Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi nilai ujian AKHIR SEMESTER II.
Dosen Pengampu :
Ajeng Rizqi Rahmanillah, S.IP., S.Hum., M.Si
Disusun oleh :
Viola Angela Putri Ajawaila
183112350750120
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang mengusung judul “Peran UNFPA dalam kebijakan control populasi
di Tiongkok” dalam mata kuliah Organisasi Internasional.
Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat memberikan manfaat serta wawasan bagi para
pembaca. Namun, tiada gading yang tak retak, demikian makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan dengan senang hati
ditampung oleh penulis untuk penyempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I : Pendahuluan.............................................................................................................1
1.1.....................................................................................................................................Latar
Belakang ...................................................................................................................1
1.2.....................................................................................................................................Rumus
an Masalah ................................................................................................................2
BAB II : TINJAUAN UMUM...............................................................................................3
2.1.....................................................................................................................................Teori
Liberalis Institusionalis .............................................................................................3
2.2.....................................................................................................................................Unsur
Penelitian ...................................................................................................................3
2.3.....................................................................................................................................Konse
p Hak Asasi Manusia (HAM) ...................................................................................4
2.4.....................................................................................................................................Non
Government Organizations (NGO) ...........................................................................5
2.5.....................................................................................................................................Amnes
ty Internasional ..........................................................................................................7
2.6.....................................................................................................................................Amnes
ty Internasional dalam dunia global ..........................................................................9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Organisasi internasional bukanlah suatu hal yang asing dalam studi Hubungan
Internasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi internasional juga mampu
mengangkat dan membahas isu-isu maupun masalah yang terjadi baik dalam ranah
internasional maupun global di suatu negara. Peran dan upaya yang dijalankan juga
seringkali mampu mengatasi isu dan masalah tersebut dengan baik. Didalam organisasi
internasional terbagi menjadi Inter Goverment Organizations (IGOs) dan Non-Government
Organizations (NGOs) dengan konsep dan tujuan masing-masing. Pada pembahasan kali ini,
penulis mencoba untuk mengangkat peran NGOs yaitu Amnesty International dengan focus
masalah terkait yaitu Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua.
NGOs (Non Government Organizations) atau Organisasi Non Pemerintah. Maksud dari
non pemerintah disini adalah tidak menggantungkan sumber dana kegiatan dari pemerintah.
NGO sebagai organisasi non profit (yang tidak mementingkan keuntungan), bertujuan untuk
melayani kepentingan sosial khusus dengan fokus advokasi dan/atau usaha operasional pada
tujuan sosial, politik dan ekonomi, termasuk kesetaraan, pendidikan, kesehatan,
penyelamatan lingkungan dan hak asasi manusia. NGO dapat juga bersifat internasional
(INGO) dengan ruang lingkup terbatas atau secara regional saja. Meskipun NGO dapat
menyentuh wilayah transnasional social movement, namun NGO diasumsikan tidak dapat
menghentikan proses globalisasi, akan tetapi paling tidak NGO mampu merubah perdebatan
mengenai globalisasi itu sendiri.1
1
internasional lainnya seperti Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNHRC).
Papua adalah daerah di ujung timur Indonesia yang selama ini masih menjadi perhatian
publik nasional dan internasional karena situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman.
Sejak awal, baik saat menjalankan administrasi pemerintahan sebelum PEPERA atau sesudah
Papua secara resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia, pemerintah memilih dan
menggunakan pendekatan keamanan (militer) dengan dalih menegakan kedaulatan negara,
mengikis habis gerakan separatisme yang telah dipupuk sebelum Belanda hengkang dari
Papua. Bahkan, pendekatan ini juga dijalankan oleh pusat untuk menangani sejumlah
gerakan masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah maupun perlawanan dari kelompok
di Papua yang sejak awal menolak integrasi Papua ke Indonesia dengan jalan damai.
