Anda di halaman 1dari 50

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Evi surhayani


NIM : E1A020028
Fakultas&Prodi : FKIP&Pendidikan Biologi
Semester : 1(Ganjil)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas


selesainya tugas ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Tanpa pertolongan Nya tentunya Saya tidak akan bisa menyelesaikan Tugas ini
dengan baik. Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah Swt untuk kita semua
sebagai umatnya, yang mana beliau menyampaikan syariah Agama islam yang
sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam
semesta.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I.,M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang
telah membantu dalam proses penyelesaian tugas ini, Semoga Allah senantiasa
membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat dan sebagai sumbangsih
pemikiran khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa saya mohon maaf apabila
dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi
dari keseluruhan makalah ini. Saya sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi
kebaikan saya untuk kedepannya.

Penyusun, Mataram, 24 Oktober 2020

Nama :Evi surhayani


NIM :E1A020028

i
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER...................................................................................................i

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I. Tauhid: Keistimewaan&Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam.......... 1


BAB II. Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits...................................13
BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits........................................................20
BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits)….....................29
BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta Keadilan Hukum
dalam Islam................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
BAB 1

TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
A. Konsep Ketuhanan Dalam Islam
1. Makna Kata ”Rabb” Dalam Al-Qur’an

Muhammad Ismail Ibrahim di dalam buku Mujam al-Alfâzh wa al-Alâm al-


Qurâniyyah menyebutkan bahwa terdapat beberapa arti kata rabb di
antaranya rabb al-walad artinya “Memelihara anak dengan memberi makan
dan mengasuhnya”, rabb asy-syai‟ artinya “Mengumpulkan dan memilikinya”,
serta rabb al-amr “Memperbaikinya”. Adapun ar-rabb adalah Tuhan dan
merupakan salah satu dari nama Allah yang jamaknya arbab.
Dari keterangan di atas disimpulkan bahwa kata rabb maknanya berkaitan
dengan kepengasuhan dan kemudian berkembang menjadi “memiliki”,
“memperbaiki”, “mendidik”, juga “Tuhan”. Di sisi lain, kata rabb juga mengacu
kepada gagasan pemilikan, seperti pemilikan keturunan oleh orang tua nya.
Kepemilikan di dalam jenis ini hanya kepemilikan relasional karena kepemilikan
yang sebenarnya hanya milik Allah semata. Di dalam kalimat rabbirhamhuma
kama rabayani Sagira = Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya
sebagaimana mereka mendidik aku dari kecil) (S. Al-Isra‟ [17]: 24).
Kata rabbayani berarti ‘’Pemeliharaan yang diberikan oleh orang kedua
orang tua pada anak -anaknya, seperti memberi makan, pakaian, kasih sayang,
dan tempat berteduh‟. Tindakan Tuhan memelihara, memberi, menjaga, dan
sebagainya itu yang menyebabkan Tuhan disebut ar-rabb.
2. Wujud Al-Rububiyah Dalam Al-qur’an
Terlihat pada awal surah al-Alaq yang merupakan wahyu pertama turun, yaitu:

Artinya: ‘’Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia


Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya’’.

Dalam ayat ini, Al-qur’an menunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kata
Rabbuka (Tuhan) Pemeliharamu (wahai Muhammad). Hal ini untuk menggaris
bawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa yang dapat dibuktikan melalui ciptaan
atau perbuatan. Setelah ayat pertama di atas turun, maka silih berganti ayat

1
turun mengarahkan manusia untuk mengenal Tuhan dengan beberapa anjuran
antara lain untuk:

 Memperhatikan keteraturan dan ketelitian alam raya dan fenomenanya.


 Mengamati manusia sejak lahir hingga mencapai kesempurnaan
perkembangan jiwanya, dan
 Mempelajari sejarah dengan segala dampak baik dan buruknya.
Al-qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap
insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah manusia sejak asal
kejadiannya (QS. Al-Rum [30]:30):

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Sejalan dengan ayat di atas, dalam QS. Al-Fatihah [1];2, Tuhan
memperkenalkan diri-Nya sebagai rabb al-alamiin (Tuhan yang memelihara
semesta alam). Arti pemeliharaan dalam ayat ini adalah penyantunan dan
perlindungan pada semua aspek. Namun pemeliharaan Allah terhadap seluruh
alam bukan karena Allah memerlukan mereka untuk mendatangkan manfaat
atau menghindari bahaya, tetapi itu semata karena kasih sayang dan kebaikan-
Nya untuk semuanya. Oleh karena itu, QS. Al-Fatihah : 2, di antarai oleh dua
ayat yang menjelaskan tentang rahman rahim-Nya. Dia memberitahukan
bahwa pemeliharaan- Nya (rububiyyah-Nya) adalah pemeliharaan yang
mencerminkan kasih sayang dan kebaikan. Hal tersebut agar mereka tahu
bahwa sifat kasih sayang inilah yang menjadi pangkal sifat-sifat-Nya yang lain.
Selain itu, agar mereka bergantung kepada-Nya dan berusaha mendapatkan
ridha-Nya dengan tenanng dan damai.
Ada dua jenis pemeliharaan (tarbiyah) Allah terhadap manusia. Pertama,
Tarbiyah khalqiyah (pemeliharaan fisikal) yaitu menumbuhkan dan
menyempurnakan bentuk tubuh, serta memberikan daya jiwa dan akal. Kedua,
Tarbiyah syar‟iyah ta‟limiyah (pemeliharaan syari‟at dan pengajaran), yaitu
menurunkan wahyu kepada salah seorang di antara mereka untuk
menyempurnakan fitrah manusia dengan ilmu dan amal.

3. Implikasi Teologis Makna Rububiyah dalam Kehidupan Manusia

2
Kesadaran akan eksistensi Tuhan ini telah melahirkan tauhid Rububiyah,
yaitu keyakinan bahwa Dia-lah satu -satunya pencipta semua makhluk (QS. Al-
Zumar :62), Pemberi rizki kepada semua ciptaan-Nya (QS. Hud:6), Pemilik,
Pengatur alam semesta, Yang mengatur pertukaran malam dan siang (QS. Ali
Imran: 26-27, QS. Luqman: 11; al-Mulk: 21), sebagai rabb al-„alamin
(pemelihara semesta alam) (QS. al-Fatihah: 2; QS. Al-A’raf:54).

Muhammad Rasyid Ridha, mengatakan bahwa ada dua kewajiban seorang


hamba terhadap pemeliharaan (Rububiyah) Allah swt., yaitu: pertama, seorang
hamba wajib memuji dan bersyukur kepada-Nya. Caranya adalah
memanfaatkan segala nikmat-Nya untuk memperbaiki kualitas pendidikan
dirinya dan orang -orang yang harus ia didik, yaitu keluarga dan murid
-muridnya. Kedua, seorang hamba tidak menyesatkan diri seperti Fir’aun yang
menyesatkan dirinya sebagai Tuhan dan fir’aun -fir’aun lain yang menempatkan
dirinya sebagai pembuat aturan untuk manusia. Cara demikian telah
menempatkan mereka sebagai sekutu bagi Allah dalam Rububiyah al-tasyri’
(Pemeliharaan syari’at). Allah berfirman:

Artinya: ‘’Apakah mereka memiliki sembahan -sembahan selain Allah yang


mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?’’ (QS. al-
Syura[42]: 21.
Kedua kewajiban di atas merupakan konsekwensi terhadap manusia karena
segala sesuatu telah dipersiapkan oleh Allah. Tak ada satu pun kebutuhan
makhluk dalam rangka mencapai tujuan hidupnya yang tidak disediakan oleh
Allah, karena Dia adalah Pendidik dan Pemelihara seluruh alam (QS. Ibrahim
[14]: 34. Dengan demikian, manusia dapat menghadapi masa depan dengan
penuh optimisme. Dengan mengenal Allah, yakni mengenal sifat/nama
-namanya, seseorang dapat berbudi luhur, karena keindahan sifat-sifatnya
akan melahirkan optimisme dalam hidupnya sekaligus mendorongnya berupaya
meneladani sifat-sifat tersebut sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya
sebagai makhluk.

B. Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan


 Pemikiran Umat Islam

Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan


beberapa konsepsi ke-esaan Tuhan, diantaranya:

3
1. Konsepsi Aqidah.
Dalam kamus Al -Munawir secara etimologis, aqidah berakar dari kata
‘’aqada- ya’qidu –aqdan’ aqidatan yang berarti simpul, ikatan perjanjian dan
kokoh. Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah Menurut Hasan
al-Bana dalam kitab majmu’ah ar -rasa, il’Aqaid (bentuk jamak dari aqidah)
adalah beberapa perkara wajib diyakini kebenarannya oleh hati dan
mendatangkan ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur
sedikit pun dengan keragu -raguan.
a. Istilah Aqidah Dalam Al-Quran
Di dalam al-Quran tidak terdapat satu ayat pun yang secara literal
menunjuk pada istilah aqidah. Namun demikian kita dapat menjumpai istilah
ini dalam akar kata yang sama (‘’aqada’’) yaitu; ‘’aqadat’’, kata ini tercantum
Kata ‘’aqadum’’ terdapat dalam QS. Al -Maidah; 89

1) Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah.


 Iyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan (Tuhan/Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat
-sifat Allah, perbuatan dan lain -lain.
 Nubuwat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan
mengenai Kitab -Kitab Allah, Mukjizat, keramat dan sebagainya.
 Ruhaniyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis,
setan, Roh dan lain sebagainya.
 Sam’iyyat yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya
bisa diketahui lewat sam’iy yakni dalil naqli berupa al-Quran dan as
-sunah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda
kiamat, surga neraka dan seterusnya
b. Sumber Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Quran dan as-Sunnah artinya apa saja
yang disampaikan oleh Allah dalam al-Quran dan Rasulullah dalam
Sunnahnya wajib di imani, diyakini dan diamalkan. Akal pikiran sama sekali
bukan sumber aqidah, tetapi merupakan instrumen yang berfungsi untuk
memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan
mencoba kalau diperlukan membuktikan secara Ilmiah kebenaran yang
disampaikan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Itu pun harus didasari oleh

4
suatu kesadaran penuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, sesuai
dengan terbatasnya kemampuan mahluk Allah. Akal tidak dapat
menjangkau Masa‟il ghabiyah (masalah-masalah ghaib), bahkan akal tidak
akan sanggup menjangkau sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu.

2. Konsepsi Tauhid
a. Tauhid sebagai poros Aqidah Islam.
Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai suatu
keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid
yang merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam.

b. Pentingnya Tauhid
Tauhid sebagai intisari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi
tersebut adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai
yang Esa, pencipta yang mutlak dan penguasa segala yang ada. Keterangan
ini merupakan bukti, tak dapat diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan
peradaban memiliki suatu esensi pengetahuan yaitu tauhid.

c. Tingkatan Tauhid
1) Tauhid Rububiyah
Secara etimologis kata Rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata
rabb ini sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan,
mengembangkan, mencipta, memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki
dan lain-lain. Secara Terminolgis Tauhid Rububiyah ialah keyakinan bahwa
Allah Swt adalah Tuhan pencipta semua mahluk dan alam semesta. Dia-lah
yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan hidup serta
mengendalikan segala urusan. Dia yang memberikan manfaat.

2) Tauhid Mulkiyah
Kata Mulkiyah berasal dari kata Malaka. Isim fa‟ilnya dapat dibaca
dengan dua macam cara: Pertama, malik dengan huruf mim dibaca
panjang; berarti yang memiliki, Kedua, malik dengan huruf mim dibaca
pendek; berarti, yang menguasai. Secara terminologis Tauhid Mulkiyah
adalah suatu keyakinan bahwa Allah swt., adalah satu-satunya Tuhan yang
memiliki dan menguasai seluruh mahluk dan alam semesta.

