Anda di halaman 1dari 56

ABSTRAK

Nama : Ni Nyoman Juwita Arasawati


Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Disertasi : Kebijakan Formulasi Pidana Pengawasan Terhadap Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum

Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berpotensi sebagai generasi penerus
untuk melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, sehingga berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang. Untuk itu anak dipandang perlu diberikan perlindungan
secara jasmani dan rohani, karena setiap anak yang berkonflik dengan hukum, senantisa
dijatuhi dengan pidana penjara, walaupun pidana penjara sudah tidak mendapatkan
kepercayaan di masyarakat, sehingga menimbulkan persoalan baik secara filosofis, yuridis,
teoritis dan sosiologis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apa
dasar pemikiran pembentuk Undang-Undang mencantukan pidana pengawasan di dalam
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Bagaimana pengaturan pidana pengawasan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dari perspektif ius constitutum? Bagaimana
sebaiknya formulasi sistem pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
dari perspektif ius constituendum? Penelitian terhadap ketiga permasalahan tersebut termasuk
penelitian normatif, dengan menggunakan teori Utility/Kemanfaatan, Teori Individualisasi
Pidana, Teori Keadilan, Teori Pengawasan, dan Teori Psikhologi Anak.
Hasil penelitian dapat dirumuskan, anak secara filosofisnya harus diberikan prioritas
yang terbaik, karena anak sebelum kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani
memerlukan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang memadai melalui
pencegahan perampasan kemerdekaan. Pidana pengawasan merupakan upaya memberikan
perlindungan dan melakukan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dan
sudah diatur di dalam Pasal 71 dan Pasal 77 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, namun belum dapat dijatuhkan. Di beberapa negara telah
mengatur norma tentang pidana pengawasan terhadap anak diantaranya adalah Portugal,
Malaysia, Jepang dan Polandia, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan yuridis. Nampaknya
rumusan dalam Pasal 77 belum jelas dirumuskan tempat dilaksanakannya pengawasan oleh
Penuntut Umum. Atas dasar itu, dapat diformulasikan rumusan norma (ayat) baru dengan
menambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 77 yaitu pengawasan dapat dilakukan pada tempat
yang disebut “rumah pembinaan” yang ditunjuk dan ditetapkan atas kerjasama Menteri
Pendidikan Dasar dan Menegah dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak yang pelaksanaannya dibawah kendali Departemen Kehakiman. Dengan demikian
melalui pidana pengawasan terhadap anak dari perspektif Ius Constituendum dapat mencapai
social welfare dan social defence,
Rekomendasi dari penelitian ini, hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak agar
lebih memperhatikan karakteristik pidana pengawasan, dibandingkan menjatuhkan pidana
penjara. Pada tataran substansi hukum, pemerintah sebaiknya membentuk pengadilan khusus
anak dengan mengeluarkan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang No.11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perumusan norma (ayat) baru dalam Pasal 77 tentang
rumah pembinaan anak agar segera dirumuskan menjadi norma (ayat) baru dalam Pasal 77
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kata Kunci: kebijakan formulasi, pidana pengawasan, anak

vii 
 
ABSTRACT
Name : Ni Nyoman Juwita Arasawati
Study Program : Law Science
Dissertation Title : Formulation Policy of Children Criminal Supervision who
are in conflict with law

Child is a gift of God Almighty, potentially as the next generation to continue the ideals
of the struggle of the Indonesian nation, so they the right to live, grow and develop. For that
child protection is considered necessary to be given physically and mentally, because every
child in conflict with the law, is usually sentenced to imprisonment, although imprisonment is
not getting the trust in the community, so it raises the question whether philosophical,
juridical, theoretical and sociological
Based on this background, the problems are formulated as follows: What is the rationale
for Act forming mentioning supervision within the criminal law of Child Criminal Justice
System? How is the criminal supervision of children in conflict with the law from the
perspective of ius constitutum? How should the formulation of the penal system supervision
of children in conflict with the law from the perspective of ius constituendum? The study on
these three problems is normative research, using the theory of Utility / Benefits,
Individualization Theory of Criminal Justice Theory, Control Theory and Children
Psychology Theory.
The results of the study can be formulated; philosophically the child should be given the
best priority, as a child before his maturity both physically and spiritually requires special
care, including adequate legal protection through prevention of deprivation of liberty. Crime
control is an effort to provide protection and to provide guidance to children in conflict with
the law, and it is set out in Article 71 and Article 77 of Act No.11 of 2012 on the Child
Criminal Justice System, but has yet to be imposed. Some states have set the norms of
criminal supervision of a child among others Portugal, Malaysia, Japan and Poland, so it can
serve as a juridical reference. It seems that the formulation in Article 77 has not been clearly
defined point of implementation of oversight by the Public Prosecutor. On that basis, it can
be formulated the formulation of new norms by adding one (1) paragraph in Article 77 which
surveillance can be carried out at a place called "home training" that was designated on the
cooperation of the Minister of Basic and High Education with Minister of Women
Empowerment and child protection whose implementation under the control of the
Department of Justice. Thus through criminal supervision of children from the perspective of
Ius constituendum can achieve social welfare and social defense
Recommendations from this study, the judge in deciding conviction for the children
should put more attention to the characteristics of criminal surveillance, compared to impose
imprisonment. At the level of the substance of the law, the government should establish a
special court issued a child with the Implementing Regulations of the Act No.11 of 2012 on
the Child Criminal Justice System. The formulation of the new norm in Article 77 of the
children rehabilitation should be formulated to be the new norm in Article 77 of Law No.11
of 2012 on the Child Criminal Justice System.
Keywords: policy formulation, criminal supervision, child

vii 
 
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL LUAR ………………………………………………………… i
HALAMAN SAMPUL DALAM ……………………………………………………… ii
PRASYARAT GELAR…………………………………………………………………… iii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR/Ko-PROMOTOR ……………………… iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………… ……………………………… v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT…………………… ……………………………… vi
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………………… vii
ABSTRAK …………………………………………………………………………. xii
ABSTRACT …………………………………………………………………………. xiii
RINGKASAN ………………………………………………………………………… xiv
SUMMARY ………………………………………………………………………… xxv
DAFTAR ISI …………….……………………………………………………………… xxxv
DAFTAR TABEL……….……………………………………………………………….. xxxvi
DAFTAR SINGKATAN……….………………………………………………… xxxvii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
1.1.Latar Belakang Masalah ……………………………………………… 1
1.2.Rumusan Masalah ………………………………………………. 23
1.3.Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 24
1.3.1 Tujuan Umum ………………………………………………….. 24
1.3.1 Tujuan Khusus ……………………………………………….. 24
1.4.Manfaat Penelitian …………………………………………………… 25
1.5.Orisinalitas Penelitian ……………………………………………….. 26
1.6.Kajian Pustaka ………………………………………………………. 30
1.7.Kerangka Berpikir ……………………………………………………. 36
1.8.Metode Penelitian ……………………………………………………. 39
1.8.1 Jenis Penelitian ………………………………………………… 39
1.8.2 Pendekatan Penelitian …………………………………………. 41
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ………………………………………… 44
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum …………………………. 46
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ………………………………… 47
1.9. Sistimatika Penulisan …………………………………………………. 48

