Anda di halaman 1dari 210

OUTLOOK INDUSTRI 2012:

Strategi Percepatan dan


Perluasan Agroindustri

2011
OUTLOOK INDUSTRI 2012
Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Disusun oleh Tim INDEF


(Institute for development of Econiomics and Finance)
• Didik J. Rachbini
• Bustanul Arifin
• Ahmad Erani Yustika,
• Enny Sri Hartati
• Eko Listiyanto
• Ahmad Heri Firdaus
• Abra Puspa Ghani Talattov
• Imaduddin Abdullah

Desain Cover dan Tata Letak: Sarwo Edy

Desember, 2011

@Copyright ada pada Hak Cipta dilindungi Undang-Udang

ISBN: 979-97810-12

ii
Daftar Isi

Daftar Isi ii
Daftar Tabel vii
Daftar Gambar x
Kata Pengantar xii

Bab 1 Pedahuluan 1

Bab 2 Kinerja Makro Ekonomi dan Industri 5


2.1. Perkembangan Makro Ekonomi 5
2.2. Perkembangan Industri Manufaktur 10
2.3. Perkembangan Agroindustri Indonesia 13
2.3.1. Kinerja Agroindustri 15
2.3.2. Kontribusi Agroindustri 17

Baba 3 Membangun Industri Berdaya Saing 21


3.1. Konsep Industri Berdaya Saing 21
3.2. Perlunya Pengembangan Industri Berdaya Saing 22
3.2.1. Fenomena Deindustrialisasi Dini 22
3.2.2. Industri Berbasis Lokal dan Industri Komponen Impor
Tinggi 24
3.2.3. Urgensi Pencapaian Target Rencana Strategis
2010-2014 28
3.2.4. Peranan Industri dalam Penyerapan Tenaga
Kerja 29
3.3. Potensi Agroindustri 31
3.3.1. Dukungan Sumber Daya Alam 31
3.3.2. Daya Saing Komparatif Agroindustri Indonesia
di Pasar Global (Pendekatan Revealed Comparative
Advantage) 33
3.3.3. Perkembangan Permintaan Produk
Agroindustri Indonesia 36

iii
3.3.4. Peningkatan Keunggulan Sub Sektor
Agroindustri 37

Bab 4 Komoditas Unggulan Agroindustri 43


4.1. Kelapa Sawit 44
4.1.1. Potensi Produksi 45
4.1.2. Market Share 46
4.1.3. Nilai Tambah Bisnis 48
4.1.4. Nilai Tambah Teknis 49
4.1.5. Forward-backward Linkage 52
4.1.6. Potensi Permintaan 52
4.1.7. Lokasi Penyebaran 55
4.2. Karet 57
4.2.1. Potensi Produksi 57
4.2.2. Market Share 59
4.2.3. Nilai Tambah Bisnis 61
4.2.4. Nilai Tambah Teknis 61
4.2.5. Forward-backward Linkage 63
4.2.6. Potensi Permintaan 63
4.2.7. Lokasi Penyebaran 65
4.3. Kakao 66
4.3.1. Potensi Produksi 67
4.3.2. Market Share 71
4.3.3. Nilai Tambah Bisnis 71
4.3.4. Nilai Tambah Teknis 75
4.3.5. Backward-Forward Linkage 80
4.3.6. Potensi Permintaan 81
4.3.7. Lokasi Penyebaran 84
4.4. Rotan 85
4.4.1. Potensi produksi 85
4.4.2. Market Share 87
4.4.3. Nilai Tambah Bisnis 91
4.4.4. Nilai Tambah Teknis 91
4.4.5. Forward-backward Linkage 92

iv
4.4.6. Lokasi Penyebaran 93
4.5. Rumput Laut 94
4.5.1. Potensi Produksi 95
4.5.2. Market Share 96
4.5.3. Nilai Tambah Bisnis 102
4.5.4. Nilai Tambah Teknis 105
4.5.5. Forward-backward Linkage 107
4.5.6. Potensi Permintaan 108
4.5.7. Lokasi Penyebaran 111

Bab 5 Permasalahan dam tantangan Pengembangan


Agroindustri 113
5.1. Permasalahan Agroindustri 113
5.1.1. Hambatan Logistik dan Infrastruktur 115
5.1.2. Hambatan Perkembangan Teknologi 116
5.1.3. Ekonomi Biaya Tinggi 117
5.1.4. Hambatan Pembiayaan 117
5.1.5. Regulasi yang Menghambat 119
5.2. Tantangan Perkembangan Agroindustri 119
5.3. Permasalahan Masing-masing Komoditas 121
5.3.1. Permasalahan Pengembangan Kelapa Sawit 121
5.3.2. Permasalahan Pengembangan Karet 122
5.3.3. Permasalahan Pengembangan Kakao 123
5.3.4. Permasalahan Pengembangan Rotan 129
5.3.5 Permasalahan Pengembangan Rumput Laut 131

Bab 6 Strategi Percepatan dan Perluasasn Agroindustri 137


6.1. Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi 137
6.2. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kelapa Sawit 138
6.2.1 Strategi Percepatan Industri Kelapa Sawit 138
6.2.2. Strategi Perluasan Industri Kelapa Sawit 140
6.3. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Karet 146
6.3.1. Strategi Percepatan Industri Karet 146
6.3.2. Strategi Perluasan Industri Karet 147

v
6.4. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kakao 150
6.4.1. Strategi Percepatan Industri Kakao 150
6.4.2. Strategi Perluasan Industri Kakao 152
6.5. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rotan 164
6.5.1. Strategi Percepatan Industri Rotan 164
6.5.2. Strategi Perluasan 168
6.6. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rumput Laut 174
6.6.1. Strategi Percepatan Industri Rumput Laut 174
6.6.2. Strategi Perluasan Industri Rumput Laut 176

Bbab 7 Outlook Industri 2012 185


7.1. Rekomendasi Kebijakan 179

Daftar Pustaka 193

vi
Daftar Tabel

Tabel 2.1. Pertumbuhan PDB Berdasarkan Sektor Ekonomi


2006-2011 (persen, yoy) 8
Tabel 2.2. Pertumbuhan PDB Sisi Pengeluaran
2006-2011 (persen, yoy) 9
Tabel 2.3. Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran 10
Tabel 2.4. Nilai Tambah Menurut Subsektor (Miliar Rupiah) 12
Tabel 2.5. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia 13
Tabel 2.6. Jumlah Perusahaan dan Nilai Produksi Sub Sektor Agroindustri 16
Tabel 2.7. Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Agroindustri 18
Tabel 2.8. Nilai dan Pangsa Sektoral terhadap PDB Indonesia,
Tahun 2004-2009 (Miliar Rupiah) 19
Tabel 3.1. Proporsi Komponen Impor pada beberapa Industri Manufaktur 25
Tabel 3.2. Nilai Impor 12 Besar Industri Non-migas (Juta US$) 27
Tabel 3.3. Nilai Tambah Pekerja, 2011 30
Tabel 3.4. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral 31
Tabel 3.5. Ranking Komoditas Pangan Indonesia di Dunia, 2009 33
Tabel 3.6. Daya saing Komparatif Komoditas Indonesia
Tahun 2010 35
Tabel 3.7. Nilai Produksi Sub Sektor Agroindustri Indonesia 36
Tabel 3.8. Nilai Ekspor dan Impor Sub Sektor Agroindustri
Indonesia 37
Tabel 3.9. Nilai Tambah Sub Sektor Agroindustri 39
Tabel 3.10. Perkembangan Nilai RCA Produk Agroindustri
di Indonesia 41
Tabel 4.1. Pangsa Produksi CPO 45
Tabel 4.2. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit 46
Tabel 4.3. Jenis Industri, Perkiraan Nilai Investasi dan
Nilai Tambah Industri Berbasis Minyak Sawit 49
Tabel 4.4. Produk Olahan Potensial Dikembangkan di Indonesia 50
Tabel 4.5. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia (ribu ton) 64
Tabel 4.6. Luas Areal dan Jumlah Produksi kakao di Indonesia 70
Tabel 4.7. Negara Tujuan Utama Ekspor Biji Kakao Indonesia 71

vii
Tabel 4.8. Impor Biji Kakao Indonesia dari Beberapa Negara
Tujuan 72
Tabel 4.9. Perbandingan Kapasitas Produksi Kakao Sebelum dan
Sesudah Penetapan Bea Keluar 75
Tabel 4.10. Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Sebelum dan Sesudah
Penetapan Bea Keluar 76
Tabel 4.11. Penggunaan Biji Kakao Sebelum dan Sesudah Penetapan Bea Keluar 77
Tabel 4.12. Realisasi 2010 dan Target 2015 & 2020 77
Tabel 4.13. Potensi Produksi Rotan Indonesia 86
Tabel 4.14. Margin Keuntungan dari Setiap Tahapan Tata Niaga
Rotan 91
Tabel 4.15. Produksi Rotan Indonesia Berdasarkan Wilayah 93
Tabel 4.16. Jumlah Industri Rotan dan Kapasitas Industri 94
Tabel 4.17 . Produksi Rumput Laut Indonesia 95
Tabel 4.18. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia 96
Tabel 4.19. Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut 98
Tabel 4.20. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia
Berdasarkan Volume (ton) 99
Tabel 4.21. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Nilai 100
Tabel 4.22. Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Negara Tujuan Ekspor 100
Tabel 4.23. Perkembangan Ekspor-Impor Rumput Laut Indonesia (ton) 101
Tabel 4.24. Eksportir Rumput Laut Dunia, Tahun 2006 102
Tabel 4.25. Perbandingan Harga Produk Olahan Rumput Laut 103
Tabel 4.26. Perkiraan Kebutuhan Dunia terhadap Produk Olahan Rumput Laut
(ton) 108
Tabel 4.27. Perkiraan Hasil Produksi dan Perkiraan
Kebutuhan Rumput Laut Dunia 109
Tabel 4.28. Importir Rumput Laut Dunia Terbesar 110
Tabel 4.29. Sebaran Produksi Rumput Laut (ton) 111
Tabel 5.1. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia 114
Tabel 5.2. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sektor
Perikanan 133
Tabel 6.1. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Kelapa
Sawit 142

viii
Tabel 6.2. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Kelapa Sawit 145
Tabel 6.3. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Karet 148
Tabel 6.4. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Karet 149
Tabel 6.5. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Kakao 154
Tabel 6.6. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Kakao 159
Tabel 6.7. Matrik Strategi Percepatan Industriali Rotan 170
Tabel 6.8. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Rotan 172
Tabel 6.9. Matrik Strategi Percepatan Industrialisasi Rumput Laut 179
Tabel 6.10. Matrik Strategi Perluasan Industrialisasi Rumput Laut 183
Tabel 7.1. Outlook Industri 2012 191

ix
Daftar Gambar

Gambar 2.1. Pertumbuhan PDB Indonesia (persen, yoy) 7


Gambar 3.1. Pertumbuhan & Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Non-
migas 23
Gambar 3.2. Proporsi Impor Barang menurut Kategori Ekonomi 26
Gambar 3.3. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan
Sektor 30
Gambar 4.1. Proporsi Ekspor Minyak Sawit Mentah dan Olahan Indonesia 47
Gambar 4.2. Kondisi Hilirisasi Industri Minyak Sawit 51
Gambar 4.3. Keterkaitan Komoditas CPO dengan Industri Lain 52
Gambar 4.4. Perkembangan Harga CPO dan RBD Olein Dunia,
dan Harga Minyak Goreng Dalam Negeri 53
Gambar 4.5. Pengimpor Utama Minyak Kelapa Sawit Indonesia, 2010 55
Gambar 4.6. Lokasi Penyebaran Produksi CPO 53
Gambar 4.7. Perbandingan Produksi dan Luas Lahan Karet, 2009 58
Gambar 4.8. Pangsa Pasar Ekspor Karet Indonesia Dalam Bentuk Remah 59
Gambar 4.9. Proporsi Ekspor Karet dan Penyerapan Dalam Negeri,
2009 60
Gambar 4.10. Pohon Industri Karet 62
Gambar 4.11. Keterkaitan Komoditas Karet dengan Industri Lain 63
Gambar 4.12. Harga Karet Alam 65
Gambar 4.13. Jumlah Lokasi Usaha Komoditas Karet 66
Gambar 4.14. Pangsa Produksi Kakao Dunia 2009 68
Gambar 4.15. Produksi Kakao Pada Beberapa Negara Produsen
Utama (ton) 69
Gambar 4.16. Pangsa Kepemilikan Perkebunan Kakao di
Indonesia 69
Gambar 4.17. Kondisi Perkakaoan Di Indonesia 73
Gambar 4.18. Pohon Industri Kakao 79
Gambar 4.19. Keterkaitan Komoditas Kakao dengan Industri Lain 81
Gambar 4.20. Permintaan kakao dunia 82

x
Gambar 4.21. Surplus dan Defisit kakao dunia 83
Gambar 4.22. Harga kakao dunia 83
Gambar 4.23. Penyebaran Industri Kakao 84
Gambar 4.24. Market Share Ekspor Rotan (Volume) 87
Gambar 4.25. Volume Perdagangan Rotan Dunia (Ton) 88
Gambar 4.26. Nilai Perdagangan Rotan Dunia (US$ juta) 88
Gambar 4.27. Volume Ekspor Rotan Indonesia 89
Gambar 4.28. Tujuan Ekspor Bahan Baku Rotan dari Indonesia,
2008 90
Gambar 4.29. Negara Pengekspor Industri Rotan Olahan Tahun
2008 90
Gambar 4.30. Pohon Hilirisasi Industri Rotan 92
Gambar 4.31. Forward-backward Linkage Rotan 93
Gambar 4.31. Pangsa Produksi Rumput Laut Dunia 94
Gambar 4.32. Market Share Rumput Laut Dunia, 2010 96
Gambar 4.33. Tren Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut Indonesia
di Pasar Internasional 97
Gambar 4.34. Analisis Nilai Tambah Bisnis Budidaya Rumput
Laut 104
Gambar 4.35. Pohon Industri Rumput Laut 105
Gambar 4.36. Keterkaitan Komoditas Rumput Laut dengan Industri
Lain 107
Gambar 7.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Pengolahan 188

xi
Ringkasan Eksekutif

Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Makro ekonomi yang stabil idealnya akan dapat menciptakan peluang


ekonomi bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Ini hanya dapat terjadi jika
transformasi ekonomi terjadi secara komprehensif terutama menyangkut
komitmen untuk mendistribusikan efek pembangunan ekonomi secara lebih
merata, perekonomian tidak terkonsentrasi di satu wilayah saja. Di sisi lain,
kebijakan ekonomi harus diimbangi dengan upaya serius untuk membangun
sektor bisnis domestik yang mampu bersaing dalam konteks global. Pada
konteks inilah diperlukan strategi untuk meningkatkan nilai tambah dan kualitas
produk yang setara dengan standar internasional diiringi dengan kemunculan
kutub-kutub pertumbuhan baru di daerah. Perpaduan keduanya akan
menciptakan sinergi antara peningkatan daya saing dan pemerataan
kesejahteraan.
Membaiknya performa fundamental makro ekonomi Indonesia
setidaknya dalam lima tahun ini merupakan modal awal untuk lebih giat
mempercepat dan memperluas pembangunan sektor industri. Terlebih lagi
pertumbuhan ekonomi saat ini selain ditopang dengan pengendalian inflasi yang
relatif rendah, stabilitas nilai tukar dan perbaikan dalam neraca transaksi
berjalan Indonesia, juga dikontribusikan oleh kuatnya permintaan konsumsi
domestik. Jika hal ini dapat ditunjang dengan produksi bernilai tambah yang
tinggi, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin berkualitas, terutama terkait
peranannya dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan mengikis kemiskinan.
Menilik data kontributor sektoral pertumbuhan ekonomi pascakrisis,
industri pengolahan sebenarnya masih mendominasi pangsa terhadap PDB
(Produk Domestik Bruto). Namun demikian, kontribusi industri pengolahan

xii
terhadap PDB ini menunjukkan tren penurunan, dari 27,83 persen pada 2006
menjadi 25,49 persen pada 2011. Berkebalikan dengan kontribusi sektor
perdagangan yang menunjukkan tren peningkatan. Kontradiksi ini bisa menjadi
sinyal bahwa struktur perekonomian Indonesia sedang mengalami pergeseran
secara perlahan dari sektor industri menuju sektor perdagangan. Fenomena ini
tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dapat berimplikasi pada
menurunnya kontribusi sektor industri pengolahan dalam menciptakan
lapangan kerja.
Hilirisasi agroindustri mampu untuk memecahkan persoalan ini. Di
tengah situasi belum pulihnya perekonomian dunia akibat krisis global dan
memburuknya perekonomian Uni Eropa karena krisis utang publik,
pengembangan sektor industri berdaya tahan terhadap krisis semakin
diperlukan guna menopang pertumbuhan ekonomi. Agroidustri merupakan
sektor yang dapat menjawab tantangan ini. Di tengah krisis ekonomi yang
pernah melanda Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi
sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami
kemunduran atau bahkan pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan
dalam jumlah unit usaha yang beroperasi. Salah satu imun yang membuat
kelompok agroindustri dapat bertahan dalam situasi krisis karena tidak
bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar
ekspor yang besar.
Pengembangan agroindustri akan berdampak pada penciptaan
kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data
kontribusi sub sektor agroindustri terhadap PDB menunjukkan bahwa output
sub sektor ini memberikan kontribusi yang selalu lebih besar dari pada sub
sektor pengolahan non agroindustri. Rata-rata kontribusi sub sektor agroindustri
selama 2004-2009 mencapai 15,47 persen dari total PDB nasional. Sementara
sub sektor non agroindustri (non migas) memberikan kontribusi dengan rata-
rata mencapai 9,41 persen. Berdasarkan data ini, maka tidak salah jika sub

xiii
sektor agroindustri akan mampu menjadi penyangga ekonomi nasional. Oleh
sebab itu, penguatan struktur pada sub sektor ini merupakan hal yang mutlak
harus dilakukan. Keterkaitan yang tinggi mulai dari hulu hingga hilir merupakan
salah satu cara untuk memperkuat sub sektor agroindustri. Sehingga percepatan
dan perluasan pembagunan ekonomi yang berkesinambungan dapat tercapai.
Upaya percepatan dan perluasan dapat dilakukan melalui pemetaan
agroindustri yang berdaya saing, baik dari sisi keunggulan komparatif di pasar
internasional maupun indikator lain, seperti potensi produksi; market share;
nilai tambah bisnis; nilai tambah teknis; keterkaitan dengan sektor lain; potensi
permintaan; dan lokasi penyebaran. Berdasarkan berbagai indikator tersebut
maka komoditas agroindustri yang dijadikan unggulan yaitu: kelapa sawit, karet,
kakao, rotan, dan rumput laut.
Meskipun memiliki berbagai kelebihan, pengembangan komoditas
unggulan tersebut bukannya tanpa tantangan. Berbagai permasalahan seperti
minimnya insentif bagi pengembangan industri padat tenaga kerja; hambatan
regulasi; ekonomi biaya tinggi; suku bunga kredit investasi yang masih cukup
tinggi; dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim dan jauh dari
memadai; hingga perkembangan teknologi pengolahan yang lamban merupakan
beberapa masalah utama yang menghambat peningkatan daya saing
agroindustri melalui hilirisasi.
Berbagai permasalahan dan tantangan yang menghambat hilirisasi
agroindustri membutuhkan solusi. Di sinilah urgensi keberadaan strategi
percepatan dan perluasan industrialisasi, agar bottleneck hilirisasi di beberapa
komoditas agroindustri unggulan dapat segera teratasi. Lebih dari itu,
percepatan dan perluasan agroindustri juga penting untuk mencapai target
pertumbuhan industri serta mencegah terjadinya deindustrialisasi dini.
Percepatan dimaknai sebagai upaya untuk memperpendek rentang waktu target
pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri
baru dan penganekaragaman berbagai produk hilir komoditas unggulan.

xiv
Strategi percepatan dan perluasan beberapa komoditas agroindustri
unggulan tersebut antara lain sebagai berikut: Kelapa Sawit: Strategi percepatan
agroindustri kelapa sawit yang utama harus segera dilakukan guna mendorong
peningkatan produk turunan minyak sawit adalah kebijakan insentif investasi di
sektor hilir. Hal ini terutama dapat dilakukan dengan penambahan cakupan
bidang usaha industri hilir kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi;
pemberian tax holiday bagi investasi besar industri hilir kelapa sawit; serta
secara konsisten melakukan promosi investasi Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS)
baik di dalam maupun luar negeri untuk mendorong masuknya investasi di
Klaster IHKS. Sedangkan strategi perluasan dilakukan dengan Pembangunan
klaster Industri Hilir Kelapa Sawit di daerah yang akan menjadi pusat bangkitan
perekonomian berbasis sektor produktif industri nasional, yaitu: Kawasan
Industri Sei Mangkei, Kawasan Industri Dumai dan Kuala Enok, dan Kawasan
Industri Maloy; penuntasan masalah tata ruang nasional dan RTRWP
secepatnya; serta perluasan diversifikasi produk dengan mendorong pengolahan
CPO hingga turunan produk ketiga (antara lain fatty acid, fatty alcohol,
biodiesel) di dalam negeri.
Karet: Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan
utama dalam pengembangan industri karet, termasuk kualitas bahan baku
olahan yang masih rendah. Untuk itu strategi percepatan hilirisasi karet adalah
dengan peremajaan karet tua dan tidak produktif terutama pada perkebunan
karet rakyat dengan stimulasi subsidi; peningkatan kualitas bahan olah karet
yang dihasilkan petani sesuai dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan
melalui pelatihan dan pendampingan; serta peningkatan efisiensi rantai nilai
pengolahan karet dan penguatan kelembagaan petani melalui pola plasma
antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar dalam peningkatan hasil
dan harga. Sementara strategi perluasan terutama dilakukan dengan
pengembangan industri perbenihan bermutu baik di sentra-sentra produksi
karet serta diversifikasi usahatani karet melalui integrasi dengan tanaman
pangan dan ternak untuk peningkatan pendapatan keluarga petani.

xv
Kakao: Strategi percepatan industri kakao yang utama adalah
peningkatan produktivitas dan mutu biji Kakao guna peningkatan nilai
tambah dan daya saing; dukungan penyedian pembiayaan salah satunya
dengan membentuk Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra produksi; serta
peningkatan kemampuan sumber daya manusia melalui Riset & Pengembangan
di bidang budidaya, pasca panen dan pengolahan antara lain dengan menjaga
kontinyuitas Program Gernas Kakao. Strategi Perluasan terutama dengan
memperluas lahan perkebunan kakao; memberikan insentif penanaman kakao
kepada petani; serta memberikan penyuluhan dan sosialisasi agar petani dapat
menghasilkan kakao berkualitas.
Rotan: Kebijakan industri rotan difokuskan kepada upaya untuk segera
menumbuhkan kembali industri rotan yang sempat mati selama
diberlakukannya kebijakan ekspor bahan baku rotan. Beberapa strategi
percepatan yang dapat segera dilakukan adalah: Menghubungkan industri rotan
dengan produsen bahan baku rotan; mendorong pembiayaan dengan suku
bunga yang terjangkau bagi pengembangan industri hilir rotan; serta menekan
high cost economy dalam produksi rotan olahan. Sedangkan strategi perluasan
dilakukan dengan membentuk sentra-sentra penghasil produk rotan di setiap
daerah penghasil rotan; pembangunan infrastruktur di daerah penghasil rotan;
serta membentuk sekolah desain di daerah sumber.
Rumput Laut: Strategi percepatan industri rumput laut yang utama
adalah peningkatan produksi melalui penggunaan bibit unggul dan teknologi
budidaya rumput laut yang baik; penyediaan fasilitas sarana prasarana
pengembangan kebun bibit dalam rangka penanganan mutu dan penyediaan
bibit secara kontinyu; serta Stimulasi pengembangan usaha budidaya rumput
laut dengan pemberian bantuan bibit unggul kepada pembudidaya. Strategi
Perluasan dengan melakukan zonasi pengembangan areal budidaya yang
diintegrasikan dengan RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) dan
pengembangan komoditas lain; melakukan identifikasi dan analisis kesesuaian
lahan dengan daya dukung lingkungan; serta melakukan penataan ruang dan

xvi
penetapan wilayah pengembangan produksi rumput laut dengan kepentingan
pengembangan komoditas lain dan sektor terkait lain.
Dengan strategi percepatan dan perluasan ini diharapkan sektor
agroindustri dapat tumbuh lebih tinggi dan merata di masa mendatang. Tahun
depan, pertumbuhan agroindustri diproyeksikan sebesar 6,0 persen. Ini dapat
dicapai jika pemerintah melakukan strategi percepatan dan perluasan
agroindustri secara optimal. Berbagai terobosan dalam kebijakan agroindustri,
terutama terobosan insentif; perbaikan regulasi yang pro bisnis; serta adanya
jaminan ketersediaan energi bagi industri untuk berproduksi.
Sementara itu, pertumbuhan industri pengolahan dapat mencapai 7,0
persen pada 2012, jika: Optimalisasi strategi percepatan dan perluasan industri
dapat dilakukan dengan baik; Dampak krisis UE dan berlanjutnya krisis AS dapat
dihindari dengan kebijakan anti krisis yang efektif; Pemerintah dapat
memanfaatkan secara optimal momentum peningkatan peringkat investasi
Indonesia; serta Pemerintah melakukan berbagai terobosan dalam kebijakan
industri, terutama terobosan kelembagaan, mengingat sebagian besar persoalan
industri terkonsentrasi pada masalah ini (birokrasi, koordinasi, korupsi).

xvii
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 1
Pendahuluan

Agroindustri merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat


berperan penting terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan ekspor,
penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan
pembangunan wilayah. Ditinjau dari cakupan komoditasnya, terdapat ratusan
jenis tanaman tahunan dan tanaman musiman dapat tumbuh subur di
Indonesia, sehingga pembangunan agroindustri akan dapat menjangkau
berbagai tipe komoditas yang sesuai dikembangkan di masing-masing daerah di
Indonesia. Dilihat dari hasil produksinya, komoditas perkebunan merupakan
bahan baku industri dan barang ekspor, sehingga telah melekat adanya
kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan subsektor
lainnya. Di samping itu, jika diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen
komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai
daerah. Dengan demikian pembangunan industri agro akan berdampak langsung
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama melalui perannya
dalam menciptakan lapangan kerja dan distribusi pemerataan pendapatan.

1
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Upaya percepatan dan perluasan agroindustri dengan skala prioritas


pada strategi hilirisasi beberapa komoditas unggulan yang memiliki daya saing
dibutuhkan untuk mendorong peran agroindustri yang lebih besar dan
berkelanjutan dalam perekonomian ke depan. Fokus pada beberapa komoditas
agroindustri unggulan dalam studi ini dimaksudkan agar hasil yang ingin dicapai
segera terealisasi dan tidak berarti komoditas lain tidak diperhatikan.
Tulisan ini akan diawali dengan paparan tentang perkembangan
makroekonomi Indonesia, serta potret industri manufaktur dan agroindustri di
Indonesia selama lima tahun terakhir. Selanjutnya diuraikan mengenai konsep
industri yang berdaya saing disertai dengan alasan perlunya mengembangkan
industri yang berdaya saing, terutama dilihat dari sisi potensi agroindustri di
Indonesia. Bagian berikutnya menggambarkan potret masing-masing komoditas
unggulan agroindustri dari sisi potensi produksi, market share, nilai tambah
bisnis, nilai tambah teknis, keterkaitan dengan sektor lain, potensi permintaan,
serta lokasi penyebaran. Dalam buku ini diuraikan pula berbagai permasalahan
dan tantangan pengembangan agroindustri di Indonesia, baik secara umum
maupun tantangan spesifik masing-masing komoditas unggulan. Bagian akhir
buku ini berbicara mengenai strategi percepatan dan perluasan agroindustri di
Indonesia, yang berisi strategi spesifik bagi percepatan dan perluasan hilirisasi
masing-masing komoditas unggulan.
Kinerja Makro Ekonomi dan Industri menguraikan perkembangan
makroekonomi Indonesia dan perkembangan industri selama lima tahun
terakhir (periode 2006-2011). Uraian diawali dengan perkembangan makro
ekonomi secara umum disertai dengan potret makro sosial, yaitu masih cukup
tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Selain uraian
tentang kinerja makroekonomi, juga dibahas tentang performa sektor industri
pengolahan secara umum dan potret perkembangan agroindustri. Potret
agroindustri tersebut mencakup perkembangan kinerja agroindustri maupun
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

2
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Membangun Industri Berdaya Saing memaparkan konsep dan urgensi


industri yang berdaya saing dalam perekonomian Indonesia. Munculnya gejala
deindustrialisasi dini, impor barang konsumsi yang meningkat drastis, peranan
dalam penyerapan tenaga kerja, hingga sebagai upaya pencapaian target
Rencana Strategis Kementerian Perindustrian merupakan berbagai alasan utama
perlunya membangun industri berdaya saing. Bagian ini juga menjelaskan
potensi agroindustri secara umum, baik dari sisi peningkatan permintaan
maupun keunggulan komparatifnya.
Komoditas Agroindustri Unggulan berisi pemetaan profil masing-masing
komoditas unggulan dilihat dari berbagai indikator daya saing yang digunakan.
Kelima komoditas unggulan agroindustri memiliki potensi produksi yang besar,
market share yang dominan, hingga nilai tambah bisnis dan nilai tambah teknis
yang besar. Di samping itu, juga dibahas keterkaitan erat komoditas unggulan
bagi pengembangan sektor-sektor lain, sehingga berkembangnya komoditas
kelapa sawit, karet, kakao, rotan dan rumput laut akan menimbulkan multiplier
effect yang tinggi bagi sektor lainnya. Peranan lokasi penyebaran komoditas
unggulan yang dapat menciptakan pemerataan pendapatan secara alamiah
karena tidak terkonsentrasi di satu wilayah juga dibahas di bagian ini.
Permasalahan dan Tantangan Agroindustri mengurai tentang berbagai
kendala dan tantangan pengembangan agroindustri yang masih dihadapi hingga
saat ini. Berbagai persoalan mulai dari hambatan regulasi, ekonomi biaya tinggi,
lemahnya dukungan pembiayaan, dukungan infrastruktur dan logistik yang
sangat minim dan jauh dari memadai, hingga perkembangan teknologi
pengolahan yang lamban dipaparkan secara detail di bagian ini.
Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri mengurai berbagai
strategi percepatan yang tepat bagi pengembangan masing-masing komoditas
unggulan, serta berbagai strategi perluasan baik dari sisi kewilayahan maupun
diversifikasi produk hilir. Selain itu, diuraikan pula definisi percepatan dan
perluasan, di mana percepatan dimaknai sebagai upaya untuk memperpendek
rentang waktu target pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian
pusat-pusat industri baru dan penganekaragaman berbagai produk hilir.

3
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Akhirnya, sebaik apapun sebuah strategi kebijakan ekonomi dirumuskan,


hanya baru mampu untuk menyelesaikan separuh dari persoalan ekonomi yang
dihadapi. Sisanya adalah implementasi konkret dari para pengambil kebijakan
untuk menerapkan secara tepat dan cepat strategi yang telah disusun. Selamat
membaca, semoga bermanfaat bagi perumusan kebijakan ekonomi yang lebih
bermutu di masa depan.

4
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 2
Kinerja Makro Ekonomi dan Industri

2.1. Perkembangan Makro Ekonomi


Kinerja makro ekonomi Indonesia pada akhir 1980-an sampai dengan
pertengahan dekade 1990-an mengalami pertumbuhan yang pesat. Bahkan
kinerja makro ekonomi pada periode tersebut merupakan salah satu yang
tertinggi di kawasan Asia. Sejak 1987 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencatat rekor tertinggi hingga mencapai 7,1 persen. Performa pada
saat itu diperkuat dengan kinerja ekspor, dukungan sektor keuangan, serta
kinerja industri pengolahan yang cukup gemilang.
Setelah lebih dari satu dekade pascakrisis 1997-1998 keadaan makro
ekonomi Indonesia meskipun sudah menunjukkan pemulihan di berbagai lini
dan sektor, namun belum banyak memberikan kontribusi yang signifikan dalam
pengurangan tingkat kemiskinan dan angka pengangguran. Selain itu, jika
dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN yang dulunya memiliki skala
ekonomi yang sama dengan Indonesia, nampak proses pemulihan ekonomi yang
terjadi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara
tersebut. Hal ini tercermin dari rendahnya peringkat daya saing ekonomi

5
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, serta belum


maksimalnya reformasi yang bersifat struktural untuk memerbaiki kinerja
perekonomian.
Makroekonomi yang stabil idealnya akan menciptakan peluang ekonomi
bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat. Ini dapat terjadi jika transformasi
ekonomi terjadi secara komprehensif, terutama menyangkut komitmen untuk
mendistribusikan efek pembangunan ekonomi secara lebih merata. Ekonomi
tidak terkonsentrasi di satu wilayah saja. Di sisi lain, strategi pembangunan juga
harus diarahkan secara serius untuk membangun sektor bisnis domestik yang
mampu bersaing dalam konteks global. Pada titik inilah diperlukan strategi
meningkatkan nilai tambah dan kualitas produk yang setara dengan standar
internasional diiringi dengan kemunculan kutub-kutub pertumbuhan baru di
daerah. Dengan demikian akan terjadi sinergi antara peningkatan daya saing dan
pemerataan kesejahteraan.
Melihat kondisi fundamental makroekonomi Indonesia yang sudah
menunjukkan performa membaik setidaknya dalam lima tahun ini,
sesungguhnya merupakan modal awal untuk mulai lebih giat mempercepat
pembangunan (Gambar 2.1). Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi saat ini selain ditopang dengan pengendalian inflasi yang relatif rendah,
stabilitas nilai tukar dan perbaikan dalam neraca transaksi berjalan Indonesia,
juga dikontribusikan oleh kuatnya permintaan konsumsi domestik. Jika hal ini
dapat ditunjang dengan produksi yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi,
maka pertumbuhan ekonomi akan semakin berkualitas.
Sayangnya, meskipun setelah satu dekade pascakrisis secara
fundamental makroekonomi sudah menunjukkan perbaikan, kondisi tersebut
belum banyak memberikan kontribusi yang signifikan pada terkikisnya angka
kemiskinan dan meningkatnya penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Dengan kata lain, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang terjadi saat ini
belum cukup berkualitas dan solutif bagi pemecahan permasalahan dasar
ekonomi, yaitu kemiskinan dan pengangguran.

6
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 2.1. Pertumbuhan PDB Indonesia (persen, yoy)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum menjadi jaminan bagi


penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran jika pertumbuhan yang
dihasilkan tidak dikontribusikan oleh sektor-sektor strategis kontributor
lapangan kerja (labor intensive). Menilik pada periode sebelum krisis, secara
historis selama periode 1970-1997 perekonomian Indonesia telah mengalami
perubahan struktur yang ditandai dengan meningkatnya performa industri
pengolahan, yang terefleksikan dari semakin tingginya porsi investasi dan ekspor
terhadap PDB. Pertumbuhan yang tinggi dalam industri pengolahan pada saat
itu secara tidak langsung telah menggeser peran sektor pertanian sehingga
banyak terjadi pergeseran fungsi modal, tenaga kerja, dan lahan untuk sektor
pertanian ke sektor industri pengolahan.
Namun, perkembangan sektor industri pengolahan pascakrisis tengah
mengalami pemburukan kinerja. Stagnasi yang terjadi di sektor industri
pengolahan tercermin dari sisi permintaan agregat, di mana sektor investasi dan
ekspor yang semula dominan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi sudah
mengalami penurunan performa tergeser dengan meningkatnya peran
konsumsi. Dari Tabel 2.1. terlihat bahwa meskipun pada 2011 (Q1-Q3) mencapai
pertumbuhan tertinggi selama lima tahun terakhir, namun secara umum kinerja

7
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

pertumbuhan sektor Industri pengolahan belum secepat sektor-sektor lain yang


padat modal (capital intensive), seperti sektor pengangkutan dan komunikasi
serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Tabel 2.1. Pertumbuhan PDB Berdasarkan Sektor Ekonomi
2006-2011 (persen, yoy)
Laju Pertumbuhan Sumber Pertumbuhan
Keterangan
‘06 ‘07 ‘08 ‘09 ‘10 ‘11* ‘06 ‘07 ‘08 ‘09 ‘10 ‘11*
Pertanian 3,0 3,5 4,8 4,1 2,9 3,4 0,4 0,5 0,6 0,5 0,4 0,4
Pertambangan dan 2,2 1,9 0,7 4,4 3,5 1,7 0,2 0,2 0,1 0,4 0,3 0,0
Penggalian
Industri Pengolahan 4,6 4,7 3,7 2,2 4,5 5,9 1,3 1,2 0,9 0,6 1,1 1,7
Listrik, Gas, dan 5,9 10,3 10,9 14,3 5,3 4,5 0,1 0,1 0,1 0,1 0,0 0,0
Air Bersih
Bangunan 9,0 8,5 7,5 7,1 7,0 6,4 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4
Perdagangan, Hotel, 6,1 8,9 6,9 1,3 8,7 9,3 1,0 1,4 1,1 0,2 1,4 1,7
dan Restoran
Pengangkutan dan 13,6 14,0 16,6 15,5 13,5 11,2 0,9 0,9 1,1 1,2 1,1 0,9
Komunikasi
Keuangan, 5,7 8,0 8,2 5,1 5,7 7,0 0,5 0,7 0,7 0,5 0,5 0,7
Persewaan,
dan Jasa Perusahaan
Jasa-jasa 6,2 6,4 6,2 6,4 6,0 6,8 0,6 0,6 0,5 0,6 0,5 0,7
PDB 5,5 6,3 6,0 4,6 6,1 6,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

* Pertumbuhan triwulan I s/d triwulan III 2011

Rendahnya pertumbuhan investasi dalam industri pengolahan


berimplikasi pada kian menurunnya akumulasi modal (kapital) tetap. Di sisi lain
menurunnya akumulasi modal dalam kondisi tingginya tingkat tenaga kerja
menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Capital shortage ini tentu
saja juga akan berimplikasi pada semakin memburuknya TFP (Total Factor
Productivity), di mana nilainya tidak mampu menembus angka 1 persen dalam
kurun waktu 2000-2004, jauh di bawah TFP sebelum krisis yang mampu
mencapai 3 persen.

8
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Selanjutnya, berdasarkan PDB sisi pengeluaran dapat dijelaskan bahwa


laju pertumbuhan konsumsi relatif stabil jika dibandingkan dengan
pertumbuhan pembentukan modal yang relatif tidak stabil (Tabel 2.2).
Pembentukan modal menurun rendah menyentuh 2,9 persen pada 2006 dan 3,3
persen pada 2009, di saat yang sama konsumsi rumah tangga tidak mengalami
banyak fluktuasi. Di sisi lain, kontribusi PDB dari sektor luar negeri (ekspor
dikurangi impor) mengalami penurunan kinerja, tentu hal ini harus menjadi
concern yang serius berkaitan dengan eksistensi Indonesia dalam memenangkan
kompetisi dalam ekonomi global.

Tabel 2.2. Pertumbuhan PDB Sisi Pengeluaran2006-2011 (persen, yoy)


Laju Pertumbuhan Sumber Pertumbuhan
Komponen Pengeluaran
‘06 ‘07 ‘08 ‘09 ‘10 ‘11* ‘06 ‘07 ‘08 ‘09 ‘10 ‘11*
Konsumsi Rumah Tangga 3,2 5,0 5,3 4,9 4,6 4,6 1,9 2,9 3,1 2,8 2,6 2,7

Konsumsi Pemerintah 9,6 3,9 10,4 15,7 0,3 3,3 0,7 0,3 0,8 1,3 0,0 0,2
Pembentukan Modal Tetap Bruto 2,9 9,3 11,9 3,3 8,5 7,9 0,7 2,0 2,7 0,8 2,0 1,7
Ekspor 9,2 8,5 9,5 -9,7 14,9 16,2 4,1 4,0 4,6 -4,8 6,4 8,3

Dikurangi: Impor 7,6 9,1 10,0 -15,0 17,3 14,6 2,8 3,4 3,9 -6,0 5,6 5,0
PDB 5,5 6,3 6,0 4,6 6,1 6,5

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

* Pertumbuhan triwulan I s/d triwulan III 2011

Dengan berbagai capaian kinerja perekonomian lima tahun terakhir


tersebut, persoalan pengangguran dan kemiskinan masih menjadi masalah
mendasar pembangunan. Meskipun sepanjang periode 2006-2011 tingkat
pengangguran dan kemiskinan menunjukkan tren penurunan, namun jumlah
pengangguran terbuka sebesar 7,7 juta jiwa (6,56 persen) dan kemiskinan 30,02
juta jiwa (12,49 persen) merupakan angka yang relatif besar (Tabel 2.3). Dalam
rangka menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan ini diperlukan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan terdistribusi secara lebih merata.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong penciptaan nilai
tambah atas komoditas yang dihasilkan di Indonesia.

9
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 2.3. Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran

Rincian 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Penduduk Miskin (juta jiwa) 39,30 37,17 34,96 32,53 31,02 30,02
Persentase Penduduk Miskin (%) 17,75 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49
Pengangguran Terbuka (juta jiwa) 11,10 10,01 9,39 8,96 8,32 7,70
Persentase Pengangguran (%) 10,28 9,11 8,39 7,87 7,14 6,56
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

2.2. Perkembangan Industri Manufaktur


Perkembangan terbaru menunjukkan pertumbuhan industri pengolahan
yang relatif meningkat sejak 2009, dari 2,16 persen pada 2009 menjadi 5,9
persen pada 2011 (Tabel 2.1). Padahal sebelum krisis 1998, yaitu pada periode
1970-1997, industri pengolahan mampu tumbuh di atas 10 persen. Namun,
sejak 1999 sampai 2010, industri pengolahan hanya tumbuh di bawah 5 persen
per tahun (Kuncoro, 2011). Sungguh pun demikian, kejutan terjadi pada 2011 ini
di mana pertumbuhan industri pengolahan mampu menembus angka 5 persen.
Selain itu, industri pengolahan juga masih mendominasi dari sisi pangsa
terhadap PDB. Namun demikian, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB
menunjukkan tren penurunan, dari 27,83 persen pada 2006 menjadi 25,49
persen pada 2011. Berkebalikan dengan kontribusi sektor perdagangan yang
menunjukkan tren peningkatan sejak lima tahun terakhir ini. Kondisi ini bisa
menjadi sinyal bahwa struktur perekonomian Indonesia sedang mengalami
pergeseran secara perlahan dari sektor industri menuju sektor perdagangan.
Fenomena ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena apabila benar-benar
terjadi deindustrialiasi dini, maka masyarakat akan terancam kerugian akibat
penurunan lapangan kerja di sektor industri.
Sementara itu, bila dilihat dari nilai tambah menurut subsektor, secara
umum industri pengolahan mengalami peningkatan nilai tambah sebesar 11,02

10
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

persen atau meningkat dari Rp719 triliun pada 2008 menjadi Rp798 triliun pada
2009 (yoy). Subsektor dengan nilai tambah tertinggi adalah industri makanan
dan minuman sebesar Rp147 triliun pada 2009 atau tumbuh sebesr 18,94
persen dari tahun sebelumnya (Tabel 2.4). Berikutnya, diurutan kedua ditempati
oleh subsektor kimia dan barang-barang dari bahan kimia sebesar Rp116 triliun
pada 2009, namun pertumbuhannya mengalami minus sebesar 4,90 persen. Di
urutan selanjutnya relatif mengalami persaingan antara subsektor tembakau,
tekstil, dan kendaraan bermotor masing-masing memiliki nilai tambah sebesar
Rp54,40 triliun, Rp54,61 triliun, dan Rp48 triliun. Sedangkan subsektor dengan
nilai tambah terendah adalah industri peralatan kantor, akuntansi, dan
pengolahan data sebesar Rp258 miliar, diikuti oleh industri daur ulang dengan
nilai tambah sebesar Rp663 miliar.
Dengan melihat besar dan berkembangnya nilai tambah pada industri
pengolahan, tampaknya dapat menjadi argumentasi yang kuat untuk melakukan
upaya percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia. Percepatan dan
perluasan industrialisasi juga menjadi penting dalam konteks membangun
kemandirian bangsa, sekaligus menjadi strategi paling ampuh dalam
membendung banjirnya impor barang hasil industri dari luar negeri. Selain itu,
dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar, masuk akal apabila
industri pengolahan yang dikembangkan ke depan dikaitkan langsung dengan
sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan atau yang biasa disebut dengan
agroindustri.
Dalam konteks penyerapan tenaga kerja, sektor industri belum mampu
melakukan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Selama kurun
waktu 2005 hingga 2011, penyerapan tenaga kerja masih didominasi sektor
pertanian sebesar 40,8 persen diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran
20,4 persen, jasa sosial 12,7 persen dan sektor industri pengolahan hanya
berkontribusi sebesar 12,5 persen. Kontribusi sektor industri dalam penyerapan
tenaga kerja di Indonesia memang tidak terlalu besar sejak 1996, di mana
persentase penyerapannya berada pada kisaran 12-13 persen. Sektor industri
menyerap tambahan sekitar 660 ribu tenaga kerja dalam setahun terakhir.

