Anda di halaman 1dari 13

Pandangan Hukum : “Substansi Pengaturan Rancangan Undang-Undang Cipta

Kerja Menjual Pendidikan Tinggi untuk Investasi Asing yang tidak Akuntabel”
Ditulis oleh: Mira Fajri, SH, CLA
Dipublikasi: 13 September 2020

1. Omnibus Law secara konseptual dapat dirumuskan sebagai suatu teknik


penyusunan dan pengesahan atas undang-undang yang mencakup
banyak tema pengaturan serta memuat jumlah norma yang berkali-kali lipat
daripada yang dimuat dalam undang-undang biasa. Glen S. Krutz
menjelaskan bahwa suatu undang-undang dapat disebut sebagai Omnibus
Bill apabila memenuhi kualifikasi sebagai berikut:
(1) Spans three or more major topics policy areas OR ten or more
subtopic policy areas. AND (2) is greater that the mean plus one
standard deviation of major bills in size. (Glen S. Krutz, Legislative Studies Quarterly,
XXV, 4, November 2020, “Getting Around Gridlock: The Effect of Omnibus Utilization on Legislative
Productivity”, h. 539)

2. Pada sudut pandang sejarah, langkah perumusan Omnibus Law seringkali


diambil lembaga kepresidenan Amerika Serikat untuk “berdamai” dengan
lembaga legislatifnya. Sebab selain bahwa Omnibus Law berguna untuk
menyelesaikan negosiasi politik yang pelik, ia juga merupakan langkah yang
efektif untuk meloloskan kebijakan signifikan dengan mengabaikan kritik
substansial yang secara logis akan muncul. (Glen S. Krutz, Legislative Studies Quarterly, XXV, 4,
November 2020, “Getting Around Gridlock: The Effect of Omnibus Utilization on Legislative Productivity”, h. 533)

3. Hal ini sebagaimana yang terjadi di Kanada pada tahun 1968 dimana Hukum
Pidana diubah untuk mendekriminalisasi homoseksualitas dan aborsi(Steve
Weatherbe, Pro-life leaders caution against marking Jan. 28 Morgentaler anniversary as day of mourning,

sebagaimana diakses melalui https://www.lifesitenews.com/news/pro-life-leaders-caution-against-marking-jan.-28-

morgentaler-anniversary-as).
Atau sebagaimana yang terjadi di Amerika pada tahun
1982 untuk memunculkan kerangka asuransi kesehatan baru bagi kategori

1
pekerja lepas. Omnibus Bill di Amerika juga secara sering digunakan dalam
meloloskan undang-undang penganggaran dan penyesuaian pajak yang
dapat berfungsi untuk menghindari government shutdown dan menghalau
evaluasi fiskal yang menyeluruh bersamaan dengan muatan pengaturan
kontroversi lainnya seperti pelemahan perlindungan data pribadi (Russel Brandom,
Congress passes controversial cybersecurity bill attached to omnibus budget, sebagaimana diakses melalui

https://www.theverge.com/2015/12/18/10582446/congress-passes-cisa-surveillance-cybersecurity).