3) Tauhid Uluhiyah

5
Kata Uluhiyah adalah masdar dari kata alaha yang mempunyai arti
tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling
mendasar adalah Abada, yang berarti hamba sahaya (abdun), patuh dan
tunduk (ibadah), yang mulia dan agung (al-ma’bad), selalu mengikutinya
(abada bih). Tauhid Uluhiyah merupakan keyakinan bahwa Allah swt.,
adalah satu-satunya Tuhan yang patut dijadikan yang harus dipatuhi,
ditaati, digungkan dan dimuliakan.

4) Tauhid Ubudiyah
Kata ‘’Ubudiyah’’ berasal dari akar kata Abada yang berarti
menyembah, mengabdi, menjadi hamba sahaya, taat dan patuh, memuja,
yang diagungkan (Al-Ma‟bud.) Dari akar kata diatas, maka diketahui bahwa
Tauhid Ubudiyah adalah suatu keyakinan bahwasanya Allah Swt.
Merupakan Tuhan yang patut disembah, ditaati, dipuja dan diagungkan.
Tiada sesembahan yang berhak dipuja manusia melainkan Allah semata.

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, ilmu


Kalam, atau ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa
periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat
terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan
kelompok Mu’awiyyah. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal,
tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya.Sebab timbulnya
aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam
memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga
lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain
memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga
lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Aliran-aliran
tersebut yaitu :

 Mu’tazilah

Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan


pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan
keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka
memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk
mempertahankan kedudukan keimanan.Mu’tazilah lahir sebagai
pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan
dari Khawarij.

6
 Qodariah

Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam


berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki
apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan
manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

 Jabariah

Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam


berkehendak dan berbuat.Semua tingkah laku manusia ditentukan
dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan dari Murji’ah

 Asy’ariyah dan Maturidiyah

Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di antara aliran
Qadariah dan Jabariah.

Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam


kalangan umat Islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran- aliran
tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh
karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-
aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak
menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu
mengadakan koreksi ilmu berlandaskan Al-Quran dan Sunnah Rasul,
tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.

C. Program Pengembangan Dekontruksi Ketuhanan


1. Konsep Tauhid

Tauhid sebagai suatu pengetahuan kesaksian, keimanan, dan keyakinan


terhadap keesaan Allah dengan segala kesempurnaan-Nya. Konsep tauhid
karena membahas ke Esaan Allah Swt, di dalamnya di kaji yakni tentang asma
(nama-nama) dan af’al (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustakhil dan
ja’iz. Berdasarkan Al-Qur’an, keesaan Allah itu meliputi tiga hal, yaitu Esa zat-
Nya, tidak ada Tuhan lebih dari satu dan tidak ada sekutu bagi Allah; Esa af’al-
Nya, tidak ada seorang pun yang dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan
oleh Allah.

7
a) Lingkaran Pelindung yaitu; Ayat Alqur‟an
Pernyataan yang terpenting dalam alqur’an adalah ke Esaan Allah
yang mutlak. Allah memerintahkan segala sesuatu, baik yang besar
maupun yang kecil. Alam semesta adalah rencana yang tunggal yang
diciptakan oleh pengetahuannya dan kebijaksanaan dari pencipta dan
penggerak yang tunggal.

b) Hadist-hadist
Di riwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,‟Orang beriman
itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap
ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi
manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
c) Teori Kausalitas (Sebab Akibat)
Tuhan semata mata yang azali, sedang yang lainnya adalah baru dan
dijadikan olehNya. Oleh karena itu, maka Tuhan adalah Zdat pencipta yang
sebenarnya dan pergantian generasi merupakan penciptaan yang murni,
dalam penciptaan tersebut Tuhan menjadikan tiap-tiap satunya dari tiada
dengan secara langsung

d) Teori Mungkin dan Mustakhil


Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya (Wajibul
ul wujud li Ghairihi) seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau
sekirannya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa
wujud dan bisa tidak berwujud. Kalau ia tidak ada maka yang lain nya pun
tidak akan ada sama sekali. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua
wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah). Menurut
Osman Raliby, kemahaesaan Allah adalah: Allah Maha Esa dalam zat-Nya.
KemahaEsaan Allah dalam zat-Nya dapat dirumuskan dengan kata-kata
bahwa zat Allah tidak sama dan tidak dapat disamakan dengan apapun
juga. Zat Allah tidak akan mati, tetapi akan kekal dan abadi. Allah juga
bersifat Wajibul Wujud, artinya hanya Allah yang abadi dan kekal wujud-
Nya. Selain Allah, semuanya bersifat Mumkinul Mujud, artinya boleh ada
dan boleh tidak ada.

e) Teori Fitrah
Manusia merupakan mahluknya paling sempurna dan sebaik-
baiknya ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran. Ibn Arabi Dalam hal ini

8
misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, “tak ada
mahluk Allah yang lebih bagus daripada manusia, yang memiliki daya
hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir
dan memutuskan’’.

f) Teori Relasi-Dealektif.
Visi filosofi dan Antropologis yang dinukilkan Allah dalam al-Qur’an
yang telah menduduki manusia dalam semesta ini ke dalam dua fungsi
pokok, yaitu sebagai Khalifa dan abd. Pandangan kategorikal demikian
tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak Dualisme-Dikotomik,
tetapi menjelaskan muatan fungsional yang harus diemban manusia dalam
melaksanakan tugas-tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi.
Dengan konsep khalifah, tidak di maksudkan untuk mempertentangkannya
dengan konsep Abd, melainkan keduanya harus diletakan sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya memiliki relasi
dialektik yang akan mengantarkan manusia kepad puncak eksistensi
kemanusiaannya.

D. Pembuktian Wujud Adanya Tuhan

Allah sebagai wujud yang tidak terbatas, maka hakikat dirinya tidak akan
pernah dicapai, namun pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga kita
mengenal-Nya dengan pengenalan yang secara umum dapat diperoleh, malalui
jejak dan tanda-tanda yang tak terhingga. Imam Ali as dalam hal ini
menjelaskan bahwa: “Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara
menjangkau sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal
untuk mengetahui-Nya.”

 Dalil Fitrah
Yaitu perasaan alami yang tajam pada manusia bahwa ada dzat yang
maujud, yang tidak terbatas dan tidak berkesudahan, yang mengawasi segala
sesuatu, mengurus dan mengatur segala yang ada di alam semesta, yang
diharapkan kasih sayang-Nya dan ditakuti kemurkaan-Nya. Hal ini digambarkan
oleh Allah SWT dalam QS. 10:22:

“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,(dan berlayar)


di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal,dan meluncurlah

9
(kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan
tiupan angina yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba
datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan
mereka berdo’a dengan tulus ikhlas kepada Allah semata. (seraya berkata),
sekiranya engkau menyelamatkan kamu dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk
orang-orang yang bersyukur’”
 Dalil Akal
Yaitu dengan tafakkur dan perenungan terhadap alam semesta yang
merupakan manifestasi dari eksistensi Allah Swt. Terdapat empat unsur alam
semesta yang terkandung di dalamnya:
1) Ciptaan-Nya
Bila kita perhatikan makhluk yang hidup di muka bumi, kita akan
menemukan berbagai jenis dan bentuk, berbagai macam cara hidup dan
cara berkembang biak (QS. Fatir/35:28):
Artinya: ”Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang
bernyawa dna hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya)….”
2) Kesempurnaan
Sebagai contoh, seandainya matahari memberikan panasnya
pada bumi hanya setengah dari panasnya sekarang, pastilah manusia
akan membeku kedinginan. Dan seandainya malam lebih panjang
sepuluh kali lipat dari malam yang normal tentulah matahari pada musim
panas akan membakar seluruh tanaman di siang hari dan di malam hari
seluruh tumbuhan membeku. Firman Allah:

Artinya: “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis -lapis. Kamu sekali-
kali melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak
seimbang. Maka lihatlah berulang -ulang, adakah kamu lihat sesuatu
yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan
sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. Al-
Mulk/67: 3, 4)

3) Perbandingan Ukuran Yang Tepat Dan Akurat (QS. Al-Furqan/25:2)

10
Artinya: “Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak mempunyai anak,
tidak ada sekutu bagi-Nya dalma kekuasaan(-Nya), dan Dia menciptakan
segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat”.

Alam ini diciptakan dalam perbandingan ukuran, susunan, timbangan dan


perhitungan yang tepat dan sangat akurat. Bila tidak, maka tidak akan
mungkin para ilmuwan berhasil menyusun rumus-rumus matematika,
fisika, kimia bahkan biologi.
4) Hidayah (Tuntunan dan Petunjuk) (QS. 20:50)
Artinya: “Dia (Musa) menjawab,’’Tuhan kami ialah (Tuhan) yangtelah
memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian
memberinya petunjuk”

Allah memberikan hidayah (tuntunan dan petunjuk) kepada makhluk-Nya


untuk dapat menjalankan hidupnya dengan mudah, sesuai dengan
karakteristiknya masing-masing. Pada manusia sering disebut sebagai
ilham dan pada hewan disebut insting/naluri.
 Dalil Akhlaq
Secara fitrah manusia memiliki moral (akhlaq).Dengan adanya akhlaq
inilah, secara naluri mau tunduk dan menerima kebenaran agar hidupnya
lurus dan urusannya berjalan teratur dan baik.Zat yang dapat menanamkan
akhlaq dalam jiwa manusia adalah Allah, sumber dari segala sumber
kebaikan, cinta dan keindahan.Keberadaan moral yang mendominasi jiwa
manusia merupakan bukti eksistensi Allah.
 Dalil Wahyu
Para rasul di utus ke berbagai umat yang berbeda pada zaman yang
berbeda. Semua rasul menjalankan misi dari langit dengan perantara wahyu.
Dengan membawa bukti yang nyata (kitab/wahyu dan mukzijat) mengajak
umatnya agar beriman kepada Allah, mengesakan-Nya dan menjalin
hubungan baik dengan-Nya, serta memberi peringatan akan akibat buruk dari
syirik/berpaling dari-Nya. Siapa yang mengutus mereka dengan tugas yang
persis sama? Siapa yang memberikan kekuatan, mendukung dan
mempersenjatai mereka dengan mukzijat? Tentu suatu zat yang eksis
(maujud), Yang Maha Kuat dan Perkasa, yaitu Allah. Keberadaan para rasul
ini merupakan bukti eksistensi Allah.
 Dalil Sejarah

11
Semua umat manusia di berbagai budaya, suku, bangsa dan zaman,
umumnya percaya akan adanya Tuhan yang patut disembah dan di
agungkan. Semuanya telah mengenal iman kepada Allah menurut cara
masing-masing. Konsensus sejarah ini merupakan bukti yang memperkuat
eksistensi Allah. Terdapat beberapa cara mengenal Tuhan menurut ajaran
selain Islam, diantaranya yaitu dengan hanya mengandalkan panca indera
dan sedikit akal, sehingga timbul perkiraan-perkiraan yang membentuk
filsafat-filsafat atau pemikiran tentang ketuhanan. Filsafat dan pemikiran
tersebut justru mendatangkan keguncangan dan kebingungan dalam jiwa.
Sehingga hanya menanamkan  keraguan dan kesangsian terhadap
keberadaan Allah. (QS. Yunus/10:94)
Artinya: “Maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan
tentang apa yang kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang
yang membaca kitab sebelummu, sungguh telah datang kebenaran
kepadamu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang
yang ragu”

Adapun jalan yang ditempuh Islam untuk mengenal Allah ialah dengan
menggunakan keimanan dan dilengkapi dengan akal. Kedua potensi tersebut
di optimalkan dengan proses tafakkur dan tadabbur. Tafakkur artinya
memikirkan ciptaan atau tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah).
Tadabbur berarti merenungkan ayat-ayat Allah yang tertulis dalam al-Qur’an
(ayat qauliyah). Sehingga timbul keyakinan di dalam hati tentang keberadaan
dan kekuasaan Allah (QS. Yusuf/12: 105)
Artinya: “Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di
bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling darinya.”
Jalan yang ditempuh oleh orang mukmin bersandarkan pada fitrahnya
sebagai manusia, yaitu mengoptimalkan akal, pemikiran, ilmu, serta hati nya
untuk mengenal Allah lewat tanda-tanda kebesaran-Nya (ayat-ayat-Nya),
bukan zat-Nya. Baik tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam, mukzijat
serta dalam Al Qur’an. Lewat jalan inilah manusia akan mengenal Allah SWT.