11
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kondisi ini menempatkan industri sebagai nomor tiga dalam menyerap tenaga
kerja di bawah jasa dan perdagangan. Perlu diingat bahwa nilai tambah dan
pendapatan di sektor industri umumnya lebih tinggi dari kedua sektor tersebut.

Tabel 2.4. Nilai Tambah Menurut Subsektor (Miliar Rupiah)


Growth Pangsa
Subsektor 2008 2009*
(%) (%)
15 Makanan dan minuman 124,202 147,730 18.94 18.49
16 Tembakau 55,831 54,403 -2.56 6.81
17 Tekstil 31,271 54,610 74.63 6.84
18 Pakaian jadi 23,969 31,707 32.28 3.97
19 Kulit dan barang dari kulit 12,689 14,280 12.54 1.79
20 Kayu, barang dari kayu, dan anyaman 17,041 18,171 6.63 2.27
21 Kertas dan barang dari kertas 37,561 46,170 22.92 5.78
22 Penerbitan, percetakan, dan reproduksi 6,313 8,507 34.75 1.07
23 Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan 3,986 3,289 -17.49 0.41
bakar dari nuklir
24 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia 122,286 116,288 -4.90 14.56
25 Karet dan barang-barang dari plastik 42,735 44,318 3.70 5.55
26 Barang galian bukan logam 26,037 40,074 53.91 5.02
27 Logam dasar 31,990 27,034 -15.49 3.38
28 Barang-barang dari logam dan peralatannya 21,224 15,342 -27.71 1.92
29 Mesin dan perlengkapannya 14,495 10,348 -28.61 1.30
30 Peralatan kantor, akuntansi, dan 312 258 -17.31 0.03
pengolahan data
31 Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya 22,501 42,901 90.66 5.37
32 Radio, televisi, dan peralatan komunikasi 14,622 21,543 47.33 2.70
33 Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, 1,944 1,609 -17.23 0.20
optik, dan jam
34 Kendaraan bermotor 48,544 48,116 -0.88 6.02
35 Alat angkutan lainnya 45,977 34,811 -24.29 4.36
36 Furniture dan industri pengolahan lainnya 13,780 16,595 20.43 2.08
37 Daur ulang 184 663 260.33 0.08
Jumlah 719,493 798,767 11.02 100

Sumber: www.bps.go.id, 2011.


*) Angka estimasi

12
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

2.3. Perkembangan Agroindustri Indonesia


Industrialisasi telah mengakibatkan penurunan kontribusi sektor
pertanian terhadap output nasional. Pangsa sektor pertanian dalam
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional telah turun dari sekitar
51,0 persen pada 1968 menjadi hanya 15,4 persen pada 2011 (Tabel 2.5).
Sebaliknya, pangsa sektor non pertanian meningkat dari sekitar 49,0 persen
menjadi 84,6 persen. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pun
mengalami hal yang serupa. Selama periode 1982 - 2011 penyerapan tenaga
kerja sektor pertanian secara konsisten terus mengalami penurunan, yaitu dari
54,7 persen menjadi 38,16 persen (BPS, 2011).
Proses industrialisasi tersebut telah menyebabkan transformasi struktur
ekonomi. Indonesia bukan lagi negara agraris ketika sektor industri manufaktur
mulai menggantikan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin (leading sector)
dalam ekonomi Indonesia sejak 1993. Kontribusi sektor industri manufaktur
terhadap PDB berkisar antara 22,3 persen – 28,3 persen sejak 1993. Kendati kini
telah mengalami penurunan menjadi 24,3 persen pada 2011 (Tabel 2.5).

Tabel 2.5. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia

Sektor 1968 1993 1998 2000 2004 2011 (Q2)

Pertanian 51,0 17,9 17,4 15,6 15,4 15,4

Pertambangan dan Penggalian 4,2 9,6 8,3 12,1 8,6 11,6

Industri Manufaktur 8,5 22,3 23,9 27,8 28,3 24,3

Sektor lainnya 36,3 50,3 50,3 44,6 47,7 48,7

PDB 100 100 100 100 100 100

Sumber: BPS, dalam Kuncoro (2011)

13
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Jika membandingkan kontribusi sektor industri manufaktur pada dua


periode, yakni pada 1993-2000 dengan 2004-2011, maka terlihat suatu
perbedaan yang mencolok. Perbedaan tersebut terletak pada kontribusi sektor
industri manufaktur. Pada periode 1993-2000 terjadi peningkatan kontribusi
manufaktur terhadap PDB nasional, sedangkan pada peiode 2004-2011
kontribusi sektor manufaktur tersebut semakin berkurang. Dengan alasan itulah
pada periode 2004-2011 disebut-sebut telah terjadi deindustrialisasi. Oleh sebab
itu, kajian ini yang bertujuan untuk menyusun strategi percepatan dan perluasan
industrialisasi ini sangat relevan dilakukan.
Penurunan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional
tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya transformasi perekonomian
dari sektor pertanian ke sektor industri. Tetapi perlu dicatat, penurunan
kontribusi sektor pertanian tidak bisa diabaikan begitu saja mengingat sumber
daya nasional yang tersedia melimpah di Indonesia adalah di sektor pertanian
dan sumber penghidupan sebagian besar rumah tangga saat ini juga masih
bergantung di sektor pertanian. Dengan alasan itu, industrialisasi yang relavan
dikembangkan adalah industrialisasi pertanian, yaitu kegiatan industrialisasi
yang memanfaatkan hasil-hasil dari sektor pertanian dalam arti luas. Melalui
pengembangan subsektor agroindustri (industrialisasi pertanian), dapat
dipandang sebagai transisi yang paling tepat dalam menjembatani proses
transformasi ekonomi di Indonesia. Peran sektor pertanian dalam PDB dengan
demikian tidak dilihat dari produk primer yang dihasilkan saja, melainkan harus
dikaitkan dengan industri pengolahan dan pemasaran yang diciptakan dan
peranannya dalam mendorong pembangunan, khususnya di perdesaan.
Bersama-sama dengan sektor pertanian primer, sektor agroindustri
dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia
dan mengurangi kemiskinan. Ketangguhan industri yang berbasis pertanian
telah terbukti pada masa krisis. Sektor agroindustri tidak banyak terpengaruh
oleh krisis dan dengan cepat mengalami pemulihan. Pentingnya peran sektor
agroindustri bukan hanya dilihat dari ketangguhannya dalam menghadapai krisis
ekonomi, tetapi juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lain.

14
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Keterkaitan tersebut tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga melaui media
keterkaitan lain, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja
(Rangarajan, 1982; Haggblade et al., 1991). Hal tersebut diharapkan berimplikasi
melalui pengembangan sektor agroindustri dan tercipta kesempatan kerja dan
sumber pendapatan masyarakat, sehingga rumah tangga petani tidak hanya
menggantungkan sumber penghidupan mereka pada sebidang tanah yang
semakin menyempit, namun secara luas mampu mendukung pertumbuhan
produktivitas. Semua itu akan mempunyai efek positif bagi pengurangan
kemiskinan yang sebagian besar berada di sektor pertanian.

2.3.1. Kinerja Agroindustri


Pengembangan agroidustri di Indonesia terbukti mampu membentuk
pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi sebuah aktivitas
ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami
kemunduran atau pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam
jumlah unit usaha yang beroperasi.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, terdapat kelompok
agroindustri yang tetap mengalami pertumbuhan selama krisis, antara lain yang
berbasis kelapa sawit, pengolahan ubi kayu dan industri pengolahan ikan.
Sementara itu, kelompok agroindustri ini bisa berkembang dalam keadaan krisis
karena tidak bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta
peluang pasar ekspor yang besar. Sementara kelompok agroindustri yang tetap
dapat bertahan pada masa krisis adalah industri mie, pengolahan susu dan
industri tembakau yang disebabkan oleh peningkatan permintaan di dalam
negeri dan sifat industri yang padat karya. Sedangkan untuk kelompok
agroindustri yang mengalami penurunan adalah industri pakan ternak dan
minuman ringan. Penurunan industri pakan ternak disebabkan ketergantungan
impor bahan baku (bungkil kedelai, tepung ikan, dan obat-obatan). Sementara

15
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

itu, penurunan pada industri makanan ringan lebih disebabkan oleh penurunan
daya beli masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi.
Lebih lanjut, jika melihat kinerja subsektor agroindustri yang diukur dari
perkembangan jumlah unit perusahaan dan kapasitas produksi dalam 6 tahun
terakhir menunjukkan telah terjadi pertumbuhan dalam kedua indikator
tersebut. Berdasarkan Tabel 2.6 menunjukkan jumlah unit perusahaan
agroindustri selama 6 tahun terakhir mengalami peningkatan dengan rata-rata
mencapai 5,52 persen per tahun. Hal ini diikuti pula oleh peningkatan kapasitas
produksinya, namun dengan peningkatan yang jauh lebih besar, yakni dengan
rata-rata sebesar 27,98 persen per tahun.

Tabel 2.6. Jumlah Perusahaan dan Nilai Produksi Subsektor Agroindustri

Jumlah perusahaan Produksi


Tahun Pertumbuhan Nilai Pertumbuhan
Unit
(%) Rp Juta) (%)
2005 9.393 411.019.038
2006 13.455 43,24 485.402.825 18,10
2007 12.695 -5,65 620.632.108 27,86
2008 11.757 -7,39 787.789.274 26,93
2009* 13.315 13,25 822.730.123 4,44
2010** 11.022 -17,22 1.337.482.511 62,57
Rata-rata 11.940 5,25 744.175.980 27,98

*) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Kendati mengalami peningkatan, bukan berarti kinerja sub sektor


agroindustri selalu dalam performa baik. Pada 2007 dan 2008 jumlah unit
perusahaan sempat mengalami penurunan. Hal ini berimplikasi pada
menurunnya jumlah penyerapan tenaga kerja di subsektor ini. Penurunan
jumlah unit perusahaan pada periode waktu ini diduga karena pengaruh krisis
ekonomi global, di mana pada saat itu biaya faktor produksi, khususnya yang
berasal dari luar negeri (bahan baku impor), menjadi sangat mahal. Hasilnya,

16
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

tidak sedikit perusahaan agroindustri yang menutup usahanya. Tetapi,


perekonomian nasional tertolong karena daya beli masyarakat yang masih
membaik. Tingkat permintaan masyarakat yang relatif tinggi terhadap produk-
produk agroindustri menyebabkan masih banyak perusahaan agroindustri yang
beroperasi dan mampu meningkatkan kapasitas produksinya.

2.3.2. Kontribusi Agroindustri


Subsektor agoindustri sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, telah
memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian nasional.
Kontribusi tersebut dapat dilihat dari pangsa subsektor ini dalam pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, nilai tambah yang
dihasilkan, perolehan devisa melalui ekspor non migas, dan penciptaan kondisi
yang kondusif bagi pembangunan sektor lain. Namun, sayangnya, selama ini sub
sektor agroindustri belum dapat dijadikan sebagai penarik pembangunan sektor
pertanian dalam hal menciptakan pasar bagi produk-produk pertanian melalui
berbagai produk olahannya.
Kontribusi subsektor agroindustri terhadap penyerapan tenaga kerja dan
kemampuan menciptakan nilai tambah ditunjukkan pada Tabel 2.7. Berdasarkan
tabel 2.7, nilai tambah yang dihasilkan oleh subsektor agroindustri memiliki
kencenderungan yang meningkat, kecuali pada 2008, di mana industri nasional
juga sedang terkena pengaruh krisis global. Rata-rata nilai tambah yang mampu
dihasilkan selama 2005-2009 sebesar 3,13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
subsektor agroindustri memiliki prospek yang baik dan akan semakin
menguntungkan bagi siapa pun yang terlibat.
Pada saat yang sama, penyerapan tenaga kerja di sub sektor ini
cenderung berfluktuasi. Pada 2006 terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja
sebesar 14,23 persen, namun dalam dua tahun berikutnya (2007-2008)
mengalami penurunan, mengikuti penurunan jumlah unit perusahaan
agroindustri karena pengaruh krisis global.

17
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 2.7. Nilai Tambah dan Penyerapan Tenaga Kerjasub Sektor Agroindustri

Nilai Tambah Tenaga Kerja


Tahun Nilai Pertumbuhan Jumlah Pertumbuhan
(Rp Juta) (%) Orang (%)
2005 396,437,988 - 1,636,745 -
2006 514,342,729 29.74 1,869,663 14.23
2007 598,399,645 16.34 1,838,835 -1.65
2008 264,842,230 -55.74 1,750,206 -4.82
2009* 323,619,699 22.19 2,017,856 15.29
2010** 162,496,793 -49.79 1,693,694 -16.06
Rata-rata 376,689,847 -7.45 1,801,167 1.40

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011


*) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara

Kinerja yang baik pada subsektor agroindustri sayangnya tidak diikuti


dengan kemampuan subsektor ini dalam menyerap tenaga kerja. Jumlah tenaga
kerja pada subsektor agroindutri masih jauh lebih sedikit daripada tenaga kerja
yang diserap pada sektor pertanian. Sektor pertanian masih menempati posisi
tertinggi dalam hal menyerap tenaga kerja, yakni sebanyak 42,5 juta orang
(38,16 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 23,2 juta orang (20,88
persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 17,0 juta orang (15,30 persen)
[BPS, 2011].
Lebih lanjut, jika melihat perkembangan kontribusi subsektor
agroindustri terhadap PDB selama 2004-2010 menunjukkan bahwa output
subsektor ini memberikan kontribusi yang pada umumnya selalu lebih besar dari
pada subsektor pengolahan non agroindustri. Berdasarkan data Produk
Domestik Bruto pada Tabel 2.8 menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi
subsektor agroindustri selama 2004-2010 mencapai 12.59 persen dari total PDB
nasional. Sementara subsektor non agroindustri (non migas) memberikan
kontribusi dengan rata-rata mencapai 12.13 persen.

18
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 2.8. Nilai dan Pangsa Sektoral terhadap PDB Indonesia, Tahun 2004-2010
(Miliar Rupiah)
Non Industri Sektor
Tahun Pertanian Agroindustri PDB
Agroindustri Migas Lainnya
2004 247,163.6 216,372.6 201,995.9 51583.9 939,400.8 1,656,516.8
(14.92) (13.06) (12.19) (3.11) (56.71) (100)
2005 253,881.7 224,771.4 218,131.2 48658.8 1,005,372.1 1,750,815.2
(14.50) (12.84) (12.46) (2.78) (57.42) 100)
2006 262,402.8 236,547.8 229,701.3 47851.2 1,070,623.6 1,847,126.6
(14.21) (12.81) (12.44) (2.59) (57.96) (100)
2007 271,509.3 247,711.0 242,550.6 47823.0 1,154,733.4 1,964,327.3
(13.82) (12.61) (12.35) (2.43) (58.79) (100)
2008 284,620.7 254,124.5 255,977.2 47662.7 1,239,930.8 2,082,315.9
(13.67) (12.20) (12.29) (2.29) (59.55) (100)
2009* 296,369.3 272, 255.1 250,684.5 46611.2 1,311,055.4 2,176,975.5
(13.61) (12.51) (11.52) (2.14) (60.22) (100)
2010** 304,406.2 279,524.5 270,248.8 45539.8 1,410,970.5 2,310,689.8
(13.17) (12.10) (11.70) (1.97) (61.06) (100)
Rata-rata 13.99 12.59 12.13 2.47 58.82 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011


Keterangan: Angka dalam tanda ( ) menunjukkan pangsa atau kontribusi (%) terhadap PDB
*) Angka sementara; **) Angka sangat sementara

Berdasarkan data tersebut, maka tidak salah jika subsektor agroindustri


disebut mampu menjadi penyangga ekonomi nasional melalui kontribusinya
dalam berbagai indikator ekonomi. Oleh sebab itu, penguatan struktur pada
subsektor ini merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Keterkaitan yang
tinggi mulai dari hulu hingga hilir merupakan salah satu cara untuk memerkuat
sub sektor agroindustri. Sehingga, percepatan dan perluasan pembagunan
ekonomi yang berkesinambungan dapat tercapai.

19
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 3
Membangun Industri Berdaya Saing

3.1. Konsep Industri Berdaya Saing


Salah satu indikator ekonomi yang semakin mendapat perhatian dalam
kancah perekonomian global adalah faktor daya saing. Daya saing ekonomi
semakin menjadi barometer bagi setiap negara, baik untuk menjalin kerjasama
antarnegara maupun antarkawasan ekonomi. Oleh karena itu, upaya
peningkatan daya saing harus menjadi salah satu fokus pemerintah dalam
mengelola perekonomian. Di Indonesia daya saing industri sebagian besar
berkaitan dengan iklim usaha.
Dari sisi teori, daya saing pada umumnya didefinisikan sebagai seberapa
besar pangsa pasar produk suatu negara dalam pasar dunia. Tetapi definisi yang
lebih tepat mengenai daya saing itu adalah produktivitas (Pambudhi, 2007).
Produktivitas akan mendorong mata uang suatu negara menjadi lebih kuat
sekaligus meningkatkan standar hidup masyarakat. Produktivitas tergantung
dari nilai barang-barang dan jasa yang dapat diproduksi secara efisien. Daya
saing berdasarkan definisi ini meliputi kondisi makro ekonomi, politik, dan
lingkungan hukum yang mendukung perekonomian yang maju.

21
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kondisi makro ekonomi yang baik membantu menciptakan kemakmuran,


tetapi perlu dukungan dari kondisi mikro ekonomi suatu negara. Kemakmuran
pada dasarnya dibentuk oleh pondasi mikro ekonomi, kegiatan, dan strategi
perusahaan. Strategi perusahaan ini dipengaruhi oleh kualitas input, kondisi
infrastruktur, institusi, peraturan-peraturan pemerintah, dan kebijakan lainnya
yang mengatur lingkungan bisnis di mana perusahaan tersebut bersaing
(Pambudhi, 2007). Salah satu studi daya saing yang secara kontinyu dilakukan
adalah Global Competitive Index (GCI) oleh World Economic Forum (WEF). Survei
yang dilakukan oleh WEF ini membagi variabel menjadi 12 variabel yang
dikelompokkan menjadi 3, yaitu persyaratan dasar, peningkatan efisiensi, serta
faktor inovasi dan kecanggihan. Pada 2011 survei dilakukan terhadap 142
negara di dunia. Berdasarkan hasil studi ini Indonesia berada diperingkat 46,
turun 2 peringkat dari tahun sebelumnya.
Setidaknya ada 2 catatan yang dapat dikedepankan dari survei daya saing
versi WEF tersebut. Pertama, dari ketiga kelompok variabel yang disusun,
peringkat paling buruk adalah kelompok persyaratan dasar (basic requirement).
Isi dari kelompok persyaratan dasar adalah: institusi (kelembagaan),
infrastruktur, stabilitas ekonomi makro, serta kesehatan dan pendidikan dasar.
Padahal, persyaratan dasar ini merupakan fundamen terpenting bagi penguatan
daya saing ekonomi suatu negara. Kedua, setidaknya dalam beberapa tahun
terakhir Indonesia gagal menjaga momentum perbaikan daya saing ini, sehingga
peringkat kompetisi global mengalami kemunduran. Dua alasan ini rasanya
cukup untuk menjadi dasar bagi pentingnya membangun industri yang berdaya
saing.

3.2. Perlunya Pengembangan Industri Berdaya Saing


3.2.1. Fenomena Deindustrialisasi Dini
Dalam beberapa tahun terakhir, sektor industri Indonesia mengalami
sebuah permasalahan yang dinamakan sebagai deindustrialisasi dini.
Deindustrialisasi sendiri merupakan suatu fenomena di mana peranan sektor
industri terhadap perekonomian suatu negara terus mengalami penurunanan.

22
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Deindustrialisasi sendiri dianggap oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang wajar
dialami oleh suatu negara ketika peranan sektor industri terhadap PDB negara
tersebut sudah mencapai titik yang tinggi. Dalam kasus Amerika Serikat,
deindustrialisasi terjadi ketika peranan sektor industri terhadap PDB sudah
mencapai 35 persen. Sejak mencapai titik tersebut, industri di AS mengalami
gradual decrease hingga mencapai titik di mana kontribusi dari sektor industri
hanya sebesar 11 persen pada 2007. Jumlah tersebut jauh di bawah sektor
keuangan yang kontribusi terhadap GDP mencapai lebih dari 20 persen.
Beberapa negara lain pun mengalami fenomena yang serupa ketika
kontribusi sektor industri terhadap perekonomian negaranya terus mengalami
penurunan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa deindustrialisasi adalah sebuah
keniscayaan yang pasti akan dialami oleh seluruh negara industri di dunia.
Tetapi, deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia saat ini dianggap sebagai suatu
fenomena yang terlalu cepat terjadi.

Gambar 3.1. Pertumbuhan & Kontribusi


Sektor Industri Pengolahan Non-migas

Sumber: Kementerian Perindustrian (2008)

23
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Dari Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan persentase


dukungan sektor industri terhadap perekonomian Indonesia secara bertahap
sejak 2001. Setelah krisis ekonomi 1998 hingga 2001 kontribusi industri
pengolahan nonmigas terhadap PDB meningkat dari 21,52 persen menjadi 25,21
persen. Namun, kontribusi industri pengolahan nonmigas ini kemudian terus
mengalami penurunan hingga mencapai nilai 22,40 persen pada 2007. Hal
tersebut menunjukkan adanya fenomena deindustrialisasi dini pada industri
pengolahan nonmigas di Indonesia.

3.2.2. Industri Berbasis Lokal dan Industri Komponen Impor Tinggi


Sejak deregulasi pada 1980, sektor industri Indonesia meningkat pesat.
Pertumbuhan rata-rata sektor industri manufaktur selama periode 1988 hingga
1993 mencapai 17,53 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi
(Abimanyu dan Xie, et.al., 1995). Pada saat itu, dampak oil boom yang diraup
oleh Indonesia disalurkan untuk mengembangkan sektor industri yang juga
didukung oleh berbagai insentif dari pemerintah untuk membangun infant
industries, salah satunya adalah kebijakan import-substitution. Melalui kebijakan
ini, pemerintah membangun industri berbasis lokal untuk memenuhi kebutuhan
domestik sebagai barang substitusi barang impor.
Pada 1990-an, perkembangan industri dengan teknologi semakin
meningkat seiring dengan semakin meningkatnya FDI pada sektor industri
tersebut. Beberapa industri yang pesat perkembangannya ketika itu adalah
industri produk elektronik, industri kimia dan farmasi, industri otomotif, dan
industri mesin. Dengan kebijakan berorientasi keluar (outward looking), ekspor
produk industri bersangkutan meningkat seiring meningkatnya produksi pada
sektor industri tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ketergantungan
industri dengan tingkat teknologi yang tinggi terhadap barang impor sebagai
inputnya sangat tinggi.
Dhanani (2000) menyatakan bahwa pada industri manufaktur produk
elektronik, proporsi komponen input yang diimpor adalah sebesar 90 persen.
Sementara itu, Modjo (2009) mengatakan bahwa proporsi komponen impor

24
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

pada industri listrik dan industri peralatan lainnya adalah sebesar 32,9 persen
dan 31,2 persen. Tabel 3.1 menunjukkan besarnya proporsi komponen input
pada beberapa industri manufaktur. Dapat dilihat bahwa pada sektor industri
yang bersifat labor intensive dan low technology, seperti industri tekstil dan
pakaian, industri karet dan plastik, serta industri pengolahan minyak dan
batubara, hanya mengandung komponen impor sebesar 14,5 persen, 13,5
persen, 13,4 persen dan 10,9 persen. Sehingga, sektor industri tersebut
tergolong industri berbasis lokal.
Tabel 3.1. Proporsi Komponen Impor pada beberapa Industri Manufaktur

Industri Komponen Impor (persen)

Industri peralatan telekomunikasi 63,7


industri peralatan rumah tangga dan kantor 56,7
industri listrik 32,9
industri peralatan lain-lain 31,2
industri kimia dasar 30,1
industri metal 30,0
industri kendaraan roda empat 28,3
industri mesin dan peralatan berat 26,8
industri produk metal 16,6
industri alat angkut lainnya 14,9
industri tekstil dan pakaian 14,5
industri karet dan plastik 13,5
industri pengolahan minyak dan batu bara 13,4
industri kertas dan produk kertas 10,9

Sumber: Modjo (2009), dalam Proyeksi Ekonomi 2010

Jika merujuk pada data impor barang pada neraca pembayaran, impor
bahan baku atau bahan penolong industri memiliki proporsi yang sangat besar
dibandingkan barang konsumsi, barang modal, dan barang lainnya. Gambar 3.2
menunjukkan impor barang pada transaksi berjalan selama periode 2008 hingga
2009. Terlihat jelas bahwa proporsi terbesar pada barang impor yang masuk ke

25
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Indonesia adalah barang baku atau barang penolong untuk industri, yaitu
berkisar 70 persen hingga 75 persen. Kemudian disusul oleh barang modal untuk
industri, yaitu 12,18 persen pada 2008, 18,23 persen (2009), dan 16,31 persen
(2010). Sedangkan proporsi barang konsumsi hanya berkisar 12 persen pada
2010. Hal ini menegaskan bahwa industri nasional memiliki ketergantungan
terhadap impor bahan baku atau bahan penolong.

Gambar 3.2. Proporsi Impor Barang menurut Kategori Ekonomi

Sumber: SEKI BI, Diolah

Tidak hanya input komponen, namun juga impor barang modal, seperti
peralatan dan mesin, juga memiliki proporsi yang besar pada sektor industri
dengan teknologi tinggi. Pasalnya, industri dalam negeri belum mampu
memproduksi komponen dan barang modal yang diperlukan industri
manufaktur dengan teknologi tinggi, seperti industri produk elektronik dan
industri otomotif. Sehingga, tingginya ketergantungan industri nasional,
terutama pada industri teknologi tinggi, terhadap impor input bahan mentah,
input antara, dan komponen, serta barang modal menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan sektor industri Indonesia kurang kompetitif.
Sementara itu, Industri otomotif merupakan salah satu industri yang
membutuhkan impor bahan baku/bahan penolong dan barang modal paling

26
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

besar di antara sektor industri nonmigas. Tabel 3.2 menunjukkan nilai impor
nonmigas untuk industri otomotif memegang proporsi tertinggi, yatu 42 persen
impor industri digunakan dalam proses produksi sektor tersebut. Sedangkan
sektor industri elektronika dan industri kimia dasar juga memiliki proporsi besar
dalam mengimpor bahan baku atau penolong nonmigas, yaitu masing-masing
sebesar 14 persen dan 11,31 persen.

Tabel 3.2. Nilai Impor 12 Besar Industri Nonmigas (Juta US$)

Peran Jan - Mei Perub


NO URAIAN 2009 2010
(%) 2010 2011 (%)

12 BESAR IMPOR INDUSTRI NONMIGAS 66,803.5 93,173.6 92.15 34,769.4 44,411.8 27.73

1 Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif 31,683.8 43,218.6 42.74 16,037.7 18,952.2 18.17
2 Elektronika 10,496.7 14,176.2 14.02 5,089.3 6,216.4 22.15
3 Kimia Dasar 8,095.1 11,431.5 11.31 4,458.7 6,346.5 42.34
4 Tekstil 3,396.9 5,031.2 4.98 1,761.9 2,936.3 66.65
5 Makanan dan Minuman 2,810.6 4,514.2 4.46 1,767.7 2,826.0 59.86
6 Alat-alat Listrik 2,105.8 3,142.8 3.11 1,235.8 1,363.1 10.3
7 Pulp dan Kertas 1,883.2 2,731.8 2.7 1,016.0 1,314.2 29.35
8 Barang-barang Kimia lainnya 1,661.9 2,199.3 2.18 811.6 1,040.4 28.18
9 Makanan Ternak 1,679.1 1,871.6 1.85 733.4 826.5 12.7
10 Pengolahan Tembaga, Timah dll. 1,027.1 1,822.1 1.8 703.7 894.4 27.09
11 Plastik 1,034.0 1,525.1 1.51 537.9 763.2 41.88
12 Pupuk 929.1 1,509.2 1.49 615.5 932.5 51.5
Industri Lainnya 5,594.5 7,941.8 7.85 2,950.9 3,890.4 31.84

Total Industri Nonmigas 72,398.10 101,115.40 100 37,720.30 48,302.10 28.05

Sumber: BPS, diolah Kemenperin

Ironisnya, data pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa sektor industri yang
bersifat labor intensive dan berbasis lokal seperti industri tekstil, industri
makanan dan minuman, industri pulp dan kertas, industri makanan ternak, dan
industri pengolahan tembaga dan timah ternyata juga tidak lepas dari impor
bahan baku dan penolong, walaupun proporsinya kecil dibandingkan industri

27
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

yang bersifat high technology. Menurut Dhanani (2000), industri berbasis lokal,
seperti industri makanan, industri pulp dan kertas, menjadi industri andalan dan
berkembang cepat. Tetapi, perkembangan industri berbasis lokal tidak disertai
dengan pengembangan medium dan high technology dalam proses produksinya.
Sehingga, tidak heran bahwa industri tersebut masih membutuhkan bahan baku
impor.

3.2.3. Urgensi Pencapaian Target Rencana Strategis 2010-2014


Studi Dani Rodrik (2006) dari Harvard University tentang pengembangan
industrialisasi menunjukkan bahwa negara yang pertumbuhan ekonominya
tinggi adalah negara yang memiliki sektor industri pengolahan/manufaktur yang
aktif dengan korelasi kuat antara tingkat kecanggihan industri dengan
pendapatan per kapita yang tinggi. Sektor industri yang berkembang tidak lagi
tergantung pada bahan baku tertentu karena makin terbukanya perdagangan
internasional. Perekonomian yang maju membutuhkan diversifikasi dan
industrialisasi akan mendorong forward-linkage serta backward-linkage di
berbagai sektor penyedia faktor input dan pengguna output industri.
Ekonom Korea, Jee-Hyeong Park (2010), menjelaskan pertumbuhan
ekonomi tinggi yang dialami negara-negara Asia Timur dengan menarik
hubungan kuat antara industrialisasi dan peningkatan competitiveness dalam
studinya berjudul Trade Induce Industrialization and Economic Growth. Negara
berkembang dapat mengambil strategi untuk mengekspor produk yang labor
intensive ke negara inudstri maju dan menggunakan hasil penjualan untuk
membeli mesin dan peralatan demi membangun industri capital intensive secara
bertahap. Perdagangan akan memacu industrialisasi dan menunda diminishing
return sampai tercapainya sektor industri yang matang.
Sudah menjadi kesepahaman umum bahwa sektor industri memiliki
peranan dan fungsi strategis dalam perekonomian suatu negara. Konsensus ini
pun diamini oleh Arthur Lewis pada 1954 melalui risetnya yang menjabarkan
bahwa penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian memiliki keterbatasan
ekspansi serta nilai tambah yang rendah dibandingkan sektor industri. Pemikiran

28
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

ini menjadi pencetus dan pondasi dari cabang ilmu ekonomi pembangunan yang
fokus pada transformasi ekonomi negara berkembang menjadi negara maju.
Sayangnya, transformasi untuk menjadi negara industri di Indonesia
bukan tanpa masalah. Persoalan tarik ulur kepentingan dalam mengelola
sumber daya yang tersedia, untuk kebutuhan domestik atau ekspor; daya saing
di pasar internasional yang relatif lemah; variabilitas dan intensitas produk dan
negara tujuan ekspor yang minim; impor barang konsumsi dan bahan baku
penolong yang meningkat drastis; serta terlalu terkonsentrasinya industrialisasi
di Pulau Jawa merupakan beberapa masalah serius dalam melakukan
transformasi menjadi negara industri.
Berbagai permasalahan tersebut menjadi pendorong diperlukannya
percepatan dan perluasan industrialisasi di Indonesia. Lebih dari itu, percepatan
dan perluasan industrialisasi juga penting untuk mencapai target pertumbuhan
industri sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2010-2014
serta mencegah berlanjutnya deindustrialisasi dini. Percepatan dimaknai sebagai
upaya untuk memperpendek rentang waktu target pencapaian, sementara
perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri baru di luar Jawa,
terutama mendekatkan ke sumber bahan baku.

3.2.4. Peranan Industri dalam Penyerapan Tenaga Kerja


Selain sebagai sektor yang menjadi penyumbang PDB, sektor Industri juga
memiliki peranan yang lain dalam perekonomian suatu negara, yaitu sebagai
sektor yang mampu menyerap tenaga kerja di negara tersebut. Pentingnya
industri dalam hal penyerapan tenaga kerja tidak hanya terletak pada
kapasitasnya dalam melakukan penyerapan tenaga kerja. Tetapi lebih dari itu,
perlu diingat bahwa nilai tambah dan pendapatan di sektor industri umumnya
lebih tinggi dari kedua sektor tersebut. Hal tersebut nyata terlihat pada Tabel
3.3 dengan membagi output tiap sektor dengan jumlah tenaga kerja di sektor
tersebut. Dari Tabel 3.3, dapat dilihat bahwa industri pengolahan memiliki nilai
tambah sebesar 11,4 juta per orang. Nilai tersebut adalah yang terbesar kedua
setelah sektor keuangan dan real estate yang memiliki nilai tambah 28,3 juta per
orang.

29
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.3. Nilai Tambah Pekerja, 2011


Lapangan Usaha Nilai Tambah
(juta rupiah per orang)
Pertanian 1,9
Industri Pengolahan 11,4
Konstruksi 7,1
Perdagangan 4,7
Pengangkutan dan Komunikasi 10,5
Keuangan & Real estate 28,3
Jasa 3,4
Lainnya 31,7
Sumber : BPS, 2011

Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor industri di Indonesia belum


mampu melakukan penyerapan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Selama
kurun waktu 2005 hingga 2011, penyerapan tenaga kerja masih didominasi
sektor pertanian sebesar 40,8 persen diikuti sektor perdagangan, hotel dan
restoran 20,4 persen, jasa sosial 12,7 persen, dan sektor industri pengolahan
hanya berkontribusi sebesar 12,5 persen. Kontribusi sektor industri dalam
penyerapan tenaga kerja di Indonesia memang tidak terlalu besar sejak 1996, di
mana persentase penyerapannya berada pada kisaran 12-13 persen.
Gambar 3.3. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor

Sumber: Mudrajad Kuncoro (2011)

30
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Dalam periode dua tahun terakhir analisa pada sisi penyerapan tenaga
kerja menunjukkan bahwa sektor industri menyerap tambahan sekitar 660 ribu
tenaga kerja. Kondisi ini menempatkan industri sebagai nomor tiga dalam
menyerap tenaga kerja di bawah jasa dan perdagangan.

Tabel 3.4. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral


Sektor 2010 2011 Share (persen)
Feb Ags Feb Ags 2010 2011
Feb Ags Feb Ags
Pertanian 42,8 41,5 42,5 39,3 39,9 38,3 38,7 35,8
Industri Pengolahan 13,1 13,8 13,7 14,5 12,2 12,8 12,2 13,2
Konstruksi 4,8 5,6 5,6 6,3 4,5 5,2 5,0 5,7
Perdagangan 22,2 22,5 23,2 23,4 20,7 20,8 20,7 21,3
Transportasi, Pergudangan & 5,8 5,6 5,6 5,1 5,4 5,2 5,0 4,6
Komunikasi
Keuangan 1,6 1,7 2,1 2,6 1,5 1,6 1,8 2,4
Jasa Kemasyarakatan 15,6 16,0 17,0 16,7 14,5 14,8 15,2 15,2
Lainnya 1,4 1,5 1,6 1,6 1,3 1,4 1,4 1,5
Total 107,4 108,2 111,3 109,7 - - - -

Sumber: Diolah dari BPS, 2011


Keterangan: Dalam juta orang

3.3. Potensi Agroindustri


3.3.1. Dukungan Sumber Daya Alam
Sumber daya alam yang terdiri dari sumber daya pertanian dalam arti
luas di Indonesia merupakan salah satu keunggulan yang secara sadar telah
dijadikan salah satu pilar pembangunan dalam bentuk agroindustri, baik pada
era Orde Baru maupun Reformasi. Dalam GBHN 1999-2004 pun ditegaskan
bahwa salah satu strategi pembagunan industri adalah industri yang berbasis
sumber daya lokal. Salah satu di antaranya adalah agroindustri (Anonymous,
1999).

31
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Sejak era reformasi, salah satu isu yang mengemuka dalam


pembangunan ekonomi nasional adalah perlunya shifting paradigma agar
pembangunan lebih berbasis pada pertanian dalam arti luas sehingga industri
yang seharusnya dikembangkan adalah industri manufaktur berbasis pertanian
(agroindustri). Alasan pemilihan mengembangkan agroindustri karena Indonesia
merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam yang menyebar secara
rata di seluruh penjuru tanah air.
Hasil komoditas pangan dan perkebunan yang melimpah di Indonesia
dapat dijadikan modal yang sangat besar untuk membangun agroindustri yang
kuat dan berdaya saing tinggi di dunia. Berdasarkan data yang terhimpun dalam
Organisasi Pangan Dunia (FAO), Indonesia merupakan salah satu penghasil
komoditas pangan dan perkebunan terbanyak di dunia. Tercatat sedikitnya 50
komoditas pangan dan perkebunan yang produksinya masuk dalam ranking 10
besar di dunia (Tabel 3.5).
Kekayaan alam yang melimpah telah menempatkan Indonesia menjadi
sebuah negara yang memiliki banyak modal dan peluang untuk
mengembangkan industri berbasis pertanian yang kuat dan berdaya saing.
Namun kenyataannya saat ini kekayaan alam yang kita miliki belum
dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pembangunan ekonomi
nasional yang kuat dan berkelanjutan.
Pengembangan agroindustri diyakini akan berdampak pada penciptaan
kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus menciptakan pemerataan
pembangunan. Diakui atau tidak, ekonomi Indonesia sekarang mempunyai
masalah yang krusial dalam bidang pengangguran dan kemiskinan. Titik lemah
perekonomian kita adalah pergerakan sektor riil tidak optimal sehingga
kesempatan kerja terbatas. Padahal sebagian besar penduduk miskin berada
pada sektor ini, khususnya pertanian dalam arti luas. Oleh karena itu, diperlukan
keberanian pemerintah melakukan terobosan strategi menjadikan agroindustri
sebagai lokomotif ekonomi untuk menarik sektor lainnya.

32
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.5. Ranking Komoditas Pangan Indonesia di Dunia, 2009


Ranking Komoditi Ranking Komoditi
1 Serat Kapuk 4 Alpukat
1 Kayu manis (canella) 4 Mangga, Jambu, mangosteens,
1 Bebih kapuk di Shell 4 Kentang manis
1 Palm kernels 4 Kopi hijau
1 Kelapa 4 Nanas
1 Vanilla 5 Bayam
1 Palm oil 5 Pala, fuli dan kapulaga
1 Daun bawang dan sejenisnya 5 Buah-buahan segar
1 Cengkeh 5 Kacang pinang
2 Lada (Piper spp.) 6 Pisang
2 Kacang Hijau 6 Terong
2 Kacang-kacangan 6 Kubis dan brassica lainnya
2 Biji Kakao 6 Kacang mete
2 Karet Alam 6 Tembakau, unmanufactured
3 Jahe 7 Teh
3 Pepaya 7 Daging ayam asli
3 Singkong 8 kacang tanah
3 Tanaman gula (Sugar crops) 8 Jagung hijau
3 Beras, Padi 8 Telur ayam
3 Akar dan umbi, nes 9 Daging kamibing asli
3 Other bird eggs,in shell 10 Jeruk
4 Jagung 10 kedelai
4 Buah segar tropical 10 Tebu
4 Manila Fibre (Abaca) 10 Ketimun dan ketimun acar
4 Cabai dan paprika hijau 10 Serat lainnya

Sumber: FAO, 2011

3.3.2. Daya Saing Komparatif Agroindustri Indonesia di Pasar Global


(Pendekatan Revealed Comparative Advantage)
Seperti yang telah diketahui, keunggulan komparatif perekonomian
Indonesia adalah besarnya potensi sumber daya alam terbarukan (renewable

33
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

resources) dan pengalaman agroindustri sebagai penyelamat ekonomi kita


selama krisis. Hasil kajian akhir 2007 IPB, menunjukkan prospek agroindustri
2008 cukup cerah mengingat adanya tren kenaikan harga dan peluang pasar
global sangat besar.
Salah satu pendekatan untuk mengukur daya saing komparatif suatu
komoditas adalah dengan menggunakan perhitungan RCA. Tabel 3.6
menunjukkan rekapitulasi nilai RCA komoditas-komoditas pada subsektor
agroindustri Indonesia pada 2010. Berdasarkan nilai RCA tersebut, terlihat
Indonesia masih mengandalkan resources abundance dan ketergantungan pada
sumber daya alam, di mana nilai RCA-nya yang lebih besar dari satu (RCA > 1).
Komoditas yang termasuk kategori hasil pertanian dalam arti luas,
pertambangan dan penggalian secara umum memiliki nilai RCA yang lebih dari
satu (RCA > 1). Komoditas tersebut antara lain perikanan, sayuran, kopi, teh,
cengkeh, biji kakao, tembakau, minyak nabati (CPO), karet, tembaga, nikel,
timah, minyak mentah (minyak bumi), kayu, pulp dan lain-lain. Nilai RCA
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran.
Komoditas yang tergolong hasil produksi industri manufaktur juga ada
yang memiliki daya saing tinggi (RCA > 1). Produk-produk tersebut pada
umumnya merupakan turunan atau produk olahan dari hasil-hasil pertanian.
Produk tersebut antara lain sabun, pelumas, lilin (produk turunan CPO),
chemical products, barang dari kayu, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, barang-
barang furnitur, peralatan musikal dan lain-lain.
Nilai RCA yang mencerminkan daya saing komparatif komoditas
Indonesia di pasar global sebenarnya dipengaruhi oleh peranan ekspor
Indonesia terhadap suatu komoditas tertentu di dunia. Semakin besar pangsa
ekspor Indonesia di dunia, maka semakin baik daya saing komparatifnya di
dunia. Salah satu komoditas yang mempunyai pangsa ekspor besar di dunia
adalah lemak hewan, minyak nabati dan produk turunannya, termasuk di
dalamnya CPO (HS 15), yakni sebesar 20,11 persen dari total dunia dan
komoditas timah (HS 80) sebesar 28,11 persen dari total ekspor timah dunia.

