Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fahrina Nurhanifah

NIM : P17325119415
Prodi : D4 Tingkat 2
Pendidikan Budaya Anti Korupsi

Kasus Korupsi Dana Hibah dan Gratifikasi Imam Nahrawi

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang


korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekadar
kebiasaan. Salah satunya kasus korupsi yang menjerat Imam Nahrawi yang
merupakan Menteri Pemuda dan Olahraga dari Kabinet Maju. Nama Imam
Nahrawi mencuat dalam perkara dugaan suap terkait alokasi dana hibah dari
Kemenpora ke Komite olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Dr. (H.C.) H. Imam Nahrawi, S.Ag., M.KP. yang lahir di Bangkalan, Jawa
Timur, 8 Juli 1973 adalah seorang politikus berkebangsaan Indonesia. Ia menjabat
sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga yang dilantik pada 27 Oktober 2014, pada
Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla hingga mengundurkan diri pada 19 September
2019 setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dana hibah KONI oleh
KPK. Pada Partai Kebangkitan Bangsa sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris
Jenderal DPP Partai.
1. Kronologis
Kasus Imam ini berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap
sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia)
pada 18 Desember 2018 lalu. Dalam OTT tersebut KPK menemukan uang sekitar
7 Miliar yang dibungkus di dalam plastik di kantor KONI. Dari 12 Orang yang
diamankan, sebanyak 5 orang yang merupakan pegawai kemenpora dan KONI
ditetapkan sebagai tersangka. Mereka yakni, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy,
Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy, Deputi IV Kemenpora Mulyana,
Pejabat Pembuat Komitmen pada Kemenpora Adhi Purnamo dan staf Kemenpora
Eko Triyanti. Selain uang 7 miliar KPK juga menemukan barang bukti lain saat
melakukan OTT yaitu uang tunai Rp 318 juta, buku tabungan dan kartu ATM
dengan saldo sekitas Rp 100 Juta atas nama Johnny, mobil chevrolet Captiva
warna biru. KPK mengatakan bahwa uang yang ditemukan tersebut merupakan
bagian dari pencairan dana hibah Kemenpora ke KONI.
Pada 24 Januari 2019, KPK memeriksa Imam Nahrawi. Pemeriksan
kepada Imam dilakukan saat itu untuk mendalami sejumlah barang bukti yang
disita dari ruang kerja Imam. Setelah itu pada tanggal 29 April 2019 Imam
Nahrawi dipanggil menjadi saksi di persidangan.

KPK baru menjerat Imam sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada 18
September 2019. Imam diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai
bentuk commitment fee pengurusan proposal yang diajukan KONI kepada
Kemenpora. Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam
rentang waktu 2014-2018 yang merupakan suap dana hibah Kemenpora ke KONI
melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum yang juga menjadi tersangka dalam
perkara ini. Imam juga diduga menerima uang Rp11,8 miliar dalam rentang waktu
2016-2018 sebagai bentuk gratifikasi. Dengan total penerimaan suap gratifikasi
sebesar Rp 26,5 miliar, Imam diketahui memiliki harta kekayaan sebesar Rp 22, 6
miliar berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Harta tersebut dibagi menjadi hata bergerak dan harta tidak bergerak yaitu terdiri
dari 12 bidang tanah yang tersebar di sejumlah daerah yakni, Sidoarjo,
Bangkalan,, Surabaya, Jakarta, dan malang dengan total mencapai Rp 14 miliar.
Selain itu Imam juga tercatat memiliki empat kendaraan roda enpat yang terdiri
dari Minibus Hyundai, Mitsubishi Pajero, Toyota Kijang Innova dan Toyota
Alphard.

Menurut Alex wakil ketua KPK uang tersebut diduga dipergunakan untuk
kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait. Namun, Imam
membantah tuduhan tersebut. Ia menilai penetapan tersangka oleh KPK tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. KPK bergeming. Lembaga
antikorupsi menegaskan penetapan tersangka Imam sah. Mereka juga telah
memberikan Imam ruang klarifikasi dengan tiga kali panggilan yakni pada 31 Juli,
2 Agustus, dan 21 Agustus 2019, namun Imam selalu mangkir. Sehari setelah
ditetapkan tersangka, Imam menyampaikan surat pengunduran diri sebagai
menteri pemuda dan olahraga ke Presiden Joko Widodo. KPK kemudian langsung
menahan Imam usai menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka 27
September 2019.

Imam tak begitu saja terima dijerat sebagai tersangka oleh KPK. Ia
mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Imam
beserta tim penasihat hukum meminta majelis hakim memerintahkan KPK
menghentikan seluruh proses penyidikan yang sedang berjalan. Namun, hakim
tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Elfian menolak seluruh permohonan
dalam gugatan praperadilan tersebut. KPK terus mengusut perkara Imam. Hakim
menyatakan proses penetapan tersangka, penyidikan, dan penahanan yang
dilakukan KPK sudah sesuai prosedur.

