Anestesi Lapkas Louis
Anestesi Lapkas Louis
PENDAHULUAN
1
Peridural
Spinal (Sub Arachnoid Block/SAB), dan lain-lain.
3. Lokal anestesi
Lokal anestesi adalah anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestetika lokal pada daerah atau di sekitar lokasi pembedahan yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.
Cara pemberian lokal anestesi yaitu :
Topikal
Infiltrasi lokal
Blok lapangan.
Malpresentasi adalah bagian terendah janin yang berada di segmen bawah
rahim bukan belakang kepala. Malposisi adalah penunjuk (presenting part) ada
berada di anterior. Secara epidemiologis pada kehamilan tunggal didapatkan
presentasi kepala sebesar 96,8 %, bokong 2,7 %, letak lintang 0,3 %, majemuk 0,1
%, muka 0,05 %, dan dahi 0,01 %”. Persalinan normal dapat terjadi manakala
terpenuhi keadaan-keadaan tertentu dan faktor-faktor persalinan: jalan lahir
(passage), janin (passanger), dan kekuatan (power). Pada waktu persalinan,
hubungan antara janin dan jalan lahir sangatlah penting untuk diperhatikan oleh
karena menentukan mekanisme dan prognosis persalinannya.5
Dalam keadaan normal, presentasi janin adalah belakang kepala dengan
penunjuk ubun-ubun kecil dalam posisi transversal (saat masuk pintu atas panggul),
dan posisi anterior (setelah melewati pintu tengah panggul). Dengan presentasi
tersebut, kepala janin akan masuk panggul dalam ukuran terkecilnya (sirkumferensia
suboksipitobregmatikus). Hal tersebut dicapai bila sikap kepala janin fleksi. Sikap
yang tidak normal akan menimbulkan malpresentasi pada janin, dan kesulitan
persalinan terjadi oleh karena diameter kepala yang harus melalui panggul menjadi
lebih besar. Sikap ekstensi ringan akan menjadikan presentasi puncak kepala (dengan
penunjuk ubun-ubun besar), ekstensi sedang menjadikan presentasi dahi (dengan
penunjuk sinsiput), dan ekstensi maksimal menjadikan presentasi muka (dengan
penunjuk dagu). Apabila janin dalam keadaan malpresentasi atau malposisi, maka
dapat terjadi persalinan yang lama atau bahkan macet.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malpresentasi
2.1.1. Definisi
Malpresentasi adalah suatu keadaan dimana bagian terendah janin yang
berada di segmen bawah rahim bukan belakang kepala tetapi presentase muka
atau dahi dengan ubun-ubun besar yang dapat teraba pada pembukaan
lengkap. POPP (Posisio Oksipital Posterior Persisten) adalah Malpresentasi
yang menetap atau posisi janin tidak dapat berubah dengan ubun-ubun besar
yang teraba pada pembukaan lengkap.
2.1.2. Klasifikasi
Malpresentasi adalah bagian terendah janin yang berada di segmen bawah
rahim bukan belakang kepala terbagi menjadi presentasi muka dan presentasi
dahi.6
A. Presentasl Muka
Presentasi muka adalah presentasi kepala dengan defleksi maksimal sehingga
okslput menyentuh punggung dan muka terarah ke bawah (Randal terhadap
ibu). Punggung dalam posisi londosis dan biasanya terdapat di belakang6.
Diagnosis
1. Dalam kehamilan:
Presentasi muka terkadang dicurigai dalam kehamilan bila:
a. Tonyolan kepala teraba sesisi dengan punggung dan di antara
belakang kepala dan punggung teraba sudut yang runcing (sudut
Fabre); tonjolan kepalai Juga bertentangan dengan sisi bagian-bagian
kecil;
b. Bunyi gantung anak terdengar di sisi bagian-bagian kecil. Diagnosis
keadaan di atas dapat diperkuat dengan pemeriksaan ultrasonografi
dan foto Rdntgen pelvis antero-posterior dan lateral6.
3
2. Dalam persalinan:
Dengan pemeriksaan dalam, pada pembukaan yang cukup besar teraba
orbita, hidung, tulang pipi, mulut dan dagu. Oleh sebab agak lunak, muka
harus dibedakan dari bokong6.
Penyebab
Penyebab yang terpenting ialah panggul sempit dan anak yang besar. Secara
lengkap, penyebab dapat dibagi ke dalam 2 golongan:
Letak defleksi mungkin juga dapat terjadi karena tonus otot-otot ekstensor
anak lebih kuat dari tonus otot-otot fleksor6.
Mekanisme persalinan
Pada awal persalinan, defleksi ringan saja, tetapi dengan turunnya kepala
defleksi bertambah, sehingga dagu menjadi bagian terendah. Hal ini
disebabkan karena jarak foramen magnum ke belakang kepala lebih besar
dari jarak dari foramen magnum ke dagu. Diameter submento-bregmatika
4
(9% cm) melalui…jalan lahir. Oleh sebab dagu merupakan bagian terendah,
dagu menjadi yang paling dulu mengalami rintangan dari otot-otot dasar
panggul sehingga memutar ke depan ke arah simfisis. Putaran paksi baru
terjadi di dasar panggul. Di dalam vulva, mulut tampak lebih dahulu. Kepala
lahir dengan gerakan fleksi dan tulang lidah (hioid) menjadi hipomoklion;
berturut-turut lahirlah hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya
tulang belakang kepala. Vulva diregang oleh diameter submento-oksipitalis
(111/2 cm). Kaput suksedaneum terbentuk di daerah mulut sehingga muka
anak moncong6.
Prognosis
Bayi presentasi muka dapat lahir spontan bila dagu di depan. Umumnya
partus berlangsung lebih lama sehingga meningkatkan angka kematian janin.
Risiko ruptur perineum lebih besar6.
Terapi
Bila menemukan presentasi muka, sebaiknya diperiksa ada-tidaknya
kelainan panggul. Bila tidak ada kelainan panggul, pengelolaan persalinan
bersifat konservatif, mengingat bahwa pada presentasi muka anak masih
dapat lahir spontan. ataupun jika dagu terdapat di sebelah belakang, masih
ada kemungkinan bahwa dagu memutar ke depan dan persalinan
berlangsung spontan. Namun, sebagai salah satu upaya menurunkan angka
kematian perinatal, kala ll ditetapkan tidak boleh lebih dari 1 jam. Jika ada
indikasi menyelesaikan persalinan, forseps dipergunakan dengan syarat-
syarat6:
]ika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, lebih baik dilakukan seksio sesarea.
Dahulu, bila pada multipara didapati presentasi muka dengan ketuban baru
pecah, pembukaan lengkap, dan kepala masih agak tinggi serta dagu terdapat
di belakang, presentasi ini diusahakan dikoreksi manual menjadi letak
belakang kepala dengan perasat Thorn. Namun dewasa ini, mengingat pada
5
presentasi muka angka kematian perinatal lebih tinggi bila anak lahir per
vaginam, bila dagu di belakang, sebaiknya seksio sesarea langsung
dilakukan. Dewasa ini, manipulasi janin intrauterin sudah ditinggalkan.