12
BAB 2

SAINS & TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS


A. Konsep Ipteks Dalam Islam
Menurut Harun Nasution, tidak tepat anggapan yang mengatakan bahwa
semua ajaran agama bersifat mutlak benar dan kekal. disamping ajaran-ajaran
yang bersifat absolut benar dan kekal itu terdapat ajaran-ajaran yang bersifat
relatif dan nisbi, yaitu yang dapat berubah dan boleh diubah.
Dalam konteks Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
memang terdapat dua kelompok ajaran tersebut, yaitu ajaran dasar dan ajaran
dalam bentuk penafsiran dan penjelasan tentang perincian dan pelaksanaan
ajaran-ajaran dasar itu (Harun: 1995, h: 292)
Allah SWT. menciptakan alam semesta dengan karakteristik khusus untuk
tiap ciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, Air diciptakan oleh Allah dalam bentuk
cair mendidih bila dipanaskan 100 C pada tekanan udara normal dan menjadi
es bila didinginkan sampai 0 C. Ciri-ciri seperti itu sudah lekat pada air sejak air
itu diciptakan dan manusia secara bertahap memahami ciri-ciri tersebut.
Karakteristik yang melekat pada suatu ciptaan itulah yang dinamakan
“sunnatullah”. Dari al-Qur’an dapat diketahui banyak sekali ayat yang
memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta, mengkaji dan
meneliti ciptaan Allah (Faud Amsari: 1995, h: 70). Disinilah sesungguhnya
hakikat Iptek dari sudut pandang Islam yaitu pengkajian terhadap sunnatullah
secara objektif, memberi kemaslahatan kepada umat manusia, dan yang
terpenting adalah harus sejalan dengan nilai-nilai keislaman.
Allah SWT secara bijaksana telah memberikan isyarat tentang ilmu, baik
dalam bentuk uraian maupun dalam bentuk kejadian, seperti kasus mu’jizat
para Rasul. Manusia yang berusaha meningkatkan daya keilmuan nya mampu
menangkap dan mengembangkan potensi itu, sehingga teknologi inilah yang
transenden ditransformasikan menjadi teknologi manusia yang imanen (Imam
Mushaffa). Melihat banyaknya jenis bentuk seni yang ada, maka ulama
berbeda pendapat dalam memberi penilaian. Dalam hal menyanyi dan alat
musik saja jumhur mengatakan haram namun Abu Mansyur al Baghdadi
menyatakan:”Abdullah bin Ja’far berpendapat bahwa menyanyi dan alat musik
itu tidak masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk
dinyanyikan para pelayan.” (Abdurrahman Al-Baghdadi: 1991, h: 21).

13
Namun menurut Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati
menyatakan bahwa seniman dan budayawan bebas melukiskan apa saja
selama karyanya tersebut dinilai sebagai bernafaskan Islam (M.Quraish
Shihab: 1999, h: 371).
Melihat berkembangnya seni yang ada penulis memandang pendapat Quraish
Shihab lebih arif dalam menyikapi perkembangan zaman yang mana kebutuhan
masa kini tentu saja lebih komplek sifatnya dibandingkan dengan kebutuhan
pada masa awal Islam.
B. Fakta Ipteks Dalam Al-Qur’an
Diantara aspek-aspek terpenting dari pemikiran ini, bahwa al-Qur’an berisi
informasi tentang fakta-fakta ilmiah yang amat sesuai dengan penemuan
manusia, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Bahwa seluruh kehidupan berasal dari air


b. Bahwa alam semesta terbentuk dari gumpalan gas (di dalam al-Qur’an
disebut dengan ad-Dukhan)
c. Matahari dan bulan mempunyai ukuran dan perhitungan yang sesuai.
d. Bahwa kandungan oksigen di udara akan semakin berruang di tempat-
tempat yang tinggi
Perlu diingat bahwa al-Qur’an bukan buku teknik sebagaimana juga ia
bukan buku sejarah (walaupun banyak juga kisah di dalamnya), buka-buku
astronomi, fisika dan lain-lain, melainkan kitab suci yang berisi petunjuk dan
pedoman hidup bagi manusia. Karenanya kalau al-Qur’an menyinggung
masalah teknik umpamanya, maka maksudnya tidak lain adalah untuk
menunjukkan bahwa al-Qur’an juga memberikan perhatian kepada masalah
teknik dan menghimbau agar umat Islam memperhatikan dan mempelajari ilmu
ini. Dalam hubungan ini, kita menemukan beberapa ayat yang berkaiatn
dengan ilmu teknologi, diantaranya:

“Dan buatlah bahtera (kapal) dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami”

Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan Nabi Nuh
untuk membuat bahtera agar Nuh bersama dengan orang beriman selamat dari
musibah air bah yang segera akan terjadi. Kapal Nabi Nuh boleh jadi kapal
yang pertama di dunia, dibuat dengan pengawasan langsung dan petunjuk
wahyu Allah. Dengan ayat ini pula Al-Qur’an telah mengemukakan dan
meminta perhatian umat manusia akan salah satu cabang ilmu teknik yang

14
paling urgen dalam hidup ini, yaitu teknik perkapalan. Tidak dapat disangkal,
betapa pentingnya masalah perkapalan dalam hidup ini. Ia tidak saja
merupakan alat perhubungan atau pelayaran yang menghubungkan satu
daerah dengan daerah lainnya, akan tetapi ia juga sebagai alat pengangkutan
yang sangat vital yang dapat mengangkut barang dagangan dalam jumlah yang
sangat besar. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa tidak ada
perdagangan besar-besaran dan impor-export tanpa jika teknik perkapalan
tidak ada (Bustami A Gani: 1986, h: 162). Fakta ilmiah tersebut merupakan
bukti bahwa relevansi al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan tekhnologi amatlah
besar (Howard M: 1996, h: 233).

C. Dimensi Sains Dan Teknologi Dalam Al-Qur’an


Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan
satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan
manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui
penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap
data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-
proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam
kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari


pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada
tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-
Mujadalah ayat 11:
Artinya: “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui
dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis
baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya’’. (QS al-‘Alaq: 1-
5).
Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan,

15
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
yang tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu
mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab,
1996:433) Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat
dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang
memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari
persoalan-persoalan yang berperan penting dalam meningkatkan
kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan
beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama
sebagai berikut:
1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul
dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat Al-Zumar:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui.”
Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2: 31; QS 12: 76; QS 16:
70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak
hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya,
firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:
Artinya: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari
langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka
ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan
merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas
dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa
sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa
rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.
Di dalam Al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. Qarun berkata:
‘’Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 4445).

16
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang di isyaratkan oleh Allah dalam
Al qur’an, berupa meninggikan derajat orang yang berilmu dan tidak akan
mungkin dapat mencapai kemajuan (keinginan) untuk memfungsikan alam
ini dengan baik tanpa adanya "kekuatan" (iptek), adalah sarana bagi umat
manusia agar selalu dapat mewarnai kehidupan ini dengan suasana
pengembangan iptek.
Dalam konteks Sains, Al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/
proses sebagai berikut.
Pertama, Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali
secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-
proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan
di dalam surat Yunus ayat 101.
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa
yang ada di langit dan di bumi….
Kedua, Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan
pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini di isyaratkan di dalam surat
al-Qamar ayat 149.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”
Ketiga, Al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam
terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat
untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam
surat al-Nahl ayat 11- 12:
Artinya: “Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman
zaitun, korma, anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah
bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang,
matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu)
dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”
Tiga langkah yang dikembangkan oleh Al-Qur’an itulah yang
sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi
(pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-
hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu.
D. Prinsip -Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah Dalam Al-Qur’an
Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan

17
teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan
memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut:
1. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan
oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah.
Konsep erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. istikhlaf ini berkaitan
dengan:
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai
pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu,
imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan
kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan
sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan dalam
kehidupan kini dan kehidupan nanti.

Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling


bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.
Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari anugerah
kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.
Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki
peranan penting untuk mengolah potensipotensi alam semesta. Manusia
paling berperan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek
fisik, sosial, dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah.
a. Prinsip Keseimbangan
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh Al-Qur’an adalah
keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual
dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-
Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun
oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan
bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan
yang membentuk manusia itu.
b. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-
Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri,
manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus ditopang
oleh ilmu pengetahuan. Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya)
telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Prinsip taskhir

18
yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya
merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-
bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan
kemanusiaan.
c. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik
Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan
yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu
pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan
dan mengungkapkan keterkaitan itu.

19
BAB 3
3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

A. Keteladanan Moral Rasulullah Bagi Generasi Muda


1. Pentingnya Moral
Generasi muda pada hakikatnya adalah sekelompok masyarakat yang
menginginkan penghargaan dan peran dalam masyarakat, serta kejelasan akan
masa depannya. Apabila keinginan tersebut tidak dapat mereka peroleh secara
wajar, maka mereka pun mungkin berbuat sesuatu yang tidak wajar sifatnya
dengan maksud mendapatkan perhatian dari lingkungannya. Maka dari itu,
masa muda adalah masa yang rawan akan kenakalan dan penyimpangan. Tak
heran banyak sekali masalah-masalah yang timbul pada generasi muda saat
ini. Olehnya itu, dibutuhkan teladan yang dapat menjadi contoh bagi mereka
serta usaha-usaha yang efektif dalam mewujudkannya.

Moral dalam Islam dikenal dengan istilah akhlak. Secara etimologi


akhlak mempunyai beberapa pengertian, sebagaimana yang disebutkan oleh
beberapa tokoh diantaranya adalah sebagai berikut
a. Ibn Maskawaih bahwa khuluq atau akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang
mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan tanpa
memerlukan pemikiran.

b. Al-Ghazali bahwa khuluk atau akhlak adalah keadaan jiwa yang


menumbuhkan perbuatan dengan mudah tanpa perlu berfikir terlebih
dahulu.

c. Ahmad Amin bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Maksudnya,


jika kehendak tersebut membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu tersebut
akhlak.
Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian akhlak
adalah kelakuan dan sifat yang dibiasakan, sehingga dapat menimbulkan
perbuatan dengan mudah, tanpa pertimbangan pemikiran terlebih dahulu.
Seperti halnya akhlak, secara Etimologis etika pun memiliki makna yang sama
dengan moral. Namun, secara terminologis dalam keadaan tertentu, etika akan
memiliki makna yang berbeda dengan moral. Sebab etika memiliki tiga posisi,
yakni sebagai sistem nilai, kode etik, dan filsafat moral.

20
Dalam Islam, akhlak atau moral itu sendiri memiliki kedudukan yang amat tinggi
nan urgen. Bahkan agama didefinisikan sebagai suatu akhlak yang mulia.
sebagaimana Hadits Rasulullah SAW.:

“Rasulullah ditanya: ”Apakah agama itu? Beliau menjawab: “Agama adalah


akhlak mulia”.

Berakhlak mulia adalah bukti kesempurnaan iman, sebagaimana Hadits


Rasulullah saw.

“Sesungguhnya orang mukmin yang paling mulia adalah yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istri-
istrinya”.