34
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.6. Daya Saing Komparatif Komoditas Indonesia Tahun 2010


Indonesia
Kode Bagian dari
Jenis Komoditas Bagian dari
HS Ekspor Nilai RCA
Total Ekspor (%)
Dunia (%)

'11 Produk penggilingan, malt, pati, inulin, gluten gandum 0.12 0.33 0.32
'12 Minyak biji, buah-buahan oleagic, gandum, biji, buah, dll 0.03 0.28 0.27
'13 Lac, gums, resins, vegetable saps and extracts nes 0.03 0.77 0.74
'14 Vegetable plaiting materials, vegetable products nes 10.34 5.81 5.54
'15 Lemak Hewan, minyak nabati dan produk turunannya 0.35 20.11 19.15
'16 Meat, fish and seafood food preparations nes 0.11 1.46 1.39
'17 Sugars and sugar confectionery 1.04 0.40 0.38
'18 Kakao dan olahannya 0.28 4.31 4.10
'19 Cereal, flour, starch, milk preparations and products 0.12 0.93 0.88
'20 Sayuran, buah, kacang, dan olahan makanannya 0.24 0.40 0.38
'21 Miscellaneous edible preparations 0.05 0.80 0.76
'22 Beverages, spirits and vinegar 0.22 0.08 0.08
'23 Residues, wastes of food industry, animal fodder 0.43 0.61 0.58
'24 Tobacco and manufactured tobacco substitutes 0.10 1.94 1.85
'33 Essential oils, perfumes, cosmetics, toileteries 0.41 0.53 0.50
'34 Soaps, lubricants, waxes, candles, modelling pastes 0.03 1.38 1.31
'39 Plastics and articles thereof 5.94 0.45 0.42
'40 Rubber and articles thereof 0.08 5.58 5.32
'41 Raw hides and skins (other than furskins) and leather 0.16 0.41 0.39
'42 Articles of leather, animal gut, harness, travel goods 0.00 0.47 0.45
'43 Kulit berbulu dan bulu tiruan, serta olahannya 1.86 0.01 0.01
'44 Wood and articles of wood, wood charcoal 0.00 2.73 2.60
'46 Manufaktur dari bahan anyaman 0.93 2.02 1.92
'47 Pulp of wood, fibrous cellulosic material, waste etc 2.65 3.34 3.18
'48 Paper & paperboard, articles of pulp, paper and board 0.03 2.46 2.34
'49 Printed books, newspapers, pictures etc 0.00 0.12 0.11
'50 Silk 0.00 0.00 0.00
'51 Wool, animal hair, horsehair yarn and fabric thereof 0.48 0.04 0.03
'52 Cotton 0.01 1.29 1.23
'53 Vegetable textile fibres nes, paper yarn, woven fabric 0.78 0.27 0.25
'54 Manmade filaments 1.32 3.00 2.85
'55 Manmade staple fibres 0.07 6.14 5.84
'56 Wadding, felt, nonwovens, yarns, twine, cordage, etc 0.04 0.58 0.56
'57 Carpets and other textile floor coverings 0.03 0.40 0.38
'58 Special woven or tufted fabric, lace, tapestry etc 0.08 0.41 0.39
'59 Impregnated, coated or laminated textile fabric 0.06 0.56 0.54
'60 Knitted or crocheted fabric 1.83 0.35 0.34
'61 Articles of apparel, accessories, knit or crochet 2.29 1.58 1.50
'62 Articles of apparel, accessories, not knit or crochet 0.14 2.12 2.02
'63 Other made textile articles, sets, worn clothing etc 1.59 0.45 0.42
'64 Footwear, gaiters and the like, parts thereof 0.02 2.52 2.40
'94 Furniture, lighting, signs, prefabricated buildings 0.23 1.20 1.14

Sumber: International Trade Statistic, 2011 (diolah)

35
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Daya saing ekspor komoditas agroindustri harus lebih ditingkatkan.


Peningkatan daya saing ekspor komoditas agroindustri mutlak harus dilakukan
untuk melakukan penetrasi di pasar internasional. Strategi ini dapat ditempuh
dengan pemetaan beberapa komoditas unggulan terlebih dulu, kemudian
menyiapkan sejumlah strategi fungsional dan operasional pendukungnya.
Dengan demikian, kebijakan yang dibuat pemerintah diharapkan lebih fokus,
sistematis, dan tepat sasaran.

3.3.3. Perkembangan Permintaan Produk Agroindustri Indonesia


Permintaan terhadap produk-produk agroindustri cenderung mengalami
peningkatan. Hal ini bisa dipahami karena produk agroindustri merupakan
bahan pangan dan sumber nutrisi yang dibutuhkan bagi manusia. Kebutuhan
hasil-hasil agroindustri selalu meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk di dunia.
Salah satu indikator yang menunjukkan terjadi peningkatan permintaan
produk agroindustri adalah terjadinya peningkatan produksi, peningkatan
volume serta nilai ekspor dan impor. Tabel 3.7 menunjukkan nilai produksi pada
subsektor agroindustri di Indonesia selama 2005-2010. Terlihat bahwa nilai
produksi subsektor ini selalu meningkat setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan
produksi selama 2005-2010 sebesar 27,98 persen, di mana peningkatan terbesar
terjadi pada 2010.
Tabel 3.7. Nilai Produksi Subsektor Agroindustri Indonesia

Tahun Produksi (Rp Juta) Pertumbuhan


2005 411,019,038
2006 485,402,825 18.10
2007 620,632,108 27.86
2008 787,789,274 26.93
2009* 822,730,123 4.44
2010** 1,337,482,511 62.57
Rata-rata 744,175,980 27.98
*) Angka sementara **) Angka Sangat Sementara
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

36
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Hal yang perlu digarisbawahi adalah subsektor ini ternyata mampu


bertahan bahkan terus meningkat disaat sedang terjadi krisis global sekitar
2008. Semakin meningkatnya produksi subsektor ini, menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan permintaan terhadap produk-produk agroindustri di dalam
dan luar negeri.
Indikator lain yang menunjukkan terjadinya peningkatan permintaan
produk agroindustri adalah ekspor dan impor. Tabel 3.8 menunjukkan nilai
ekspor dan impor subsektor agroindustri selama 2007-2011. Meskipun sempat
terjadi penurunan ekspor dan impor pada 2009, namun secara umum ekspor
dan impor subsektor ini mengalami peningkatan. Rata-rata peningkatan ekspor
sebesar 7,51 persen dan rata-rata peningkatan impor sebesar 8,54 persen
selama kurun waktu 2007-2011. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
permintaan produk agroindustri terjadi tidak hanya di pasar domestik namun
juga di pasar internasional.
Tabel 3.8. Nilai Ekspor dan Impor Subsektor Agroindustri Indonesia
Ekspor Impor
Tahun
Nilai (US$) Pertumbuhan Nilai (US$) Pertumbuhan
2007 20,572,779,707 5,844,470,959
2008 25,157,161,376 22.28 7,488,373,976 28.13
2009 18,293,004,619 -27.29 6,618,601,151 -11.61
2010 26,818,491,293 46.61 8,790,198,909 32.81
2011* 23,719,921,763 -11.55 7,456,489,961 -15.17
Rata-rata 23,497,144,763 7.51 7,588,415,999 8.54

*) Hingga Agustus 2011


Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

3.3.4. Peningkatan Keunggulan Subsektor Agroindustri


Produk agroindustri memiliki keunggulan yang berbeda dengan sektor
lainnya sehingga mampu memberikan sumbangan yang sangat nyata bagi
pembangunan di kebanyakan negara berkembang. Hal tersebut dapat terjadi
karena empat alasan, yaitu (Austin, 1992):

37
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Pertama, agroindustri hasil pertanian adalah pintu untuk sektor


pertanian. Agroindustri melakukan transformasi bahan mentah dari pertanian,
termasuk transformasi produk subsisten menjadi produk akhir untuk konsumen.
Ini berarti bahwa suatu negara tidak dapat sepenuhnya menggunakan sumber
daya agronomis tanpa pengembangan agroindustri. Disatu sisi, permintaan
terhadap jasa pengolahan akan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi
pertanian. Di sisi lain, agroindustri tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga
menimbulkan permintaan ke belakang, yaitu peningkatan permintaan jumlah
dan ragam produksi pertanian. Akibat dari permintaan ke belakang ini adalah:
(a) petani terdorong untuk mengadopsi teknologi baru agar produktivitas
meningkat, (b) akibat selanjutnya produksi pertanian dan pendapatan petani
meningkat, dan (c) memperluas pengembangan prasarana (jalan, listrik, dan
lain-lain).
Kedua, agroindustri hasil pertanian sebagai dasar sektor manufaktur.
Transformasi penting lainnya dalam agroindustri kemudian terjadi karena
permintaan terhadap makanan olahan semakin beragam seiring dengan
pendapatan masyarakat dan urbanisasi yang meningkat. Indikator penting
lainnya tentang pentingnya agroindustri dalam sektor manufaktur adalah
kemampuan menciptakan kesempatan kerja. Di Amerika Serikat, misalnya,
sementara usahatani hanya melibatkan 2 persen dari angkatan kerja,
agroindustri melibatkan 27 persen dari angkatan kerja.
Keunggulan subsektor agroindustri dapat dilihat dari kemampuannya
dalam menciptakan nilai tambah. Tabel 3.9 menunjukkan nilai tambah subsektor
agroindustri selama 2005-2010. Nilai tambah subsektor ini selalu meningkat
kecuali pada 2008 (data 2010 masih angka sementara). Peningkatan tertinggi
terjadi pada 2006, yakni sebesar 29,74 persen. Meskipun 2008 sempat
mengalami penurunan karena pengaruh guncangan eksternal namun pada 2009
nilai tambah subsektor ini kembali meningkat. Dengan meningkatnya nilai
tambah, maka dapat dikatakan telah terjadi peningkatan keunggulan pada
subsektor agroindustri.

38
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.9. Nilai Tambah Subsektor Agroindustri


Nilai
Tahun
(Rp Juta) Pertumbuhan (%)
2005 396,437,988 -
2006 514,342,729 29.74
2007 598,399,645 16.34
2008 264,842,230 -55.74
2009* 323,619,699 22.19
2010** 162,496,793 -49.79
Rata-rata 376,689,847 -7.45

*) Angka Sementara
**) Angka Sangat Sementara
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Lebih lanjut, untuk mengukur keunggulan (komparatif) komoditas


agroindustri di pasar dunia dapat digunakan nilai RCA. Nilai RCA yang
ditampilkan dalam Tabel 3.10 selama 3 tahun terakhir menunjukkan pergerakan
keunggulan komoditas Indonesia di pasar dunia. Secara khusus, komoditas pada
subsektor agroindustri memperlihatkan keunggulan yang semakin menurun di
pasar dunia (RCA yang menurun). Komoditas yang mengalami penurunan
keunggulan tersebut antara lain minyak hewani dan nabati, termasuk di
dalamnya CPO (HS 15), daging dan produk olahan ikan (HS 16), biji kakao dan
olahannya (HS 18), sabun, pelumas, lilin atau produk turunan CPO (HS 34), kayu
dan barang dari kayu (HS 44), Furniture, lighting, signs, prefabricated buildings,
termasuk di dalamnya industri rotan (HS 94) dan lain-lain. Selain komoditas dari
pertanian dan agroindustri yang mengalami penurunan, komoditas pada sektor
pertambangan dan penggalian juga mengalami penurunan, seperti tembaga dan
timah.
Menurunnya nilai RCA, khususnya selama 3 tahun terakhir, menunjukkan
bahwa Indonesia telah kehilangan pangsa pasar di dunia. Hal itu mengakibatkan

39
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

keunggulan komparatif Indonesia di pasar dunia mengalami penurunan dan


pangsanya telah direbut oleh negara pesaing. Indonesia harus segera berbenah
jika tidak ingin terus mengalami penurunan keunggulan. Strategi yang
berorientasi pada peningkatan daya saing ekspor mutlak diperlukan agar dapat
bersaing dalam perdagangan dunia.
Secara umum, strategi pemantapan ekspor harus mengoptimalkan tiga
faktor utama penentu daya saing, yaitu mutu (quality), biaya (cost) dan
penyediaan (delivery). Selain itu juga harus memerhatikan karakteristik
komoditas agroindustri, yaitu mudah rusak (perishable), dan bersifat musiman.
Dengan demikian, strategi pemantapan daya saing ekspor yang dapat ditempuh
antara lain modernisasi peralatan dan teknologi, peningkatan kapasitas SDM,
diversifikasi produk-produk olahan, penguatan kelembagaan, peningkatan mutu,
stabilisasi harga produk, dan pengembangan jejaring.

40
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 3.10. Perkembangan Nilai RCA Produk Agroindustri di Indonesia


RCA RCA
Kode HS Jenis Komoditas Kode HS Jenis Komoditas
2008 2009 2010 2008 2009 2010
'11 Milling products, malt, starches, inulin, wheat gluten 0.39 0.26 0.32 '44 Wood and articles of wood, wood charcoal 2.84 2.71 2.60
'12 Oil seed, oleagic fruits, grain, seed, fruit, etc, nes 0.28 0.24 0.27 '46 Manufactures of plaiting material, basketwork, etc. 2.32 2.04 1.92
'13 Lac, gums, resins, vegetable saps and extracts nes 1.13 0.87 0.74 '47 Pulp of wood, fibrous cellulosic material, waste etc 4.08 2.97 3.18
'14 Vegetable plaiting materials, vegetable products nes 8.02 7.75 5.54 '48 Paper & paperboard, articles of pulp, paper and board 2.45 2.33 2.34
'15 Animal,vegetable fats and oils, cleavage products, etc 20.28 19.59 19.15 '49 Printed books, newspapers, pictures etc 0.14 0.11 0.11
'16 Meat, fish and seafood food preparations nes 1.53 1.64 1.39 '50 Silk 0.04 0.01 0.00
'17 Sugars and sugar confectionery 0.53 0.47 0.38 '51 Wool, animal hair, horsehair yarn and fabric thereof 0.05 0.04 0.03
'18 Cocoa and cocoa preparations 4.51 4.34 4.10 '52 Cotton 1.46 1.32 1.23
'19 Cereal, flour, starch, milk preparations and products 0.72 0.73 0.88 '53 Vegetable textile fibres nes, paper yarn, woven fabric 0.12 0.23 0.25
'20 Vegetable, fruit, nut, etc food preparations 0.62 0.44 0.38 '54 Manmade filaments 3.21 3.20 2.85
'21 Miscellaneous edible preparations 0.58 0.58 0.76 '55 Manmade staple fibres 5.82 5.77 5.84
'22 Beverages, spirits and vinegar 0.08 0.07 0.08 '56 Wadding, felt, nonwovens, yarns, twine, cordage, etc 0.72 0.65 0.56
'23 Residues, wastes of food industry, animal fodder 0.95 0.51 0.58 '57 Carpets and other textile floor coverings 0.39 0.38 0.38
'24 Tobacco and manufactured tobacco substitutes 1.74 1.84 1.85 '58 Special woven or tufted fabric, lace, tapestry etc 0.45 0.45 0.39
'33 Essential oils, perfumes, cosmetics, toileteries 0.50 0.46 0.50 '59 Impregnated, coated or laminated textile fabric 0.73 0.64 0.54
'34 Soaps, lubricants, waxes, candles, modelling pastes 1.49 1.44 1.31 '60 Knitted or crocheted fabric 0.37 0.37 0.34
'39 Plastics and articles thereof 0.52 0.48 0.42 '61 Articles of apparel, accessories, knit or crochet 1.70 1.67 1.50
'40 Rubber and articles thereof 5.68 4.18 5.32 '62 Articles of apparel, accessories, not knit or crochet 2.17 2.11 2.02
'41 Raw hides and skins (other than furskins) and leather 0.71 0.61 0.39 '63 Other made textile articles, sets, worn clothing etc 0.56 0.45 0.42
'42 Articles of leather, animal gut, harness, travel goods 0.42 0.44 0.45 '64 Footwear, gaiters and the like, parts thereof 2.39 2.24 2.40
'43 Furskins and artificial fur, manufactures thereof 0.03 0.02 0.01 '94 Furniture, lighting, signs, prefabricated buildings 1.32 1.24 1.14

Sumber: International Trade Center 2011, diolah

41
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 4
Komoditas Unggulan Agroindustri

Agroindustri merupakan subsektor pertanian yang diharapkan dapat


berperan penting dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi,
penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan
pembangunan wilayah, terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini bisa terjadi
mengingat jika ditinjau dari cakupan komoditasnya, terdapat ratusan jenis
tanaman tahunan dan tanaman musiman yang dapat tumbuh subur di
Indonesia. Dilihat dari hasil produksinya, komoditas agro khususnya perkebunan
merupakan bahan baku industri atau ekspor, sehingga pada dasarnya telah
melekat kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan
subsektor lainnya.
Di samping itu, jika diamati dari sisi pengusahaannya, sekitar 85 persen
komoditas agro merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai
daerah (Kementerian Pertanian, 2007). Dengan demikian, pembangunan
industri agro akan berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Berbagai alasan tersebut menjadi dasar bagi pentingnya
pengembangan agroindustri ke depan, di mana dalam upaya percepatan dan
perluasan industrialisasi di Indonesia, aspek hilirisasi perlu diutamakan pada
beberapa komoditas unggulan.

43
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Dalam rangka percepatan dan perluasan industri agro harus ada skala
prioritas, sehingga memfokuskan pada beberapa komoditas unggulan
merupakan satu langkah konkret. Hal ini dilakukan agar agroindustri yang
dikembangkan benar-benar menjadi industri yang berdaya saing, baik di pasar
domestik maupun di tingkat internasional.
Adapun kriteria yang dijadikan acuan dalam menentukan agroindustri
unggulan utamanya adalah dari sisi daya saing berdasarkan RCA (Revealed
Comparative Advantage). Berdasarkan indikator RCA pada 2010 kelapa sawit
merupakan komoditas berdaya saing dengan nilai RCA sebesar 19,15; demikian
pula nilai RCA karet 5,32; kakao 4,10; rotan 5,54; serta rumput laut 0,27.
Komoditas dengan nilai RCA > 1 dinilai memiliki daya saing dalam pasar
internasional. Rumput laut meskipun bernilai RCA relatif kecil, tetapi penting
dikembangkan mengingat potensinya yang besar dan sejauh ini belum banyak
diolah.
Di samping melihat indikator daya saing, beberapa indikator lain yang
digunakan untuk menetapkan komoditas unggulan antara lain adalah: (1)
Potensi produksi, (2) Market share, (3) Nilai tambah bisnis, (4) Nilai tambah
teknis, (5) keterkaitan ke depan dan ke belakang, (6) Potensi permintaan, dan (7)
Lokasi penyebaran. Berdasarkan indikator tersebut, komoditas agroindustri yang
dijadikan unggulan adalah kelapa sawit, karet, kakao, rotan, dan rumput laut.

4.1. Kelapa Sawit


Kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) merupakan salah satu tanaman
perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan.
Hilirisasi kelapa sawit antara lain memberi manfaat dalam peningkatan
pendapatan petani dan masyarakat, menciptakan nilai tambah di dalam negeri,
penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi,
dan untuk ekspor sebagai penghasil devisa. Di luar itu, dari sisi upaya pelestarian
lingkungan hidup, tanaman kelapa sawit yang merupakan tanaman tahunan
berbentuk pohon (tree crops) dapat berperan dalam penyerapan efek gas rumah

44
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

kaca, seperti CO2, dan mampu menghasilkan O2 atau jasa lingkungan lainnya,
seperti konservasi biodiversity atau eko-wisata (Kementan, 2007). Tanaman
kelapa sawit juga menjadi sumber pangan dan gizi utama penduduk dalam
negeri, sehingga keberadaannya berpengaruh sangat nyata dalam
perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

4.1.1. Potensi Produksi


Produksi CPO Indonesia tumbuh signifikan rata-rata 13,4 persen selama
satu dasawarsa terakhir, yang didukung oleh pertumbuhan areal tanam rata-
rata 6,7 persen per tahun (Tabel 4.2). Pangsa produksi CPO Indonesia di pasar
internasional senantiasa menunjukkan tren peningkatan. Total produksi Minyak
Sawit (CPO dan CPKO) dunia pada 2010 sebesar 53,2 juta ton, di mana Indonesia
dan Malaysia menguasai 80 persen produksi minyak sawit dunia. Pangsa CPO
Indonesia sebesar 43,6 persen sedangkan Malaysia sebesar 36,2 persen, sisanya
sebesar 20,2 persen merupakan share sejumlah negara-negara lain (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Pangsa Produksi CPO


No. Negara Produksi Minyak Sawit Pangsa Produksi
Tahun 2010 (Ton) (Persen)
1. Indonesia 23,2 juta 43,60%
2. Malaysia 19,3 juta 36,20%
3. Negara Lainnya 10,7 juta 20,20%

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Peningkatan pangsa produksi CPO tidak lepas dari dukungan


bertambahnya luas areal kebun kelapa sawit. Wilayah Pulau Sumatera
merupakan kontributor terbesar produksi kelapa sawit Indonesia dengan luas
lahan sekitar 70 persen dari total lahan kelapa sawit nasional. Nanggroe Aceh
Darussalam memiliki luas areal 454,4 ribu ha, Sumatera Utara 258,6 ribu ha,
Sumatera Barat 47,7 ribu ha, Riau 1,5 juta ha, Jambi 511,4 ribu ha, Sumatera
Selatan 1,3 juta ha, Kalimantan Barat 1,2 juta ha, Kalimantan Tengah 1,4 juta ha,

45
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kalimantan Timur 2,8 juta ha, Kalimantan Selatan 965,5 ribu ha, Papua 1,5 juta
ha, dan Sulawesi Tengah 215,7 ribu ha (Kementerian Pertanian, 2011).

Tabel 4.2. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit

Tahun Luas Areal Pertumbuhan Produksi Pertumbuhan


(Hektar) Luas Areal (%) (Ton) Produksi (%)
2000 4.158.077 - 7.000.508 -
2001 4.713.435 13,4 8.396.472 19,9
2002 5.067.058 7,5 9.622.345 14,6
2003 5.283.557 4,3 10.440.834 8,5
2004 5.284.723 0,0 10.830.389 3,7
2005 5.453.817 3,2 11.861.615 9,5
2006 6.594.914 20,9 17.350.848 46,3
2007 6.766.836 2,6 17.664.725 1,8
2008 7.363.847 8,8 17.539.788 -0,7
2009*) 7.508.023 2,0 18.640.881 6,3
2010**) 7.824.623 4,2 23.200.000 24,5

Sumber: Ditjen Perkebunan-Kementerian Pertanian, 2011


* = sementara ** = realisasi

4.1.2. Market Share


Ekspor minyak sawit Indonesia semester I 2011 sebesar 8,20 juta metrik
ton, meningkat 730 ribu metrik ton dari tahun sebelumnya (meningkat 8,9
persen). Ekspor pada semester I 2010 sebesar 7,47 juta ton metrik. Ekspor
minyak kelapa sawit terdiri dari minyak sawit dan minyak kernel, dan dalam
bentuk minyak mentah dan diproses. Pangsa ekspor minyak sawit di Indonesia
pada semester I 2011 sebesar 92,07 persen (7,55 juta metrik ton), sedangkan
pangsa minyak kernel hanya 7,97 persen (652 ribu metrik ton) [GAPKI, 2011].

46
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.1. Proporsi Ekspor Minyak Sawit Mentah dan Olahan Indonesia

Sumber: GAPKI 2011, diolah


Data semester I 2011

Dari kedua jenis minyak sawit tersebut Indonesia mengekspor lebih


banyak minyak mentah dibandingkan dengan minyak olahan. Berdasarkan data
GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) semester I 2011 ekspor
minyak sawit mentah mencapai 56,02 persen, sementara minyak sawit diproses
hanya 43,98 persen. Namun, apabila dibandingkan dengan ekspor 2010,
persentase minyak sawit olahan mengalami penurunan, di sisi lain persentase
minyak sawit mentah telah meningkat. Pada 2010, ekspor minyak sawit olahan
46,19 persen dari ekspor total minyak sawit dan minyak sawit mentah 53,81
persen.
Kondisi sebaliknya terjadi pada ekspor minyak kernel, di mana ada
peningkatan ekspor minyak kernel yang telah diproses, sementara minyak
kernel mentah menurun. Dari 96 ribu metrik ton minyak kernel diproses (14,93
persen) pada semester I 2010 meningkat menjadi 107 ribu metrik ton (16,42
persen) pada semester I 2011. Untuk ekspor minyak kernel mentah, menurun
dari 552 ribu metrik ton (85,06 persen) pada semester I 2010 menjadi 546 ribu

47
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

metrik ton (83,58 persen) pada semester I 2011 (GAPKI, 2011). Peningkatan
minyak kelapa sawit Indonesia didorong oleh kenaikan impor ke India dan China.
India membeli setengah impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. India
telah melampaui China sebagai pembeli terbesar di dunia minyak sawit.

4.1.3. Nilai Tambah Bisnis


Dilihat dari nilai tambah bisnis, industri pengolahan CPO menjadi salah
satu industri yang prospektif untuk dikembangkan ke depan. Selain untuk
industri minyak makanan dan industri oleokimia, kelapa sawit dapat juga
menjadi sumber energi alternatif. Kementerian Pertanian (2005) mencatat
konsumsi minyak sawit domestik mencapai 50 – 60 persen dari produksi.
Sebagian besar penggunaannya, hampir 85 persen, untuk pangan sedangkan
untuk industri oleokomia hanya sekitar 15 persen.
Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah
teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung dari harga bahan
baku, tingkat kesulitan dalam ekstraksi produk, dan harga produk turunan di
pasar. Tetapi, satu hal yang pasti, semakin dapat dimanfaatkan/dibutuhkan
produk turunan tersebut, nilai tambahnya semakin tinggi. CPO yang diolah
menjadi sabun mandi saja sudah menghasilkan nilai tambah sebesar 300 persen,
terlebih lagi jika dapat dijadikan kosmetik yang nilai tambahnya mencapai 600
persen (Tabel 4.3). Nilai tambah CPO jika diolah menjadi minyak goreng sawit
sebesar 60 persen, sedangkan jika menjadi margarin mencapai 180 persen
(Kementerian Perindustrian, 2011).
Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan
produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan baku industri pangan maupun
non pangan. Produk pangan yang dapat dihasilkan dari CPO dan CPKO, seperti
emulsifier, margarine, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri,
yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang dihasilkan dari CPO
dan CPKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas,
fatty alcohol, biodiesel, dan lain-lain.

48
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 4.3. Jenis Industri, Perkiraan Nilai Investasi dan Nilai Tambah Industri
Berbasis Minyak Sawit
Tingkat Perkiraan Pertambahan
No Produk Bahan Baku
Teknologi Investasi Nilai
1 Olein & Stearin CPO Menengah 20%
2 Fatty acids CPO, PKO, katalis Tinggi 200–700 miliar 50%
3 Ester Palmitat, Miristat Tinggi 100 –500 miliar 150%
4 Surfactant/ Stearat, Oleat, Tinggi 200-700 miliar 200%
emulsifier sorbitol, gliserol
5 Sabun mandi CPO, PKO, NaOh, Sederhana Mulai dari kurang 300%
pewarna, parfum 1 miliar
6 Lilin Stearat Sederhana Mulai dari kurang 300%
1 miliar
7 Kosmetik (lotion, Surfaktan, ester, Sederhana 1 –200 miliar 600%
cream), bedak, amida
shampoo
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2007

Di luar itu, juga terdapat produk samping/limbah, seperti tandan kosong


untuk bahan kertas (pulp), pupuk hijau (kompos), karbon, rayon; cangkang biji
untuk bahan bakar dan karbon; serat untuk fibre board dan bahan bakar; batang
pohon dan pelepah untuk mebel pulp paper dan makanan ternak; limbah kernel
dan sludge dapat digunakan untuk makanan ternak (Kementerian Pertanian,
2011). Dengan demikian, banyak nilai tambah yang dapat dihasilkan dari sebuah
tanaman bernama kelapa sawit, akan sangat disayangkan jika hanya diekspor
dalam bentuk mentah.

4.1.4. Nilai Tambah Teknis


Nilai tambah CPO dapat diperoleh dari pengembangannya pada industri
minyak, makanan maupun industri oleokimia (Gambar 4.2). Sayangnya, sejauh
ini produk hilir CPO di Indonesia belum banyak berkembang dibandingkan
Malaysia, saat ini Indonesia baru memproduksi sekitar 40 jenis, sementara
Malaysia sudah memproduksi lebih dari 100 Jenis (Kemenperin, 2011). Beberapa
produk hilir CPO yang telah diproduksi di Indonesia antara lain: (a) Minyak

49
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Goreng, Margarine, Vegetable Gee (minyak Samin), Cocoa Butter Substitute


(CBS), Cocoa Butter Equivalent(CBE); (b) Soap Chip, Sabun; (c) Fatty Acid, Fatty
Alkohol, Glycerin; dan (d) Biodiesel.
Melihat banyaknya produk turunan yang dapat dikembangkan dari
komoditas CPO di atas serta nilai tambah ekonomi yang dapat dihasilkan, maka
upaya hilirisasi CPO perlu disikapi secara positif. Beberapa produk turunan CPO
yang potensial dikembangkan di Indonesia antara lain:
Tabel 4.4. Produk Olahan Potensial Dikembangkan di Indonesia

Kategori Produk Olahan Potensial

Oleofood/pangan Baking Shortening, Friying Shortening, Milk Fat Replacer, Cocoa Butter
Substitutes; Cocoa Butter Equivalent, Cocoa Butter Replacer,
Confectionery Fats, Ice Cream Fats, Creamer, Specialty Bakery Fats,
Icing and Filling Fat, Spread Fats.

Oleokimia Fatty acids (Stearic Acid, Oleic Acid, Palmitic Acid, Myristic Acid, Lauric
Acid); Fatty Alcohol; Glycerine; Lilin (candle) Fatty Alcohol Methyl
Esther Sulphate (FAMES); Fatty Alcohol Ethoxylate (FAE); Methyl Esther
Sulphonate (MES); Glycerol Mono Oleate (GMO); Diethyl Oleate (DEO);
Tocopherol.

Farmasi/Kosmetik Tocopherol; Beta Carotene

Energy Fatty Acid Methyl Esther (FAME), FAME Euro 2 dan Euro 4 Spesification

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

50
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.2. Kondisi Hilirisasi Industri Minyak Sawit

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011


51
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.1.5. Forward-backward Linkage


Berdasarkan model dan data Input-Output 2008 dapat digunakan untuk
mengetahui inter-industry connectivity CPO, terutama indikator keterkaitan ke
depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage).
Gambar 4.3 menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan
tertinggi adalah industri minyak dan lemak, kemudian kelapa sawit, industri
kimia, serta industri makanan lainnya. Sedangkan sektor yang mempunyai
keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor industri pupuk dan
pestisida, disusul lembaga keuangan, kelapa sawit, bangunan, dan jasa lainnya.

Gambar 4.3. Keterkaitan Komoditas CPO dengan Industri Lain

Sumber: Tabel I-O 2008

4.1.6. Potensi Permintaan


Seiring peningkatan harga CPO di pasar internasional, harga produk
hilirnya pun tentu juga mengalami peningkatan. Sekadar gambaran, untuk
produk hilirisasi minyak goreng, harga rata-rata minyak goreng curah dan
minyak goreng kemasan dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan
cukup signifikan. Pada Februari 2011, harga rata-rata minyak goreng curah
adalah Rp11.353 per kg, atau meningkat 20,3 persen jika dibandingkan dengan
periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp9.437 per kg. Demikian pula untuk

52
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

harga minyak goreng kemasan yang mengalami peningkatan sebesar 7,5 persen,
menjadi Rp11.685 per kg jika dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar
Rp 10.875 per kg (Gambar 4.4).
Menariknya, peningkatan harga salah satu produk hilirisasi CPO tersebut
cukup stabil, tidak fluktuatif. Secara implisit hal ini mengindikasikan bahwa
potensi investasi pengolahan CPO menjadi minyak goreng ke depan cukup
menguntungkan bagi pelaku usaha, karena harga produk di pasar meningkat
dengan stabil. Harga rata-rata nasional untuk minyak goreng curah relatif stabil
dengan koefisien keragaman harga bulanan periode Januari 2010 sampai
Februari 2011 sebesar 7,9 persen. Sedangkan koefisien keragaman harga
bulanan minyak goreng kemasan dengan periode yang sama sebesar 3,2 persen
(Kemendag, 2011). Nilai koefisien keragaman ini menunjukkan bahwa harga
rata-rata nasional minyak goreng kemasan relatif lebih stabil dibandingkan
minyak goreng curah.

Gambar 4.4. Perkembangan Harga CPO dan RBD Olein Dunia dan
Harga Minyak Goreng Dalam Negeri

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011

53
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Peluang investasi di sektor hilirisasi CPO akan semakin menggiurkan jika


melihat posisi saat ini, di mana Indonesia merupakan negara penghasil minyak
sawit (CPO/Crude Palm Oil dan CPKO/Crude Palm Kernel Oil)1 terbesar di dunia
dengan produksi sekitar 23 juta ton (2010). Dari produksi tersebut India menjadi
negara terbesar pengimpor minyak kelapa sawit Indonesia, di susul Uni Eropa,
China dan Bangladesh (Gambar 4.5). India mengimpor 5,74 juta ton, sementara
Uni Eropa, China dan Bangladesh masing-masing sebesar 3,7 juta ton, 2,4 juta
ton, dan 0,63 juta ton (GAPKI, 2011). Dengan cukup melimpahnya sumber bahan
baku di dalam negeri dan terbukanya peluang ekspor, maka pelaku usaha
hilirisasi CPO tidak akan kesulitan mendapatkan bahan baku, terlebih jika
membangun pabrik pengolahan yang dekat dengan sumber atau bahkan
mengintegrasikan antara perkebunan dan pengolahan. Tentu nilai keuntungan
bisnis akan lebih besar lagi jika membuat pabrik yang terintegrasi dengan kebun
sawit.
Gambar 4.5. Pengimpor Utama Minyak Kelapa Sawit Indonesia, 2010

Sumber: GAPKI, 2011

1
Crude Palm Oil (CPO) merupakan minyak berwarna kuning jingga kemerah-merahan yang
mengandung asam lemak bebas 5 persen dan mengandung banyak carolene atau pro vitamin E.
Sementara Crude Palm Kernel Oil (CPKO) merupakan minyak putih kekuning-kuningan yang
diperoleh dari proses ekstraksi inti buah tanaman kelapa sawit yang mengandung asam lemak
sekitar 5 persen (Maksi, 2007).

54
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Sejauh ini sebagian besar CPO dan CPKO yang dihasilkan di Indonesia
masih diekspor dalam bentuk bahan mentah. Ekspor CPO mencapai 50 persen
dan CPKO mencapai 85 persen, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk diolah di
dalam negeri.2 Dengan demikian, dari sisi kompetisi potensi untuk memperoleh
keuntungan dari hilirisasi CPO juga cukup prospektif karena pelaku di dalam
negeri belum cukup banyak. Masih ada ruang untuk memperoleh margin dari
pasar produk hilirisasi CPO di Indonesia.

4.1.7. Lokasi Penyebaran


Sebaran produksi CPO ditemukan di Riau (84 unit), Sumatera Selatan (49
unit), Kalimantan Tengah (28 unit), dan Irian Jaya Barat (25 unit) [Gambar 4.6].
Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia merupakan lokasi yang masih
tersedia untuk pengembangan kelapa sawit. Pada lokasi tersebut banyak
ditemukan sejumlah lahan yang bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, areal
berpotensi sedang, dan lahan yang berpotensi rendah.
Gambar 4.6. Lokasi Penyebaran Produksi CPO

Sumber: Diolah dari Bank Indonesia dan BPS, 2008

2
Kementerian Pertanian (2005) menyebutkan setidaknya ada 320 unit pengolahan CPO dengan
kapasitas sekitar 13,5 ribu TBS (Tandan Buah Segar) per jam.

55
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Terkait dengan lokasi penyebaran produksi CPO ini, salah satu lokus
klaster yang perlu mendapat dukungan semua pihak dalam pengembangan
hilirisasi CPO adalah Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara. Dengan
mengaglomerasikan industri berbasis kelapa sawit di satu lokus klaster, maka
akan tercipta efisiensi industri yang akan meningkatkan daya saing industri
menuju industri kelas dunia. Beberapa produk hilir yang potensial
dikembangkan secara terpadu dan terintegrasi dari hulu – hilir di Kawasan
Industri Sei Mangkei antara lain Minyak goreng sawit (curah dan kemasan),
Margarine, Shortening, Biodiesel, Betacarotene, Tocopherol, Fatty Acids, Fatty
Alcohol, Surfactan, dsb (Kementerian Perindustrian, 2011).
Keunggulan Kawasan Industri Sei Mangkei sebagai lokus klaster adalah:
jaminan pasokan bahan baku minyak sawit; fasilitas air bersih, listrik, dan
pengolahan limbah cukup memadai; kemudahan teknis untuk integrasi industri
hulu hingga hilir; terintegrasi dengan fasilitas logistik pelabuhan Kuala Tanjung,
jalan rel trans Sumatera Utara; serta reputasi PTPN III sebagai pemasok bahan
baku yang tersertifikasi RSPO (Roundtable Sustainable of Palm Oil). Berbagai
keunggulan ini juga dapat menjadi indikator bagi daerah lain yang ingin
mengembangkan produk hilir CPO, seperti di Riau (Dumai dan Kuala Enok), dan
Kalimantan Timur (Maloy).
Hilirisasi industri CPO merupakan investasi menarik bagi pelaku usaha
dan dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi pemerintah dalam upaya
meningkatkan kontribusi industri dalam perekonomian. Selain memiliki nilai
tambah teknis yang besar, berbagai produk olahan CPO juga memiliki nilai
tambah bisnis yang menguntungkan. Minyak goreng, margarine, sabun, dan
kosmetik merupakan sebagian kecil produk hilirisasi CPO yang sudah akrab
dalam keseharian masyarakat karena beberapa merupakan kebutuhan pokok.
Untuk itu hilirisasi CPO ini harus senantiasa menjadi prioritas dalam
pembangunan perindustrian berbasis agro ke depan.

56
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.2. Karet
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik untuk
sumber pendapatan, kesempatan kerja, pendorong pertumbuhan ekonomi
sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian
lingkungan dan sumber daya hayati. Tanaman karet merupakan tanaman
perkebunan yang tumbuh subur di Indonesia. Tanaman ini menghasilkan getah
karet (lateks) yang dapat diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar,
slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin. Selanjutnya, produk-produk tersebut
digunakan sebagai bahan baku pabrik crumb rubber3 (karet remah), yang
menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir, seperti ban,
bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet,
dan berbagai produk hilir lainnya. Tersedianya lahan yang luas memberikan
peluang untuk menghasilkan produksi karet alam dalam jumlah besar. Di sisi
lain, produksi karet alam juga dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknologi
pengolahan karet untuk meningkatkan efisiensi, sehingga lateks yang dihasilkan
dari getah bisa lebih banyak dan menghasilkan material sisa yang semakin
sedikit.

4.2.1. Potensi Produksi


Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam
terbesar di dunia pada 2010 dengan pangsa sekitar 28 persen dari produksi
karet alam dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand dengan pangsa
produksi sekitar 30 persen dari produksi karet alam dunia. Posisi ini tidak
berubah dibanding tahun sebelumnya, di mana produksi karet Indonesia pada
2009 sebesar 2,4 juta ton berada di urutan kedua dunia, sementara Thailand
menempati urutan pertama dengan 3,1 juta ton, dan Malaysia di urutan ketiga
dengan 951 ribu ton (Kina, 2010). Padahal kebun karet Indonesia merupakan
yang terluas di dunia, yaitu mencapai 3,40 juta ha, disusul Thailand dengan 2,67

3
Crumb rubber adalah karet kering yang proses pengolahannya melalui tahap peremahan. Bahan baku berasal dari
lateks yang diolah menjadi koagulum dan dari lump. Bahan baku yang paling dominan adalah lump karena pengolahan
crumb rubber bertujuan untuk mengangkat derajat bahan baku mutu rendah menjadi produk yang lebih bermutu.

57
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

juta ha dan Malaysia dengan 1,02 juta ha (Kementerian Pertanian, 2009). Ini
menunjukkan bahwa produktivitas perkebunan karet Indonesia masih tertinggal
dibanding pesaing utama, Thailand.
Gambar 4.7. Perbandingan Produksi dan Luas Lahan Karet, 2009

Sumber: Kementerian Pertanian, dalam Majalah Kina (2010), diolah

Pemerintah telah menetapkan sasaran peningkatan produksi karet alam


Indonesia sebesar 3 - 4 juta ton per tahun pada 2020. Upaya peningkatan
produksi ini selain membutuhkan peningkatan produktivitas lahan tentunya juga
membutuhkan insentif harga produk karet yang menguntungkan. Dari sisi harga
ini, pada pertengahan 2006, karet alam dunia mencapai harga US$2,5 per kg.
Harga tersebut sangat menarik bagi petani dan pelaku usaha karet lainnya. Tren
peningkatan terus terjadi hingga 2008, harga karet dunia mencapai US$3,4 per
kg. Ini merupakan harga karet alam tertinggi selama 50 tahun terakhir (Media
Data, 2009). Sementara dari segi areal perkebunannya, Indonesia memiliki
hamparan kebun karet terluas di dunia. Menurut catatan Ditjen Perkebunan,
Kementerian Pertanian, sampai 2008 lalu luas areal perkebunan karet Indonesia
mencapai sekitar 3,47 juta ha dengan total produksi karet alam sebanyak 2,9
juta ton. Pada 2009, luas areal perkebunan karet bertambah menjadi 3,52 juta
ha dengan produksi sebanyak 3,0 juta ton (Media Data, 2009).

58
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.2.2. Market Share


Karet alam termasuk 10 komoditas ekspor terbesar Indonesia dari 2008 –
2010, dengan nilai ekspor US$7.329,1 juta pada 2010 (UN Comtrade, 2011).
Sementara dilihat dari negara tujuan ekspor, sepanjang 2005-2009 ekspor karet
Indonesia dalam bentuk remah sebagian besar tertuju ke Amerika Serikat
dengan rata-rata pangsa 28 persen, disusul China 16 persen, Jepang 14 persen,
dan Singapura 6 persen (Gambar 4.8). Dengan pangsa ekspor ke Amerika Serikat
yang cukup besar tersebut, maka wajar ketika krisis global melanda Amerika
Serikat ekspor Indonesia ke negara tersebut menurun tajam. Padahal ekspor
karet alam Indonesia sempat mencapai angka tertinggi pada 2007 sebesar 2,4
juta ton, namun karena krisis tersebut ekspor menurun pada 2008 menjadi 2,2
juta ton dan turun lagi pada 2009 menjadi 1,9 juta ton.

Gambar 4.8. Pangsa Pasar Ekspor Karet Indonesia dalam Bentuk Remah

Sumber: BPS, Statistik Year Book 2010, diolah


Pangsa berdasarkan rata-rata 2005-2009 dalam satuan berat bersih ‘000 ton

Ekspor karet alam Indonesia didominasi oleh jenis SIR/TSR (Standard


Indonesia Rubber/Technically Specified Rubber) yang mencapai 93,6 persen dari
total ekspor. Di antara karet alam jenis SIR itu, jenis karet alam yang paling

59
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

banyak diminta oleh kalangan industri ban adalah SIR 20. Sementara itu, ekspor
produk karet masih relatif kecil kendati terus memperlihatkan peningkatan.
Pada 2004 nilai ekspor produk karet Indonesia mencapai US$774,9 juta dan naik
menjadi US$1,5 miliar pada 2008. Produk karet yang diekspor terutama berupa
ban, sarung tangan karet dan produk karet lainnya. Pada 2008 ekspor ban
Indonesia mencapai US$ 934 juta, sedangkan nilai ekspor sarung tangan karet
mencapai US$ 175,9 juta.

Gambar 4.9. Proporsi Ekspor Karet dan Penyerapan Dalam Negeri, 2009

Sumber: Media Data 2009, diolah

Konsumsi karet alam di dalam negeri sejauh ini masih relatif kecil. Pada
2009 volume karet alam yang dikonsumsi di dalam negeri hanya sekitar 15
persen (422 ribu ton) dari total produksi karet alam nasional (Gambar 4.9). Dari
jumlah konsumsi domestik itu, sekitar 55 persen di antaranya berasal dari
konsumsi industri ban. Konsumsi domestik lainnya berasal dari industri
vulkanisir, industri sepatu dan alas kaki, sarung tangan dan benang, produk karet
industri lainnya, peralatan rumah tangga, dan peralatan olahraga.

60
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.2.3. Nilai Tambah Bisnis


Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan tetap
menarik, karena marjin keuntungan yang diperoleh pabrik relatif pasti. Marjin
pemasaran berkisar antara 3,7–32,5 persen dari harga FOB (Free On Board),
tergantung pada tingkat harga yang berlaku (Kementerian Pertanian, 2007).
Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh harga dunia yang
mencerminkan permintaan dan penawaran karet alam, dan harga beli pabrik
dipengaruhi kontrak pabrik dengan pembeli/buyer (biasanya pabrik ban) yang
harus dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin besar
jika harga meningkat.
Pemanfaatan karet alam di luar industri ban kendaraan di Indonesia
masih relatif kecil, mengingat industri karet di luar ban umumnya dalam skala
kecil atau menengah. Sementara itu, industri berbasis lateks pada saat ini belum
berkembang karena banyak menghadapi kendala. Kendala utama adalah
rendahnya daya saing produk-produk industri lateks Indonesia bila dibandingkan
dengan produsen lain, terutama Malaysia. Selain itu, produktivitas karet
Indonesia juga lebih rendah dibanding India, hanya sekitar 50 persen saja dari
produktivitas karet di India (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011).
Meskipun demikian, di balik tantangan inilah sesungguhnya letak peluang bisnis
hilirisasi industri karet alam mengingat pasar yang cukup potensial dan
kompetisi antarprodusen di Indonesia yang relatif masih terbatas.

