Rajawali.”

“Wuih, keren sekali!” Bima membelalakkan matanya


takjub. “Trus Kakak betah di sini ngapain aja?”

“Banyak. Aku sih lebih banyak main gitar di sini. Nulis


lagu. Rencananya aku mau bikin album nih!”

“Wah! Keren!”

Dan sore itu berlalu dengan cepat. Percakapan


antara Kak Reza dan Bima akan dilanjutkan besok
setelah Bima pulang sekolah.

**

Sejak pertama kali masuk Istana Sang Rajawali, Bima


semakin semangat belajar. Ternyata hobi melukis
dan merakit robotnya semakin terasah. Awalnya
Mama dan Papa cemas karena Bima selalu pulang
setelah Maghrib. Tetapi ketika menerima rapor
kenaikan kelas enam dan melihat angka yang tertera

93
semuanya diatas delapan, justru Mama dan Papa
yang bingung.

“Kamu tuh sebenarnya ke mana sih setiap pulang


sekolah? Bukannya langsung ke rumah?” tanya Papa.

“Aku langsung ke rumah kok!” jawab Bima tegas.

“Eeeh, siapa yang mengajarkan kamu berbohong?”


tanya Mama.

“Aku gak bohong, Mama sayang. Aku langsung


pulang ke rumah. Belajar. Serius!” Bima menatap
Mamanya berusaha meyakinkan.

Papa dan Mama menggeleng. Anak ini menjadi aneh.


Tetapi prestasinya meningkat. Ada apa ya?

**

Tanggal 7 Desember. Mama Bima sudah menyiapkan


sarapan sederhana yang menjadi istimewa. Roti isi
tuna dan tomat untuk Papa dan roti isi daging asap
keju untuk Bima. Hm, lezat! Hari libur yang
menyenangkan!

Bima gelisah. Kak Reza belum datang. Jam dinding


sudah bergeser ke angka sepuluh. Baru saja Bima
hendak mengirim SMS pada Kak Reza, yang dinanti
sudah ada di depan pagar. “Assalamu’alaikum!
Permisi! Kulonuwun!” teriak Kak Reza riang. Wajah
Bima mendadak cerah. Dia berlari ke teras.

94
“Wa’alaikumussalam! Masuk yuk, Kak!”

Papa dan Mama menyambut Kak Reza. “Lho, kamu


anaknya Pak Reynaldi, bukan?” tanya Papa kaget.

“Iya, Om. Om kenal Papa saya?” Kak Bima tak kalah


kagetnya.

“Hahaha, dia itu senior Om di kampus. Wah, apa


kabar Papamu?”

“Sehat, Om.”

“Yuk, Kak Reza! Kita ke ruang keluarga?” Bima


menarik lengan Kak Reza. “Eh, udah siap kah?”
bisiknya sambil diam-diam melirik Mama. Kak Reza
memberi jembol dan senyum.

“Papa dan Mama. Kita duduk di ruang keluarga yuk?


Bima dan Kak Reza mau nunjukin sesuatu pada
Mama nih!” Bima tak sanggup menahan
senyumannya. Dia merasa sungguh semangat.

“Ada apa ini?” tanya Mama tertawa geli melihat


Bima yang salah tingkah. Bima tetap memaksa Papa
dan Mama untuk duduk. Lalu Bima tampak sibuk
bersama Kak Reza untuk mempersiapkan hadiah
untuk Mama.

Sepuluh menit kemudian, Bima menyerahkan hadiah


terbungkus kado cantik. Mama tersenyum dan

95
membukanya. Sebuah lukisan sederhana. Ada
gambar rumah dan gambar gua berdampingan. Ada
Bima, Mama, Papa, dan Kak Reza di sana. “Bisa
dijelaskan, Sayang?” tanya Mama.