BAB II KAJIAN TEORITIK DAN KONSEPTUAL ……………………………… 51


2.1. Kajian Konsep ……………………………………………………….. 51
2.1.1 Konsep Kebijakan Hukum Pidana dalam Penjatuhan Pidana
Pengawasan ……………………………………………………. 51
2.1.2 Konsep Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum …………………………………………………. 60
2.1.3 Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak yang Berkonflik dengan
Hukum ………………………………………………………….. 76
2.1.4 Konsep Asas-asas yang Terkait terhadap Anak yang Berkonflik
Dengan Hukum ………………………………………………….. 85
2.1.4.1 Asas Legalitas …………………………………………… 85
2.1.4.2 Asas Kemampuan Bertanggung Jawab ………………… 92
2.1.4.3 Asas Perlindungan Anak ……………………………….. 95
a. Konvensi Hak Anak ………………………………… 101
b. The Beijing Rules ………………………………….. 107
c. Riyadh Guidelines ………………………………….. 109
vii 
 
d. Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya … 110
e. Tindakan Non Penahanan …………………………… 111
f. Administrasi Peradilan Pidana ……………………….. 112
g. Komite Hak Anak …………………………………… 112
2.2 Kajian Teoritik ……………………………………………………. 122
2.2.1 Teori Keadilan dari John Rawls ……………………………….. 124
2.2.2 Teori Kemanfaatan Hukum dari Jeremy Bentham …………… 131
2.2.3 Teori Individualisasi Pidana dari Aliran Modern………………… 135
2.2.4 Teori Psikhologi Anak dari Santrock ……………………………. 145
2.2.4 Teori Pengawasan dari George R.Terry …………………………. 150

BAB III DASAR-DASAR DICANTUMKANNYA PIDANA PENGAWASAN


DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK ……………………. 156
3.1. Ide Dasar/Latar belakang Pengaturan Pidana pengawasan ……………. 157
3.2. Kedudukan Pidana Pengawasan dalam Sistem Pemidanaan ………….. 172
3.2.1 Sistem Pemidanaan menurut KUHP …………………………. 172
3.2.2 Sistem Pemidanaan menurut Undang-Undang No.11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ………………… 182
3.3 Perbedaan antara Pidana Pengawasan dengan Pidana Penjara ………. 191
3.3.1 Kelemahan Pidana Penjara terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum ………………………………………………. 191
3.3.2 Kelebihan Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum ……………………………………………….. 203
3.4 Pidana Pengawasan dan Tujuan Pemidanaan ………………………. 208
3.4.1 Tujuan Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum ……………………………………………… 208
3.4.2 Syarat-Syarat Penjatuhan Pidana Pengawasan terhadap Anak
yang Berkonflik dengan Hukum …………………………….. 216

BAB IV PENGATURAN PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK YANG


BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF IUS
CONSTITUTUM ………………………………………………………….. 227
4.1 Sistem Pemidanaan menurut Hukum Pidana Positif ………………. 229
4.2 Pengaturan Pidana Pengawasan menurut Hukum Positif
di Indonesia ………………………………………………………….. 249
4.2.1 Pidana Pengawasan dalam Hubungannya dengan Kebijakan
Kriminal ……………………………………………………… 249
4.2.2 Pidana Pengawasan dalam Perspektif Ide Pemasyarakatan ….. 256
4.3 Syarat-Syarat dan Mekanisme Pidana Pengawasan dalam Undang-
Undang No.11 Tahun 2012 ………………………………………… 270
4.4 Analisis Kelebihan dan Kelemahan Pidana Pengawasan dalam
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 ……………………………….. 282
4.5 Pengaturan Pidana Pengawasan di Beberapa Negara ……………… 288
4.5.1 Probation dalam KUHP Portugal ……………………………. 289
4.5.2 Sistem Pembinaan Anak di Jepang …………………………. 291
4.5.3 Sistem Pembinaan Anak di Malaysia ………………………… 294
4.5.4 Sistem Pembinaan Anak di Polandia …………………………. 298

vii 
 
BAB V FORMULASI SISTEM PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK
YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF
IUS CONSTITUENDUM ………………………………………………… 299
5.1 Grand Disegn Sistem Hukum Pidana Indonesia ……………………… 300
5.1.1 Faktor-Faktor Pembentukan Sistem Hukum Pidana
di Indonesia …………………………………………………. 300
5.1.2 Membangun Sistem Hukum Pidana di Indonesia ……………. 324

5.2 Pidana Pengawasan dalam Rancangan KUHP …………………….. 335


5.2.1 Pidana Pengawasan sebagai Pidana Alternatif dalam
Rancangan KUHP …………………………………………… 335
5.2.2 Pidana Pengawasan sebagai Pidana Bersyarat dalam
Rancangan KUHP ……………………………………………. 341
5.3 Pembaruan (Legal Reform) terhadap Pidana Pengawasan …………. 354
5.3.1 Karakteristik Pidana Pengawasan dalam Pembaruan Hukum
Pidana …………….…………………………………………… 354
5.3.2 Formulasi Pidana Pengawasan dalam Pembaruan Hukum
Pidana …………………………………………………………. 367

BAB VI PENUTUP ………………………………………………………………… 388


6.1. Kesimpulan ………………………………………………………… 388
6.2. Rekomendasi…………………………………………………………… 390

DAFTAR PUSTAKA

vii 
 
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Berbicara masalah anak adalah sangat penting, karena anak merupakan amanah

dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai

manusia seutuhnya, serta ikut berperan menentukan sejarah bangsa, sekaligus sebagai

cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Atas dasar itu, negara wajib

memberikan perlindungan dan mewujudkan kesejahteraan kepada anak agar dapat

melangsungkan hidup, untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan hakikatnya.

Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke-19,

di mana anak dijadikan sebagai objek yang dipelajari secara ilmiah. Pelopornya

adalah Wilhelm Preyer dalam bukunya “die seele des kindes” (jiwa anak) pada tahun

1882. Di Amerika Serikat tokoh-tokoh terkenal yang mempelajari masalah anak

diantaranya Jean Jeccquis Rousseu (1712-1778) dalam bukunya Emile et Sophy

menulis agar anak dalam perkembangannya dibiarkan tumbuh dalam kebebasan,

begitu pula Dr. Maria Montessori (1870-1952) dari Italia meneliti masalah kejiwaan

anak dan mengembangkan satu metode mengajar yang berprinsip pada auto-

education.1

Nampaknya dari dulu sudah ada tokoh-tokoh pendidikan yang menaruh

perhatian pada perkembangan kejiwaan anak, karena anak dipandang sebagai anak

dan tidak dapat disamakan dengan orang dewasa yang telah memiliki ciri dan norma
                                                            
1
 Wagiati Soetodjo, 2008, Hukum Pidana Anak, PT. Rafika Aditama, Bandung, h.6

 

tersendiri. Mengingat anak adalah tumpuan harapan masa depan bangsa, negara,

masyarakat, keluarga, dan oleh karena kondisinya sebagai anak, diperlukan perlakuan

khusus agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan

rohaninya.

Sesungguhnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas dalam

konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B

ayat (2) yang menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”. Peran strategis anak sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa telah

disadari oleh masyarakat internasional untuk kemudian melahirkan sebuah konvensi

yang pada dasarnya menekankan posisi anak sebagai mahluk manusia yang harus

mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan

mandat dari Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak yang

selanjutnya disebut KHA dalam Pasal 2 ayat (1) di mana dikatakan bahwa “setiap

anak berhak hidup sejahtera, perlindungan hukum untuk mencapai kesejahteraan anak

wajib dijamin oleh sebuah negara”.

Indonesia telah meratifikasi KHA tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor

36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child pada

tanggal 25 Agustus 1990 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor

57). Sebagai konsekuensinya, pemerintah Indonesia telah menerbitkan beberapa

peraturan perundang-undangan untuk perlindungan anak diantaranya Undang-


Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang -Undang No. 4

Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No.35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang No.44 Tahun

2008 Tentang Pornografi, serta Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang telah disahkan pada tanggal 3 Juli Tahun 2012 dan

berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan yaitu Tahun 2014. Atas dasar itu, peraturan

perundang-undangan tersebut dapat dijadikan dasar pelaksanaan perlindungan anak,

khususnya bagi anak baik yang berhadapan dengan hukum maupun yang berkonflik

dengan hukum.

Secara konseptual, anak yang berhadapan dengan hukum menurut Undang-

Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka 2

adalah “anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak

pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Sementara anak yang berkonflik

dengan hukum menurut Pasal 1 angka 3 adalah “anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana”. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, dengan

kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang begitu dimanfaatkan

oleh masyarakat khususnya anak, nampaknya telah membawa perubahan sosial yang

mendasar dalam kehidupan anak, khususnya dalam perilakunya. Anak yang kurang

mendapat perhatian, kasih sayang, bimbingan, pembinaan dan pengawasan dari orang

tuanya, dapat terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang

sehat, dan dapat merugikan perkembangan mental anak sendiri, dan bahkan dapat

menjadi pelaku dari kejahatan yang terjadi.

Peningkatan kenakalan atau kejahatan anak bukan saja dapat mengganggu

keamanan dan ketertiban semata, tetapi merupakan bahaya yang dapat mengancam

masa depan masyarakat dan bangsa. Akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh anak,

tentunya dapat membahayakan anak yaitu anak dapat dihukum. Walaupun kejahatan

yang telah dilakukan anak tidak semata-mata disebabkan dari anak sendiri, namun

dapat juga dari luar diri anak tersebut, dan bilamana dicermati perkembangannya baik

dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan tidak sebanding dengan

usianya. Atas dasar itu, pemerintah agar mengupayakan pencegahan dan

penanggulangan.

Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui penyelenggaraan

sistem peradilan pidana anak, yang tujuannya tidak hanya untuk menjatuhkan sanksi

bagi anak yang telah melakukan pelanggaran atau kejahatan. Namun yang perlu

diingat bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,

lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa, penjatuhan pidana merupakan sarana

mendukung mewujudkan kesejahteraan anak sebagai pelaku dari kejahatan. Hal ini

dapat berarti bahwa, pidana penjara bukanlah jalan keluar yang terbaik bagi anak,

karena dapat berpengaruh buruk terhadap perkembangan mental dan psikologinya.


Namun pada kenyataannya keadaan anak yang berkonflik dengan hukum masih

belum menggembirakan, karena pada tataran hukum, hak-hak yang diberikan kepada

anak belum sepenuhnya dapat ditegakkan. Hak-hak anak sebagaimana yang

dimaksudkan dalam hukum yaitu memberikan perlindungan, belum cukup dapat

menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak.

Kenyataan tersebut tentunya tidak sesuai dengan rumusan Pasal 3 Konvensi

Hak Anak yang menyebutkan bahwa “semua tindakan yang menyangkut anak yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, pemerintah dan swasta,

lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik

anak akan merupakan pertimbangan utama”. Begitu pula Pasal 37 huruf (b) dan (c)

menyebutkan:

(b) No child shall be deprived of his or her liberty unlawfully or orbitratily. The
arrest, detention or imprisonment of a child shall be in conformity with the
law and be used onley as aeasure of last resort and for the shortest
appropriate period of time
(Diterjemahkan secara bebas: bahwa tidak seorang anakpun dirampas
kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang, sehingga
penangkapan, penahanan ataupun pemidanaan seorang anak harus sesuai
dengan hukum dan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka
waktu yang paling pendek).2

(c) Every child deprived of liberty shall be treated with humanity and respect
for the inherent dignity of the human person, and in a manner which takes
child deprived of liberty shall be separated from adults unless it is
considered in the child’s best interest not to do so and shall have the right to
maintain contact with his or her family through correspondence and visits,
save in exceptional circumstances”
(Diterjemahkan secara bebas: bahwa setiap anak yang dirampas
kemerdekaannya diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat
                                                            
2
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.158

kemanusiaannya dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang


seusianya. Khususnya setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus
dipisahkan dari orang-orang dewasa, kecuali bila dianggap bahwa
kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan menuntut agar hak ini tidak
dilakukan dan anak berhak untuk mempertahankan hubungan dengan
keluarganya melalui surat-menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali
dalam keadaan-keadaan khusus). 3

Ketentuan yang tertuang di dalam Konvensi Hak Anak di atas, mempertegas

kedudukan anak yang berkonflik dengan hukum diakui secara hukum Internasional

yaitu:

Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara


manusiawi dan dihormati martabat manusianya, dengan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya, dan bilamana anak berkedudukan sebagai
tersangka, maka setidaknya anak mendapatkan jaminan untuk dianggap tidak
bersalah hingga dapat dibuktikan kesalahannya menurut hukum, yang selanjutnya
dengan segera diberitahukan tuduhannya untuk memperoleh keputusan tanpa
ditunda-tunda.4

Konvensi Internasional lainnya yang dianggap penting juga dalam memberikan

perlindungan terhadap hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum (Children in

Conflict with the Law) yaitu The United Nations Standard Minimum Rules for The

Administrations of Juveniles Justice, “The Beijing Rules”Resolusinya No.40/33

Tanggal 29 Nopember 1985 (Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan

Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak), dalam butir 5 tentang

tujuan peradilan anak “The juvenile justice system shall emphasize the well-being of

the juvenile and shall ensure that eny rection to juvenile offenders shall always be in

                                                            
3
Ibid. 
4
Nandang Sambas, 2013, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya, Graha Ilmu, Yogyakarta,h.55-56 

proportion to the sircumstances of both the offenders and the offence” (terjemahan

secara bebas: sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan

akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia

anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar

hukumnya maupun pelanggaran hukumnya).