Kasus pelanggaran HAM di Papua bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Tercatat
sejak tahun 19632 hingga saat ini, masih banyak kasus yang tidak terselesaikan dan tidak
mendapat peradilan di meja hukum. Pembunuhan, penembakan, penghilangan orang, hingga
pemerkosaan terhadap mayoritas warga Papua telah terjadi sejak rezim pemerintahan
terdahulu yang dilakukan sebagian besar oleh aparat keamanan. Adanya impunitas 3 serta
tidak transparan kinerja militer di Papua menambah berat setiap pelanggaran HAM yang
terjadi selama ini.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang dan judul, penulis memiliki pertanyaan
terkait penelitian yang akan dilakukan, yaitu :
2
Survey LIPI : Pelanggaran HAM persoalan besar di Papua, diakses melalui
https://www.voaindonesia.com/a/survei-lipi-pelanggaran-ham-persoalan-terbesar-di-papua/4164959.html pada
30 Juli 2019 pukul 20.07 WIB.
3
Impunitas berarti kejahatan tanpa hukum, menimbulkan ancaman serius bagi HAM. Tersedia dan diakses pada
https://www.tapol.org/id/election-updates/impunitas-noda-hitam-dalam-demokrasi-indonesia pada 30 Juli 2019
pukul 20.25 WIB.
2
BAB II
TINJAUAN UMUM
Suatu organisasi internasional menjadi aktor yang penting dalam menangani isu
hubungan internasional, karena juga salah satu tujuan organisasi internasional dibentuk untuk
membantu menangani serta menjawab tantangan isu-isu di hubungan internasional yang semakin
berkembang. Dimana dewasa ini, negara pun terkadang sulit untuk menangani masalah atau isu-
isu internasonal yang ada. Keberadaan organisasi ini juga memberikan pandangan bahwa
institusi dianggap semakin penting dalam mengkoordinir kepentingan berbagai pihak.
Dari teori ini, penulis mencoba memahami peran penting organisasi internasional;
Amnesty Internasional terhadap pelanggaran HAM di Papua yang diharapkan dapat membantu
menyelesaikan kasus yang telah terjadi sejak lama.
3
masalah pelanggaran
HAM di Papua.
Hak Asasi Manusia Pelanggaran Hak Terjadinya
Asasi Manusia di pembunuhan,
Papua penembakan,
pemerkosaan dan lain
lain oleh aparat
keamanan.
Manusia dan HAM adalah dua kata yang sulit untuk dipisahkan. Sejak kelahirannya di
bumi manusia lahir dengan membawa hak-hak kodrat yang melekat integral dalam hidupnya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk bebas. Kebebasan merupakan tuntutan manusia sebagai
makhluk individu. Di sisi lain manusia adalah makhluk soaial. Manusia tidak dapat hidup
sendiri, dia selalu hidup di tengah-tengah sosialitasnya, baik itu kelompok kecil masyarakat,
suku, bangsa atau negara. Dalam kedudukan manusia sebagai makhluk sosial inilah masalah
HAM menjadi sangat kompleks.5 Hak asasi manusia yang dianut Indonesia bersumber dari
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara. Secara konseptual HAM yang terkandung dalam
Pancasila mengakomodasi aspek manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Pengakuan tentang HAM secara prinsipial tercermin dalam sila kedua (Pancasila). Dimana
manusia adalah seyogyanya merupakan manusia yang adil dan beradab. Dimana adil dalam hal
hukum, dan beradab dalam memperlakukan manusia sesuai hakekat HAM itu sendiri.
Konsep HAM mempunyai spektrum yang luas. Di satu sisi ada pemikiran liberalis yang
mendasarkan diri pada individualisme, di sisi lain berkembang penolakan HAM dan kebebasan
pada pemikiran sosialisme yang menekankan kepentingan bersama dan negara. 6 Konsep dasar
HAM yang masih bersifat abstrak perlu dijabarkan dalam konsep yang lebih kongkrit, sehingga
5
Sri Rahayu W.”HAK ASASI MANUSIA: TINJAUAN DARI ASPEK HISTORIS DAN YURIDIS”. Semarang:Universitas
Diponegoro
6
Ibid.
4
mempunyai kekuatan hukum dalam pelaksanaannya. Penguasa meletakkan lembaga yang legal
mempunyai kekuatan untuk memaksa kehendaknya pada masyarakat. Ia menguasai alat-alat
represif. Dalam kondisi semacam ini kadang-kadang pelaksanaan HAM tidak lebih daripada
mencari legitimasi kekuasaan untuk mengukuhkan pemerintahannya. Selain itu factor penting
pelaksanaan HAM adalah pengakuan resmi Negara tentang HAM dalam wujud nyata, yaitu
deklarasi yang dikuatkan dengan Undang-undang. Adanya landasan yuridis rormal HAM ini
setidak-tidaknya pelanggaran terhadap HAM bisa dieleminir.