Berakhlak mulia menjadi penyebab masuk surga dan selamat dari api neraka,
sebagaimana hadits Rasulullah saw.:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Ditanya tentang (penyebab) banyaknya


orang masuk surga, beliau menjawab: “Bertakwalah kepada kepada Allah swt.
Dan berkhlak mulia”. Dan beliau ditanya tentang (penyebab) banyaknya orang
masuk nereka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan (akhlak tercela)”

Allah swt. lah sendiri yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. adalah teladan
yang baik bagi semua umat Islam. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab [33];
ayat 21

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
Ayat yang mulia ini merupakan dalil pokok yang paling besar, yang
menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah Saw. dalam semua ucapan,
perbuatan, dan sepak terjangnya. Karena itulah Allah Swt. memerintahkan
kepada kaum mukmin agar meniru sikap Nabi Saw. dalam Perang Ahzab, yaitu
dalam hal kesabaran, keteguhan hati, kesiagaan, dan perjuangannya, serta
tetap menanti jalan keluar dari Allah Swt. Semoga salawat dan salam-Nya
terlimpahkan kepada beliau sampai hari kiamat.
Selain akhlak, perlu juga dipahami bahwa Islam juga mewajibkan umatnya
untuk memiliki akhlak yang terpuji. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi
Akhlak terpuji menurut para ahli dan ulama:

21
1. Menurut al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan dan
kedekatan kepada Allah SWT, sehingga mempelajari dan mengamalkannya
merupakan kewajiban induvidual setiap muslim.
2. Menurut Al-Quzwaini, akhlak terpuji adalah ketepatan jiwa dengan perilaku
yang baik dan terpuji.

3. Menurut Al-Mawardi, akhlak terpuji adalah perangai yang baik dan ucapan
yang baik.

4. Menurut Ibnu Qayyim, pangkal akhlak terpuji adalah ketundukan dan


keinginan yang tinggi. Sifat-sifat terpuji menurutnya, berpangkal dari
keduanya. Ia memberikan gambaran hal tentang bumi yang tunduk pada
ketentuan Allah SWT.

5. Menurut Ibnu Hazm, akhlak terpuji ada empat, yaitu adil, paham,
keberanian dan kedermawanan.

6. Menurut Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275 H./889 M.), akhlak terpuji adalah
perbuatan-perbuatan yang disenangi.

B. Dasar Terbentuknya Akhlak terpuji dalam Keluarga melalui Pendidikan Agama


Keluarga merupakan pendidikan pertama dan yang utama bagi anak.
Karena dalam keluargalah anak mengawali perkembangannya. Baik itu
perkembangan jasmani maupun perkembangan ruhani. Peran keluarga dalam
pendidikan bagi anak yang paling utama ialah dalam penanaman sikap dan
nilai hidup, pengembangan bakat dan minat, serta pembinaan kepribadian.
Orang tua harus memerhatikan perkembangan jasmani, akal, dan ruhani anak-
anaknya, dengan tujuan agar anak dapat berkembang secara maksimal.

Setiap anak adalah individu yang tidak dapat diibaratkan sebagai tanah liat
yang bisa ”dibentuk” sesuka hati oleh orang tua. Namun harus disesuaikan
dengan perkembangan jiwa dan potensi anak sebagai tanda kasih sayang dan
tanggung jawab moral orang tua yang secara konsisten dilandasi oleh sikap
dipercaya dan mempunyai suatu pola relasi hubungan antara kesadaran
kewajiban dengan kepatuhan terhadap orang tua atas kesadaran tersebut.
Pendidikan yang paling utama dalam keluarga ialah yang mencakup
pendidikan ruhani anak atau pendidikan agama. Menurut al-Ghazali, anak
adalah amanat dari Allah SWT dan harus dijaga dan dididik untuk mencapai
keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Semua bayi

22
yang dilahirkan ke dunia bagaikan sebuah mutiara yang belum diukur dan
belum berbentuk tapi amat bernilai tinggi. Maka kedua orang tuanyalah yang
akan mengukir dan membentuknya menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan
disenangi semua orang.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya sangatlah besar, terutama dalam pendidikannya. Pendidikan agama
dalam keluarga telah disyariatkan oleh Allah SWT dalam al-Quran dan
diinterpretasikan melalui hadits Nabi Muhammad SAW. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”
2. Al-Quran Surat Al-Kahfi ayat 46, artinya:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
3. Al-Quran Surat Al-Furqon ayat 74-75, artinya:
“Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka itulah
orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena
kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan
ucapan selamat di dalamnya.”
4. Rasulullah SAW bersabda:
“Semua anak dilahirkan membawa fitrah (bakat keagamaan), maka
terserah kepada kedua orang tuanya untuk menjadikannya beragama
Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi” (HR. Muslim).
5. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Kewajiban orang tua kepada anaknya ialah memberi nama yang baik,
mendidik sopan santun dan mengajari tulis menulis, renang, memanah,
memberi makan dengan makanan yang baik serta mengawinkannya
apabila ia telah mencapai dewasa”. (HR. Muslim).

23
6. Rasulullah SAW bersabda:
“Suruhlah anak-anakmu Shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukulah
mereka (jika tidak mau) Shalat ketika sepuluh tahun, dan pisahkanlah
tempat tidur mereka”. (HR. Abu Dawud).

Dari beberapa keterangan di atas, baik Al-Quran maupun Al-Hadits


mengisyaratkan bahwa pendidikan dalam keluarga itu sangat penting
terutama dalam pendidikan agama. Pendidikan yang ditanamkan orang tua
pada anak merupakan landasan dasar berpijak anak dalam berpikir dan
berkembang secara jasmani, ruhani dan mental anak.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak


1. Faktor internal
Yaitu keadaaan peserta didik itu sendiri, yang meliputi latar belakang
kognitif (pemahaman ajaran agama, kecerdasan), latar belakang afektif
(motivasi, minat, sikap, bakat, konsep diri dan kemandirian).

2. Faktor eksternal
Yaitu yang berasal dari luar peserta didik, yang meliputi pendidikan
keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan lingkungan masyarakat. Salah
satu aspek yang turut memberikan saham dalam terbentuknya corak sikap dan
tingkah laku seseorang adalah faktor lingkungan.
Menurut Nata 3 lingkungan pendidikan yang berpengaruh terhadap
pembentukan perilaku atau akhlak remaja, di antaranya adalah:
a. Lingkungan keluarga (orang tua)
Orang tua merupakan penanggung jawab pertama dan yang utama
terhadap pembinaan akhlak dan kepribadian seorang anak.Orang tua dapat
membina dan membentuk akhlak dan kepribadian anak melalui sikap dan
cara hidup yang diberikan orang tua yang secara tidak langsung merupakan
pendidikan bagi sang anak. Dalam hal ini perhatian yang cukup dan kasih
sayang dari orang tua tidak dapat dipisahkan dari upaya membentuk akhlak
dan kepribadian seseorang.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak tampil dalam bentuk yang
bermacam-macam. Dalam hal ini, orang tua adalah pendidik pertama dan
utama dalam keluarga sesuai sabda Rasulullah SAW:
‫قال النبي صمى هللا عميو وسمم كل مولود يولد عمى الفطرة فأبواه يهودانو أو ينص ا رنو أو يمجسانو‬

24
“Nabi Muhammad SAW bersabda: setiap bayi yang lahir adalah fitrah maka
kedua orang tuanya lah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani ataupun
Majusi” (HR. Bukhari). Muslim, Dar Al Fikr, No. 6928, juz II, hal. 52.)

Dalam hadits diatas dijelaskan bahwa beban tanggung jawab orang tua
kepada anaknya sangatlah urgen, orang tua sangat berperan menentukan
anaknya akan menjadi seorang yang taat kepada Allah atau menjadi kafir
mendustakan Allah. Pada kalimat awal dalam hadits diatas disebutkan
bahwa anak terlahir dengan fitrah, yakni suci dan keaslian bertauhid kepada
Allah. Maka jelas betapa orang tua harus bertanggung jawab apabila anak
tersebut jauh dari ajaran agama atau bahkan tidak mengenal Allah.
Dalam riwayat yang lain diceritakan tentang bagaimana seorang
anak benar-benar terlahir dengan fitrah, sehingga walaupun dia terlahir dari
hasil hubungan zina, maka Rasulullah tetap memperklakukan mereka sama
seperti anak yang terlahir dari hubungan yang halal, yakni pada kisah Al-
Ghamidiah yang mengaku berzina dan meminta kepda Rasulullah untuk
menghukumnya. Rasulullah bersabda kepadanya;

‘’pergilah hingga anda melahirkan!” Setelah melahirkan ia datang dengan


membawa bayinya dan berkata “ini saya telah melahirkannya.’’ Rasulullah
kemudian bersabda “Pergilah dan susuilah hingga anda menyapihnya.”
Setelah melahirkan ia datang lagi kepada Rasul dengan membawa anaknya
yang sedang memegang sepotong roti. Ia berkata, “ini wahai Rasulullah,
sudah saya sapih dan sudah bisa memakan makanan.” Kemudian dia
menyerahkan anak tersebut kepada dan menyuruh orang untuk
merajamnya (Abdurrahman, 2008. Hal. 46) salah seorang sahabat,
kemudian Rasul memerintahkan untuk menggali lubang hingga setinggi
dadanya.
Kemudian, kewajiban orangtua untuk mendidik anak. Hadits ini
diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahuanhuma:
َ
،‫اع‬ٍ ‫ )أاَل ُكلُّ ُك ْم َر‬:‫ال‬yy‫لم ق‬yy‫ه وس‬yy‫لى هللا علي‬yy‫بي ص‬yy‫عن عبد هللا بن عمر رضي هللا عنهما عن الن‬
‫ ُل‬y‫ َوالرَّ ُج‬،ِ‫ه‬y‫ ُئو ٌل َعنْ َرعِ َّي ِت‬y ‫و َم ْس‬yَ y‫ َو ُه‬،‫اع‬ ٍ ‫اس َر‬ ِ ‫ ْال َمِي ُر الَّذِي َعلَى ال َّن‬،ِ‫َو ُكلُّ ُك ْم َمسْ ُئو ٌل َع نْ َرعِ َّي ِته‬
‫ ُئولَ ٌة‬y ‫ِي َم ْس‬ َ ‫ َوه‬،ِ‫ ِده‬y َ‫ت َبعْ لِ َها َو َول‬ ِ ‫ َو ْال َمرْ أَةُ َراعِ َي ٌة َعلَى َب ْي‬،‫ َوه َُو َمسْ ُئو ٌل َع ْن ُه ْم‬،ِ‫اع َعلَى أَهْ ِل َب ْي ِته‬
ٍ ‫َر‬
ْ‫ ُئول ٌ َعن‬y ‫ َو ُكلُّ ُك ْم َم ْس‬،‫اع‬ َ
ٍ ‫ أاَل َف ُكلُّ ُك ْم َر‬،ُ‫ ه‬y‫ ُئو ٌل َع ْن‬y ‫و َم ْس‬yَ y‫ي ِد ِه َو ُه‬y ‫ال َس‬y ِ y‫اع َعلَى َم‬ ٍ ‫ ُد َر‬y‫ َوا َلع ْب‬،‫َع ْن ُه ْم‬
‫َرعِ َّيتِه ) متفق عليه‬