4. Berkaca dari hal tersebut, oleh karena Indonesia tengah mengalami


kesatuan arus politik di lembaga kepresidenan dan legislatif, rencana
penerbitan suatu RUU Ciptaker sebagai suatu Omnibus Law hanya dapat
disimpulkan sebagai langkah politik anti-kritik dalam perubahan norma-
norma hukum terkait multidimensi pemerintahan berorientasi deregulasi
untuk investasi.
5. RUU Ciptaker dalam konteks pewacanaan, perencanaan dan pembahasan
oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dipandang lebih dari
sekedar metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih
efektif dan efisien melainkan juga sebagai orientasi politik hukum.
6. Sehingga pembahasan tentang RUU Ciptaker perlu menekankan pada
aspek tujuan penormaan dan pembatasan-pembatasannya. Herb Gray
dalam salah satu perdebatan di parlemen Kanada menyatakan bahwa
esensi Omnibus Law adalah untuk menyatukan beragam undang-undang
baik yang diubah maupun yang dibentuk secara baru ke dalam satu prinsip
dan tujuan yang sama, sebagai berikut:
The essential defence of an omnibus procedure is that the bill in
question, although it may seem to create or to amend many
disparate statutes, in effect has one basic principle or purpose which
ties together all the proposed enactments and thereby renders the
bill intelligible for parliamentary purposes.(Michel Bedard, Omnibus Bills: Frequently
Asked Questions Background Paper, sebagaimana diakses melalui
https://lop.parl.ca/sites/PublicWebsite/default/en_CA/ResearchPublications/201279E#txt5)

————
7. RUU Ciptaker dan Naskah Akademik RUU Ciptaker (sebagaimana dipublikasikan melalui
https://ekon.go.id/source/info_sektoral/RUU%20Cipta%20Kerja.pdf) tidak memuat pengkajian dan

dasar hukum atas jenis teknik pembentukan undang-undang khusus dalam


konteks tata hukum nasional.

2
8. Naskah Akademik RUU Ciptaker hanya memuat uraian dua halaman yang
berpokok pada identifikasi persoalan hukum yang terkandung dalam banyak
undang-undang. Selanjutnya tanpa menyebut dasar hukum apapun,
disebutkan bahwa, “Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja melalui
teknik omnibus law diyakini dapat mengatasi berbagai persoalan hukum
sebagaimana diuraikan di atas.”
9. Hal ini menunjukkan bahwa penyusun RUU Ciptaker tidak
mempertimbangkan aspek tertib hukum dan konsesi hukum yang berlaku
dalam pembangunan sistem hukum Indonesia.
10. Padahal, RUU Ciptaker memuat beberapa jenis pengaturan dalam satu
undang-undang, yakni sebagai berikut:
a. Penyusunan muatan pengaturan yang baru;
b. Perubahan sebagian muatan Undang-Undang yang sudah berlaku;
dan
c. Pencabutan seluruh maupun sebagian muatan Undang-Undang
yang sudah berlaku.
11. Dalam taraf pembacaan dan penelusuran hukum, Angka 2 sampai Angka
13 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3)(sebagaimana diakses melalui

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2011_12.pdf) mengatur bahwa Nama Undang-

Undang harus mengandung unsur yang mencerminkan jenis isi Undang-


Undang yakni sebagai: Undang-Undang baru, Undang-Undang perubahan,
Undang-Undang pencabutan, Undang-Undang penetapan atau Undang-
Undang pengesahan perjanjian/persetujuan internasional.
12. Dengan demikian, upaya penyusunan RUU Ciptaker tidak dikenal oleh UU P3.
13. Tanpa perubahan norma pembentukan peraturan perundang-undangan
yang mengakomodasi teknik Omnibus Law, RUU Ciptaker secara mendasar
memiliki cacat formil karena tidak sesuai dengan sistematika yang diatur
dalam UU P3.
————
14. Pengabaian hiearki hukum sebagai salah satu tiang konstitusionalisme juga
tercermin melalui Pasal 166 dan Pasal 170 RUU Ciptaker.

3
15. Pasal 166 RUU Ciptaker mengubah Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai berikut:
3. Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 251
(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota, yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi dan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
dapat dibatalkan.
(2) Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
dengan Peraturan Presiden.
16. Padahal, pencabutan Perda sebagai jenis perundang-undangan di bawah
undang-undang merupakan tindakan hukum yang harus melalui proses
pengujian yuridis oleh Mahkamah Agung. Hal ini sebagaimana diamanatkan
melalui Pasal 24A Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD N RI 1945):
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
17. Selanjutnya Pasal 170 RUU Ciptaker mengatur bahwa:
(1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis
cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang
mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau
mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak
diubah dalam Undang-Undang ini.
(2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi
dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.
18. Padahal, Peraturan Pemerintah merupakan jenis peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah daripada Undang-Undang sehingga tidak
dapat mengubah Undang-Undang. Konsep ini merupakan asas umum yang

