Outlook Industri 2012 PDF
Outlook Industri 2012 PDF
2011
OUTLOOK INDUSTRI 2012
Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Desember, 2011
ISBN: 979-97810-12
ii
Daftar Isi
Daftar Isi ii
Daftar Tabel vii
Daftar Gambar x
Kata Pengantar xii
Bab 1 Pedahuluan 1
iii
3.3.4. Peningkatan Keunggulan Sub Sektor
Agroindustri 37
iv
4.4.6. Lokasi Penyebaran 93
4.5. Rumput Laut 94
4.5.1. Potensi Produksi 95
4.5.2. Market Share 96
4.5.3. Nilai Tambah Bisnis 102
4.5.4. Nilai Tambah Teknis 105
4.5.5. Forward-backward Linkage 107
4.5.6. Potensi Permintaan 108
4.5.7. Lokasi Penyebaran 111
v
6.4. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kakao 150
6.4.1. Strategi Percepatan Industri Kakao 150
6.4.2. Strategi Perluasan Industri Kakao 152
6.5. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rotan 164
6.5.1. Strategi Percepatan Industri Rotan 164
6.5.2. Strategi Perluasan 168
6.6. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rumput Laut 174
6.6.1. Strategi Percepatan Industri Rumput Laut 174
6.6.2. Strategi Perluasan Industri Rumput Laut 176
vi
Daftar Tabel
vii
Tabel 4.8. Impor Biji Kakao Indonesia dari Beberapa Negara
Tujuan 72
Tabel 4.9. Perbandingan Kapasitas Produksi Kakao Sebelum dan
Sesudah Penetapan Bea Keluar 75
Tabel 4.10. Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Sebelum dan Sesudah
Penetapan Bea Keluar 76
Tabel 4.11. Penggunaan Biji Kakao Sebelum dan Sesudah Penetapan Bea Keluar 77
Tabel 4.12. Realisasi 2010 dan Target 2015 & 2020 77
Tabel 4.13. Potensi Produksi Rotan Indonesia 86
Tabel 4.14. Margin Keuntungan dari Setiap Tahapan Tata Niaga
Rotan 91
Tabel 4.15. Produksi Rotan Indonesia Berdasarkan Wilayah 93
Tabel 4.16. Jumlah Industri Rotan dan Kapasitas Industri 94
Tabel 4.17 . Produksi Rumput Laut Indonesia 95
Tabel 4.18. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia 96
Tabel 4.19. Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut 98
Tabel 4.20. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia
Berdasarkan Volume (ton) 99
Tabel 4.21. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Nilai 100
Tabel 4.22. Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Negara Tujuan Ekspor 100
Tabel 4.23. Perkembangan Ekspor-Impor Rumput Laut Indonesia (ton) 101
Tabel 4.24. Eksportir Rumput Laut Dunia, Tahun 2006 102
Tabel 4.25. Perbandingan Harga Produk Olahan Rumput Laut 103
Tabel 4.26. Perkiraan Kebutuhan Dunia terhadap Produk Olahan Rumput Laut
(ton) 108
Tabel 4.27. Perkiraan Hasil Produksi dan Perkiraan
Kebutuhan Rumput Laut Dunia 109
Tabel 4.28. Importir Rumput Laut Dunia Terbesar 110
Tabel 4.29. Sebaran Produksi Rumput Laut (ton) 111
Tabel 5.1. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia 114
Tabel 5.2. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sektor
Perikanan 133
Tabel 6.1. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Kelapa
Sawit 142
viii
Tabel 6.2. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Kelapa Sawit 145
Tabel 6.3. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Karet 148
Tabel 6.4. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Karet 149
Tabel 6.5. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Kakao 154
Tabel 6.6. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Kakao 159
Tabel 6.7. Matrik Strategi Percepatan Industriali Rotan 170
Tabel 6.8. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Rotan 172
Tabel 6.9. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Rumput Laut 179
Tabel 6.10. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Rumput Laut 183
Tabel 7.1. Outlook Industri 2012 191
ix
Daftar Gambar
x
Gambar 4.21. Surplus dan Defisit kakao dunia 83
Gambar 4.22. Harga kakao dunia 83
Gambar 4.23. Penyebaran Industri Kakao 84
Gambar 4.24. Market Share Ekspor Rotan (Volume) 87
Gambar 4.25. Volume Perdagangan Rotan Dunia (Ton) 88
Gambar 4.26. Nilai Perdagangan Rotan Dunia (US$ juta) 88
Gambar 4.27. Volume Ekspor Rotan Indonesia 89
Gambar 4.28. Tujuan Ekspor Bahan Baku Rotan dari Indonesia,
2008 90
Gambar 4.29. Negara Pengekspor Industri Rotan Olahan Tahun
2008 90
Gambar 4.30. Pohon Hilirisasi Industri Rotan 92
Gambar 4.31. Forward-backward Linkage Rotan 93
Gambar 4.31. Pangsa Produksi Rumput Laut Dunia 94
Gambar 4.32. Market Share Rumput Laut Dunia, 2010 96
Gambar 4.33. Tren Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut Indonesia
di Pasar Internasional 97
Gambar 4.34. Analisis Nilai Tambah Bisnis Budidaya Rumput
Laut 104
Gambar 4.35. Pohon Industri Rumput Laut 105
Gambar 4.36. Keterkaitan Komoditas Rumput Laut dengan Industri
Lain 107
Gambar 7.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Pengolahan 188
xi
Ringkasan Eksekutif
xii
terhadap PDB ini menunjukkan tren penurunan, dari 27,83 persen pada 2006
menjadi 25,49 persen pada 2011. Berkebalikan dengan kontribusi sektor
perdagangan yang menunjukkan tren peningkatan. Kontradiksi ini bisa menjadi
sinyal bahwa struktur perekonomian Indonesia sedang mengalami pergeseran
secara perlahan dari sektor industri menuju sektor perdagangan. Fenomena ini
tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dapat berimplikasi pada
menurunnya kontribusi sektor industri pengolahan dalam menciptakan
lapangan kerja.
Hilirisasi agroindustri mampu untuk memecahkan persoalan ini. Di
tengah situasi belum pulihnya perekonomian dunia akibat krisis global dan
memburuknya perekonomian Uni Eropa karena krisis utang publik,
pengembangan sektor industri berdaya tahan terhadap krisis semakin
diperlukan guna menopang pertumbuhan ekonomi. Agroidustri merupakan
sektor yang dapat menjawab tantangan ini. Di tengah krisis ekonomi yang
pernah melanda Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi
sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami
kemunduran atau bahkan pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan
dalam jumlah unit usaha yang beroperasi. Salah satu imun yang membuat
kelompok agroindustri dapat bertahan dalam situasi krisis karena tidak
bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar
ekspor yang besar.
Pengembangan agroindustri akan berdampak pada penciptaan
kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data
kontribusi sub sektor agroindustri terhadap PDB menunjukkan bahwa output
sub sektor ini memberikan kontribusi yang selalu lebih besar dari pada sub
sektor pengolahan non agroindustri. Rata-rata kontribusi sub sektor agroindustri
selama 2004-2009 mencapai 15,47 persen dari total PDB nasional. Sementara
sub sektor non agroindustri (non migas) memberikan kontribusi dengan rata-
rata mencapai 9,41 persen. Berdasarkan data ini, maka tidak salah jika sub
xiii
sektor agroindustri akan mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Oleh
sebab itu, penguatan struktur pada sub sektor ini merupakan hal yang mutlak
harus dilakukan. Keterkaitan yang tinggi mulai dari hulu hingga hilir merupakan
salah satu cara untuk memperkuat sub sektor agroindustri. Sehingga percepatan
dan perluasan pembagunan ekonomi yang berkesinambungan dapat tercapai.
Upaya percepatan dan perluasan dapat dilakukan melalui pemetaan
agroindustri yang berdaya saing, baik dari sisi keunggulan komparatif di pasar
internasional maupun indikator lain, seperti potensi produksi; market share;
nilai tambah bisnis; nilai tambah teknis; keterkaitan dengan sektor lain; potensi
permintaan; dan lokasi penyebaran. Berdasarkan berbagai indikator tersebut
maka komoditas agroindustri yang dijadikan unggulan yaitu: kelapa sawit, karet,
kakao, rotan, dan rumput laut.
Meskipun memiliki berbagai kelebihan, pengembangan komoditas
unggulan tersebut bukannya tanpa tantangan. Berbagai permasalahan seperti
minimnya insentif bagi pengembangan industri padat tenaga kerja; hambatan
regulasi; ekonomi biaya tinggi; suku bunga kredit investasi yang masih cukup
tinggi; dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim dan jauh dari
memadai; hingga perkembangan teknologi pengolahan yang lamban merupakan
beberapa masalah utama yang menghambat peningkatan daya saing
agroindustri melalui hilirisasi.
Berbagai permasalahan dan tantangan yang menghambat hilirisasi
agroindustri membutuhkan solusi. Di sinilah urgensi keberadaan strategi
percepatan dan perluasan industrialisasi, agar bottleneck hilirisasi di beberapa
komoditas agroindustri unggulan dapat segera teratasi. Lebih dari itu,
percepatan dan perluasan agroindustri juga penting untuk mencapai target
pertumbuhan industri serta mencegah terjadinya deindustrialisasi dini.
Percepatan dimaknai sebagai upaya untuk memperpendek rentang waktu target
pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri
baru dan penganekaragaman berbagai produk hilir komoditas unggulan.
xiv
Strategi percepatan dan perluasan beberapa komoditas agroindustri
unggulan tersebut antara lain sebagai berikut: Kelapa Sawit: Strategi percepatan
agroindustri kelapa sawit yang utama harus segera dilakukan guna mendorong
peningkatan produk turunan minyak sawit adalah kebijakan insentif investasi di
sektor hilir. Hal ini terutama dapat dilakukan dengan penambahan cakupan
bidang usaha industri hilir kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi;
pemberian tax holiday bagi investasi besar industri hilir kelapa sawit; serta
secara konsisten melakukan promosi investasi Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS)
baik di dalam maupun luar negeri untuk mendorong masuknya investasi di
Klaster IHKS. Sedangkan strategi perluasan dilakukan dengan Pembangunan
klaster Industri Hilir Kelapa Sawit di daerah yang akan menjadi pusat bangkitan
perekonomian berbasis sektor produktif industri nasional, yaitu: Kawasan
Industri Sei Mangkei, Kawasan Industri Dumai dan Kuala Enok, dan Kawasan
Industri Maloy; penuntasan masalah tata ruang nasional dan RTRWP
secepatnya; serta perluasan diversifikasi produk dengan mendorong pengolahan
CPO hingga turunan produk ketiga (antara lain fatty acid, fatty alcohol,
biodiesel) di dalam negeri.
Karet: Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan
utama dalam pengembangan industri karet, termasuk kualitas bahan baku
olahan yang masih rendah. Untuk itu strategi percepatan hilirisasi karet adalah
dengan peremajaan karet tua dan tidak produktif terutama pada perkebunan
karet rakyat dengan stimulasi subsidi; peningkatan kualitas bahan olah karet
yang dihasilkan petani sesuai dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan
melalui pelatihan dan pendampingan; serta peningkatan efisiensi rantai nilai
pengolahan karet dan penguatan kelembagaan petani melalui pola plasma
antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar dalam peningkatan hasil
dan harga. Sementara strategi perluasan terutama dilakukan dengan
pengembangan industri perbenihan bermutu baik di sentra-sentra produksi
karet serta diversifikasi usahatani karet melalui integrasi dengan tanaman
pangan dan ternak untuk peningkatan pendapatan keluarga petani.
xv
Kakao: Strategi percepatan industri kakao yang utama adalah
peningkatan produktivitas dan mutu biji Kakao guna peningkatan nilai
tambah dan daya saing; dukungan penyedian pembiayaan salah satunya
dengan membentuk Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra produksi; serta
peningkatan kemampuan sumber daya manusia melalui Riset & Pengembangan
di bidang budidaya, pasca panen dan pengolahan antara lain dengan menjaga
kontinyuitas Program Gernas Kakao. Strategi Perluasan terutama dengan
memperluas lahan perkebunan kakao; memberikan insentif penanaman kakao
kepada petani; serta memberikan penyuluhan dan sosialisasi agar petani dapat
menghasilkan kakao berkualitas.