Nandang Sambas dalam pendapatnya menyatakan bahwa:

Sistem peradilan bagi anak mengutamakan kesejahteraan anak, sehingga polisi,


penuntut umum dan hakim dalam menangani perkara anak diberi kuasa untuk
memutus perkara menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan
pemeriksaan awal dan formal, dan berhak untuk mengakhiri proses peradilan
pada setiap saat, dan penempatan anak pada suatu lembaga merupakan pilihan
terakhir dengan jangka waktu sesingkat mungkin, begitu juga pembebasan
bersyarat sejauh mungkin digunakan oleh pihak berwenang yang layak.5

Konvensi Internasional lainnya yaitu United Nations Guidelines for The

Prevention of Juvenile Delinquency yang disingkat dengan “Riyadh

Guidelines”(Pencegahan Tindak Pidana Remaja) dalam Resolusi Perserikatan

Bangsa-Bangsa No.45/112 Tahun 1990 menyebutkan bahwa:

Program untuk pencegahan kenakalan anak/remaja agar dikembangkan guna


menjamin perkembangan ke arah proses dewasa anak secara harmonis, dengan
mengembangkan kepribadian mereka sejak masa kanak-kanak. Badan-badan
pengawasan sosial yang resmi dapat dipergunakan sebagai upaya terakhir, dan
penegak hukum yang menangani kenakalan anak harus dilatih agar tanggap
terhadap kebutuhan anak, dengan berusaha mengalihkan anak dari sistem
peradilan. 6

Resolusi di atas, pada prinsipnya mengatur setiap remaja atau anak yang

berkonflik dengan hukum, berhak memperoleh segala bentuk proses peradilan,

                                                            
5
Ibid., h.62-63
6
Ibid., h.60

dengan memperlakukan anak secara manusiawi yang dihormati martabat manusianya.

Rumusan resolusi di atas, mempunyai tujuan yang sama dengan risalah pembentukan

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu

agar dalam proses peradilan pidana anak menjauhkan “pembalasan”, karena

merupakan bagian dari upaya perlindungan hak asasi anak sesuai dengan sila II dari

Pancasila yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pernyataan tersebut

mengandung makna adanya pengakuan bahwa setiap manusia berhak diperlakukan

secara adil sesuai dengan harkat dan martabat manusia, dan mengakui tidak adanya

perbedaan mengingat setiap individu yang terlahir memiliki seperangkat hak-hak

yang merupakan karunia Tuhan yang diberikan secara otomatis ketika terlahir ke

dunia ini.

Landasan yuridis seperti yang terurai di atas, disebutkan pula di dalam Undang-

Undang No.35 Tahun 2014 yaitu Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak

bahwa “anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

manusia dan negara, agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan

bangsa dan negara, untuk itu anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya

untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, maupun sosial”.

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua wajib memberikan

perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan

tanggung jawabnya”.

Kedudukan anak secara yuridis tersebut, tentunya untuk mewujudkan sumber

daya manusia Indonesia yang berkualitas, pembinaan secara terus menerus terhadap

anak dengan tanpa mengabaikan pertumbuhan dan perkembangan fisik mental anak

demi kelangsungan hidup anak di masa mendatang.

Landasan teoritis dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum, anak harus diberikan prioritas yang terbaik, sesuai dengan

nilai-nilai Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan

beradab. Sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius,

hakim yang menangani masalah anak harus mampu mengaspirasi nilai-nilai

Pancasila. Lamar T Empey dalam pendapatnya menulis bahwa “guarantee

nurturance rights of children and rehabilitasi” (diterjemahkan secara bebas: hakim

yang berkualitas mampu menjamin pengasuhan hak-hak anak dan rehabilitasi).7

Begitu pula Made Sadhi Astuti dalam pendapatnya mengatakan bahwa:

Hakim yang berkualitas dapat memahami anak secara komprehensif, sehingga


semua aspek yang dapat mempengaruhi anak pada masa lalu dan masa mendatang
selalu diperhitungkan secara matang. Apabila hakim dalam menerapkan hukum
pidana tidak mempertimbangkan hal tersebut, maka terjadi putusan yang tidak
tepat dan tidak adil.8

Aparat negara lainnya yang menangani masalah anak yang berkonflik dengan

hukum adalah aparat Kepolisian dengan Undang-Undang Negara R.I Nomor 2 Tahun

2002 Tentang Kepolisian, Kejaksaan dengan Undang-Undang Negara R.I Nomor 16

                                                            
7
Lamar T.Empecy and Mark C.Stafford, 1991, American Delinquency, Its Meaning and
Constraction, Thrind Edition Wadsworth Publishing Company, Belmont Californian, p.350
8
Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP,
Malang, h.78-79.
10 

Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, Kehakiman dengan Undang-Undang Negara R.I

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Advokat/Pengacara dengan

Undang-Undang Negara R.I No.18 Tahun 2003, dan Undang-Undang Negara R.I

Nomor.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Semua lembaga-lembaga di atas

dalam melaksanakan tugasnya berpegang pada tujuan, falsafah dasar, dan prinsip-

prinsip yang tertuang baik di dalam Pancasila melalui sila-silanya, maupun di dalam

Konvensi Internasional Hak-Hak Anak yaitu:

1. Hak hidup maksudnya adalah hak untuk hidup menjamin anak untuk terbebas
dari berbagai bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh negara maupun
orang-orang ada disekitar anak tersebut.
2. Hak kelangsungan hidup dan perkembangan mencakup perkembangan fisik,
perkembangan mental, perkembangan sosial, perkembangan moral dan
spiritual, serta perkembangan budaya;
3. Prinsip kepentingan terbaik anak yang menyangkut prioritas, misalnya dalam
proses adopsi dan orang tua mengalami perceraian;
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak yaitu hak anak untuk didengar
dan ikut mengambil keputusan.9