4
harus dipenuhi dalam menjaga tertib hukum dan kesatuan sistem hukum bagi
suatu masyarakat hukum tertentu.
19. Secara yuridis, asas tersebut dimuat dalam Pasal 5 UU P3 yang menyatakan
bahwa salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik adalah “kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan”.
20. Secara doktrinal, asas tersebut tercermin dalam asas konflik hukum yang
menyebutkan bahwa lex superior derogat legi inferior (hukum yang lebih
tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah dalam hierarki hukum).
21. Secara teoritis, H.L.A Hart di The Concept of Law menyebutkan bahwa sistem
hukum setidak-tidaknya dibangun atas logika penerimaan sosial (kesadaran
hukum) yang dibangun secara bertingkat, sebagai berikut:
In a modern legal system where there are a variety of “sources” of
law, the rule of recognition is correspondingly more complex: the
criteria for identifying the law are multiple and commonly include a
written constitution, enactment by a legislature, and judicial
precedents. In most cases, provision is made for possible conflict by
ranking these criteria in an order of relative subordination and
primacy. It is in this way that in our system ‘common law’ is
subordinate to “statute”.(H.L.A Hart, The Concept of Law di dalam pembahasan tentang
Rule of Recognition and Legal Validity, 1961, h. 98)

————
22. Selanjutnya RUU Ciptaker memaksakan kesatuan norma-norma dasar bagi
79 undang-undang yang diubah atau dicabut secara bersamaan.
23. Dengan demikian, RUU Ciptaker menimbulkan ambiguitas karena politik
hukum deregulasi RUU Ciptaker diterapkan pada hampir seluruh bidang
pemerintahan, termasuk bidang pendidikan yang memiliki kekhususan asas
dan tujuan pengaturan.
24. Dalam taraf asas pembentukannya, Pasal 2 RUU Ciptaker mengatur bahwa:
Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
a. pemerataan hak;
b. kepastian hukum;
c. kemudahan berusaha;
d. kebersamaan; dan
e. kemandirian.
25. Selanjutnya dalam konteks deregulasi investasi, Pasal 3 RUU Ciptaker
mengatur bahwa:

5
Undang-Undang ini diselenggarakan dengan tujuan untuk
menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat
Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan
yang layak melalui kemudahan dan perlindungan UMK-M serta
perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan
berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja,
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis
nasional.
26. Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(UU 12/2012)(sebagaimana diakses melalui http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2012_12.pdf),
misalnya, memiliki pengaturan terkait Asas dan Tujuan yang tersendiri.
27. Pasal 3 UU 12/2012 mengatur bahwa:
Pendidikan Tinggi berasaskan:
a. kebenaran ilmiah;
b. penalaran;
c. kejujuran;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kebajikan;
g. tanggung jawab;
h. kebhinnekaan; dan
i. keterjangkauan.
28. Selanjutnya Pasal 5 UU 12/2012 mengatur bahwa:
Pendidikan Tinggi bertujuan:
a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan
bangsa;
b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi
kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui
Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai
Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta
kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis
penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.