Rotan: Kebijakan industri rotan difokuskan kepada upaya untuk segera
menumbuhkan kembali industri rotan yang sempat mati selama
diberlakukannya kebijakan ekspor bahan baku rotan. Beberapa strategi
percepatan yang dapat segera dilakukan adalah: Menghubungkan industri rotan
dengan produsen bahan baku rotan; mendorong pembiayaan dengan suku
bunga yang terjangkau bagi pengembangan industri hilir rotan; serta menekan
high cost economy dalam produksi rotan olahan. Sedangkan strategi perluasan
dilakukan dengan membentuk sentra-sentra penghasil produk rotan di setiap
daerah penghasil rotan; pembangunan infrastruktur di daerah penghasil rotan;
serta membentuk sekolah desain di daerah sumber.
Rumput Laut: Strategi percepatan industri rumput laut yang utama
adalah peningkatan produksi melalui penggunaan bibit unggul dan teknologi
budidaya rumput laut yang baik; penyediaan fasilitas sarana prasarana
pengembangan kebun bibit dalam rangka penanganan mutu dan penyediaan
bibit secara kontinyu; serta Stimulasi pengembangan usaha budidaya rumput
laut dengan pemberian bantuan bibit unggul kepada pembudidaya. Strategi
Perluasan dengan melakukan zonasi pengembangan areal budidaya yang
diintegrasikan dengan RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) dan
pengembangan komoditas lain; melakukan identifikasi dan analisis kesesuaian
lahan dengan daya dukung lingkungan; serta melakukan penataan ruang dan
xvi
penetapan wilayah pengembangan produksi rumput laut dengan kepentingan
pengembangan komoditas lain dan sektor terkait lain.
Dengan strategi percepatan dan perluasan ini diharapkan sektor
agroindustri dapat tumbuh lebih tinggi dan merata di masa mendatang. Tahun
depan, pertumbuhan agroindustri diproyeksikan sebesar 6,0 persen. Ini dapat
dicapai jika pemerintah melakukan strategi percepatan dan perluasan
agroindustri secara optimal. Berbagai terobosan dalam kebijakan agroindustri,
terutama terobosan insentif; perbaikan regulasi yang pro bisnis; serta adanya
jaminan ketersediaan energi bagi industri untuk berproduksi.
Sementara itu, pertumbuhan industri pengolahan dapat mencapai 7,0
persen pada 2012, jika: Optimalisasi strategi percepatan dan perluasan industri
dapat dilakukan dengan baik; Dampak krisis UE dan berlanjutnya krisis AS dapat
dihindari dengan kebijakan anti krisis yang efektif; Pemerintah dapat
memanfaatkan secara optimal momentum peningkatan peringkat investasi
Indonesia; serta Pemerintah melakukan berbagai terobosan dalam kebijakan
industri, terutama terobosan kelembagaan, mengingat sebagian besar persoalan
industri terkonsentrasi pada masalah ini (birokrasi, koordinasi, korupsi).
xvii
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Bab 1
Pendahuluan
1
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
2
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
3
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
4
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Bab 2
Kinerja Makro Ekonomi dan Industri
5
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
6
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
7
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
8
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Konsumsi Pemerintah 9,6 3,9 10,4 15,7 0,3 3,3 0,7 0,3 0,8 1,3 0,0 0,2
Pembentukan Modal Tetap Bruto 2,9 9,3 11,9 3,3 8,5 7,9 0,7 2,0 2,7 0,8 2,0 1,7
Ekspor 9,2 8,5 9,5 -9,7 14,9 16,2 4,1 4,0 4,6 -4,8 6,4 8,3
Dikurangi: Impor 7,6 9,1 10,0 -15,0 17,3 14,6 2,8 3,4 3,9 -6,0 5,6 5,0
PDB 5,5 6,3 6,0 4,6 6,1 6,5
9
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Penduduk Miskin (juta jiwa) 39,30 37,17 34,96 32,53 31,02 30,02
Persentase Penduduk Miskin (%) 17,75 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49
Pengangguran Terbuka (juta jiwa) 11,10 10,01 9,39 8,96 8,32 7,70
Persentase Pengangguran (%) 10,28 9,11 8,39 7,87 7,14 6,56
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
10
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
persen atau meningkat dari Rp719 triliun pada 2008 menjadi Rp798 triliun pada
2009 (yoy). Subsektor dengan nilai tambah tertinggi adalah industri makanan
dan minuman sebesar Rp147 triliun pada 2009 atau tumbuh sebesr 18,94
persen dari tahun sebelumnya (Tabel 2.4). Berikutnya, diurutan kedua ditempati
oleh subsektor kimia dan barang-barang dari bahan kimia sebesar Rp116 triliun
pada 2009, namun pertumbuhannya mengalami minus sebesar 4,90 persen. Di
urutan selanjutnya relatif mengalami persaingan antara subsektor tembakau,
tekstil, dan kendaraan bermotor masing-masing memiliki nilai tambah sebesar
Rp54,40 triliun, Rp54,61 triliun, dan Rp48 triliun. Sedangkan subsektor dengan
nilai tambah terendah adalah industri peralatan kantor, akuntansi, dan
pengolahan data sebesar Rp258 miliar, diikuti oleh industri daur ulang dengan
nilai tambah sebesar Rp663 miliar.
Dengan melihat besar dan berkembangnya nilai tambah pada industri
pengolahan, tampaknya dapat menjadi argumentasi yang kuat untuk melakukan
upaya percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia. Percepatan dan
perluasan industrialisasi juga menjadi penting dalam konteks membangun
kemandirian bangsa, sekaligus menjadi strategi paling ampuh dalam
membendung banjirnya impor barang hasil industri dari luar negeri. Selain itu,
dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar, masuk akal apabila
industri pengolahan yang dikembangkan ke depan dikaitkan langsung dengan
sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan atau yang biasa disebut dengan
agroindustri.
Dalam konteks penyerapan tenaga kerja, sektor industri belum mampu
melakukan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Selama kurun
waktu 2005 hingga 2011, penyerapan tenaga kerja masih didominasi sektor
pertanian sebesar 40,8 persen diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran
20,4 persen, jasa sosial 12,7 persen dan sektor industri pengolahan hanya
berkontribusi sebesar 12,5 persen. Kontribusi sektor industri dalam penyerapan
tenaga kerja di Indonesia memang tidak terlalu besar sejak 1996, di mana
persentase penyerapannya berada pada kisaran 12-13 persen. Sektor industri
menyerap tambahan sekitar 660 ribu tenaga kerja dalam setahun terakhir.
11
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Kondisi ini menempatkan industri sebagai nomor tiga dalam menyerap tenaga
kerja di bawah jasa dan perdagangan. Perlu diingat bahwa nilai tambah dan
pendapatan di sektor industri umumnya lebih tinggi dari kedua sektor tersebut.
12
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
13
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
14
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Keterkaitan tersebut tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga melaui media
keterkaitan lain, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja
(Rangarajan, 1982; Haggblade et al., 1991). Hal tersebut diharapkan berimplikasi
melalui pengembangan sektor agroindustri dan tercipta kesempatan kerja dan
sumber pendapatan masyarakat, sehingga rumah tangga petani tidak hanya
menggantungkan sumber penghidupan mereka pada sebidang tanah yang
semakin menyempit, namun secara luas mampu mendukung pertumbuhan
produktivitas. Semua itu akan mempunyai efek positif bagi pengurangan
kemiskinan yang sebagian besar berada di sektor pertanian.
15
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
itu, penurunan pada industri makanan ringan lebih disebabkan oleh penurunan
daya beli masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi.
Lebih lanjut, jika melihat kinerja subsektor agroindustri yang diukur dari
perkembangan jumlah unit perusahaan dan kapasitas produksi dalam 6 tahun
terakhir menunjukkan telah terjadi pertumbuhan dalam kedua indikator
tersebut. Berdasarkan Tabel 2.6 menunjukkan jumlah unit perusahaan
agroindustri selama 6 tahun terakhir mengalami peningkatan dengan rata-rata
mencapai 5,52 persen per tahun. Hal ini diikuti pula oleh peningkatan kapasitas
produksinya, namun dengan peningkatan yang jauh lebih besar, yakni dengan
rata-rata sebesar 27,98 persen per tahun.
16
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
17
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Tabel 2.7. Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerjasub Sektor Agroindustri
18
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Tabel 2.8. Nilai dan Pangsa Sektoral terhadap PDB Indonesia, Tahun 2004-2010
(Miliar Rupiah)
Non Industri Sektor
Tahun Pertanian Agroindustri PDB
Agroindustri Migas Lainnya
2004 247,163.6 216,372.6 201,995.9 51583.9 939,400.8 1,656,516.8
(14.92) (13.06) (12.19) (3.11) (56.71) (100)
2005 253,881.7 224,771.4 218,131.2 48658.8 1,005,372.1 1,750,815.2
(14.50) (12.84) (12.46) (2.78) (57.42) 100)
2006 262,402.8 236,547.8 229,701.3 47851.2 1,070,623.6 1,847,126.6
(14.21) (12.81) (12.44) (2.59) (57.96) (100)
2007 271,509.3 247,711.0 242,550.6 47823.0 1,154,733.4 1,964,327.3
(13.82) (12.61) (12.35) (2.43) (58.79) (100)
2008 284,620.7 254,124.5 255,977.2 47662.7 1,239,930.8 2,082,315.9
(13.67) (12.20) (12.29) (2.29) (59.55) (100)
2009* 296,369.3 272, 255.1 250,684.5 46611.2 1,311,055.4 2,176,975.5
(13.61) (12.51) (11.52) (2.14) (60.22) (100)
2010** 304,406.2 279,524.5 270,248.8 45539.8 1,410,970.5 2,310,689.8
(13.17) (12.10) (11.70) (1.97) (61.06) (100)
Rata-rata 13.99 12.59 12.13 2.47 58.82 100.00
19
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Bab 3
Membangun Industri Berdaya Saing
21
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
22
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Deindustrialisasi sendiri dianggap oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang wajar
dialami oleh suatu negara ketika peranan sektor industri terhadap PDB negara
tersebut sudah mencapai titik yang tinggi. Dalam kasus Amerika Serikat,
deindustrialisasi terjadi ketika peranan sektor industri terhadap PDB sudah
mencapai 35 persen. Sejak mencapai titik tersebut, industri di AS mengalami
gradual decrease hingga mencapai titik di mana kontribusi dari sektor industri
hanya sebesar 11 persen pada 2007. Jumlah tersebut jauh di bawah sektor
keuangan yang kontribusi terhadap GDP mencapai lebih dari 20 persen.
Beberapa negara lain pun mengalami fenomena yang serupa ketika
kontribusi sektor industri terhadap perekonomian negaranya terus mengalami
penurunan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi adalah sebuah
keniscayaan yang pasti akan dialami oleh seluruh negara industri di dunia.
Tetapi, deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia saat ini dianggap sebagai suatu
fenomena yang terlalu cepat terjadi.
23
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
24
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
pada industri listrik dan industri peralatan lainnya adalah sebesar 32,9 persen
dan 31,2 persen. Tabel 3.1 menunjukkan besarnya proporsi komponen input
pada beberapa industri manufaktur. Dapat dilihat bahwa pada sektor industri
yang bersifat labor intensive dan low technology, seperti industri tekstil dan
pakaian, industri karet dan plastik, serta industri pengolahan minyak dan
batubara, hanya mengandung komponen impor sebesar 14,5 persen, 13,5
persen, 13,4 persen dan 10,9 persen. Sehingga, sektor industri tersebut
tergolong industri berbasis lokal.
Tabel 3.1. Proporsi Komponen Impor pada beberapa Industri Manufaktur
Jika merujuk pada data impor barang pada neraca pembayaran, impor
bahan baku atau bahan penolong industri memiliki proporsi yang sangat besar
dibandingkan barang konsumsi, barang modal, dan barang lainnya. Gambar 3.2
menunjukkan impor barang pada transaksi berjalan selama periode 2008 hingga
2009. Terlihat jelas bahwa proporsi terbesar pada barang impor yang masuk ke
25
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Indonesia adalah barang baku atau barang penolong untuk industri, yaitu
berkisar 70 persen hingga 75 persen. Kemudian disusul oleh barang modal untuk
industri, yaitu 12,18 persen pada 2008, 18,23 persen (2009), dan 16,31 persen
(2010). Sedangkan proporsi barang konsumsi hanya berkisar 12 persen pada
2010. Hal ini menegaskan bahwa industri nasional memiliki ketergantungan
terhadap impor bahan baku atau bahan penolong.