Febri Diansyah, juru bicara KPK saat itu, mengatakan pihaknya menduga
Imam menerima suap dan gratifikasi terkait anggaran fasilitasi bantuan
administrasi KONI dalam mendukung persiapan Asian Games 2018. Kemudian
anggaran fasilitasi bantuan kegiatan peningkatan kapasitas tenaga keolahragaan
KONI Pusat tahun 2018 dan bantuan pemerintah kepada KONI guna pelaksanaan
pengawasan dan pendampingan pada kegiatan peningkatan prestasi olahraga
nasional. Setelah hampir tiga bulan melakukan penyidikan dengan memanggil
sejumlah saksi, KPK melimpahkan berkas perkara Imam ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta pada awal 2020.

Imam didakwa menerima uang Rp 11,5 miliar. Penerimaan uang tersebut


untuk mempercepat persetujuan dana hibah KONI ke Kemenpora. Perbuatan
Imam dilakukan bersama-sama dengan Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum.
Imam dan Ulum dan Imam Nahrawi menerima uang dari eks Sekretaris Jenderal
KONI Ending Fuad Hamidy dan eks Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy.
Jaksa menyebut Imam Nahrawi menerima uang melalui Miftahul Ulum terkait
proposal dana hibah pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program
peningkatan prestasi olahraga nasional Asian Games dan Asian Para Games 2018.
Usulan dana yang diajukan dalam proposal itu sejumlah Rp 51,5 miliar. Untuk
mempercepat proses pencairan dana hibah oleh Kemenpora, Mulyana selaku
Deputi IV Kemenpora meminta Ending berkoordinasi Ulum terkait komitmen fee
yang harus diberikan oleh KONI Pusat kepada pihak Kemenpora. Imam juga
didakwa menerima gratifikasi Rp 8,6 miliar. Uang gratifikasi itu berasal dari
Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy hingga anggaran Satlak Prima.

Ia tak mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa penuntut


umum (JPU) KPK. Hanya saja dalam nota pembelaan atau pleidoinya, Imam
bersumpah tak pernah melakukan persekongkolan jahat untuk mendapat uang
suap dan gratifikasi sebagaimana dakwaan KPK. Ia pun mengajukan permohonan
sebagai justice collaborator (JC) dalam kasus ini. Ia berjanji akan membantu
membongkar aliran uang Rp11,5 miliar. Namun, permohonan JC tersebut ditolak
majelis hakim. Hakim juga menolak seluruh pleidoi yang telah disampaikan
Imam.

Imam dituntut hukuman berupa pidana penjara selama 10 tahun. Imam


dinilai terbukti menerima suap dan gratifikasi sebagaimana dakwaan jaksa
penuntut umum. Tidak hanya pidana dan denda yang dituntut oleh jaksa kepada
Imam. Dia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 19,1 Miliar dalam
waktu 1 bulan. Jaksa juga menuntut agar hak politik Imam dicabut selama lima
tahun setelah menjalani pidana pokok. Imam Nahrawi dianggap melanggar Pasal
12 huruf a juncto, Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah
dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
UU Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tetang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Dia juga dianggap melanggar Pasal 12B ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat
(1) KUHP. Menurut jaksa, hal yang memberatkan Imam dalam perkara ini yaitu
Imam menghambat perkembangan dan prestasi atlet Indonesia, serta tidak
menjadi teladan sebagai pejabat publik. Sedangkan hal yang meringankan, Imam
dianggap kooperatif selama proses sidang.

2. Penyelesaian

Pada Akhirnya Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara. Imam dinyatakan


bersalah menerima suap dan gratifikasi bersama asisten pribadinya, Miftahul
Ulum. Hakim menyatakan Imam Nahrawi terbukti menerima suap dan gratifikasi.
Perbuatan Imam Nahrawi dinyatakan hakim bersalah. Dalam menjatuhkan
putusan, majelis menyebut Imam tak mendukung program pemerintah yang
sedang gencar-gencarnya dalam pemberantasan korupsi dan mencoba menutupi
perbuatan dengan tidak mengakui apa yang sudah dilakukannya. Meskipun
demikian, mejelis menganggap Imam berlaku sopan di persidangan, sebagai
kepala keluarga yang masih memiliki anak kecil, dan belum pernah dihukum
sebelumnya. Selain pidana 7 tahun, majelis juga menjatuhkan pidana denda
sebesar Rp. 400 juta (subsider 3 bulan kurungan). Majelis juga mencabut hak
untuk dipilih menempati jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani
hukuman pidana. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan sebelumnya.

3. Pola Korupsi

Pola korupsi yang dilakukan oleh Imam Nahrawi yaitu penyuapan berupa
comitment fee sebagai alat untuk mendapatkan proyek atau tender. Dan gratifikasi
dalam Proyek Asian Games dan Asian Para Games 2018
4. Sumber

https://news.detik.com/berita/d-5073515/perjalanan-kasus-eks-menpora-imam-
nahrawi-hingga-divonis-7-tahun-penjara?single=1

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200629202245-12-518793/jejak-
kasus-imam-nahrawi-hingga-divonis-7-tahun-penjara

https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2019/09/19/kronologi-kasus-menpora-
imam-nahrawi-berawal-dari-ott-kpk-dan-temuan-uang-rp-7-miliar?page=4

Anda mungkin juga menyukai