Keempat prinsip di atas merupakan penegasan dari hak-hak anak yang diperoleh

berupa perlindungan anak oleh negara, dan juga peran serta pemerintah, masyarakat,

dan swasta dalam menjamin kehormatan hak-hak anak yang pada hakikatnya

perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan Nasional, karena

melindungi anak adalah melindungi manusia dan membangun manusia yang

seutuhnya.10 Hakekat pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak

berarti tidak memantapkan pembangunan Nasional, sehingga menimbulkan akibat


                                                            
9
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Op Cit, h.160 
10
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Op Cit, h.33
11 

tidak adanya perlindungan terhadap anak, dan dapat menimbulkan berbagai

permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,

keamanan dan pembangunan Nasional. 11

Muladi dalam pandangannya menulis di berbagai negara termasuk Indonesia

telah mencari upaya lain dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari

penjatuhan pidana penjara yang berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non-

institusional.12 Sesuai dengan tujuan aliran “social defence” yang hendak

menghilangkan bahaya terhadap masyarakat dengan mengadakan resosialisasi dari

pembuat. Karena hukum pidana dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk

“social defence” dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan

memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi

keseimbangan perorangan (pembuat) dan masyarakat. 13

Pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum bukan merupakan

jalan terbaik karena yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan mengingat

anak adalah masa depan bangsa. Menurut Herbert L.Packer dalam bukunya “The

Limits of the Criminal Sanction” menyatakan the three basic problems of substance

(asopposed to procedure) in the criminal law:

1. What conduct should be designated as criminal;


2. What determinations must be made before a person can be found to have
committed a criminal offense;
                                                            
11
Romli Atmasasmita, 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h.166
(selanjutnya disebut Romli Atmasasmita V) 
12
Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat,Alumni,Bandung, h.5 (selanjutnya disebut Muladi I)
13
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.58-59 (selanjutnya disebut
Sudarto V)
12 

3. What should be done with persons who are found to have committed criminal
offenses.14
(Diterjemahkan secara bebas: tiga masalah mendasar dari substansi dalam
hukum pidana: (1) tindakan apa yang bisa disebut sebagai tindak pidana, (2)
apa yang menentukan seseorang yang bisa disebut sebagai pelaku tindak
pidana; (3) apa yang harus dilakukan terhadap pelaku tindak pidana)

Pandangan Herbert L.Packer di atas, menurut A.Z.Abidin bahwa, dalam

melakukan pembaruan hukum pidana di Indonesia, harus mengetahui permasalahan

pokok di dalam hukum pidana, karena hukum pidana merupakan cermin suatu

masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu, bila nilai-

nilai itu berubah, maka hukum pidana juga berubah.15

Menurut penulis terhadap ke dua pandangan di atas, tentunya pemidanaan

terhadap anak jangan hanya dilihat dari pidananya sebagai tujuan utama, tetapi harus

dilihat manfaat dari pidana yang dijatuhkan, karena kejahatan itu merupakan

“masalah kemanusiaan” dan “masalah sosial” yang tidak dapat diatasi semata-mata

dengan hukum pidana. Oleh sebab itu, mengingat anak merupakan generasi penerus

bangsa yang ke depannya masih banyak harus dilakukan, Muladi mengutip The

Tokyo Rules Tahun 1990 yaitu Rule 8.2 huruf h bahwa:

Probation atau pidana pengawasan dalam pengertian modern yang mempunyai


arti sebagai suatu sistem yang berusaha mengadakan rehabilitasi terhadap orang
yang telah melakukan tindak pidana dengan mengembalikan ke masyarakat dalam
suatu periode pengawasan.16 Lebih lanjut dikatakan bahwa pidana pengawasan
merupakan upaya untuk menghindarkan atau melindungi pelaku tindak pidana
dari kemungkinan pengaruh buruk yang bisa terjadi bila ditempatkan di dalam
                                                            
14
Herbert L.Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press,
California, p.17
15
A.Z.Abidin, tanpa tahun, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramitha, Jakarta, h.iii
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,Bandung,
h.155 (selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief I)
13 

penjara, karena pelaku tetap diberi kesempatan untuk menjalani hidup dan
kehidupannya secara normal baik sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota
masyarakat dan warga negara dengan tetap berpijak pada konsistensi untuk
melaksanakan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak pengadilan.17

Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak dalam upaya melakukan pembaruan hukum pidananya

telah menentukan bentuk sanksi alternatif sebagai salah satu jenis pidana baru berupa

“pidana pengawasan” yang dirumuskan di dalam Pasal 71 dan termasuk salah satu

dari pidana pokok, dalam posisinya sebagai pidana dengan syarat. Begitu pula

dirumuskan dalam Pasal 77 ayat (1) yaitu “pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan

kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 paling

singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun”. Selanjutnya ayat (2)

dirumuskan “dalam hal anak dijatuhi pidana pengawasan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan

dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan”. Rumusan pidana pengawasan seperti

tersebut, walaupun dalam posisinya sebagai pidana pokok, tentu saja pidana

pengawasan bertujuan memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat KUHP Indonesia tidak

mengatur tentang pidana pengawasan, namun di dalam Rancangan KUHP Tahun

2012 telah diatur dalam Pasal 77-79. Hal ini sangatlah penting untuk dilakukan

mengingat sanksi atau pidana yang diancamkan dalam hukum pidana sifatnya sangat

                                                            
17
Ibid., h.156
14 

tajam, dan penggunaannya haruslah dibatasi dan harus dianggap sebagai ultimum

remidium, dalam arti hukum pidana harus digunakan apabila upaya dalam bidang

lainnya sudah tidak memadai.

Berlakunya pidana pengawasan merupakan jenis pidana baru, yang dapat

memberikan fleksibilitas lebih besar kepada hakim dalam menjatuhkan pidana sesuai

dengan berat ringannya tindak pidana, serta berdasarkan latar belakang anak

melakukan tindak pidana, agar tercapai suatu kemanfaatan dalam upaya memberikan

perlindungan terhadap anak. Karena dalam penetapan sanksi melalui pembentukan

peraturan perundang-undangan, hendaknya bersifat terpadu dengan memahami secara

komprehensif masalah penalisasi dan depenalisasi, kriminalisasi dan

dekriminalisasi.18 Hal semacam ini dipandang perlu dijadikan perhatian khusus

karena dalam penal policy harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya

tujuan dari kebijakan sosial yang berupa “social welfare” dan “social defence”.19

Sesungguhnya melalui pidana pengawasan kedua aspek dari tujuan pemidanaan

yaitu social welfare” dan “social defence” dalam arti mensejahterakan masyarakat

dan melindungi masyarakat dapat tercapai. Karena melalui pidana pengawasan,

terpenuhi upaya pemerintah menyelamatkan masa depan anak, mengingat pelaku

tindak pidana dengan kriteria tertentu (perbuatan dan keadaannya) diputuskan untuk