Tidak hanya input komponen, namun juga impor barang modal, seperti
peralatan dan mesin, juga memiliki proporsi yang besar pada sektor industri
dengan teknologi tinggi. Pasalnya, industri dalam negeri belum mampu
memproduksi komponen dan barang modal yang diperlukan industri
manufaktur dengan teknologi tinggi, seperti industri produk elektronik dan
industri otomotif. Sehingga, tingginya ketergantungan industri nasional,
terutama pada industri teknologi tinggi, terhadap impor input bahan mentah,
input antara, dan komponen, serta barang modal menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan sektor industri Indonesia kurang kompetitif.
Sementara itu, Industri otomotif merupakan salah satu industri yang
membutuhkan impor bahan baku/bahan penolong dan barang modal paling
26
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
besar di antara sektor industri nonmigas. Tabel 3.2 menunjukkan nilai impor
nonmigas untuk industri otomotif memegang proporsi tertinggi, yatu 42 persen
impor industri digunakan dalam proses produksi sektor tersebut. Sedangkan
sektor industri elektronika dan industri kimia dasar juga memiliki proporsi besar
dalam mengimpor bahan baku atau penolong nonmigas, yaitu masing-masing
sebesar 14 persen dan 11,31 persen.
12 BESAR IMPOR INDUSTRI NONMIGAS 66,803.5 93,173.6 92.15 34,769.4 44,411.8 27.73
1 Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif 31,683.8 43,218.6 42.74 16,037.7 18,952.2 18.17
2 Elektronika 10,496.7 14,176.2 14.02 5,089.3 6,216.4 22.15
3 Kimia Dasar 8,095.1 11,431.5 11.31 4,458.7 6,346.5 42.34
4 Tekstil 3,396.9 5,031.2 4.98 1,761.9 2,936.3 66.65
5 Makanan dan Minuman 2,810.6 4,514.2 4.46 1,767.7 2,826.0 59.86
6 Alat-alat Listrik 2,105.8 3,142.8 3.11 1,235.8 1,363.1 10.3
7 Pulp dan Kertas 1,883.2 2,731.8 2.7 1,016.0 1,314.2 29.35
8 Barang-barang Kimia lainnya 1,661.9 2,199.3 2.18 811.6 1,040.4 28.18
9 Makanan Ternak 1,679.1 1,871.6 1.85 733.4 826.5 12.7
10 Pengolahan Tembaga, Timah dll. 1,027.1 1,822.1 1.8 703.7 894.4 27.09
11 Plastik 1,034.0 1,525.1 1.51 537.9 763.2 41.88
12 Pupuk 929.1 1,509.2 1.49 615.5 932.5 51.5
Industri Lainnya 5,594.5 7,941.8 7.85 2,950.9 3,890.4 31.84
Ironisnya, data pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa sektor industri yang
bersifat labor intensive dan berbasis lokal seperti industri tekstil, industri
makanan dan minuman, industri pulp dan kertas, industri makanan ternak, dan
industri pengolahan tembaga dan timah ternyata juga tidak lepas dari impor
bahan baku dan penolong, walaupun proporsinya kecil dibandingkan industri
27
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
yang bersifat high technology. Menurut Dhanani (2000), industri berbasis lokal,
seperti industri makanan, industri pulp dan kertas, menjadi industri andalan dan
berkembang cepat. Tetapi, perkembangan industri berbasis lokal tidak disertai
dengan pengembangan medium dan high technology dalam proses produksinya.
Sehingga, tidak heran bahwa industri tersebut masih membutuhkan bahan baku
impor.
28
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
ini menjadi pencetus dan pondasi dari cabang ilmu ekonomi pembangunan yang
fokus pada transformasi ekonomi negara berkembang menjadi negara maju.
Sayangnya, transformasi untuk menjadi negara industri di Indonesia
bukan tanpa masalah. Persoalan tarik ulur kepentingan dalam mengelola
sumber daya yang tersedia, untuk kebutuhan domestik atau ekspor; daya saing
di pasar internasional yang relatif lemah; variabilitas dan intensitas produk dan
negara tujuan ekspor yang minim; impor barang konsumsi dan bahan baku
penolong yang meningkat drastis; serta terlalu terkonsentrasinya industrialisasi
di Pulau Jawa merupakan beberapa masalah serius dalam melakukan
transformasi menjadi negara industri.
Berbagai permasalahan tersebut menjadi pendorong diperlukannya
percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia. Lebih dari itu, percepatan
dan perluasan industrialisasi juga penting untuk mencapai target pertumbuhan
industri sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2010-2014
serta mencegah berlanjutnya deindustrialisasi dini. Percepatan dimaknai sebagai
upaya untuk memperpendek rentang waktu target pencapaian, sementara
perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri baru di luar Jawa,
terutama mendekatkan ke sumber bahan baku.
29
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
30
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Dalam periode dua tahun terakhir analisa pada sisi penyerapan tenaga
kerja menunjukkan bahwa sektor industri menyerap tambahan sekitar 660 ribu
tenaga kerja. Kondisi ini menempatkan industri sebagai nomor tiga dalam
menyerap tenaga kerja di bawah jasa dan perdagangan.
31
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
32
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
33
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
34
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
'11 Produk penggilingan, malt, pati, inulin, gluten gandum 0.12 0.33 0.32
'12 Minyak biji, buah-buahan oleagic, gandum, biji, buah, dll 0.03 0.28 0.27
'13 Lac, gums, resins, vegetable saps and extracts nes 0.03 0.77 0.74
'14 Vegetable plaiting materials, vegetable products nes 10.34 5.81 5.54
'15 Lemak Hewan, minyak nabati dan produk turunannya 0.35 20.11 19.15
'16 Meat, fish and seafood food preparations nes 0.11 1.46 1.39
'17 Sugars and sugar confectionery 1.04 0.40 0.38
'18 Kakao dan olahannya 0.28 4.31 4.10
'19 Cereal, flour, starch, milk preparations and products 0.12 0.93 0.88
'20 Sayuran, buah, kacang, dan olahan makanannya 0.24 0.40 0.38
'21 Miscellaneous edible preparations 0.05 0.80 0.76
'22 Beverages, spirits and vinegar 0.22 0.08 0.08
'23 Residues, wastes of food industry, animal fodder 0.43 0.61 0.58
'24 Tobacco and manufactured tobacco substitutes 0.10 1.94 1.85
'33 Essential oils, perfumes, cosmetics, toileteries 0.41 0.53 0.50
'34 Soaps, lubricants, waxes, candles, modelling pastes 0.03 1.38 1.31
'39 Plastics and articles thereof 5.94 0.45 0.42
'40 Rubber and articles thereof 0.08 5.58 5.32
'41 Raw hides and skins (other than furskins) and leather 0.16 0.41 0.39
'42 Articles of leather, animal gut, harness, travel goods 0.00 0.47 0.45
'43 Kulit berbulu dan bulu tiruan, serta olahannya 1.86 0.01 0.01
'44 Wood and articles of wood, wood charcoal 0.00 2.73 2.60
'46 Manufaktur dari bahan anyaman 0.93 2.02 1.92
'47 Pulp of wood, fibrous cellulosic material, waste etc 2.65 3.34 3.18
'48 Paper & paperboard, articles of pulp, paper and board 0.03 2.46 2.34
'49 Printed books, newspapers, pictures etc 0.00 0.12 0.11
'50 Silk 0.00 0.00 0.00
'51 Wool, animal hair, horsehair yarn and fabric thereof 0.48 0.04 0.03
'52 Cotton 0.01 1.29 1.23
'53 Vegetable textile fibres nes, paper yarn, woven fabric 0.78 0.27 0.25
'54 Manmade filaments 1.32 3.00 2.85
'55 Manmade staple fibres 0.07 6.14 5.84
'56 Wadding, felt, nonwovens, yarns, twine, cordage, etc 0.04 0.58 0.56
'57 Carpets and other textile floor coverings 0.03 0.40 0.38
'58 Special woven or tufted fabric, lace, tapestry etc 0.08 0.41 0.39
'59 Impregnated, coated or laminated textile fabric 0.06 0.56 0.54
'60 Knitted or crocheted fabric 1.83 0.35 0.34
'61 Articles of apparel, accessories, knit or crochet 2.29 1.58 1.50
'62 Articles of apparel, accessories, not knit or crochet 0.14 2.12 2.02
'63 Other made textile articles, sets, worn clothing etc 1.59 0.45 0.42
'64 Footwear, gaiters and the like, parts thereof 0.02 2.52 2.40
'94 Furniture, lighting, signs, prefabricated buildings 0.23 1.20 1.14
35
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
36
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
37
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
38
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
*) Angka Sementara
**) Angka Sangat Sementara
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011
39
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
40
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
41
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Bab 4
Komoditas Unggulan Agroindustri
43
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Dalam rangka percepatan dan perluasan industri agro harus ada skala
prioritas, sehingga memfokuskan pada beberapa komoditas unggulan
merupakan satu langkah konkret. Hal ini dilakukan agar agroindustri yang
dikembangkan benar-benar menjadi industri yang berdaya saing, baik di pasar
domestik maupun di tingkat internasional.
Adapun kriteria yang dijadikan acuan dalam menentukan agroindustri
unggulan utamanya adalah dari sisi daya saing berdasarkan RCA (Revealed
Comparative Advantage). Berdasarkan indikator RCA pada 2010 kelapa sawit
merupakan komoditas berdaya saing dengan nilai RCA sebesar 19,15; demikian
pula nilai RCA karet 5,32; kakao 4,10; rotan 5,54; serta rumput laut 0,27.
Komoditas dengan nilai RCA > 1 dinilai memiliki daya saing dalam pasar
internasional. Rumput laut meskipun bernilai RCA relatif kecil, tetapi penting
dikembangkan mengingat potensinya yang besar dan sejauh ini belum banyak
diolah.
Di samping melihat indikator daya saing, beberapa indikator lain yang
digunakan untuk menetapkan komoditas unggulan antara lain adalah: (1)
Potensi produksi, (2) Market share, (3) Nilai tambah bisnis, (4) Nilai tambah
teknis, (5) keterkaitan ke depan dan ke belakang, (6) Potensi permintaan, dan (7)
Lokasi penyebaran. Berdasarkan indikator tersebut, komoditas agroindustri yang
dijadikan unggulan adalah kelapa sawit, karet, kakao, rotan, dan rumput laut.
44
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
kaca, seperti CO2, dan mampu menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya,
seperti konservasi biodiversity atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman
kelapa sawit juga menjadi sumber pangan dan gizi utama penduduk dalam
negeri, sehingga keberadaannya berpengaruh sangat nyata dalam
perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
45
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Kalimantan Timur 2,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,5 ribu ha, Papua 1,5 juta
ha, dan Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha (Kementerian Pertanian, 2011).
46
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Gambar 4.1. Proporsi Ekspor Minyak Sawit Mentah dan Olahan Indonesia
47
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
metrik ton (83,58 persen) pada semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan
minyak kelapa sawit Indonesia didorong oleh kenaikan impor ke India dan China.
India membeli setengah impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. India
telah melampaui China sebagai pembeli terbesar di dunia minyak sawit.
48
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Tabel 4.3. Jenis Industri, Perkiraan Nilai Investasi dan Nilai Tambah Industri
Berbasis Minyak Sawit
Tingkat Perkiraan Pertambahan
No Produk Bahan Baku
Teknologi Investasi Nilai
1 Olein & Stearin CPO Menengah 20%
2 Fatty acids CPO, PKO, katalis Tinggi 200–700 miliar 50%
3 Ester Palmitat, Miristat Tinggi 100 –500 miliar 150%
4 Surfactant/ Stearat, Oleat, Tinggi 200-700 miliar 200%
emulsifier sorbitol, gliserol
5 Sabun mandi CPO, PKO, NaOh, Sederhana Mulai dari kurang 300%
pewarna, parfum 1 miliar
6 Lilin Stearat Sederhana Mulai dari kurang 300%
1 miliar
7 Kosmetik (lotion, Surfaktan, ester, Sederhana 1 –200 miliar 600%
cream), bedak, amida
shampoo
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2007
49
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Oleofood/pangan Baking Shortening, Friying Shortening, Milk Fat Replacer, Cocoa Butter
Substitutes; Cocoa Butter Equivalent, Cocoa Butter Replacer,
Confectionery Fats, Ice Cream Fats, Creamer, Specialty Bakery Fats,
Icing and Filling Fat, Spread Fats.