“Ini rumah kita, Ma. Tuh, ada pohon mangga dan


belimbing kan? Nah, yang ini namanya Istana Sang
Rajawali. Itu yang kasih nama Kak Reza, Ma. Karena
dia ‘kan tinggalnya di jalan Rajawali,” jawab Bima
semangat.

“Tetapi kok bentuk rumah Reza seperti gua?” Papa


kebingungan.

“Karena itu rumah kedua Kak Reza. Dan juga aku!”

“Maksud Bima seperti ini, Om. Istana Sang Rajawali


ini menjadi tempat Bima dan saya untuk berkreasi.
Saya yang suka musik, setiap hari dimarahi Papa
karena berisik. Maka ketika saya menemukan
tempat ini, sepertinya malah lebih kreatif. Begitu
pula dengan Bima. Bukankah semenjak dia sering
mampir ke Istana Sang Rajawali, prestasinya
meningkat, Om?

“Jadi menurut saya, selain rumah tempat berkumpul


dengan keluarga, seseorang membutuhkan tempat
yang nyaman untuk menjadi dirinya sendiri. Bebas
mau apa saja. Soalnya menurut Bima, dia selalu

96
diganggu oleh suara anak-anak tetangga ketika dia
sedang melukis.

“Itulah juga alasan mengapa Bima selalu terlambat


pulang ke rumah ini, karena dia sedang berada di
rumahnya yang lain. Tempatnya singgah untuk
mencurahkan isi hati dan pikirannya. Saya pikir
selama itu menumbuhkan mental mandiri yang
positif, mengapa tidak?” jawab Kak Reza panjang.

Papa dan Mama tersenyum. “Oh, pantas saja kamu


semakin bersemangat!” ujar Papa bangga.

“Nah, Mama. Ini ada hadiah dari Kak Reza. Ayo Kak!”
Bima menarik lengan Kak Reza untuk bersiap
menyanyikan lagu ciptaannya.

**

Teman, jika kalian kebetulan melewati semak di


dekat sekolahnya Bima, ada sebuah jalan rahasia
menuju Istana Sang Rajawali. Itu rumah kedua Bima.
Tempat Bima merasa nyaman setelah lelah
bersekolah. Tentunya kalian juga punya tempat
rahasia juga kan?

97
Batang dan Daun
Oleh Kak Irene Wibowo

Angin berhembus sangat kencang. Batang-batang


pohon mulai bergoyang.

“Daun, peganglah aku terus.”

“Aku mau terus berpegang padamu. Tapi aku tidak


tahan lagi. Bagaimana ini?”

“Jangan lepaskan!” teriak batang panik.

“Aku… tidakkkk…”

“Aku memegangmu, daun!”

“Terima kasih, batang.”

“Bertahanlah, badai pasti berlalu!” ujar batang.

Meski hembusan angin merasuk rumah pohon,


batang dan daun tetap saling berpegangan.

Akhirnya, angin kencang dan hujan berhenti.


Matahari pun muncul.

98
“Maafkan aku, batang dan daun! Kalian tak apa-
apa?” ujar matahari.

“Tidak. Terima kasih matahari, akhirnya kau


membantu kami,” jawab daun.

“Sahabat, kan selalu ada selalu,” lanjut matahari


tersenyum.

*****

Sahabat yang baik adalah sahabat yang mau


memegang tangan sahabatnya, meski badai
menerjang begitu kencangnya dan awan gelap
menyelimuti hingga matahari memberikan
kecerahan. Sahabat yang baik selalu ada dalam suka
maupun duka. Sahabat adalah keluarga dan takkan
pernah terpisahkan karena mereka selalu
berpegangan tangan.

Salam Sahabat,

Batang, Daun, dan Matahari.

99
Gelang Chita
Oleh Kak Andi Maulida Rahmania

Di suatu pagi yang sangat cerah, di sebuah pedesaan


yang masih sangat asri dan sejuk, masih terdapat
banyak pohon-pohon lebat. Mulai dari pohon
beringin, pohon kelapa, pohon mangga, pohon
pisang hingga pohon rambutan. Di desa itu juga
terdapat sebuah sungai yang airnya masih sangat
jernih. Desa itu bernama Desa Mayungsari.
Penduduk desa tersebut hidup dengan damai, rukun
dan bergotong-royong.