4.2.4. Nilai Tambah Teknis


Indonesia belum mampu memanfaatkan produk karet alam secara
optimal. Seperti disinggung di atas (Gambar 4.9). Dari sekitar 2,9 juta ton produk
karet nasional, sebanyak 85 persen diekspor dalam bentuk bahan baku (crumb
rubber, sheet, lateks, dan sebagainya). Hanya sekitar 15 persen produk karet
alam yang diserap oleh industri rekayasa di dalam negeri (Media Data, 2009).
Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan dengan Malaysia, di mana industri hilir
dalam negeri mampu menyerap sekitar 70 persen dari total produksi negara

61
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

tersebut (Kementerian Pertanian, 2007). Rendahnya konsumsi karet alam


domestik mencerminkan belum berkembangnya industri hilir yang berbasis
karet alam. Hal ini mengakibatkan perolehan nilai tambah komoditi karet masih
relatif rendah.
Banyak produk turunan yang dapat dikembangkan dari karet alam
(Gambar 4.10). Hasil utama dari pohon karet adalah lateks, yang dapat dijual
atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab (koagulasi),
ataupun sit asap (sit angin). Selanjutnya, produk-produk tersebut akan
digunakan sebagai bahan baku pabrik crumb rubber, yang menghasilkan
berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu,
karet busa, sarung tangan, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya.
Gambar 4.10. Pohon Industri Karet

Sumber: Kementerian Pertanian, 2007

62
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.2.5. Forward-backward Linkage


Berdasarkan model dan data Input-Output 2008 dapat digunakan untuk
mengetahui inter industry connectivity karet, terutama indikator keterkaitan ke
depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage).
Gambar 4.11 menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan
tertinggi adalah industri barang karet dan plastik, kemudian karet, industri
tekstil, pakaian dan kulit, serta industri kimia. Sedangkan sektor yang
mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor karet,
disusul industri pupuk dan pestisida, industri kimia, perdagangan, serta
bangunan.
Gambar 4.11. Keterkaitan Komoditas Karet dengan Industri Lain

Sumber: Tabel I-O 2008

4.2.6. Potensi Permintaan


Permintaan karet alam dunia cenderung meningkat dari periode 2008-
2011 (Tabel 4.5). Peningkatan permintaan terutama dari China, India, Brazil dan
negara-negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi di Asia Pasifik.
Bahkan pada tahun 2008 dan 2010 sempat terjadi defisit permintaan karet
masing-masing sebesar 47 ribu ton dan 377 ribu ton, terutama karena

63
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

meningkatnya permintaan dari Asia Pasifik. Menurut IRSG (International Rubber


Studi Group) diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam dalam
dua dekade ke depan (Kementerian Perindustrian, 2007).

Tabel 4.5. Produksi dan Konsumsi Karet Alam Dunia (ribu ton)

2008 2009 2010 2011


Produksi & Konsumsi
Tahun Tahun Q1 Q2 Q3 Q4 Tahun Q1

Produksi Karet Alam


Latin America 247 253 67 75 57 64 263 73
Africa 447 423 102 110 119 129 459 104
Asia 9.399 9.042 2.175 2.071 2.728 2.663 9.637 2.398
Total 10.128 9.690 2.361 2.271 2.904 2.865 10.401 2.571
Konsumsi Karet Alam
North America 1.179 790 280 261 265 266 1.071 298
Latin America 587 488 153 162 152 147 613 148
EU-27 1.256 829 289 282 274 287 1.132 313
Other Europe 230 177 50 57 62 58 227 65
Africa 126 94 26 26 27 23 101 28
Asia/Oceania 6.854 6.984 1.700 1.889 2.027 2.017 7.632 1.701
Total 10.175 9.329 2.496 2.677 2.806 2.799 10.778 2.552
Surplus/Defisit -47 361 -135 -406 98 66 -377 19

Persediaan Karet Dunia 1.519 1.880 1.745 1.339 1.437 1.503 1.503 1.522

Sumber: Rubber Statistical Bulletin, Edisi Juli-September 2011

Tren peningkatan permintaan karet alam dunia mendorong kenaikan


harga (Gambar 4.12). Hal ini merupakan insentif bagi produsen karet untuk
meningkatkan produksinya. Pada akhir 2008, harga karet alam di pasar global
sempat turun hingga ke level terendah senilai US$1,2 per kg. Hal ini disebabkan
turunnya harga minyak mentah dunia serta terjadinya krisis keuangan di
Amerika Serikat. Padahal, selama ini Amerika Serikat merupakan importir karet
alam terbesar dunia bersama China dan Jepang. Namun, tren peningkatan harga

64
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

kembali terjadi baik untuk karet TSR20 maupun RSS3 sejak triwulan I 2009
hingga triwulan I 2011.
Gambar 4.12. Harga Karet Alam

Sumber: Rubber Statistical Bulletin, Edisi July-September 2011


SICOM = Singapore Commodity Exchange
TSR = Technically Specified Rubber
RSS = Rubber Ribbed Smoked Sheet

4.2.7. Lokasi Penyebaran


Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk
penanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Dengan adanya penyebaran lahan‐lahan penanaman pohon karet hampir di
seluruh provinsi yang ada di Indonesia saat ini akan membantu dalam
pemenuhan kebutuhan karet alami dan pemenuhan industri pengolahan hasil
dari pengolahan pohon karet.

65
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.13. Jumlah Lokasi Usaha Komoditas Karet

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2007

Pengembangan industri karet di daerah Sumatera merupakan hal yang


cukup realistis untuk segera diwujudkan. Dengan pangsa produksi karet alam
sebesar 65 persen dari total produksi nasional ketersediaan bahan baku di
wilayah ini relatif lebih terjamin (Kementerian Koordinator Perekonomian,
2011). Lebih dari itu, dengan semakin meningkatnya industri otomotif di dunia
diharapkan permintaan karet alami akan semakin meningkat ke depan.

4.3. Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas yang memiliki peran strategis
dalam menyumbang perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Komoditas ini
mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar
atau meningkatkan devisa negara melalui kegiatan ekspornya serta
mengoptimalkan penghasilan petani kakao. Di samping itu, kakao juga berperan
dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Kakao menghasilkan devisa terbesar ketiga untuk kategori perkebunan setelah
kelapa sawit dan karet. Devisa dari kakao pada 2010 mencapai USD 1,6 miliar.

66
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Indonesia adalah produsen biji kakao terbesar kedua dunia setelah


Pantai Gading. Luas areal yang mencapai 1,6 juta hektar yang tersebar di seluruh
provinsi dari Sabang sampai Merauke dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan
banyak kakao dengan memperhatikan kualitas mutu kakao. Di samping itu,
Indonesia berkesempatan dan berpeluang besar untuk memperbesar pangsa
ekspornya di dunia untuk biji kakao dan produk olahan kakao, mengingat
konsumsi dunia kian meningkat.
Sebagai gambaran, jumlah populasi di Indonesia, India dan China sekitar
2,5 miliar jiwa. Konsumsi cokelat Asia saat ini hanya 0.06 kg/kapita/tahun. Jika
ke depannya konsumsi naik menjadi 1 kg/kapita/tahun, maka permintaan kakao
akan naik 2,5 juta ton/tahun. Peluang ini hanya Indonesia yang bisa merebutnya
mengingat Indonesia adalah produsen kakao terbesar di Asia dan kedua terbesar
di dunia.

4.3.1. Potensi Produksi


Kakao termasuk salah satu komoditas perkebunan yang prospektif di
dunia. Kakao yang merupakan bahan baku utama pembuat cokelat ini
mengalami kecenderungan peningkatan produksi di dunia selama beberapa
tahun terakhir. Bahkan diprediksi akan terus mengalami peningkatan hingga
beberapa tahun ke depan. Pada 2010-2011 produksi kakao dunia telah
mencapai 4,01 juta ton dan diprediksi akan mencapai 4,2 juta ton pada 2015-
2016 (FAO, 2011). Total produksi kakao dunia pada 2009 sebesar 4.182.131 ton.
Pantai Gading, Indonesia, Ghana, dan Nigeria menguasai lebih dari 75 persen
produksi kakao dunia. Berdasarkan Gambar 4.14 pangsa produksi kakao
Indonesia pada 2009 tercatat sebesar 20 persen, Pantai Gading sebesar 30
persen, sementara Ghana dan Nigeria masing-masing sebesar 17 persen dan 9
persen.

67
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.14. Pangsa Produksi Kakao Dunia 2009

Sumber: FAO, 2011

Di Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditi unggulan dalam


perkebunan karena memiliki potensi yang cukup besar, di samping kelapa sawit
dan karet. Komoditas ini mempunyai peluang dikembangkan dalam rangka
usaha memperbesar atau meningkatkan devisa negara serta penghasilan petani
kakao. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan
wilayah dan pengembangan agroindustri.
Pangsa produksi kakao Indonesia di dunia cenderung menunjukkan tren
peningkatan (Gambar 4.15). Pertumbuhan produksi kakao cenderung meningkat
setiap tahunnya. Berdasarkan Gambar 4.15, produksi biji kakao di Indonesia
pada2009 mencapai 830.790 ton. Kondisi tersebut telah menjadikan Indonesia
sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Produsen terbesar kakao di
dunia ditempati Pantai Gading (Cote d’Ivoire), yaitu sebesar 1,27 juta ton pada
2009. Sementara Ghana memiliki jumlah produksi sebesar 750.000 ton (2009).
Sejak 2006 Indonesia telah melampaui Ghana sebagai negara produsen kakao
kedua terbesar di dunia.

68
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.15. Produksi Kakao Pada Beberapa Negara Produsen Utama (ton)

Sumber: FAO, 2011

Produksi kakao di Indonesia pada umumnya dihasilkan dari perkebunan


rakyat, selebihnya dihasilkan dari perkebunan milik Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan perkebunan swasta. Gambar 4.16 menunjukkan pangsa
kepemilikan perkebunan kakao di Indonesia. Luas perkebunan rakyat mencapai
89 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia. Perkebunan negara
sebanyak 6 persen dan perkebunan swata sebanyak 5 persen.
Gambar 4.16. Pangsa Kepemilikan Perkebunan Kakao di Indonesia

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

69
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Pada 2010 luas total perkebunan kakao nasional mencapai 1.651.539 ha.
Dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan selama sepuluh tahun terakhir
sebesar 8,28 persen. Berdasarkan Tabel 4.6, jumlah produksi kakao
menunjukkan tren peningkatan. Pada 2010 jumlah produksi kakao tercatat
sebesar 844.626 ton, dengan rata-rata pertumbuhan (2000-2010) sebesar 7,60
persen.
Pertumbuhan jumlah produksi kakao yang lebih kecil dari pertumbuhan
luas areal menunjukkan bahwa terdapat penurunan produktivitas lahan kakao.
Produktivitas yang semakin menurun ini disebabkan oleh berbagai macam hal.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Suryani dan Zulfebriansyah (2007),
rendahnya produktivitas kakao disebabkan antara lain: a) penggunaan benih
masih asal-asalan, belum banyak digunakan benih klonal, (b) masih tingginya
serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum ditemukan
klon kakao yang tahan terhadap hama PBK, (c) sebagian besar perkebunan
berupa perkebunan rakyat yang dikelola masih dengan cara tradisional, dan (d)
umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun (jauh di atas
usia paling produktif 13-19 tahun).

Tabel 4.6. Luas Areal dan Jumlah Produksi Kakao di Indonesia


Tahun Luas Areal Pertumbuhan Luas Produksi (Ton) Pertumbuhan Produktivitas
( Ha ) Lahan (%) Produksi (%)
2000 749,917 421,142
2001 821,449 9.54 536,804 27.46 0.56
2002 914,051 11.27 571,155 6.4 0.65
2003 964,223 5.49 698,816 22.35 0.63
2004 1,090,960 13.14 691,704 -1.02 0.73
2005 1,167,046 6.97 748,828 8.26 0.63
2006 1,320,820 13.18 769,386 2.75 0.64
2007 1,379,279 4.43 740,006 -3.82 0.58
2008 1,425,216 3.33 803,594 8.59 0.54
2009 1,592,982 11.36 830,790 0.75 0.56
2010*) 1,651,539 4.06 844,626 4.33 0.51

*) Data sementara
Sumber: Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, 2011

70
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.3.2. Market Share


Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Dari jumlah
produksi sebesar 830.790 ton pada 2009, sebesar 439.305 ton untuk diekspor
dalam keadaan mentah. Selebihnya diolah menjadi produk setengah jadi dan
sedikit sekali yang diolah menjadi produk akhir. Kondisi ini terjadi karena
industri pengolahan kakao kurang berkembang di Indonesia. Petani kakao yang
sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih memilih menjual kepada
eksportir karena pembayarannya lebih cepat.
Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan kakao yang diolah
tanpa difermentasikan. Harga biji kakao tanpa fermentasi di pasar internasional
jauh lebih rendah dari harga biji kakao yang difermentasikan. Selisih harga di
antara keduanya sekitar Rp2000 – 2.900 per kg.
Ekspor produk kakao Indonesia ke beberapa negara tujuan ditunjukkan
pada Tabel 4.7. Dari data tersebut terlihat bahwa Indonesia paling banyak
mengekspor produk biji kakao ke Malaysia, diikuti oleh Amerika Serikat, Brazil,
Singapura, dan China. Lebih dari 40 persen biji kakao Indonesia di ekspor ke
Malaysia, sementara lebih dari 20 persen diekspor ke Amerika Serikat.

Tabel 4.7. Negara Tujuan Utama Ekspor Biji Kakao Indonesia

No Negara Tujuan 2005 2006 2007 2008 2009

156,457.00 190,298.00 183,172.00 209,408.00 183,081.00


1 Malaysia
(42.58) (38.77) (48.22) (55.03) (41.68)
107,630.50 131,738.50 53,224.00 53,689.00 120,302.00
2 United States
(29.29) (26.84) (14.01) (14.11) (27.38)
27,600.00 63,799.30 42,087.00 29,917.00 41,645.00
3 Brazil
(7.51) (13.00) (11.08) (7.86) (9.48)
30,093.00 43,976.50 43,683.00 45,157.00 55,887.00
4 Singapore
(8.19) (8.96) (11.50) (11.87) (12.72)
15,830.00 18,240.90 20,746.00 15,902.00 7,122.00
5 China
(4.31) (3.72) (5.46) (4.18) (1.62)
29,815.30 42,723.70 36,917.00 26,439.00 31,268.00
6 Negara lainnya
(8.11) (8.71) (9.72) (6.95) (7.12)
Total 367,425.80 490,777.00 379,829.00 380,512.00 439305.00

Keterangan: Angka dalam tanda () adalah pangsa


Sumber: Internastional Trade Center, 2011

71
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor biji kakao dari beberapa


negara asal (Tabel 4.8). Impor biji kakao terbesar berasal dari Ghana dengan
pangsa lebih dari 30 persen, diikuti oleh Pantai Gading dan Papua New Guinea.
Kualitas biji kakao dari negara-negara tersebut lebih baik dari pada biji kakao
produksi Indonesia.
Impor biji kakao diperlukan sebagai bahan baku untuk memproduksi
kakao olahan. Hal ini dilakukan sebab biji kakao lokal tidak memenuhi syarat
dijadikan bahan baku kakao turunan. Biji kakao lokal tidak difermentasikan
terlebih dahulu sehingga kualitasnya tidak memenuhi syarat untuk
memproduksi kakao olahan, terutama untuk menjadi cocoa butter dan cocoa
powder yang pasarnya lebih luas. Tercatat sekitar 90% biji kakao di Indonesia
tidak difermentasi sehingga sebagian besar industri hanya mengolah hingga
menjadi cocoa butter dan cocoa cake.
Tabel 4.8. Impor Biji Kakao Indonesia dari Beberapa Negara Tujuan

No Negara Asal 2005 2006 2007 2008 2009

3,259.00 11,138.00 3,569.00 932 32,259.00


1 Ghana
(6.80) (25.83) (9.10) (1.56) (42.27)
26,985.00 18,141.00 22,230.00 33,904.00 10,093.00
2 Côte d'Ivoire
(56.31) (42.07) (56.68) (56.91) (13.23)
13,643.00 9,187.00 9,885.00 9,351.00 21,971.00
3 Papua New Guinea
(28.47) (21.31) (25.20) (15.70) (28.79)
Total 47,923.00 43,119.00 39,221.00 59,574.00 76,312.00

Keterangan: Angka dalam tanda () adalah pangsa


Sumber: Internastional Trade Center, 2011

Secara ringkas, kondisi perkakaoan di Indonesia saat ini digambarkan


pada Gambar 4.17. Pada 2010, produksi biji kakao sebanyak 600.000 ton. Dari
jumlah produksi tersebut, sebanyak 72 persen dari total produksi biji kakao lokal
diekspor ke luar negeri. Selebihnya, yaitu sebanyak 28 persen, diolah di dalam
negeri dengan mengandalkan sebanyak 21 unit jumlah industri kakao dan
cokelat. Produksi kakao olahan dalam negeri juga menggunakan biji kakao
impor, yaitu sebanyak 24.831 ton. Hasil produksi dalam negeri tersebut,

72
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

sebanyak 103.005 ton kakao olahan berhasil diekspor ditambah sebanyak


11.764 ton cokelat.
Gambar. 4.17. Kondisi Perkakaoan Di Indonesia

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

4.3.3. Nilai Tambah Bisnis


Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dunia, maka
permintaan pasar untuk komoditi kakao juga akan meningkat. Ini merupakan
peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan produksi kakao hingga proses
hilirisasinya. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi kakao adalah dengan
memperluas lahan penanaman hingga meningkatkan kapasitas produksi kakao
olahan. Hal ini masih mungkin dilakukan karena masih banyak lahan yang dapat
dimanfaatkan bagi usaha perkebunan kakao di Indonesia.
Perkembangan dunia usaha di bidang kakao saat ini sedang mengalami
kemajuan. Jumlah perusahaan industri kakao di Indonesia hingga 2011 tercatat
sebanyak 21 unit. Jumlah ini bertambah setelah pemerintah menetapkan BK
(bea keluar) biji kakao. Sebanyak 8 perusahaan mulai beroperasi kembali dan

73
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

melakukan perluasan produksi. Pertumbuhan industri kakao pada 2010 tercatat


sebesar 38 persen dan 2011 sebesar 30 persen (Kementerian Perindustrian,
2011). Ini merupakan berita baik dan peluang bagi pengusaha untuk bergerak di
bidang industri perkakaoan.
Sekitar 72 persen dari produksi kakao nasional saat ini masih diekspor
dalam bentuk biji mentah, menurun dibanding tahun sebelumnya yang
mencapai 80 persen biji kakao diekspor. Ini merupakan peluang bagi industri
kakao untuk terus meningkatkan kapasitas produksinya karena saat ini peluang
menggunakan kakao lokal menjadi semakin besar terlebih setelah penetapan BK
biji kakao.
Kakao yang merupakan bahan dasar untuk pembuatan Cokelat sangat
dibutuhkan oleh pasar dunia, terutama di Amerika dan Eropa. Bahkan mereka
mempunyai motto ”Tiada hari tanpa cokelat”. Saat ini konsumsi cokelat tidak
hanya didominasi oleh Amerika dan Eropa saja, beberapa negara di Asia juga
mulai menggemari cokelat, terutama China. China dengan pertumbuhan
ekonominya yang melesat tinggi dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan
pola konsumsi masyarakatnya, terutama generasi muda, mulai berubah menjadi
”kebarat-baratan”. Mereka mulai menyukai makanan maupun minuman yang
menggunakan campuran cokelat. Sehingga tidak salah jika ICCO menyatakan
bahwa dalam lima tahun terakhir permintaan kakao dunia tumbuh sekitar 5
persen per tahun (konsumsi kakao dunia saat ini lebih dari 3,5 juta ton/tahun).
Industri kakao di Indonesia semakin berpeluang dikembangkan karena
mempunyai alasan sebagai berikut:
a. Indonesia Produsen Biji Kakao No. 2 Dunia Setelah Pantai Gading dan Ghana
b. Tingkat konsumsi kakao per kapita di Indonesia sekitar 0,2 kg/kapita/tahun
dan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 240 juta jiwa
dengan income per kapita mencapai + US$ 3.000
c. Keunggulan
a. Melting Point Cocoa Butter Tinggi
b. FFA rendah

74
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

d. Kelemahan
a. Tidak Difermentasi
b. Produktivitas Masih Rendah = 0,600 Ton/Ha/Tahun
e. 80 – 90 persen Untuk Ekspor
f. Manfaat Coklat Bagi Kesehatan ---- Flavanoid
a. Memperkuat Jantung
b. Melancarkan Peredaran Darah
c. Mengurangi Risiko Kanker
g. Pasar Terbuka Luas: Indonesia, India, RRC, Eropa

4.3.4. Nilai Tambah Teknis


Industri pengolahan kakao merupakan salah satu industri yang prospektif
dikembangkan ke depan. Di Indonesia, kakao dan produk olahannya
menunjukkan prospek yang baik. Salah satunya bermula sejak pemerintah
menerapkan Bea Keluar atas ekspor biji kakao per 1 April 2010. Sejak saat itu
industri kakao Indonesia mengalami peningkatan kapasitas produksi yang cukup
signifikan, seperti terlihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Perbandingan Kapasitas Produksi Kakao Sebelum dan Sesudah
Penetapan Bea Keluar
Tahun
Keterangan
2009 2010 2011* 2012*
Kapasitas Produksi (ton) 125,000 150,000 280,000 400,000
Kenaikan 20% 87% 43%
Keterangan: 2009 Sebelum Penetapan BK
2010-2011: Setelah Penetapan BK
*) Prediksi

Selain peningkatan produksi biji kakao, penerapan BK kakao terhadap


ekspor biji kakao ke luar negeri berdampak positif terhadap tumbuhnya industri
kakao dalam negeri. Sebagai ilustrasi, sebelum penerapan BK, dari 16 unit
industri kakao dalam negeri, yang beroperasi hanya 5 unit. Setelah penerapan

75
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

BK, 6 unit beroperasi kembali, 3 unit meningkatkan kapasitas terpasang, 5 unit


beroperasi normal dan 1 unit diluar 16 industri merupakan investor baru. Selain
itu, juga terjadi peningkatan nilai tambah kakao dalam negeri naik 26 persen;
volume ekspor biji kakao menurun sekitar 20 persen untuk memenuhi bahan
baku industri dalam negeri; peningkatan kapasitas terpakai industri pengolahan
dari 272 ribu ton/tahun menjadi 430 ribu ton/tahun. Dengan berkembangnya
industri kakao diyakini akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani. Dengan demikian kebangkitan industri kakao nasional juga menandai
kebangkitan petani kakao, terutama produksi kakao nasional yang secara
langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan pendapatan petani dalam
negeri.

Tabel 4.10. Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Sebelum dan Sesudah
Penetapan Bea Keluar

VOLUME (MT) NILAI (USD)


Komoditi
2009 2010 % 2009 2010 %
Biji kakao 439,300 432,426 -2% 1,090,000,000 1,190,000,000 9%
Kakao Olahan 82.539 103,055 25% 295,000,000 406,000,000 38%
Keterangan : 2009 Sebelum Penetapan BK
2010 Setelah Penetapan BK
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011

Pada 2010 beberapa industri yang semula mati suri mulai bangkit
kembali. Namun, peningkatan kapasitas belum terlihat signifikan pada tahun ini
karena perlu waktu untuk menjalankan kembali industri yang sudah berhenti
beberapa tahun dan untuk industri yang ekspansi pemesanan mesin memakan
waktu hingga satu tahun. Perubahan signifikan terjadi pada volume ekspor biji
kakao dan kakao olahan pada 2011, seperti terlihat pada Table 3.10. Dari data
di atas terlihat bahwa ekspor biji kakao pada 2010 menurun sebesar 6.868 ton
(2 persen), sedangkan ekspor produk olahannya meningkat sebesar 20.516 ton
(25persen).

76
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Keuntungan atau nilai tambah yang diperoleh pasca-penetapan Bea


Keluar pada April 2010 tidak hanya keuntungan dari sisi kapasitas produksi dan
volume/nilai ekspor, namun juga dari sisi penggunaan biji kakao lokal. Biji kakao
lokal yang digunakan untuk produksi dalam negeri jumlahnya meningkat,
sedangkan biji kakao lokal yang diekspor jumlahnya menurun. Persentase
ekspor biji mengalami penurunan menjadi 72 persen pada 2010 dan terjadi
peningkatan penggunaan biji kakao menjadi 28% pada 2010, seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11. Penggunaan Biji Kakao Sebelum danSesudah Penetapan Bea Keluar
2009 2010
Uraian
(Ton) % (Ton) %
Produksi Biji Kakao 550,000 100 600,000 100
Ekspor Biji Kakao 439,305 80 432,427 72
Biji Kakao Untuk Dalam Negeri 110,695 20 167,573 28
Keterangan : 2009 Sebelum Penetapan BK
2010 Setelah Penetapan BK
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011

Dengan semakin baiknya kondisi industri kakao yang tercermin dari


peningkatan produksi kakao olahan dalam negeri yang berbahan baku biji kakao
lokal, maka pemerintah menargetkan pada 2015 jumlah produksi biji kakao
mencapai dua kali lipat dari produksi biji kakao pada 2010 dan 2020 mencapai 2
juta ton. Realisasi dan target produksi kakao ditunjukkan pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Realisasi 2010 dan Target 2015 & 2020

2010 2015 2020


Uraian % % %
(ton) (ton) (ton)
Produksi Biji Kakao 600.000 1.200.000 2.000.000
Ekspor biji Kakao 432.427 72% 600.000 50% 800.000 40%
Pemanfaatan biji
167.573 28% 600.000 50% 1.200.000 60%
kakao Dalam Negeri
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

77
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kebijakan pengenaan Bea Keluar biji kakao per 1 April 2010 berdampak
positif yang ditandai dengan:
 Peningkatan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao dan cokelat dari
531.675 ton/tahun pada 2010 menjadi 689.750 ton/tahun pada 2011, baik
dari investasi baru maupun perluasan.
 Penerimaan Bea Keluar untuk mendukung Gerakan Nasional (Gernas) kakao
yang dilakukan pemerintah sejak 2009.
 Program Gerakan Nasional (Gernas) untuk Peningkatan produksi dan mutu
produksi kakao khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur.
 Peningkatan ekspor produk olahan dari 81.993 ton (2009) menjadi 55.561 ton
(Jan-Mei 2011).
 Penurunan Impor produk kakao olahan dari 11.767 ton (2009) menjadi 6.604
(Jan-Mei 2011).
Pada 2011 peningkatan kapasitas produksi industri kakao terlihat
signifikan sebagai akibat dari:
1. Beberapa industri yang sebelumnya stop produksi sudah beroperasi kembali.
2. Beberapa industri melakukan ekspansi.
3. Satu investor dari Malaysia pada tahun ini sudah mulai mengoperasikan
pabriknya di Batam dengan kapasitas terpasang 65.000 ton, yaitu PT. Asia
Cocoa Indonesia. Hal inilah yang mendorong peningkatan kapasitas industri
sekitar 87 persen pada tahun ini.
Dari beberapa industri kakao yang sempat mati suri, saat ini memang
masih ada tiga industri yang belum beroperasi, yaitu :
a. PT. Industri kakao utama di Kendari, pabrik ini memang belum beroperasi
semenjak didirikan oleh pemiliknya.
b. PT. Kopi Jaya Kakao di Makasar, pabrik ini belum beroperasi karena ada
masalah internal.
c. PT. Budidaya Kakao Lestari di Surabaya, pabrik ini masih melakukan persiapan
untuk beroperasi kembali karena sempat berhenti beberapa tahun sehingga
mereka perlu waktu merekrut karyawan, perbaikan mesin, penambahan daya
listrik dari PLN, buka kembali jaringan pembelian dan pemasaran dan lain-
lain. Pabrik ini diperkirakan akan beroperasi awal tahun depan.

78
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.18. Pohon Industri Kakao

Sumber:: www.kadin-indonesia.or.id

79
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Dengan diberlakukannya BK biji kakao mendorong industri hilir


melakukan ekspansi di Indonesia, contohnya PT. Nestle Indonesia yang
melakukan ekspansi pabrik susu Milo dan Dancow di Pasuruan dan Karawang.
Dengan akan masuknya para investor asing ke Indonesia, seperti Cargill, ADM
dan JB Cocoa tidak akan memengaruhi industri kakao yang sudah ada karena
pasarnya berbeda. Para investor asing memproduksi kakao olahan kelas
premium untuk pasar di Eropa, sedangkan industri yang sudah ada di Indonesia
umumnya memproduksi kakao olahan kelas menengah untuk pasar di negara-
negara berkembang.
Beberapa penjelasan dan bukti tersebut menunjukkan bahwa industri
pengolahan kakao merupakan industri yang berpeluang menghasilkan
keuntungan atau nilai tambah besar bagi para pelaku usaha dan pemerintah. Hal
ini bisa terjadi karena selain menguntungkan dalam sudut pandang pebisnis,
juga dapat memberikan efek positif bagi perekonomian nasional.

4.3.5. Backward-Forward Linkage


Komoditas kakao memiliki keterkaitan penggunaan dengan komoditas
lainnya. Berdasarkan data pada Tabel Input-Output 2005 dapat dilihat inter
industry connectivity komoditas kakao, terutama indikator keterkaitan ke depan
(forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Gambar 4.19
menunjukkan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan tertinggi adalah
industri coklat dan kembang gula, industri biji-bijian kupasan, industri makanan
lainnya, industri kakao, industri minuman tak berakohol industri obat-obatan
dan restoran. Hal ini mengandung pengertian bahwa output komoditas kakao
paling banyak digunakan oleh industri-industri tersebut. Sedangkan sektor yang
mempunyai keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor ternak,
industri pupuk dan pestisida, prasarana pertanian, jasa angkutan, bank dan jasa
lainnya. Dengan kata lain komoditas kakao sangat membutuhkan output dari
sektor-sektor tersebut dalam proses produksinya.

80
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.19. Keterkaitan Komoditas Kakao dengan Industri Lain

4.3.6. Potensi Permintaan


Peningkatan produksi kakao di dunia tidak lepas dari pengaruh semakin
tinggi tingkat permintaan kakao. Gambar 4.20 menunjukkan bahwa tingkat
permintaan kakao dunia semakin tinggi. Hal ini dikarenakan selain semakin
bertambahnya populasi dunia, minat masyarakat dunia mengkonsumsi cokelat
semakin besar. Pada 2010-2011 permintaan kakao tercatat sebesar 3,77 juta ton
dan bahkan hingga 2015-2016 diprediksi terus meningkat hingga 4,3 juta ton.
Tingginya animo masyarakat menggemari cokelat juga tidak lepas dari
banyaknya penelitian dalam beberapa tahun terakhir yang menemukan bahwa
ternyata kakao banyak mengandung antioksidan yang disebut ”Flavonoid”.
Antioksidan yang terkandung dalam cokelat bahkan lebih tinggi dibanding yang
terkandung di dalam teh maupun wine. Jadi cokelat pada dasarnya sangat baik
untuk kesehatan manusia, terutama meningkatkan peredaran darah,
memerkuat kerja jantung, mengurangi risiko kanker, dan bahkan cokelat juga
mengandung zat yang bisa menimbulkan perasaan senang dan tenang sehingga
dapat meredakan orang yang stres, terbukti pada saat krisis permintaan cokelat
justru meningkat.

81
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.20. Permintaan Kakao Dunia (Ribu Ton)

Sumber: AIKI, 2011

Meningkatnya permintaan kakao dunia sejak awal 2000-an kadang tidak


disertai peningkatan produksi yang tinggi pula. Akibat dari hal tersebut, maka
terjadi defisit pada permintaan kakao dunia. Gambar 4.21 menunjukkan defisit
dan surplus komoditas kakao. Pada 2006-2007, 2008-2009 dan 2009-2010
terjadi defisit kakao dunia akibat dari jumlah permintaan melebihi jumlah
produksinya. Pada tahun tersebut, jumlah produksi kakao dunia mengalami
pertumbuhan yang negatif. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor eksternal dan
internal. Faktor eksternal yang mungkin terjadi adalah karena adanya guncangan
eksternal yang menyebabkan harga kakao turun. Sedangkan faktor internal yang
mungkin terjadi adalah karena produktivitas kakao menurun yang diakibatkan
karena gangguan pada tanaman kakao (serangan hama). Namun, apapun
penyebabnya tidaklah begitu penting, yang jelas bahwa permintaan kakao setiap
tahun cenderung selalu mengalami peningkatan dan belum diimbangi oleh
jumlah produksinya. Informasi ini merupakan kabar baik bagi para pelaku usaha
kakao. Usaha dibidang kakao sangat memiliki peluang yang baik di masa-masa
yang akan datang karena kebutuhan konsumsi kakao di dunia selalu meningkat.

82
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.21. Surplus dan Defisit Kakao Dunia (Ribu Ton)

Sumber: AIKI, 2011

Seiring dengan peningkatan permintaan dunia, harga kakao dunia pun


juga menunjukkan peningkatan, khususnya selama 2003-2009 (Gambar 4.22).
Rata-rata peningkatan harga kakao dunia selama perode tersebut sebesar 8,37
persen dengan capaian harga tertinggi sebesar US$ 1.865,07 per ton pada 2008.
Harga kakao yang semakin meningkat merupakan insentif bagi para pelaku
usaha kakao di dunia. Ini berarti peluang mengembangkan kakao, khususnya di
sektor hulu, masih terbuka sangat lebar mengingat banyak nilai tambah (value
added) yang dapat diperoleh, salah satunya adalah perolehan margin
(keuntungan) yang besar.
Gambar 4.22. Harga Kakao Dunia (US$)

Sumber: FAO, 2011

83
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.3.7. Lokasi Penyebaran


Daerah sebaran sentra penanaman kakao cukup banyak dan tumbuh
dengan baik di berbagai wilyah Indonesia. Daerah penghasil kakao Indonesia
antara lain terdapat di Sulawesi Selatan 184.000 ton (28,26 persen), Sulawesi
Tengah 137.000 ton (21,04 persen), Sulawesi Tenggara 111.000 ton (17,05
persen), Sumatera Utara 51.000 ton (7,85 persen), Kalimantan Timur 25.000 ton
(3,84 persen), Lampung 21.000 ton (3,23 persen), dan daerah lainnya 122.000
ton (18,74 persen).
Selain daerah-daerah penghasil kakao, Indonesia juga memiliki beberapa
industri kakao yang penyabarannya cukup merata. Berdasarkan Gambar 4.23, di
Jawa terdapat 8 industri kakao, sementara Sulawesi yang merupakan sentra
produksi kakao hanya terdapat 6 industri kakao. Sementara di Sumatera dan
Batam masing-masing terdapat 1 industri kakao.
Gambar 4.23. Penyebaran Industri Kakao

Sumber:Kementerian Perindustrian, 2011

84
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.4. Rotan
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri rotan
dunia. Potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia dalam pengembangan industri
rotan dunia disebabkan besarnya pasokan bahan baku rotan yang dimiliki oleh
Indonesia. Besarnya pasokan bahan baku rotan yang dimiliki oleh Indonesia
tersebut membuat Indonesia menguasi market share perdagangan rotan dunia.
Besarnya kontribusi Indonesia terhadap supply bahan baku rotan di dunia tidak
terlepas dari faktor kondisi geografis dari Indonesia, di mana Indonesia terletak
pada daerah tropis sehingga memiliki kawasan hutan tropik yang sangat luas
dan kaya akan hasil nabati. Luas dan kayanya hutan tropis Indonesia, membuat
Indonesia dapat menghasilkan produksi hasil-hasil hutan dengan jumlah yang
besar, tidak hanya kayu saja tetapi juga rotan. Kondisi tersebut membuat tata
niaga rotan dunia sangat ditentukan oleh pasokan rotan dari Indonesia. Bahkan,
beberapa negara penghasil barang olahan rotan, seperti China, sangat
mengandalkan pasokan rotan dari Indonesia, di mana China mengimpor 75%
bahan baku rotan dari Indonesia yang pada akhirnya diolah menjadi produk
mebel untuk diekspor ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dengan nilai
yang jauh lebih tinggi. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa keberlangsungan
industri rotan di China bergantung pada suplai bahan baku rotan yang dipasok
dari Indonesia. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Indonesia
merupakan negara yang sangat strategis dalam perdagangan industri rotan
dunia.

4.4.1. Potensi Produksi


Pada dasarnya potensi rotan Indonesia masih belum terberdayakan
secara penuh. Sebagai gambaran, potensi rotan di Indonesia mencapai
17.217.442 ton. Tetapi, hingga saat ini baru sekitar 170 ribu ton hasil produksi
rotan per tahun yang mampu diproduksi oleh industri rotan dalam negeri. Oleh
sebab itu, ada potensi besar dari rotan yang belum terberdayakan. Jika
pemerintah mampu mengubah potensi rotan menjadi suatu produk jadi olahan
rotan, maka nilai perdagangan internasional dari industri olahan rotan dalam
negeri akan dapat meningkat. Lebih dari itu, pembangunan industri rotan juga

85
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mengingat panjang tata niaga


rotan di dalam negeri.
Walaupun memiliki potensi rotan yang besar, namun potensi tersebut
belum sepenuhnya terberdayakan. Hal tersebut dapat dilihat dari masih
rendahnya produksi rotan Indonesia. Dari Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa
produksi rotan Indonesia mencapai 696,9 ribu ton. Dari total produksi tersebut,
51,8 persen produksi rotan Indonesia berasal dari Sulawesi (361 ribu ton).
Kalimantan sendiri memproduksi sekitar 193 ribu ton rotan per tahun atau 27,7
persen dari total produksi rotan Indonesia. Sekitar 20,5 persen produksi rotan
Indonesia berasal dari daerah-daerah lain, seperti Sumatera dan Nusa Tenggara.
Tabel 4.13. Potensi Produksi Rotan Indonesia

Luas Hutan Potensi Produksi Rotan


No Provinsi
(hektar) (ton)
1 Aceh 165.000 49.413
2 Sumatera Utara 230.000 49.168
3 Jambi 400.000 188.000
4 Sumatera Barat 429.000 64.470
5 Riau 345.000 2.466.388
6 Bengkulu 300.000 68.751
7 Sumatera Selatan 341.000 37.680
8 Lampung 251.000 24.598
9 Jawa 376.282 3.017
10 Kalimantan Barat 600.000 2.310.000
11 Kalimantan Selatan 11.000 7.000
12 Kalimantan Tengah 64.527 16.132
13 Kalimantan Timur 4.256.000 5.149.081
14 Sulawesi Selatan 789.568 1.542.095
15 Sulawesi Tengah 3.572.663 2.381.701
16 Sulawesi Utara 78.900 52.590
17 Sulawesi Tenggara 144.000 945.418
18 Maluku 657.000 275.000
19 Nusa Tenggara 67.000 57.000
20 Irian Jaya 850.000 1.530.000
Total Potensi 10.918.000 17.217.442
Sumber: Rivai R Syam, 2006

86
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Dalam konteks jumlah industri rotan dan kapasitasnya, Jawa-Bali dapat


dikatakan sebagai kawasan dengan kapasitas Industri terbesar di Indonesia, di
mana di daerah tersebut terdapat 300 industri rotan atau lebih dari 50 persen
dari total industri rotan di Indonesia. Lebih dari itu, daerah Jawa dan Bali
memiliki kapasitas input yang besar, baik produksi rotan setengah jadi maupun
produksi rotan jadi. Walaupun demikian, Sulawesi juga memiliki kapasitas input
yang juga besar namun hanya hingga produksi rotan setengah jadi.

4.4.2. Market Share


Dalam konteks market share perdagangan rotan dunia, dapat dikatakan
bahwa Indonesia adalah pemain utama yang memiliki peranan yang sangat
signifikan dalam perdagangan bahan baku rotan di dunia. Besarnya peranan
Indonesia dalam perdagangan bahan baku rotan di dunia dapat dilihat dari
Gambar 4.24. dimana dimana 37.500 ton atau 61 persen dari total produksi
bahan baku rotan dunia di ekspor dari Indonesia. Myanmar berada di posisi
kedua sebagai negara pengekspor rotan terbesar kedua (10.000 ton atau 16
persen). Kondisi tersebut membuat tata niaga rotan dunia sangat ditentukan
oleh pasokan rotan dari Indonesia. Lebih dari itu, Cina sebagai negara yang
menguasai perdagangan barang olahan rotan di dunia, hanya menguasai 5% dari
total ekspor rotan bahan baku di Indonesia.
Gambar 4.24. Market Share Ekspor Rotan (Volume)

Sumber: uncomtrade, 2011

87
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Volume perdagangan perdagangan rotan dunia pada beberapa tahun


terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada 2000, volume impor
rotan mencapai sekitar 87.500 ton. Namun, pada 2007 volume perdagangan
tersebut turun menjadi 64.000 ton dan 62.000 ton pada 2008.
Gambar 4.25. Volume Perdagangan Rotan Dunia (Ton)

Sumber: uncomtrade, 2011

Dari Gambar 4.26 nilai perdagangan rotan di pasar internasional


mengalami fluktuasi dalam kurun waktu 2000 hingga 2008. Berbeda dengan
volume perdagangan yang terus menurun, nilai perdagangan rotan internasional
sempat turun pada 2002 (US$ 58 juta), kembali meningkat hingga tahun 2005,
lalu kembali turun pada tahun-tahun berikutnya. Terakhir, pada 2008 nilai
perdagangan rotan di dunia mencapai (US$ 60 juta).
Gambar 4.26. Nilai Perdagangan Rotan Dunia (US$ juta)

Sumber: uncomtrade, 2011

88
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Volume ekspor Indonesia mengalami pasang surut yang disebabkan oleh


kebijakan pemerintah Indonesia. Walaupun mengalami penurunan pada 2005,
namun pasca-dibukanya keran ekspor, volume ekspor rotan Indonesia
mengalami peningkatan sejak tahun tersebut di mana pada 2005 Indonesia
mengekspor 18.000 ton ke luar negeri, lalu pada 2008 ekspor Indonesia
meningkat menjadi 31.000 ton. Dari Gambar 4.27 juga dapat dilihat bahwa
ekspor rotan versi pencatatan Indonesia terus mengalami peningkatan pasca-
dibukanya keran ekspor rotan pada 2006.
Gambar 4.27. Volume Ekspor Rotan Indonesia

Sumber: uncomtrade, 2011

Dalam hal negara tujuan ekspor dari rotan Indonesia, China adalah
negara tujuan utama dari ekspor rotan Indonesia. Dari Gambar 4.28, dapat
dilihat bahwa China menguasai ekspor bahan baku rotan dari Indonesia di mana
27.000 ton diekspor ke China. Jumlah tersebut jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan negara-negara lainnya, seperti Singapura maupun
Malaysia yang jumlahnya kurang dari 5.000 ton. Sehingga dapat disimpulkan
China merupakan negara tujuan utama dari ekspor bahan baku rotan yang
berasal dari Indonesia.