Oleokimia Fatty acids (Stearic Acid, Oleic Acid, Palmitic Acid, Myristic Acid, Lauric
Acid); Fatty Alcohol; Glycerine; Lilin (candle) Fatty Alcohol Methyl
Esther Sulphate (FAMES); Fatty Alcohol Ethoxylate (FAE); Methyl Esther
Sulphonate (MES); Glycerol Mono Oleate (GMO); Diethyl Oleate (DEO);
Tocopherol.
Energy Fatty Acid Methyl Esther (FAME), FAME Euro 2 dan Euro 4 Spesification
50
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
52
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
harga minyak goreng kemasan yang mengalami peningkatan sebesar 7,5 persen,
menjadi Rp11.685 per kg jika dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar
Rp 10.875 per kg (Gambar 4.4).
Menariknya, peningkatan harga salah satu produk hilirisasi CPO tersebut
cukup stabil, tidak fluktuatif. Secara implisit hal ini mengindikasikan bahwa
potensi investasi pengolahan CPO menjadi minyak goreng ke depan cukup
menguntungkan bagi pelaku usaha, karena harga produk di pasar meningkat
dengan stabil. Harga rata-rata nasional untuk minyak goreng curah relatif stabil
dengan koefisien keragaman harga bulanan periode Januari 2010 sampai
Februari 2011 sebesar 7,9 persen. Sedangkan koefisien keragaman harga
bulanan minyak goreng kemasan dengan periode yang sama sebesar 3,2 persen
(Kemendag, 2011). Nilai koefisien keragaman ini menunjukkan bahwa harga
rata-rata nasional minyak goreng kemasan relatif lebih stabil dibandingkan
minyak goreng curah.
Gambar 4.4. Perkembangan Harga CPO dan RBD Olein Dunia dan
Harga Minyak Goreng Dalam Negeri
53
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
1
Crude Palm Oil (CPO) merupakan minyak berwarna kuning jingga kemerah-merahan yang
mengandung asam lemak bebas 5 persen dan mengandung banyak carolene atau pro vitamin E.
Sementara Crude Palm Kernel Oil (CPKO) merupakan minyak putih kekuning-kuningan yang
diperoleh dari proses ekstraksi inti buah tanaman kelapa sawit yang mengandung asam lemak
sekitar 5 persen (Maksi, 2007).
54
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Sejauh ini sebagian besar CPO dan CPKO yang dihasilkan di Indonesia
masih diekspor dalam bentuk bahan mentah. Ekspor CPO mencapai 50 persen
dan CPKO mencapai 85 persen, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk diolah di
dalam negeri.2 Dengan demikian, dari sisi kompetisi potensi untuk memperoleh
keuntungan dari hilirisasi CPO juga cukup prospektif karena pelaku di dalam
negeri belum cukup banyak. Masih ada ruang untuk memperoleh margin dari
pasar produk hilirisasi CPO di Indonesia.
2
Kementerian Pertanian (2005) menyebutkan setidaknya ada 320 unit pengolahan CPO dengan
kapasitas sekitar 13,5 ribu TBS (Tandan Buah Segar) per jam.
55
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Terkait dengan lokasi penyebaran produksi CPO ini, salah satu lokus
klaster yang perlu mendapat dukungan semua pihak dalam pengembangan
hilirisasi CPO adalah Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara. Dengan
mengaglomerasikan industri berbasis kelapa sawit di satu lokus klaster, maka
akan tercipta efisiensi industri yang akan meningkatkan daya saing industri
menuju industri kelas dunia. Beberapa produk hilir yang potensial
dikembangkan secara terpadu dan terintegrasi dari hulu – hilir di Kawasan
Industri Sei Mangkei antara lain Minyak goreng sawit (curah dan kemasan),
Margarine, Shortening, Biodiesel, Betacarotene, Tocopherol, Fatty Acids, Fatty
Alcohol, Surfactan, dsb (Kementerian Perindustrian, 2011).
Keunggulan Kawasan Industri Sei Mangkei sebagai lokus klaster adalah:
jaminan pasokan bahan baku minyak sawit; fasilitas air bersih, listrik, dan
pengolahan limbah cukup memadai; kemudahan teknis untuk integrasi industri
hulu hingga hilir; terintegrasi dengan fasilitas logistik pelabuhan Kuala Tanjung,
jalan rel trans Sumatera Utara; serta reputasi PTPN III sebagai pemasok bahan
baku yang tersertifikasi RSPO (Roundtable Sustainable of Palm Oil). Berbagai
keunggulan ini juga dapat menjadi indikator bagi daerah lain yang ingin
mengembangkan produk hilir CPO, seperti di Riau (Dumai dan Kuala Enok), dan
Kalimantan Timur (Maloy).
Hilirisasi industri CPO merupakan investasi menarik bagi pelaku usaha
dan dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi pemerintah dalam upaya
meningkatkan kontribusi industri dalam perekonomian. Selain memiliki nilai
tambah teknis yang besar, berbagai produk olahan CPO juga memiliki nilai
tambah bisnis yang menguntungkan. Minyak goreng, margarine, sabun, dan
kosmetik merupakan sebagian kecil produk hilirisasi CPO yang sudah akrab
dalam keseharian masyarakat karena beberapa merupakan kebutuhan pokok.
Untuk itu hilirisasi CPO ini harus senantiasa menjadi prioritas dalam
pembangunan perindustrian berbasis agro ke depan.
56
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
4.2. Karet
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik untuk
sumber pendapatan, kesempatan kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi
sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian
lingkungan dan sumber daya hayati. Tanaman karet merupakan tanaman
perkebunan yang tumbuh subur di Indonesia. Tanaman ini menghasilkan getah
karet (lateks) yang dapat diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar,
slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya, produk-produk tersebut
digunakan sebagai bahan baku pabrik crumb rubber3 (karet remah), yang
menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir, seperti ban,
bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet,
dan berbagai produk hilir lainnya. Tersedianya lahan yang luas memberikan
peluang untuk menghasilkan produksi karet alam dalam jumlah besar. Di sisi
lain, produksi karet alam juga dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknologi
pengolahan karet untuk meningkatkan efisiensi, sehingga lateks yang dihasilkan
dari getah bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yang semakin
sedikit.
3
Crumb rubber adalah karet kering yang proses pengolahannya melalui tahap peremahan. Bahan baku berasal dari
lateks yang diolah menjadi koagulum dan dari lump. Bahan baku yang paling dominan adalah lump karena pengolahan
crumb rubber bertujuan untuk mengangkat derajat bahan baku mutu rendah menjadi produk yang lebih bermutu.
57
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
juta ha dan Malaysia dengan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini
menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal
dibanding pesaing utama, Thailand.
Gambar 4.7. Perbandingan Produksi dan Luas Lahan Karet, 2009
58
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Gambar 4.8. Pangsa Pasar Ekspor Karet Indonesia dalam Bentuk Remah
59
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
banyak diminta oleh kalangan industri ban adalah SIR 20. Sementara itu, ekspor
produk karet masih relatif kecil kendati terus memperlihatkan peningkatan.
Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik
menjadi US$1,5 miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor terutama berupa
ban, sarung tangan karet dan produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban
Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet
mencapai US$ 175,9 juta.
Gambar 4.9. Proporsi Ekspor Karet dan Penyerapan Dalam Negeri, 2009
Konsumsi karet alam di dalam negeri sejauh ini masih relatif kecil. Pada
2009 volume karet alam yang dikonsumsi di dalam negeri hanya sekitar 15
persen (422 ribu ton) dari total produksi karet alam nasional (Gambar 4.9). Dari
jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55 persen di antaranya berasal dari
konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya berasal dari industri
vulkanisir, industri sepatu dan alas kaki, sarung tangan dan benang, produk karet
industri lainnya, peralatan rumah tangga, dan peralatan olahraga.
60
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
61
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
62
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
63
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Tabel 4.5. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia (ribu ton)
Persediaan Karet Dunia 1.519 1.880 1.745 1.339 1.437 1.503 1.503 1.522
64
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
kembali terjadi baik untuk karet TSR20 maupun RSS3 sejak triwulan I 2009
hingga triwulan I 2011.
Gambar 4.12. Harga Karet Alam
65
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
4.3. Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas yang memiliki peran strategis
dalam menyumbang perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Komoditas ini
mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar
atau meningkatkan devisa negara melalui kegiatan ekspornya serta
mengoptimalkan penghasilan petani kakao. Di samping itu, kakao juga berperan
dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Kakao menghasilkan devisa terbesar ketiga untuk kategori perkebunan setelah
kelapa sawit dan karet. Devisa dari kakao pada 2010 mencapai USD 1,6 miliar.
66
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
67
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
68
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Gambar 4.15. Produksi Kakao Pada Beberapa Negara Produsen Utama (ton)
69
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Pada 2010 luas total perkebunan kakao nasional mencapai 1.651.539 ha.
Dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan selama sepuluh tahun terakhir
sebesar 8,28 persen. Berdasarkan Tabel 4.6, jumlah produksi kakao
menunjukkan tren peningkatan. Pada 2010 jumlah produksi kakao tercatat
sebesar 844.626 ton, dengan rata-rata pertumbuhan (2000-2010) sebesar 7,60
persen.
Pertumbuhan jumlah produksi kakao yang lebih kecil dari pertumbuhan
luas areal menunjukkan bahwa terdapat penurunan produktivitas lahan kakao.
Produktivitas yang semakin menurun ini disebabkan oleh berbagai macam hal.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Suryani dan Zulfebriansyah (2007),
rendahnya produktivitas kakao disebabkan antara lain: a) penggunaan benih
masih asal-asalan, belum banyak digunakan benih klonal, (b) masih tingginya
serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum ditemukan
klon kakao yang tahan terhadap hama PBK, (c) sebagian besar perkebunan
berupa perkebunan rakyat yang dikelola masih dengan cara tradisional, dan (d)
umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun (jauh di atas
usia paling produktif 13-19 tahun).
*) Data sementara
Sumber: Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, 2011
70
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
71
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
72
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
73
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
74
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
d. Kelemahan
a. Tidak Difermentasi
b. Produktivitas Masih Rendah = 0,600 Ton/Ha/Tahun
e. 80 – 90 persen Untuk Ekspor
f. Manfaat Coklat Bagi Kesehatan ---- Flavanoid
a. Memperkuat Jantung
b. Melancarkan Peredaran Darah
c. Mengurangi Risiko Kanker
g. Pasar Terbuka Luas: Indonesia, India, RRC, Eropa
75
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Tabel 4.10. Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Sebelum dan Sesudah
Penetapan Bea Keluar
Pada 2010 beberapa industri yang semula mati suri mulai bangkit
kembali. Namun, peningkatan kapasitas belum terlihat signifikan pada tahun ini
karena perlu waktu untuk menjalankan kembali industri yang sudah berhenti
beberapa tahun dan untuk industri yang ekspansi pemesanan mesin memakan
waktu hingga satu tahun. Perubahan signifikan terjadi pada volume ekspor biji
kakao dan kakao olahan pada 2011, seperti terlihat pada Table 3.10. Dari data
di atas terlihat bahwa ekspor biji kakao pada 2010 menurun sebesar 6.868 ton
(2 persen), sedangkan ekspor produk olahannya meningkat sebesar 20.516 ton
(25persen).
76
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
77
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Kebijakan pengenaan Bea Keluar biji kakao per 1 April 2010 berdampak
positif yang ditandai dengan:
Peningkatan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao dan cokelat dari
531.675 ton/tahun pada 2010 menjadi 689.750 ton/tahun pada 2011, baik
dari investasi baru maupun perluasan.