Di desa tersebut ada tiga anak kecil sering bermain


bersama-sama. Mereka adalah Chita, Mono dan
Neni.

Chita : Pagi semuanya…

Mono : Pagi juga Chita.

Neni : Pagi Chita, wah kayaknya Chita lagi seneng


ya?

Mono : Iya, Chita semangat sekali hari ini...

100
Chita : Mono sama Neni kok bisa tau? Iya Chita
hari ini seneng sekali, soalnya Chita dikasih
hadiah sama Mama, Ini hadiahnya.

Chita menunjukkan gelangnya.

Neni : Wah bagus sekali gelangnya…

Mono : Iya bagus, kok Chita bisa dikasi hadiah??


Chita ulang tahun?

Chita : Nggak, Chita nggak lagi ulang tahun, kata


Ibu, beberapa bulan ini aku sering bantu Ibu
di dapur, terus aku juga selalu nurut apa
kata Ibu, jadi Ibu ngasih aku gelang ini, Ibu
bikin sendiri lho gelangnya, dari biji
kelengkeng katanya.

Neni : Wah senangnya, Neni juga mau dapet


hadiah kayak Chita.

Chita : Neni coba deh, bantuin ibunya Neni, sapa


tahu nanti bisa dapet hadiah juga kayak aku.

Neni : Iya deh, nanti Neni coba bantuin Ibu, biar


capeknya Ibu berkurang.

Mono : Eh, mumpung pagi ini cerah, gimana kalo


hari ini kita jalan-jalan ke sungai?

Chita : Ayo ayo!

101
Neni : Iya, Neni juga mau, udah lama Neni nggak
jalan-jalan ke sungai…

Mereka bertiga pun berjalan menuju sungai. Dalam


perjalanan menuju sungai mereka bertemu dengan
bapak-bapak yang sedang membawa rumput untuk
diberikan kepada ternaknya. Dan ibu-ibu yang
sedang menanam padi di sawah.

Chita : Akhirnya, sampai juga di sungai.

Neni : Iyah, capek juga ya?

Mono : Kita istirahat di sebelah situ yuk...

Neni dan Chita: Ayuk…!

Tiba-tiba saja...

Chita : Aaaaaaahhh!!!

Mono : Ada apa Chita? Kok Chita Teriak??

Chita : Huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu (menangis)

Neni : Lho lho, kok sekarang malah nangis? Chita


kenapa? Digigit semut?

Mono : Chita kenapa sih?

Chita : Gelang Chita nggak ada nih, gelang Chita


hilang, huhuhuhuhuhu...

102
Mono : Hah, hilang? Kan tadi dipakai sama Chita…

Chita : Iya, tadi Chita pakai gelangnya, terus


sekarang nggak ada… Huhuhuhu...

Mono : Neni lihat gelangnya Chita nggak?

Neni : Nggak, Neni nggak lihat…

Chita : Huhuhuhuhuhuhuhuhuhuhu, itu ‘kan


gelang pemberian Ibu...

Neni : Cup cup cup, Chita jangan nangis…

Mono : Iya, kita cari sama-sama ya gelangnya..

Mono dan Neni membantu mencari gelang Chita


yang hilang, mereka mencari di pinggir sungai dan
menyusuri kembali jalan yang mereka lewati, saat
meraka menuju sungai.

Neni : Aduh, gelangnya di mana ya?

Mono : Ini bukan? (sambil menunjukkan sesuatu)

Neni : Monooooo, itu ‘kan cacing!!! Bukan


gelangnya Chita, cepet buang!

Mono : Hah??? Cacing??? Iiiiiiihhhhh……. Ya udah,


ayo kita cari lagi…

Neni : Hahhhhhhhh, ini gelangnya Chita, iya kan


Chita?

