Week 7
Monetary Crisis in Indonesia
OUTLINE MATERI :
Krisis mempunyai pengertian yang luas, menurut Harberler krisis diartikan: “Penyimpangan
kegiatan ekonomi yang menyolok dan merupakan titik awal gerak kegiatan ekonomi yang
menurun/down-turn atau the upper turning point” (James Arthur Estey.1960: 65). Menurut
Mitchell’s krisis suatu kondisi ekonomi yang sudah mengalami/agak resesi (rather than
recession). Krisis Keuangan adalah krisis yang berhubungan dengan keuangan atau
perekonomian suatu Negara (http://bit.ly/copynwin).
Krisis Moneter adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan
mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia,
sebagian Macan Asia Timur. Peristiwa ini sering disebut krisis moneter “krismon” di
Indonesia. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara yang paling parah terkena
dampak krisis Moneter ini. Hongkong, Malaysia, dan Filiphina juga terpengaruh.
Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global
sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis
finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun
2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%.
Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika Serikat mengalami resesi yang serius,
sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus daya beli
masyarakat Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika
Serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia.
Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari
Indonesia. Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan
terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan
secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada tahun 2008.
Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September 2008.
Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta
kebijakan makroekonomi yang berhati-hati. Namun sejak pertengahan September 2008, krisis
global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah
melemah menjadi Rp 11.711,- per USD pada bulan November 2008 yang merupakan
depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp
10.048,- per USD. Pergerakan Kurs Rupiah selama tahun 2008 dan awal 2009 dapat dilihat
dari grafik dibawah ini:
Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau sistem
nilai tukar tetap. Tetapi pada Pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang dianut
telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang.
Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar.
Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank Indonesia berkewajiban
Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi keketatan
likuiditas global, dengan demikian supply dollar relatif sangat menurun. Hal inilah yang
memeberikan efek depresiasi terhadap Rupiah.
Keketaatan likuiditas global terjadi akibat perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga
likuiditasnya untuk berjaga-jaga dari berbagai resiko bisnis yang meningkat akibat krisis
global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya mencari dana talangan dalam membiayai defisit
anggaran pemerintah. Rumah tangga konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja
guna mengantisipasi terhadap goncangan yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas
diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-hati dalam mengucurkan kreditnya dalam
rangka meminimalisir terjadinya kredit macet.
Sebenarnya depresiasi Rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karena secara teoritis
akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam negeri
menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga-harga produk sejenis yang
diimpor dari negara lain. Di pasar negara tujuan ekspor Indonesia, konsumen akan lebih
memilih produk dari Indonesia karena harganya lebih murah. Kondisi ini menyebabkan
ekspor Indonesia meningkat.
Namun hal itu tidak terjadi karena negara lain juga mengalami hal yang sama seperti
Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global membuat daya beli
masyarakat di setiap negara pada umumnya menurun. Sehingga Depresiasi tidak serta merta
membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun. Berdasarkan laporan BPS
awal Maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 hanya
sebesar USD 7,15 miliar. Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai ekspor pada Desember
2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2008, nilai
penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%.
Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya
kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga komoditi global
yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008 karena harga
Dari grafik tersebut terlihat bahwa terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan III-2008
yakni hingga bulan September 2008. Hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditi dunia
terutama minyak dan pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga
barang yang ditentukan pemerintah (administered prices) seiring dengan kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi
mulai turun karena turunnya harga komoditi internasional, pangan dan energi dunia.
Penyebab lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan Pemerintah
menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan
dalam negeri yang relatif bagus. Bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04
persen. Deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi,
dan jasa keuangan. Keberhasilan menurunkan inflasi secara berangsur-angsur tak lepas dari
keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspektasi inflasi yang sempat
meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM. Secara keseluruhan, inflasi IHK pada tahun
2008 mencapai 11,06 persen, sementara inflasi inti mencapai 8,29 persen.