Sejarah perkembangan NGO di mulai sejak abad ke-17 di Inggris yang merupakan tradisi
untuk membangun organisasi masyarakat dalam membantu dan mendorong penyelesaian krisis
di masyarakat. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agamawan dan pihak swasta
profesional. Tradisi ini menguat pada perang dunia ke satu dan ke dua di awal abad ke-20,
dengan lahirnya berbagai NGO internasional di Eropa untuk penanggulangan krisis akibat
perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsian, pelarian politik, dan kekerasan-kekerasan
yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat (Korten, 1993).7
7
Muhammad Yudhika Elrifi.2014. “Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap Kinerja Kerja NGO
di Indonesia”.Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada. Diakses pada 1 Agustus 2019 pukul 05.40 WIB.
8
M.Fauzani Taufiq. Makalah. “Organisasi Non Pemerintahan”, diakses melalui
https://www.scribd.com/document/363446234/Organisasi-Non-Pemerintah-NGO-Non-Goverm-docx
5
Membangun perumahan, menyediakan infrastruktur seperti sumur atau toilet umum,
penampungan limbah padat dan usaha berbasis masyarakat lain.
Mendukung inovasi, ujicoba dan proyek percontohan
NGO memiliki kelebihan dalam perancangan dan pelaksanaan proyek yang inovatif dan
secara khusus menyebutkan jangka waktu mereka akan mendukung proyek tersebut. NGO
dapat juga mengerjakan percontohan untuk proyek besar pemerintah karena adanya
kemampuan bertindak yang lebih cepat dibandingkan dengan pemerintah dengan
birokrasinya yang rumit.
Memfasilitasi komunikasi
NGO dapat memfasilitasi komunikasi ke atas, dari masyarakat kepada pemerintah, dan ke
bawah, dari pemerintah kepada masyarakat. Komunikasi ke atas mencakup pemberian
informasi kepada pemerintah tentang apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh
masyarakat, sedangkan komunikasi ke bawah mencakup pemberian informasi kepada
masyarakat tentang apa yang direncanakan dan dikerjakan oleh pemerintah. NGO juga dapat
memberikan informasi secara horizontal dan membentuk jejaring (networking) dengan
organisasi lain yang melakukan pekerjaan yang sama.
Bantuan teknis dan pelatihan
Institusi pelatihan dan NGO dapat merancang dan memberikan suatu pelatihan dan bantuan
teknis untuk organisasi berbasis masyarakat dan pemerintah.
Penelitian, Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi yang efektif terhadap sifat partisipatif suatu proyek akan
memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat dan staf proyek itu sendiri.
Advokasi untuk dan dengan masyarakat miskin
NGO menjadi jurubicara dan perwakilan orang miskin dan mencoba untuk mempengaruhi
kebijakan dan program.
Dirintis pada tahun 1961, oleh Peter Benenson yang merupakan seorang pengacara
Inggris.9 Ia meluncurkan gerakan kampanye yang disebut “Amnesty ‘61” dalam upayanya
9
History of Amnesty International. Diakses melalui https://www.amnesty.org/en/who-we-are/
6
membela mahasiswa Portugis yang dipenjara karena melakukan tos politik menggunakan gelas
anggur. Benenson menulis pembelaan yang dicetak di koran-koran di seluruh dunia. Sebagai
hasil dari kampanye, pada bulan Juli tahun 1961, delegasi dari berbagai negara seperti negara-
negara di Eropa dan Amerika Serikat bertemu dan memulai AI. Delegasi ini sepakat untuk
“mengadopsi” tahanan politik dari negara-negara lain dan melobi untuk pembebasan mereka atas
dasar kemanusiaan. Pada tanggal 10 Desember, lilin untuk amnesti dinyalakan di St Martins di
Field, London, untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia. Lilin ini digunakan sebagai logo
AI dan disesuaikan dengn logo AI yang berbunyi, “It is better to light a candle than to curse the
darkness.”