Bahaya manipulasi janin intrauterin adalah tercetusnya refleks mengisap
pada bayi yang bisa menyebabkan aspirasi sehingga saat lahir, bayi
mengalami asfiksia atau pneumonia aspirasi. Jika dagu tetap di belakang
(posisi mente-posterior persisten), persalinan tidak dapat berlangsung
spontan karena untuk menyesuaikan diri dengan lengkung panggul, anak
harus menambahkan defleksinya, Hal ini tidak mungkin terjadi karena
defleksi kepala sudah maksimal.
Pengelolaan keadaan ini ialah: Seksio sesarea bila anak masih hidup, Ferret-
as! bila anak sudah mati. 6
B. Presentasi Dahi
Presentasi dahi terjadi manakala kepala janin dalam sikap ekstensi sedang.
Pada pemeriksaan dalam dapat diraba daerah sinsiput yang berada di antara
ubun-ubun besar dan pangkal hidung. Bila menetap, janin dengan presentasi
ini tidak dapat dilahirkan oleh karena besarnya diameter oksipitomental yang
harus melalui panggul. Janin dengan ukuran kecil dan punggungnya berada di
posterior atau ukuran panggul yang sedemikian luas mungkin masih dapat
dilahirkan pervaginam.5
Diagnosis
Diagnosis presentasi dahi dapat ditegakkan apabila pada pemeriksaan vaginal
dapat div raba pangkal hidung, tepi atas orbita, sutura frontalis, dan ubun-
ubun besar, tetapi tidak dapat meraba dagu atau mulut janin. Apabila mulut
dan dagu janin dapat teraba, maka diagnosisnya adalah presentasi muka.
Sebanyak 24 % presentasi dahi tidak terdiagnosis sebelum kala 11. Pada
palpasi abdomen dapat teraba oksiput dan dagu janin di atas simfisis dengan
mudah5.
Penyebab
6
Penyebab presentasi dahi sama dengan penyebab presentasi muka yang dapat
dibagi ke dalam 2 golongan6:
Mekanisme Persalinan
Pada umumnya presentasi dahi bersifat sementara untuk kemudian dapat
berubah menjadi presentasi belakang kepala, presentasi muka, atau tetap
presentasi dahi. Oleh karena itu, apabila tidak ada gawat janin, menunggu
kemajuan persalinan dapat dilakukan. Perubahan presentasi dapat terjadi
terutama pada janin kecil atau janin mati yang sudah mengalami mas'erasi.
Pada janin dengan ukuran normal, terutama apabila selaput ketuban sudah
pecah, biasanya tidak terjadi perubahan presentasiz. Mekanisme persalinan
pada presentasi dahi menyerupai mekanisme persalinan pada presentasi
muka. Oleh karenanya, janin kecil mungkin dapat dilahirkan vaginal bila
punggungnya berada di posrerior. Apabila presentasi dahi yang menetap
dibiarkan berlanjut, maka akan terjadi molase yang hebat sehingga diameter
oksipitomental akan berkurang dan terbentuk caput succedaneum di daerah
dahi. Persalinan dapat berlangsung hanya bila molase tersebut membuat
kepala bisa masuk panggul. Saat lahir melalui pintu bawah panggul, kepala
7
akan fleksi sehingga lahirlah dahi, sinsiput, dan oksiput. Proses selanjutnya
terjadi ekstensi sehingga lahirlah wajah5.
Prognosis
Bayi presentasi dahi dapat lahir spontan jika ukuran bayi kecil. Namun
kebanyakan bayi dengan presentasi dahi pada umumnya tidak dapat lahir
spontan karena ukuran terbesar kepala, yaitu diameter mento-oksipitalis
menyebabkan partus berlangsung lebih lama sehingga meningkatkan angka
kematian janin. Risiko ruptur perineum lebih besar5,6,
Penanganan
Sebagian besar presentasi dahi memerlukan pertolongan persalinan secara
bedah sesar untuk menghindari manipulasi vaginal yang sangat meningkatkan
mortalitas perinatal. Jika dibandingkan dengan presentasi belakang kepala,
persalinan vaginal pada presentasi dahi akan meningkatkan prolaps tali pusat
(5 kali), ruptura uteri (17 kali), transfusi darah (3 kali), infeksi
pascapersalinan (5 kali), dan kematian perinatal (2 kali). Apabila presentasi
dahi didiagnosis pada persalinan awal dengan selaput ketuban yang ntuh,
observasi ketat dapat dilakukan. Observasi ini dimaksudkan untuk menunggu
kemungkinan perubahan presentasi secara spontan. Pemberian Stimulasi
oksitosin pada kontraksi uterus yang lemah harus dilakukan dengan sangat
hati-hati dan tidak boleh dilakukan bila tidak terjadi penurunan kepala atau
dicurigai adanya disproporsi kepala panggul. Presentasi dahi yang menetap
atau dengan selaput ketuban yang sudah pecah sebaiknya dilakukan bedah
sesar untuk melahirkannya. Jangan melahirkan menggunakan bantuan
eksrraksi vakum, forseps, atau simpisiotomi karena hanya akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas5
8
seksio sesarea dilakukan dengan anestesia spinal atau epidural. Seksio sesarea
dilakukan dengan induksi denyut jantung janin yang tidak normal. Derajat gawat
janinnya harus dipertimbangkan dalam menentukan jenis anestesia yang akan
diberikan. Sebelum dilakukan persalinan dengan seksio sesarea, janin dan juga
ibunya harus dievaluasi. Monitor detak jantung janin harus terus dilakukan sampai
persiapan pembedahan dimulai. Sehubungan dengan pemilihan anestesia, antasida
nonpartikel (contoh sodium sitrat) diberikan secara oral untuk mengurangi resiko
meningkatnya aspirasi pneumonitis pada ibu. Sebagai tambahan bisa diberikan H2-
reseptor antagonis (contohnya simetidin, ranitidin), metoklopramid, atau keduanya
untuk mengurangi keasaman dan mempercepat pengosongan lambung5
Indikasi Sectio Caesarea, yaitu :
a. Plasenta previa terutama plasenta previa totalis dan subtotalis.
b. Panggul sempit
c. Malpresentasi
d. Letak lintang
e. Tumor yang menghalangi jalan lahir
f. Pada kehamilan setelah operasi vaginal (misal fistel vesico vaginal atau
Manchester operation)
g. Keadaan-keadaan dimana usaha untuk melahirkan anak pervaginam gagal.
Bahaya Sectio Caesarea yaitu berupa peritonitis dan ruptur uteri pada kehamilan
yang berikut5.