25
(“Dari Abdullah bin Umar radiyallahuanhuma, nabi bersabda: "Kalian semua
adalah pemimpin, dan masing masing kalian bertanggung jawab atas orang
yang dipimpinnya. Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami
pun pemimpin atas keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah
suaminya dan anak-anaknya. Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu
sekalian akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya’’.
Seorang yang mendapatkan cukup kasih sayang dalam keluarga
dibandingkan dengan seseorang yang tidak mendapatkan kasih sayang
yang cukup. Maka dari itu Nabi pun sendiri menganjurkan untuk
memberikan kasih saying kepada anak yang diwujudkan dengan
menciumnya. Hadits mendidik anak dengan kasih sayang yang
diriwayatkan oleh Aisyah Radiallahu anha:
‫ا َل‬yy‫ َف َق‬، ‫ا ُن َقب ل ُ ُه ْم‬yy‫ َف َم‬،‫ان‬ َ ‫ ْب َي‬y‫ون ال ص‬ َ ُ ‫ ُت َقب ل‬: ‫َجا َء أَعْ َر ِابى إِلَى ال َّن ِبى صلى هللا عليه وسلم َف َقا َل‬
‫ك الرَّ حْ َمة‬ َ ‫ك أَنْ َن َز َع هَّللا ُ مِنْ َق ْل ِب‬ ُ ِ‫ال َّن ِبى صلى هللا عليه وسلمأ َ َوأَمْ ل‬
َ َ‫ك ل‬
“Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
berkata, "Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki? kami tidak mencium
mereka". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku tidak bisa
berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu”
Berdasarkan hadis tersebut, dapat dengan jelas dipahami bahwa kasih
sayang dalam keluarga itu sangatlah diperlukan. Seperti yang ditekankan
sebelumnya, bahwa afeksi atau kasih sayang sangat amat mempengaruhi
kepribadian seseorang, utamanya seorang anak, karena baik buruk
anaknya tergantung kepada kedua orang tuanya, Rasulullah Saw bersabda
‘’Abdan pernah bercerita kepadaku bahwa Abdullah memberitahuku bahwa
Yunus ibn Yazid memberitahuku dari Az Zuhri bahwa Abu Salmah ibn
Abdurrahman memberitahuku bahwa sesungguhnya Abu Hurairah ra
berkata, Rasulullah bersabda, ”Tidaklah setiap bayi yang dilahirkan kecuali
dengan dasar fitrah (kesucian dan keaslian dengan bertauhid kepada Allah
Swt), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai orang
Yahudi, Nasrani dan sebagai Majusi (tidak beragama, tidak mempunyai
agama samawi), sebagaimana hewan melahirkan hewan yang sempurna
anggota tubuhnya. Adakah kalian mendapati padan.

b. Lingkungan sekolah (pendidik)

26
Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan
lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak
didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan
kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Lingkungan sekolah
yang positif yaitu lingkungan sekolah yang memberikan fasilitas dan
motivasi untuk berlangsungnya pendidikan agama, tugas sekolah sangat
penting dalam menyiapkan anak untuk kehidupan masyarakat, sekolah juga
sebagai produsen dan pemberi jasa yang sangat erat hubungannya dengan
pembangunan.

Pendidik di sekolah mempunyai andil cukup besar dalam upaya


pembinaan akhlak dan kepribadian anak yaitu melalui pembinaan dan
pembelajaran pendidikan agama Islam kepada siswa. Pendidik harus dapat
memperbaiki akhlak dan kepribadian siswa yang sudah terlanjur rusak
dalam keluarga, selain juga memberikan pembinaan kepada siswa.
Disamping itu, kepribadian, sikap, dan cara hidup, bahkan sampai cara
berpakaian, bergaul dan berbicara yang dilakukan oleh seorang pendidik
juga mempunyai hubungan yang signifikan dengan proses pendidikan dan
pembinaan moralitas siswa yang sedang berlangsung.
Kegiatan generasi muda masa kini banyak terorientasikan kepada
kebudayaan yang tidak berlandaskan agama, mulai dari adab sopan-
santun, gaya hidup, model berpakaian, hingar bingar, musik, gossip, telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian generasi kita. Mulai
dari pagi hingga malam generasi kita disuguhi oleh nilai-nilai ini melalui
berbagai macam media masa (televisi, majalah, internet, dll) oleh karena itu
perlunya penanaman agama yang sejak awal lahirnya sesorang dengan
nilai-nilai agama secara intensif dan berkelanjutan. ya kecacatan ?”
(Bukhari, Dar Al Fikr, No. 1293, juz II, hal. 456.
Islam mewajibkan pembinaan moral generasi muda yang secara tersirat
diperintahkan dalam beberapa ayat-ayat dalam Alquran, antara lain: Q.S
An-Nisa ayat 9 dan Q.S At-Tahrim ayat 6. Allah swt. Berfirman dalam Q.S.
An-Nisa [4] ayat 9:
ً‫ِين لَ ْو َت َر ُكو ْا مِنْ َخ ْلف ِِه ْم ُذ ري ًَّة ضِ َعافا َخافُو ْا َعلَي ِْه ْم َف ْل َي َّتقُوا الل َه َو ْل َيقُولُو ْا َق ْوالً َسدِيدا‬ َ ‫َو ْل َي ْخ‬
َ ‫ش الَّذ‬
٩﴿ô

27
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.”
c. Lingkungan masyarakat (lingkungan sosial)
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi
bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-
peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok
atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan
peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan
Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda
tersebut. Masyarakat sebagai lembaga ketiga sesudah keluarga dan
sekolah mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda dengan ruang lingkup
dengan batasan yang tidak jelas dan keaneka ragaman bentuk kehidupan
sosial serta berbagai jenis macam budaya. Setiap masyarakat di manapun
berada tentu mempunyai karakteristik sendiri sebagai norma khas di bidang
sosial budaya yang berbeda dengan karakteristik masyarkat lain,namun
juga mempunyai norma-norma yang universal dengan masyarakat pada
umumnya di masyarakat terdapat norma norma sosial budaya yang harus di
ikuti oleh warganya dan norma norma itu berpengaruh dalam
pemebentukan kepribadian warganya dalam bertindak dan brsikap.
Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan,
maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan
suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang
terjadi di dalamnya.

Lingkungan masyarakat tidak dapat diabaikan dalam upaya


membentuk dan membina akhlak serta kepribadian seseorang. Seorang
anak yang tinggal dalam lingkungan yang baik, maka ia juga akan tumbuh
menjadi individu yang baik. Sebaliknya, apabila orang tersebut tinggal
dalam lingkungan yang rusak akhlaknya, maka tentu ia juga akan ikut
terpengaruh dengan hal -hal yang kurang baik pula.

28
BAB 4

PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)

A. Pengertian Salafusshalih
Istilah Salafi atau Salafiyah menurut bahasa adalah telah lalu. Kata Salaf
juga bermakna seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman,
keutamaan dan kebaikan. Ibnu Manzhur mengatakan bahwa salaf berarti orang
yang mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat)
yang lebih tua umurnya dan lebih utama. (Yazid bin Abdul Qodir jawas 2009 :
14)

Adapun salaf menurut istilah adalah sifat yang khusus di mutlakkan kepada
para sahabat. Ketika disebutkan salaf, maka yang maksud pertama kali adalah
para sahabat. Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu
orang–orang yang mengikuti mereka. Artinya bila mereka mengikuti para
sahabat, maka disebut Salafiyyun (orang- orang yang mengikuti salafush
shalih) (Yazid : 15).

Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 100 yang maksudnya
bahwa:

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama -tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.”

Dari segi zaman, kata salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik
-baik kurun, dan yang lebih patut dicontoh dan di ikuti yaitu tiga kurun yang
pertama (dalam Islam) yang diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan
kebaikan melalui lisan sebaik -baik manusia, yaitu Rasulullah. (Yazid : 18).
Ada beberapa hal di dalam memahami pengertian Salafi yaitu: Al-salaf yaitu
mereka tiga generasi pertama dan paling utama dari umat islam, yaitu para
sahabat (mereka yang hidup sebagai muslim pada masa Nabi, pernah bertemu
dengan beliau, serta wafat sebagai muslim), Tabi’in (mereka yang hidup di
masa sahabat dan wafat sebagai muslim), dan Tabi’ut Tabi’in (mereka yang

29
hidup di masa tabi’in dan wafat dalam keadaan muslim). Salafiyah adalah
sebuah gerakan dakwah yang sama artinya dengan gerakan dakwah Ahlul
Sunnah wal Jama’ah. Gerakan dakwah ini sudah mulai dari masa Rasulullah,
lalu terus berlanjut dan mempertahankan eksistensi nya hingga menjelang akhir
zaman kelak.
Salafi adalah sebutan untuk orang yang menyatakan diri sebagai muslim
yang berupaya mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Hadits, sesuai dengan
pemahaman ulama al -Salaf. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa
Salafiyah adalah arus pemikiran yang mengedepankan nash -nash syar’iyah
berbagai macam pemikiran baik secara metode maupun sistem, yang
senantiasa komitmen terhadap petunjuk Nabi dan petunjuk para sahabat baik
secara keilmuan dan pengamalan, menolak berbagai manhaj yang menyelisihi
petunjuk tersebut, baik terkait masalah ibadah maupun ketetapan syari’at.
(Zainal Abidin bin Syamsudin 2009 : 26)
Imam Al -Safarini mengatakan bahwa yang dimaksud mazhab salaf ialah
apa yang berjalan di atasnya para sahabat yang mulia, orangorang yang
mengikuti mereka dengan baik (tabi’in), tabi’ul tabi’in, para imam Islam yang
diakui keimanan mereka dan dikenal besar peranannya dalam Islam serta
diterima ucapannya oleh kaum muslimin generasi demi generasi, bukan
mereka yang tertuduh dengan kebid’ahan atau dikenal dengan julukan yang
tidak di ridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah, Jabariyah,
Jahmiyah, Mu’tazilah dan sebagainya. (Abdussalam : 56).
Salaf atau salafiyah memiliki nama -nama lain, diantaranya: al -Jama’ah,
Ahlul Sunnah wal Jama’ah, Ahlul Atsar, al- Firqatun Najiyah, al -Thaifah al
-Manshurah. (Yazid : 33). Penyebutan al- Jama’ah berdasrkan sabda Nabi
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang artinya “Ketahuilah sesungguhnya
orang -orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah terpecah belah menjadi 72
(tujuh puluh dua) golongan. Sesungguhnya umat Islam akan terpecah belah
menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 golongan tempatnya di dalam
neraka, dan hanya satu golongan di dalam surga, yaitu al-Jama’ah. (Yazid :
34).
B. Sejarah dan Perkembangan Salafi
Pemahaman para sahabat terhadap agama semata-mata menurut nash
Alquran dan Sunnah secara zahiri tanpa takwil dan qiyas pada saat komunitas
Islam masih terbatas pada bangsa Arab di wilayah semenanjung Arabia. Akan

30
tetapi sebagian tokoh mulai mempelajari mantik dan filsafat Yunani untuk
memperkenalkan dan membela aqidah Islam di hadapan orang -orang yang
menggunakan kedua jenis ilmu tersebut. Hal ini disebabkan karena Islam telah
berkembang dan berhasil menerobos daerah-daerah luas di luar semenanjung
Arabia yang penduduknya telah mempunyai tingkat kebudayaan dan kemajuan
tertentu. Daerah-daerah tersebut mempunyai penduduk yang telah terbiasa
menggunakan argumen dan bukti rasional dalam perdebatan di sekitar wilayah
persoalan agama. Jadi sebagian tokoh tersebut menggunakan mantik dan
filsafat hanya sebagai kebutuhan untuk mengimbangi orang-orang diluar Islam.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan tersebut tidak lagi
sekadar kebutuhan untuk mengimbangi orang-orang diluar Islam saja namun
menjadi kegiatan tetap bagi kalangan Islam tertentu. Mereka dipandang terlalu
meremehkan nash, mengesampingkan atsar, dan mereka dinilai telah
menakwilkan nash sewenang-wenang. Keadaan yang seperti itu
membangkitkan jumhur umat untuk kembali pada cara pemahaman yang
digunakan oleh periode awal Islam. Sehingga munculah tokoh yang
mengumandangkan untuk kembali pada cara pemahaman yang pernah ada
pada masa Salaf. Gerakan ini disebut sebagai aliran Salaf. Gerakan ini muncul
pada masa Dinasti Bani Abbas. Gerakan tersebut anti terhadap apapun yang
berasal dari luar Islam. Mereka begitu anti terhadap filsafat Yunani. Aliran salaf
muncul pada abad ke 4 H atau 10 M oleh para pengikut Imam Ahmad Ibn
Hanbal.15 Mereka mempunyai pandangan bahwa Imam Ahmad Ibn Hanbal
(169-241 H) telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian ulama-ulama
Salaf. Orang-orang Hanabilah menamakan gerakannya sebagai paham Salaf
karena pemikiran keagamaan ulama Salaf yang menjadi motivasi gerakan
mereka.16 Menurut Imam Abu Zahrah, Salafiyyah merupakan orang-orang
yang mengidentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran Salaf. Aliran
salaf ini terdiri dari ulama mazhab Hanbali yang mempunyai pendapat bahwa
garis besar pemikiran mereka berpusat pada pemikiran Imam Ahmad Ibn
Hanbal yang menghidupkan aqidah ulama Salaf dan berusaha memerangi
paham lainnya.
Terdapat sedikit polemik yang terjadi dalam tubuh kaum Salaf. Ulama
mazhab Hanbali pada abad ke-4 Hijriah berpendapat bahwa ayat-ayat yang
terdapat dalam Alquran diartikan secara literal dan mereka mengakui bahwa
pendapat tersebut merupakan pendapat mazhab Salaf. Namun pendapat