89
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.28. Tujuan Ekspor Bahan Baku Rotan dari Indonesia, 2008

Sumber: uncomtrade, 2011

Hal yang menjadi ironis adalah China menjadi negara terbesar dalam
industri rotan dunia walaupun tidak memiliki bahan baku rotan dan hanya
mengandalkan bahan baku rotan yang berasal dari Indonesia. 27.000 ton yang
diekspor ke China dari Indonesia dijadikan sebagai bahan baku untuk
memproduksi produk-produk olahan dari industri rotan yang memiliki nilai
tambah yang lebih tinggi. Lebih dari itu, volume ekspor produk olahan industri
rotan China jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang merupakan negara
pemasok sumber bahan baku industri rotan. Dari Gambar 4.29 dapat dilihat
bahwa China mengekspor 2.259 ton produk olahan dari industri rotan dalam
bentuk furniture. Di saat yang bersamaan, Indonesia hanya mampu mengekspor
536 ton produk hasil olahan industri rotan dalam negeri Indonesia.
Gambar 4.29. Negara Pengekspor Industri Rotan Olahan Tahun 2008

Sumber: Uncomtrade, 2011

90
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.4.3. Nilai Tambah Bisnis


Strategisnya industri rotan di Indonesia juga tidak terlepas dari nilai
tambah bisnis yang dapat dihasilkan dari industri rotan. Dari Tabel 4.14dapat
dilihat bahwa margin keuntungan yang didapat oleh para pelaku dalam setiap
tahapan tata niaga rotan akan semakin besar jika usahanya berada pada
tahapan hilir, bukan pada tahapan hulu. Tabel 4.15 menunjukkan bahwa industri
pengolahan rotan memiliki nilai bisnis tinggi di mana margin harga jual ekspor
barang jadi bisa mencapai 400 persen dari harga jual pemungut rotan di daerah
penghasil rotan. Jumlah tersebut jauh lebih besar jadi dibandingkan dengan
margin keuntungan yang diperoleh pengumpul yang hanya mendapatkan
margin keuntungan sebesar 60 dari pemungut. Margin keuntungan dari
pedagang antarpulau juga lebih kecil dari pedagang ekspor barang jadi, di mana
pedagang antarpulau hanya mendapatkan margin keuntungan sebesar 60
persen hingga 90 persen. Besarnya potensi bahan baku rotan di Indonesia dan
prospek keuntungan yang besar dari hilirisasi produk rotan, seharusnya
menjadikan industri rotan sebagai salah satu komoditas unggulan yang penting
untuk dikembangkan di Indonesia pada beberapa tahun ke depan.
Tabel 4.14. Margin Keuntungan dari Setiap Tahapan Tata Niaga Rotan

No Tahapan Tata Niaga Rotan Margin Keuntungan


1 Harga Jual Pemungut 100
2 Harga Jual Pengumpul I dan II 160 (60%)
3 Harga Jual f.o.b antarpulau 190 (60%-90%)
4 Harga jual f.o.b ekspor barang jadi 400 (210%-400%)

Sumber: Januminro, CFM

4.4.4. Nilai Tambah Teknis


Rotan sebagai bahan baku yang diambil langsung dari hutan tropis oleh
para pertani rotan memiliki potensi pengembangan yang sangat besar. Gambar
di bawah ini menunjukkan skema pengembangan produk dari rotan. Dari situ
dapat dilihat bahwa dari pohon rotan dapat dihasilkan rotan asalan dan buah

91
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

rotan yang masing-masing memiliki produk turunan. Dari rotan asalan,


pengembangan rotan bisa menjadi anyaman, kerajinan, mebel, tikar/lampit, dan
tongkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pengembangan dari bahan
baku rotan sangat besar.
Gambar 4.30. Pohon Hilirisasi Industri Rotan

Sumber: Asosiasi Petani Rotan, 2010

4.4.5. Forward-backward Linkage


Merujuk pada data Input Output 2008 dapat dilihat inter-industry
connectivity yang antara lain menggunakan indikator keterkaitan ke belakang
dan keterkaitan ke depan. Dari Gambar 4.31 terlihat sektor yang memiliki
keterkaitan ke depan tertinggi dari industri rotan adalah industri bambu, kayu,
dan rotan, kemudian industri bangunan. Dengan nilai indeks keterkaitan ke
depan (IKD) 0,176, maka apabila terdapat kenaikan satu unit output sektor
industri rotan akan menaikkan output sektor lainnya yang menggunakan output

92
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

sektor tersebut sebagai input dalam proses produksinya sebesar 0,176 unit. Dari
Tabel Input-Output juga dapat terlihat bahwa sektor yang mempunyai
keterkaitan langsung ke belakang tertinggi adalah sektor Industri bambu, kayu,
dan rotan.
Gambar 4.31. Forward-backward Linkage Rotan

Sumber: Tabel I-O 2008, diolah

4.4.6. Lokasi Penyebaran


Dengan lahan seluas 10,9 juta hektar, potensi produksi rotan Indonesia
diperkirakan sebesar 17,2 juta ton (Tabel 4.15). Dari total potensi tersebut,
kawasan Kalimantan Timur, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan
Sulawesi Selatan, memiliki potensi produksi yang jauh lebih besar dibandingkan
daerah Indonesia lainnya, di mana daerah-daerah tersebut berpotensi
memproduksi rotan di atas 1,5 juta ton per tahun.
Tabel 4.15. Produksi Rotan Indonesia Berdasarkan Wilayah
No Kawasan Produksi (Ton/ tahun) Persentase
1 Sumatra 106,000 15,3
2 Kalimantan 193,000 27,7
3 Sulawesi 361,000 51,8
4 NTB 36,000 5,2
Total 696,900 100
Sumber: Rivai R Syam, 2006

93
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 4.16. Jumlah Industri Rotan dan Kapasitas Industri

Jumlah Kapasitas Input Bahan Rotan per tahun


No Lokasi
Industri Produksi Setengah Jadi Produksi Jadi
1 Sumatera 50 43.906 34.049
2 Jawa-Bali 300 216.766 416.924
3 Kalimantan 87 94.011 54.217
4 Maluku 1 - 300
5 Sulawesi 135 260.635 28.168
6 NTB 8 4.220 -
Total 581 619.538 533.658

Sumber: Yayasan Rotan Indonesia, 2010

4.5. Rumput Laut


Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.504 buah
dan panjang pantai yang mencapai 81.000 km, Indonesia memiliki peluang dan
potensi budidaya komoditi laut yang sangat besar untuk dikembangkan. Luas
potensi budidaya laut diperkirakan mencapai 26 juta ha, dan kurang lebih dua
juta ha di antaranya sangat potensial untuk pengembangan rumput laut dengan
potensi produksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per ha. Berdasarkan data
DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) RI 2008, apabila seluruh lahan dapat
dimanfaatkan maka akan diperoleh kurang lebih 32 juta ton rumput laut per
tahun. Apabila harga rumput laut sebesar Rp 4,5 juta per ton, maka penerimaan
yang diperoleh berkisar Rp 144 triliun per tahun. Potensi rumput laut Indonesia
dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi devisa negara, dan juga
mampu menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor rumput laut terbesar
di dunia.

94
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.5.1. Potensi Produksi


Berdasarkan data publikasi dari Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian
Kelautan dan Perikanan, produksi perikanan budidaya nasional pada 2010
mencapai 6.277.923 ton. Kontribusi produksi rumput laut menyumbang 62,22
persen dari total produksi perikanan budidaya atau hampir sekitar 2/3 dari total
produksi perikanan budidaya. Produksi rumput laut Indonesia selalu mengalami
pertumbuhan setiap tahun, pada 2006 sebesar 1,37 juta ton dan pada 2010
mencapai 3,9 juta ton. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan
sendiri menargetkan pencapaian produksi rumput laut sebesar 10 juta ton pada
2014 (Tabel 4.17).

Tabel 4.17. Produksi Rumput Laut Indonesia

Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%)

2006 1.374.462 -
2007 1.728.475 25,76
2008 2.145.060 24,10
2009 2.963.556 38,16
2010 3.906.420 31,82
2014* 10.000.000 156
Sumber: Dirjen Perikanan Budidaya dan KKP, 2011
Keterangan *)Target

Dari sisi nilai ekspor, pada 2010 Indonesia menempati posisi ke 2 dengan
pangsa 20,74 persen, sementara urutan lima besar negara eksportir lainnya
adalah China menempati posisi 1 dengan share ekspor sebesar 21,64 persen,
dan seterusnya adalah Korea yang menempati posisi 3 dengan share 14,86
persen, Chile diposisi 4 dengan share 10,86 persen, dan Philipina posisi 5 dengan
share 5,83 persen (Gambar 4.32).

95
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 4.32. Market Share Rumput Laut Dunia, 2010

Sumber: Comtrade statistics dalam Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)

4.5.2. Market Share


Berdasarkan data BPS, total ekspor rumput laut Indonesia pada 2006 –
2010 menunjukkan tren positif sebesar 27,63 persen. Dari sisi volume ekspor,
Indonesia menempati posisi pertama dari 2006 hingga 2010, rata-rata ekspor
rumput laut Indonesia sebesar 101.337,6 ton per tahun atau setara dengan
33,40 persen dari volume ekspor rumput laut dunia. Ekspor rumput laut
Indonesia mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dan pada 2010 terjadi
pertumbuhan yang relatif tinggi sebesar 30,93 persen, dari 94.003 ton pada
2009 menjadi 123.075 ton pada 2010 (Tabel 4.18).
Tabel 4.18. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia
Ekspor (ton)
Tahun Pertumbuhan (%)
Dunia Indonesia
2006 301.720 95.588
2007 289.077 94.073 -1,58
2008 304.976 99.949 6,25
2009 274.549 94.003 -5,95
2010 344.294 123.075 30,93
rata-rata 302.923 101.337,6
Sumber: Comtrade statistics dalam Kemendag, 2011

96
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Selanjutnya, pangsa pasar volume ekspor rumput laut Indonesia di dunia


terus mengalami tren peningkatan (Gambar 4.33). Pada 2006, pangsa pasarnya
sebesar 31,68 persen dan terus meningkat tiap tahun. Total ekspor rumput laut
dunia pada 2006 sebesar 302.923 ton, sementara pangsa pasar rumput laut
Indonesia sebesar 35,75 persen atau setara dengan 123.075 ton.
Gambar 4.33. Tren Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut Indonesia
di Pasar Internasional

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak 2006 Indonesia


menempati peringkat pertama sebagai negara pengekspor rumput laut dunia.
Namun, keunggulan ini baru dari sisi ekspor berdasarkan volumenya saja.
Sedangkan apabila dilihat dari sisi nilai ekspor, ternyata Indonesia masih kalah
tertinggal dari negara-negara dengan volume ekspor yang lebih rendah.
Berdasarkan nilai ekspor rumput laut, Indonesia hanya mampu menempati
posisi ke-tiga, di mana sejak 2006 hingga 2010 nilai ekspor Indonesia rata-rata
hanya sebesar 88.194 ribu USD dan memiliki pangsa pasar sebesar 15,85 persen
dari total ekspor rumput laut dunia berdasarkan nilai.
Pada Tabel 4.19, secara rinci ditunjukkan posisi Indonesia dihadapan
pasar rumput laut Internasional. Pertama, Indonesia menempati peringkat
pertama sebagai negara pengekspor rumput laut dunia dari sisi volume (ton),

97
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

dengan pangsa sebesar 31,68 persen pada 2005 dan terus meningkat menjadi
35,75 persen pada 2010. Sementara, Chile dan China bertengger diurutan
berikutnya dengan rata-rata pangsa produksi masing-masing sebesar 17,91
persen dan 12,49 persen. Kedua, Indonesia menempati peringat ketiga sebagai
pengekspor rumput laut dunia dari sisi nilai (ribu US$), dengan rata-rata pangsa
sebesar 15,85 persen. Sementara China berada diperingkat teratas dengan rata-
rata pangsa sebesar 23,38 persen, disusul Korea diurutan kedua dengan rata-
rata pangsa sebesar 16,23 persen.

Tabel 4.19. Pangsa Pasar Ekspor Rumput Laut

Pangsa Pasar (%)


Negara Rata-rata
2006 2007 2008 2009 2010
Eksportir Utama (Volume)
Indonesia 31,68 32,54 32,77 34,24 35,75 33,40
Chile 13,77 17,97 18,32 20,47 19,03 17,91
China 15,58 14,43 11,71 11,12 9,60 12,49
Korea 6,60 4,63 5,78 5,33 5,98 5,66
Ireland 4,15 4,33 5,31 6,73 7,09 5,52
Philippines 6,41 4,30 4,51 3,94 5,05 4,84
Lainnya 21,81 21,80 21,60 18,17 17,50 20,18
Eksportir Utama (Nilai)
China 25,57 25,18 21,05 23,47 21,64 23,38
Korea 18,93 15,64 16,17 15,57 14,86 16,23
Indonesia 10,61 12,09 18,65 17,17 20,74 15,85
Chile 7,19 8,73 9,26 11,89 10,86 9,59
Philippines 5,42 4,55 4,29 2,49 5,83 4,52
Japan 3,80 4,22 4,34 4,77 3,66 4,16
Lainnya 28,48 29,60 26,24 24,64 22,40 26,27
Sumber: Comtrade statistics dalam Kementerian Perdagangan, 2011

98
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 4.20. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia


Berdasarkan Volume (ton)
No Negara Tujuan 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
1 China 35.834 23.318 43.620 51.085 72.212 45.214
2 Philippines 11.145 10.878 17.908 6.700 12.512 11.828
3 Vietnam 4.135 10.140 8.252 13.991 15.232 10.350
4 Hongkong 15.673 20.890 7.070 2.323 5.252 10.241
5 Korea 3.842 5.421 5.613 5.019 3.056 4.590
Lainnya 24.956 23.425 17.484 14.882 14.808 19.111
Total Ekspor 95.588 94.073 99.948 94.002 123.074 101.337
Pangsa* 73,89 75,10 82,51 84,17 87,97 80,73
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)
*) Pangsa 5 negara terhadap total ekspor rumput laut Indonesia

Sementara itu, berdasarkan negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia


(berdasarkan volume); China, Philippines, Vietnam, Hongkong dan Korea
merupakan lima negara terbesar yang menjadi negara tujuan ekspor rumput
laut Indonesia (Tabel 4.20). Lima negara ini mampu menyerap ekspor rumput
laut Indonesia hingga 80,73 persen dari total ekspor rumput laut Indonesia
dalam kurun waktu 2006 sampai 2010. Negara-negara tujuan ekspor rumput
laut Indonesia lainnya Chile, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan
lainnya.
Jika ekspor rumput laut Indonesia dilihat berdasarkan nilai (ribu US$),
maka dapat diketahui dari Tabel 4.21, di mana China, Philippines, Vietnam, dan
Korea juga masih berada di peringkat teratas negara tujuan ekspor rumput laut
Indonesia. Ada satu hal yang menarik dari tabel tersebut, di mana ditunjukkan
bahwa Inggris menempati posisi kelima sebagai negara tujuan ekspor rumput
laut Indonesia berdasarkan nilai (ribu US$), yaitu rata-rata sebesar US$ 4.124.
Padahal jika merujuk pada Tabel 4.20, Inggris tidak masuk ke dalam 5 negara
terbesar tujuan ekspor rumput laut Indonesia berdasarkan volume. Artinya,
dengan volume ekspor rumput laut yang relatif kecil ke Inggris, Indonesia bisa
mendapat keuntungan yang relatif besar dari Inggris. Hal ini tentu saja bisa
menjadi sinyalemen positif bahwasanya Inggris bisa menjadi salah satu negara
tujuan ekspor rumput laut Indonesia yang sangat potensial ke depannya.

99
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 4.21. Negara Tujuan Ekspor Rumput Laut Indonesia Berdasarkan Nilai

No Negara Tujuan 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata


1 China 12.875 11.179 35.232 39.007 70.277 33.714
2 Philippines 6.051 7.079 27.896 7.746 16.688 13.092
3 Vietnam 1.402 3.182 3.475 7.130 10.466 5.131
4 Korea 2.281 3.403 7.576 5.575 4.017 4.570
5 Inggris 2.416 2.025 6.207 5.644 4.327 4.124
Lainnya 24.558 30.651 29.764 22.669 30.161 27.561
Total Ekspor 49.586 57.522 110.153 87.773 135.939 88.194
Pangsa* 50,47 46,71 72,97 74,17 77,81 64,43
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)
*) Pangsa 5 negara terhadap total ekspor rumput laut Indonesia

Belum lagi bila dianalisis lebih jauh mengenai pangsa pasar rumput laut
Indonesia di negara tujuan ekspor, seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.22.
Pada tabel tersebut sebetulnya dapat dilihat bagaimana posisi ekspor rumput
laut Indonesia di negara tujuan ekspornya, sekaligus peluang atau potensi yang
bisa diraih Indonesia dalam meningkatkan ekspor komoditas rumput laut.
Rumput laut Indonesia cukup mendominasi di beberapa negara tujuan ekspor,
seperti Filipina, Hongkong, Denmark, China dan Spanyol. Di samping itu,
Indonesia juga masih berpeluang besar untuk melakukan penetrasi ekspor
rumput laut di negara-negara lain yang sangat potensial dijadikan sasaran
ekspor, seperti Jepang, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Tabel 4.22. Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
Negara Tujuan 2003 2004 2005 2006 rata-rata
China 18.51 22.88 38.68 45.49 31.39
Hongkong 30.18 30.43 44.47 85.23 47.58
Philippines 78.35 100 88.16 96.44 90.74
Japan 0.55 0.21 0.45 0.73 0.49
Spain 35.35 42.18 51.49 59.04 47.02
Denmark 26.43 40.52 30 30.77 31.93
USA 5.26 4.28 4.12 19.13 8.20
South Korea 9.62 7.16 31.36 24.47 18.15
Inggris 2.96 3.57 7.06 3.66 4.31
France 11.08 9.56 9.05 4.13 8.46
Sumber: FAO dan DKP, 2008

100
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Jika pembahasan sebelumnya berkutat pada produksi dan ekspor rumput


laut Indonesia, di mana tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah
negara terbesar yang mampu memproduksi dan mengekspor rumput laut di
dunia. Kali ini akan ditunjukkan satu fakta yang mengejutkan, ternyata ‘prestasi’
yang diraih oleh Indonesia dari produksi dan eskpor rumput laut di pasar
Internasional belumlah sebanding dengan peluang memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.23, walaupun Indonesia
mampu memproduksi dan mengekspor rumput laut dalam jumlah yang cukup
besar, ternyata Indonesia juga melakukan impor rumput laut. Impor rumput laut
tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan domestik,
khususnya pada industri makanan. Industri ini memerlukan bahan baku rumput
laut yang sudah diolah dalam bentuk karagenan murni (refined carrageenan).
Sedangkan komoditas rumput laut yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia
ternyata baru sebatas rumput laut kering/mentah (raw dried cottoni).
Impor rumput laut yang berhasil masuk ke Indonesia terus mengalami
peningkatan yang signifikan, dari hanya 322 ton pada 2006 menjadi 779 ton
pada 2010 (Tabel 4.23). Walupun rasio antara impor dengan ekspor rumput laut
cukup kecil (0,63 pada 2010), perlu diperhatikan baik-baik bahwa ternyata
margin atau selisih nilai jual antara rumput laut kering dengan rumput laut yang
sudah diolah menjadi karagenan murni untuk industri bisa mencapai Rp 170.000
per Kg. Melihat fakta tersebut, sangat disayangkan sekali apabila Indonesia tidak
mampu memanfaatkan peluang besar yang ada didepan mata.
Tabel 4.23. Perkembangan Ekspor-Impor Rumput Laut Indonesia (ton)

Tahun Ekspor (X) Impor (M) Rasio M/X (%)


2006 95588 322 0.34
2007 94073 310 0.33
2008 99949 1343 1.34
2009 94003 1056 1.12
2010 123075 779 0.63
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)

101
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Lebih lanjut, berdasarkan data pada Tabel 4.24 diketahui bahwa harga
jual rumput laut Indonesia di pasar Internasional masih kalah dibandingkan
harga pada komoditas yang sama dari negara eksportir lainnya. Korea Selatan,
misalnya, pada 2006 mampu mengekspor rumput laut sebanyak 19.909 ton
dengan nilai ekspor sebesar US$ 88,46 juta. Sedangkan pada tahun yang sama,
Indonesia dengan volume ekspor sebanyak 95.588 ton hanya mampu
menghasilkan nilai ekspor sebesar US$ 49,58 juta. Harga jual komoditas rumput
laut Korea Selatan lebih besar 8,5 kali dari komoditas rumput laut Indonesia.
Harga jual rumput laut Indonesia di pasar Internasional sebesar US$ 520 per ton,
sedangkan harga jual rumput laut Korea Selatan bisa mencapai US$ 4.400 per
ton. Padahal dari segi volume ekspor, Indonesia mampu mengalahkan Korea
Selatan. Namun, dari sisi nilai ekspor ternyata Indonesia harus mengakui
kekalahan telaknya dari Korea Selatan.
Tabel 4.24. Eksportir Rumput Laut Dunia, Tahun 2006

NilaiEkspor Harga per Ton


No Eksportir Volume Ekspor (Ton)
(Ribu US$) (Ribu US$)
1 China 119.545 46.998 2,54
2 Indonesia 49.586 95.588 0,52
3 Chile 33.604 41.498 0,81
4 Philippines 25.327 19.331 1,31
5 Korea Selatan 88.486 19.909 4,44
6 Mexico 647 364 1,78
7 Tanzania 1.577 7.496 0,21
8 Marocco 18.607 6.973 2,67
9 Ireland 5.909 12.566 0,47
10 Australia 3.471 8.600 0,4
Sumber: DKP, 2008

4.5.3. Nilai Tambah Bisnis

Meskipun peran Indonesia dalam kontribusi bahan baku rumput laut


sudah diakui masyarakat internasional, tapi masih perlu peningkatan industri
pengolahan rumput laut di dalam negeri. Padahal, industri pengolahan rumput
laut merupakan salah satu industri yang strategis dan prospektif untuk

102
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

dikembangkan. Begitu banyaknya kegunaan produk olahan rumput laut,


menjadikan produknya akan terus digunakan oleh industri hilir.
Nilai tambah bisnis dari produk olahan rumput laut sangat bervariasi,
tergantung dari harga bahan baku, biaya operasional produksi, dan juga harga
produk olahan di pasar. Sebagai contoh, rumput laut jenis Eucheuma Cotoniyang
sudah diolah menjadi karaginan untuk industri bisa menghasilkan nilai tambah
hingga 1.700 persen (Tabel 4.25). Padahal, karaginan ini pun masih digunakan
sebagai bahan baku untuk industri pegolahan berikutnya yang tentu saja dapat
melipatgandakan nilai tambah bisnis.

Tabel 4.25. Perbandingan Harga Produk Olahan Rumput Laut

No Jenis Produk Harga (Rp/Kg) Pertambahan Nilai


(%)
Rumput laut kering/mentah
1 10.000 -
(raw dried cottonii/ RDC)
Rumput laut kering potong
2 (alkali treated cottonii chips/ 50.000 400
ATCC)
Karaginan setengah murni
3 70.000 600
(semi refined carrageenan/ SRC)
Karaginan murni untuk industri
4 180.000 1.700
(refined carrageenan/ RC)
Karaginan murni untuk makanan
5 200.000 1.900
(refined carrageenan/ RC)
Sumber: Ditjen P2HP DKP; dalam Kusumanto, 2011

Berikutnya, contoh analisis nilai tambah bisnis budidaya rumput laut


jenis EucheumaCottonidari proses pasca-panen diperlihatkan pada Gambar 4.33.
Dengan bahan baku rumput laut segar, investor dapat memilih jenis produk apa
yang ingin diolah lebih lanjut. Misalnya, dengan asumsi 1.000 kg rumput laut
segar, jika dijual langsung hanya mendapat Rp 800.000. Sedangkan jika diolah
dalam bentuk rumput laut kering potong (ATC) dengan proses alkali dingin,
maka akan menghasilkan Rp 2.925.000. Kemudian, dari ATC tersebut apabila
diolah menjadi karaginan murni (RC) akan menghasilkan Rp 3.900.000.

103
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Begitupun dengan proses alkali panas, jika dijual dalam bentuk rumput
laut kering (RLK) hanya menghasilkan Rp 1.020.000. Sedangkan jika diolah lebih
lanjut menjadi rumput laut kering potong (ATC) akan menghasilkan Rp
1.575.000. Kemudian, jika diolah menjadi karaginan setengah murni (SRC) akan
menghasilkan Rp 2.240.000, dan bila diolah menjadi karaginan murni (RC) maka
akan menghasilkan Rp2.688.000. Tetapi perlu diketahui bahwa contoh analisis
nilai tambah bisnis ini barulah dalam bentuk hitungan kotor dan belum
memasukkan unsur biaya.

Gambar 4.34. Analisis Nilai Tambah Bisnis Budidaya Rumput Laut

Proses Alkali Dingin


Proses Alkali Panas

Sumber: diolah dari Kusumanto, 2011

Asumsi Harga:
 Rumput Laut Segar (RLS) : Rp 800/kg
 Rumput Laut Kering (RLK) : Rp 8.500/kg
 ATC (Chips) : Rp 45.000/kg
 SRC : Rp 80.000/kg
 RC : Rp 120.000/kg

104
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.5.4. Nilai Tambah Teknis


Industri pengolahan rumput laut yang dikenal saat ini terdiri dari
beberapa jenis. Industri dengan nilai tambah tinggi adalah industri yang
melakukan ekstrasi rumput laut untuk mendapatkan hidrokoloid rumput laut
dalam bentuk karagenan, agar, dan alginat. Ketiganya merupakan bahan
penolong penting (emulsifier dan stabilizer) dalam industri makanan, minuman,
farmasi, susu, tekstil, hingga kertas dan industri lainnya yang memerlukan kedua
jenis bahan baku penolong tersebut. Tingginya permintaan dunia industri
consumer goods terhadap bahan baku penolong yang terbuat dari rumput laut
ini telah mendorong perkembangan budidaya rumput laut sejak dekade 1980-
an. Selain itu, rumput laut juga menjadi bahan baku industri agar-agar yang
merupakan salah satu bahan makanan penting dan favorit di Eropa, Amerika
Selatan, dan Jepang. Selain itu, rumput laut juga dikonsumsi secara langsung di
beberapa negara Amerika Selatan, China, Jepang, dan Korea.
Dari ratusan jenis rumput laut yang tersebar di perairan pantai
Indonesia, terdapat 5 jenis yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, yaitu
marga Gracilaria, Gelidium dan Gelidiella sebagai penghasil agar, dan marga
Hypnea dan Eucheuma sebagai penghasil karagenan. Di antara kelima jenis
rumput laut tersebut, jenis Eucheuma sp dan Gracilaria sp merupakan jenis yang
paling banyak dikembangkan di Indonesia. Pengembangan kedua jenis rumput
laut tersebut karena memiliki pasar ekspor yang cukup tinggi.
Adapun jenis rumput laut yang dibudidayakan secara luas di Indonesia
terdiri dari jenis Euchema Cottoni dan Glacilaria, dengan perbandingan hasil
panen diperkirakan 70:30. Indonesia mengekspor 80% Euchema Cottoni yang
dihasilkan, sementara itu 80% Glacilaria yang dihasilkan dikonsumsi di dalam
negeri. Cottoni memiliki pasar internasional yang sangat baik, karena dapat
menghasilkan karagenan. Karagenan ini kemudian yang digunakan sebagai
bahan penolong lebih dari 500 produk konsumsi.
Industri pengolahan rumput laut di Indonesia saat ini terdiri dari industri
pembuat agar-agar (konsumsi dan ekstrak agar) dan industri karagenan. Saat ini

105
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

terdapat sekitar 20-23 industri pengolahan rumput laut di Indonesia, 14 di


antaranya adalah industri penghasil karagenan. Selain itu juga masih ada industri
pengolahan rumput laut menjadi makanan khas di beberapa daerah, dalam
skala usaha kecil.
Gambar 4.35. Pohon Industri Rumput Laut

Sumber: www.kemenperin.go.id, 2011

106
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.5.5. Forward-backward Linkage


Industri pengolahan rumput laut ternyata memiliki manfaat yang sangat
besar, tidak hanya pada sektor hulunya tetapi juga pada sektor hilirnya. Seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 4.36, di mana komoditas rumput laut memiliki
keterkaitan ke belakang dan ke depan.
Keterkaitan ini didasarkan pada pembagian penggunaan teknologi dalam
pengolahannya. Keterkaitan ke belakang diartikan bahwa produk yang
dihasilkan masih menggunakan teknologi yang sederhana, yaitu mengolah
rumput laut kering menjadi bahan setengah jadi, serta mengolah rumput laut
menjadi makanan/minuman (contoh: dodol). Kemudian dari bahan setengah
jadi ini diteruskan pada industri yang dapat menghasilkan bahan baku penolong
seperti karaginan, agar, alginat, dan sebagainya. Selanjutnya dari bahan baku
penolong tersebut digunakan pada industri yang berteknologi tinggi dan tercatat
lebih dari 500 end product barang konsumsi yang menggunakan rumput laut
sebagai bahan penolong dalam berbagai skala dan tingkatan, seperti industri
dairy product, farmasi, kosmetik, teknologi bahan, dll.

Gambar 4.36 Keterkaitan Komoditas Rumput Laut dengan Industri Lain

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

107
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.5.6. Potensi Permintaan


Rumput laut merupakan komoditas perikanan budidaya yang sangat
strategis dan diunggulkan sebagai komoditas ekspor. Saat ini terdapat sekitar
782 jenis rumput laut yang hidup di perairan Indonesia. Jumlah tersebut terdiri
dari 196 algae hijau, 134 algae coklat, dan 452 algae merah. Tercatat sedikitnya
ada 55 jenis yang diketahui memiliki nilai ekonomis tinggi, dan yang sudah
dikembangkan di Indonesia, antara lain Kappaphyucus alvarezii (cottonii),
Eucheuma denticulatum (spinosum), Euchema cottoni, Gracilaria sp, Gelidium
sp, dan Sargasum sp.
Sebagai penyedia bahan baku industri, rumput laut memiliki turunan
yang sangat beragam, seperti untuk bahan makanan (dodol, minuman, kembang
gula, dan lain-lain), kosmetik, dan juga untuk bahan obat-obatan. Misalnya,
rumput laut jenis Eucheuma sp dapat menghasilkan karagenan yang biasa
digunakan untuk berbagai produk pangan seperti es krim, sosis, susu, permen,
dan sebagainya. Belum lagi jenis Gracilaria sp yang dapat digunakan sebagai
bahan baku agar-agar.
Permintaan komoditas rumput laut dan produk olahannya terus
meningkat tiap tahunnya. Tengok saja pada Tabel 4.26, di mana perkiraan
permintaan pada jenis produk Agar, Karaginan, dan Alginat terus saja
bertambah. Permintaan untuk jenis karagenan sendiri sangat besar jumlahnya,
sebesar 48 ribu ton untuk SRC dan 31 ribu ton untuk RC pada 2010.
Tabel 4.26. Perkiraan Kebutuhan Dunia terhadap Produk Olahan
Rumput Laut (ton)

JenisProduk 2006 2007 2008 2009 2010


Karagenan (RefinedCarrageenan/RC) 26.160 27.470 28.850 30.285 31.800
Karagenan (Semi Refined Carrageenan/ SRC) 33.350 36.690 40.355 44.390 48.830
Agar 12.357 13.600 14.970 16.470 18.120
Alginat (food grade) 10.730 11.530 12.400 13.330 14.330
Alginat (industrial grade) 20.735 22.800 25.090 27.600 30.360
Total 103.332 112.090 121.665 132.075 143.440
Sumber: Anggadiredja, 2006

108
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kemudian, jika di analisis lebih lanjut ternyata terjadi defisit pada


permintaan rumput laut dunia. Dari 2006 hingga 2010 terjadi defisit rumput laut
dunia akibat dari jumlah permintaan yang melebihi jumlah produksinya. Pada
2010, misalnya, produksi rumput laut Indonesia untuk jenis Eucheuma sp
sebesar 80 ribu ton ditambah produksi dari luar negeri sebesar 121 ribu ton,
sedangkan permintaan dunia sebesar 274 ribu ton sehingga terjadi kekurangan
pasokan atau defisit permintaan sebesar 72 ribu ton. Kondisi ini tentu saja dapat
menjadi angin segar bagi pengembangan budidaya rumput laut Indonesia.

Tabel 4.27. Perkiraan Hasil Produksi dan Perkiraan


Kebutuhan Rumput Laut Dunia

Produksi dan Kebutuhan per Tahun (Ton Kering)


No Uraian
2006 2007 2008 2009 2010
1. Eucheuma sp
a. Kebutuhan Dunia 202.300 218.100 235.300 253.900 274.100
b. Produksi Indonesia 56.000 60.000 66.000 73.000 80.000
c. Produksi Luar Negeri 100.000 105.000 110.250 115.800 121.590
d. Peluang Pasar 46.300 53.100 59.050 65.100 72.510
2. Gracilaria sp
a. Kebutuhan Dunia 79.200 87.040 95.840 105.440 116.000
b. Produksi Indonesia 29.000 36.000 41.500 48.000 57.500
c. Produksi Luar Negeri 37.000 40.700 44.700 49.250 54.200
d. Peluang Pasar 14.200 10.340 9.570 8.190 4.300
Sumber: Anggadiredja, 2006

Selanjutnya, jika ditelisik lebih jauh negara mana saja yang menjadi
konsumen terbesar rumput laut, maka jawabannya ada pada Tabel 3.5.11.
China, Jepang, dan Amerika Serikat menjadi 3 negara terbesar yang menyerap
komoditas rumput laut dunia. Sementara itu, 7 negara terbesar yang
mengimpor rumput laut dunia mengambil pangsa rata-rata sebesar 73,92
persen.
Jika melihat besarnya jumlah impor rumput laut yang dilakukan oleh
China, Jepang, dan Amerika Serikat, tampaknya ada kaitan langsung dengan

109
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

tingginya nilai ekspor produk rumput laut yang mereka dapatkan. Misalnya
China, sebetulnya China tidak memproduksi sendiri rumput lautnya dan hanya
mengandalkan impor rumput laut mentah dari negara lain (termasuk Indonesia),
tetapi justru di China pulalah terdapat banyak industri pengolahan rumput laut.
Sehingga tak mengherankan jika ternyata China mampu menjadi salah satu
negara pengekspor rumput laut terbesar yang bukan hanya unggul dalam
kapasitasnya (volume), tetapi juga juara dalam menambah devisanya (nilai).
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebetulnya merupakan
produsen rumput laut jenis Eucheuma sp terbesar di dunia. Seperti diketahui
bahwa jenis ini merupakan penghasil karaginan sebagai bahan baku industri
makanan. Namun, dari jenis ini yang diolah di dalam negeri baru menjadi 20
jenis produk, sisanya diekspor mentah-mentah. Sedangkan untuk jenis Gracilaria
sp sebagai bahan baku agar-agar, hampir seluruhnya diserap di dalam negeri
karena di Indonesia sudah ada pabrik agar-agar terbesar di dunia.

Tabel 4.28. Importir Rumput Laut Dunia Terbesar


Volume Impor (ton)
Importir Rata-rata
2006 2007 2008 2009 2010
China 78.781 79.541 94.445 101.339 145.902 100.001,6
Japan 73.062 63.042 52.275 48.882 49.945 57.441,2
USA 30.056 27.365 29.361 26.394 28.933 28.421,8
France 14.634 18.253 18.636 19.697 15.937 17.431,4
Chinese Taipei 14.202 15.637 16.192 15.675 15.314 15.404
Korea 15.706 15.204 13.812 11.069 11.210 13.400,2
Phippines 11.557 11.227 15.571 7.850 9.698 11.180,6
Negara Lain 81.170 85.988 81.633 68.546 116.050 86.677,4
Volume Impor Dunia 319.168 316.257 321.925 299.452 392.989 329.958,2
Pangsa* 74,57 72,81 74,64 77,11 70,47 73,92
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011 (diolah)
*)Rasio impor 7 negara utama terhadap impor dunia

110
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4.5.7. Lokasi Penyebaran

Berdasarkan data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), sebagian


besar provinsi di Indonesia mampu dan memiliki potensi yang besar dalam
menghasilkan produksi rumput laut, sebagaimana yang ditunjukan pada Tabel
4.29.

Tabel 4.29. Tujuh Provinsi Terbesar Produsen Rumput Laut (ton)


Tahun Persentase
Provinsi Pertumbuhan
2008 2009 2008 2009
Jawa Timur 74.839 340.774 355,34 3,48 11,49
Bali 129.172 135.860 5,18 6,01 4,58
NTB 86.889 147.299 69,53 4,05 4,96
NTT 696.273 498.422 -28,42 32,42 16,80
Sulawesi Tengah 287.268 713.747 148,46 13,37 24,06
Sulawesi Selatan 649.690 774.312 19,18 30,25 26,10
Sulawesi Tenggara 123.624 185.385 49,96 5,76 6,25
. . . . . .
. . . . . .
. . . . . .
Jumlah 2.147.977 2.966.783 38,12 100 100
Sumber : Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2010, KKP

Sebaran produksi rumput laut yang paling dominan kontribusinya berada


di provinsi Sulawesi Selatan (2008:30,25%; 2009:26,10%), Sulawesi Tengah
(2008:13,37%; 2009:24,06%), Nusa Tenggara Timur (2008:32,42%; 009:16,80%),
Jawa Timur (2008:3,48%; 2009:11,49%), Sulawesi Tenggara (2008:5,76%;
2009:6,25%), Nusa Tenggara Barat (2008:4,05%; 2009:4,96%) dan Bali
(2008:6,01%; 2009:4,58%). Jika melihat data tersebut, daerah Indonesia bagian
timur memiliki peran dan potensi yang sangat besar dalam produksi rumput laut
nasional.

111
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 5
Permasalahan dan Tantangan Pengembangan
Agroindustri

5.1. Permasalahan Agroindustri


Sektor industri memiliki peranan dan fungsi strategis dalam
perekonomian suatu negara. Sektor industri juga mempunyai kekuatan yang
besar dalam meningkatkan nilai tambah perekonomian suatu negara. Itulah
sebabnya mengapa banyak negara telah melakukan transformasi struktur
ekonomi dan beralih menjadi negara industri.
Di Indonesia, proses Industrialisasi telah menyebabkan terjadinya
transformasi struktur ekonomi. Indonesia bukan lagi negara agraris ketika sektor
industri manufaktur mulai menggantikan sektor pertanian sebagai leading sector
dalam ekonomi Indonesia sejak 1993. Kontribusi sektor industri manufaktur
terhadap PDB berkisar antara 22,3 persen – 28,3 persen sejak 1993, kendati saat
ini telah mengalami penurunan menjadi 24,3 persen pada 2011 (Tabel 5.1).

113
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 5.1. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia

Sektor 1968 1993 1998 2000 2004 2011 (Q2)

Pertanian 51,0 17,9 17,4 15,6 15,4 15,4


Pertambangan dan
4,2 9,6 8,3 12,1 8,6 11,6
Penggalian
Industri Manufaktur 8,5 22,3 23,9 27,8 28,3 24,3

Sektor lainnya 36,3 50,3 50,3 44,6 47,7 48,7

PDB 100 100 100 100 100 100

Sumber: BPS, dalam Kuncoro (2011)

Proses transformasi struktur ekonomi menjadi negara industri bagi


Indonesia bukan berarti tanpa masalah. Berbagai permasalahan, seperti
dukungan infrastruktur dan logistik yang sangat minim dan jauh dari memadai,
perkembangan teknologi yang lamban, ekonomi biaya tinggi, persoalan
pembiayaan, dan masalah regulasi merupakan beberapa problem yang
menghambat peningkatan daya saing industri sehingga proses transformasi
industri tidak berjalan dengan baik. Implikasinya, hal tersebut berimbas pada
struktur industri nasional yang lemah.
Dengan kompleksnya berbagai hambatan tersebut, tidak heran jika
Indonesia ini disebut sedang mengalami proses deindustrialisasi. Ironisnya,
deindustrialisasi di Indonesia terjadi lebih cepat dari berbagai kasus
deindustrialisasi di negara lain. Pada umumnya deindustrialisasi di negara lain
terjadi ketika kontribusi sektor industri telah mencapai 35 persen. Sedangkan
deindustrialisasi di Indonesia terjadi ketika kontribusi sektor manufaktur baru
mencapai sekitar 28 persen. Daya saing industri manufaktur yang terus
melemah dan berimplikasi pada penurunan pertumbuhan industri manufaktur
adalah faktor penyebab deindustrialisasi dini di Indonesia. Beberapa
permasalahan yang menghambat industrialisasi dan peningkatan daya saing
industri nasional akan dijelaskan sebagai berikut:

114
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

5.1.1. Hambatan Logistik dan Infrastruktur


Logistik dan Infrastruktur merupakan sarana pendukung yang sangat
vital bagi kemajuan sektor industri. Industrialisasi serta penguatan struktur
industri pada suatu negara tidak dapat lepas dari dukungan logistik dan
infrastruktur yang memadai. Pengembangan sistem logistik nasional serta
infrastruktur yang memadai yang dapat menjamin kelancaran arus barang dan
mengurangi biaya transaksi atau ekonomi biaya tinggi sangat perlu untuk
mendorong aktivitas ekonomi.
Sayangnya, faktor logistik dan infrastruktur di Indonesia saat ini masih
sangat jauh dari memadai. Jumlah sarana logistik dan infrastruktur
(pergudangan, jaringan jalan, bandara, pelabuhan, kereta api, listrik serta
pasokan gas) masih terbatas sehingga belum mampu mendukung proses
industrialisasi yang berkesinambungan.
Dalam laporan survey Logistics Performance Index (LPI) 2010 yang
dilakukan oleh Bank Dunia, menempatkan Indonesia pada posisi ke 75 dari 150
negara yang disurvei, mengalami penurunan dari 2009 yang berada pada posisi
43. Posisi ini berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Hal ini jelas
menunjukkan belum efisiennya sistem logistik nasional. Indikator biaya logistik
sangat tinggi, sehingga menempatkan Indonesia berada di peringkat 92 dari
total 150 negara yang disurvei. Survei yang didasarkan pada persepsi para
penyedia jasa logistik global, seperti DHL, TNT, FEDEX, P&O, dan Maersk
menunjukkan bahwa kinerja sektor logistik nasional masih perlu terus diperbaiki
untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menyatakan masalah yang terkait
dengan logistik dan pergudangan dalam rangka mendukung kegiatan
perekonomian sudah sangat kritis dan membutuhkan perhatian serius. Ini
terjadi akibat persoalan yang kompleks seputar lambannya pembangunan
infrastruktur, seperti transportasi jalan, perkeretaapian, pelabuhan, dan
pergudangan. Investasi logistik menjadi kurang menarik, karena infrastruktur
pendukungnya dipandang belum memadai.

115
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Sementara itu, berdasarkan laporan yang dibuat Forum Ekonomi Dunia


untuk Daya Saing Global dan Kinerja dari World Economic Forum (WEF), terjadi
peningkatan peringkat infrastruktur sebanyak enam poin dan menempatkan
Indonesia di posisi 76 dari sebelumnya peringkat ke-82. Meski meningkat,
kondisi ini tetap belum terlalu baik jika dibandingkan dari keseluruhan populasi
142 negara.
Lambannya pembangunan logistik dan infrastruktur serta belum
padunya kerangka regulasi terkait bidang logistik dan infrastruktur menjadi
salah satu rentetan masalah penghambat daya saing industri nasional. Di sisi
lain, tantangan persaingan global di bidang ekonomi semakin tinggi.
Keterbatasan infrastruktur yang menunjang industri serta minimnya pasokan
listrik dan gas di daerah ternyata menyebabkan peringkat daya saing Indonesia
dalam World Economic Forum turun dari 44 menjadi 46. Terlebih lagi WEF juga
mendapat tambahan tiga negara anggota baru.

5.1.2. Hambatan Perkembangan Teknologi


Teknologi merupakan faktor yang memiliki peranan sangat penting
dalam menghasilkan output produksi. Dalam model pertumbuhan ekonomi yang
dikemukakan Solow, teknologi merupakan faktor yang dapat memengaruhi
tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya sepanjang waktu.
Teknologi dapat berkembang jika ada aliran modal melalui kegiatan investasi.
Namun, sayangnya perkembangan teknologi di Indonesia terbilang cukup
lamban sehingga tidak mampu mendukung penguatan struktur industri.
Rendahnya pembentukan modal (capital) yang dikarenakan minimnya aliran
investasi di Indonesia adalah penyebab lambannya perkembangan teknologi.
Dalam laporan Global Competitiveness Index 2011-2012, Indonesia menduduki
peringkat 94 dari 140 negara dalam hal kesiapan teknologi, di bawah Singapura,
Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Ini menunjukkan bahwa Indonesia
sangat tertinggal dalam hal penyerapan atau kemampuan teknologi.
Salah satu permasalahan industri manufaktur yang menunjukkan
lambannya perkembangan teknologi adalah penggunaan mesin-mesin industri

116
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

yang sudah berumur tua. Ini memang permasalahan klasik, tapi belum
tertuntaskan hingga saat ini. Penggunaan mesin-mesin industri yang sudah tua
itu tentu saja menurunkan produktivitas output yang berimbas pada semakin
buruknya kinerja industri dan lemahnya struktur industri.
Restrukturisasi permesinan sektor industri sangat diperlukan dengan
segera jika Indonesia tidak ingin semakin tertinggal dengan negara lain.
Restrukturisasi dapat dilakukan salah satunya dengan mendatangkan investasi,
baik asing maupun domestik, atau melalui insentif dari pemerintah. Dalam
rangka mendatangkan investasi tentunya harus ada upaya keras dari
pemerintah, misalnya dengan memberikan insentif atau kemudahan-
kemudahan dalam bentuk lainnya yang dapat menimbulkan daya tarik yang
tinggi bagi para investor.