103
Chita : Iya, itu gelang Chita.

Mono : Ternyata gelang Chita jatuh, nggak jadi


hilang deh gelangnya…

Chita : Wah, makasi ya Mono, makasih ya Neni,


kalian berdua udah nyariin gelangnya Chita,
gelang Chita nggak jadi hilang deh.

Neni : Iya, sama-sama Chita.

Mono : Iya, mulai sekarang gelangnya dijaga yang


bener, biar nggak hilang lagi...

Chita : Iya iya, makasi yaaa...

Mereka bertiga bermain di sekitar sungai, sambil


menikmati suasana di sekitar sungai yang sejuk,
karena banyak pohon pisang disekelilingnya.

Mono : Eh... Eh kayaknya udah siang, kita pulang


yuk, nanti kita dicariin lagi…

Neni : Iya, pulang yuk Neni laperr…

Mono dan Chita: Ayoooo pulang!

Mereka bertiga pun pulang dengan hati senang.


Mereka telah bermain dan belajar. Belajar
menghargai pemberian, belajar membantu orang
yang membutuhkan.

104
Badak yang Berwarna
Ungu
Oleh Kak Dini Kaeka Sari

Di ujung barat Pulau Jawa, ada hutan bernama


Hutan Pangandaran. Di sana hidup banyak sekali
jenis hewan, termasuk di antaranya badak bercula
satu yang kulitnya berwarna abu-abu. Ya, semua
badak memang berwarna abu-abu seperti tanah.

Badak dikenal karena kesopananannya. Tidak pernah


lupa untuk selalu mengucapkan tolong, ketika
meminta bantuan dan tak pernah lupa mengucapkan
terima kasih ketika mendapatkan sesuatu dari orang
lain. Satu lagi, tak pernah lupa mengucapkan kata
permisi jika hendak melakukan sesuatu pada orang
lain.

Alkisah, di antara sekian banyak badak bercula satu


yang ada di Hutan Pangandaran, ada seekor badak
kecil yang bernama Babecu, badak kecil yang sangat
lucu. Ke mana saja perginya, dia selalu mengekor
Ayah Badak dan Ibu Badak yang sangat sabar.

105
Suatu ketika, tibalah waktu Babecu untuk bersekolah
seperti kakak-kakak sepupunya dan teman-teman
kakak sepupunya. Babecu takut pergi ke sekolah,
sebab tentu saja dia akan jadi jauh dari Ayah Badak
yang penyabar dan Ibu Badak yang sangat sayang.
“Di sekolah Babecu akan bertemu siapa, Bu?”
tanyanya pada ibu badak ketika pagi hari hendak
diantar ke sekolah.

“Babecu akan bertemu Ibu Guru yang juga sayang


pada Babecu, sama dengan Ibu. Dan di sekolah
Babecu juga akan bertemu dengan banyak badak-
badak kecil lain yang sama dengan Babecu, Babecu
pasti senang” jelas Ibu Badak bersemangat.

“Apakah mereka tidak nakal?”

“Kalau Babecu tidak nakal dan sopan, pasti teman-


teman Babecu juga tidak akan nakal pada Babecu.”

Sesampainya di pintu gerbang sekolah, sebelum


Babecu masuk ke halaman sekolah, Ibu Badak
mengingat sesuatu. Dan itu harus segera dikatakan
pada Babecu. Sementara di depan pintu gerbang
sekolah semua ibu-ibu badak sedang berdesakan
mengantarkan badak-badak kecil seperti Babecu
untuk memasuki halaman sekolah. Apa sih yang mau
Ibu Badak katakan pada Babecu? Ah ya… Sebab
Babecu mudah sekali buang angin dan bersendawa
keras-keras, maka Ibu Badak harus mengingatkannya

106
supaya bersikap sopan dengan mengucapkan
permisi, untuk pergi ke luar kelas ketika hendak
bersendawa atau buang angin.