                                                            
18
M.Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana(Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya) P.T.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.5. Depenalisasi adalah menghilangkan
ancaman pidana dari suatu perbuatan yang semula dilarang, tetapi memungkinkan diganti dengan
sanksi lain (administrasi). Dekriminalisasi adalah menghilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya
suatu perbuatan yang semula diancam pidana.
19
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.73. (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief VII) 
15 

dikembalikan pada masyarakat dengan pengawasan, bantuan, dukungan dan

bimbingan dari pejabat pengawas untuk menjadikan manusia yang baik dan berguna

bagi masyarakatnya. Ada upaya guna menghindari atau melindungi pelaku tindak

pidana tersebut dari kemungkinan pengaruh buruk yang bisa terjadi bila ditempatkan

di dalam penjara.20Terutama dalam bentuk gangguan terhadap kehidupan sosial yang

normal, yang dapat menambah kesulitan bagi pelaku tindak pidana dalam

penyesuaian diri kepada masyarakat serta keluarganya bahkan dapat menimbulkan

residivis. Sesuai dengan rumusan yang termuat di dalam Rules 17.1 huruf c dari The

Beijing Rules yaitu:

Sedapat mungkin anak yang berkonflik dengan hukum dipertimbangkan untuk


tidak dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan namun diberi sanksi lain yang
lebih tepat, mengingat anak adalah individu yang masih belum matang baik
secara fisik, sosial maupun psikis. Disamping itu juga agar mental spiritual anak
lebih terdidik sehingga perilaku yang menyimpang menjadi lebih baik. 21

Rumusan The Beijing Rules di atas, sesuai dengan tujuan diberlakukan pidana

pengawasan karena dalam penjatuhan pidana pengawasan pelaku masih diberikan

kesempatan untuk memperbaiki dirinya melalui reedukasi, resosialisasi, dan

reintegrasi. Bilamana penulis bandingkan dengan sistem pemidanaan di Inggris, yang

diatur dalam 2 (dua) fase yaitu:

Fase 1 (pertama) terhadap pelaku tindak pidana tidak dijatuhkan pidana dengan
ditentukan masa percobaan yang dalam prakteknya dilakukan pengawasan oleh
pejabat pengawas dalam rangka pembinaan.
Fase 2 (kedua) apabila dalam masa percobaan melakukan pelanggaran terhadap
syarat-syarat yang telah ditentukan/tindak pidana maka si pelaku dihadapkan ke
depan persidangan dan ditentukan pidananya. Jadi di sini terdapat penundaan
                                                            
20
Muladi, I, Op Cit, h.155
21
Nandang Sambas, Op.Cit., h.65
16 

penjatuhan pidana, karena hakim belum menjatuhkan keputusan jenis pidana


secara pasti, walaupun sipelaku tetap dinyatakan bersalah.22

Begitu pula yang berlaku di Portugal berdasarkan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Portugal yang sejak tahun 1982 telah mengenal prova, dengan meniru

model probation di negara Anglo Saxon. Pidana yang dimaksudkan adalah sebagai

alternative to the prison sentence including the suspended sentence, artinya bahwa

dalam probation putusan pemidanaan ditunda (the pronouncement of sentence is

postponed in the case of probation).23

Menurut Barda Nawawi Arief, dalam probation tidak ada pemidanaan yang

final, karena orang yang diberi probation direncanakan untuk dilakukan rehabilitasi

di bawah pengawasan dan bimbingan pekerja sosial yang terlatih untuk masa 1 (satu)

tahun sampai 3 (tiga) tahun.24 Sistem pemidanaan yang demikian menurut penulis

merupakan suatu penundaan hukuman terhadap anak yang telah melakukan tindak

pidana. Karena disamping bertujuan untuk menghindari adanya stigma terhadap anak,

juga ada kesan melindungi anak agar dapat menjalani kehidupannya secara normal

tanpa diasingkan dari lingkungan masyarakat.

Mencermati sistem pemidanaan yang berlaku di Inggris dan Portugal seperti

yang diuraikan di atas, nampaknya dalam probation ada penundaan penjatuhan

pidana terhadap pelaku, namun pengawasan tetap dilakukan dalam rangka melakukan

                                                            
22
Slamet Siswanto, 2012, Pidana Pengawasan dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Tesis,
Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponogoro, Semarang, h.102
23
Ibid., h.186
24
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.73 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV)
17 

pembinaan dan rehabilitasi. Jadi hakim belum menjatuhkan baik jenis pidananya

maupun lama pidana yang harus dijalankan. Berbeda halnya dengan rumusan Pasal

77 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang

tidak ada penundaan pidana, namun pidana sudah dijatuhkan berupa pengawasan

yang dilakukan oleh Penuntut Umum, sedangkan tempat dilakukan pengawasan tidak

ditentukan secara tegas dalam Pasal 77 tersebut.

Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

dalam Pasal 1 angka 20, 21 dan 22 telah disebutkan 3 (tiga) nama lembaga untuk

menempatkan anak yang telah melakukan tindak pidana yaitu:

1. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang disingkat LPKA adalah lembaga


atau tempat anak menjalani masa pidananya.
2. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang disingkat LPAS adalah tempat
sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung.
3. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang disingkat LPKS adalah
lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bagi anak.

Mencermati ketiga lembaga di atas, menurut penulis nampaknya penempatan

anak dalam pengawasan yang dimaksudkan dalam Pasal 77 tidak dapat dilakukan

dalam salah satu dari ketiga lembaga tersebut. Atas dasar itu, dipandang perlu untuk

merumuskan secara tegas tentang tempat dilakukan pengawasan terhadap anak, dan

agar tidak menimbulkan traumatik pada anak, bentuk-bentuk lembaga seperti tersebut

harus segera dirubah, disesuaikan dengan tujuannya yaitu memulihkan mental anak

yang telah mengalami gangguan mental. Karena menurut Sudarto “pidana

pengawasan disamping untuk melindungi masyarakat, juga sebagai rehabilitasi dan


18 

resosialisasi terhadap terpidana, bahkan bersifat spiritual sesuai dengan sila pertama

Pancasila”. 25

Persoalan secara yuridis dapat timbul karena, selama ini penjatuhan pidana

terhadap anak, nampaknya anak masih diposisikan sebagai objek, sehingga cenderung

merugikan anak. Peran hakim dalam hal ini lebih banyak dibandingkan dengan peran

penyidik dan penuntut umum, karena masih digunakan model keadilan retributif yang

lebih menonjolkan penghukuman, dan belum diatur tentang diversi yaitu model

keadilan restoratif yang berupa pengalihan perkara anak di luar jalur peradilan

formal. Akibat dari hal tersebut, model keadilan retributif di masyarakat belum

mampu memberikan perkembangan mental anak yang memadai, tapi justru

memberikan pengaruh buruk.