Misi AI secara umum adalah untuk meneliti dan mengadakan sedemikian rupa gerak
untuk memperjuangkan segala tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Misi ini
kemudian dibantu dengan pola kerja samaAI yang terbuka bagi seluruh lapisan
masyarakat seperti pemerintah, elit politik, perusahaan, dan organisasi-organisasi
pemerintah internasional.
Visi AI adalah terciptanya dunia di mana setiap orang memiliki semua hak asasi manusia
yang diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan standar hak asasi
manusia internasional lainnya.
10
Waritsa Yolanda. Makalah. “Organisasi Internasional : Amnesty Internasional”. diakse melalui
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/53418584/19261_AMNESTY_INTERNATIONAL_FIXXXXXX.
pada 1 Agustus 2019 pukul 08.47 WIB.
7
Perlindungan hukum bagi para pengungsi dan migrant, dan pengadaan hukum internasional
tentang senjata api.
Organisasi yang diuraikan di atas diwakili oleh Dewan Internasional atau International
Council (IC) yang dipimpin oleh Ketua IC. Anggota Sections dan structures memiliki hak untuk
menunjuk satu atau lebih perwakilan ke Dewan sesuai dengan ukuran keanggotaan mereka. IC
dapat mengundang perwakilan dari Jaringan Internasional dan orang lain ke pertemuan, namun
hanya perwakilan dari Sections dan structures yang memiliki hak suara. Fungsi IC adalah
menunjuk dan memegang badan pengatur internal yang bertanggung jawab dan untuk
menentukan arah pergerakan.IC tersebut diadakan setiap dua tahun sekali.
11
"STATUTE OF AMNESTY INTERNATIONAL". Diakses melalui https://www.amnesty.org/en/about-us/how-were-
run/ pada 2 Agustus 2019 pukul 07.51 WIB.
8
Sekretariat Internasional atau International Secretary (IS) bertanggung jawab atas
pelaksanaan dan urusan sehari-hari AI yang dipimpin oleh International Board.12IS ini
dijalankan oleh sekitar 500 anggota staf profesional dan dipimpin oleh seorang Sekretaris
Jenderal. IS mengoperasikan beberapa program kerja; Hukum dan Organisasi Internasional;
Penelitian; Kampanye; Mobilisasi; Dan Komunikasi.Kantornya telah berada di London sejak
didirikan pada pertengahan tahun 1960an.
Terdapat beberapa gerakan nyata yang telah dan akan terus dilakukan oleh AI, seperti
misalnya :
Melalui penjelasan latar belakang sejak didirikannya AI, telah begitu banyak gerakan dan
tindakan yang mempengaruhi dunia global. AI terus memberikan perhatian mendalam kepada
setiap kasus atau pelanggaran HAM yang terjadi di belahan dunia manapun.
Strategi AI secara individual adalah berdasarkan keyakinan bahwa : tidak ada seorang
pun yang harus merasakan mereka adalah orang-orang jahat. Jadi, jika seseorang sedang dalam
bahaya penyiksaan yang serius, para anggota AI akan mengirimkan ribuan faks, telegram, email
dan surat untuk meyakinkan bahwa dunia melihat perlakuan itu. Apakah metode ini selalu
berhasil? Tidak, namun sering berhasil.Hingga tahun 2001, AI telah menyelesaikan 47000 kasus,
yang mana hanya 2000 kasus yang masih terbuka atau belum terselesaikan.
9
pengawasan. Tak ada situasi yang tanpa harapan.13 Meskipun AI tetap melaksanakan tugas,
sesuai dengan prinsip organisasi internasional yang tidak secara langsung menintervensi negara
yang dituju, namun berkat setiap desakan yang diberikan secara perlahan mempengaruhi
keadilan HAM sebagaimana tujuan AI itu sendiri.
13
Tentang Amnesty Internasional. diakses melalui https://www.amnestyindonesia.org/tentang pada 2 Agustus
2019 pukul 14.57 WIB.