“Babecu, ingat pesan Ibu ya, jangan buang angin dan


bersendawa di kelas, itu tidak sopan…”

Belum selesai Ibu Badak berbicara, tiba-tiba bel


masuk sekolah berbunyi nyaring sekali. Sehingga
Babecu dan Ibu Badak kaget, melupakan yang tadi
dibicarakan dan segera Ibu Badak meminta Babecu
untuk masuk ke halaman sekolah.

Ternyata, di dalam kelas baru, Babecu punya banyak


teman yang baik, Ibu Guru yang baik dan kelas yang
penuh hiasan warna-warni, Babecu senang dan dia
merasa sangat lega dan berani bersekolah sendirian.
Babecu sangat suka bersekolah.

Beberapa lama setelah Ibu Guru mengajari Babecu


dan teman-teman Babecu bernyanyi dan
menghapalkan pantun, tiba-tiba Babecu merasa
perutnya mulas. Mungkin tadi terlalu banyak makan,
atau udara memang terlalu dingin. Aduh, perut
Babecu sakit sekali. Tapi Babecu ingat pesan Ibu
Badak sewaktu di pintu gerbang sekolah tadi,
tidaklah sopan jika bersendawa atau membuang
angin di dalam kelas. Lalu bagaimana ini, sementara
perut Babecu sakit sekali. Tidak mungkin Babecu jadi
badak kecil yang tidak tahu sopan santun. Maka

107
selama Ibu Guru sedang mengajari teman-teman
badaknya bernyanyi, Babecu diam seribu bahasa.
Tak berani bersuara dan menahan diri untuk tidak
membuang angin di kelas. Meskipun perutnya sakiiit
sekali. Kenapa jam pulang lama sekali? Babecu
sangat cemas. Bagaimana Babecu bisa membuang
rasa sakitnya itu. Babecu diam, terus diam, diam,
dan bertambah diam. Ditahannya keinginannya
untuk membuang angin, sebab tidak sopan.
Ditahannya terus perutnya, dipegangi, ditekan-tekan
sedikit, dielus-elus berkali-kali supaya berkurang rasa
sakitnya dan keinginannya membuang angin.

Lalu, tanpa disadarinya, tiba-tiba kulitnya yang


berwarna abu-abu berubah warna. Mulanya warna
abu-abu kulit Babecu menjadi kebiruan, lalu menjadi
ungu muda, semakin lama kulit Babecu terus
berubah menjadi ungu kemerah-merahan.

Ibu Guru kaget bukan kepalang. Sebab pastilah


sedang terjadi sesuatu dengan Babecu, Ibu Guru
khawatir Babecu sakit.

“Babecu kenapa? Katakan pada Ibu Guru, apakah


Babecu sakit?” tanya Ibu Guru dengan sangat
khawatir. Namun, karena Babecu tak juga menjawab
dan tak bergerak sedikitpun, maka Ibu Guru segera
menggendong Babecu keluar kelas untuk diperiksa di
ruang kesehatan sekolah.

108
Belum sampai jauh di luar kelas, ketika digendong
Ibu Guru, Babecu tak kuat lagi menahan dan Babecu
pun membuang angin dengan suara yang keras
sekali. “DUUUUUUUUUUUTtttttt…” sampai-sampai
Ibu Guru terlonjak karena kaget. Dan Ibu Guru pun
tahu kenapa Babecu berubah warna kulitnya
menjadi ungu.

Babecu sangat malu pada Ibu Guru, dan segera


meminta maaf, ternyata Ibu Guru baik sekali,
katanya, “Babecu tidak boleh menahan buang angin
atau membuang hajat sekalipun meski berada di
dalam kelas, sebab Babecu bisa meminta izin Ibu
Guru untuk pergi ke luar kelas dengan mengatakan
permisi terlebih dahulu.”

109
110
Apa itu Indonesia Bercerita?