6
29. Perubahan UU 12/2012 yang didasarkan pada asas dan tujuan RUU Ciptaker
merupakan suatu hal yang tidak berkesesuaian dengan asas kejelasan
tujuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
30. Kedua asas dan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, mengatur tentang
hal yang berbeda yang sangat mungkin menimbulkan ambiguitas
penerapan hukum.
31. Pada akhirnya baik UU 12/2012 dan undang-undang lain yang diubah atau
dicabut berdasarkan RUU Ciptaker dipaksa untuk terkalahkan dengan tujuan
investasi semata-mata.
————
32. Selanjutnya RUU Ciptaker menempatkan pendidikan sebagai salah satu
materi pengaturan yang diklasifikasikan ke dalam klaster penyerdehanaan
perizinan.
33. Hal ini menyebabkan perubahan UU 12/2012 yang dimuat dalam RUU
Ciptaker memuat berbagai masalah substantif.
34. RUU Ciptaker berusaha untuk menghilangkan karakteristik kebangsaan
Indonesia yang dipandang dapat mengurangi daya saing global dalam
industri pendidikan tinggi.
35. Hal tersebut diterapkan dengan perubahan Pasal 35 UU 12/2012 yang
menghilangkan kewajiban mahasiswa berkewarganegaraan asing untuk
mengikuti mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan dan Bahasa
Indonesia.
36. Pengaturan tersebut ditambah dengan keterangan pembatasan bahwa
keempat mata kuliah tersebut hanya diwajibkan bagi mahasiswa
berkewarganegaraan Indonesia pada jenjang sarjana dan diploma.
37. Sudut pandang pengaturan yang dimuat di dalam RUU Ciptaker tersebut
merupakan asumsi yang tidak berdasar dan semata-mata
menumbuhkembangkan jiwa inferioritas atas kebangsaan Indonesia.
38. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan pendidikan tinggi untuk
membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

7
39. Selanjutnya RUU Ciptaker secara serampangan menghilangkan frase
“Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah” dalam Pasal 1
Angka 19 UU 12/2012 sehingga menghilangkan satuan makna dalam definisi
Pemerintah Pusat.
40. RUU Ciptaker mengatur bahwa Menteri Pendidikan tidak lagi bertanggung
jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi melainkan diganti menjadi
Presiden/Pemerintah Pusat setidak-tidaknya sebagaimana dimuat dalam
perubahan Pasal 7, Pasal 33, Pasal 60 UU 12/2012.
41. Pengaturan yang demikian pada kelanjutannya diiringi dengan
ketidakpastian hukum terkait pengaturan penyelenggaraan pendidikan
tinggi keagamaan yang sebelumnya diatur oleh Menteri Agama.
42. RUU Ciptaker membuat sejumlah cek kosong delegasi pengaturan terkait
tanggung jawab penyelenggaraan Pendidikan Tinggi melalui suatu amanat
pembentukan Peraturan Pemerintah. Sehingga hal-hal pokok yang
seharusnya menjadi akar konsepsi pengaturan pendidikan tinggi
ditempatkan sebagai muatan pengaturan yang lebih rendah dan lebih
mudah diubah.
43. Hal tersebut tentu tidak dapat dibenarkan karena pendidikan tinggi perlu
diselenggarakan dengan seksama dan stabil serta berkesinambungan
dalam orientasi pendalaman ilmu pengetahuan. Sangat rentan dan
mudahnya reorganisasi kewenangan dan skema birokrasi di level
penanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan tinggi akan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang sangat merugikan institusi
pendidikan.
44. Selanjutnya RUU Ciptaker memuat pengaturan yang memperkenalkan
perizinan berusaha sebagai konsepsi yang dapat menggantikan akreditasi
bagi pendidikan tinggi sebagaimana tercermin melalui perubahan Pasal 33
dan Pasal 60 UU 12/2012, sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Program pendidikan dilaksanakan melalui Program Studi.
(2) Program Studi memiliki kurikulum dan metode pembelajaran
sesuai dengan program Pendidikan.
(3) Pogram Studi dikelola oleh suatu satuan unit pengelola yang
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai program studi dan Perizinan
Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8
Pasal 60
(1) PTN didirikan oleh Pemerintah Pusat.
(2) PTS yang didirikan oleh Masyarakat wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat dan dapat berprinsip nirlaba.
(3) Perguruan Tinggi wajib memiliki Statuta.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
45. Dimaknainya sifat ketergantian antara konsepsi akreditasi dan perizinan
berusaha merupakan penyimpangan terhadap amanat konstitusi yang
mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah bagian dari
penjaminan cita-cita kemerdekaan negara. Hal ini sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan UUD N RI 1945, sebagai berikut:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia…
46. Hal ini juga dapat menimbulkan kerancuan terkait kewajiban pemerintah
untuk membiayai dan mengusahakan sistem pendidikan nasional yang
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia, sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 31 UUD N RI 1945.
47. Selanjutnya perubahan Pasal 60 UU 12/2012 yang sebelumnya memuat frase
“dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang
berprinsip nirlaba” menjadi “wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat dan dapat berprinsip nirlaba” merupakan suatu
pengaturan yang kontradiktif sebab basis dari konsepsi Perizinan Berusaha
bertentangan dengan prinsip lembaga yang bersifat nirlaba.
48. Pada akhirnya, pemerintah akan menyerahkan penyelenggaraan
pendidikan secara umum dan pendidikan tinggi secara khusus semata-mata
melalui mekanisme persaingan industrial semata. Sehingga negara
kehilangan peran untuk melakukan identifikasi atas konsepsi pendidikan yang
berkesesuaian dengan cita luhur kebangsaan Indonesia.
49. Selanjutnya RUU Ciptaker memuat penghapusan Pasal 54 UU 12/2012 yang
memuat pengaturan t entang Standar Pendidikan Tinggi.