10
BAB III
STUDI KASUS
11
melanggar hanya sebatas sanksi disiplin sehingga pihak keluarga korban tidak mendapatkan
keadilan dan reparasi. Dari 69 kasus yang tercatat, di antaranya tidak diinvestigasi sama sekali,
baik oleh badan pengawasan internal pihak keamanan maupun oleh institusi kenegaraan yang
imparsial. Sedangkan dalam kasus, pihak kepolisian atau militer mengaku telah melakukan
investigasi internal namun hasilnya tidak diumumkan ke masyarakat. Hanya ada enam kasus
yang benar-benar dihadapkan pada persidangan, kesemuanya dilakukan oleh personil militer
yang disidangkan di pengadilan militer. Pihak kepolisian juga mengadakan mekanisme disiplin
internal tanpa proses pengadilan pada enam kasus pembunuhan yang melibatkan personil
kepolisian. Setidaknya ada delapan kasus pembunuhan di luar hukum yang diselesaikan dengan
pendekatan kultural melalui pembayaran ganti rugi berupa uang atau babi yang disebut ganti rugi
kepala.
12
pembunuhan di luar hukum oleh keamanan yang berkaitan dengan aktivitas politik, termasuk
dalam isu tuntutan kemerdekaan atau referendum untuk Papua. Tipe pembunuhan di luar hukum
ini terjadi saat keamanan menghadapi demonstrasi damai yang politis, terutama upacara
pengibaran bendera atau perkumpulan keagamaan pada peringatan tertentu. Investigasi terhadap
laporan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua jarang terjadi. Tidak ada
mekanisme yang, efektif, dan imparsial untuk menangani keluhan tentang pelanggaran HAM
oleh pasukan keamanan, termasuk tindak pidana yang merupakan pelanggaran HAM. Fenomena
ini telah meninggalkan banyak korban yang tidak mendapat keadilan dan pemulihan hak
(reparasi).
Tidak ada definisi yang menjelaskan pembunuhan di luar hukum (unlawful killings), atau
“eksekusi ekstra-yudisial, ringkas-cepat, atau sewenang-wenang (extrajudicial, summary or
arbitrary executions)” dalam hukum Internasional. Amnesty International mendefinisikan
tindakan tersebut sebagai pembunuhan di luar hukum yang disengaja berdasarkan perintah, atau
melalui keterlibatan pemerintah. Semua pembunuhan di luar hukum merupakan pelanggaran hak
untuk hidup, hak asasi manusia paling utama yang dilindungi oleh hukum internasional dan
konstitusi Indonesia. Indonesia telah meratifikasi banyak hukum HAM internasional yang
melindungi hak untuk hidup, terutama di antaranya Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR).
AI percaya bahwa ada hubungan langsung dan kausal antara impunitas dan terus
terjadinya pelanggaran HAM. Setiap kegagalan dalam menyelidiki ataupun membawa mereka
yang bertanggung jawab ke pengadilan, memperkuat keyakinan bahwa para pelaku memang
berdiri di atas hukum. Pembunuhan di luar hukum oleh keamanan terjadi di 27 Kabupaten di
Provinsi Papua dan Papua Barat dengan total keseluruhan 42 kabupaten. Jumlah tertinggi dari
pembunuhan di luar hukum terjadi di kota Jayapura – total kasus dengan 15 korban meninggal.
Amnesty International juga mencatat mayoritas korban, 31 jiwa, merupakan pemuda berumur
21-30, diikuti dengan korban dengan umur di bawah 21 dan lebih dari 30 tahun, masing-masing
berjumlah sama, 21 korban jiwa. Terdapat pula 22 korban yang tidak dapat diidentifikasi
umurnya. Dari 88 korban, kebanyakan dari mereka adalah laki-laki sementara perempuan tujuh
orang.
13
REKOMENDASI AMNESTY INTERNATIONAL TERHADAP KASUS
PELANGGARAN HAM DI PAPUA.15
15
Laporan Amnesty Internasional diakses melalui amnestyindonesia.org pada 02 Agustus 2019 pukul 19.21 WIB
14
Mengadakan peninjauan mendalam terhadap taktik yang digunakan polisi, tentara,
dan aparat keamanan lainnya perihal penggunaan kekuatan dan senjata api,
termasuk pada saat menghadapi kerumunan massa dan pada saat meringkus
pelaku kriminal, agar mematuhi standar-standar internasional, terutama Kode Etik
PBB bagi Petugas Penegak Hukum dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan
Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum.