9
dalam posisi duduk, maka yang diblok adalah akar nervus sakralis; injeksi dengan
pasien pada posisi lateral, jika posisi dipertahankan, akan menghasilkan anestesi
unilateral pada tempat yang lebih rendah. Anestesi spinal yang berhasil akan
memblok nervus simpatis, sehingga terjadi vasodilatasi luas dan penurunan tekanan
darah yang berbahaya. Jalan terbaik untuk menghindari penurunan tekanan darah
adalah dengan infus salin atau ringer laktat 500-1000 ml sebelum dianestesi8.
Anestesi Sub Arachnoid Block (SAB) adalah anestesia regional dengan
menghambat sel saraf didalam ruang subarachnoid oleh obat anestetik lokal. Teknik
anestesi ini menjadi popular karena dianggap sederhana dan efektif, aman terhadap
sistem saraf, konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya, serta mempunyai
beberapa keuntungan, antara lain tingkat analgesia yang kuat, pasien tetap sadar,
relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih sedikit, risiko aspirasi pasien
dengan lambung penuh lebih kecil dan pemulihan fungsi saluran cerna lebih cepat.
Jenis obat anestesi lokal yang ideal adalah obat dengan mula kerja cepat, lama kerja
serta tinggi blokade yang dapat diperkirakan agar sesuai dengan perkiraan durasi
operasi yang kemudian akan dilakukan4.
a. Indikasi
Menurut Dobson (2012), indikasi anestesi spinal dapat digunakan pada hampir
semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesarea) perineum dan
kaki. Anestesi ini memberikan relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi yang
didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain,
misalnya bupivakain, sinkokain atau tetrakain, maka lama operasi dapat
diperpanjang sampai 2-3 jam8.
b. Kontra Indikasi
Menurut Latief dkk (2001), kontraindikasi untuk melakukan anestesi blok
subraknoid (SAB) ada 2, yaitu 3:
Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikkan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi
6. Fasilitas resusitasi minim
10
7. Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesi
Kontra indikasi relatif :
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi sekitar tempat suntikkan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis
11
Digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang, yang berasal dari
Physical Status the American Society of Anesthesiologists (PS ASA) :
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sitemik berat, tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
c. Pemeriksaan fisik
d. Pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PT/
Prothrombine time, dan PTT / Partial Thromboplastine Time.
2. Posisi Pasien
Ada tiga posisi utama yang biasa digunakan pada teknik penyuntikkan obat
anestetik pada anestesi blok subaraknoid (SAB) ini yaitu: lateral dekubitus,
duduk, dan tengkurap. Pemilihan masing-masing posisi ini tergantung dari
situasi dan kebutuhan dari pasien. Pengaturan posisi pasien ini cukup
penting untuk menjamin keberhasilan tindakan anestesia spinal ini3.
a. Posisi lateral dekubitus
Kebanyakan ahli anestesi sering memilih posisi ini. Penderita tidur
miring diatas meja operasi dengan membelakangi ahli anestesiologi.
Pinggul dan lutut difleksikan secara maksimal, dan dada serta leher
difleksikan mendekat kearah lutut. Posisi ini digunakan untuk kasus-
kasus cedera atau fraktur pada pinggul dan kaki dimana penderita tidak
dapat bangun untuk duduk. Untuk prosedur pembedahan yang
unilateral, larutan hiperbarik biasanya digunakan pada posisi ini dengan
sisi yang akan dilakukan tindakan pembedahan berada di sebelah
bawah. Sebaliknya bila yang digunakan larutan hipobarik maka
penderita diposisikan dengan sisi yang akan dioperasi berada di sebelah
12
atas (sisi non dependent). Namun, beberapa praktisi sering
memposisikan penderita pada posisi miring ke arah tertentu saja,
sebagai akibat dari kebiasaan mereka3.
b. Posisi duduk
Anatomi tulang belakang kadang-kadang lebih susah dipalpasi bila
dilakukan dengan posisi ini dibandingkan dengan posisi lateral
dekubitus. Posisi ini baik dilakukan pada pasien obesitas dan sering
diindikasi untuk operasi lumbar bawah atau sakral. Pada anestesia
spinal, pasien-pasien tersebut sebaiknya dibiarkan dalam posisi duduk
dulu sesudah penyuntikan selama kurang lebih 5 menit. Namun bila
posisi ini dipilih atas alasan obesitas atau skoliosis sementara kita
menginginkan level blok tinggi, maka setelah penyuntikan pasien harus
segera kita telentangkan (supine position)3.
13
Gambar 2. Posisi duduk pada anestesi spinal
c. Posisi delungkup/tengkurap (prone position)
Pada teknik anestesia spinal, posisi ini dapat dilakukan untuk prosedur
pembedahan pada bagian anorektal. Pasien diposisikan dalm posisi
“Jack-knife”, dan selanjutnya lumbal pungsi dapat dilakukan. Teknik ini
menggunakan larutan anestetika lokal yang bersifat hipobarik dan
keuntungannya penderita setelah tindakan pungsi lumbal tidak perlu
diubah lagi posisinya. Ini akan menghasilkan anestesia daerah sakral3.
14
16 - 30 dan menurut jenis bentuk jarum spinal ini terdapat 5 bentuk, yaitu :
Quincke – Babcock needle, greene needle, pencil point needle, whitecare,
dan sprote7.
15
yaitu jarum suntik biasa 10 cc. Tusukan intoducer sedalam kira - kira 2
cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-
Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater,
yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah
untuk menghindari kebocoran liquor, pasang spuit berisi obat dan obat
dapat dimasukkan pelan - pelan (0,5 ml/detik) diselingi sedikit aspirasi
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik3.
16
a. Faktor utama:
Berat jenis anestetik lokal (barisitas),
Posisi pasien (kecuali isobarik),
Dosis dan volume anestetik lokal (kecuali isobarik).
b. Faktor tambahan3 :
Ketinggian suntikan,
Kecepatan suntikan/barbotase,
Ukuran jarum,
Keadaan fisik pasien,
Tekanan intraabdominal.
17
2.4 Perubahan fisiologi ibu hamil
Perubahan faal ibu hamil yang berpengaruh pada anestesi adalah :
a. Pernafasan2,7
Minute ventilation (volume nafas satu menit) meningkat sampai 50 % sehingga
anestesia inhalasi berjalan lebih cepat mencapai tahap anestesia yang dalam.
Function Residual Capacity menurun, menyebabkan cadangan oksigen dalam
paru menurun sedang disisi lain, kebutuhan O2 ibu hamil meningkat. Tindakan
pre-oksigenasi sebelum anestesia adalah sangat penting untuk mengurangi
bahaya hipoksia.