9
50. NA RUU Ciptaker memberi penjelasan bahwa penghapusan tersebut
dimaksudkan untuk mengembalikan pengaturan standar pendidikan
kepada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)(sebagaimana diakses melalui

http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/203.pdf). Padahal, Pasal 35 UU Sisdiknas tidak

secara menjangkau pengaturan tentang standar pendidikan tinggi secara


khusus seperti bidang penelitian dan pengabdian masyarakat yang hanya
ada pada pendidikan tinggi. Sehingga penghapusan Pasal 54 UU 12/2012
tidak dapat dimaknai sebagai harmonisasi materi muatan terhadap Pasal 35
UU Sisdiknas.
51. Selanjutnya RUU Ciptaker menghilangkan beberapa sanksi administratif dan
ketentuan pidana sebagai implikasi dari pengidentifikasian pendidikan tinggi
sebagai objek pengaturan klaster perizinan berusaha.
52. RUU Ciptaker mengatur penghapusan sanksi administratif atas tidak
terakreditasinya suatu Program Studi sebagaimana dimuat dalam Pasal 33
Ayat (6) UU 12/2012 serta atas tidak terselenggaranya mata kuliah agama,
Pancasila, kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia di Pendidikan Tinggi
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Ayat (3) UU 12/2012.
53. RUU Ciptaker mengatur penghapusan ketentuan pemidanaan bagi:
a. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi
yang tanpa hak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau
gelar profesi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (6) UU
12/2012;
b. Perseorangan yang tanpa hak menggunakan gelar akademik, gelar
vokasi, dan/atau gelar profesi sebagaimana diatur dalam Pasal 28
ayat (7) UU 12/2012;
c. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi
yang tanpa hak memberikan ijazah sebagaimana diatur dalam
Pasal 42 ayat (4) UU 12/2012;
d. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi
yang tanpa hak memberikan sertifikat profesi sebagaimana diatur
dalam Pasal 43 ayat (3) UU 12/2012;