31
tersebut ditolak oleh ulama-ulama lainnya. Ulama-ulama lainnya menyatakan
bahwa pendapat tersebut dapat menyebabkan adanya paham tasybih dan
Jismiyyah. Sehingga al-Khatib ibn al-Jauzi yang merupakan seorang imam dan
faqih dari mazhab Hanbali menentang pendapat tersebut sebagai pandangan
mazhab Salaf bahkan menolak bahwa pendapat tersebut merupakan
pendangan Imam Ahmad.
Ibn al-Jauzi dengan panjang lebar menjabarkan tentang kepalsuan
pendapat tersebut. Kritikan tajamnya ditujukan kepada al-Qadhi Abu Ya’la (w.
457 H). Al-Qadhi Abu Ya‟la merupakan seorang faqih mazhab Hanbali yang
terkenal. Sebagian fuqaha mazhab Hanbali menyatakan bahwa Abu Ya’la
benar-benar telah mencemari mazhab Hanbali dengan kotoran yang tidak
dapat dibersihkan dengan air laut. Ibn al-Zaghuni (w. 527 H) yang berasal dari
mazhab Hanbali juga melontarkan kalimat yang serupa. Ulama-ulama mazhab
Hanbali lainnya menyatakan bahwa sesungguhnya pendapat Abu Ya‟la
mengandung tasybih yang di nilai ganjil dan membingungkan pikiran. Polemik-
polemik yang terjadi pada abad ini menyebabkan mazhab ini menjadi tidak
popular. Mazhab ini kembali berjaya ketika Ibn Taimiyah muncul dengan penuh
keberanian dan kekuatan menegaskan kembali pandangan ini.
Pada abad ke-4 ini, ulama mazhab Hanbali menyinggung pembahasan
tentang tauhid dan hubungannya dengan kubur. Mereka membahas ayat-ayat
Ta’wil dan tasybih. Mereka mengidentifikasikan pembahasan tersebut kepada
pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal. Pada abad ke-7, aliran ini kembali muncul
Pada abad ke 7 ini, aliran Salaf mendapatkan kekuatan baru oleh Ibnu
Taimiyah di Syria (661-728 H) yang telah memberikan daya vitalitas dan
memperkaya pembahasan tentang berbagai persoalan yang diambil dari
keadaan masanya.
Aliran ini dihidupkan oleh Ibn Taimiyah, Syaikh Al-Islam. Ibn Taimiyah
menyiarkannya dengan gencar. Ibn Taimiyah menambahkan beberapa hal
dengan mengaktualisasikan pemikiran paham ini sesuai dengan keadaan
zamannya. Kaum Hanbali semakin kuat di Damaskus dengan kedatangan para
pengungsi dari Irak. Pengungsi dari Irak tersebut merupakan korban dari
serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi tersebut, terdapat satu
keluarga dari Harran yaitu keluarga Ibn Taimiah. Ibn Taimiyah (1263-1328 M)
merupakan seorang ulama besar yang menjadi pengikut Imam Hanbali yang
ketat.

32
C. Metode dan Teologi Salafi
Ibrahim Madhkur menjabarkan bahwa ulama Salaf atau Salafiyyah
mempunyai beberapa karakteristik, di antaranya yaitu: 23 lebih mendahulukan
riwayat (Naql) daripada Dirayah (Aql); dalam persoalan pokok-pokok agama
(Ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (Furu‟ Al-Din), hanya
bertolak dari penjelasan-penjelasan Al-Kitab dan Al-Sunnah; mengimani Allah
tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat Nya) tidak pula mempunyai paham
Antropomorfisme dan memahami ayat-ayat Al-qur’an sesuai dengan makna
lahirnya, tidak berupaya untuk menakwilnya.
Metode Salaf menggunakan metode yang menempatkan akal berjalan di
belakang dalil Naqli, mendukung, dan menguatkannya. Akal tidak berdiri sendiri
untuk digunakan menjadi dalil namun akal mendekatkan makna-makna nash.
Kaum Salaf menginginkan agar pengkajian aqidah kembali pada prinsip-prinsip
yang digunakan oleh para sahabat dan tabi’in. Kaum Salaf mengambil prinsip-
prinsip aqidah dan dalil-dalil yang mendasarinya dari Alquran dan Sunnah,
serta melarang ulama untuk mempertanyakan dalil-dalil Al-qur’an tersebut Ibn
Taimiyah, yang merupakan perumus metode kaum Salaf, menyatakan bahwa
tidak ada jalan untuk mengetahui aqidah, hukum-hukum, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan kedua hal tersebut, baik dari segi I’tiqad maupun
Istidlalnya kecuali dari Al-qur’an dan Sunnah yang menjelaskannya.
Segala hal yang di tegaskan di dalam Al-qur’an dan segala hal yang di
terangkan di dalam Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak guna
menghilangkan keraguan. Akal tidak mempunyai otoritas untuk menta’wilkan
Al-qur’an, menginterpretasikannya, atau mentakhrij nya, kecuali hanya sekedar
yang ditunjukkan oleh berbagai susunan kalimat di dalam Al-qur’an dan
Sunnah. Jika akal mempunyai otoritas maka hal itu hanya hal yang
berhubungan dengan pembenaran dan kesadaran, menegaskan kedekatan hal
yang Manqul (tersebut dalam dalil Naqli) dengan yang rasional, dan tidak ada
pertentangan diantara keduanya. Akal bukan pemutus namun hanya menjadi
bukti. Akal bukan pembatal atau penolak namun penegas dan penguat. Akal
hanya menjadi penjelas dalil-dalil yang terkandung di dalam Al-qur’an. Dalam
penerapan metode Salaf di kalangan para tokoh nya, metode ini tidak selalu
membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan karena mereka tidak luput
dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di
kalangan aliran Salaf terdapat golongan yang disebut al-Hasyawiyah. Golongan

33
ini cenderung Anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan.
Mereka berpandangan bahwa ayat-ayat Al-qur’an dan Sunnah yang bersifat
Mutasyabbihat harus di fahami menurut pengertian harfiyah nya sehingga
terdapat kesan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti bertangan,
bermuka, datang, turun, dan lain sebagainya.
Salah satu hal yang khas dalam pola pemikiran ulama Salaf adalah tentang
teologi. Kaum Salaf membahas tentang beberapa hal yang berhubungan
dengan teologi di antaranya yaitu tentang keesaan Tuhan, keesaan dzat dan
sifat Nya, tentang kedudukan Al-qur’an, dan ayat-ayat Mutasybihat. Keesaan
Tuhan dalam pandangan kaum Salaf merupakan asas pertama Islam. Keesaan
Tuhan merupakan kebenaran yang tidak lagi dapat di ragukan. Keesaan Tuhan
dalam interpreasi kaum Salaf secara keseluruhan sesuai dengan yang
diinterpretasikan oleh kaum Muslimin pada umumnya.
Kaum Salaf menetapkan apa saja yang disebutkan dalam Al-qur’an atau
Sunnah yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah atau keadaan Nya. Mereka
menetapkan bagi Nya sifat -sifat, di antaranya yaitu ridha, cinta, menyeru,
murka, benci, turun kepada manusia di bawah naungan awan, berbicara,
bersemayam di ‘’Arsy’’, dan mempunyai wajah serta tangan tanpa menta’wilkan
dan tanpa menafsirkan dengan selain pengertian yang dzahir tersebut. Namun
perlu digarisbawahi bahwa seluruh sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-
sifat yang dimiliki oleh makhluk. Wajah, tangan, dan turunnya Allah tidak sama
dengan makhluk. Maha Suci Allah dari persamaan-persamaan tersebut.
Mereka mempercayai sepenuhnya pada ayat-ayat yang mutasyabihat namun
mereka tidak menakwilkannya, mereka menyerahkan maksud yang sebenarnya
kepada Allah.
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa yang benar adalah pendapat para imam
yang mendapatkan petunjuk. Pendapat tersebut adalah Allah di sifati dengan
apa saja yang di sifatkan Nya kepada diri Nya sendiri atau di sifatkan oleh
Rasul Nya tanpa melampaui Al-qur’an dan Sunnah. Jadi dengan begitu,
mereka bukanlah termasuk orang-orang yang mengubah Kalam Allah dari
tempatnya, bukanlah termasuk orang-orang yang jika dibacakan ayat-ayat
Tuhan maka mereka tidak menundukkan diri karena tuli dan buta, serta
bukanlah pula orang-orang yang tidak mengetahui Al-qur’an kecuali hanya
sekedar mereka-reka.

34
Menurut Ibn Taimiyah, mazhab Salaf bukan Antropomorfisme (penyamaan
Tuhan dengan makhlukNya) dan bukan Nihilisme (meniadakan persamaan
dengan dengan makhlukNya). Ibn Taimiyah menyatakan bahwa mazhab Salaf
berada diantara paham Nihilisme dan Antropomorfisme.
D. Dalil-dalil Yang Menunjukkan Wajibnya Mengikuti Salafush Shalih
1. Dalil Dari Al Qur’anul Karim
َ ‫ؤ ِمن‬yْ y‫يل ْال ُم‬
ْ ‫ولَّى َو ُن‬yَ y‫ا َت‬yy‫ِين ُن َولِّ ِه َم‬
‫لِ ِه‬y‫ص‬ َ y‫َو َمنْ ُي َشاق ِِق الرَّ سُو َل مِنْ َبعْ ِد َما َت َبي ََّن لَ ُه ْالهُدَى َو َي َّت ِبعْ َغ ْي‬
ِ ‫ ِب‬y‫ر َس‬y
‫ت مَصِ يرً ا‬ ْ ‫َج َه َّن َم َو َسا َء‬

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran


bainya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” [An-Nisa : 115]

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman:

‫وا‬y‫ض‬ ُ ‫ َي هَّللا ُ َع ْن ُه ْم َو َر‬y‫ض‬ ِ ‫ان َر‬ َ ‫ار َوالَّذ‬


ٍ y‫و ُه ْم ِبإِحْ َس‬yy‫ِين ا َّت َب ُع‬ َ ‫ين َواأل ْن‬
ِ y‫ص‬ َ ‫ون م َِن ْال ُم َها ِج ِر‬
َ ُ ‫ون األوَّ ل‬
َ ُ‫َّابق‬
ِ ‫َوالس‬
َ ِ‫ِين فِي َها أَ َب ًدا َذل‬
‫ك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬ َ ‫ت َتجْ ِري َتحْ َت َها األ ْن َها ُر َخالِد‬ ٍ ‫َع ْن ُه َوأَ َع َّد َل ُه ْم َج َّنا‬

Artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di


antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada
Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100]

Allah mengancam dengan siksaaan neraka jahannam bagi siapa yang


mengikuti jalan selain jalan Salafush Shalih, dan Allah berjanji dengan surga
dan keridhaan-Nya bagi siapa yang mengikuti jalan mereka.