Penerimaan Bea Keluar untuk mendukung Gerakan Nasional (Gernas) kakao
yang dilakukan pemerintah sejak 2009.
Program Gerakan Nasional (Gernas) untuk Peningkatan produksi dan mutu
produksi kakao khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur.
Peningkatan ekspor produk olahan dari 81.993 ton (2009) menjadi 55.561 ton
(Jan-Mei 2011).
Penurunan Impor produk kakao olahan dari 11.767 ton (2009) menjadi 6.604
(Jan-Mei 2011).
Pada 2011 peningkatan kapasitas produksi industri kakao terlihat
signifikan sebagai akibat dari:
1. Beberapa industri yang sebelumnya stop produksi sudah beroperasi kembali.
2. Beberapa industri melakukan ekspansi.
3. Satu investor dari Malaysia pada tahun ini sudah mulai mengoperasikan
pabriknya di Batam dengan kapasitas terpasang 65.000 ton, yaitu PT. Asia
Cocoa Indonesia. Hal inilah yang mendorong peningkatan kapasitas industri
sekitar 87 persen pada tahun ini.
Dari beberapa industri kakao yang sempat mati suri, saat ini memang
masih ada tiga industri yang belum beroperasi, yaitu :
a. PT. Industri kakao utama di Kendari, pabrik ini memang belum beroperasi
semenjak didirikan oleh pemiliknya.
b. PT. Kopi Jaya Kakao di Makasar, pabrik ini belum beroperasi karena ada
masalah internal.
c. PT. Budidaya Kakao Lestari di Surabaya, pabrik ini masih melakukan persiapan
untuk beroperasi kembali karena sempat berhenti beberapa tahun sehingga
mereka perlu waktu merekrut karyawan, perbaikan mesin, penambahan daya
listrik dari PLN, buka kembali jaringan pembelian dan pemasaran dan lain-
lain. Pabrik ini diperkirakan akan beroperasi awal tahun depan.
78
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Sumber:: www.kadin-indonesia.or.id
79
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
80
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
81
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
82
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
83
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
84
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
4.4. Rotan
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri rotan
dunia. Potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia dalam pengembangan industri
rotan dunia disebabkan besarnya pasokan bahan baku rotan yang dimiliki oleh
Indonesia. Besarnya pasokan bahan baku rotan yang dimiliki oleh Indonesia
tersebut membuat Indonesia menguasi market share perdagangan rotan dunia.
Besarnya kontribusi Indonesia terhadap supply bahan baku rotan di dunia tidak
terlepas dari faktor kondisi geografis dari Indonesia, di mana Indonesia terletak
pada daerah tropis sehingga memiliki kawasan hutan tropik yang sangat luas
dan kaya akan hasil nabati. Luas dan kayanya hutan tropis Indonesia, membuat
Indonesia dapat menghasilkan produksi hasil-hasil hutan dengan jumlah yang
besar, tidak hanya kayu saja tetapi juga rotan. Kondisi tersebut membuat tata
niaga rotan dunia sangat ditentukan oleh pasokan rotan dari Indonesia. Bahkan,
beberapa negara penghasil barang olahan rotan, seperti China, sangat
mengandalkan pasokan rotan dari Indonesia, di mana China mengimpor 75%
bahan baku rotan dari Indonesia yang pada akhirnya diolah menjadi produk
mebel untuk diekspor ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dengan nilai
yang jauh lebih tinggi. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa keberlangsungan
industri rotan di China bergantung pada suplai bahan baku rotan yang dipasok
dari Indonesia. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Indonesia
merupakan negara yang sangat strategis dalam perdagangan industri rotan
dunia.
85
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
86
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
87
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
88
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Dalam hal negara tujuan ekspor dari rotan Indonesia, China adalah
negara tujuan utama dari ekspor rotan Indonesia. Dari Gambar 4.28, dapat
dilihat bahwa China menguasai ekspor bahan baku rotan dari Indonesia di mana
27.000 ton diekspor ke China. Jumlah tersebut jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Singapura maupun
Malaysia yang jumlahnya kurang dari 5.000 ton. Sehingga dapat disimpulkan
China merupakan negara tujuan utama dari ekspor bahan baku rotan yang
berasal dari Indonesia.
89
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Gambar 4.28. Tujuan Ekspor Bahan Baku Rotan dari Indonesia, 2008
Hal yang menjadi ironis adalah China menjadi negara terbesar dalam
industri rotan dunia walaupun tidak memiliki bahan baku rotan dan hanya
mengandalkan bahan baku rotan yang berasal dari Indonesia. 27.000 ton yang
diekspor ke China dari Indonesia dijadikan sebagai bahan baku untuk
memproduksi produk-produk olahan dari industri rotan yang memiliki nilai
tambah yang lebih tinggi. Lebih dari itu, volume ekspor produk olahan industri
rotan China jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang merupakan negara
pemasok sumber bahan baku industri rotan. Dari Gambar 4.29 dapat dilihat
bahwa China mengekspor 2.259 ton produk olahan dari industri rotan dalam
bentuk furniture. Di saat yang bersamaan, Indonesia hanya mampu mengekspor
536 ton produk hasil olahan industri rotan dalam negeri Indonesia.
Gambar 4.29. Negara Pengekspor Industri Rotan Olahan Tahun 2008
90
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
91
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
92
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
sektor tersebut sebagai input dalam proses produksinya sebesar 0,176 unit. Dari
Tabel Input-Output juga dapat terlihat bahwa sektor yang mempunyai
keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor Industri bambu, kayu,
dan rotan.
Gambar 4.31. Forward-backward Linkage Rotan
93
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
94
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
2006 1.374.462 -
2007 1.728.475 25,76
2008 2.145.060 24,10
2009 2.963.556 38,16
2010 3.906.420 31,82
2014* 10.000.000 156
Sumber: Dirjen Perikanan Budidaya dan KKP, 2011
Keterangan *)Target
Dari sisi nilai ekspor, pada 2010 Indonesia menempati posisi ke 2 dengan
pangsa 20,74 persen, sementara urutan lima besar negara eksportir lainnya
adalah China menempati posisi 1 dengan share ekspor sebesar 21,64 persen,
dan seterusnya adalah Korea yang menempati posisi 3 dengan share 14,86
persen, Chile diposisi 4 dengan share 10,86 persen, dan Philipina posisi 5 dengan
share 5,83 persen (Gambar 4.32).
95
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
96
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
97
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
dengan pangsa sebesar 31,68 persen pada 2005 dan terus meningkat menjadi
35,75 persen pada 2010. Sementara, Chile dan China bertengger diurutan
berikutnya dengan rata-rata pangsa produksi masing-masing sebesar 17,91
persen dan 12,49 persen. Kedua, Indonesia menempati peringat ketiga sebagai
pengekspor rumput laut dunia dari sisi nilai (ribu US$), dengan rata-rata pangsa
sebesar 15,85 persen. Sementara China berada diperingkat teratas dengan rata-
rata pangsa sebesar 23,38 persen, disusul Korea diurutan kedua dengan rata-
rata pangsa sebesar 16,23 persen.
98
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
99
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Tabel 4.21. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Nilai
Belum lagi bila dianalisis lebih jauh mengenai pangsa pasar rumput laut
Indonesia di negara tujuan ekspor, seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.22.
Pada tabel tersebut sebetulnya dapat dilihat bagaimana posisi ekspor rumput
laut Indonesia di negara tujuan ekspornya, sekaligus peluang atau potensi yang
bisa diraih Indonesia dalam meningkatkan ekspor komoditas rumput laut.
Rumput laut Indonesia cukup mendominasi di beberapa negara tujuan ekspor,
seperti Filipina, Hongkong, Denmark, China dan Spanyol. Di samping itu,
Indonesia juga masih berpeluang besar untuk melakukan penetrasi ekspor
rumput laut di negara-negara lain yang sangat potensial dijadikan sasaran
ekspor, seperti Jepang, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Tabel 4.22. Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
Negara Tujuan 2003 2004 2005 2006 rata-rata
China 18.51 22.88 38.68 45.49 31.39
Hongkong 30.18 30.43 44.47 85.23 47.58
Philippines 78.35 100 88.16 96.44 90.74
Japan 0.55 0.21 0.45 0.73 0.49
Spain 35.35 42.18 51.49 59.04 47.02
Denmark 26.43 40.52 30 30.77 31.93
USA 5.26 4.28 4.12 19.13 8.20
South Korea 9.62 7.16 31.36 24.47 18.15
Inggris 2.96 3.57 7.06 3.66 4.31
France 11.08 9.56 9.05 4.13 8.46
Sumber: FAO dan DKP, 2008
100
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
101
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Lebih lanjut, berdasarkan data pada Tabel 4.24 diketahui bahwa harga
jual rumput laut Indonesia di pasar Internasional masih kalah dibandingkan
harga pada komoditas yang sama dari negara eksportir lainnya. Korea Selatan,
misalnya, pada 2006 mampu mengekspor rumput laut sebanyak 19.909 ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 88,46 juta. Sedangkan pada tahun yang sama,
Indonesia dengan volume ekspor sebanyak 95.588 ton hanya mampu
menghasilkan nilai ekspor sebesar US$ 49,58 juta. Harga jual komoditas rumput
laut Korea Selatan lebih besar 8,5 kali dari komoditas rumput laut Indonesia.
Harga jual rumput laut Indonesia di pasar Internasional sebesar US$ 520 per ton,
sedangkan harga jual rumput laut Korea Selatan bisa mencapai US$ 4.400 per
ton. Padahal dari segi volume ekspor, Indonesia mampu mengalahkan Korea
Selatan. Namun, dari sisi nilai ekspor ternyata Indonesia harus mengakui
kekalahan telaknya dari Korea Selatan.
Tabel 4.24. Eksportir Rumput Laut Dunia, Tahun 2006
102
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
103
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Begitupun dengan proses alkali panas, jika dijual dalam bentuk rumput
laut kering (RLK) hanya menghasilkan Rp 1.020.000. Sedangkan jika diolah lebih
lanjut menjadi rumput laut kering potong (ATC) akan menghasilkan Rp
1.575.000. Kemudian, jika diolah menjadi karaginan setengah murni (SRC) akan
menghasilkan Rp 2.240.000, dan bila diolah menjadi karaginan murni (RC) maka
akan menghasilkan Rp2.688.000. Tetapi perlu diketahui bahwa contoh analisis
nilai tambah bisnis ini barulah dalam bentuk hitungan kotor dan belum
memasukkan unsur biaya.
Asumsi Harga:
Rumput Laut Segar (RLS) : Rp 800/kg
Rumput Laut Kering (RLK) : Rp 8.500/kg
ATC (Chips) : Rp 45.000/kg
SRC : Rp 80.000/kg
RC : Rp 120.000/kg
104
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
105
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
106
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
107
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
108
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Selanjutnya, jika ditelisik lebih jauh negara mana saja yang menjadi
konsumen terbesar rumput laut, maka jawabannya ada pada Tabel 3.5.11.
China, Jepang, dan Amerika Serikat menjadi 3 negara terbesar yang menyerap
komoditas rumput laut dunia. Sementara itu, 7 negara terbesar yang
mengimpor rumput laut dunia mengambil pangsa rata-rata sebesar 73,92
persen.
Jika melihat besarnya jumlah impor rumput laut yang dilakukan oleh
China, Jepang, dan Amerika Serikat, tampaknya ada kaitan langsung dengan
109
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
tingginya nilai ekspor produk rumput laut yang mereka dapatkan. Misalnya
China, sebetulnya China tidak memproduksi sendiri rumput lautnya dan hanya
mengandalkan impor rumput laut mentah dari negara lain (termasuk Indonesia),
tetapi justru di China pulalah terdapat banyak industri pengolahan rumput laut.
Sehingga tak mengherankan jika ternyata China mampu menjadi salah satu
negara pengekspor rumput laut terbesar yang bukan hanya unggul dalam
kapasitasnya (volume), tetapi juga juara dalam menambah devisanya (nilai).
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebetulnya merupakan
produsen rumput laut jenis Eucheuma sp terbesar di dunia. Seperti diketahui
bahwa jenis ini merupakan penghasil karaginan sebagai bahan baku industri
makanan. Namun, dari jenis ini yang diolah di dalam negeri baru menjadi 20
jenis produk, sisanya diekspor mentah-mentah. Sedangkan untuk jenis Gracilaria
sp sebagai bahan baku agar-agar, hampir seluruhnya diserap di dalam negeri
karena di Indonesia sudah ada pabrik agar-agar terbesar di dunia.