Amnesty International merekomendasikan DPR RI serta Menteri Hukum dan HAM agar
mengambil dan memprioritaskan langkah-langkah di bawah:
15
atas putusan untuk tidak menyelidiki atau menuntut suatu dugaan pelanggaran
HAM.
Merivisi Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer
sehingga tentara yang diduga melanggar hukum internasional bisa diadili oleh
pengadilan sipil yang independen.
Membentuk badan pengawasan internal kepolisian yang baru atau merevisi
mandat mekanisme pengawasan internal kepolisian yang sekarang sudah ada,
seperti Komisi Kepolisian Nasional atau Komnas HAM demi menjamin
mekanisme komplain yang independen, efektif, dan imparsial yang bisa
menangani komplain dari masyarakat perihal tindak pelanggaran yang dilakukan
polisi, termasuk di antaranya pelanggaran HAM. Secara khusus, tersangka pelaku
tindak pelanggaran kriminal terkait HAM harus ditangani melalui sistem
peradilan pidana dan bukan dengan penanganan internal atau ditangani sebagai
suatu tindak pelanggaran disiplin. Meski sanksi disiplin tetap bisa berlangsung
pada saat proses hukum bergulir, namun sanksi tersebut tidak bisa menggantikan
proses pengadilan tersangka di pengadilan sipil. Badan pengawas ini harus
beroperasi tanpa campur tangan pemerintah, tanpa pengaruh politik, dan tanpa
pengaruh dari kepolisian itu sendiri. Badan ini juga harus memiliki tim investigasi
independen untuk menangani komplain warga.
Membatalkan atau mengamandemen undang undang dan peraturan yang
menerapkan bentukbentuk pembatasan terhadap hak kebebasan berpendapat dan
berkumpul secara damai kecuali pembatasan yang diperbolehkan oleh hukum
HAM internasional, khususnya:
– Membatalkan atau mengamandemen Pasal 106 dan 110 KUHP agar sejalan
dengan hukum HAM internasional dan memastikan kedua pasal ini tidak bisa
digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berpendapat.
– Segera membatalkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang
melarang penampilan logo, simbol, dan bendera “separatis”.
16
• Mengadopsi Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api
oleh Petugas Penegak Hukum dan Kode Etik PBB untuk Petugas Penegak Hukum
ke dalam keseluruhan regulasi internal melalui instruksi operasional dan pelatihan
yang cukup.
Mengumumkan semua peraturan internal polisi tentang penggunaan kekerasan
dan pengamanan publik.
Menjamin bahwa Peraturan Kapolri tentang Pengendalian Massa (No. 16/2006)
dan tentang Penggunaan Kekuatan (No. 01/2009) disebarluaskan dan dengan
memberikan pelatihan yang sesuai.
Merancang metode-metode yang tepat untuk mencegah kasus pembunuhan di luar
hukum dan menghentikan pelanggaran HAM, termasuk di antaranya dengan
perencanaan yang lebih baik saat mengamankan kerumunan massa, pelatihan
tentang komplain terkait HAM saat mengamankan unjuk rasa, serta mendukung
pelaksanaan mekanisme akuntabilitas eksternal yang independen.
Menjamin keberadaan petugas kepolisian pada saat unjuk rasa bisa teridentifikasi
dengan jelas, yaitu dengan mengenakan nomor identifikasi perorangan, papan
nama, dan seragam.
Menjamin keberadaan sistem dan mekanisme akuntabilitas yang memadai,
berbarengan dengan pelatihan dan adanya peraturan tentang penggunaan kekuatan
dan senjata api demi memastikan para polisi menerapkan standar-standar PBB
perihal penggunaan kekuatan dan senjata api saat bekerja. Para petugas juga harus
mendapatkan akses pada peralatan kepolisian yang memadai sesuai dengan tugas
mereka, mendapatkan akses pada pelatihan teknik bela diri tangan kosong yang
tidak memerlukan peralatan, dan metode taktis lainnya.