2. Dalil Dari As-Sunnah


a. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia
yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada
masa berikutnya, kemudian akan datang suatu kaum persaksian salah

35
seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului
persaksiannya.” (HR Bukhari; 3650), (Muslim; 2533)

b. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Saw menyebutkan


tentang hadits Iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan),
beliau bersabda:
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul
Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.
Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi
tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam
Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”
[Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), Al-Hakim (I/128), Ad-
Darimi (II/241), Al-Ajurri dalam Asy-Syarii’ah, Al-Lalikai dalam As-Sunnah
(I/113 no. 150). Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-
Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan hadits ini Shahih masyhur. Di shahihkan oleh Syaikh al-Albani.
Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-204)].

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan


terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu
yang mengikuti apa yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan
selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).

c. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw
bersabda:
Artinya: “Barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku maka ia
akan melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib bagi kalian
berpegang dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para
khalifah) yang mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah
itu, dan gigitlah dia dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-
hati dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap
perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Shahih, HR.
Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), di shahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam
Shahihul Jami’ (1184, 2549)]

36
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada ummat agar
mengikuti sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para
Khualafaur Rasyidin yang hidup sepeninggal beliau disaat terjadi
perpecahan dan perselisihan.

d. Dari perkataan Salafush Shalih


Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata,

“‫” ِا َّت ِبعُوا َواَل َت ْب َت ِدعُوا َف َق ْد ُكفِي ُت ْم‬

Artinya, “Ikutilah dan janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah


dicukupi.” (Al-Bida’ Wan Nahyu Anha (hal. 13))

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata,

ُ‫ َحاب‬y‫ص‬ ْ َ‫ك أ‬ َ y‫ أُولَ ِئ‬،‫ة‬y َ y‫د َم‬yْ y‫ان ِم ْن ُك ْم مُسْ َت ًّنا َف ْل َيسْ َتنَّ ِب َمنْ َق‬
ُ y‫ ِه ْالفِ ْت َن‬y‫ؤ َمنُ َعلَ ْي‬yْ y‫إِنَّ ْال َحيَّ اَل ُت‬yy‫ َف‬،‫ات‬y َ ‫َمنْ َك‬
،‫ا‬yy‫ا َت َكلُّ ًف‬yy‫ا َوأَ َقلَّ َه‬yy‫ا عِ ْل ًم‬yy‫ َوأَعْ َم َق َه‬،‫ أَ َبرَّ َها قُلُوبًا‬،ِ‫ض َل َه ِذ ِه اأْل ُ َّمة‬
َ ‫ َكا ُنواأَ ْف‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫م َُح َّم ٍد‬
،‫ار ِه ْم‬yِ y‫و ُه ْم فِي آ َث‬yy‫ َوا َّت ِب ُع‬،‫لَ ُه ْم‬y ‫ض‬ ُ ‫ار ُه ُم هَّللا ُ ل‬y
ْ ‫اعْ َرفُوا لَ ُه ْم َف‬yy‫ َف‬،ِ‫ه‬y ‫ ِة دِي ِن‬y‫حْ َب ِة َن ِب ِّي ِه َوإِ َقا َم‬y ‫ِص‬ ْ ‫و ٌم‬yْ y‫َق‬
َ y‫اخ َت‬
‫ َفإِ َّن ُه ْم َكا ُنوا َعلَى ْال َه ْديِ ْالمُسْ َتق ِِيم‬،‫و َت َم َّس ُكوا ِب َما اسْ َت َطعْ ُت ْم مِنْ أَ ْخاَل ق ِِه ْم َودِين ِِه ْم‬.َ

Artinya, “Barang siapa di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah


mencontoh orang yang telah wafat, yaitu para Shahabat Rasulullah, karena
orang yang masih hidup tidak akan aman dari fitnah, Adapun mereka yang
telah wafat, merekalah para Sahabat Rasulullah, mereka adalah ummat
yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya, paling dalam ilmunya,
paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk
menemani Nabi Nya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah
keutamaan mereka, dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya
mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi
(2/97))

Imam Al Auza’i rahimahullah berkata,

“‫ فما كان غير ذلك فليس بعلم‬،‫”العلم ما جاء عن أصحاب محمد صلى هللا عليه وسلم‬

Artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan berhentilah engkau dimana


kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan katakanlah dengan apa
yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang mereka
menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para

37
pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa
(melakukannya) leluasa pula bagi mereka.” (Jami’ul Bayan Al- dc alamnya.).
Ada beberapa prinsip yang dipegang oleh manhaj ini dalam masalah
kufur dan pengkafiran. Prinsip-prinsip tersebut adalah (Yazid bin Abdul
Qadir Jawas : 362-367) :
a. Pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah
dan Rasul-Nya.
b. Barang siapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka
keislaman itu tidak bisa lenyap darinya kecuali dengan sebab yang
meyakinkan pula.
c. Tidak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai
kekufuran merupakan kekafiran yang besar atau kufur akbar yang
mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran
itu ada dua macam yaitu kekafiran kecil dan kekafiran besar. Maka
hukum atas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan ini sesungguhnya
berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlul Sunnah dan
hukum-hukum yang mereka keluarkan.
d. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali
telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari al- Qur’an dan
Sunnah atas kekufurannya. Maka dalam permasalahan ini tidak cukup
hanya syubhat dan persangkaan saja.
e. Terkadang ada keterangan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang
mendefinisikan suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan
kekufuran (biasa disebut kufur). Namun seseorang tidak boleh dihukum
kafir kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian syarat-
syarat, yaitu mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan tidak dipaksa.
f. Ahlu sunnah tidak mengkafirkaan orang yang dipaksa (dalam keadaan
diancam) selama hatinya dalam keadaan beriman.
g. Ahlu sunnah tidak mengkafirkan kaum muslimin karena dosadosa
besarnya. Ahlu sunnah menyebut mereka dengan mukmin fasiq dan
mereka khawatir apabila nash-nash ancaman terjadi kepada pelaku
dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di neraka. Bahkan mereka
akan bisa ke luar dengan syafaat para pemberi syafaat dan karena
rahmat Allah disebabkan masih adanya tauhid pada diri mereka.

38
BAB 5

AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA PENEGAKAN


HUKUM DALAM ISLAM.

A. Keadilan Sebagai Landasan Penetapan Hukum Islam


Hukum Islam bukanlah suatu sistem hukum yang diciptakan dan
dirumuskan oleh manusia. Hukum Islam adalah aturan-aturan hukum yang
ditetapkan oleh Allah Swt., Tuhan Pencipta semesta alam yang memiliki sifat
keadilan yang sempurna, maka demikian pula setiap aturan hukum yang
ditetapkan-Nya memuat nilai keadilan. Sebab Allah mustahil berlaku tidak adil
kepada makhluk ciptaan-Nya . Setiap apa yang ditetapkan Allah untuk manusia
pasti berupa keadilan dan kebenaran karena Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana atas segala perilaku manusia.
Keadilan adalah menempatkan segala sesuatu menurut tempatnya,
sedangkan kezaliman adalah menempatkan segala sesuatu tidak menurut
tempatnya. Ibn Kathir berkata: “Setiap apa yang difirmankan Allah pasti
memuat kebenaran tanpa ada keraguan, dan setiap apa yang diperintahkan
Allah pasti memuat keadilan yang tiada keadilan selain-Nya, dan setiap apa
yang dilarang Allah pasti memuat kebatilan (kerusakan)”`
Isyarat keadilan hukum yang dikehendaki Allah tertuang dalam firman-Nya:
ُ‫ش َهدَ ا َء ِب ْالقِسْ طِ َوال َيجْ ِر َم َّن ُك ْم َش َنآن‬ُ ‫َّل‬yِّ َِّ ِ‫ِين ل‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا ُكو ُنوا َقوَّ ام‬
‫َق ْو ٍم َعلَى أَال َتعْ دِلُوا اعْ دِلُوا ه َُو أَ ْق َربُ لِل َّت ْق َوى َوا َّتقُوا الِ ََّّل إِ َّن الِ َّّل َب ِبي ر‬
َ ُ ‫ِب َما َتعْ َمل‬
‫ون‬
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Ma’idah: 8)
Esensi ayat tersebut di atas adalah semangat menegakkan keadilan kepada
siapapun tanpa pandang bulu. Hukum Islam memiliki standar keadilan yang
mutlak dengan penggabungan norma dasar Ilahi dengan prinsip dasar keadilan
insani. Dalam teori hukum Islam diketahui bahwa upaya penetapan hukum
Islam, atau yang dikenal dengan ijtihad, harus dilandaskan pada sumber-

39
sumber wahyu dan metode-metode rasional yang sejalan dengan wahyu. Untuk
itu, para ahli teori hukum Islam merumuskan kaidah-kaidah penetapan hukum
Islam sebagai haluan agar setiap upaya ijtihad yang dilakukan para praktisi
hukum benarbenar sesuai dan sejalan dengan tujuan pensyariatan hukum
Islam.
Rumusan kaidah-kaidah ijtihad hukum Islam cukup beragam yang Dilatar
belakangi oleh cara pandang masing-masing perumus kaidah dan kondisi
realitas sosial di masa kehidupan mereka. Salah satu model rumusan ijtihad
yang berkembang di era kontemporer ini adalah ijtihad yang mengacu kepada
nilai-nilai universal maqasid al-Shari‘ah Yaitu dengan menjadikan nilai-nilai,
tujuan dan maksud pensyariatan hukum Islam sebagai dasar dan landasan
dalam menjawab persoalan-persoalan hukum partikular.
Menurut Al-Khadimi, mengangkat nilai-nilai universal Maqasid sebagai
acuan dalam penetapan hukum Islam memiliki tendensi yang cukup kuat dari
al-Quran dan Sunnah, serta menjadi bagian dari metode ijtihad yang dilakukan
salaf salih. Untuk itu, keabsahan konsep ijtihad maqasidi sebagai metode
penetapan hukum Islam tidak terbilang sebagai sebuah metode pemikiran liar
yang rasionalistik tanpa kendali. Sebagaimana keabsahan usul al-Fiqh sebagai
metode hukum Islam adalah dimunculkan dari kesimpulan-kesimpulan umum
dalil-dalil kewahyuan, maka konsep ijtihad Maqasidi adalah dilahirkan dari
upaya pembacaan menyeluruh (istiqra’) terhadap segala aspek hukum Islam,
baik yang terkait dengan sumber-sumber kewahyuan maupun kesimpulan
umum hukum-hukum partikular.
Abdullah Sawd menyebut konsep ijtihad di atas dengan istilah the Progressive
Ijtihadists (ijtihad progresif).
Menurut Saed ada enam karakteristik yang dimiliki oleh para mereka yang
mengakui ijtihad progresif, yaitu:
1. mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam
memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim saat ini.
2. Mereka cenderung mendukung perlunya ijtihad baru dan metodologi baru
dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer.
3. Beberapa di antara mereka juga mencoba mengkombinasikan kesarjanaan
Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern.
4. Mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada

40
ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi, teknologi, harus direfleksikan
dalam hukum Islam.
5. Mereka tidak mengikatnya dirinya pada dogmatism atau mazhab hukum
dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya.
6. Mereka meletakkan titik tekan dalam pemikirannya pada keadilan sosial,
keadilan gender, hak asasi manusia dan relasi yang historis antara muslim
dan non-muslim Keadilan adalah termasuk dari nilai-nilai universal yang
menjadi tujuan pensyariatan hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum
Allah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia. Tidak ada
suatu ketetapan hukum dalam syariat Islam yang mengandung unsur
kezaliman, diskriminasi ataupun keberpihakan kepada pihak-pihak tertentu.
Allah Swt. berfirman :
‫الم ل ِْل َع ِبي ِد‬
ٍ ‫ُّك ِب َظ‬
َ ‫َو َما َرب‬
“Dan Tuhan-mu tidak akan berlaku z{a>lim (tidak adil) kepada hamba-
Nya” (QS. Fusilat: 46)
‫إِنَّ الِ ََّّل ال َي ْظلِ ُم م ِْث َقا َل َذرَّ ٍة‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan berlaku zalim (tidak adil) walaupun sekecil
atom”. (QS. al-Nisa’: 40)
‫ك صِ ْد ًقا َو َع ْدال ال ُم َب ِد َل لِ َكلِ َما ِت ِه َوه َُو ال َّسمِي ُع ْال َعلِي ُم‬ ْ ‫َو َتم‬
ِ ‫َّت َكلِ َمة َر‬
َ ‫ب‬
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang
benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah kalimat-kalimat- Nya dan
Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An‘am: 115).