Gangguan respirasi terjadi karena trauma pada saluran nafas waktu intubasi
endotrakea, kesukaran intubasi, hipoventilasi karena obat narkotika atau
anestetika. Trauma dan infeksi pada saluran nafas atas lebih mudah terjadi waktu
intubasi endotrakea pada ibu hamil, karena pembuluh darah di mukosa lebih
melebar dan hiperemis. Maka intubasi harus dilakukan secara halus, alat-alat
yang sterlil, dan pipa endotrakea yang lebih kecil dari biasa. Kesukaran intubasi
lebih sering terjadi pada ibu hamil. Hal ini karena glandula mammae nya lebih
besar, keadaannya lebih obis, sembab mukosa saluran nafas atas, penekanan
kartilago krikoid berlebihan, posisi pasien agak miring, pasien sudah tertutup
oleh kain operasi, dan keterampilan anestesia yang kurang. Resiko hipoksia pada
pasien obstetri lebih mudah terjadi karena kapasitas residu fungsional yang lebih
rendah, dan konsumsi okigen meningkat sampai 20 %. Resiko hipoksia lebih
sering terjadi pada intubasi yang sukar dan lama, atau pemberian obat narkotika.
Pasien obstetri lebih sensitif terhadap zat anestetika inhalasi karena kadar
hormon progesteron lebih tinggi. Juga waktu induksi lebih cepat karena
kapasitas residu fungsional lebih rendah sampai 20 %, dan volume semenit
ventilasi lebih besar. Sehingga overdosis yang tidak diperkirakan bisa terjadi.
Upaya pencegahan hipoksia dilakukan dengan pre-oksigenasi dengan oksigen
100% 3-5 menit sebelum induksi dan intubasi. Bila hipoventilasi maka nafas
harus dibantu dan diberikan oksigen. Kalau terjadi aspirasi ke dalam paru, segera
jalan nafas dibersihkan, berikan bronkodilator dan kortikosteroid, bila perlu
diintubasi dan nafas dibantu atau dikendali dengan ventilator.
b. Sirkulasi
18
Terjadi kenaikan volume darah sampai rata-rata 50%, yang disebut dengan
“Protective Hypervolemia” ini memberikan cadangan volume darah yang
berguna untuk mengatasi kehilangan darah pada waktu persalinan. Pada wanita
yang tidak hamil dengan berat badan 50 kg, volume darahnya adalah 70
ml/kgBB seluruhnya 3.500 ml. Pada wanita yang hamil, volume darah efektif
bertambah dengan 50 % menjadi 5.250 ml. Seorang normal dapat kehilangan
darah sampai 10 % volume darahnya tanpa akibat yang berbahaya. Kehilangan
15 % volume menyebabkan kenaikan nadi, vasokonstriksi dan penurunan
tekanan darah yang perlu diatasi dengan infus cairan. Perdarahan lebih dari 30 %
volume darah akan menyebabkan syok yang harus diatasi dengan cairan dan
transfusi. Perdarahan rata-rata pada persalinan normal pervaginam adalah 500
ml. Bagi wanita tidak hamil, ini adalah 15% volume darah, tetapi bagi wanita
hamil ini hanya 10 % saja sehingga akibat yang ditimbulkannya jauh lebih
ringan dari wanita tidak hamil. Jumlah perdarah normal pada persalinan sekitar
300 ml, bedah Caesar 500 ml. Pada keadaan ini, biasanya tanpa gejala hipotensi.
Tetapi perdarahan melebihi 15% jumlah darah ibu, gejala hipotensi akan tampak
bila tidak segera diatasi dengan pemberian infus garam berimbang, atau plasma
ekspander, atau transfusi darah. Karena perdarahan terjadi secara cepat, maka
sebelum melakukan analgesia regional atau analgesia perlu terpasang infus
dengan kanula intravena yang berdiameter besar (nomor18-16G). dengan cara
ini, pemberian infus yang cepat dapat segera dilakukan 3. Perdarahan rata-rata
pada pembedahan Caesar adalah 1000 ml. Bagi wanita tidak hamil jumlah ini
setara dengan 30 % volume, memerlukan penggantian cairan dan transfusi. Bagi
wanita hamil jumlah ini setara dengan 20 % volume darah, sehingga cukup
diberikan cairan elektrolit saja (belum tentu perlu transfusi)7.
Salah satu gejala kardiovaskular tidak adekuat adalah hipotensi. Keadaan
ini, dijumpai pada perdarahan hebat yang tiba-tiba, obstruksi aorto-kava, blok
simpatis karena analgesia subaraknoid atau epidural, dan depresi vasomotor
karena anestesia yang dalam3. Hipotensi dapat disebabkan vasodilatasi pembuluh
darah tepi oleh blok simpatis pada analgesia subaraknoid, epidural dan kaudal.
Juga akibat reaksi sistemik zat analgetika saat analgesia epidural, kaudal, dan
paraservikal. Vasodilatasi juga dapat disebabkan oleh depresi vasomotor selama
19
anestesia yang dalam. Gangguan kardiovaskular dapat terjadi lebih berat bila
faktor tersebut timbul bersamaan2,7.
c. Aspirasi
Aspirasi isi lambung atau cairan lambung kedalam paru yang disebabkan oleh
regurgitasi atau muntah, dapat menimbulkan obstruksi dan atau pneumonitis
kimia akut. Kelainan ini dikenal dengan sindroma Mendelson. Gejalanya yaitu
dispneu atau takipneu, takikardia, sianosis dan suara mengik. Pada kasus berat
dapat timbul sembab paru akut, atau gagal nafas akut3. Pada kehamilan terjadi
peningkatan produksi asam lambung, proses pencernaan yang memanjang. 50%
kematian pada anestesia disebabkan oleh masuknya cairan lambung kedalam
trakea dan paru yang menyebabkan acid aspiration pneumonitis atau disebut
sindroma dari Mendelson2. Kemungkinan aspirasi pada pasien obstetrik lebih
mudah terjadi karena faktor yang tidak menguntungkan. Hal ini karena terdapat
penurunan tonus sfingter gastroesofageal, pengosongan lambung lebih lambat,
produksi cairan lambung lebih banyak dan lebih asam, tekanan lambung pada
saat tertentu lebih tinggi3. Dengan tingginya angka kematian akibat aspirasi
maka perlu diketahui faktor-faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi
adalah2,7 :
1. Pendorongan lambung oleh pembesaran rahim mengakibatkan
pengosongan lambung yang lebih lambat.
2. Produksi asam lambung meningkat.
3. pH cairan lambung lebih asam. pH kurang dari 2,5 sangat merusak
parenkim paru dan menyebabkan sindroma Mendelson.
Aspirasi lebih sering terjadi selama tindakan anestesia. Komplikasi ini dapat
terjadi pada saat induksi dan intubasi, mendorong uterus guna mempercepat
proses kelahiran bayi, dan ekstubasi. Kejadian ini bisa terpantau atau secara
diam-diam. Karena keadaan ini, maka lebih menguntungkan memilih teknik
analgesia regional untuk pasien obstetrik. Bila teknik anastesia dipilih maka
pencegahannya harus dilakukan dengan cara ; Mengurangi sekresi cairan
lambung dengan pemberian ranitidin 50-100 mg atau 300 mg simetidin
intramuskular 2 jam atau 1 jam intravena sebelum induksi, menaikan pH cairan
20
lambung dengan pemberian emulsi antasid 30 ml atau sodium sitrat 0,3 mole 1-2
jam sebelum induksi, intubasi endotrakea, induksi cepat dengan perasat Sellick
dan ekstubasi pasien sudah sadar7.