Sudah kita ketahui bahwa krisis di Amerika Serikat menyebar ke semua negara di dunia. Dan
sudah banyak yang menjelaskan tentang sebab-sebabnya, dan juga diuraikan tentang landasan
dari sebab-sebab itu, yaitu ideologi yang memungkinkan dipraktekannya cara-cara
penggelembungan di sektor keuangan.
Tentang yang pertama, media massa di negara-negara maju banyak yang mengulasnya.
Intinya sebagai berikut.
Bank hipotik yang mengkhususkan diri memberikan kredit untuk pembelian rumah, dengan
sendirinya mempunyai tagihan kepada penerima kredit yang menggunakan uangnya untuk
membeli rumah. Jaminan atas kelancaran pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya
adalah rumah yang dibiayai oleh bank hipotik tersebut. Kita sebut tagihan ini tagihan primer,
karena langsung dijamin oleh rumah, atau barang nyata. Tagihannya bank hipotik kepada
para penerima kredit berbentuk kontrak kredit yang berwujud kertas. Istilahnya adalah
pengertasan dari barang nyata berbentuk rumah. Karena kertas yang diciptakannya ini mutlak
mewakili kepemilikan rumah sebelum hutang oleh pengutang lunas, maka kertas ini disebut
surat berharga atau security. Pekerjaan mengertaskan barang nyata yang berbentuk rumah
disebut securitization of asset.
Katakanlah bank hipotik ini bernama Bear Sterns. Bear Sterns mengkonversi uang tunainya
ke dalam kewajiban cicilan utang pokok beserta pembayaran bunga oleh para penghutang
atau debitur. Jadi uang tunai atau likuiditasnya berkurang. Namun Bear Sterns memegang
surat berharga atau security yang berbentuk kontrak kredit atau tagihan kepada para
debiturnya. Bear Sterns mengelompokkan surat-surat tagihan tersebut ke dalam kelompok-
kelompok yang setiap kelompoknya mengandung surat tagih dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran yang sama. Setiap kelompok ini dijadikan landasan untuk menerbitkan surat
utang yang dijual kepada Lehman Brothers (misalnya) dan bank-bank lain yang semuanya
mempunyai nama besar. Yang sekarang dilakukan oleh Bear Sterns bukan menerbitkan surat
piutang, tetapi surat janji bayar atau surat utang. Atas dasar surat piutang kepada ratusan atau
ribuan debiturnya, Bear Sterns menerbitkan surat utang kepada Lehman. Uang tunai hasil
hutangnya dari Lehman dipakai untuk memberi kredit lagi kepada mereka yang
Penerbitan surat berharga berbentuk surat janji bayar atau promes disebut securitization of
security. Bahasa Indonesianya yang sederhana “mengertaskan kertas.” Surat berharga ini kita
namakan surat berharga sekunder, karena tidak langsung dijamin oleh barang yang berbentuk
rumah, melainkan oleh kertas yang berwujud surat janji bayar oleh bank hipotik yang punya
nama besar.
Lehman memegang surat utang dari Bear Sterns dan juga dari banyak lagi perusahaan-
perusahaan sejenis Bear Sterns. Seluruh surat ini dikelompokkkan lagi ke dalam wilayah-
wilayah geografis, misalnya kelompok debitur California, kelompok debitur Atlanta dan
seterusnya. Oleh Lehman kelompok-kelompok surat-surat utang dari bank-bank ternama ini
dijadikan landasan untuk menerbitkan surat utang yang dibeli oleh Merril Lynch dan bank-
bank lainnya dengan nama besar juga. Kita namakan surat utang ini surat utang tertsier.
Demikianlah seterusnya, satu rumah sebagai jaminan menghasilkan uang tunai ke dalam kas
dan bank-bank ternama dengan jumlah keseluruhan yang berlipat ganda. Media massa
negara-negara maju menyebutkan bahwa bank-bank tersebut melakukan sliced and diced,
yang secara harafiah berarti bahwa satu barang dipotong-potong dan kemudian masing-
masing diperjudikan. Maka banyak bank yang debt to equity ratio-nya 35 kali.