Keadilan dalam hukum Islam adalah semua aturan hukum yang


ditetapkan oleh Allah Swt. di dalam syariat-syariatNya. Untuk itu Allah Swt.
menurunkan kitab suci untuk menjelaskan kepada umat manusia perihal
standar kebenaran yang dimaksud. Allah Swt. berfirman :
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-
Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
(QS. al-Hadid: 25)
Keadilan dalam hukum Islam pada bentuknya ada yang tampak jelas (zahir)
sehingga bisa diketahui dan dipahami oleh akal manusia, tetapi juga ada yang
samar dan tersembunyi (khafi) dari jangkauan akal manusia. Menurut ‘Abd al-
Rahman Bakar, bentuk keadilan syariat Islam itu menyentuh pada aspek akidah

41
dan pada aspek hukum sekaligus. Keadilan pada aspek akidah ditunjukkan
oleh larangan syariat terhadap penyekutuan Tuhan (kemusyrikan) yang
merupakan bentuk kezaliman besar yang merampas hak fundamental bagi
manusia untuk berpikir sehat menetapkan keyakinan atas eksistensi Tuhan
yang Maha Esa. Sedangkan keadilan pada aspek hukum ditunjukkan pada
tujuan besar dari penetapan aturan-aturan hukum Islam adalah untuk
menegakkan kebenaran.22 Allah Swt. berfirman :
‫ُب شرً ا َو َنذِيرً ا‬ َ ‫َو ِب ْال َح ِق أَ ْن َز ْل َناه َو ِب ْال َح ِق َن َز َل َو َما أَرْ َس ْل َنا‬
َ ‫ك إِال م‬
“Dan Kami turunkan itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun
dengan kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan”. (QS. al-Isra: 105)
Pada intinya, keadilan adalah tujuan utama hukum Islam yang diwujudkan
pada segala ketentuan hukumnya. Keadilan merupakan sebuah nilai dan
sekaligus prinsip yang harus selalu menjadi pertimbangan para ahli hukum
Islam pada setiap upaya ijtihad, khususnya pada persoalan-persoalan baru
yang belum tersentuh oleh sumber-sumber hukum kewahyuan
B. Bidang Keadilan.
1. Keadilan hukum. Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, itulah ayat-ayat
yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum, kendati pada diri dan
keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa pandang bulu inilah yang juga
diteladankan Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan, pada masa beliau, seorang
perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah bernama Fatimah
al- Makhzumiyah ketahuan mencuri emas. Pencurian ini membuat jajaran
pembesar Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat
hukum saat itu mustahil dihindari, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang
menjadi hakim- nya. Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima
hukum potong tangan (baca: QS. Al-Ma’idah/ 5: 38) terus menghantui mereka.
Dan jika hukum potong tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan
menanggung aib maha dahsyat. Dalam pandangan mereka seorang keluarga
bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Lobi-lobi politis pun digalakkan
supaya hokum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama
sekali dari Fatimah al- Makhzumiyah. Uang emas dihamburkan untuk upaya itu.
Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya
yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai pelobi oleh Suku
al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah adalah cucu yang sangat

42
disayangi Nabi. Melalui orang kesayangan Nabi ini, diharapkan lobi itu akan
menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan
Fatimah dari jerat hukum bisa tercapai. Apa yang terjadi? Upaya lobi Usamah
bin Zaid, orang dekatnya, itu justru mendulang penolakan keras dari Nabi
Muhammad Saw, bukannya simpati. Ketegasan Nabi dalam menetapkan
hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, oleh orang dekatnya. Untuk itu, Nabi
lantas berkata lantang rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang
mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat
hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya
dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah binti Muhammad mencuri,
niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya. Itulah ketegasan Nabi
dalam menegakkan hukum, meskipun pada orang yang paling disayanginya.
2. Keadilan ekonomi. Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi
antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-
ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi
Muhammad Saw bersabda: ‘’Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang
berdosa. Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu
diberi laknat. Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang
keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya),
maka dia termasuk orang- orang yang zalim. (HR. Muslim).
3. Keadilan Politik. Nabi Muhammad SAW bersabda: Ada tujuh golongan yang
bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan- Nya pada hari yang tidak ada
naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil (imamun adil),
pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah),
seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat
berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah,
keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak
perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku
takut kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian
merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan
tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam
kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya. ( HR. Bukhari)
4. Keadilan berteologi/ berkeyakinan. Islam memberikan kebebasan penuh bagi
siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya, termasuk keyakinan
yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini

43
tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan Muhammad Syahrûr menyatakan, percaya
pada kekebasan manusia adalah satu dasar akidah Islam yang pelakunya
dapat dipercayai beriman pada Allah SWT. Sebaliknya, kufr adalah tidak
mengakui kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama.
Firman Allah : Artinya: Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk (QS. An- Nahl ayat 125). Yang
penting diperhatikan adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut,
semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih
keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya.
Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai pilihan yang bertanggungjawab dan
bias dipertanggungjawabkan.
5. Keadilan Kesehatan. Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW
bersabda: ‘’Sesungguhnya Allah SWT berfirman pada hari kiamat: Wahai Bani
Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku. Bani Adam bertanya: Wahai
Rabbku, bagaimana bisa aku menjenguk-Mu sedang Engkau adalah Tuhan
sekalian Alam? Allah menjawab: Tidakkah kamu melihat seorang hamba- Ku
sedang sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui,
andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapati-Ku di sisinya? (HR Muslim)
Hadis qudsi di atas menunjukkan, jika kita menjenguk dalam pengertiannya
yang luas tetangga kita yang sakit, maka kita akan menemukan Allah SWT di
sana. Tidak menjenguknya berarti tidak menemukan-Nya. Apa maknanya? Kita
bias merenungkannya masing-masing. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah
juga wajib menjenguk warganya yang sakit. Siapapun dia dan apapun latar
belakangnya. Cara menjenguknya? Bisa saja dengan pengobatan gratis, dan
sebagainnya.
6. Keadilan Pendidikan. Tentang keadilan pendidikan, Allah SWT berfirman yang
artinya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Mujadalah : 11). Nabi Muhammad
SAW bersabda: Tholabul ilmi farîdhotun 'alâ kulli muslim. (HR. Ibnu Majah).
Setidaknya dua argumen ini, memberikan pengertian bahwa menuntut ilmu
atau mendapatkan pendidikan, adalah hak bagi siapapun tanpa pandang latar
belakang.
C. Aktualisasi Supremasi Hukum dalam Islam.

44
Keadilan dalam Islam itu universal dan tidak mengenal boundaries
(batasbatas), baik batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit,
status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama. Pada orang yang
berbeda keyakinan dan bahkan hewan sekalipun, keadilan harus ditegakkan.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al- An’am ayat 152 yang artinya : ‘’Dan
apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. Demikianlah Islam menghendaki agar supremasi
hukum benar-benar ditegakkan. Upaya penegakan hukum tidak pernah
pandang bulu, pemberlakuannya harus objektif bukan subjektif. Keadilan dalam
sejarah perkembangan pemikiran Filsafat Islam tidak terlepas dari persoalan
keterpaksaan dan kebebasan. Para teolog muslim terbagi dalam dua kaum
atau kelompok yaitu :
1. Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan dan kebebasan. Berpendapat
bahwa keadilan memiliki hakikat yang tersendiri dan sepanjang Allah
Mahabijak dan adil, maka Allah melaksanakan perbuatanya menurut kriteria
keadilan.
2. Kaum Asy’ari yang membela keterpaksaan. Kaum ini menafsirkan keadilan
dengan tafsiran yang khas yang menyatakan Allah itu adil, tidak berarti
bahwa Allah mengikuti hukum-hukum yang sudah ada sebelumnya yaitu
hukum-hukum keadilan tetapi berarti Allah merupakan rahasia bagi
munculnya keadilan.

45
DAFTAR PUSTAKA

Firdaus, Firdaus. "KONSEP AL-RUBUBIYAH (KETUHANAN) DALAM ALQURAN."


Jurnal Diskursus Islam 3.1 (2015).

Taubah, Mufatihatut. "Pendidikan Anak dalam Keluarga Perspektif Islam." Jurnal


Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) 3.1 (2015):
109-136.

Wahyudin, Wahyudin. "Filosofis Ketuhanan dalam Konsep Islam Menuju ketauhidan."


Ri'ayah: Jurnal Sosial dan Keagamaan 2.01 (2017): 109-121.

https://www.academia.edu/37425086/Contoh_Makalah_Konsep_Ketuhanan_Dalam_I
slam

https://www.academia.edu/14521368/MAKALAH_KONSEP_KETUHANAN_DALAM_I
SLAM

Fakhry, Jamal. "Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an dan Implikasinya dalam
Pembelajaran." Ta'dib: Journal of Islamic Education (Jurnal Pendidikan
Islam) 15.01 (2010): 121-142.

Qutub, Sayid. "Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan dalam Al Qur’an dan Hadits."


Humaniora 2.2 (2011): 1339-1350.

Syaifullah, MS "Konsep Iptek Dan Keterpaduannya Dalam Alquran." HUNAFA: Jurnal


Studia Islamika 3.3 (2006): 287-298.

Sumarni, Titin. "Scientific Learning: Konsep Iptek dan Keterpaduannya dalam Al-
Qur’an." Akademika: Jurnal Keagamaan dan Pendidikan 13.1 (2017): 86-95.

Iwan, Iwan. "PENDIDIKAN AKHLAK TERPUJI MEMPERSIAPKAN GENERASI


MUDA BEKARAKTER." Al-Tarbawi Al-Haditsah: Jurnal Pendidikan Islam 1.1
(2017).

Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan Pendidikan dalam al-Qur’an dan Hadis." Tarbawi:


Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan 4.01 (2018): 13-26.

46
Jundi, Muhammad. "Pendidikan Islam dan Keteladanan Moral Rasulullah Muhammad
saw. bagi Generasi Muda." Al-Tarbawi Al-Haditsah: Jurnal Pendidikan Islam
5.1 (2020).

Muhammaddin, Muhammaddin. "Aliran Kalam Salafiyah." Jurnal Ilmu Agama:


Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama 16.1 (2015): 1-14.

Muhammaddin, Muhammaddin. "Manhaj Salafiyah." Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji


Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama 14.2 (2013): 147-161.

Firdaus, Aizza Rifqi. Unsur-unsur salafi dalam pemikiran Teologi Al Ghazali. Diss.
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017.

https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html

Rangkuti, Afifa. "Konsep keadilan dalam perspektif Islam." TAZKIYA 6.1 (2017).

Ihsan, Achmad Najih. Konsepsi al-Qur’an Tentang Keadilan Ekonomi (Suatu Analisis
Tahlili terhadap QS. al-Hasyr/59: 7). Diss. Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar, 2018.

Suraiya, Ratna. "KEADILAN SEBAGAI LANDASAN HUKUM WAS {IYYAH AL-WA>


JIBAH DALAM PERUNDANGAN ISLAM DI INDONESIA." Mukammil: Jurnal
Kajian Keislaman 1.1 (2018): 33-56.

47

Anda mungkin juga menyukai