Puasa saja tidak menjamin pengosongan lambung yang baik. Perlu dilakukan
penghisapan aktif berulang-ulang melalui pipa lambung berukuran besar
(Fr.18/20). Untuk menetralisasi asam lambung yang tersisa setelah penghisapan,
perlu diberikan antasida Magnesium Trisilikat atau Natrium Sitrat 30 menit
sebelum anestesi dimulai. Selain itu, H2- blocker (simetidin dan ranitidin) dapat
membantu mengurangi produksi cairan lambung dan menaikan pH-nya. Tetapi
obat ini memerlukan waktu 1 jam setelah pemberian secara intravena untuk
mencapai puncak aktifitas kerjanya2,7.
d. Pembesaran rahim
Vena kava inferior dan aorta dapat tertekan oleh uterus terhadap tulang
belakang, bila ibu berbaring terlentang. Akibatnya darah baik ke jantung
berkurang. Sebagai kompensasi, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah tepi. Bila
obstruksi parsial atau mekanisme kompensasi cukup, gejala hipotensi tidak
tampak. Biasanya hanya disertai perubahan denyut jantung janin. Kalau
obstruksi vena kava inferior cukup kuat, sehingga darah balik turun lebih dari 30
%, sindroma hipotensi terlentang akan nampak. Gejalanya adalah pusing,
keringat dingin, pucat, enek, muntah, bradikardia dan hipotensi. 15 % sampai 20
% ibu yang hamil aterm trimester III pada posisi terlentang mengalami Supine
Hypotension Syndrome akibat penekanan vena cava inferior sehingga ke jantung
menurun dan curah jantung juga menurun. Gejala meliputi hipotensi, mual atau
muntah, sesak nafas dan gelisah2. Upaya pencegahan obstruksi aorto-kava yaitu
mencegah ibu berbaring terlentang, meninggikan bokong kanan atau
memiringkan meja operasi 20-30 derajat ke kiri2,7.
21
dapat mengalami kegawatan karena proses persalinan sendiri seperti terjadinya
perdarahan akibat plasenta yang terlepas dini, lilitan tali pusat dan putar paksi
yang keliru. Faktor-faktor ini menyebabkan hipoksia janin didalam rahim. Obat
anestesi narkotik dan sedatif yang melewati plasenta maka obat anestesi yang
dipilih adalah obat yang sesedikit mungkin melewati plasenta sehingga tidak
menambahkan depresi pernafasan pada bayi2. Dosis obat anestesi yang diberikan
pada ibu diusahakan yang minimal dan anestesia yang terjadi seringan mungkin
karena 5-10% bayi yang lahir dengan Sectio Caesaria mengalami depresi berat.
Persiapan peralatan resusitasi dan tenaga terampil resusitasi merupakan
kebutuhan yang mutlak untuk mengatasi depresi bayi lahir2,7
Tindakan anestesia atau analgesia regional pada pasien obstetrik sering diperlukan
untuk persalinan tanpa nyeri, ekstraksi cunam atau vakum, versi dalam atau luar,
bedah sesar, atau tindakan penyulit persalinan yang lainnya3. Anestesia kebidanan
berbeda dengan anestesia pada wanita biasa karena kehamilan menyebabkan banyak
perubahan fisiologi bagi ibu. Selain itu juga harus dihadapi janin yang akan segera
dilahirkan. Sebagian obat yang diberikan kepada ibu akan menerobos melalui
plasenta masuk kedalam peredaran darah janin yang kemudian dapat menyebabkan
depresi pernafasan setelah bayi lahir. Obat dan teknik anstesia kebidanan yang dipilih
harus baik untuk ibu, baik untuk janinnya dan tidak mempengaruhi kontraksi rahim 2.
Metode anestesia sebaiknya seminimal mungkin mendepresi janin, aman dan nyaman
bagi ibu, dan memungkinkan ahli obstetrik bekerja optimal. Teknik yang aman
tergantung pada pengalaman dan kemahiran yang dikuasai oleh anestesis. Disamping
itu, perlu dipikirkan komplikasi yang mungkin terjadi dan sejauh mana teknik itu
dapat menumbulkan efek samping pada janin yang akan dilahirkan2,7
22
c) Mengurangi produksi asam lambung
2. Untuk menghindari terjadinya hipovolemi dilakukan :
a) Pemasangan infus, cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9% 500 ml untuk
cadangan seandainya terjadi perdarahan berlebihan selama
pembedahan.
b) Menyediakan darah
c) Untuk menghindari perdarahan setelah anak lahir disiapkan obat untuk
merangsang kontraksi otot rahim. Obat perangsang kontraksi otot rahim
tak dapat masuk ke uterus bila trejadi asfiksia, hipoksia atau kerusakan
dari jaringan uterus.
b. Persiapan janin7
1. Alat resusitasi bayi. Bayi lahir dengan operasi Caesar 5 % - 10% lahir
mengalami depresi nafas berat.
2. Tempat menghangatkan bayi.
c. Operasi Caesar
Premedikasi yang diberikan hanya anti-kolinergik tanpa narkotik dan sedatif.
Sulfas atropin diberikan dengan dosis 0,5 mg. Teknik anestesia yang ideal
adalah blok regional atau cara inhalasi dengan intubasi trakea, karena dengan ini
resiko aspirasi dapat ditekan serendah mungkin. Tetapi jika peralatan dan
keterampilan tidak memungkinkan untuk kedua cara anestesi diatas, cara lain
tanpa intubasi dapat tetap digunakan asal posisi pasien selama anestesia
dipertahankan head-down (kepala lebih rendah) dan disiapkan alat penghisap
yang baik. Pilihan anestesinya yaitu : regional berupa blok subarachnoid dan
blok peridural maupun inhalasi7.
Ketamin dengan dosis 0,5-1,0 mg per kgBB dilanjutkan eter inhalasi dengan
masker setelah anak lahir. Dosis ulangan 0,5 mg per kgBB atau ketamin dengan
dosis 0,5 mg – 1,0 mg per kgBB dan ditambahkan suksinil cholin 1 mg per
kgBB dan dilakukan intubasi, setelah anak lahir baru diberikan eter. Dapat juga
penthotal dengan dosis 3 mg – 5mg per kgBB ditambah suksinil cholin 1 mg per
kgBB dilanjutkan dengan N2O atau O2, setelah anak lahir dilanjutkan dengan
eter atau halotan. Chloretyl dan eter. Pembedahan dimulai setelah pasien tidak
sadar. Pada saat kaki bayi sudah terpegang, eter dihentikan sementara sampai
bayi keluar dan tali pusat dijepit. Selanjutnya eter diteruskan sampai selesai.