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan, terbukti penjatuhan

pidana penjara sangat merugikan anak sebagai terpidana karena secara kriminologis

penjatuhan pidana penjara dapat menimbulkan “cap/label” atau “stigma” jahat pada

diri anak walaupun mereka telah dibina dan telah menjalani proses sosialisasi yang

kemudian kembali ketengah-tengah masyarakat, tetapi stigma tersebut tetap

dibawanya. Proses integrasi seorang eks narapidana ke dalam lingkungan

masyarakatnya pada hakikatnya merupakan suatu proses alih budaya. Karena budaya

masyarakat yang selalu atau sering memberikan label kepada eks narapidana sebagai

orang jahat yang mengakibatkan pengisolasian oleh masyarakat. Keadaan yang

                                                            
25
Sudarto, 1974, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Suatu Dilema, BPHN, Jakarta, h.4
(selanjutnya disebut Sudarto I)
19 

demikian berakibat negatif terhadap bekas narapidana karena, mereka merasa terisolir

tidak mempunyai kesempatan atau fasilitas sebagai warga masyarakat yang telah

bertobat sebagaimana layaknya warga masyarakat yang lainnya. Hal tersebut sudah

tentu mengakibatkan terjadinya ketidak mampuan anak untuk melanjutkan

kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat.

Keadaan seperti itu tidak hanya dirasakan oleh para narapidana, tetapi adanya

anggapan atau pandangan masyarakat dalam implikasinya yang lebih jauh justru

perlu dievaluasi adalah apakah hal seperti itu merupakan kegagalan bagi pemerintah

Indonesia dalam upaya melakukan resosialisasi terhadap narapidana untuk kembali ke

tengah-tengah masyarakat. Tidaklah berlebihan apabila muncul kritikan di

masyarakat bahwa pidana penjara tidak dapat merubah perilaku anak untuk menjadi

lebih baik, bahkan terjadi sebaliknya yaitu anak menjadi lebih jahat setelah menjalani

pidana penjara. Wagiati Soetodjo dalam penelitiannya menulis bahwa:

Tidak jarang para narapidana anak selama menjalani masa pidananya di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Tangerang telah mengalami atau menghadapi adanya
tekanan-tekanan emosi dalam berhubungan dengan para petugas di Lapas. Dan
setiap petugas lapas dalam melakukan hubungan interaksi sosial dengan para
narapidana anak, disadari atau tidak petugas lapas telah menempatan mereka
sebagai anak pesakitan yang sedang menjalani masa hukumannya.26

Kondisi Bapas yang sekarang sudah melebih dari daya tampung (overloaded),

dibarengi dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang menyebabkan belum dapat

membuat anak untuk merasa jera dan belum dapat menjamin anak dapat berubah.

Karena dalam lembaga tersebut tidak ada masukan yang lebih terhadap mental

                                                            
26
Wagiati Soetodjo, Op Cit, h.127
20 

spiritual anak, sehingga terhadap anak dapat mengalami hambatan dalam proses

pemulihan untuk anak menjadi lebih baik karena lingkungan dari lembaga yang

kondusif.

Sesungguhnya di dalam Bapas mungkin saja anak yang baik, namun berkumpul

bersama, tidur bersama, beraktifitas bersama dengan terpidana yang memang orang

jahat baik watak maupun perilakunya sehingga anak dapat terpengaruh. Ada

pernyataan yang sudah lumrah terjadi yaitu bahwa Lembaga Pemasyarakatan

merupakan perguruan tinggi kejahatan atau disebut juga sebagai pabrik kejahatan.

Hal ini didasarkan pada suatu argumentasi bahwa orang tidak mungkin menjadi baik

tetapi justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman di Lembaga

Pemasyarakatan yang sekarang disebut Bapas.

Muladi dalam pendapatnya menulis, ada 2 (dua) pendekatan dalam upaya

mencarikan formulasi jenis pidana sebagai alternatif pengganti pidana penjara yaitu:

1. Pendekatan yang melihat dari alternatif pidana perampasan kemerdekaan


(penjara) sebagai alternatif sanction, yaitu sanksi yang dapat menggantikan
sanksi pidana penjara, dimana sanksi alternatif ini hanya dapat digunakan dan
diterima bilamana sanksi tersebut dapat melayani tujuan pemidanaan dan
pidana penjara dipandang memang tidak perlu digunakan;
2. Pendekatan yang menyatakan bahwa sanksi alternatif merupakan salah satu
upaya untuk mencapai tujuan dari pemidanaan dimana dengan pidana penjara
tujuan pemidanaan itu masih tidak dapat dicapai.27

Kedua pendekatan di atas tentunya untuk mencapai tujuan pidana dan

pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, tetapi

                                                            
27
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas Dipongoro, Semarang, Tanggal 24 Februari 1990, h.3
21 

sudah mengarah pada upaya perbaikan-perbaikan kearah yang lebih manusiawi. Akan

tetapi justru pidana penjara yang dijatuhkan menimbulkan persoalan filosofis karena

bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila khususnya sila

ke-2 “kemanusiaan”, karena menurut penulis anak sebagai anak bangsa masih

membutuhkan bimbingan dan pembinaan dari orang tuanya, anak-anak tanpa

pengasuhan orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin memerlukan pilihan-

pilihan lain selain tinggal di lembaga pengasuhan anak untuk dapat tumbuh dalam

lingkungan yang melindungi dan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Karena

disuatu saat anak-anak tersebut dapat berguna bagi keluarganya, masyarakat dan

bangsanya.

Penjatuhan pidana penjara sudah tidak dapat diterima oleh masyarakat, karena

pada kenyataannya tidak dapat merubah perilaku anak yang melakukan tindak pidana

baik pada waktu anak masih dalam penjara maupun setelah ke luar dari penjara,

disamping itu juga, penjatuhan pidana penjara justru tidak menyebabkan menurunnya

jumlah tindka pidana yang dilakukan oleh anak. Secara sosiologis, tercatat di

Lembaga Pemasyarakatan sebanyak 6.717 kasus, dari jumlah tersebut kasus karena

pencurian cukup tinggi yaitu 4.211, dilanjutkan dengan kasus penganiayaan 663,

kasus karena narkoba 548, kekerasan dalam rumah tangga 544, kasus perjudian 239,

dan ketertiban umum 163, bahkan tercatat kasus kesusilaan 353.28 Dan catatan dari