5.1.3. Ekonomi Biaya Tinggi


Salah satu hambatan industrialisasi bagi kebanyakan negara berkembang
adalah inefisiensi produksi. Inefisiensi produksi terjadi akibat dari timbulnya
biaya-biaya yang tidak seharusnya terjadi pada proses produksi. Dengan kata
lain, inefisiensi muncul akibat dari ekonomi biaya tinggi.
Ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu masalah yang menyebabkan
terjadinya penurunan daya saing industri nasional. Berdasarkan laporan World
Economic Forum tahun 2011-2012 daya saing Indonesia menempati peringkat
46, turun dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat 44. Penyebab
turunnya daya saing Indonesia diindikasikan dari masih maraknya praktik
pungutan liar yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi pada kegiatan-
kegiatan di sektor industri.

5.1.4. Hambatan Pembiayaan


Dalam mewujudkan industrialisasi dan penguatan struktur industri
nasional yang kokoh, salah satu upaya yang diperlukan adalah pembiayaan.

117
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Pembiayaan sektor industri tidak hanya dibutuhkan untuk industri berskala


besar, namun juga dibutuhkan bagi industri skala usaha kecil dan menengah
(IKM).
Selain masih tingginya tingkat suku bunga kredit investasi perbankan,
sulitnya mengakses pembiayaan, khususnya bagi industri kecil dan menengah,
juga menjadi salah satu masalah bagi perkembangan industri nasional. Literatur
ekonomi tentang pembiayaan perusahaan mengidentifikasikan tiga kendala
utama penghalang akses industri kecil dan menengah terhadap pembiayaan,
yaitu kesenjangan informasi, risiko intrinsik yang lebih besar, dan biaya transaksi
yang tinggi.
Adanya kesenjangan informasi antara perusahaan kecil dan pemberi
pinjaman atau investor menjadi salah satu masalah penting yang harus segera
dicarikan solusinya. Pemberi pinjaman atau investor mungkin tidak berada
dalam posisi untuk membedakan antara perusahaan dan kegiatan industri
‘berkualitas tinggi’ dan ‘berkualitas rendah’. Setelah investasi dilakukan, investor
tidak memiliki alat memeriksa penuh apakah dana yang diberikan digunakan
secara tepat. Untuk mengatasi masalah ini, bank dan investor bisa melakukan
langkah-langkah pencegahan (contoh: mengharuskan pemberian jaminan untuk
pembiayaan) dan pada akhirnya mungkin menolak permohonan pembiayaan.
Kendala lain yang dihadapi oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM)
dalam mengakses pembiayaan adalah profil risiko yang cenderung lebih besar.
Penyedia dana eksternal lebih enggan menyediakan dana bagi industri kecil dan
menengah karena dianggap sebagai perusahaan yang lebih berisiko. Investor
melihat tiga risiko yang khas pada industri kecil dan menengah. Pertama, IKM
menghadapi lingkungan persaingan yang lebih tidak pasti dibandingkan dengan
perusahaan besar, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat laba yang lebih beragam
dan tingkat kegagalan yang lebih tinggi. Kedua, IKM memiliki SDM dan modal
kurang memadai untuk mengatasi gejolak ekonomi. Ketiga, risiko yang ada
dalam anggapan para penyedia pembiayaan diperbesar oleh sistem akuntasi
yang tidak memadai, yang mengurangi aksesibilitas dan reliabilitas informasi
tentang profitabilitas dan kemampuan membayar utang.

118
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Mengingat kendala pembiayaan bagi IKM cenderung semakin besar,


diperlukan langkah-langkah khusus untuk meningkatkan investasi dalam sektor
ini yang difokuskan baik pada investor (persediaan) dan perusahaan
(permintaan). Pada sisi permintaan, IKM dapat dilatih agar cara mereka tampak
lebih menarik untuk investasi, dengan mengembangkan strategi pendanaan,
pengidentifikasian investor, dan persiapan untuk ‘due diligence’ oleh investor.

5.1.5. Regulasi yang Menghambat


Sejauh ini perkembangan industri di Indonesia masih banyak dihambat
oleh regulasi atau aturan birokrasi yang kaku. Hambatan birokrasi ini membuat
industri keratif sulit tumbuh dengan cepat. Padahal, Indonesia menargetkan
menjadi pusat industri kreatif level regional ASEAN pada 2014. Sumber daya
manusia yang mumpuni harus disiapkan untuk mendukung mengalirnya
investasi terhadap industri tersebut (Irawady, 2011).
Berdasarkan survei Bank Dunia, pada 2011 peringkat Doing Business
Indonesia masih rendah. Dalam memulai usaha saja Indonesia berada
diperingkat 155. Sedangkan dalam mendapatkan akses kredit juga masih berada
diperingkat 126 dunia. Di ASEAN, Peringkat Doing Business Indonesia lebih
rendah dari Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam.
Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Filipina, Kamboja, dan Laos.
Potensi pengembangan industri di Indonesia tidak banyak mendapat
dukungan dari investor lokal maupun asing. Para investor tersebut lebih tertarik
dengan potensi industri di negara lain, dengan alasan regulasi yang diterapkan di
Indonesia terbilang menyulitkan. Contoh regulasi yang menghambat
perkembangan industri adalah regulasi yang terkait dengan harmonisasi tarif
Bea Masuk (BM), khususnya barang-barang industri. Kebijakan semacam ini ‘Bea
Masuk’ harus dilakukan dengan berkoordinasi dengan kementerian teknis
lainnya agar terjadi sinergi dan tidak menghambat perkembangan industri.

5.2. Tantangan Perkembangan Agroindustri


Potensi sumber daya alam Indonesia (cadangan hutan, kelautan dan
perikanan, migas, mineral dan batubara, dan lain-lain) sangat potensial untuk

119
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

menumbuhkembangkan industri berbasis sumber daya alam. Letak Indonesia


yang sangat strategis dapat mengakomodasi kepentingan berbagai negara serta
kerjasama yang saling menguntungkan dengan negara-negara di sekelilingnya.
Indonesia yang terdiri dari atas ribuan pulau dan penduduknya yang besar
merupakan “captive market” bagi berbagai industri. Penduduk Indonesia yang
besar tersebut tidak saja merupakan modal bagi tumbuhnya industri (khususnya
IKM) yang berbasis tenaga kerja, tetapi juga peluang bagi tumbuhnya sektor
industri yang berbasis padat IPTEK dan daya kreatif. Secara garis besar,
tantangan yang dihadapi dalam membangun industri nasional yang kokoh
(penguatan struktur industri) antara lain:
1. Indonesia harus mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan produktivitas
sektor yang berbasis sumber daya alam, mengingat Indonesia memiliki
sumber daya alam yang sangat melimpah, seperti ketersediaan lahan yang
luas dan subur.
2. Meningkatkan tingkat pendidikan dan keterampilan sumber daya manusia
yang tersedia cukup banyak di Indonesia agar dapat meningkatkan
produktivitas tenaga kerja.
3. Kondisi iklim usaha yang belum mendukung, seperti penyelundupan,
kepastian hukum, ekonomi biaya tinggi, sistem perpajakan, sistem
kepabeanan, dan perburuhan.
4. Kondisi keamanan yang relatif belum stabil, belum dapat menjamin
kepastian berusaha merupakan tantangan yang cukup besar bagi investasi
di sektor industri.
5. Persaingan di antara bangsa-bangsa di dunia semakin ketat.
6. Integrasi dan regionalisasi ekonomi global yang melanda dunia saat ini
sangat memengaruhi tatanan perekonomian dunia.
7. Adanya organisasi perdagangan dunia (WTO), liberalisasi perdagangan dan
investasi dalam APEC, serta skema CEPT dalam AFTA-ASEAN, maka gerak
perdagangan dunia semakin dinamis dan cepat.
8. Kesepakatan Pemimpin APEC di Bogor dan perdagangan bebas di Kawasan
Ekonomi APEC akan dilaksanakan secara penuh pada 2020.

120
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

5.3. Permasalahan Masing-masing Komoditas


5.3.1. Permasalahan Pengembangan Kelapa Sawit
Permasalahan pertama bagi hilirisasi kelapa sawit adalah permintaan
minyak sawit dunia yang semakin meningkat disertai dengan harga internasional
cukup menarik mendorong kecenderungan ekspor CPO dalam bentuk mentah.
Ekspor minyak sawit mentah yang mencapai lebih dari 50 persen, sementara
minyak sawit diproses kurang dari 45 persen membuat nilai tambah produk
relatif rendah. Dari porsi yang diproses menjadi produk hilir ini pun belum
banyak berkembang jika dibandingkan Malaysia. Saat ini Indonesia baru
memproduksi sekitar 40 jenis, sementara Malaysia sudah memproduksi lebih
dari 100 Jenis produk hilir CPO.
Kedua, tidak seimbangnya kapasitas industri hilir dengan produksi CPO,
sehingga muncul idle capacity, khususnya refinery. Persoalan ini masih terkait
dengan persoalan pertama, di mana ekspor minyak sawit mentah yang masih
terlalu tinggi memunculkan idle capacity. Padahal jika hilirisasi dapat dilakukan,
maka kapasitas industri hilir akan lebih seimbang.
Ketiga, kurangnya intergrasi antara industri CPO dengan industri hilirnya
sehingga rantai nilai industri kurang efisien dan kurang berdaya saing.
Kurangnya integrasi menyebabkan biaya produksi industri hilir menjadi lebih
mahal yang akhirnya membuat harga jual produk lebih mahal. Kondisi ini
membuat daya saing produk hilir sulit bersaing dengan produk hilir sejenis
negara lain.
Keempat, kegiatan riset dan teknologi industri oleokimia masih perlu
ditingkatkan. Peningkatan ini harus diiringi dengan penyediaan sumber daya
manusia industri perkelapasawitan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup.
Hal ini mengingat keberhasilan hilirisasi industri kelapa sawit juga ditentukan
oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai.
Kelima, penerapan aturan perpajakan mengenai PPN atas produk primer
TBS (Tandan Buah Segar) memberatkan pelaku usaha sehingga justru berpotensi

121
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

menghambat hilirisasi. Kebijakan ini menimbulkan pajak berganda (double


taxation) kepada perusahaan yang terintegrasi (produksi-pengolahan).
Keenam, kampanye negatif khususnya terkait masalah lingkungan terkait
perkebunan kelapa sawit semakin gencar dilakukan, antara lain berupa Isu
REACH/Registration, Evaluation, Authorisation and Restriction of Chemical
substances (kebijakan registrasi bahan kimia, termasuk Oleokimia untuk pasar
Uni Eropa), dan Isu EU Directive (Kebijakan biodiversitas dan lingkungan oleh
Parlemen Uni Eropa).
Ketujuh, infrastruktur pendukung industri antara lain pelabuhan, akses
jalan, angkutan kereta api, listrik, dan gas bumi belum memadai. Untuk
pengembangan kelapa sawit di wilayah Indonesia Timur kebutuhan sarana
pelabuhan menjadi sangat penting. Ketersediaan pelabuhan akan memperlancar
ekspor produk industri kelapa sawit Indonesia Timur, terutama dari Kalimantan
ke luar negeri.

5.3.2. Permasalahan Pengembangan Karet


Permasalahan pertama pengembangan industri karet alam adalah
rendahnya produktivitas karet rakyat, padahal sebagian besar lahan karet di
Indonesia adalah perkebunan milik rakyat. Rendahnya produktivitas ini antara
lain dikarenakan sebagian besar tanaman masih menggunakan bahan tanam
asal biji (seeding) tanpa pemeliharaan yang baik. Penyebab lain adalah tingginya
proporsi areal tanaman karet yang sudah tua, rusak, atau tidak produktif.
Kedua, keterbatasan modal petani karet, baik untuk membeli bibit
unggul maupun sarana produksi lain, seperti pupuk dan herbisida. Akses
terhadap pembiayaan peremajaan karet dengan tingkat suku bunga yang wajar
sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapi dirasa masih susah. Kondisi ini
berbeda dengan negara-negara produsen utama karet lainnya, seperti Thailand,
Malaysia, dan India. Dana pengembangan, promosi, dan peremajaan karet di
negara-negara tersebut umumnya disediakan oleh pemerintah yang diperoleh
melalui pungutan CESS ekspor komoditi karet. Di Indonesia, pungutan CESS

122
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

untuk pengembangan komoditi perkebunan telah dihentikan sejak 1970


(Kementerian Pertanian, 2007).
Ketiga, bahan baku yang dihasilkan dari perkebunan karet rakyat
umumnya bermutu rendah. Bahkan pada sebagian lokasi harga yang diterima di
tingkat petani masih relatif rendah, antara 60 – 75 persen dari harga FOB (di
Thailand dan Malaysia mencapai 90 persen), karena belum efisiennya sistem
pemasaran bahan olah karet rakyat (Kementerian Pertanian, 2007).
Keempat, masalah rantai nilai pengolahan di mana ada pihak-pihak
perantara yang mengumpulkan hasil-hasil karet dari pengusaha kecil
perkebunan karet yang membuat harga yang diterima petani menjadi lebih
rendah. Padahal rantai nilai pengolahan merupakan bagian penting untuk
meningkatkan kesejahteraan petani dan pengusaha karet.
Kelima, terbatasnya infrastruktur dan suplai energi untuk mendukung
hilirisasi industri karet. Penambahan kapasitas listrik diperlukan untuk
mencukupi kebutuhan listrik di pabrik karet. Tanpa jaminan listrik yang
mencukupi industri akan sulit berproduksi dengan mengoptimalkan
kapasitasnya. Di sisi lain, pengembangan kapasitas pelabuhan untuk mendukung
hilirisasi karet dengan membuat waktu tunggu di pelabuhan lebih efisien juga
penting (Kementerian Koordinator Perekonomian, 2011). Pelabuhan juga
berguna bagi pintu gerbang ekspor.

5.3.3. Permasalahan Pengembangan Kakao


Menurut data dari International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia
merupakan negara yang berada pada urutan kedua sebagai produsen biji kakao
terbesar di dunia. Data 2008 menunjukkan bahwa Indonesia mampu
memproduksi 830.790 ton. Pantai Gading produsen pada urutan pertama dan
Ghana pada urutan ketiga.
Melimpahnya produksi kakao tersebut salah satunya karena didukung
oleh luas areal perkebunan kakao yang mencapai 1,65 juta hektar. Luasnya areal

123
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

perkebunan kakao tersebut merupakan tantangan bagi Indonesia. Areal


perkebunan kakao yang sedemikian luas tersebut harus dibarengi dengan
produktivitas lahan yang tinggi. Jika tidak, maka hal ini bisa menjadi bumerang
bagi Indonesia sendiri. Mengurangi segala jenis hama dan penyakit tumbuhan
pada kakao merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas lahan
kakao. Jadi dapat dikatakan bahwa ketersediaan luas lahan merupakan
tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia.
Selain luas lahan, faktor tenaga kerja yang melimpah juga merupakan
kekuatan sekaligus tantangan bagi Indonesia. Tenaga kerja yang melimpah harus
didukung dengan kemampuan mengelola perkebunan kakao dengan baik agar
hasil perkebunan tersebut tidak lantas diekspor, melainkan dapat diolah pada
industri kakao domestik.
Di tingkat hilir, persaingan dalam menembus pasar global semakin ketat.
Ini merupakan tantangan bagi Indonesia agar dituntut mampu mengedepankan
kualitas yang berstandar internasional. Dengan demikian, bukan tidak mungkin
Indonesia dapat memenangkan persaingan global dan memetik keuntungan
yang lebih besar.
Masalah diskriminasi dari negara-negara Eropa terhadap kakao olahan
Indonesia juga merupakan tantangan bagi industri kakao. Indonesia harus
mampu memperlebar jangkauan pasar di tingkat internasional jika tidak ingin
bergantung pada satu pasar saja (Uni Eropa). Pendekatan market intelligent
merupakan salah satu langkah awal untuk mencari pasar baru yang potensial
bagi Indonesia.
Terkait dengan tingkat harga, biji kakao Indonesia ternyata berharga
relatif murah di pasar internasional. Sebagai gambaran, pada 2008 harga rata-
rata kakao di terminal New York mencapai US$ 2500/ton, harga rata-rata kakao
dari Ghana bahkan mencapai US$ 2700/ton, sementara kakao dari Indonesia
hanya cukup menikmati harga rata-rata US$ 2300/ton. Jika jumlah ekspor kakao
Indonesia pada 2008 mencapai 350.000 ton, maka selisih harga totalnya sebesar
US$ 140 juta (350.000 ton x (US$ 2700- US$ 2300). Dapat dihitung sendiri

124
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

berapa biaya yang harus ditanggung per tahun jika selisih harga tidak kunjung
membaik. Selisih harga yang ditentukan di terminal New York tersebut bukan
tanpa sebab atau langsung tunjuk begitu saja.
Ghana mendapatkan harga premium karena mutu biji kakao mereka
lebih baik dan sudah difermentasi. Sedangkan kakao Indonesia masih bermutu
rendah karena sebagian besar petani kakao Indonesia belum sadar fermentasi.
Selain itu, terdapat kebijakan Ghana yang mendukung pertumbuhan kakao
dalam negeri antara lain: (1) Pemerintah Ghana menetapkan 60% dari produksi
kakao harus diolah di dalam negeri mulai 2009; dan (2) menerapkan Bea Keluar
atas ekspor biji kakao dan dananya untuk dikembalikan kepada petani untuk
mendukung kegiatan mereka. Dengan adanya kebijakan tersebut, investor
datang sendiri ke Ghana.
Indonesia harus mampu mengejar ketertinggalan ini. Itulah tantangan
Indonesia ke depan. Dengan adanya program Gerakan Peningkatan Produksi dan
Mutu Kakao Nasional (GERNAS Kakao), pemerintah mencoba menggugah para
petani untuk bersama memajukan negara. Menilik bahwa salah satu sasaran
gerakan adalah peningkatan mutu kakao sesuai SNI, maka sikap optimis harus
digelorakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kakao
terbesar di Dunia. Sekarang tinggal memilih, antara menerima tantangan dan
menjadikannya sebagai batu loncatan menuju perbaikan ke depan atau hanya
sekadar melepas kesempatan begitu saja (memanfaatkan momen dan fasiltas
bantuan yang diberikan tanpa ada tindak lanjut setelah kegiatan selesai).
Industri pengolahan kakao di Indonesia pernah mengalami masa jaya
pada sekitar 2000, saat itu jumlah industri kakao ada sekitar 40 pabrik dengan
total kapasitas produksi sebesar 362.186 ton per tahun (Sumber: Perkebunan
dan Industri Pengolahan Kakao, Infordev, 2000). Industri kakao umumnya
terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa Barat. Dengan wilayah penyebaran
terdiri dari Jawa Barat 45,71persen, Jawa Timur 14,29 persen, Sumatera Utara
8,57 persen, Sumatera Selatan 5,71 persen, Sulawesi Selatan 14,29 persen, dan
lainnya 11,43 persen. Industri ini umumnya mengolah biji kakao hingga menjadi

125
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

kakao olahan setengah jadi, seperti cocoa butter, cocoa liquor, cocoa cake dan
cocoa powder. Sebagian besar dari hasil kakao olahan ini dipasarkan untuk
tujuan ekspor, terutama ke Amerika dan Eropa.
Kejayaan industri kakao ini tidak bertahan lama karena pada 2001
pemerintah memberlakukan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN
atas komoditi primer, di mana pada saat industri membeli bahan baku biji kakao
dikenakan PPN 10 persen. Ditambah lagi dengan tingginya bea masuk kakao
olahan dinegara-negara tujuan ekspor yang tarifnya 6 persen – 30 persen serta
adanya diskriminasi tarif bea masuk kakao olahan di China, yang mana kakao
olahan asal Indonesia dikenakan bea masuk 15 persen sedangkan kakao olahan
dari Malaysia bea masuknya 0 persen. Kebijakan ini membuat industri
pengolahan kakao Indonesia sulit bersaing dengan industri di luar, seperti
Malaysia dan Singapura, karena industri kakao Indonesia harus membeli bahan
baku yang lebih mahal 10 persen dibanding industri diluar yang bebas dari pajak.
Kondisi ini membuat industri yang ada satu per satu bertumbangan dan
sebaliknya industri di Malaysia dan Singapura justru semakin berkembang,
padahal mereka tidak memiliki bahan baku. Untungnya, setelah itu pemerintah
berkomitmen mengembangkan industri kakao Indonesia denan keluarnya Surat
Mensesneg kepada Menteri Keuangan tertanggal 17 Maret 2005 No.
B.168/M.Sesneg/03/2005. Poin surat tersebut adalah:
1. Menaikkan besarnya tarif bea masuk produk kakao sama dengan yang
ditetapkan negara lain.
2. Penghapusan PPN Biji Kakao.
3. Melakukan lobby ke China untuk menurunkan tarif bea masuk kakao olahan
agar sama dengan Malaysia dan Singapura, yaitu 0 persen.
4. Biji kakao yang diproduksi harus difermentasi.
5. Pengenaan pungutan ekspor (PE) atas ekspor biji kakao.
Setelah melalui proses panjang akhirnya kebijakan PPN atas biji kakao
dihapuskan pada 2007, namun jumlah industri kakao saat itu sudah semakin
berkurang dan hanya tersisa 15 pabrik. Selain penghapusan PPN, ada beberapa

126
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

kebijakan pemerintah yang mendukung untuk pengembangan industri kakao


Indonesia, seperti harmonisasi tarif bea masuk kakao olahan, penurunan tarif
bea masuk kakao olahan di China menjadi 0 persen, program revitalisasi
perkebunan, dan lain-lain. Semestinya industri kakao sudah semakin
berkembang dengan adanya dukungan ini, namun sayangnya pada 2008 dan
2009 terjadilah krisis keuangan global yang melanda dunia. Krisis global
menyebabkan semua harga komoditi melambung tinggi, termasuk biji kakao. Biji
kakao yang harga normalnya sekitar US$ 1500 per ton saat itu naik 100 persen
hingga di atas US$ 3000/ton.
Dengan melambungnya harga biji kakao menimbulkan persoalan baru
bagi industri kakao Indonesia, karena bea masuk kakao olahan di negara tujuan
ekspor terutama di Eropa yang mengenakan tarif bea masuk 6 persen
nominalnya menjadi semakin tinggi hingga US$ 500/ton. Sedangkan disaat yang
sama produk kakao olahan yang berasal dari Afrika bisa masuk ke Eropa dengan
bebasnya karena bea masuknya 0 persen. Kondisi inilah yang akhirnya membuat
industri kakao Indonesia semakin terpuruk bahkan dikatakan mati suri. Industri
kakao yang semula ada 15 pabrik akhirnya hanya tersisa sekitar 5 pabrik pada
awal 2010. Beberapa pengusaha sangat terpukul dengan kondisi ini sehingga
mereka menghentikan operasional pabriknya dan sebagian lagi bahkan berniat
menjual pabriknya.
Di tengah kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini akhirnya muncul
kebijakan yang sudah lama ditunggu oleh seluruh industri pengolahan kakao
Indonesia, yaitu Penerapan Bea Keluar atas biji kakao yang diekspor. Kebijakan
ini dikeluarkan dengan SK Menteri Keuangan No. 67 Tahun 2010 tentang
Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar yang diberlakukan mulai
tanggal 1 April 2010. Kebijakan ini ibarat oase di tengah padang gurun yang
tandus, serta merta seluruh pengusaha industri kakao menyambut gembira
kebijakan ini. Sebagian pengusaha yang semula menghentikan operasional
pabriknya mulai beroperasi kembali. Sebagian pengusaha yang semula ingin
menjual pabriknya akhirnya dibatalkan dan memilih beroperasi kembali. Lalu
industri yang masih beroperasi menyambut kebijakan ini dengan melakukan
ekspansi untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Bahkan yang lebih

127
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

menggembirakan lagi, ada beberapa investor dari luar negeri yang


merencanakan membangun industri kakao di Indonesia.
Kebijakan Bea Keluar yang dikeluarkan setahun setelah pemerintah
menjalankan program Gernas Kakao merupakan kebijakan yang sangat tepat
dan keduanya saling mendukung. Program Gernas Kakao bertujuan
meningkatkan mutu dan produktivitas kakao Indonesia yang dalam beberapa
tahun menunjukkan tren menurun. Saat ini para petani belum merasakan
dampak dari penurunan produktivitas kebunnya karena ditopang oleh harga biji
kakao yang sedang mengalami masa keemasan, di mana harganya saat ini sudah
naik 100 persen dari harga normal. Namun, jika harganya kembali normal dan
produktivitasnya tidak ditingkatkan tentu ini akan menjadi masalah besar bagi
para petani. Di sisi lain program Gernas Kakao membutuhkan dana yang cukup
besar dan berkelanjutan, sedangkan anggarannya terbatas hanya Rp 3 triliun
sehingga program ini dibatasi hanya untuk 2009 sampai dengan 2011. Namun,
dengan adanya dana yang dihimpun dari bea keluar kakao ada peluang besar
bahwa program Gernas Kakao ini bisa dilakukan secara berkelanjutan dan sesuai
dengan UU Perkebunan No. 18 tahun 2006. Kemudian jika program Gernas
Kakao ini berhasil, tentunya produksi biji kakao akan berlimpah sehingga
dikhawatirkan harganya akan jatuh. Tapi dengan adanya kebijakan bea keluar
tentunya akan menarik investasi baru untuk masuk sehingga produksi kakao
yang berlimpah dapat diserap oleh industri dalam negeri. Dengan demikian
sebagian besar atau mungkin seluruh biji kakao Indonesia dapat diolah di dalam
negeri dan diekspor dalam bentuk kakao olahan yang bernilai tambah. Jika ini
terjadi, maka harapan pemerintah menciptakan nilai tambah dari komoditi
primer akan tercapai sehingga tidak lagi seperti terbelenggu mirip masa
penjajahan VOC.
Pengembangan kakao di Indonesia sudah dilaksanakan cukup lama baik
oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar
swasta. Dalam upaya meningkatkan produksi kakao sekaligus peningkatan
pendapatan petani maupun masyarakat, pemerintah telah mengembangkan
berbagai pola pengembangan perkebunan yang dibiayai dari APBN dan Bantuan
Luar Negeri (BLN), antara lain melalui proyek-proyek pola Unit Pelayanan

128
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Perkebunan Besar (PB), dan
pola Swadaya. Untuk pengembangan agribisnis kakao ke depan, kegiatannya
akan lebih banyak mengandalkan inisiatif petani melalui pola swadaya.
Pemerintah diharapkan lebih berperan dalam upaya pengendalian hama PBK
dan percepatan perluasan adopsi teknologi budidaya maju.
Sebagai upaya pelaksanaan program pengembangan agribisnis kakao
tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar yang mencakup kegiatan investasi
peningkatan produktivitas kebun, biaya pengendalian hama PBK, investasi
pengembangan sistem usahatani terpadu, pengembangan industri hilir kakao,
dan pembangunan infrastruktur pendukungnya, termasuk kegiatan penelitian
dan pengembangan hasil penelitian. Berikut ini akan diuraikan secara singkat
berbagai kebutuhan biaya tersebut. Kebutuhan biaya untuk pengembangan
agribisnis kakao periode 2005-2010 khusus untuk peningkatan produksi dengan
target rehabilitasi 2 persen/tahun, peremajaan 0,5 persen/tahun, dan perluasan
areal 2,5 persen/tahun diperkirakan mencapai Rp 3,87 triliun. Selanjutnya,
periode 2010-2025 dengan target rehabilitasi 3 persen/tahun, peremajaan 1
persen/tahun, dan perluasan areal 1,5 persen/tahun diperlukan biaya mencapai
Rp 12,85 triliun.

5.3.4. Permasalahan Pengembangan Rotan


Rotan merupakan salah satu komoditas agroindustri yang memiliki nilai
strategis yang tinggi, tetapi industri rotan dalam negeri belum mampu bersaing
dengan industri rotan dari China dan negara lainnya. Berbagai hambatan
tersebut setidaknya dapat dikelompokan menjadi enam faktor, yaitu faktor
bahan baku produksi, faktor produksi, faktor pemasaran, faktor disain dan
pemodelan, faktor modal dan pendanaan, dan faktor sumber daya manusia.
Berikut deskripsi dari keenam faktor penghambat pengembangan rotan
tersebut.
Pertama, faktor bahan baku produksi. Faktor pertama yang menjadi
penghambat tumbuhnya industri bahan baku berkaitan dengan bahan baku
produksi industri rotan, dalam hal ini adalah bahan baku rotan. Hal ini

129
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

disebabkan kelangkaan bahan baku rotan yang terjadi akibat deforestasi.


Kelangkaan bahan baku rotan menyebabkan harga rotan menjadi semakin
meningkat. Lebih dari itu, harga bahan baku rotan menjadi sangat tinggi karena
tingginya biaya pengadaan bahan baku, seperti biaya pemesanan, biaya uang
muka, serta biaya transportasi. Disaat yang bersamaan, kelangkaan bahan baku
rotan juga menyebabkan kualitas rotan yang tersedia semakin minim. Minimnya
kualitas bahan baku rotan juga disebabkan oleh tidak adanya teknologi untuk
mengawetkan rotan dari jamur yang dapat merusak kualitas rotan.
Kedua, faktor produksi. Faktor-faktor dalam tahap produksi ikut serta
menjadi penghambat dalam tumbuhnya industri rotan dalam negeri. Faktor-
faktor tersebut banyak berkaitan dengan proses dari menciptakan rotan dari
bahan baku menjadi produk jadi. Berbagai hambatan tersebut antara lain
adalah peralatan dan mesin produksi yang sudah tua serta metode produksi
yang tidak efisien, biaya-biaya ekonomi yang tidak kompetitif seperti THC, bunga
bank, pungli, listrik dan telepon, jika dibandingkan dengan negara pesaing.
Ketiga, faktor pemasaran. Dalam beberapa tahun terakhir, industri rotan
dalam negeri Indonesia kehilangan pasar yang disebabkan oleh minimnya
pemasaran produk jadi dari rotan. Cara-cara pemasaran model lama dianggap
tidak efektif dalam mempromosikan produk industri rotan. Lebih dari itu, selama
ini industri rotan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap
broker/perantara dari luar negeri untuk memasuki pasaran ekspor. Industri
rotan juga memiliki keterbatasan dalam mengetahui informasi pasar dan
mengantisipasi perkembangan dan perobahan permintaan konsumen di negara
tujuan ekspor. Berbagai permasalahan tersebut membuat Brand Image dari
produk rotan Indonesia belum begitu dikenal oleh konsumen luar negeri.
Keempat, faktor disain dan pemodelan. Faktor lain yang menyebabkan
tidak berkembangnya industri rotan adalah tidak sesuainya desain produk rotan
dengan keinginan dari pasar rotan. Produk rotan selama ini dianggap tidak
menarik oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak teralu menyukai produk
rotan. Hal itu pada akhirnya menyebabkan minimnya permintaan terhadap
produk rotan.

130
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Kelima, faktor modal dan pendanaan. Faktor modal dan pendanaan


merupakan masalah yang menghambat tumbuhnya industri rotan. Sama halnya
dengan industri kecil menengah lainnya, minimnya modal dan pendanaan
terhadap industri rotan menyebabkan industri tersebut sulit berkembang. Disaat
yang bersamaan para pengusahan rotan kesulitan mendapatkan modal dan
pendanaan dari bank maupun lembaga keuangan lainnya karena sulitnya proses
serta tingginya bunga yang dibebankan kepada para pengusaha industri rotan.
Hal ini membuat pengusaha industri di Indonesia kesulitan bersaing dengan
industri rotan dari luar negeri yang mendapatkan bantuan pemodalan yang
besar. Sebagai gambaran saja, hingga saat ini bunga kredit di bank-bank
Indonesia mencapai 10-12 persen. Nilai tersebut sangatlah lebih besar jika
dibandingkan dengan bunga kredit di bank-bank Malaysia yang mematok bunga
kredit sekitar 3 persen. Lebih dari itu, industri rotan juga mengalami kesulitan
dalam mempertahankan industrinya karena kecilnya margin antara biaya
produksi dengan pendapatan yang diperoleh para pengusaha industri rotan.
Keenam, faktor sumber daya manusia. Faktor sumber daya manusia atau
tenaga kerja dari industri rotan turut andil dalam menghambat tumbuhnya
industri rotan. Selama ini, tenaga kerja industri rotan tidak memiliki pendidikan
serta kemampuan teknis yang memadai. Hal ini menyebabkan rendahnya
produktivitas tenaga kerja yang berdampak pada rendahnya produksi dari
industri rotan. Disaat yang bersamaan, perusahaan industri rotan mengalami
kesulitan melakukan mekanisasi produksi bahan jadi rotan karena minimnya
dana yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.

5.3.5. Permasalahan Pengembangan Rumput Laut


Rumput laut merupakan komoditas perikanan budidaya yang sangat
diunggulkan sekaligus menjadi komoditas ekspor. Produksi rumput laut nasional
pada 2010 sebesar 3.906.420 ton atau mengalami pertumbuhan 31,82 persen
dari tahun sebelumnya. Namun, jumlah tersebut masih jauh lebih kecil
dibandingkan potensi optimalisasi produksi yang bisa mencapai 32 juta ton per

131
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

tahun. Saat ini, lahan untuk budidaya rumput laut yang baru termanfaatkan
hanya sebesar 26.700 ha. Padahal ada sekitar dua juta ha lahan yang potensial
untuk pengembangan rumput laut dengan potensi produksi rumput laut kering
rata-rata 16 ton per ha.
Rumput laut (sea weed) juga sangat diandalkan sebagai salah satu
komoditas perikanan budidaya yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
rakyat. Budidaya rumput laut tidak memerlukan teknologi yang tinggi, investasi
cenderung rendah, mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, serta
menghasilkan keuntungan yang relatif besar. Pengembangan usaha itu tentu
diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran (pro job), meningkatkan
pendapatan masyarakat (pro growth), dan pada gilirannya dapat menekan
angka kemiskinan (pro poor).
Di samping menilik potensi tersebut, ternyata masih banyak kendala dan
tantangan dalam pengembangan komoditas rumput laut, baik di hulu maupun
sampai di hilir. Secara umum, kendala yang dihadapi oleh usaha budidaya di
masyarakat adalah sumber daya manusia pembudidaya yang masih sangat
terbatas, penggunaan teknologi perbenihan dan budidaya yang belum standar,
keterbatasan permodalan serta akses pemasaran yang belum menjamin
terserapnya hasil produksi.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh sektor perikanan secara umum
adalah masih rendahnya investasi di bidang kelautan dan perikanan. Secara
keseluruhan investasi di sektor perikanan baik PMDN maupun PMA masih
sangat kecil jika dibanding nilai investasi secara nasional. Seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 5.2, realisasi investasi baik PMDN maupun PMA di
sektor perikanan pada 2010 masing-masing hanya sebesar Rp 24,7 miliar dan
US$ 5,1 juta atau sebesar 0,1 persen dari total Investasi PMDN dan PMA
nasional. Oleh karena itu, upaya peningkatan investasi di sektor perikanan
menjadi sangat penting ditindaklanjuti. Itu semua akan bermuara pada
peningkatan kapasitas dan kualitas dari komoditas budidaya rumput laut.

132
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 5.2. Perkembangan Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sektor Perikanan
TAHUN
NO TIPE 2009 2010
P I P I
Realisai Investasi PMDN Sektor
0 0,0 2 24,7
1. Perikanan
Realisasi Investasi PMA Sektor
3 2,4 3 5,1
2. Perikanan
PMDN Nasional 239 20.363,4 248 37.799,8
PMA Nasional 1.138 14.871,4 1.221 10.815,0
Rasio terhadap PMDN Nasional 0,0 0,0 0,8 0,1
Rasio terhadap PMA Total 0,3 0,0 0,2 0,0

Sumber : BKPM dalam Data Pokok KKP, 2011


P : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan
I : Nilai Realisasi Investasi dalam Miliar rupiah
I (PMA) : Nilai Investasi dalam US$ juta

Selanjutnya, merujuk hasil studi literatur dari beberapa institusi atau


lembaga, dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan beberapa permasalahan atau
kendala yang tengah dihadapi pembudidaya dan industri pengolahan rumput
laut nasional, antara lain:
a. Subsistem Hulu
o Terbatasnya ketersediaan bibit unggul; bibit yang dipergunakan
pembudidaya kebanyakan berasal dari hasil produksi yang digunakan
kembali sebagai bibit (vegetatif)
o Belum adanya lembaga resmi yang ditunjuk sebagai penyedia bibit unggul
o Belum adanya regulasi standarisasi proses produksi (SNI), distribusi, dan
pengawasan bibit unggul
b. Subsistem Produksi
o Lemahnya SDM pembudidaya, khususnya dalam tahap pascapanen, yaitu
pengolahan rumput laut basah menjadi produk yang lebih bernilai tambah
o Rendahnya perlindungan dan kepastian hukum yang disebabkan belum
adanya zoning kawasan budidaya rumput laut yang diakui secara de jure,

133
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

termasuk belum terakomodasinya kepentingan budidaya rumput laut


dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah
o Belum terdapat peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut yang dapat
mengidentifikasi jenis-jenis rumput laut apa saja yang cocok
dikembangkan di suatu wilayah
o Belum terdapat peta ketersediaan sumber alam rumput laut untuk jenis-
jenis sargasum, gelidium, pterocladia dan ptilophora
o Belum seragamnya penggunaan pola tanam rumput laut dalam satu
kawasan
o Adanya faktor penghambat akibat pengaruh alam, seperti munculnya virus
ice-ice yang menempel pada rumput laut yang mengakibatkan rumput laut
menjadi rontok, dan juga ancaman gelombang besar/pasang yang
mengakibatkan kerusakan hingga 90 persen pada metode rakit dan 10
persen pada metode patok
c. Subsistem Hilir
o Masih rendahnya kualitas hasil budidaya rumput laut, baik rendahnya
kandungan karaginan maupun tingginya kadar air. Beberapa penyebabnya
antara lain karena panen dilakukan pada umur 30 hari, padahal
seharusnya panen dilakukan pada umur 45 sampai 60 hari
o Masih rendahnya pengetahuan tentang proses pengemasan (packing)
bahan mentah (raw material), dari pembudidaya hingga ke pabrikasi
o Belum banyaknya bentuk produk olahan atau upaya diversifikasi bentuk
olahan yang dikerjakan oleh pembudidaya dan UMKM di sekitar lokasi
budidaya
o SNI pengolahan dan produk olahan rumput laut belum tersedia secara
lengkap, sehingga masih mengacu kepada standar yang diberikan oleh
importir
o Spread margin usaha relatif kecil. Harga jual rumput laut (per kg) dari
pembudidaya kepada pengumpul kecil relatif rendah. Berbeda apabila
petani budidaya rumput laut dapat menjual langsung kepada pengumpul
besar rumput laut

134
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

d. Subsistem Pembiayaan
o Masih terbatasnya fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan, salah
satu penyebabnya karena ketiadaan agunan
o Keterbatasan permodalan mengakibatkan terbatasnya luasan lahan yang
dapat digunakan untuk budidaya. Contohnya pada masyarakat
pembudidaya di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat,
di mana umumnya satu KK hanya menanam dengan luas area 3 are atau 5
rakit, di mana 1 are = 100 m2 atau 1 rakit = 7m x 7m. Padahal 1 KK idealnya
menanam 5 are atau 10 rakit, agar dapat menghasilkan pendapatan yang
layak
e. Subsistem Kelembagaan
o Lemahnya fungsi kelembagaan pada stakeholders yang mempunyai
kepentingan pada pengembangan usaha budidaya rumput laut, mulai dari
tingkat pembudidaya, pengolahan hasil produksi, pedagang, hingga
eksportir
o Sistem pembinaan dan penyuluhan secara berjenjang dari tingkat pusat,
provinsi hingga ke kabupaten belum dirancang dan dilakukan secara
terstruktur
o Belum maksimalnya sosialisasi hasil penelitian tentang pengembangan
jenis rumput laut menjadi produk yang lebih bernilai tambah
Adapun tantangan dalam pengembangan budidaya rumput laut antara
lain: Pertama, peluang pasar rumput laut demikian besar sehingga rumput laut
lebih dominan sebagai komoditas dagang dari pada sebagai komoditas industri.
Hal ini membawa dampak pada fluktuasi harga yang sangan tajam. Mengingat
komoditas dagang mengedepankan besaran margin yang diperoleh pada setiap
mata rantai pemasaran, sedangkan komoditas industri lebih memfokuskan pada
kestabilan pasokan yang dapat menjamin keberlanjutan proses produksi.
Kedua, kualitas rumput laut yang terbaik ditentukan oleh jangka waktu
budidaya, yaitu sekitar 45 hari setelah tanam. Kenyataannya, pembudidaya
sebagian besar memanen rumput laut sebelum waktunya (< 45 hari), akibatnya

135
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

sebagai komoditas industri kualitas rumput laut rendah, tetapi sebagai


komoditas dagang selalu terserap oleh pasar (terjual). Hal ini terjadi karena
secara fisik sulit untuk mengetahui kualitas rumput laut berdasarkan umurnya
(panen).
Ketiga, harga rumput laut ditentukan oleh besar asalan (kering
matahari). Sering kali pembudidaya tidak mengindahkan tata cara penanganan
pascapanen yang baik, misalnya untuk mencapai berat tertentu pembudidaya
menjemur rumput laut di atas pasir sehingga kotoran banyak melekat dan
menambah berat. Beberapa tantangan tersebut harus segera mendapat
penanganan agar pengembangan rumput laut ke depan dapat berjalan dengan
baik.

136
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

B ab 6

Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Berbagai permasalahan dan tantangan yang menjadi kendala hilirisasi


agroindustri membutuhkan solusi untuk dapat segera teratasi. Di sinilah urgensi
keberadaan strategi percepatan dan perluasan industrialisasi agar bottleneck
hilirisasi di beberapa komoditas agroindustri unggulan bisa lekas diselesaikan.
Lebih dari itu, percepatan dan perluasan industrialisasi juga penting untuk
mendorong pertumbuhan industri serta mencegah terjadinya deindustrialisasi
dini. Percepatan dimaknai sebagai upaya memperpendek rentang waktu target
pencapaian, sementara perluasan berarti pendistribusian pusat-pusat industri
baru di luar Jawa, terutama mendekatkan ke sumber bahan baku.

6.1. Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi


Secara umum upaya industrialisasi di Indonesia tidak hanya mengalami
hambatan spesifik pada sektor industri tertentu. Beberapa permasalahan dan
tantangan industrialisasi justru merupakan persoalan bersama baik lintas sektor
industri maupun lintas bidang kewenangan. Berikut ini diuraikan beberapa

137
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

strategi utama dalam mempercepat dan memperluas industrialisasi di


Indonesia.
1. Percepatan pembangunan infrastruktur logistik. Pengembangan
sistem logistik nasional serta infrastruktur pendukung yang memadai
dapat menjamin kelancaran arus barang dan mengurangi biaya
transaksi sehingga pada akhirnya akan mendorong aktivitas
ekonomi.
2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan
kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi industri yang
didukung dengan peningkatan implementasi hasil riset dan apresiasi
terhadap peneliti untuk menumbuhkan budaya riset di industri
nasional.
3. Peningkatan kualitas pelayanan birokrasi yang pro bisnis dan
berdaya saing untuk meminimasi ekonomi biaya tinggi. Upaya ini
dapat dilakukan dengan simplifikasi birokrasi dan regulasi.
4. Mendorong peningkatan akses pembiayaan investasi di sektor
industri dengan tingkat bunga yang wajar baik bagi industri besar,
sedang dan kecil.
5. Optimalisasi keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara yang
berbasis pada sumber daya alam dengan meningkatkan nilai tambah
produk dan tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan SDA
tersebut dalam jangka panjang.