110
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
111
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Bab 5
Permasalahan dan Tantangan Pengembangan
Agroindustri
113
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
114
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
115
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
116
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
yang sudah berumur tua. Ini memang permasalahan klasik, tapi belum
tertuntaskan hingga saat ini. Penggunaan mesin-mesin industri yang sudah tua
itu tentu saja menurunkan produktivitas output yang berimbas pada semakin
buruknya kinerja industri dan lemahnya struktur industri.
Restrukturisasi permesinan sektor industri sangat diperlukan dengan
segera jika Indonesia tidak ingin semakin tertinggal dengan negara lain.
Restrukturisasi dapat dilakukan salah satunya dengan mendatangkan investasi,
baik asing maupun domestik, atau melalui insentif dari pemerintah. Dalam
rangka mendatangkan investasi tentunya harus ada upaya keras dari
pemerintah, misalnya dengan memberikan insentif atau kemudahan-
kemudahan dalam bentuk lainnya yang dapat menimbulkan daya tarik yang
tinggi bagi para investor.
117
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
118
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
119
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
120
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
121
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
122
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
123
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
124
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
berapa biaya yang harus ditanggung per tahun jika selisih harga tidak kunjung
membaik. Selisih harga yang ditentukan di terminal New York tersebut bukan
tanpa sebab atau langsung tunjuk begitu saja.
Ghana mendapatkan harga premium karena mutu biji kakao mereka
lebih baik dan sudah difermentasi. Sedangkan kakao Indonesia masih bermutu
rendah karena sebagian besar petani kakao Indonesia belum sadar fermentasi.
Selain itu, terdapat kebijakan Ghana yang mendukung pertumbuhan kakao
dalam negeri antara lain: (1) Pemerintah Ghana menetapkan 60% dari produksi
kakao harus diolah di dalam negeri mulai 2009; dan (2) menerapkan Bea Keluar
atas ekspor biji kakao dan dananya untuk dikembalikan kepada petani untuk
mendukung kegiatan mereka. Dengan adanya kebijakan tersebut, investor
datang sendiri ke Ghana.
Indonesia harus mampu mengejar ketertinggalan ini. Itulah tantangan
Indonesia ke depan. Dengan adanya program Gerakan Peningkatan Produksi dan
Mutu Kakao Nasional (GERNAS Kakao), pemerintah mencoba menggugah para
petani untuk bersama memajukan negara. Menilik bahwa salah satu sasaran
gerakan adalah peningkatan mutu kakao sesuai SNI, maka sikap optimis harus
digelorakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kakao
terbesar di Dunia. Sekarang tinggal memilih, antara menerima tantangan dan
menjadikannya sebagai batu loncatan menuju perbaikan ke depan atau hanya
sekadar melepas kesempatan begitu saja (memanfaatkan momen dan fasiltas
bantuan yang diberikan tanpa ada tindak lanjut setelah kegiatan selesai).
Industri pengolahan kakao di Indonesia pernah mengalami masa jaya
pada sekitar 2000, saat itu jumlah industri kakao ada sekitar 40 pabrik dengan
total kapasitas produksi sebesar 362.186 ton per tahun (Sumber: Perkebunan
dan Industri Pengolahan Kakao, Infordev, 2000). Industri kakao umumnya
terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa Barat. Dengan wilayah penyebaran
terdiri dari Jawa Barat 45,71persen, Jawa Timur 14,29 persen, Sumatera Utara
8,57 persen, Sumatera Selatan 5,71 persen, Sulawesi Selatan 14,29 persen, dan
lainnya 11,43 persen. Industri ini umumnya mengolah biji kakao hingga menjadi
125
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
kakao olahan setengah jadi, seperti cocoa butter, cocoa liquor, cocoa cake dan
cocoa powder. Sebagian besar dari hasil kakao olahan ini dipasarkan untuk
tujuan ekspor, terutama ke Amerika dan Eropa.
Kejayaan industri kakao ini tidak bertahan lama karena pada 2001
pemerintah memberlakukan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN
atas komoditi primer, di mana pada saat industri membeli bahan baku biji kakao
dikenakan PPN 10 persen. Ditambah lagi dengan tingginya bea masuk kakao
olahan dinegara-negara tujuan ekspor yang tarifnya 6 persen – 30 persen serta
adanya diskriminasi tarif bea masuk kakao olahan di China, yang mana kakao
olahan asal Indonesia dikenakan bea masuk 15 persen sedangkan kakao olahan
dari Malaysia bea masuknya 0 persen. Kebijakan ini membuat industri
pengolahan kakao Indonesia sulit bersaing dengan industri di luar, seperti
Malaysia dan Singapura, karena industri kakao Indonesia harus membeli bahan
baku yang lebih mahal 10 persen dibanding industri diluar yang bebas dari pajak.
Kondisi ini membuat industri yang ada satu per satu bertumbangan dan
sebaliknya industri di Malaysia dan Singapura justru semakin berkembang,
padahal mereka tidak memiliki bahan baku. Untungnya, setelah itu pemerintah
berkomitmen mengembangkan industri kakao Indonesia denan keluarnya Surat
Mensesneg kepada Menteri Keuangan tertanggal 17 Maret 2005 No.
B.168/M.Sesneg/03/2005. Poin surat tersebut adalah:
1. Menaikkan besarnya tarif bea masuk produk kakao sama dengan yang
ditetapkan negara lain.
2. Penghapusan PPN Biji Kakao.
3. Melakukan lobby ke China untuk menurunkan tarif bea masuk kakao olahan
agar sama dengan Malaysia dan Singapura, yaitu 0 persen.
4. Biji kakao yang diproduksi harus difermentasi.
5. Pengenaan pungutan ekspor (PE) atas ekspor biji kakao.
Setelah melalui proses panjang akhirnya kebijakan PPN atas biji kakao
dihapuskan pada 2007, namun jumlah industri kakao saat itu sudah semakin
berkurang dan hanya tersisa 15 pabrik. Selain penghapusan PPN, ada beberapa
126
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
127
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
128
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Perkebunan Besar (PB), dan
pola Swadaya. Untuk pengembangan agribisnis kakao ke depan, kegiatannya
akan lebih banyak mengandalkan inisiatif petani melalui pola swadaya.
Pemerintah diharapkan lebih berperan dalam upaya pengendalian hama PBK
dan percepatan perluasan adopsi teknologi budidaya maju.
Sebagai upaya pelaksanaan program pengembangan agribisnis kakao
tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar yang mencakup kegiatan investasi
peningkatan produktivitas kebun, biaya pengendalian hama PBK, investasi
pengembangan sistem usahatani terpadu, pengembangan industri hilir kakao,
dan pembangunan infrastruktur pendukungnya, termasuk kegiatan penelitian
dan pengembangan hasil penelitian. Berikut ini akan diuraikan secara singkat
berbagai kebutuhan biaya tersebut. Kebutuhan biaya untuk pengembangan
agribisnis kakao periode 2005-2010 khusus untuk peningkatan produksi dengan
target rehabilitasi 2 persen/tahun, peremajaan 0,5 persen/tahun, dan perluasan
areal 2,5 persen/tahun diperkirakan mencapai Rp 3,87 triliun. Selanjutnya,
periode 2010-2025 dengan target rehabilitasi 3 persen/tahun, peremajaan 1
persen/tahun, dan perluasan areal 1,5 persen/tahun diperlukan biaya mencapai
Rp 12,85 triliun.
129
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
130
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
131
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
tahun. Saat ini, lahan untuk budidaya rumput laut yang baru termanfaatkan
hanya sebesar 26.700 ha. Padahal ada sekitar dua juta ha lahan yang potensial
untuk pengembangan rumput laut dengan potensi produksi rumput laut kering
rata-rata 16 ton per ha.
Rumput laut (sea weed) juga sangat diandalkan sebagai salah satu
komoditas perikanan budidaya yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
rakyat. Budidaya rumput laut tidak memerlukan teknologi yang tinggi, investasi
cenderung rendah, mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, serta
menghasilkan keuntungan yang relatif besar. Pengembangan usaha itu tentu
diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran (pro job), meningkatkan
pendapatan masyarakat (pro growth), dan pada gilirannya dapat menekan
angka kemiskinan (pro poor).
Di samping menilik potensi tersebut, ternyata masih banyak kendala dan
tantangan dalam pengembangan komoditas rumput laut, baik di hulu maupun
sampai di hilir. Secara umum, kendala yang dihadapi oleh usaha budidaya di
masyarakat adalah sumber daya manusia pembudidaya yang masih sangat
terbatas, penggunaan teknologi perbenihan dan budidaya yang belum standar,
keterbatasan permodalan serta akses pemasaran yang belum menjamin
terserapnya hasil produksi.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh sektor perikanan secara umum
adalah masih rendahnya investasi di bidang kelautan dan perikanan. Secara
keseluruhan investasi di sektor perikanan baik PMDN maupun PMA masih
sangat kecil jika dibanding nilai investasi secara nasional. Seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 5.2, realisasi investasi baik PMDN maupun PMA di
sektor perikanan pada 2010 masing-masing hanya sebesar Rp 24,7 miliar dan
US$ 5,1 juta atau sebesar 0,1 persen dari total Investasi PMDN dan PMA
nasional. Oleh karena itu, upaya peningkatan investasi di sektor perikanan
menjadi sangat penting ditindaklanjuti. Itu semua akan bermuara pada
peningkatan kapasitas dan kualitas dari komoditas budidaya rumput laut.
132
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Tabel 5.2. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sektor Perikanan
TAHUN
NO TIPE 2009 2010
P I P I
Realisai Investasi PMDN Sektor
0 0,0 2 24,7
1. Perikanan
Realisasi Investasi PMA Sektor
3 2,4 3 5,1
2. Perikanan
PMDN Nasional 239 20.363,4 248 37.799,8
PMA Nasional 1.138 14.871,4 1.221 10.815,0
Rasio terhadap PMDN Nasional 0,0 0,0 0,8 0,1
Rasio terhadap PMA Total 0,3 0,0 0,2 0,0
133
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
134
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
d. Subsistem Pembiayaan
o Masih terbatasnya fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan, salah
satu penyebabnya karena ketiadaan agunan
o Keterbatasan permodalan mengakibatkan terbatasnya luasan lahan yang
dapat digunakan untuk budidaya. Contohnya pada masyarakat
pembudidaya di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat,
di mana umumnya satu KK hanya menanam dengan luas area 3 are atau 5
rakit, di mana 1 are = 100 m2 atau 1 rakit = 7m x 7m. Padahal 1 KK idealnya
menanam 5 are atau 10 rakit, agar dapat menghasilkan pendapatan yang
layak
e. Subsistem Kelembagaan
o Lemahnya fungsi kelembagaan pada stakeholders yang mempunyai
kepentingan pada pengembangan usaha budidaya rumput laut, mulai dari
tingkat pembudidaya, pengolahan hasil produksi, pedagang, hingga
eksportir
o Sistem pembinaan dan penyuluhan secara berjenjang dari tingkat pusat,
provinsi hingga ke kabupaten belum dirancang dan dilakukan secara
terstruktur
o Belum maksimalnya sosialisasi hasil penelitian tentang pengembangan
jenis rumput laut menjadi produk yang lebih bernilai tambah
Adapun tantangan dalam pengembangan budidaya rumput laut antara
lain: Pertama, peluang pasar rumput laut demikian besar sehingga rumput laut
lebih dominan sebagai komoditas dagang dari pada sebagai komoditas industri.
Hal ini membawa dampak pada fluktuasi harga yang sangan tajam. Mengingat
komoditas dagang mengedepankan besaran margin yang diperoleh pada setiap
mata rantai pemasaran, sedangkan komoditas industri lebih memfokuskan pada
kestabilan pasokan yang dapat menjamin keberlanjutan proses produksi.