10
e. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi
yang tanpa hak memberikan sertifikat kompetensi sebagaimana
diatur dalam Pasal 44 ayat (4) UU 12/2012;
f. PTS yang didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan
penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba namun
tidak memperoleh izin Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 60
ayat (2) UU 12/2012; dan
g. Perguruan Tinggi lembaga negara lain yang tidak memenuhi
kewajiban (a) memperoleh izin Pemerintah, (b) berprinsip nirlaba, (c)
bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin
Pemerintah, dan (d) mengutamakan Dosen dan tenaga
kependidikan warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam
Pasal 90 ayat (4) UU 12/2012.
54. Penghapusan sanksi administratif dan ketentuan pidana tersebut merupakan
hal yang tidak relevan dengan peningkatan daya saing usaha bidang
pendidikan tinggi serta sebaliknya dapat menurunkan kualitas pendidikan
tinggi di Indonesia.
————
55. Selanjutnya RUU Ciptaker memuat pembentukan Lembaga Pengelola
Investasi bersamaan dengan percepatan proyek strategis nasional sebagai
materi pengaturan yang penting dalam tujuan penciptaan lapangan kerja
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 RUU Ciptaker.
56. Lembaga Pengelola Investasi sebagai satu-satunya lembaga pemerintahan
yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Ciptaker tidak dilengkapi
dengan ketentuan tugas dan wewenang.
57. Pengaturan terkait Lembaga Pengelola Investasi sebagian besar mengenai
struktur kelembagaan. Sehingga tidak dapat ditemukan kejelasan terkait
kedudukan, fungsi dan wewenangnya di dalam tata kelembagaan negara.
58. Selanjutnya Pasal 159 RUU Ciptaker memuat norma terbuka atas
diperbolehkannya pembentukan lembaga terkait investasi berdasarkan
suatu Peraturan Pemerintah.
59. Ketentuan yang demikian merupakan kemunduran pada konteks
ketatanegaraan yang telah dibangun berdasarkan UUD N RI 1945 serta

11
dapat menjadi arus balik dari gagasan reformasi birokrasi dan akuntabilitas
penyelenggaraan negara.
60. Selanjutnya Pasal 160 RUU Ciptaker memuat ketentuan impunitas
penyelenggara negara dari tindak pidana korupsi. Pasal 160 RUU Ciptaker
menyebutkan bahwa kerugian investasi dan/atau kerugian negara tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun memuat kualifikasi terkait dasar
penyampingan tanggung jawab, RUU Ciptaker tidak menyediakan
mekanisme penegakan hukum yang spesifik.
61. Ketentuan impunitas bagi tindak pidana korupsi merupakan hal yang sangat
kritis dan tidak dapat digantungkan pada ketentuan sumir yang
mengandung ketidakpastian hukum.
————
62. Implikasi lanjutan dari cacat formil dalam RUU Ciptaker antara lain (1)
membuat RUU tidak dapat dilaksanakan karena tidak sesuai dengan
konsepsi pembacaan dan penelusuran hukum, (2) menjadikan RUU Ciptaker
sebagai pondasi totalitarianisme dan ketidakpastian hukum atas
pengupayaan pemusatan kontrol kekuasaan ke lembaga pemerintahan
pusat dan (3) menerapkan orientasi politik hukum deregulasi pada seluruh
bidang pemerintahan yang memiliki karakteristik substansi pengaturan
tersendiri.
63. RUU Ciptaker menjual setiap bidang pemerintahan untuk politik hukum
deregulasi investasi, termasuk bidang pendidikan.
64. RUU Ciptaker menyediakan impunitas hukum bagi koruptor khususnya terkait
pengelolaan investasi negara.

Maklumat Aspirasi LKHK terkait Keterbukaan Informasi Publik


1. Penyelenggaraan negara bukanlah dimiliki oleh pejabat pemerintahan
saja melainkan perlu dimiliki seluruh rakyat Indonesia.
2. LKHK mengapresiasi sistem informasi yang disediakan lembaga negara
seluruhnya yang telah memberikan penjaminan atas keterbukaan
informasi publik sehingga memungkinkan pencermatan, pengkajian dan
penyampaian aspirasi publik yang berkemajuan.

12
3. LKHK mengecam segala bentuk pembatasan atas akses informasi yang
berintegritas, terbaru dan lengkap yang menghalangi upaya
pencerdasan dan partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan.

13

Anda mungkin juga menyukai