23
Cara apapun yang dipilih, alat penghisap muntah harus selalu siap selama
anestesi, posisi kepala pasien selalu lebih rendah7.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesa
24
a. Keluhan Utama : mules – mules yang makin sering disertai keluarnya
lendir darah
b. Riwayat penyakit sekarang : Pasien dengan G5P3A1 hamil 40-41 minggu
datang ke IGD Kebidanan dengan keluhan mules – mules yang semakin sering
dan makin kuat disertai keluarnya lendir darah dari jalan lahir ± 4 Jam SMRS.
Keluar air dari jalan lahir (-). Keputihan (+), gatal (-), bau (-). Gerakan janin
dirasakan aktif,
c. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat asma, alergi obat, DM, hipertensi,
penyakit jantung dan malaria disangkal.
d. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat asma, alergi, DM dan hipertensi
disangkal.
e. Riwayat psikososial : Pasien tidak merokok dan minuman beralkohol.
f. Riwayat pengobatan : Pasien tidak mengonsumsi obat apapun sebelum
MRS.
g. Riwayat Anestesi dan pembedahan sebelumnya : Pasien tidak memiliki
riwayat anestesi dan pembedahan sebelumnya.
h. Riwayat obstetrik
o Riwayat persalinan
III Abortus
25
IV Cukup Spontan Bidan 3.100gr ♂ 2 tahun Hidup
bulan
V Hamil ini
o Riwayat pernikahan
Usia pernikahan :♂ Umur : 37 tahun ; Pendidikan : S1; Pekerjaan :
PNS.
Pernikahan ke : 1 : Suami ke :1
Dengan suami sekarang : 7 tahun
o Riwayat menstruasi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : Teratur 28 hari
Gejala penyerta : dismenorea (-)
HPHT :? : TP : ?
o Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Berapa kali : 2 kali
Dimana : PKM Sentani
Imunisasi TT : 1 kali
o Riwayat penggunaan kontrasepsi sebelum hamil
Jenis kontrasepsi : KB suntik 3 bulan
Berapa lama : 2 tahun terakhir
26
penuh
o Status Generalis
27
jejas (-)
o Status obstetrik
a. Pemeriksaan luar
TFU : 36 cm diatas simfisis pubis
LP : tidak dilakukan
LA : memanjang, punggung kiri, 4/5
BJA : 140 x/CTG
His : 2x10’37”
TBJK : 3,875
Inspekulo : tidak dilakukan
b. Pemeriksaan dalam
v/v : tidak ada kelainan
P : tidak teraba
Ø : 9 cm
Ketuban : (+)
Presentasi : Hodge III, UUB posterior
c. Pemeriksaan panggul
CV : tidak dilakukan
CD : tidakdilakukan
Promontorium : tidak dilakukan
L. inominata : tidak dilakukan
28
Spina ischiadica : tidak dilakukan
Sacrum : tidak dilakukan
Arcus pubis : tidak dilakukan
3.5 Diagnosis
Ibu : G5P3A1 Parturien aterm kala II + partus tidak maju ec POPP
Bayi : Janin Presentasi Kepala Tunggal Hidup
Informed consent
Pasang IV line
Pasien mulai puasa jam 24.00 WIT.
29
PS. ASA : PS ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang).
30
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba 2 cm medial dari linea
midklavikular sinistra.
Perkusi Batas atas : ICS II linea parasternalis
sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis
sinistra
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea
midclavicularis
sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis
dextra
Auskultasi Bunyi jantung I-II regular, murmur (-),
gallop (-)
B3 Kesadaran Kompos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
31
3.9 Laporan durante operasi
a. Laporan anetesi
Penyulit Pembedahan -
Obat yang digunakan
Premedikasi : (-)
Induksi dan maintenance : Bupivakain HCL 0,5% (10 mg),
dilakukan blok pada jam: 17.05 WIT
Pengakhiran Anestesi : (-)
Medikasi Durante Operasi : Bupivakain HCl 0.5 % 10 mg
Oxytocin 10 UI
Metergin 0,2 mg
Ranitidin 50 mg
Ondansetron 4 mg
32
Efedrin 80 mg
Antrain 1000 mg
Petidin 40 mg
Fentanil 1cc
Tanda-tanda vital pada akhir TD: 105/70 mmHg, Nadi : 105x/m,
pembedahan reguler, kuat angkat, SpO2: 100%
b. Laporan Pembedahan
33
lengkap
Segmen bawah rahim dijahit lapis
demi lapis
Abdomen dijahit lapis demi lapis
Kulit dijahit, sub kutis dijahit
Perdarahan selama operasi ± 350
cc.
Diuresis selama operasi ± 300 cc.
Instruksi Post Operasi Tirah baring tanpa bantal kepala
sampai 12 jam.
Puasa 4 jam post op
Infus RL 20 tpm
Ceftriaxone 3 x 1 gr (i.v)
Kaltrofen 3 x 1 (supp)
Observasi perdarahan dan tanda-
tanda vital.
Transfusi PRC 2 bag
Drip oxitosin 2 amp + 1 amp
metergin IV dalam RL 500cc
20tpm
34
Chart Title
140
120
100
80
60
40
20
0
17:05 17:15 17:25 17:35 17:45 17:55 18:05 18:15 18:25
SISTOL DIASTOL HR
35
1 cc x 70 kg = 70 cc/ jam
2 cc x 70 kg = 140 cc/ jam
jadi, total = 70 cc/ jam – 140 cc/ jam.
Replacement :
36
10 % = 657 cc
20 % = 1.313 cc
30 % = 1.970 cc
Total perdarahan selama operasi ± 550
cc atau perdarahan 10 %, maka
kebutuhan replacement pengganti
perdarahan selama operasi diatasi
dengan pemberian cairan kristaloid
sebanyak 2 – 4 kali EBL 10 % (550 ml)
yaitu berkisar 1.100- 2.200 ml.
37
Jadi total kebutuhan kalium post operasi
sebanyak 60 - 120 mEq.
Kebutuhan kalori :
Kebutuhan kalori perhari
berkisar 25 – 30 Kcal/kg/hari
25 x 60 = 1.500 Kcal / hari
30 x 60 = 1.800 Kcal / hari
Jadi kebutuhan kalori perharinya
berkisar 1.500 – 1.800 Kcal/hari.
Kebutuhan asam amino :
Kebutuhan asam amino perhari
berkisar 1 -2 mg/kg/hari
1 x 60 kg = 60 mg/hari
2 x 60 kg = 120 mg/hari
Jadi kebutuhan asam amino perharinya
berkisar 60 – 120 mg/hari.
Replacement :
Tangga Pemeriksaan
l
38
dextra = sinistra. Sonor. Suara nafas vesikuler
(+/+), suara ronchi (-/-), suara wheezing (-/-),
B5 TFU 2 jari dibawah pusat, supel (-), nyeri tekan (-), bising usus
(+) 3-4 kali/menit.
A P4A1 partus maturus dengan post SC atas indikasi kala II tidak maju ec
POPP
Tanggal Pemeriksaan
39
dextra = sinistra. Sonor. Suara nafas vesikuler
(+/+), suara ronchi (-/-), suara wheezing (-/-),
B5 TFU 2 jari dibawah pusat, supel (-), nyeri tekan (-), bising usus
(+) 3-4 kali/menit.