6.2. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kelapa Sawit


6.2.1. Strategi Percepatan Industri Kelapa Sawit
1. Kebijakan perdagangan untuk menghambat ekspor. Meskipun Pajak
Ekspor (PE) tidak akan efektif tanpa dukungan kebijakan lain di
dalam negeri, tetapi kebijakan ini dinilai masih diperlukan dalam
batas-batas tertentu. Kebijakan PE ini juga ditujukan untuk menjaga
ketersediaan bahan baku industri dalam negeri. Restrukturisasi Bea

138
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Keluar Ekspor CPO dan Produk Turunannya akan menjamin pasokan


bahan baku bagi industri dalam negeri. Prinsip pro-hilirisasi terdapat
pada pengenaan tarif yang semakin rendah untuk produk hilir sesuai
rantai nilai produksi.
2. Salah satu hal yang cukup penting segera dilakukan dari sisi
kebijakan hilirisasi CPO adalah kebijakan insentif investasi di sektor
hilir. Untuk itu perlu penambahan cakupan bidang usaha industri
hilir kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi yang diatur
melalui Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang fasilitas
Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.
3. Mengusulkan pemberian tax holiday bagi investasi besar industri
hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan
No. 130 Tahun 2011 dengan mengelompokkannya pada industri
sumber daya alam terbarukan.
4. Senantiasa meningkatkan koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi
antarinstansi/pihak terkait pusat–daerah dalam menyamakan
persepsi atas pembentukan Klaster dan Kawasan Industri Hilir
Kelapa Sawit.
5. Konsistensi melakukan promosi investasi IHKS, baik di dalam
maupun luar negeri, untuk mendorong masuknya investasi di Klaster
IHKS.
6. Pembangunan kawasan industri hendaknya dilengkapi dengan
sarana pusat informasi, pusat permesinan, riset dan pengembangan,
serta fasilitasi iklim usaha, dan pusat keselamatan kerja untuk
meningkatkan pelayanan bagi operasional industri.
7. Peningkatan fasilitas infrastruktur logistik untuk mendukung
kegiatan industri skala besar dalam kawasan industri menjadi
prioritas utama program pembangunan pemerintah pusat – daerah.
8. Pemerintah daerah hendaknya memfasilitasi masuknya investasi
dengan memberikan pelayanan perizinan, khususnya terkait dengan

139
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

perizinan lahan dan izin usaha yang sederhana, handal, serta pro-
bisnis. Kebijakan ini harus lebih ramah lagi bagi investasi yang
menerapkan pola integrasi vertikal antara kebun kelapa sawit
dengan pengolahan dan integrasi horizontal antara kebun kelapa
sawit dengan usaha lain, misal ternak.
9. Penyediaan tenaga kerja terampil dan terdidik berbasis SDM lokal
dengan kerjasama lembaga pendidikan setempat perlu ditingkatkan.
10. Pembebasan PPn (Pajak Pertambahan Nilai) dalam transaksi
pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani sawit.
11. Kebijakan stabilisasi harga minyak goreng harus terus dilakukan,
selain untuk menjaga daya beli konsumen karena termasuk
kebutuhan pokok, juga sebagai insentif bagi pelaku usaha hilirisasi
sawit.

6.2.2. Strategi Perluasan Industri Kelapa Sawit


1. Konsistensi pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010
tentang Percepatan Program Prioritas Pembangunan Nasional
mengamanatkan pembangunan klaster Industri Hilir Kelapa Sawit
(IHKS) di 3 (tiga) daerah, yaitu Kawasan Industri Sei Mangkei Provinsi
Sumatera Utara; Kawasan Industri Dumai dan Kuala Enok Provinsi
Riau; serta Kawasan Industri Maloy Provinsi Kalimantan Timur.
Ketiga lokasi ini akan menjadi satelit industri hilir kelapa sawit
berskala modern internasional sekaligus sebagai pusat
pembangkitan perekonomian berbasis sektor produktif industri
nasional.
2. Mendorong pengolahan CPO hingga turunan produk ketiga (antara
lain fatty acid, fatty alcohol, biodiesel) di dalam negeri paling sedikit
50 persen dari total produksi CPO nasional pada 2015 sebelum
diekspor dalam bentuk produk hilir bernilai tambah tinggi.
3. Pengembangan klaster CPO dan pembentukan jaringan bisnis
penting dilakukan untuk meningkatkan optimalisasi kapasitas,

140
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

diversifikasi produk turunan CPO melalui investasi baru, serta guna


perluasan pangsa ekspor.
4. Peremajaan kebun sawit milik rakyat. Dalam hal perkebunan rakyat,
pemerintah perlu menstimulasi peremajaan dengan dukungan
subsidi pemupukan maupun pembiayaan usaha tani sawit yang
tepat. Kemitraan petani dengan pengusaha perlu direkonstruksi di
bawah evaluasi dan pengendalian instensif pemerintah.
5. Pengembangan kelapa sawit juga diupayakan bagi industri kecil agar
petani dapat menikmati nilai tambahnya. Untuk tujuan tersebut,
perlu ada prioritas program untuk rancang bangun proses dan
peralatan pengolahan industri terpadu meliputi pabrik minyak
goreng, pabrik sabun, dan margarin dalam berbagai skala usaha bagi
produk minyak sawit yang dihasilkan.
6. Satu hal yang juga mendesak dibenahi menyangkut konversi lahan
hutan menjadi lahan perkebunan untuk CPO, yang seringkali
mendatangkan konflik kepentingan antara pemangku kepentingan,
di pusat dan daerah.
7. Pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas infrastruktur untuk
mendukung distribusi dan pemasaran (termasuk ekspor), seperti
akses transportasi dan pembangunan tanki timbun di pelabuhan-
pelabuhan ekspor.

141
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.1. Matrik Strategi Percepatan Industri Kelapa Sawit

No. Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi

1 Dominasi ekspor minyak sawit Nilai tambah produk rendah Melanjutkan kebijakan Pajak Ekspor untuk Penurunan ekspor minyak
mentah dan kurang berdaya saing mengurangi ekspor minyak sawit mentah yang sawit mentah yang diikuti
diikuti dengan strategi insentif bagi ekspor produk dengan peningkatan ekspor
hilir CPO produk turunan CPO

2 Kurangnya insentif untuk Ekspor CPO mentah cenderung Kebijakan insentif investasi di sektor hilir dengan Meningkatnya produk hilir
melakukan hilirisasi CPO meningkat penambahan cakupan bidang usaha industri hilir CPO
kelapa sawit yang mendapatkan insentif investasi
yang diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 62
Tahun 2008 tentang fasilitas Pajak Penghasilan
untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.

3 Insentif fiskal untuk industri Hilirisasi dalam jumlah besar Pemberian tax holiday bagi investasi besar Meningkatnya produk
besar dinilai masih kurang sulit dicapai industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui turunan CPO dalam jumlah
Peraturan Menteri Keuangan No. 130 Tahun 2011 besar dan diversifikasi produk
dengan mengelompokkannya pada industri hilir yang lebih banyak
sumber daya alam terbarukan.

4 Kurangnya koordinasi Pengembangan industri hilir Senantiasa meningkatkan koordinasi, sinkronisasi Memperlancar proses
antarinstansi berjalan lambat dan fasilitasi antarinstansi/pihak terkait pusat– industrialisasi CPO di wilayah

142
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

daerah dalam menyamakan persepsi atas klaster industri


pembentukan Klaster dan Kawasan Industri Hilir
Kelapa Sawit.

5 Kurangnya promosi investasi Investasi di IHKS belum Konsistensi melakukan promosi investasi IHKS baik Peningkatan investasi di
IHKS maksimal di dalam maupun luar negeri untuk mendorong industri turunan CPO
masuknya investasi di Klaster IHKS.

6 Kurang lengkapnya sarana dan Akses terhadap informasi dan Pembangunan kawasan industri hendaknya Memudahkan akses informasi
prasarana hilirisasi di kawasan layanan lain terhambat dilengkapi dengan sarana pusat informasi, pusat dan meningkatkan nilai jual
industri permesinan, riset dan pengembangan, serta program hilirisasi di mata
fasilitasi iklim usaha, dan pusat keselamatan kerja investor
untuk meningkatkan pelayanan bagi operasional
industri.

7 Kurangnya infrastruktur logistik Inefisiensi biaya distribusi Peningkatan fasilitas infrastruktur logistik untuk Efisiensi biaya distribusi
pendukung industrialisasi mendukung kegiatan industri skala besar dalam
kawasan industri menjadi prioritas utama
program pembangunan pemerintah pusat –
daerah.

8 Masalah lahan bagi Ketidakpastian hukum Penuntasan masalah tata ruang nasional dan Perluasan lahan perkebunan
pengembangan kebun baru yang terhadap status legalitas lahan. RTRWP secepatnya dengan meningkatkan sawit yang dapat menopang
diakibatkan ketidaktuntasan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan ketersediaan bahan baku.
Pemegang konsesi dan investor
masalah tata ruang nasional dan Badan Pertanahan Nasional.
bersikap “wait and see” yang
Rencana Tata Ruang Wilayah
berdampak kepada tingkat

143
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Provinsi (RTRWP) ekspansi lahan sawit

9 Pengembangan perkebunan Perkebunan dan industri Membangun satu pelabuhan ekspor CPO di Pemerataan kesejahteraan di
kelapa sawit yang mengarah ke kelapa sawit di Indonesia Timur Kalimantan untuk memudahkan penjualan CPO ke wilayah Indonesia timur.
Indonesia Timur kurang didukung kurang berkembang. luar negeri.
infrastruktur yang memadai,
Segera merealisasikan pembangunan klaster
terutama pelabuhan.
industri untuk pengembangan industri hilir sawit.

10 Penerapan aturan perpajakan Menimbulkan pajak berganda Tidak memungut PPn TBS, sehingga dapat Mengurangi biaya transaksi
mengenai PPn atas produk (double taxation) kepada mengkreditkan pajak masukan atas input dan biaya produksi.
primer TBS (Tandan Buah Segar) perusahaan yang terintegrasi produksi.
memberatkan pelaku usaha. (produksi-pengolahan).

11 Kurangnya hilirisasi kelapa sawit Harga minyak goreng dapat Terus melakukan stabilisasi harga minyak goreng. Menjaga daya beli konsumen
ke minyak goreng berfluktuasi karena termasuk kebutuhan
pokok, juga sebagai insentif
bagi pelaku usaha hilirisasi
sawit.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

144
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.2. Matrik Strategi Perluasan Industri Kelapa Sawit

No. Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi

1 Kurangnya klaster industri yang Produk hilir belum Konsistensi pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 Peningkatan produksi turunan CPO
modern berkembang sesuai harapan tentang Percepatan Program Prioritas Pembangunan Nasional dan juga ketiga lokasi ini akan
tahun 2010 mengamanatkan pembangunan klaster Industri menjadi satelit industri hilir kelapa
Hilir Kelapa Sawit (IHKS) di 3 (tiga) daerah yaitu: Kawasan sawit berskala modern internasional
Industri Sei Mangkei Provinsi Sumatera Utara; Kawasan sekaligus sebagai pusat bangkitan
Industri Dumai dan Kuala Enok Provinsi Riau; serta Kawasan perekonomian berbasis sektor
Industri Maloy Provinsi Kalimantan Timur. produktif industri nasional.
2 Kurangnya diversifikasi produk Nilai tambah produk hilir Mendorong pengolahan CPO hingga turunan produk ketiga Peningkatan diversifikasi produk hilir
turunan CPO tidak optimal (antara lain fatty acid, fatty alcohol, biodiesel) di dalam negeri CPO
3 Kurangnya jaringan bisnis bagi Tujuan ekspor kurang Pengembangan klaster CPO dan pembentukan jaringan bisnis Meningkatkan optimalisasi kapasitas,
perluasan ekspor produk olahan ekspansif diversifikasi produk turunan CPO
melalui investasi baru, serta guna
perluasan pangsa ekspor.
4 Produktivitas kebun kelapa sawit Produktivitas kelapa sawit Peremajaan kebun sawit milik rakyat melalui stimulasi Peningkatan produktivitas kebun
milik rakyat masih rendah rendah peremajaan dengan dukungan subsidi pemupukan maupun kelapa sawit
pembiayaan usaha tani sawit yang tepat.
5 Kecenderungan pelaku hilirisasi Pemerataan ekonomi lambat Pengembangan kelapa sawit juga diupayakan bagi industri Peningkatan kesejahteraan
hanya produsen besar kecil, agar petani dapat menikmati nilai tambahnya. masyarakat kecil-menengah

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

145
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

6.3. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Karet


Pengembangan karet alam diharapkan dapat dioptimalisasi melalui
kedua line usaha, baik on farm maupun off farm. Permasalahan produktivitas
lahan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan on farm
termasuk kualitas bahan baku olahan yang masih rendah.

6.3.1. Strategi Percepatan Industri Karet

1. Perlunya percepatan peremajaan karet tua dan tidak produktif


terutama pada perkebunan karet rakyat.

2. Produktivitas lahan dapat dijembatani dengan pola plasma antara


perkebunan rakyat dengan perkebunan besar dalam peningkatan
hasil dan harga. Pola plasma ini diharapkan juga dapat menjembatani
perbankan dalam pemberian fasilitas kredit terkait dengan
kemampuan manajemen dan jaminan yang selama ini masih menjadi
kendala utama dalam meningkatkan kemampuan permodalan
perkebunan.

3. Selain itu, masih di tingkat on farm perlu penggunaan klon unggul


penghasil lateks dan kayu yang mempunyai produktivitas tinggi untuk
menghasilkan produksi karet yang lebih optimal.

4. Peningkatan kualitas bahan olah karet yang dihasilkan petani sesuai


dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan melalui pelatihan
dan pendampingan.

5. Penyediaan energi yang mencukupi untuk industri mengingat selain


permasalahan jenis produk, industri barang karet juga kerap
dihadang oleh permasalahan ketersediaan energi pendukung dan
kebijakan yang kurang mendukung optimalisasi industri.

146
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

6. Peningkatan efisiensi pemasaran bahan olah karet dan penguatan


kelembagaan petani melalui koperasi.

6.3.2. Strategi Perluasan Industri Karet

1. Diversifikasi usahatani karet melalui integrasi dengan tanaman


pangan dan ternak untuk peningkatan pendapatan keluarga petani.

2. Pengembangan industri perbenihan bermutu di sentra-sentra


produksi karet untuk meningkatkan produksi.

147
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.3. Matrik Strategi Percepatan Industri Karet


No. Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi

1 Rendahnya produktivitas Produksi karet menurun Percepatan peremajaan karet tua dan tidak produktif terutama Peningkatan produktivitas
kebun karet pada perkebunan karet rakyat.
2 Produktivitas kebun rakyat Pendapatan petani karet Pengembangan pola plasma antara perkebunan rakyat dengan Pendapatan petani karet
masih rendah rendah perkebunan besar dalam peningkatan hasil dan harga. meningkat
3 Bibit karet bermutu rendah Produktivitas hasil kebun Di tingkat on farm perlu penggunaan klon unggul penghasil Produksi karet meningkat
karet rendah lateks dan kayu yang mempunyai produktivitas tinggi.
4 Kualitas produk karet dari Harga yang diterima petani Peningkatan kualitas bahan olah karet yang dihasilkan petani Harga yang diterima petani
kebun rakyat relatif lebih rendah sesuai dengan SNI yang disyaratkan industri pengolahan melalui meningkat
rendah pelatihan dan pendampingan.
5 Kurangnya ketersediaan Terjadi idle capacity Penyediaan energi yang mencukupi untuk mendukung Produk hilir karet
energi untuk mendukung optimalisasi industri karet. meningkat
hilirisasi
6 Banyaknya perantara Harga karet di tingkat petani Peningkatan efisiensi pemasaran bahan olah karet dan Harga di tingkat petani naik
dalam bisnis karet rendah karena pasar bersifat penguatan kelembagaan petani melalui koperasi. dan rantai produksi lebih
oligopoli efisien

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

148
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.4. Matrik Strategi Perluasan Industri Karet

No. Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi

1 Kesejahteraan petani karet relatif Pendapatan rendah Diversifikasi usahatani karet melalui Peningkatan
masih rendah integrasi dengan tanaman pangan dan kesejahteraan petani
ternak untuk peningkatan pendapatan karet
keluarga petani.

2 Kurangnya industri perbenihan Bibit karet berkualitas Pengembangan industri perbenihan Peningkatan
bermutu rendah bermutu baik di sentra-sentra produksi produktivitas kebun
karet untuk meningkatkan produksi. karet

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

149
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

6.4. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Kakao


Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah menetapkan
industri kakao sebagai salah satu industri prioritas nasional. Target utama pada
2014 antara lain tercapainya diversifikasi produk olahan kakao yang berdaya
saing. Demi mencapai target tersebut, maka pemerintah mengupayakan hal-hal
sebagai berikut:
1. Meningkatkan nilai tambah biji kakao
2. Meningkatkan mutu dan produktivitas biji kakao
3. Meningkatkan ekspor produk cokelat olahan
4. Meningkatkan penguasaan teknologi dan mutu SDM
Namun, berdasarkan hasil analisis, fakta yang terjadi adalah terjadinya
penurunan daya saing kakao dan produk olahannya selama 3 tahun terkahir.
Untuk itu diperlukan segera tindakan penyelamatan agar daya saing kakao
Indonesia tidak terus menurun dan bahkan harus membaik di masa yang akan
datang. Diperlukan suatu strategi percepatan dan perluasan, terlebih lagi bahwa
industri pengolahan kakao merupakan salah satu industri prioritas yang
didorong pengembangannya di dalam negeri.

6.4.1. Strategi Percepatan Industri Kakao


1. Peningkatan Produktivitas dan Mutu Biji Kakao
Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman
serta mutu kakao secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh petani
pekebun maupun perkebunan besar. Penerapan kebijakan peningkatan
produktivitas dan mutu kakao ditempuh antara lain melalui:

a. Optimasi kegiatan penelitian, khususnya untuk memperoleh klon


kakao tahan PBK, baik melalui upaya eksplorasi tanaman kakao
yang diduga tahan PBK maupun lewat rekayasa genetik.
b. Gerakan pengendalian hama PBK secara serius yang didukung

150
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

dengan dana dan sarana yang memadai.


c. Peremajaan dan klonalisasi tanaman kakao terutama dengan
menggunakan benih unggul.
d. Perbaikan mutu biji kakao melalui upaya perbaikan
pengelolaan kebun maupun fermentasi.
e. Penerapan secara ketat terhadap persyaratan mutu biji kakao
untuk ekspor dan revisi SNI.
f. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan petani dan
kelembagaan usaha.
2. Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi Nasional untuk
memprioritaskan peningkatan nilai tambah, hilirisasi, dan daya saing sektor
hasil pertanian.
Kebijakan ini dimaksudkan agar ekspor kakao Indonesia tidak lagi berupa
bahan mentah (kacang), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai
tambah dinikmati di dalam negeri. Penerapan kebijakan peningkatan
produktivitas dan mutu kakao ditempuh antara lain melalui:
a. Pengembangan industri hilir kakao, khususnya pengolahan bubuk
dan kakao butter untuk meningkatkan nilai tambah. Upaya ini
dapat dilakukan via kemitraan dengan 4 perusahaan besar (Nestle,
Mars, Hershe dan Cadbury)
b. Mengembangkan kemitraan antarpetani kakao dengan industri
pengolahan di dalam negeri dan perusahaan luar negeri yang
menguasai pasar kakao.
3. Dukungan Penyedian Pembiayaan salah satunya dengan
membentuk Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra produksi.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai kemungkinan
sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kakao, baik
yang berasal dari lembaga perbankan maupun non- bank (antara lain
memanfaatkan penyertaan dana masyarakat melalui Kontrak Investasi
Kolektif, Resi Gudang, dan lain-lain).

151
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4. Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dan R & D di bidang


budidaya, pascapanen dan pengolahan, antara lain Program Gernas Kakao
untuk peningkatan mutu dan produksi kakao.
5. Promosi pemasaran dalam dan luar negeri, antara lain melalui pameran
dalam dan luar negeri.
6. Promosi investasi dan meningkatan kerjasama di forum internasional di
antaranya Sidang ASEAN Cocoa Club, Sidang International Cocoa
Organization.

6.4.2. Strategi Perluasan Industri Kakao


Selain kebijakan yang telah disusun pemerintah tersebut, diperlukan juga
strategi kebijakan yang bertujuan memperluas pengembangan dan menguatkan
industri kakao. Beberapa rekomendasi kebijakan tersebut antara lain:
1. Memperluas lahan perkebunan kakao, memberikan insentif kepada petani,
serta memberikan penyuluhan dan sosialisasi agar petani bisa menghasilkan
kakao berkualitas. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan melanjutkan
program Gernas Kakao untuk peningkatan produksi dan produktivitas kakao
melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi tanaman kakao.
2. Percepatan pembangunan infrastruktur di daerah, baik melalui APBN
maupun APBD. Insentif perpajakan (tax holiday) bagi investor yang
membangun infrastruktur. Insentif pajak untuk pembangunan infrastruktur
melalui Private Partnership Project (PPP).
3. Insentif perpajakan (tax holiday) bagi investor yang melakukan Riset sesuai
PP No. 35 tahun 2007 tentang pengalokasian Pendapatan Badan Usaha Untuk
Kegiatan Riset.
4. Menciptakan iklim usaha yang kondusif, termasuk harmonisasi tarif, insentif
investasi, dan mengurangi pungutan-pungutan yang memberatkan.
Kebijakan yang telah dilakukan antara lain:

152
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

a. Penghapusan PPN 10% atas komoditi primer termasuk biji kakao


b. Melakukan negosiasi penurunan tarif bea masuk kakao olahan di
beberapa negara tujuan ekspor
c. Program Gernas Kakao untuk peningkatan mutu dan produksi kakao
d. Mempertahankan Bea Keluar atas ekspor biji kakao
e. Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kakao Bubuk Secara
Wajib melalui Peraturan Menperind No. 45/M-IND/PER/5/2009
f. Usulan memperluas cakupan pada PP No. 62 tahun 2008 Tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu dengan menambah
cakupan untuk investasi Industri Kakao dan Industri Makanan dari
Cokelat dan Kembang Gula.
5. Peningkatan utilitas kapasitas industri/perusahaan yang telah ada. Fasilitasi
kemitraan pemasaran biji kakao fermentasi dengan industri dalam negeri
dalam rangka jaminan kepastian harga dan pasokan biji kakao untuk industri
olahan kakao.
6. Penciptaan lapangan usaha industri pengolahan kakao melalui: sosialisasi
teknologi terpadu proses pengolahan kakao, peningkatan pengetahuan dan
kemampuan SDM, pengenalan dan penerapan ISO 22000, ISO 9001 Global
Standard for Food Safety, GMP dan HACCP dalam rangka peningkatan mutu
dan keamanan produk.
7. Pengembangan pasar domestik: penyertaan para pengusaha pada kegiatan
promosi/pameran dalam negeri dan internasional, dan pengembangan
diversifikasi produk bernilai tambah tinggi, termasuk kakao non-pangan.
8. Pemerintah perlu melakukan tindakan antisipatif terhadap ketidakpastian
ekonomi global (ancaman krisis global) dengan mencari pasar baru,
khususnya di wilayah Asia Pasifik, pengembangan industri hilir cokelat yang
mampu menyerap produksi biji kakao dalam jumlah yang signifikan, dan
peningkatan konsumsi cokelat di dalam negeri.

153
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Strategi percepatan dan perluasan industrialisasi berbasis sumber daya


pertanian, seperti industri kakao, harus diawali dengan perbaikan dan
pembenahan di berbagai aspek, mulai dari sektor hulu hingga hilirisasinya.
Sektor hulu harus mampu menyediakan kakao yang berkualitas, ramah
lingkungan, dan memerhatikan aspek kesehatan. Sehingga, sektor hilir dapat
menyerap hasil-hasil dari sektor hulu dengan menciptakan produk yang
berkualitas, bernilai tambah tinggi, dan berdaya saing.

154
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.5. Matrik Strategi Percepatan Industri Kakao


No Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi
1. Kualitas biji kakao Indonesia Industri yang ingin Perlunya upaya peningkatan Tersedianya bahan
yang semakin rendah dan mengolah kakao seperti Produktivitas dan Mutu Biji Kakao baku yang
sekitar 90% tidak difermentasi. cocoa powder dan produk dengan cara: melimpah dan
Hal ini diperparah dengan olahan kakao lainnya harus a. Optimasi kegiatan penelitian, berdaya saing
rendahnya produktivitas mengimport biji kakao khususnya untuk memperoleh klon untuk industri
perkebunan kakao, hanya 0.6 fermentasi dari Afrika. kakao tahan PBK baik melalui upaya pengolahan kakao
ton/ha/tahun dan eksplorasi tanaman kakao yang diduga di Indonesia.
dikhawatirkan semakin tahan PBK maupun melalui rekayasa
menurun. Hal ini disebabkan genetik.
karena serangan hama (PBK) b. Gerakan pengendalian hama PBK
pada tanaman perkebunan secara serius yang didukung dengan
kakao. dana dan sarana yang memadai.
c. Peremajaan dan klonalisasi tanaman
kakao terutama dengan
menggunakan benih unggul.
d. Perbaikan mutu biji kakao melalui
upaya perbaikan pengelolaan kebun
maupun fermentasi.
e. Penerapan secara ketat terhadap

155
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

persyaratan mutu biji kakao untuk


ekspor dan revisi SNI.
f. Peningkatan kemampuan dan
pemberdayaan petani dan
kelembagaan usaha.
g. Pemerintah perlu mencontoh apa yang
dilakukan Ghana yaitu mewajibkan 60
persen produksi kakaonya diolah dulu
di dalam negeri dan sisanya pada saat
di ekspor dikenakan Bea Keluar yang
dananya dikembalikan lagi untuk
kepentingan para petani kakao.
2 Sebagian besar biji kakao masih Industri kakao lokal Program Percepatan dan Peningkatan Ekspor kakao
diperuntukkan bagi kepentingan kekurangan pasokan biji Ekonomi Nasional untuk memprioritaskan Indonesia tidak lagi
ekspor kakao. peningkatan nilai tambah, hilirisasi dan berupa bahan
daya saing sektor hasil pertanian. mentah (kacang),
tapi dalam bentuk
hasil olahan,
sehingga nilai
tambah dinikmati
di dalam negeri.
3 Industri kakao membutuhkan Terbatasnya akses Dukungan Penyediaan Pembiayaan Tersedianya

156
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

dana untuk investasi dan modal pembiayaan bagi industri salah satunya dengan membentuk berbagai
kerja yang cukup besar yang kakao. Hal ini akan Lembaga Keuangan Mikro di sentra-sentra kemungkinan
tidak mungkin ditanggung menyebabkan industri kakao produksi. sumber
sendiri oleh para investor. sulit berkembang 1. Perlu dukungan yang lebih kuat dari pembiayaan yang
Sementara pihak perbankan (menghambat pihak perbankan agar industri dalam sesuai untuk
cenderung lebih mudah untuk industrialisasi) negeri dapat lebih berkembang. pengembangan
memberikan kredit yang 2. Pemerintah perlu mengatur agar tingkat kakao, baik yang
bersifat konsumtif sedangkan suku bunga di Indonesia tidak berasal dari
kredit untuk keperluan investasi memberatkan sektor riil sehingga bisa lembaga
dan modal kerja sulit sekali. bersaing dengan industri sejenis diluar. perbankan maupun
Ditambah lagi dengan tingginya non bank (antara
suku bunga di Indonesia yaitu lain
14 persen sedangkan di memanfaatkan
Malaysia hanya 4 persen. penyertaan dana
masyarakat
melalui Kontrak
Investasi Kolektif,
Resi Gudang
dan lain-lain).
4 Kemampuan Sumber Daya budidaya, pascapanen, dan Peningkatan kemampuan Sumber Daya Melimpahnya SDM
Manusia di bidang budidaya, pengolahan industri kakao Manusia (SDM) dan R & D di bidang berkualitas
pascapanen, dan pengolahan masih tidak berkembang budidaya, pascapanen, dan pengolahan. diberbagai bidang

157
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

masih terbatas dan tumbuh pesat Antara lain: Program Gernas Kakao untuk sebagai faktor
peningkatan mutu dan produksi kakao; pendukung
pengembangan
industri kakao
5 Pasar kakao di tingkat Sempit dan minimnya pasar Promosi pemasaran dalam dan luar Pasar tujuan ekspor
internasional belum luas dan tujuan ekspor kakao negeri, antara lain melalui pameran dalam menjadi semakin
masih mengandalkan traditional Indonesia dan luar negeri. banyak dan
market (negara pelanggan beragam. Hal ini
utama tujuan ekspor Indonesia). akan mempercepat
pertumbuhan
ekspor kakao
Indonesia.
6 Rendahnya tingkat investasi Pertumbuhan indsutri kakao Promosi investasi dan meningkatan Membanjirnya
khususnya investasi asing. tidak optimal karena kerjasama di forum internasional investasi asing serta
Kurangnya jaringan kekurangan investor. diantaranya Sidang ASEAN Cocoa Club, meningkatnya
internasional di bidang kakao Sidang International Cocoa Organization. pertumbuhan
industri kakao
nasional

158
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.6. Matrik Strategi Perluasan Industri Kakao


No Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi
1 Luas areal perkebunan kakao Minim dan terbatasnya Memperluas lahan perkebunan kakao, Perkebunan kakao dapat
masih terpusat di suatu sumberdaya kakao untuk memberikan insentif kepada petani menyebar lebih rata di
daerah tertentu (Sulawesi) industri pengolahan kakao serta memberikan penyuluhan dan seuluru Indonesia dan
dan kualitasnya masih rendah. lokal sosialisasi agar petani dapat hasilnya dapat memenuhi
menghasilkan kakao berkualitas. Hal kualitas atau standar yang
ini dapat dilakukan salh satunya baik.
dengan melanjutkan program Gernas
Kakao untuk peningkatan produksi
dan produktivitas kakao melalui
intensifikasi, ekstensifikasi dan
rehabilitasi tanaman kakao.
2 Kurangnya infrastruktur di Terjadinya inefisiensi produksi. Percepatan pembangunan Proses atau kegiatan industri
daerah adalah salah satu Banyak industri yang terpaksa infrastruktur di daerah baik melalui khususnya pengolahan kakao
faktor mengapa perkebunan harus banyak menggunakan APBN maupun APBD. Insentif dapat berlangsung secara
dan industri kakao tidak solar untuk genset dan perpajakan (tax holiday) bagi investor efisien dan tidak
berkembang. Sebagai contoh: akhirnya menimbulkan high yang membangun infrastruktur. menimbulkan high cost
Makassar yang walaupun cost. Insentif pajak untuk pembangunan economy.
sudah memiliki kawasan infrastruktur melalui Private
industri namun masih kurang Partnership Project (PPP);

159
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

memadai. Beberapa industri


disana mengeluhkan pasokan
listrik yang kurang sehingga
hampir setiap hari ada
pemadaman listrik.
3 Kurangnya kegiatan penelitian Hasil perkebunan kakao serta Insentif perpajakan (tax holiday) bagi Kegiatan penelitian untuk
untuk pengembangan kakao di pengolahannya investor yang melakukan Riset sesuai pengembangan kakao
Indonesia perkembangnnya kurang PP No. 35 tahun 2007 tentang menjadi semakin banyak
optimal pengalokasian Pendapatan Badan
Usaha Untuk Kegiatan Riset.

4. Iklim usaha yang kurang Banyak investor dan Menciptakan iklim usaha yang Semakin berkembang dan
kondusif dari hulu hingga hilir pengusaha yang ragu-ragu kondusif, termasuk harmonisasi tarif, tumbuhnya industri-industri
jika dilihat dari berbagai untuk membangun indutri insentif investasi dan mengurangi kakao nasional. Sehingga
aspek. kakao pungutan-pungutan yang dapat meningkatkan
memberatkan, dan kebijakan yang kapasitas produksi nasional
telah dilakukan antara lain: dan meningkatkan ekspor.
a. Penghapusan PPN 10 persen atas
komoditi primer termasuk biji
kakao
b. Melakukan negosiasi penurunan
tarif bea masuk kakao olahan di

160
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

beberapa negara tujuan ekspor;


c. Mempertahankan Bea Keluar atas
ekspor biji kakao
d. Pemberlakuan Standar Nasional
Indonesia (SNI) Kakao Bubuk
Secara Wajib melalui Peraturan
Menperind No. 45/M-
IND/PER/5/2009
e. Usulan memperluas cakupan pada
PP No. 62 tahun 2008 Tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk
Penanaman Modal Di Bidang-
Bidang Usaha Tertentu dan/atau
Di Daerah Tertentu dengan
menambah cakupan untuk
investasi Industri Kakao dan
Industri Makanan dari Cokelat dan
Kembang Gula.
5 Jumlah industri kakao relatif Industri kakao olahan Peningkatan utilitas kapasitas Hasil produksi dari industri
sedikit sehingga kapasitas Indonesia kurang berdaya industri/perusahaan yang telah ada. kakao semakin dapat
produksinya kurang dapat saing dan kalah negara lain Fasilitasi kemitraan pemasaran biji memenuhi permintaan
memenuhi permintaan kakao dalam hal volume/nilai dan kakao fermentasi dengan industri domestik dan luar negeri

161
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

di dalam dan luar negeri kualitas. dalam negeri dalam rangka jaminan
kepastian harga dan pasokan biji
kakao untuk industri olahan kakao.

6 Kurang berkembangnya Jumlah lapangan usaha yang Penciptaan lapangan usaha industri Industri kakao dapat semakin
(minimnya) lapangan usaha di berkualitas tidak optimal, pengolahan kakao melalui: Sosialisasi meluas ke berbagai wilayah
bidang kakao yang berkualitas sehingga hasil produksi kakao teknologi terpadu proses pengolahan di Indonesia dengan hasil
dan memenuhi standar serta kurang memenuhi standar dan kakao, peningkatan pengetahuan dan yang berkualitas
tidak mengindahkan kurang berdaya saing. kemampuan SDM, pengenalan dan
penerapan ISO 22000, ISO penerapan ISO 22000, ISO 9001
9001 Global Standard for Food Global Standard for Food Safety, GMP
Safety, GMP dan HACCP dalam dan HACCP dalam rangka peningkatan
rangka peningkatan mutu dan mutu dan keamanan produk.
keamanan produk.
7 Rendahnya tingkat konsumsi Minimnya permintaan atau Pengembangan pasar domestik : Terciptanya pasar domestik
kakao di Indonesia hanya 0.6 minat mengkonsumsi cokelat penyertaan para pengusaha pada yang prospektif karena minat
kg/kapita/tahun sementara di kegiatan promosi/pameran dalam mengkonsumsi cokelat
Eropa lebih dari 10 kg. negeri dan internasional, semakin tinggi.
pengembangan diversifikasi produk
bernilai tambah tinggi termasuk kakao
non pangan.

162
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

8 Ketergantungan Indonesia Sempitnya akses pasar tujuan Pemerintah perlu melakukan tindakan Pasar tujuan ekspor kakao
terhadap suatu pasar tujuan ekspor kakao. antisipatif terhadap ketidakpastian menjadi semakin luas
ekspor (kurangnya ekonomi global (ancaman krisis
diversifikasi pasar). Sehingga global) dengan mencari pasar baru
jika sedang terjadi krisis di khususnya di wilayah Asia Pasifik,
negara tujuan tersebut maka pengembangan industri hilir cokelat
akan sangat berpengaruh yang mampu menyerap produksi biji
terhadap ekspor kakao kakao dalam jumlah yang signifikan,
Indonesia serta peningkatan konsumsi cokelat di
dalam negeri.

163
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

6.5. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rotan


Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, industri rotan
merupkan salah satu industri di Indonesia yang memiliki nilai strategis. Tetapi,
berbagai hambatan dan permasalahan yang muncul, baik dalam konteks faktor
bahan baku, faktor produksi, maupun faktor pemasaran menyebabkan industri
rotan dalam beberapa tahun terakhir terus mengalamai penurunan. Pemerintah
sendiri telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan yang
ditujukan untuk membangun kembali industri rotan yang sempat mengalami
penurunan. Namun perlu diingat bahwa kebijakan larangan ekspor bukan
merupkan solusi utama dalam menumbuhkan kembali industri rotan. Kebijakan
tersebut harus disertai dengan berbagai kebijakan lainnya agar industri rotan di
Indonesia dapat berkembang. Berbagai kebijakan tersebut tercakup dalam
strategi percepatan dan perluasan industri rotan di Indonesia.
Lebih dari itu, diperlukan kebijakan perluasan industri rotan yang
mendekatkan industri rotan dengan daerah-daerah penghasil rotan. Selama ini,
industri rotan terletak di daerah-daerah yang jauh dari daerah sumber. Oleh
sebab itu, perlu dikeluarkan kebijakan pengembangan industri di daerah sumber
dari bahan baku rotan.

6.5.1. Strategi Percepatan Industri Rotan


Strategi percepatan industri rotan difokuskan kepada upaya
menumbuhkan kembali industri rotan yang sempat mati selama
diberlakukannya kebijakan ekspor bahan baku rotan. Hal tersebut ditujukan
untuk mengantisipasi tidak terserapnya bahan baku rotan akibat penutupan
keran ekspor bahan baku rotan. Diprediksi industri rotan dapat kembali pulih
dalam waktu 2 tahun pasca penutupan ekspor bahan baku rotan. Dalam rangka
mengembalikan industri rotan seperti sedia kala, dibutuhkan beberapa
kebijakan yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan kembali industri
rotan dalam negeri. Beberapa kebijakan tersebut antara lain adalah:

164
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

1. Memberikan Bantuan Finansial Kepada Industri Rotan Baru untuk


Berkembang.
Selain sulitnya perizinan industri rotan, pengusaha baru pada industri rotan
mengalami berbagai hambatan untuk dapat berkembang karena berbagai
faktor, seperti kurangnya modal dan gagalnya bersaing dengan produk
lainnya yang memiliki harga saing yang lebih baik. Oleh sebab itu,
pemerintah harus memberikan bantuan khusus kepada industri rotan agar
dapat berkembang. Bantuan tersebut dapat dilakukan melalui pemberian
bantuan modal kepada pengusaha industri rotan serta insentif fiskal agar
produk-produk hasil industri rotan bisa memiliki harga saing yang lebih
tinggi. Lebih dari itu, pengusaha industri rotan perlu bantuan finansial untuk
meng-upgrade kemampuannya dan workshop untuk meningkatkan
kapasitas produksi rotan. Pemberian bantuan juga bisa dilakukan melalui
pengkonsolidasian lembaga keuangan beserta bank-bank pemerintah untuk
memberikan kredit kepada industri rotan dengan bunga yang rendah.
Kebijakan lain yang bisa diambil antara lain adalah menurunkan suku bunga
pinjaman pada tingkat maksimum 3% di atas suku bunga deposito yang
ditetapkan pemerintah, membantu mempermudah pencairan Letter of
Credit (L/C) bagi para eksportir, serta menyederhanakan prosedur
perolehan kredit bagi industri mebel. Tidak dapat dipungkiri salah satu
permasalahan industri rotan untuk berkembang adalah kurangnya
dukungan pendanaan yang disebabkan oleh tingginya bunga kredit dari
lembaga keuangan maupun dari bank. Oleh sebab itu, pemberian bantuan
pemodalan oleh pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung,
akan mendukung percepatan pertumbuhan industri rotan di Indonesia.
2. Menghubungkan Industri Rotan dengan Produsen Bahan Baku Rotan.
Menghubungkan industri rotan dengan produsen bahan baku rotan
menjadi sangat penting agar bahan baku rotan dapat terserap pasca-
ditutupnya ekspor bahan baku rotan. Berbagai kekhawatiran muncul pasca-
ditutupnya ekspor bahan baku rotan, salah satunya adalah

165
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

ketidakmampuan industri rotan menyerap bahan baku rotan.


Ketidakmampuan menyerap tersebut dapat diatasi jika pemerintah
membantu menghubungkan industri rotan dengan produsen bahan baku
rotan. Pemerintah juga dapat memberikan bantuan melalui pembelian
bahan baku rotan terlebih dahulu lalu menjual kepada industri rotan secara
bertahap (kredit). Hal itu bisa mengatasi permasalahan perbedaan
permintaan cara pembayaran, di mana industri rotan menginginkan untuk
mencicil pembayaran bahan baku rotan sedangkan produsen bahan baku
rotan menginginkan membayar secara tunai. Selain itu, perlu dibentuk bank
informasi yang menyedikan informasi informasi mengenai pemasok
maupun pembeli bahan baku rotan. Dengan meningkatnya kemampuan
menyerap bahan baku rotan oleh industri rotan, maka diharapkan mampu
mendongkrak pertumbuhan industri rotan secara cepat.
3. Mempromosikan Produk Industri Rotan Pada Pasar Domestik Maupun Pasar
Internasional.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam upaya mempercepat tumbuhnya
industri rotan di Indonesia adalah dengan membantu memasarkan produk-
produk industri rotan. Selama ini, permasalahan yang terjadi pada industri
rotan rendahnya permintaan terhadap produk-produk hasil industri rotan,
baik di dalam negari maupun di luar negeri. Oleh sebab itu, pemerintah
dapat membantu mempromosikan produk rotan Indonesia melalui
penyelenggaraan pameran-pameran baik lokal maupun luar negeri,
mensponsori peserta-peserta berpameran di luar negeri, mengoptimalkan
keberadaan kinerja atase perdagangan di luar negeri, membangun outlet di
negara-negara potensial market untuk melakukan penjualan produk mebel
dan kerajinan secara langsung, serta membudayakan pemakaian produk
mebel dan kerajinan hasil produksi dalam negeri untuk keperluan kantor-
kantor pemerintah. Dengan berbagai upaya tersebut, harapannya mampu
meningkatkan demand terhadap produk rotan yang pada akhirnya akan
mempercepat pengembangan industri rotan.

166
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4. Peningkatan Teknologi Proses Produksi Rotan Olahan.