Menjamin semua prosedur dan mekanisme disiplin internal kepolisian tertulis
secara jelas dalam dokumen yang bisa diakses oleh masyarakat. Infomasi
mengenai prosedur investigasi internal, misalnya berisi tata cara mengajukan
komplain mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh polisi, bisa diakses oleh
masyarakat (baik di kantor polisi maupun di internet);
Menerbitkan laporan dan temuan investigasi internal kepolisian atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh polisi secara rinci.
17
Menjamin semua bentuk ganti pemulihan yang berdasarkan metode ganti rugi
tradisional tidak menghentikan proses penyelidikan dan penuntutan atas
pelanggaran hukum internasional;
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kasus pelanggaran HAM di Papua telah menyita banyak perhatian public
bahkan hingga ke dunia internasional dalam persidangan PBB sekalipun.
Kurangnya kerja sama antar pemerintah Indonesia dengan organisasi yang
memantau mengenai HAM mengakibatkan kurangnya informasi yang dapat
diakses langsung dari tempat perkara. Tindakan membunuh diluar hukum masih
terus terjadi dan mengancam kehidupan warga Papua yang pada hakekatnya
adalah sebangsa dan setanah air oleh kita semua. Meski pada akhirnya sebagian
warga Papua memilih untuk melakukan gerakan pro kemerdekaan, sangat
diwajarkan karena sikap pemerintahan yang tidak jelas dan munafik dalam
memperlakukan Papua.
Disatu sisi. Pemerintahan ingin membangun infrastruktur dan ekonomi di
Papua untuk meningkatkan taraf kehidupan dan penyamarataan pembangunan
serta menjanjikan tidak lanjut dari kasus HAM yang telah terjadi sebelumnya.
Namun, disisi lain itu semua tinggalah janji manis yang meninggalkan harapan
semua atas terselesaikannya setiap pelanggaran HAM dengan peradilan bagi
pelanggarnya.16
Penyuaraan mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AI hingga
saat ini terus mendesak pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Bahkan, AI
dalam laporannya memberikan beberapa rekomendasi untuk menyelesaikan
perkara HAM dan impunitas di Papua oleh apparat keamanan. AI menggunakan
teknologi dunia maya, atau media social yang menggerakan dukungan
demonstran dan sumbangan bagi para korban serta keluarga korban di Papua.
Hal demikian harus terus disuarakan demi kepentingan dan kenyamanan
dalam negeri kita sendiri, Indonesia.
16
Berita Kompas. Diakses melalui
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/14/13101341/pemerintah-ingin-bangun-papua-tetapi-tak-
berupaya-tuntaskan-kasus-ham pada 03 Agustus 2019 pukul 09.37 WIB.
19
3.2 Saran
Penulis pada akhirnya mengharapkan progress dari kinerja Amnesty Internasional dan
Pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM di Papua yang memilukan dan telah
terjadi secara terus menerus. Dimana setiap manusia pada dasarnya harus diperlakukan adil dan
sesuai dengan akal dan budi yang telah di anugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, serta HAM
sejak lahir di dunia ini.
20
DAFTAR PUSTAKA
Web
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/14/13101341/pemerintah-ingin-bangun-papua-tetapi-
tak-berupaya-tuntaskan-kasus-ham
https://www.academia.edu/37036715/PENGERTIAN_NGO
https://www.voaindonesia.com/a/survei-lipi-pelanggaran-ham-persoalan-terbesar-di-
papua/4164959.html
https://www.tapol.org/id/election-updates/impunitas-noda-hitam-dalam-demokrasi-indonesia
https://www.scribd.com/document/363446234/Organisasi-Non-Pemerintah-NGO-Non-Goverm-
docx
https://www.amnesty.org/en/who-we-are/
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/53418584/19261_AMNESTY_INTERNAT
IONAL_FIXXXXXX.
https://www.amnesty.org/en/about-us/how-were-run/
https://www.amnestyindonesia.org/tentang
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39031020
E-Journal
Robert, Jackson & Georg Sorensen (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional (Dadan
Suryadipura : penerjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sri Rahayu W.”HAK ASASI MANUSIA: TINJAUAN DARI ASPEK HISTORIS DAN
YURIDIS”. Semarang:Universitas Diponegoro
Muhammad Yudhika Elrifi.2014. “Pengaruh Competing Accountability Requirements Terhadap
Kinerja Kerja NGO di Indonesia”.Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada
21
22