A P4A1 partus maturus dengan post SC atas indikasi kala II tidak maju ec
POPP
Tanggal Pemeriksaan
40
dextra = sinistra. Sonor. Suara nafas vesikuler
(+/+), suara ronchi (-/-), suara wheezing (-/-),
B5 TFU 2 jari dibawah pusat, supel (-), nyeri tekan (-), bising usus
(+) 3-4 kali/menit.
A P4A1 partus maturus dengan post SC atas indikasi kala II tidak maju ec
POPP
P Infus dilepas
Cefadroxil 3 x 500 mg (p.o)
Asam mefenamat 3 x 500 mg (p.o)
Metronidazole 5 x 500 mg (p.o)
Mobilisasi
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang pasien wanita berumur 33 tahun dengan G5P3A1 hamil aterm datang ke
IGD Kebidanan dengan keluhan mules – mules yang semakin sering dan makin kuat
yang menyebar sampai ke tulang belakang disertai keluarnya lendir darah dari jalan
lahir ± 4 Jam SMRS.kelluar air-air (-). Keputihan (+), gatal (-), bau (-). Gerakan
janin masih dirasakan aktif. Dari anamnesa, riwayat penyakit dahulu seperti asma,
41
alergi obat, DM, hipertensi, penyakit jantung dan malaria disangkal. Riwayat
penyakit turunan pada keluarga seperti asma, alergi, DM dan hipertensi juga
disangkal. Pasien tidak merokok dan minuman beralkohol, dan juga tidak
mengonsumsi obat apapun sebelum MRS. Dari anamnesa dikatakan HPHT nya ?
lupa sehingga tidak dapat ditafsirkan tanggal persalinan.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dan laboratorium, ditemukan tekanan darah
pasien 110/70 mmHg. Pada pemeriksaan obstetrik, ditemukan TFU 36 cm diatas
simfisis pubik, letak anak memanjang, punggung kiri, 4/5, BJA 160 x/CTG, His
2x10’37” dan taksiran berat janin klinis 3.600 gr. Vulva-vagina tidak ada
kelainan, portio tebal, lunak, arah posterior, pembukaannya 9 cm, ketuban utuh
menonjol dengan presentasi Hodge III, UUK Posterior.
1. Penentuan PS ASA
Teori Kasus
42
pembedahan hidupnya tidak akan lebih uteri, perdarahan.
dari 24 jam.
Teori Kasus
Pemilihan teknik anestesi pada obstetrik Pada kasus ini teknik anestesi yang
adalah dengan teknik anestesi regional. dipakai adalah teknik anestesi regional
Salah satunya yaitu SAB (subarachnoid berupa subarachnoid block (SAB).
block). Blok sub araknoid yaitu dengan Pertimbangan memilih anestesi tersebut
menyuntikan zat analgetika kedalam karena mengurangi resiko aspirasi pada
ruangan subaraknoid. Teknik ini, ibu, kontak obat anestesi terhadap janin
biasanya dipakai untuk bedah sesar. lebih rendah, masa pulih sampai
Analgesianya diperlukan segmen mobilisasi ibu lebih cepat. Selain itu
spinalis T6 – S5. Untuk mencapainya, general anestesi tidak dipakai pada
diberikan 1 – 1,5 ml lidokain 5 % atau 2 kasus ini atas pertimbangan :
– 3 ml bupivakain 0,5 % yang Pada ibu : resiko hipoksia, aspirasi lebih
hiperbarik. tinggi dan resiko trauma jalan nafas atas
akibat intubasi.
Pada janin : resiko depresi nafas,
hipoksia, asidosis akibat obat anestesi.
Pada uterus : gangguan kontraksi uterus
(subinvolusi), resiko penurunan aliran
darah uteroplasental.
Hasil : Sudah tepat
Pada kasus ini, obat anestesi yang dipakai adalah Bupivakain HCl 0,5 % isobarik 10
mg. Bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
43
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Pada pasien ini mengapa
digunakan obat Bupivacaine dan tidak menggunakan Lidocaine karena meskipun
onset kerja Lidocaine cepat, akan tetapi lama kerjanya 60 – 120 menit, sedangkan
Bupivacaine onset kerjanya lambat, akan tetapi lama kerjanya 240 – 480 menit,
Bupivakain termasuk golongan anestesi lokal onset lambat, durasi panjang, dan
potensi yang tinggi, blokade sensoriknya lebih dominan dibanding dengan blokade
motoriknya.
4. Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan selama perioperatif
44
regular, mur-mur
(-), gallop (-)
B3 Kesadaran : Peningkatan TIK (tekanan Evaluasi
(Brain) kompos mentis, intrakranial) akibat obat kemungkinan
GCS E4V5M6, anestesi. tanda-tanda
riwayat pingsan (-), Nyeri kepala peningkatan
riwayat kejang (-), TIK.
mual-muntah (-), Pemberian agen
pandangan kabur analgesik
(-), nyeri kepala (-)
B4 Produksi urin (+) Retensi urine akibat Monitoring
(Bladder 300 cc warna hipotensi. produksi dan
) kuning encer. warna urine
B5 Inspeksi : Perut Aspirasi isi lambung Pemberian agen
(Bowel) tampak buncit. akibat penurunan tonus H2- antagonist
Palpasi : Supel, sfingter gastroesofageal, dan PPI (proton
nyeri tekan pengosongan lambung pumps
epigastrium (-), lebih lambat, produksi inhibitors).
cairan lambung lebih Pasien di
nyeri tekan (-).
banyak dan lebih asam, puasakan 8 jam
Perkusi : timpani
tekanan lambung pada saat sebelum
Auskultasi : Bising
tertentu lebih tinggi. tindakan
usus (+) 3-4x/
Mual dan muntah operatif.
menit
45
x kgBB/hari
1 cc x 70 kg = 70 cc/ jam
2 cc x 70 kg = 140 cc/ jam
jadi, total = 70 cc/ jam – 140 cc/ jam.
Replacement :
46
Estimate Blood Loss (EBL) :
10 % = 657 cc
20 % = 1.313 cc
30 % = 1.970 cc
Total perdarahan selama operasi ± 550
cc atau perdarahan 10 %, maka
kebutuhan replacement pengganti
perdarahan selama operasi diatasi
dengan pemberian cairan kristaloid
sebanyak 2 – 4 kali EBL 10 % (550 ml)
yaitu berkisar 1.100- 2.200 ml.
47
2 mEq x 60 kg = 120 mEq
Jadi total kebutuhan kalium post operasi
sebanyak 60 - 120 mEq.
Kebutuhan kalori :
Kebutuhan kalori perhari
berkisar 25 – 30 Kcal/kg/hari
25 x 60 = 1.500 Kcal / hari
30 x 60 = 1.800 Kcal / hari
Jadi kebutuhan kalori perharinya
berkisar 1.500 – 1.800 Kcal/hari.