Kedua, kualitas rumput laut yang terbaik ditentukan oleh jangka waktu
budidaya, yaitu sekitar 45 hari setelah tanam. Kenyataannya, pembudidaya
sebagian besar memanen rumput laut sebelum waktunya (< 45 hari), akibatnya
135
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
136
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
B ab 6
137
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
138
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
139
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
perizinan lahan dan izin usaha yang sederhana, handal, serta pro-
bisnis. Kebijakan ini harus lebih ramah lagi bagi investasi yang
menerapkan pola integrasi vertikal antara kebun kelapa sawit
dengan pengolahan dan integrasi horizontal antara kebun kelapa
sawit dengan usaha lain, misal ternak.
9. Penyediaan tenaga kerja terampil dan terdidik berbasis SDM lokal
dengan kerjasama lembaga pendidikan setempat perlu ditingkatkan.
10. Pembebasan PPn (Pajak Pertambahan Nilai) dalam transaksi
pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani sawit.
11. Kebijakan stabilisasi harga minyak goreng harus terus dilakukan,
selain untuk menjaga daya beli konsumen karena termasuk
kebutuhan pokok, juga sebagai insentif bagi pelaku usaha hilirisasi
sawit.
140
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
141
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
1 Dominasi ekspor minyak sawit Nilai tambah produk rendah Melanjutkan kebijakan Pajak Ekspor untuk Penurunan ekspor minyak
mentah dan kurang berdaya saing mengurangi ekspor minyak sawit mentah yang sawit mentah yang diikuti
diikuti dengan strategi insentif bagi ekspor produk dengan peningkatan ekspor
hilir CPO produk turunan CPO
2 Kurangnya insentif untuk Ekspor CPO mentah cenderung Kebijakan insentif investasi di sektor hilir dengan Meningkatnya produk hilir
melakukan hilirisasi CPO meningkat penambahan cakupan bidang usaha industri hilir CPO
kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi
yang diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 62
Tahun 2008 tentang fasilitas Pajak Penghasilan
untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.
3 Insentif fiskal untuk industri Hilirisasi dalam jumlah besar Pemberian tax holiday bagi investasi besar Meningkatnya produk
besar dinilai masih kurang sulit dicapai industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui turunan CPO dalam jumlah
Peraturan Menteri Keuangan No. 130 Tahun 2011 besar dan diversifikasi produk
dengan mengelompokkannya pada industri hilir yang lebih banyak
sumber daya alam terbarukan.
4 Kurangnya koordinasi Pengembangan industri hilir Senantiasa meningkatkan koordinasi, sinkronisasi Memperlancar proses
antarinstansi berjalan lambat dan fasilitasi antarinstansi/pihak terkait pusat– industrialisasi CPO di wilayah
142
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
5 Kurangnya promosi investasi Investasi di IHKS belum Konsistensi melakukan promosi investasi IHKS baik Peningkatan investasi di
IHKS maksimal di dalam maupun luar negeri untuk mendorong industri turunan CPO
masuknya investasi di Klaster IHKS.
6 Kurang lengkapnya sarana dan Akses terhadap informasi dan Pembangunan kawasan industri hendaknya Memudahkan akses informasi
prasarana hilirisasi di kawasan layanan lain terhambat dilengkapi dengan sarana pusat informasi, pusat dan meningkatkan nilai jual
industri permesinan, riset dan pengembangan, serta program hilirisasi di mata
fasilitasi iklim usaha, dan pusat keselamatan kerja investor
untuk meningkatkan pelayanan bagi operasional
industri.
7 Kurangnya infrastruktur logistik Inefisiensi biaya distribusi Peningkatan fasilitas infrastruktur logistik untuk Efisiensi biaya distribusi
pendukung industrialisasi mendukung kegiatan industri skala besar dalam
kawasan industri menjadi prioritas utama
program pembangunan pemerintah pusat –
daerah.
8 Masalah lahan bagi Ketidakpastian hukum Penuntasan masalah tata ruang nasional dan Perluasan lahan perkebunan
pengembangan kebun baru yang terhadap status legalitas lahan. RTRWP secepatnya dengan meningkatkan sawit yang dapat menopang
diakibatkan ketidaktuntasan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan ketersediaan bahan baku.
Pemegang konsesi dan investor
masalah tata ruang nasional dan Badan Pertanahan Nasional.
bersikap “wait and see” yang
Rencana Tata Ruang Wilayah
berdampak kepada tingkat
143
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
9 Pengembangan perkebunan Perkebunan dan industri Membangun satu pelabuhan ekspor CPO di Pemerataan kesejahteraan di
kelapa sawit yang mengarah ke kelapa sawit di Indonesia Timur Kalimantan untuk memudahkan penjualan CPO ke wilayah Indonesia timur.
Indonesia Timur kurang didukung kurang berkembang. luar negeri.
infrastruktur yang memadai,
Segera merealisasikan pembangunan klaster
terutama pelabuhan.
industri untuk pengembangan industri hilir sawit.
10 Penerapan aturan perpajakan Menimbulkan pajak berganda Tidak memungut PPn TBS, sehingga dapat Mengurangi biaya transaksi
mengenai PPn atas produk (double taxation) kepada mengkreditkan pajak masukan atas input dan biaya produksi.
primer TBS (Tandan Buah Segar) perusahaan yang terintegrasi produksi.
memberatkan pelaku usaha. (produksi-pengolahan).
11 Kurangnya hilirisasi kelapa sawit Harga minyak goreng dapat Terus melakukan stabilisasi harga minyak goreng. Menjaga daya beli konsumen
ke minyak goreng berfluktuasi karena termasuk kebutuhan
pokok, juga sebagai insentif
bagi pelaku usaha hilirisasi
sawit.
144
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
1 Kurangnya klaster industri yang Produk hilir belum Konsistensi pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 Peningkatan produksi turunan CPO
modern berkembang sesuai harapan tentang Percepatan Program Prioritas Pembangunan Nasional dan juga ketiga lokasi ini akan
tahun 2010 mengamanatkan pembangunan klaster Industri menjadi satelit industri hilir kelapa
Hilir Kelapa Sawit (IHKS) di 3 (tiga) daerah yaitu: Kawasan sawit berskala modern internasional
Industri Sei Mangkei Provinsi Sumatera Utara; Kawasan sekaligus sebagai pusat bangkitan
Industri Dumai dan Kuala Enok Provinsi Riau; serta Kawasan perekonomian berbasis sektor
Industri Maloy Provinsi Kalimantan Timur. produktif industri nasional.
2 Kurangnya diversifikasi produk Nilai tambah produk hilir Mendorong pengolahan CPO hingga turunan produk ketiga Peningkatan diversifikasi produk hilir
turunan CPO tidak optimal (antara lain fatty acid, fatty alcohol, biodiesel) di dalam negeri CPO
3 Kurangnya jaringan bisnis bagi Tujuan ekspor kurang Pengembangan klaster CPO dan pembentukan jaringan bisnis Meningkatkan optimalisasi kapasitas,
perluasan ekspor produk olahan ekspansif diversifikasi produk turunan CPO
melalui investasi baru, serta guna
perluasan pangsa ekspor.
4 Produktivitas kebun kelapa sawit Produktivitas kelapa sawit Peremajaan kebun sawit milik rakyat melalui stimulasi Peningkatan produktivitas kebun
milik rakyat masih rendah rendah peremajaan dengan dukungan subsidi pemupukan maupun kelapa sawit
pembiayaan usaha tani sawit yang tepat.
5 Kecenderungan pelaku hilirisasi Pemerataan ekonomi lambat Pengembangan kelapa sawit juga diupayakan bagi industri Peningkatan kesejahteraan
hanya produsen besar kecil, agar petani dapat menikmati nilai tambahnya. masyarakat kecil-menengah
145
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
146
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
147
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
1 Rendahnya produktivitas Produksi karet menurun Percepatan peremajaan karet tua dan tidak produktif terutama Peningkatan produktivitas
kebun karet pada perkebunan karet rakyat.
2 Produktivitas kebun rakyat Pendapatan petani karet Pengembangan pola plasma antara perkebunan rakyat dengan Pendapatan petani karet
masih rendah rendah perkebunan besar dalam peningkatan hasil dan harga. meningkat
3 Bibit karet bermutu rendah Produktivitas hasil kebun Di tingkat on farm perlu penggunaan klon unggul penghasil Produksi karet meningkat
karet rendah lateks dan kayu yang mempunyai produktivitas tinggi.
4 Kualitas produk karet dari Harga yang diterima petani Peningkatan kualitas bahan olah karet yang dihasilkan petani Harga yang diterima petani
kebun rakyat relatif lebih rendah sesuai dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan melalui meningkat
rendah pelatihan dan pendampingan.
5 Kurangnya ketersediaan Terjadi idle capacity Penyediaan energi yang mencukupi untuk mendukung Produk hilir karet
energi untuk mendukung optimalisasi industri karet. meningkat
hilirisasi
6 Banyaknya perantara Harga karet di tingkat petani Peningkatan efisiensi pemasaran bahan olah karet dan Harga di tingkat petani naik
dalam bisnis karet rendah karena pasar bersifat penguatan kelembagaan petani melalui koperasi. dan rantai produksi lebih
oligopoli efisien
148
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
1 Kesejahteraan petani karet relatif Pendapatan rendah Diversifikasi usahatani karet melalui Peningkatan
masih rendah integrasi dengan tanaman pangan dan kesejahteraan petani
ternak untuk peningkatan pendapatan karet
keluarga petani.
2 Kurangnya industri perbenihan Bibit karet berkualitas Pengembangan industri perbenihan Peningkatan
bermutu rendah bermutu baik di sentra-sentra produksi produktivitas kebun
karet untuk meningkatkan produksi. karet
149
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
150
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
151
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
152
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
153
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
154
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
155
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
156
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
dana untuk investasi dan modal pembiayaan bagi industri salah satunya dengan membentuk berbagai
kerja yang cukup besar yang kakao. Hal ini akan Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra kemungkinan
tidak mungkin ditanggung menyebabkan industri kakao produksi. sumber
sendiri oleh para investor. sulit berkembang 1. Perlu dukungan yang lebih kuat dari pembiayaan yang
Sementara pihak perbankan (menghambat pihak perbankan agar industri dalam sesuai untuk
cenderung lebih mudah untuk industrialisasi) negeri dapat lebih berkembang. pengembangan
memberikan kredit yang 2. Pemerintah perlu mengatur agar tingkat kakao, baik yang
bersifat konsumtif sedangkan suku bunga di Indonesia tidak berasal dari
kredit untuk keperluan investasi memberatkan sektor riil sehingga bisa lembaga
dan modal kerja sulit sekali. bersaing dengan industri sejenis diluar. perbankan maupun
Ditambah lagi dengan tingginya non bank (antara
suku bunga di Indonesia yaitu lain
14 persen sedangkan di memanfaatkan
Malaysia hanya 4 persen. penyertaan dana
masyarakat
melalui Kontrak
Investasi Kolektif,
Resi Gudang
dan lain-lain).
4 Kemampuan Sumber Daya budidaya, pascapanen, dan Peningkatan kemampuan Sumber Daya Melimpahnya SDM
Manusia di bidang budidaya, pengolahan industri kakao Manusia (SDM) dan R & D di bidang berkualitas
pascapanen, dan pengolahan masih tidak berkembang budidaya, pascapanen, dan pengolahan. diberbagai bidang
157
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
masih terbatas dan tumbuh pesat Antara lain: Program Gernas Kakao untuk sebagai faktor
peningkatan mutu dan produksi kakao; pendukung
pengembangan
industri kakao
5 Pasar kakao di tingkat Sempit dan minimnya pasar Promosi pemasaran dalam dan luar Pasar tujuan ekspor
internasional belum luas dan tujuan ekspor kakao negeri, antara lain melalui pameran dalam menjadi semakin
masih mengandalkan traditional Indonesia dan luar negeri. banyak dan
market (negara pelanggan beragam. Hal ini
utama tujuan ekspor Indonesia). akan mempercepat
pertumbuhan
ekspor kakao
Indonesia.