Indonesia Bercerita adalah sebuah bisnis sosial


berbasis komunitas yang menawarkan karya cerita
anak dan metode bercerita sebagai inovasi dalam
pengasuhan dan pendidikan anak. Sosial berarti
melakukan perubahan sosial melalui penyediaan
sumber cerita dan pengetahuan secara gratis kepada
masyarakat. Bisnis berarti melakukan usaha-usaha
yang diperlukan untuk memastikan kelestarian
inisiatif ini. Usaha Indonesia Bercerita berbasis pada
pengorganisasian komunitas yang peduli dan
mempunyai kesamaan misi yaitu Mendidik melalui
Cerita.

Peran Indonesia Bercerita meliputi Fasilitator


Komunitas IDcerita, Sanggar IDcerita dan Pendidikan
IDcerita. Fasilitator Komunitas IDcerita berperan
mengorganisasikan keterlibatan komunitas untuk
berkonstribusi dalam misi mendidik melalui cerita.
Sanggar Idcerita berperan menciptakan podcast
cerita anak yang mendidik untuk komunitas.
Pendidikan IDcerita berperan mendidik komunitas
melalui peningkatan kapasitas bercerita.

111
Karya utama Indonesia Bercerita adalah cerita anak
dalam berbagai bentuk (buku cetak, buku-e dan
podcast) serta pengetahuan tentang penggunaan
metode bercerita dalam pengasuhan dan pendidikan
anak. Karya-karya tersebut dapat dinikmati secara
gratis oleh masyarakat.

Apa Misi Indonesia Bercerita?

Mendidik melalui Cerita

Apa Visi Indonesia Bercerita?

Anak Indonesia yang berkarakter

Apa Sasaran yang ingin dicapai Indonesia Bercerita?

1. Adanya komunitas pencerita yang


mempunyai kapasitas untuk mendidik
melalui cerita

2. Terbangunnya kebiasaan bercerita dalam


pengasuhan dan pendidikan anak di
Indonesia

3. Tersebarluasnya cerita anak yang


membebaskan imajinasi anak dan
membangun karakter bangsa

112
Apa mantra Indonesia Bercerita?

Mendidik melalui Cerita Membebaskan Imajinasi


Anak, Membangun Karakter Bangsa

Mengapa Mendidik melalui Cerita?

Kami memilih cerita sebagai media pendidikan


karena kami meyakini cerita mempunyai

kekuatan yang luar biasa, yaitu:

1. Interaktif : Mendidik anak aktif

2. Atraktif : Memudahkan anak fokus

3. Optimisme : Membangun semangat

4. Imajinatif : Memicu anak berimajinasi

5. Kreatif : Melahirkan solusi kreatif

Keunggulan mendidik melalui cerita

Chapter 1. Bisa dilakukan oleh siapa saja

Chapter 2. Mudah dilakukan dimana saja dan


kapan saja

113
Chapter 3. Murah, relatif tidak butuh biaya besar

Chapter 4. Mudah tersebar luas

Chapter 5. Variatif, bisa dikembangkan sesuai


kebutuhan. Bahkan cerita bisa digunakan
untuk mengajarkan fisika dan kimia.

Apa manfaat Indonesia Bercerita bagi masyarakat


umum?

1. Masyarakat bisa mendapatkan cerita anak


dan podcast (mp3) cerita anak secara gratis

2. Masyarakat bisa belajar mengembangkan


kapasitas untuk mendidik melalui cerita

3. Penulis cerita dan pencerita bisa


mempromosikan diri pada masyarakat luas

4. Bagi anak yang mempunyai bakat bercerita,


dapat menjadi media aktualisasi bakatnya.

114
Web : http://IndonesiaBercerita.org

Blog : http://blog.IndonesiaBercerita.org

Twitter : http://Twitter.com/IDcerita

Facebook : http://Facebook.com/IndonesiaBercerita

Email : Idcerita@gmail.com

115

Anda mungkin juga menyukai