Kebutuhan asam amino :
Kebutuhan asam amino perhari
berkisar 1 -2 mg/kg/hari
1 x 60 kg = 60 mg/hari
2 x 60 kg = 120 mg/hari
Jadi kebutuhan asam amino perharinya
berkisar 60 – 120 mg/hari.
Replacement :
48
selama 8 jam puasa. Diketahui kebutuhan cairan maintenance pasien per-jamnya
adalah 70 cc/ jam – 140 cc/ jam maka untuk menggantikan kebutuhan replacement
cairan selama 8 jam puasa sebesar 560 cc – 1.120 cc. Salah satu kekurangan anestesi
subaraknoid blok yaitu resiko terjadinya hipotensi. Pra-hidrasi yang cukup
diperlukan untuk mencegah terjadinya hipotesi. Pada kasus ini, aktualnya input
cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 500 ml. Hal ini
menunjukan bahwa kebutuhan replacement belum tercukupi.
Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
maintenance cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan
replacement cairan yang hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total
estimasi kehilangan darah selama operasi. Total kebutuhan maintenance cairan
durante operatif sebanyak 70 cc/ jam – 140 cc/ jam. Pada kasus ini dilakukan
tindakan operasi Section Caesarea yang merupakan jenis operasi sedang dengan
lama tindakan operasi 1 jam. Maka kebutuhan replacement cairan durante operasi
untuk sejamnya sekitar 420 cc – 560. Untuk menggantikan perdarahan durante
operatif, didapatkan dari total estimasi kehilangan darah dan cairan yang terjadi
selama tindakan operatif. Total estimasi kehilangan darah pada kasus ini yaitu
sebanyak 657 cc. Aktual didapatkan total perdarahan sebanyak 550 cc yang menurut
kriteria status Giesecke tergolong sebagai kelas 1 yaitu perdarahan < 15 % dari
estimasi volume darah. Sehingga penggantian cairan hanya perlu dengan kristaloid
yang diberikan 2-4 kali estimasi darah yang hilang. Aktualnya pada kasus ini, total
cairan kristaloid yang diberikan sebanyak 1.500 ml disertai koloid sebanyak 1000 ml.
Pertimbangan pemberian koloid adalah untuk mengatasi gejala defisit plasma pada
pasien selama operatif berupa hipotensi. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan
maintenance dan replacement durante operatif terpenuhi.
Terapi cairan post operatif bertujuan untuk menggantikan cairan selama puasa
(replacement) dan kebutuhan maintenance cairan selama 18 jam post operatif (18.28
– 11.00) menurut berat badan. Pada kasus ini, pasien diinstruksikan untuk berpuasa 4
jam pasca tindakan operatif. Total cairan yang dibutuhkan untuk menggantikan
kehilangan cairan selama 4 jam puasa pada pasien tersebut sebanyak 240 cc – 480 cc.
Kebutuhan maintenance cairan yang diperoleh berdasarkan berat badan pasien
selama 18 jam post operatif yaitu berkisar 1.080 cc – 2.160 cc. Aktualnya pada kasus
ini pasien hanya diberikan input cairan sebanyak 500 ml/ 24 jam post operatif. Hal
49
ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan post operatif belum secukupnya terpenuhi.
Kebutuhan akan kalori, protein maupun keseimbangan elektrolit (kecuali hari
pertama) seharusnya perlu dipertimbangkan dalam pemberian jenis cairan post
operatif. Proses penyembuhan luka operasi sangat bergantung pada kecukupan
protein. Bilamana asupan kalori post operatif kurang, sekitar 50 % akan terjadi
pemecahan protein cadangan tubuh. Hal ini mengakibatkan lamanya proses
penyembuhan luka yang mempengaruhi waktu perawatan di Rumah Sakit. Aktualnya
pada kasus ini pasien hanya diberikan cairan kristaloid (Ringer Laktat). Komposisi
ringer laktat hanya terdiri atas ion natrium sebanyak 138 mEq. Kebutuhan kalori
pasien perharinya sebanyak 1.500 – 1.800 Kcal/hari dan untuk asam amino sebanyak
60 – 120 mg/hari. Untuk kebutuhan elektrolit natrium sebanyak 120 - 240 mEq dan
kalium sebanyak 60 - 120 mEq. Namun pemberian elektrolit tepatnya diberikan
secara ketat pada hari kedua pasca operasi. Sehingga pemberian jenis cairan post
operatif sebaiknya yang terdiri atas kalori dan asam amino. Klimix adalah salah satu
jenis cairan yang dapat dijadikan sebagai pilihan dalam terapi cairan post operatif
pada kasus ini. Dengan volume cairan 1000 ml yang komposisinya terdiri atas 410
Kcal, 289 asam amino, 35 mEq Natrium dan 30 mEq kalium. Pemberian setiap 8 jam
diestimasikan dapat memenuhi kebutuhan cairan, kalori dan asam amino
perhariannya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Penentuan PS ASA pada kasus ini sudah tepat dengan mempertimbangkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
50
2. Penentuan jenis anestesi pada kasus ini sudah tepat karena mempertimbangkan
bahaya obat anestesi terhadap ibu dan keselamatan pada janin.
3. Penentuan obat anestesi pada kasus ini sudah tepat, karena mempertimbangkan
blokade sensoriknya yang lebih dominan dibanding dengan blokade motoriknya,
dan mempertimbangkan waktu penggunaannya yang panjang.
4. Critical Point pada kasus ini adalah, hipotensi, perdarahan, sakit kepala, retensi
urin, nausea dan muntah.
5. Terapi cairan perioperatif pada kasus ini belum tepat, sehingga diperlukan
pengaturan terapi cairan yang lebih baik dalam hal ini pemberian cairan yang
adekuan pada perioperatif.
5.2 Saran
1. Perlu diperhatikan kebutuhan dan kecukupan hidrasi cairan sebelum tindakan
anestesi SBA dilakukan guna mengurangi resiko hipotensi.
2. Perlu diperhatikan penggunakan cairan post op yang dengan kalori yang cukup
sehingga membantu dalam proses pemullihan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, Senapathi.2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Indeks:
Jakarta
2. Basuki, Gunawarman. 2000. Anestesiologi. Anestesia Obstetri. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
51
3. Latief, A. Said dkk. 2001. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Longdong, Jeffry F. dkk. Perbandingan efektivitas anestesi spinal menggunakan
bupivakain isobarik dengan bupivakain hiperbarik pada pasien yang menjalani
operasi abdomen bagian bawah.Jurnal Anestesi Perioperatif 2013 : 70.
5. Winkjosastro H. 1999. Ilmu kebidanan Edisi III. cetakan lima. Yayasan Bima
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Balai penerbit FK UI : Jakarta.
6. Djamhoer M dkk. 2013. Obstetri Patologi. Edisi 3. EGC: Jakarta
7. Wirjoatmodjo, karjadi. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar untuk
pendidikan S1 Kedokteran. Anestesi pada ibu hamil. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.
8. Dabson M. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. EGC: Jakarta
52