6 Rendahnya tingkat investasi Pertumbuhan indsutri kakao Promosi investasi dan meningkatan Membanjirnya
khususnya investasi asing. tidak optimal karena kerjasama di forum internasional investasi asing serta
Kurangnya jaringan kekurangan investor. diantaranya Sidang ASEAN Cocoa Club, meningkatnya
internasional di bidang kakao Sidang International Cocoa Organization. pertumbuhan
industri kakao
nasional
158
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
159
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
4. Iklim usaha yang kurang Banyak investor dan Menciptakan iklim usaha yang Semakin berkembang dan
kondusif dari hulu hingga hilir pengusaha yang ragu-ragu kondusif, termasuk harmonisasi tarif, tumbuhnya industri-industri
jika dilihat dari berbagai untuk membangun indutri insentif investasi dan mengurangi kakao nasional. Sehingga
aspek. kakao pungutan-pungutan yang dapat meningkatkan
memberatkan, dan kebijakan yang kapasitas produksi nasional
telah dilakukan antara lain: dan meningkatkan ekspor.
a. Penghapusan PPN 10 persen atas
komoditi primer termasuk biji
kakao
b. Melakukan negosiasi penurunan
tarif bea masuk kakao olahan di
160
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
161
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
di dalam dan luar negeri kualitas. dalam negeri dalam rangka jaminan
kepastian harga dan pasokan biji
kakao untuk industri olahan kakao.
6 Kurang berkembangnya Jumlah lapangan usaha yang Penciptaan lapangan usaha industri Industri kakao dapat semakin
(minimnya) lapangan usaha di berkualitas tidak optimal, pengolahan kakao melalui: Sosialisasi meluas ke berbagai wilayah
bidang kakao yang berkualitas sehingga hasil produksi kakao teknologi terpadu proses pengolahan di Indonesia dengan hasil
dan memenuhi standar serta kurang memenuhi standar dan kakao, peningkatan pengetahuan dan yang berkualitas
tidak mengindahkan kurang berdaya saing. kemampuan SDM, pengenalan dan
penerapan ISO 22000, ISO penerapan ISO 22000, ISO 9001
9001 Global Standard for Food Global Standard for Food Safety, GMP
Safety, GMP dan HACCP dalam dan HACCP dalam rangka peningkatan
rangka peningkatan mutu dan mutu dan keamanan produk.
keamanan produk.
7 Rendahnya tingkat konsumsi Minimnya permintaan atau Pengembangan pasar domestik : Terciptanya pasar domestik
kakao di Indonesia hanya 0.6 minat mengkonsumsi cokelat penyertaan para pengusaha pada yang prospektif karena minat
kg/kapita/tahun sementara di kegiatan promosi/pameran dalam mengkonsumsi cokelat
Eropa lebih dari 10 kg. negeri dan internasional, semakin tinggi.
pengembangan diversifikasi produk
bernilai tambah tinggi termasuk kakao
non pangan.
162
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
8 Ketergantungan Indonesia Sempitnya akses pasar tujuan Pemerintah perlu melakukan tindakan Pasar tujuan ekspor kakao
terhadap suatu pasar tujuan ekspor kakao. antisipatif terhadap ketidakpastian menjadi semakin luas
ekspor (kurangnya ekonomi global (ancaman krisis
diversifikasi pasar). Sehingga global) dengan mencari pasar baru
jika sedang terjadi krisis di khususnya di wilayah Asia Pasifik,
negara tujuan tersebut maka pengembangan industri hilir cokelat
akan sangat berpengaruh yang mampu menyerap produksi biji
terhadap ekspor kakao kakao dalam jumlah yang signifikan,
Indonesia serta peningkatan konsumsi cokelat di
dalam negeri.
163
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
164
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
165
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
166
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
167
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
168
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
saja, tetapi juga di daerah-daerah lain yang memiliki potensi sumber daya
rotan yang tinggi.
3. Membentuk Sekolah Disain di Daerah Sumber.
Kebijakan lain yang perlu diambil adalah membentuk sekolah desain di
daerah sumber untuk meningkatkan keahlian dari para tenaga kerja pada
industri rotan di daerah sumber. Tidak dapat dipungkiri bahwa desain dari
produk rotan merupakan kunci suksesnya suatu industri rotan, di samping
kualitas dari produk rotan itu sendiri. Dengan adanya tenaga-tenaga ahli
desain di daerah-daerah sumber akan membuat desain produk dari industri
rotan akan lebih baik dan disukai pasar. Selain itu, untuk meningkatkan
kemampuan desain di daerah sumber perlu dibentuk pusat penelitian dan
pengembangan industri rotan sehingga mampu menangkap kebutuhan
pasar dan membangun Pusat Inovasi Mebel Rotan (PIMR). Hal ini pada
akhirnya akan meningkat permintaan dan menghidupkan industri rotan.
4. Memotong Birokrasi Pembangunan Industri Rotan.
Salah satu permasalahan dari sulit berkembanganya industri rotan adalah
karena rumitnya perizinan pembangunan industri. Permasalahan ini telah
menjadi masalah klasik yang hingga saat ini sulit dibenahi. Oleh sebab itu,
dalam upaya mempercepat pembangunan industri rotan, pemerintah harus
mempermudah dan menyederhanakan segala perizinan industri.
169
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
170
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
4 Buruknya teknologi Minimnya kemampuan dan Peningkatan permesinan industri rotan Meningkatnya
pengolahan industri rotan kualitas produksi dari industri Pembuatan bahan bahan tertentu untuk kemampuan produksi dari
rotan meningkatkan kualitas bahan baku rotan industri rotan
dari gangguan hama dan jamur
Meningkatkan kemampuan
memproduksi bahan-bahan penunjang
(supporting industry) yang selama ini
masih diimpor.
5 Tingginya pajak baik dalam Produk Indonesia gagal Penghapusan PPN bahan baku dan bahan Harga produk hasil olahan
bahan baku maupun ketika bersaing dengan produk dari penunjang industri rotan dapat lebih
akan mengeskpor negara lain yang memiliki Diberlakukannya pajak final bagi para kompetitif
nilai jual yang lebih eksportir untuk mempermudah restitusi
kompetitif pajak
6. Tingginya biaya distribusi Meningkatnya biaya produksi Menghapuskan Terminal Handling Harga produk hasil olahan
bahan baku rotan yang seharusnya dapat Charge (THC) industri rotan dapat lebih
ditekan kompetitif
171
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
172
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
173
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
174
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
175
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
176
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
177
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
178
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
179
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
2 Masih lemahnya SDM Ketidakmampuan meningkatkan Meningkatkan intensitas dan kualitas Tercapainya standarisasi SDM
kapasitas dan kualitas produksi penyuluhan serta pendampingan yang pembudidaya
Tidak optimalnya pendapatan yang dilakukan oleh KKP dan lembaga Peningkatan kuantitas dan
bisa diperoleh pembudidaya lainnya kualitas rumput laut
Melakukan standarisasi SDM serta Seragamnya masa tanam dan
transformasi teknologi budidaya, dari masa panen rumput laut
pra panen hingga pascapanen dalam satu kawasan
Meningkatkan kompetensi SDM di Peningkatan pendapatan
bidang teknologi pengolahan rumput pembudidaya dari hasil
laut serta manajerial usaha industri penjualan rumput laut yang
pengolahan rumput laut lebih berkualitas
Pengaturan pola tanam, dilakukan pada Memperkuat ikatan
tiap kawasan berdasarkan pendekatan solidaritas dan kepedulian
iklim dan orientasi pasar mahasiswa terhadap
Pemberdayaan mahasiswa pertanian masyarakat pesisir
dalam mentransformasi Menumbuhkan motivasi
pengetahuannya kepada pembudidaya berwirausaha bagi mahasiswa
khususnya di bidang
perikanan budidaya
3 Masih rendahnya Rendahnya nilai tambah dan nilai Peningkatan kualitas, dilakukan melalui Tercapainya target 40 unit
kualitas hasil budidaya jual hasil produksi penanganan mutu rumput laut mulai pilot project ATC/Chips
dan juga rendahnya sejak panen sampai ke lokasi pabrik Tercapainya target 7 unit
180
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
inovasi pengolahan Membuat standarisasi dan diversifikasi pilot project industri SRC
rumput laut bahan olahan skala kecil
Standarisasi mesin pengolahan rumput Tercapainya 7 unit pilot
laut melalui penerapan SNI industri project SRC/RC combo
pengolahan rumput laut Tercapainya pilot project
Perluasan segmen pasar dan industri agar
pengembangan pola distribusi Meningkatnya nilai tambah
Pengembangan pemasaran, dilakukan dan nilai jual rumput laut
melalui peningkatan fasilitas, sarana- Berkurangnya ekspor rumput
prasarana pemasaran serta promosi laut dalam bentuk rumput
produk laut kering
Kementerian Perindustrian fokus pada Tercapainya target penjualan
pengembangan industri pengolahan 3.000 ton ATC/Chips
serta mendorong diversifikasi produk Mendorong pembudidaya
olahan untuk mengolah rumput laut
Kementerian Perdagangan fokus dalam mentah menjadi produk yang
memfasilitasi pemasaran produk lebih bernilai tambah, seperti
olahan rumput laut serta membuat semi karaginan dan karaginan
penelitian pasar yang efektif
(marketing intelligence)
4 Lemahnya fungsi Lemahnya daya tawar pembudidaya Penguatan peran dan fungsi Peningkatan daya tawar dan
kelembagaan para Lemahnya sistem pembinaan dan kelembagaan melalui pembentukan kesejahteraan masyarakat
stakeholders penyuluhan dari tingkat pusat, asosiasi atau kelompok pada semua pembudidaya
provinsi hingga kabupaten tingkatan stakeholders, dari pusat Harmonisnya hubungan antar
181
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
182
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
183
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
3 Terbatasnya fasilitas Terbatasnya modal usaha Peningkatan kerjasama dengan Tersedianya akses modal
kredit, investasi dan pembudidaya perusahaan, investor dan perbankan; untuk meningkatkan
insentif di sektor Terbatasnya luasan area tanam dilakukan dalam bentuk fasilitasi kredit kapasitas dan kualitas
pertanian budidaya rumput laut murah (suku bunga rendah) baik bagi produksi
Kesulitan meningkatkan kapasitas pembudidaya maupun bagi usaha Pembudidaya tidak lagi
dan kualitas produksi pengolahan rumput laut (UMKM) bergantung pada pengumpul
Membuat skim pembiayaan yang saling kecil yang mempratekkan
menguntungkan (skema syariah), sistem ijon
dengan melibatkan pemerintah daerah
sebagai penjamin
Membuat kebijakan insentif yang
mendukung peningkatan daya saing
industri pengolahan rumput laut
184
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Bab 7
185
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Di luar semua sisi gelap tentang dampak krisis UE dan AS, krisis ekonomi
ini membuat pergeseran kutub ekonomi dunia dari Amerika-Eropa ke Asia.
Sebuah peluang bagi negara-negara di Asia untuk menjadi negara yang
diperhitungkan dikancah perekonomian dunia ke depan. Sejauh ini China
menjadi negara yang secara terang-terangan diharapkan UE berkontribusi
membantu proses penyelamatan zona euro dari memburuknya krisis, seperti
peran yang pernah dimainkannya sewaktu gelembung kredit perumahan di AS
pecah. Tentu saja Asia tidak hanya China dan India, dua negara yang semakin
diperhitungkan dalam perekonomian dunia, terutama di saat krisis. Indonesia
dapat menjadi negara yang diperhitungkan berikutnya jika mampu menghindar
dari ‘ujian ekonomi’ penjalaran krisis UE dan berlanjutnya krisis AS. Seperti pada
2009 lalu, di mana tiga negara besar di Asia ini mampu melewati krisis global
dengan pertumbuhan positif. Apalagi, Indonesia mempunyai sumber daya alam
yang melimpah sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang paling aman.
186
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
lebih dalam. Outlook Industri ini diharapkan dapat menjadi informasi awal dan
gambaran obyektif bagi masyarakat, terutama dunia usaha dan pemerintah
dalam menjalani perekonomian sepanjang 2012. Pertumbuhan agroindustri di
sini terkait dengan industri nonmigas subsektor industri makanan, minuman dan
tembakau; industri barang kayu dan barang dari kayu lainnya, industri pupuk,
kimia dan barang dari karet.
1. Skenario Pesimis
187
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
188
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
2. Skenario Baseline
189
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
3. Skenario Optimis
190
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Proyeksi 2012
Industri (persen)
191
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
Daftar Pustaka
193
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
194
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
195
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
196
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri
197