Sekarang kita bayangkan adanya pembeli rumah yang gagal bayar cicilan utang pokok
beserta bunganya. Kalau satu tagihan dipotong-potong (sliced) menjadi 5, yang masing-
masing dibeli oleh bank-bank yang berlainan, maka gagal bayar oleh satu debitur merugikan
5 bank. Ini sebagai contoh. Dalam kenyataannya bisa lebih dari 5 bank yang terkena kerugian
besar, karena kepercayaan bank-bank besar di seluruh dunia kepada nama-nama
besar investment banks dan hedge funds di AS.
Dampak pertama adalah bahwa bank tidak percaya pada bank lain yang minta kredit
kepadanya melalui pembelian surat berharganya. Ini berarti bahwa bank-bank yang tadinya
memperoleh likuiditas dari sesama bank menjadi kekeringan likuiditas, sedangkan bank-bank
yang termasuk kategori investment bank atau hedge fund tidak mendapatkan uangnya dari
penabung individual, tetapi dari bank-bank komersial atau sesama investment bank atau
sesama hedge funds. Jadi dampak pertama adalah kekeringan likuiditas.
Secara rasional dampaknya terhadap Indonesia sangat kecil, karena hubungan ekonomi
Indonesia dengan AS tidak ada artinya. Praktis tidak ada uang Indonesia yang ditanam ke
dalam saham-saham AS yang sekarang nilainya merosot atau musnah. Hanya milik orang-
orang Indonesia kaya dan super kaya yang tertanam dalam saham-saham perusahaan-
perusahaan AS. Uang inipun jauh sebelum krisis sudah tidak pernah ada di Indonesia.
Dampak yang riil dan sekarang terasa ialah dijualnya saham-saham di Bursa Efek Indonesia
oleh para investor asing karena mereka membutuhkan uangnya di negaranya masing-masing.
Maka IHSG anjlok. Uang rupiah hasil penjualannya dibelikan dollar, yang mengakibatkan
nilai rupiah semakin turun. Namun sayang bahwa kenyataan yang kasat mata ini tidak mau
diakui oleh pemerintah, sehingga pemerintah memilih membatasi Bursa Efek dalam ruang
geraknya dengan cara mengekang Bursa Efek demikian rupa, sehingga praktis fungsi Bursa
Efek ditiadakan.
Kebijakan lain ialah mengumumkan memberikan jaminan keamanan dan keutuhan uang yang
disimpan dalam bank-bank di Indonesia sampai batas Rp 2 milyar. Ini sama saja mengatakan
kepada publik di seluruh dunia supaya jangan menyimpan uangnya di bank-bank di Indonesia
yang melebihi Rp 2 milyar.
Setelah Bank Indonesia menjadi independen ada kecenderungan terjadinya ego sektoral.
Karena tugas pimpinan BI terfokus pada menjaga stabilitas nilai rupiah dan menjaga tingkat
inflasi, semuanya dipertahankan at any cost. Maka di banyak negara maju yang menjadi cikal
bakal pikiran independennya bank sentral menurunkan tingkat suku bunga, di Indonesia
dinaikkan sangat tinggi yang lebih memperpuruk sektor riil yang sudah terpuruk karena
menurunnya drastis permintaan dari negara-negara tujuan ekspor.
Hal yang kurang dipahami adalah faktor-faktor, kekuatan-kekuatan serta mekanisme yang
bekerja setelah meletusnya gelembung angin (bubble) keuangan menyeret perekonomian
global ke dalam spiral yang menurun.
Sejak lama kita mengenal adanya gejala gelombang pasang surutnya ekonomi atau business
cycle atau conjunctuur yang selalu melekat pada sistem kapitalisme dan mekanisme pasar.
Cikal bakal tercapainya titik balik teratas menuju pada kemerosotan, dan sebaliknya, cikal
bakal tercapainya titik balik terendah menuju pada kegairahan dan peningkatan ekonomi bisa
macam-macam. Tetapi pola kemerosotan dan pola peningkatannya selalu sama.
1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah
menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri
yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi
maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang
swasta tersebut.