Dalam proses percepatan pengembangan industri rotan dalam negeri,
kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan
teknologi produksi rotan olahan. Kebijakan tersebut perlu diambil mengingat
masih buruknya teknologi pengolahan industri rotan yang pada akhirnya
membuat minimnya kemampuan dan kualitas produksi dari industri rotan.
Beberapa kebijakan yang dapat diambil dalam meningkatkan teknologi
proses produksi rotan olahan adalah peningkatan permesinan industri rotan,
pembuatan bahan bahan tertentu untuk meningkatkan kualitas bahan baku
rotan dari gangguan hama dan jamur, serta meningkatkan kemampuan
memproduksi bahan-bahan penunjang (supporting industry) yang selama ini
masih diimpor.
5. Menekan High Cost Economy dalam Produksi Rotan Olahan.
Permasalahan high cost economy telah menjadi cross cutting issue dalam
pengembangan industri nasional. Hal itu juga berlaku dalam industri rotan,
di mana adanya high cost economy yang disebabkan oleh beberapa hal,
seperti tingginya pajak, buruknya infrastruktur, dan mahalnya biaya
distribusi bahan baku rotan. Permasalahan tersebut pada akhirnya membuat
meningkatnya biaya produksi yang seharusnya dapat ditekan. Kondisi ini
juga membuat produk Indonesia gagal bersaing dengan produk dari negara
lain yang memiliki nilai jual yang lebih kompetitif. Oleh sebab itu, untuk
membuat harga produk hasil olahan industri rotan dapat lebih kompetitif
serta mingkatkan margin keuntungan pengusaha industri rotan, pemerintah
perlu mengambil beberapa kebijakan, antara lain penghapusan PPN bahan
baku dan bahan penunjang, diberlakukannya pajak final bagi para eksportir
untuk mempermudah restitusi pajak, serta menghapuskan Terminal
Handling Charge (THC)

167
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

6.5.2. Strategi Perluasan Industri Rotan


Sasaran berikutnya dalam pengembangan industri rotan adalah
melakukan perluasan industri rotan. Hal itu ditujukan untuk menyebarkan
industri rotan yang selama ini terpusat di pulau Jawa yang bukan merupakan
daerah sumber dari bahan baku rotan. Oleh sebab itu, strategi perluasan
difokuskan kepada upaya mengembangkan industri rotan di daerah sumber
penghasil bahan baku rotan, seperti di daerah Kalimantan dan Sulawesi.
1. Pembangunan Infrastruktur di Daerah Penghasil Rotan.
Permasalahan industri rotan hingga saat ini adalah jauhnya lokasi dari pusat
penghasil rotan dan pusat produksi rotan. Hal tersebut membuat harga
produksi menjadi lebih mahal karena biaya transportasi dari daerah
penghasil rotan ke tempat industri rotan. Oleh sebab itu, perlu strategi
perluasan industri rotan yang tidak hanya terpusat di Cirebon dan Jepara,
tetapi juga di daerah-daerah penghasil rotan, seperti Kalimantan dan
Sulawesi. Namun, untuk mengembangkan industri rotan di luar daerah juga
bukan hal yang mudah mengingat masih buruknya infrastruktur di daerah
penghasil rotan. Oleh sebab itu, infrastruktur di daerah penghasil harus
ditingkatkan. Infastruktur harus dibangun untuk menjadi pondasi bagi
tumbuhnya industri rotan di daerah sumber.
2. Membentuk Sentra-Sentra Penghasil Produk Rotan di Setiap Daerah
Penghasil Rotan.
Upaya lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memperluas
industri rotan di Indonesia adalah dengan membentuk dan mendirikan
sentra-sentra industri rotan di setiap daerah penghasil rotan. Selama ini,
produksi rotan dipusatkan di daerah Jawa dengan Cirebon dan Jepara
sebagai sentra industrinya. Pendirian sentra-sentra industri di daerah
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan daerah penghasil lainnya diharapkan
mampu mendongkrak industri rotan di daerah-daerah tersebut. Hal tersebut
juga dimaksukan agar kiblat industri rotan tidak terpusat di daerah Cirebon

168
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

saja, tetapi juga di daerah-daerah lain yang memiliki potensi sumber daya
rotan yang tinggi.
3. Membentuk Sekolah Disain di Daerah Sumber.
Kebijakan lain yang perlu diambil adalah membentuk sekolah desain di
daerah sumber untuk meningkatkan keahlian dari para tenaga kerja pada
industri rotan di daerah sumber. Tidak dapat dipungkiri bahwa desain dari
produk rotan merupakan kunci suksesnya suatu industri rotan, di samping
kualitas dari produk rotan itu sendiri. Dengan adanya tenaga-tenaga ahli
desain di daerah-daerah sumber akan membuat desain produk dari industri
rotan akan lebih baik dan disukai pasar. Selain itu, untuk meningkatkan
kemampuan desain di daerah sumber perlu dibentuk pusat penelitian dan
pengembangan industri rotan sehingga mampu menangkap kebutuhan
pasar dan membangun Pusat Inovasi Mebel Rotan (PIMR). Hal ini pada
akhirnya akan meningkat permintaan dan menghidupkan industri rotan.
4. Memotong Birokrasi Pembangunan Industri Rotan.
Salah satu permasalahan dari sulit berkembanganya industri rotan adalah
karena rumitnya perizinan pembangunan industri. Permasalahan ini telah
menjadi masalah klasik yang hingga saat ini sulit dibenahi. Oleh sebab itu,
dalam upaya mempercepat pembangunan industri rotan, pemerintah harus
mempermudah dan menyederhanakan segala perizinan industri.

169
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.7. Matrik Strategi Percepatan Industri Rotan


No Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi
1 Sedikitnya lembaga keuangan Minimnya pendanaan  Pengkonsolidasian lembaga-lembaga Industri rotan
yang memberikan bantuan industri rotan keuangan terutama bank pemerintah mendapatkan pendanaan
kredit kepada industri rotan untuk pemberian kredit kepada industri dan modal
rotan
 Menurunkan suku bunga pinjaman pada
tingkat maksimum 3% di atas suku bunga
deposito yang ditetapkan pemerintah
 Membantu mempermudah pencairan
Letter of Credit (L/C) bagi para eksportir
 Menyederhanakan prosedur perolehan
kredit bagi industri mebel
2 Industri rotan tidak memiliki Industri rotan tidak mampu  Pembentukan bank informasi mengenai Bahan baku rotan dapat
dana tunai untuk membeli menyerap bahan baku rotan pemasok maupun pembeli bahan baku diserap oleh industri rotan
bahan baku rotan rotan
 Peminjaman kredit kepada industri rotan
sehingga mampu membeli bahan baku
rotan
3 Produk rotan kurang dikenal Produk rotan dari Cina lebih  Penyelenggaraan berbagai pameran Produk rotan dari
di pasar internasional disukai dibandingkan produk produk rotan Indonesia lebih dikenal di
dari Indonesia  Pemanfaatan atase perdagangan untuk pasar internasional
promosi produk rotan

170
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4 Buruknya teknologi Minimnya kemampuan dan  Peningkatan permesinan industri rotan Meningkatnya
pengolahan industri rotan kualitas produksi dari industri  Pembuatan bahan bahan tertentu untuk kemampuan produksi dari
rotan meningkatkan kualitas bahan baku rotan industri rotan
dari gangguan hama dan jamur
 Meningkatkan kemampuan
memproduksi bahan-bahan penunjang
(supporting industry) yang selama ini
masih diimpor.
5 Tingginya pajak baik dalam Produk Indonesia gagal  Penghapusan PPN bahan baku dan bahan Harga produk hasil olahan
bahan baku maupun ketika bersaing dengan produk dari penunjang industri rotan dapat lebih
akan mengeskpor negara lain yang memiliki  Diberlakukannya pajak final bagi para kompetitif
nilai jual yang lebih eksportir untuk mempermudah restitusi
kompetitif pajak
6. Tingginya biaya distribusi Meningkatnya biaya produksi  Menghapuskan Terminal Handling Harga produk hasil olahan
bahan baku rotan yang seharusnya dapat Charge (THC) industri rotan dapat lebih
ditekan kompetitif

171
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.8. Matrik Strategi Perluasan Industri Rotan

No Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi


1 Buruknya infrastruktur di Disinsentif Pembangunan  Pembangunan infrastruktur di daerah Mempermudah proses produksi
daerah sumber Industri Rotan di Daerah Sumber sumber untuk menopang pengembangan serta menekankan high cost
industri rotan seperti jalan raya, listrik, dan economy
air
2 Pusat sentra produk rotan Ketergantungan yang besar pada Membentuk Sentra-Sentra Penghasil Produk Industri rotan Indonesia tidak lagi
terpusat di Cirebon dan industri rotan Cirebon dan Rotan di Setiap Daerah Penghasil Rotan bergantung pada industri rotan di
daerah-daerah lain di daerah-daerah lain di Jawa daerah Jawa saja tetapi juga di
Jawa daerah sumber
3 Tidak disukainya desain Minimnya permintaan produk  Pendirian sekolah desain di sentra Industri Produk rotan Indonesia akan sesuai
produk rotan rotan Rotan dengan permintaan pasar
 Pendirian pusat penelitian dan
pengembangan industri rotan sehingga
mampu menangkap kebutuhan pasar
 Membangun Pusat Inovasi Mebel Rotan
(PIMR)
 Membangun Badan Promosi Investasi
Daerah
4 Tidak efisiennya birokrasi Sulitnya membentuk industri Penyederhanaan proses pengurusan Mudahnya proses pendirian industri
rotan baru pembentukan industri rotan baru rotan baru
6 Minimnya pendidikan dari Rendahnya kualitas produk dari  Pemberian pelatihan dan kursus teknis Lahirnya para penggerak industri
tenaga kerja pada industri industri rotan kepada para tenaga kerja dalam industri rotan yang memiliki kualitas yang

172
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

rotan rotan tinggi


 Penyelenggaraan seminar maupun training
yang berkaitan dengan menejemen
industri rotan
7 Deforestasi  Kelangkaan bahan baku rotan  Menerapkan teknis agroforestry Ketersediaan bahan baku rotan yang
 Rendahnya kualitas bahan baku  Budi daya rotan tanaman berkualitas
rotan yang tersedia  Mencegah degradasi-deforestasi
 Penggunaan lahan sesuai dengan tata
ruang yang telah ditentukan

173
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

6.6. Strategi Percepatan dan Perluasan Industri Rumput Laut


Sektor perikanan budidaya memegang peranan penting dalam
perekonomian. Peran penting sektor perikanan, khususnya budidaya, rumput
laut terletak dalam beberapa hal, seperti pendorong pertumbuhan ekonomi
pesisir dan penyedia lapangan kerja, penyedia kebutuhan pangan masyarakat,
penghasil devisa, dan pendorong tumbuhnya sektor industri.
Meskipun memegang peranan dan potensi yang besar, pengembangan
sektor perikanan budidaya masih menghadapi beberapa kendala dan tantangan.
Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sektor perikanan budidaya
adalah kurang tersedianya pembiayaan jangka panjang (investasi) dalam rangka
penyediaan dan perbaikan infrastruktur, perluasan lahan produksi, dan
penguatan kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor industri pengolahan
rumput laut. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan upaya perumusan
strategi percepatan dan perluasan industri pada sektor budidaya rumput laut.
Strategi yang perlu dilakukan dalam upaya pengembangan rumput laut di
Indonesia adalah membuat kebijakan yang diarahkan untuk peningkatan
kualitas, kuantitas, serta kesinambungan produksi rumput laut. Adapun strategi
yang akan dibahas mencakup subsistem hulu, subsistem produksi, subsistem
hilir, subsistem pembiayaan, dan subsistem kelembagaan.

6.6.1. Strategi Percepatan Industri Rumput Laut


1. Peningkatan produksi melalui penggunaan bibit unggul dan
teknologi budidaya rumput laut yang baik dan benar
2. Kerjasama antar lembaga; dilakukan melalui koordinasi dengan
lembaga-lembaga penelitian serta lembaga pengabdian masyarakat
milik perguruan tinggi untuk pengembangan bibit unggul
3. Penunjukan lembaga resmi; dilakukan dengan menentukan lembaga
yang bertanggung jawab dalam penyediaan dan distribusi bibit
unggul

174
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

4. Penyediaan fasilitas; dilakukan melalui peningkatan sarana


prasarana pengembangan kebun bibit dalam rangka penanganan
mutu dan penyediaan bibit secara kontinyu
5. Pengawasan; dilakukan oleh lembaga teknis yang berwenang
terhadap kesehatan, proses produksi, dan distribusi bibit rumput
laut
6. Peningkatan kegiatan pengkajian teknik operasional, termasuk
perbaikan kualitas bibit, teknologi budidaya, pascapanen,
pengolahan serta pemasaran
7. Pengaturan pola tanam rumput laut; dilakukan pada tiap kawasan
berdasarkan pendekatan iklim dan orientasi pasar
8. Transformasi teknologi budidaya, panen dan pascapanen melalui
penerapan Good Culture Practice dengan pendekatan kawasan
9. Peningkatan kualitas; dilakukan melalui penanganan mutu rumput
laut mulai sejak panen sampai ke lokasi pabrikasi
10. Melakukan pengawasan; dilakukan terhadap proses standarisasi dan
diversifikasi bahan olahan; baik di tingkat UMKM maupun pabrikasi
11. Pengembangan pemasaran; dilakukan melalui peningkatan fasilitas,
sarana-prasarana pemasaran serta aktif melakukan promosi produk
12. Peningkatan kerjasama dengan perusahaan pembiayaan, investor
dan sektor perbankan; dilakukan untuk mendapatkan fasilitas kredit
murah bagi pembudidaya rumput laut dan usaha pengolahan
rumput laut (UMKM)
13. Pemberian insentif kepada para debitur kredit murah yang
berprestasi, tertib administrasi dan tepat waktu dalam penyelesaian
kredit, dilakukan untuk memberikan stimulasi kepada para debitur
agar dapat menyelesaikan kewajibannya
14. Stimulai pengembangan usaha budidaya rumput laut; dilakukan
dengan pemberian bantuan bibit unggul kepada pembudidaya
15. Percepatan pengembangan usaha budidaya rumput laut; dilakukan
melalui pengadaan unit percontohan (demplot), kebun bibit dan
upaya-upaya pembinaan

175
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

16. Peningkatan peran kelembagaan; dilakukan melalui pembentukan


asosiasi atau kelompok pada semua tingkatan stakeholders yang
bergerak di bidang budidaya rumput laut
17. Peningkatan kemampuan mendapatkan akses informasi terhadap
inovasi, teknologi, permodalan, pemasaran dan pengembangan
kelembagaan; dilaksanakan melalui kerjasama dengan instansi
terkait
18. Menciptakan situasi kondusif serta melakukan fasilitasi agar
komunikasi antar lembaga berjalan dengan baik; dilakukan melalui
perencanaan secara terstruktur dan terorganisir secara baik.

6.6.2. Strategi Perluasan Industri Rumput Laut


1. Melakukan zonasi pengembangan areal budidaya yang
diintegrasikan dengan RUTRW dan pengembangan komoditas lain
2. Melakukan identifikasi dan analisis kesesuaian lahan; dilakukan agar
pemilihan lokasi budidaya sesuai dengan daya dukung lingkungan
3. Melakukan penataan ruang dan penetapan wilayah pengembangan
produksi rumput laut; diupayakan agar dapat berintegrasi dengan
kepentingan pengembangan komoditas lain dan sektor terkait lain
4. Memberikan kepastian hukum terhadap zona budidaya serta hal lain
yang berkaitan dengan pemasaran hasil produksi
5. Peningkatan akses penyerapan hasil produksi rumput laut dan
jaminan terhadap stabilitas harga dan pemasaran
6. Penguatan peran dan fungsi kelembagaan para pemangku
kepentingan (stake holders) yang bergerak di bidang rumput laut
7. Peningkatan SDM pembudidaya; dilakukan pada semua tingkatan,
mulai proses produksi hingga teknik panen dan pascapanen
8. Peningkatan kegiatan penyuluhan dan pembinaan; dilakukan pada
tiap-tiap kawasan secara periodik dan tersturktur
9. Diversifikasi produk olahan; dilakukan baik secara vertikal maupun
horisontal termasuk diversifikasi jumlah dan jenis barang

176
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

10. Perluasan segmen pasar dan pengembangan pola distribusi


11. Melakukan kerjasama dengan media massa serta media publikasi
ilmiah yang berhubungan dengan komoditas; dilakukan agar akses
informasi yang menyangkut inovasi, teknologi, permodalan,
pemasaran dan pengembangan kelembagaan dapat sampai ke
pelosok desa. Selain itu, cerita-cerita sukses (success story) dan
teknik yang inovatif perlu disebarluaskan agar lebih mendorong
kegiatan tersebut di masyarakat
12. Pengembangan budidaya rumput laut juga sebaiknya dilakukan
dengan berbasis kawasan (clasters). Hal ini dimaksudkan agar
kegiatan dapat dilakukan secara terukur, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Berdasarkan data dari Ditjen P2HP KKP,
perkembangan klaster industri pengolahan rumput laut di Indonesia
pada 2007 hingga 2009 baru sebanyak 13 klaster.
Secara umum, pola keterkaitan pemangku kepentingan dalam
pengembangan industri pengolahan rumput laut serta tanggung
jawabnya masing-masing, antara lain:
a. Kementerian Kelautan dan Perikanan, bertanggung jawab dalam
pendampingan pembudidaya serta menjamin ketersediaan pasokan
bahan baku untuk industri
b. Kementerian Perindustrian, bertanggung jawab dalam mendorong
pengembangan industri pengolahan serta mendorong diversifikasi
produk
c. Kementerian Perdagangan, bertanggung jawab dalam memfasilitasi
pemasaran produk hasil olahan rumput laut, serta membuat
penelitian pasar dan marketing strategy
d. Adapun institusi lainnya berfungsi sebagai pendukung
pengembangan industri pengolahan rumput laut, antara lain
Kementerian Koperasi & UKM bertugas dalam pembinaan kelompok

177
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

dan penyediaan bantuan alat; Kementerian PDT bertugas dalam


penyedia lahan budidaya dan bantuan pembiayaan; Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian RISTEK dan BKPM bertugas dalam
pengembangan teknologi (R&D) serta pemanfaatan bahan baku;
Kementerian Dalam Negeri bertugas dalam memonitor regulasi serta
mendorong pelibatan BUMD; Kementerian Pekerjaan Umum
bertugas dalam menyediakan infrastruktur yang layak; Kementerian
Luar Negeri bertugas sebagai marketing intelligence; serta
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung
jawab pula dalam mengembangkan industri pengolahan rumput
laut.

178
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.9. Matrik Strategi Percepatan Industri Rumput Laut

No Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi


1 Terbatasnya  Resiko penurunan produksi atau  Penyediaan bibit unggul dengan harga  Peningkatan kapasitas dan
ketersediaan bibit gagal panen terjangkau kualitas rumput laut
unggul serta ketiadaan  Kualitas hasil produksi yang  Pemerintah membentuk lembaga resmi  Tercapainya target produksi
kepastian jaminan dihasilkan mempunyai mutu yang yang bertugas sebagai penyedia bibit sekaligus kontinuitas produksi
pasok bahan baku kurang optimal unggul sekaligus bertanggung jawab  Kebutuhan bahan baku bagi
industri  Industri pengolahan sulit menjaga dalam mendistribusikan bibit tersebut industri pengolahan rumput
kontinuitas produksi  Lembaga teknis bertugas mengawasi laut dalam negeri dapat
aspek kesehatan, proses produksi terpenuhi secara
hingga distribusi bibit rumput laut berkelanjutan
 Penyediaan fasilitas pengembangan
bibit unggul (R&D), baik sarana
maupun prasarana (seperti;
laboratorium, lahan kebun bibit, dan
lainnya)
 Memperkuat kerjasama antar lembaga
(pemerintah, masyarakat, akademisi
dan swasta)
 Kementerian Kelautan & Perikanan
fokus pada proses budidaya rumput
laut serta menjamin ketersediaan
pasokan bahan baku untuk industri

179
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

2 Masih lemahnya SDM  Ketidakmampuan meningkatkan  Meningkatkan intensitas dan kualitas  Tercapainya standarisasi SDM
kapasitas dan kualitas produksi penyuluhan serta pendampingan yang pembudidaya
 Tidak optimalnya pendapatan yang dilakukan oleh KKP dan lembaga  Peningkatan kuantitas dan
bisa diperoleh pembudidaya lainnya kualitas rumput laut
 Melakukan standarisasi SDM serta  Seragamnya masa tanam dan
transformasi teknologi budidaya, dari masa panen rumput laut
pra panen hingga pascapanen dalam satu kawasan
 Meningkatkan kompetensi SDM di  Peningkatan pendapatan
bidang teknologi pengolahan rumput pembudidaya dari hasil
laut serta manajerial usaha industri penjualan rumput laut yang
pengolahan rumput laut lebih berkualitas
 Pengaturan pola tanam, dilakukan pada  Memperkuat ikatan
tiap kawasan berdasarkan pendekatan solidaritas dan kepedulian
iklim dan orientasi pasar mahasiswa terhadap
 Pemberdayaan mahasiswa pertanian masyarakat pesisir
dalam mentransformasi  Menumbuhkan motivasi
pengetahuannya kepada pembudidaya berwirausaha bagi mahasiswa
khususnya di bidang
perikanan budidaya
3 Masih rendahnya  Rendahnya nilai tambah dan nilai  Peningkatan kualitas, dilakukan melalui  Tercapainya target 40 unit
kualitas hasil budidaya jual hasil produksi penanganan mutu rumput laut mulai pilot project ATC/Chips
dan juga rendahnya sejak panen sampai ke lokasi pabrik  Tercapainya target 7 unit

180
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

inovasi pengolahan  Membuat standarisasi dan diversifikasi pilot project industri SRC
rumput laut bahan olahan skala kecil
 Standarisasi mesin pengolahan rumput  Tercapainya 7 unit pilot
laut melalui penerapan SNI industri project SRC/RC combo
pengolahan rumput laut  Tercapainya pilot project
 Perluasan segmen pasar dan industri agar
pengembangan pola distribusi  Meningkatnya nilai tambah
 Pengembangan pemasaran, dilakukan dan nilai jual rumput laut
melalui peningkatan fasilitas, sarana-  Berkurangnya ekspor rumput
prasarana pemasaran serta promosi laut dalam bentuk rumput
produk laut kering
 Kementerian Perindustrian fokus pada  Tercapainya target penjualan
pengembangan industri pengolahan 3.000 ton ATC/Chips
serta mendorong diversifikasi produk  Mendorong pembudidaya
olahan untuk mengolah rumput laut
 Kementerian Perdagangan fokus dalam mentah menjadi produk yang
memfasilitasi pemasaran produk lebih bernilai tambah, seperti
olahan rumput laut serta membuat semi karaginan dan karaginan
penelitian pasar yang efektif
(marketing intelligence)
4 Lemahnya fungsi  Lemahnya daya tawar pembudidaya  Penguatan peran dan fungsi  Peningkatan daya tawar dan
kelembagaan para  Lemahnya sistem pembinaan dan kelembagaan melalui pembentukan kesejahteraan masyarakat
stakeholders penyuluhan dari tingkat pusat, asosiasi atau kelompok pada semua pembudidaya
provinsi hingga kabupaten tingkatan stakeholders, dari pusat  Harmonisnya hubungan antar

181
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

hingga ke desa stakeholders


 Percepatan pengembangan budidaya  Peningkatan pemahaman
melalui pengadaan unit percontohan masyarakat mengenai
(demplot), kebun bibit dan upaya- potensi, peluang serta
upaya pembinaan manfaat dari komoditas
 Percepatan pengembangan budidaya rumput laut
juga dapat dilakukan dengan
menambah klaster industri pengolahan
rumput laut
 Melibatkan peran serta media massa
dan media publikasi ilmiah untuk
mempromosikan dan mensosialisasikan
segala informasi mengenai komoditas
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

182
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Tabel 6.10. Matrik Strategi Perluasan Industri Rumput Laut

No Kendala Dampak Rencana Aksi Implikasi


1 Belum adanya zoning  Benturan kepentingan antara  Pemerintah pusat, pemerintah daerah  Harmonisnya aktifitas
kawasan budidaya pembudidaya dengan pengguna jalur dan juga masyarakat lokal bersama- ekonomi dan sosial
rumput secara yuridis transportasi laut, penggunaan sama membahas zonasi areal budidaya masyarakat pesisir,
formal, dikaitkan kawasan urban, kawasan pariwisata rumput laut yang diintegrasikan khususnya antara
dengan RTRW atau penggunaan-penggunaan lain dengan RTRW dan kepentingan pembudidaya rumput laut
seperti adanya Pembangkit Listrik pengembangan komoditas lain dan dengan nelayan dan
Tenaga Uap (PLTU) sektor terkait lain masyarakat lain pengguna
 Ketiadaan kepastian hukum pada pantai dan laut
aspek penataan lokasi budidaya  Meningkatnya animo dan
memengaruhi animo masyarakat semangat pembudidaya
untuk melakukan produksi rumput laut
2 Belum terdapat peta  Kesulitan dalam penerapan teknologi  Pemerintah bekerjasama dengan  Penetapan zona lokasi
kesesuaian lahan budidaya rumput laut, dikarenakan lembaga penelitian melakukan kajian  Budidaya rumput laut bisa
budidaya rumput laut ciri dan karakteristik perairan yang yang komprehensif dalam pembuatan dilakukan secara masif
beragam peta kesesuaian lahan budidaya diseluruh wilayah perairan
 Ketidaksesuaian antara jenis rumput rumput laut, bila diperlukan bisa nusantara
laut yang dibudidayakan dengan belajar dari negara lain yang telah  Optimalnya hasil produksi
keadaan lingkungan perairan memiliki peta kesesuaian lahan rumput laut di masing-masing
budidaya rumput laut di wilayahnya wilayah

183
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

3 Terbatasnya fasilitas  Terbatasnya modal usaha  Peningkatan kerjasama dengan  Tersedianya akses modal
kredit, investasi dan pembudidaya perusahaan, investor dan perbankan; untuk meningkatkan
insentif di sektor  Terbatasnya luasan area tanam dilakukan dalam bentuk fasilitasi kredit kapasitas dan kualitas
pertanian budidaya rumput laut murah (suku bunga rendah) baik bagi produksi
 Kesulitan meningkatkan kapasitas pembudidaya maupun bagi usaha  Pembudidaya tidak lagi
dan kualitas produksi pengolahan rumput laut (UMKM) bergantung pada pengumpul
 Membuat skim pembiayaan yang saling kecil yang mempratekkan
menguntungkan (skema syariah), sistem ijon
dengan melibatkan pemerintah daerah
sebagai penjamin
 Membuat kebijakan insentif yang
mendukung peningkatan daya saing
industri pengolahan rumput laut

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011

184
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bab 7

Outlook Industri 2012

Menghadapi 2012 sektor industri Indonesia setidaknya akan disambut


dengan 2 ujian menentukan, yaitu memburuknya krisis utang Euro Area, serta
persoalan daya saing industri dalam meredam banjir produk impor dan
menyerap tenaga kerja. Berlanjutnya krisis Amerika Serikat (AS) dan krisis Euro
Area membuat Indonesia harus segera berbenah agar sektor industri tidak
terkontaminasi atas memburuknya perekonomian di kedua kawasan tersebut.
Sejarah mencatat bahwa krisis demi krisis yang pernah terjadi di Indonesia,
pemicunya tidak terlepas dari faktor eksternal, yang diperparah dengan kondisi
internal yang tidak mendukung. Di sisi lain, persoalan daya saing industri dalam
menghadapi liberalisasi juga harus lebih dicermati seiring meningkatnya
keterbukaan perekonomian Indonesia terhadap negara lain. Daya tahan sektor
industri dalam mengantisipasi pelemahan ekonomi Uni Eropa serta
kemampuannya menciptakan nilai tambah dan mempertahankan tingkat
penyerapan tenaga kerja akan menentukan wajah industri 2012.

185
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Penurunan kinerja perekonomian Indonesia diperkirakan tetap akan


terjadi pada 2012, meskipun tidak sebesar saat krisis global menjalar ke Asia
periode 2008-2009 lalu. Krisis Euro Area dan berlanjutnya krisis AS masih dapat
diredam jika antisipasi krisis tepat dan tindakan dilakukan secara cepat.
Mengingat adanya potensi pengaruh krisis UE dan AS terhadap perekonomian
Indonesia 2012, maka perlu dianalisis dampaknya, terutama pada
perkembangan sektor industri, serta sejauh mana kesiapan pemerintah dalam
menyiapkan amunisi kebijakan mengantisipasi krisis tersebut. Pengalaman 2008-
2009 di mana pertumbuhan industri pengolahan menurun hingga di bawah 4
persen (tepatnya 3,7 persen dan 2,2 persen) akibat krisis global, setelah selama
enam tahun sebelumnya mampu tumbuh di atas 4,5 persen (2002-2007)
merupakan modal berharga untuk lebih siap mengantisipasi krisis UE dan AS.

Di luar semua sisi gelap tentang dampak krisis UE dan AS, krisis ekonomi
ini membuat pergeseran kutub ekonomi dunia dari Amerika-Eropa ke Asia.
Sebuah peluang bagi negara-negara di Asia untuk menjadi negara yang
diperhitungkan dikancah perekonomian dunia ke depan. Sejauh ini China
menjadi negara yang secara terang-terangan diharapkan UE berkontribusi
membantu proses penyelamatan zona euro dari memburuknya krisis, seperti
peran yang pernah dimainkannya sewaktu gelembung kredit perumahan di AS
pecah. Tentu saja Asia tidak hanya China dan India, dua negara yang semakin
diperhitungkan dalam perekonomian dunia, terutama di saat krisis. Indonesia
dapat menjadi negara yang diperhitungkan berikutnya jika mampu menghindar
dari ‘ujian ekonomi’ penjalaran krisis UE dan berlanjutnya krisis AS. Seperti pada
2009 lalu, di mana tiga negara besar di Asia ini mampu melewati krisis global
dengan pertumbuhan positif. Apalagi, Indonesia mempunyai sumber daya alam
yang melimpah sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang paling aman.

Terkait perkembangan ekonomi sektoral, evaluasi terhadap kinerja


sektor industri hingga akhir 2011 memerlihatkan hal-hal menarik untuk dikupas

186
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

lebih dalam. Outlook Industri ini diharapkan dapat menjadi informasi awal dan
gambaran obyektif bagi masyarakat, terutama dunia usaha dan pemerintah
dalam menjalani perekonomian sepanjang 2012. Pertumbuhan agroindustri di
sini terkait dengan industri nonmigas subsektor industri makanan, minuman dan
tembakau; industri barang kayu dan barang dari kayu lainnya, industri pupuk,
kimia dan barang dari karet.

Dalam proyeksi industri 2012, simulasi dibuat berdasarkan 3 skenario,


yaitu (1) Skenario Pesimis, (2) Skenario Baseline, dan (3) Skenario Optimis.

1. Skenario Pesimis

Skenario pesimis 2012 didasarkan pada perkembangan ekonomi global


dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012 yang diperkirakan sebesar
6,1 persen. Prospek ekonomi 2012 diperkirakan lebih rendah dari 2011 yang
diperkirakan mencapai 6,5 persen. Selain dipengaruhi kondisi makro ekonomi,
skenario pesimis ini juga mempertimbangkan kondisi internal sektor industri.
Kondisi internal yang sangat memengaruhi kinerja industri di antaranya adalah
faktor input produksi, seperti listrik dan bahan bakar. Komponen listrik dan
bahan bakar merupakan input yang mempunyai peranan penting dalam proses
produksi, khususnya industri pengolahan. Pengalaman menunjukkan ketika
terjadi guncangan perubahan harga pada kedua komponen tersebut, secara
langsung memengaruhi kinerja sektor industri. Sebagai gambaran pada 2005,
ketika pemerintah menaikkan harga BBM (mengurangi subsidi BBM) dengan
besaran yang sangat signifikan, sektor industri mengalami guncangan dengan
pertumbuhan yang tidak sebaik pada 2004 (Gambar 7.1).

187
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Gambar 7.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi dan Industri Pengolahan

Sumber: BPS, 2011

Tahun depan pemerintah merencanakan akan menaikkan Tarif Dasar


Listrik (TDL) dan mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini diduga
akan mengguncang sektor industri. Jika pemerintah benar-benar merealisasikan
kebijakan ini, maka pertumbuhan sektor industri diproyeksikan hanya sekitar
4,6% (Tabel 7.1). Kondisi ini diperparah lagi dengan kemungkinan-kemungkinan
terjadinya perubahan iklim, seperti faktor cuaca, potensi banjir, dan gelombang
tinggi yang tentu saja akan menghambat kinerja sektor industri, terutama dari
sisi distribusi bahan baku dan produk akhir. Jika pertumbuhan ekonomi
Indonesia hanya mencapai 6,5 persen dan industri masih dibebani berbagai
masalah tersebut, maka diproyeksikan pertumbuhan industri pengolahan dan
agroindustri sebagai berikut :

 Pertumbuhan industri pengolahan diproyeksikan hanya akan sebesar 4,6


persen, jika pemerintah bekerja seperti biasa seperti tahun-tahun
sebelumnya ‘business as usual’ sementara perekonomian Indonesia

188
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

mengalami pelemahan akibat dampak krisis UE dan berlanjutnya krisis AS


secara cukup signifikan. Meskipun dampak krisis tersebut diperkirakan
tidak akan sebesar dampak krisis global dua tahun lalu, namun jika
pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dan harga bahan bakar minyak,
maka pertumbuhan industri pengolahan akan dapat terpangkas lebih
besar lagi. Hal ini karena efek berantai dari faktor energi di dalam
perekonomian, di mana dampaknya tidak hanya ke peningkatan biaya
produksi dan distribusi tetapi juga pada suplai bahan baku.

 Pertumbuhan agroindustri diproyeksikan sebesar 4,5 persen, asumsi jika


pemerintah bekerja seperti biasa dan ekonomi Indonesia mengalami
pelemahan akibat dampak krisis UE dan AS secara signifikan. Selain itu,
harga komoditas agro di pasar internasional juga mengalami penurunan
seiring melemahnya permintaan dari UE dan AS, sehingga kurang
memberi insentif bagi pelaku usaha untuk meningkatkan produksinya.

2. Skenario Baseline

Skenario baseline didasarkan jika pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar


6,3 persen. Artinya angka pertumbuhan ini masih lebih rendah dari periode
2011 karena pertimbangan dampak krisis UE tetap terasa di Indonesia meskipun
tidak separah krisis global 2008-2009. Faktor lain yang dijadikan acuan adalah
geliat pertumbuhan industri sejak triwulan IV 2010 yang mencapai 5,53 persen.
Pertumbuhan ini terus berlanjut hingga triwulan III tahun 2011 dimana industri
mampu tumbuh sebesar 5,60 persen. Pertumbuhan industri manufaktur selama
2011 merupakan capaian tertinggi sejak krisis ekonomi 1997. Jika kinerja
industri selama 2011 tetap terjaga dan pemerintah konsisten dengan berbagai
program penguatan perekonomian domestik yang sudah dicanangkan, maka
diprediksikan pertumbuhan industri pengolahan dan agroindustri sebagai
berikut :

189
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

 Pertumbuhan industri pengolahan diproyeksikan sebesar 5,8 persen,


asumsi jika perubahan yang dilakukan pemerintah dalam membenahi
sektor industri kurang signifikan atau masih bekerja seperti biasa dan
perekonomian Indonesia hanya sedikit merasakan dampak pelemahan
ekonomi Eropa. Di luar itu, angka tersebut juga merupakan ilustrasi
kondisi di mana pemerintah belum dapat memanfaatkan peluang
Indonesia di tengah situasi pelemahan ekonomi UE dan AS.

 Pertumbuhan agroindustri diproyeksikan sebesar 5,3 persen, asumsi jika


pemerintah bekerja seperti biasa dan perekonomian Indonesia hanya
sedikit merasakan dampak pelemahan ekonomi Eropa. Lebih dari itu,
angka ini juga merupakan gambaran jika pemerintah tidak dapat
memanfaatkan momentum peningkatan peringkat investasi dengan
optimal.

3. Skenario Optimis

Skenario optimis didasarkan jika situasi perekonomian mampu tumbuh


6,7 persen sesuai target pemerintah. Hal yang utama lagi apabila pemerintah
mampu mengimplementasikan strategi percepatan dan perluasan industri
secara optimal. Jika pemerintah tetap merealisasikan kebijakan pengurangan
subsidi BBM dan peningkatan TDL, maka harus diimbangi dengan strategi
percepatan dan perluasan industri, seperti yang telah dirumuskan pada kajian
ini. Hal ini bertujuan untuk meminimasi dampak negatif dari guncangan
kenaikan TDL dan BBM bagi sektor industri. Jika strategi percepatan dan
perluasan optimal dilakukan maka diprediksikan pertumbuhan industri
pengolahan dan agroindustri 2012 sebagai berikut :

 Pertumbuhan industri pengolahan sebesar 7,0 persen dapat tercapai jika:


1) Optimalisasi strategi percepatan dan perluasan industri dapat
dilakukan dengan baik; 2) Dampak krisis UE dan berlanjutnya krisis AS

190
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

dapat dihindari dengan kebijakan anti krisis yang efektif; 3) Pemerintah


dapat memanfaatkan secara optimal momentum peningkatan peringkat
investasi Indonesia; 4) Pemerintah melakukan berbagai terobosan dalam
kebijakan industri, terutama terobosan kelembagaan, mengingat
sebagian besar persoalan industri terkonsentrasi pada masalah ini
(birokrasi, koordinasi, korupsi).

 Pertumbuhan agroindustri sebesar 6,0 persen dapat dicapai jika


pemerintah melakukan strategi percepatan dan perluasan agroindustri
secara optimal. Berbagai terobosan dalam kebijakan agroindustri,
terutama terobosan insentif; perbaikan regulasi yang pro bisnis; serta
ketersediaan energi bagi industri untuk berproduksi. Di luar itu, strategi
antisipasi krisis UE dan AS juga dapat berjalan dengan baik dan
pemerintah dapat mengoptimalkan peningkatan peringkat investasi
Indonesia.

Tabel 7.1. Outlook Industri 2012

Proyeksi 2012

Industri (persen)

Pesimis Baseline Optimis

Industri Pengolahan 4,6 5,8 7,0

Agroindustri 4,5 5,3 6,0

191
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Daftar Pustaka

Anonim. 2009. Profil Singkat Komoditi Kakao.


http://regionalinvestment.com/sipid/id/userfiles/komoditi/3/kakao_prof
ilsingkat.pdf. Akses 15 Februari
______________. 2008. Bibit Kakao Somatic Embryogenesis.
http://www.sinartani.com/kebun/bibit-kakao-somatic-embryogenesis-
se-1235363543.htm. Akses 15 Februari
Aryanto Seno. 2006. Rattan Industry Development in Indonesia.
Askindo. 2008. Cocoa Village Model (CVM) of Kalonding.
http://www.thesuccessalliance.org. Akses 15 Februari
Badan Pengkajian dan Penerapan (BPPT). 2009. Pedoman Teknis Budidaya
Rumput Laut.
Bank Indonesia-Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. 2005. Laporan
Pemetaan Sektor Ekonomi (Sektor Pertanian): Peningkatan Peran Bank
Indonesia dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Melalui Pemetaan
Sektor Ekonomi.
Bank Indonesia. Laporan Kompilasi Pelaksanaan Pilot Project Klaster Untuk
Pengembangan UMKM; Studi Kasus Klaster Rumput Laut di Kabupaten
Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat.

193
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Bappenas-Kedeputian Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. 2011.


Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi Indonesia, Makalah
Focus Group Discussion Kementerian Perindustrian, Jakarta 14 Nopember
2011
BPS (Badan Pusat Statistik). 2011. Berita Resmi Statistik No. 72/11/Th. XIV, 7
November 2011
______________. 2011. Statistik Year Book 2010. Jakarta
______________. 2010. Tabel Input-Output 2008. Jakarta
Dahuri, Rokhmin. 2010. Peningkatan Nilai Tambah Produk Olahan dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Makalah Seminar Nasional
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta 9 Agustus 2010
Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah. 2009. Teknik
Budidaya Rumput Laut Gracilaria sp & Eucheuma sp: Menuju Sulawesi
Tengah Provinsi Rumput Laut 2011.
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah. 2007. Laporan Final
Grand Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Propinsi
Sulawesi Tengah: Menuju Sulawesi Tengah sebagai Propinsi Rumput Laut
Tahun 2011.
Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB). 2011. Analisis Statistik Capaian Target
Produksi Semua Komoditas, www.perikanan –budidaya.kkp.go.id, diakses
November 2011, (http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id)
______________. 2011. Komoditas Unggulan Sulawesi Selatan: Rumput Laut,
Bandeng dan Udang, www.perikanan –budidaya.kkp.go.id, diakses
November 2011 (http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id)
______________. 2011. Peran Kelembagaan dalam Siklus Aquabisnis Rumput
Laut, www.perikanan –budidaya.kkp.go.id, diakses November 2011
(http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id)
______________. 2011. Prospek Budidaya Rumput Laut di Tanjung Keok,
Kepulauan Sapeken Kabupaten Sumenep, www.perikanan –

194
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

budidaya.kkp.go.id, diakses November 2011 (http://www.perikanan-


budidaya.kkp.go.id)
GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), 2011. Ekspor Kelapa
Sawit Indonesia dalam Semester Pertama Tahun 2011. Press Releases 5
Agustus
______________. 2011. Tujuh Hambatan Industri Sawit pada 2011. Press
Releases 24 Januari
IRSG (International Rubber Study Group). 2011. Rubber Statistical Bulletin. Edisi
Juli-September
Januminro, CFM, Rotan Indonesia; Potensi, Budi Daya, Pemungutan,
Pengolahan, Standar Mutu, dan Prospek Pengusahaan, (Jogjakarta:
Penerbit Kanisius, 2000),
Kementerian Kehutanan. 2007. Guidelines of Rattan Derivatives in Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan-Direktorat Usaha dan Investasi, Dirjen
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP). 2010.
Pengembangan Klaster/Minapolitan Industri Rumput Laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan-Pusat Data Statistik dan Informasi. 2011.
Data Pokok Kelautan dan Perikanan 2010.
Kementerian Keluatan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka 2010
Kementerian Perdagangan, 2011. Tinjauan Pasar Minyak Goreng. Edisi:
02/MGR/02/2011. Jakarta
______________. 2011. Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan,
Ditjen Perdagangan Luar Negeri, 2011, Peta Perdagangan Rumput Laut
Internasional “Sinergitas Industrialisasi Rumput Laut Nasional”, Makalah
Seminar di Makassar 19 Juli.
Kementerian Perindustrian. 2011. Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit dan Kawasan
Ekonomi Khusus di Riau. Pekanbaru, 6 Oktober.
______________. 2011. Hilirisasi Industri Kelapa Sawit Nasional. Paparan bekasi,
30 September

195
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

______________. 2011. Press Release Menteri Perindustrian pada Peninjauan


Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit di Kawasan Industri Sei Mangkei,
Simalungun, 23 September
______________. 2011. Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit Sei Mangkei PT
Perkebunan Nusantara III Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera
Utara. 23 September
______________. 2009. Strategi Pengembangan Pada Kajian Pengembangan
Industri Rotan Nasional.
______________. 2007. Gambaran Sekilas Industri Karet. Pusat Data dan
Informasi. Jakarta
______________. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao.
http://www.depperin.go.id/PaketInformasi/Kakao/kakao.pdf. Akses 15
Feb 2009.
Kementerian Perindustrian. 2011. Draft Roadmap Industri Pengolahan Rumput
Laut
Kementerian Pertanian. 2011. Statistik Ekspor-Impor Karet. Dalam
http://ditjenbun.deptan.go.id/, diakses 10 Desember
______________. 2007. Prospek dan arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
Sawit. Edisi 2. Badan Penelitian dan Pengembangan. Jakarta
______________. 2007. Prospek dan arah Pengembangan Agribisnis Karet. Edisi
2. Badan Penelitian dan Pengembangan. Jakarta
Kementerian Koordinator Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 2010. Positioning Paper KPPU
Terhadap Kebijakan Ekspor Rotan.
Kuncoro, Mudrajad. 2011. Strategi Percepatan dan Perluasan Industrialisasi
Indonesia, Makalah Focus Group Discussion Kementerian Perindustrian,
Jakarta 14 Nopember.

196
OUTLOOK INDUSTRI 2012: Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri

Litbang Deptan. 2008. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao.


http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4kakao. Akses 15
Feb 2009.
Majalah Kina (Karya Indonesia). 2010. Hilirisasi Industri Agro: Dapat Mengatasi
Ancaman Deindustrialisasi. Edisi 3. Kementerian Perindustrian. Jakarta
Media Data. 2009. Dinamika Agribisnis dan Industri Karet di Indonesia. Dalam
http://mediadata.co.id/MCS-Indonesia-Edition/dinamika-agribisnis,
diakses 10 Desember 2011
Pambudhi, Agung, 2007. Daya Saing Investasi Daerah Opini Dunia Usaha. Dalam
Kumpulan Tulisan “Membangun Daya Saing Industri Daerah”.
Kementerian Perindustrian. Jakarta
Razak, H.A. dan Gusli S. 2007. Cocos Village (CVM) menuju Revitalisasi
Perkakaoan Indonesia dengan Kemandirian Lokal. Direktori Kakao
Indonesia 2007. Asosiasi Kakao Idonesia (ASKINDO), Jakarta.
Syam, Rivai R. 2006. National Strategy for Promoting Sustainable Rattan
Development in Indonesia.
Sikumbang, Z. 2007. Prospek Agroindustri Kakao Indonesia di Pasaran Dunia
sampai 2010 (Tantangan Perdagangan dan Industri Kakao Indonesia).
Direktori Kakao Indonesia 2007. Asosiasi Kakao Idonesia (ASKINDO),
Jakarta.
______________. 2007. The Challenge in Indonesia Cocoa Industry. Direktori
Kakao Indonesia 2007. Asosiasi Kakao Idonesia (ASKINDO), Jakarta.
Sulaeman, Suhendar, 2006, Pengembangan Agribisnis Komoditas Rumput Laut
Melalui Model Klaster Bisnis, Infokop No.28 Tahun XXII 2006
United Nations. 2011. Commodity Trade Statistics Database.
WEF (World Economic Forum). 2011. Global Competitiveness Index 2011-2012.
www.wef.org, diakses 10 desember
WWF Report February. 2011. Global Rattan Trade: Preasure on Forest
Resources, Analysis and Challenges.

197

Anda mungkin juga menyukai