Krisis Moneter tentunya mempunyai dampak negatif maupun positif bagi negara-negara yang
mengalaminya. Berikut dampak-dampak negatif Krisis Moneter bagi negara Indonesia :
1. Semakin melemahnya kurs rupiah terhadap kurs dollar Amerika tanggal 1 Agustus 1997.
2. Pemerintah melikuidasi enam belas bank yang bermasalah.
3. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang di bentuk pemerintah untuk
mengawasi puluhan bank bermasalah dengan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (LKBI), menyebabkan manipulasi besar-besaran karena harga LKBI yang
murah. Usaha yang diberikan pemerintah ini tidak memberikan hasil karena pinjaman
bank bermasalah tersebut semakin membesar. Oleh karena itu, pemerintah harus
menanggung utang yang sangat besar.
4. Kepercayaan Internasional terhadap Indonesia menurun.
5. Perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang yang
akan atau bahkan telah jatuh tempo.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari pemerintah
mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang dapat meminimalisir dampak dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan
beberapa kebijakan, yakni:
BI mengarahkan kebijakan pada penurunan tekanan inflasi yang didorong oleh tingginya
permintaan agregat dan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang sempat mendorong
inflasi mencapai 12,14 persen pada bulan September 2008. Untuk mengantisipasi
berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikkan BI rate dari 8 persen secara bertahap menjadi 9,5
persen pada Oktober 2008. Dengan kebijakan moneter tersebut ekspektasi inflasi masyarakat
tidak terakselerasi lebih lanjut dan tekanan neraca pembayaran dapat dikurangi.
Selanjutnya, memasuki triwulan II-2008, seiring dengan turunnya harga komoditi dunia serta
melambatnya permintaan agregat sebagai imbas dari krisis keuangan global, BI
memperkirakan tekanan inflasi ke depan menurun, sehingga BI Rate pada bulan Desember
2008 diturunkan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 9,25 bps.
Kebijakan dalam sektor perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan industri
perbankan syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman krisis.
Sistem perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara non-muslim seperti
Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura. Bahkan menurut anggota
Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil di saat krisis global berlangsung
dikarenakan perbankan syariah merupakan pilihan yang komprehensif, progresif, dan
menguntungkan.
Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008, kebijakan
perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan domestik.
Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan mempermudah akses bank
umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas pendanaan. Namun upaya
tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan
nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga
Bank Indonesia turut berupaya mencegah terjadinya guliran krisis global terhadap kelancaran
sistem pembayaran nasional. Dalam mencegah risiko sistemik dari risiko gagal bayar peserta
yang cenderung meningkat pada kondisi krisis dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
BI telah melakukan perubahan jadwal setelmen sistem pembayaran pada hari tertentu.
Sebagai Bank Sentral, BI memang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan-
kebijakan dalam menstabilkan kondisi moneter Indonesia. Dengan demikian diharapkan
kebijakan-kebijakan yang dibuat BI merupakan kebijakan yang strategis dan tepat sasaran
dalam meminimalisir dampak krisis keuangan. Kebijakan moneter yang diambil BI juga
diharapkan dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sektor riil dan selanjutnya
pada kesejahteraan masyarakat. (Catatan : Bahan tulisan ini, antara lain bersumber dari
laporan Bank Indonesia)
Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global
sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis
finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun
2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%.
Dampak negatif dari krisis global, antara lain, menurunnya kinerja neraca pembayaran,
Tekanan pada nilai tukar Rupiah dan dorongan pada laju inflasi.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari pemerintah
mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang dapat meminimalisir dampak dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan
beberapa kebijakan, yaitu : kebijakan dalam sektor moneter, kebijakan dalam sektor
perbankan, dan kebijakan di sektor pembayaran.
http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/krisis-keuangan-global-artikel-1/
http://www.ekonomikontekstual.com/2014/01/faktor-penyebab-serta-dampak-krisis-
moneter.html
http://bit.ly/copynwin
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3698
Lilik Salamah, 2010, Lingkaran Krisis Ekonomi Indonesia, Jurnal Masyarakat
Kebudayaan dan Politik, Vol. 14 No.2, p.65-76
Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia, Mei 2000.