Direktorat Jendral Pemasyarakatan bahwa diperkirakan kurang lebih 5.000 anak

                                                            
28
Asrorun Ni’am Sholeh, Media Digital, Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak, Seminar
Internasional, Jakarta, h.39
22 

dipenjarakan, baik dalam waktu menunggu pengadilan atau sedang menjalani

hukuman mereka. Banyak anak dipenjara karena kejahatan kecil dan pelanggaran-

pelanggaran ringan, seperti pencurian, pergelandangan, pembolosan, atau

penyalahgunaan obat. 29

Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang disingkat

KPAI, yang penulis kutip tentang kasus kriminalitas anak sampai tahun 2014 tercatat

anak sebagai korban 53 %, anak sebagai pelaku 43 %, dan anak sebagai saksi 2%,

serta anak dalam proses peradilan 2 %.30 Catatan dari Komnas Perlindungan Anak

sampai pertengahan tahun 2014, terdapat 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak,

sedangkan catatan dari Polri tahun 2014 mencatat ada 697 kasus. Dari data tersebut

jumlah anak sebagai korban mencapai 859 orang.31 Sedangkan jumlah anak yang

berstatus sebagai narapidana adalah 3.282 orang dan sebagai tahanan 2.025 orang

yang sebagian besar dilakukan oleh anak laki-laki, dengan usia 13-18 tahun, bahkan

ada yang sampai di bawah 10 tahun, yang pendidikannya SD 30 %, SMP 64 % dan

SMA 6 %. 32

Catatan tersebut tentunya telah menunjukkan bahwa penjatuhan pidana penjara

sudah tidak efektif, menurut Barda Nawawi Arief:

                                                            
29
UNICEF Indonesia, 2012, Kajian Perlindungan Anak Berbasis Sistem, http/www.goegle.com,
diakses terakhir 12 April 2015 
30
Erlinda, Upaya Peningkatan Anak dari Bahaya Kekerasan, Pelecehan dan Eksploitasi, Jurnal
KPAI, diakses web.kominfo.go.id, 17 Januari 2014
31
Davit Setyawan, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, Jurnal KPAI, terbitan 15 Agustus
2014, h.6, diakses www.kpai.go.id, 28 April 2015
32
 Apong Herlina, 2013, Peran KPAI dalam Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi SPPA, Jurnal,  
h.13 
23 

Jika dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat, maka suatu
pidana dapat dikatakan efektif jika pidana tersebut sejauh mungkin dapat
mencegah atau mengurangi kejahatan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada
seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara
dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan
kejahatan.33 Karena dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh sebuah
gambaran umum bahwa pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling
banyak dijatuhkan oleh hakim dibandingkan dengan jenis pidana lainnya. Di sisi
lainnya, kejahatan terus saja meningkat pesat. Sehingga tidak ada pengaruh
pencegahan atau setidaknya tidak ada korelasi antara banyaknya pidana penjara
yang dijatuhkan dengan menurunya jumlah kejahatan. 34

Gambaran persoalan di atas, tentunya dapat mempengaruhi upaya kebijakan

pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum, tentunya yang diharapkan lebih bersifat substansi melalui kebijakan

formulasi yang lebih memberikan manfaat dalam penjatuhan pidananya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis dapat merumuskan 3 (tiga)

rumusan masalah antara lain:

1. Apa dasar pemikiran pembentuk Undang-Undang mencantumkan pidana

pengawasan di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Bagaimana pengaturan pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum dari perspektif ius constitutum?

                                                            
33
Barda Nawawai Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Group, Jakarta, h.214 (selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief XII)
34
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
CV.Ananta, Semarang, h.106-107 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III)
24 

3. Bagaimana sebaiknya formulasi sistem pidana pengawasan terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum dari perspektif ius constituendum?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian yang penulis laksanakan agar memiliki arah yang jelas, juga dapat

memecahkan masalah yang dirumuskan, maka dapat ditentukan tujuan dari penelitian

ini yaitu:

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran

terhadap ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana dalam kaitannya dengan

kebijakan formulasi pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum, agar tercapai perlindungan terhadap hak-hak anak setelah menerima

penetapan putusan hakim.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk memperoleh kejelasan dan menganalisis secara mendalam dasar

pemikiran dari pembentuk undang-undang mencantumkan pidana

pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di dalam Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Untuk menganalisis secara mendalam pengaturan pidana pengawasan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dari perspektif ius constitutum.

3.Untuk menggali dan menganalisis secara mendalam,serta memformulasikan

pengaturan pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan


25 

hukum untuk dapat dijadikan sebagai pedoman di dalam penjatuhan pidana

pengawasan dari perspektif ius constituendum.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis.

1.4.1.Manfaat Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

dengan memberikan masukan terhadap hukum pidana formil dalam kaitan

kebijakan formulasi pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum, sehingga dapat dipakai sebagai tambahan khasanah

referensi oleh hakim dalam menjatuhkan pidana.

1.4.2.Manfaat Secara Praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat untuk memberikan masukan terhadap para penegak hukum

dan juga pihak yang berkompeten dalam rangka memberikan jaminan

perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, khususnya

memformulasikam pidana pengawasan yang diatur di dalam Pasal 77

Undang-Undang No.11 Tahun 2011 agar penjatuhan pidananya lebih

efektif. Disamping juga sebagai masukan bagi para pihak yang tertarik

untuk meneliti pada bidang yang sama.


26 

1.5. Orisinalitas Penelitian/Penelitian yang Relevan

Berkaitan dengan orisinalitas penelitian, perlu diingat bahwa pada prinsipnya

tidak ada sesuatu yang benar-benar baru, sebagaimana diungkapkan oleh Terry

Hutchinson bahwa:

Many law students are concerned about the degree of originality required in their
research project, especially at postgraduate level. It seems much easier for a
science student to discover new facts, than for a law student to came up with a
wholly original argument about law, after all, lawyers raw materials tend to be
written already-legislation and case law.
For this reason, it is timely to remind yourself that there really is nothing new
under the sun…..We all depand on others to some extend for what we do achieve,
and how we conceive legal realitis. So saying, it is possible to delve deeper and
expand on what exist already, to re-read and re-interpret existing sources, and
thus to say something nes, or at least to put it in a deffernt way. 35
(Diterjemahkan secara bebas: kebanyakan atau pada umumnya mahasiswa hukum
konsentrasi pada keaslian atau orisinalitas yang diwajibkan dalam proyek
penelitian mereka, khususnya di level postgraduate (master atau doctor). Itu
telihat lebih mudah bagi mahasiswa ilmu pasti/science untuk menemukan fakta-
fakta baru, daripada mahasiswa hukum untuk memunculkan sebuah argumentasi
yang benar-benar baru mengenai hukum, selebihnya produk hukum yang
dihasilkan seorang sarjana hukum selanjutnya telah harus dituliskan dalam bentuk
kasus hukum dan aturan.
Untuk alasan ini, saatnya untuk mengingatkan diri kita bahwa disana tidak ada
sesuatu yang baru di bawah matahari….. kita semua bergantung dengan yang lain
untuk beberapa kemampuan yang kita hendak lakukan, dan bagaimana
merumuskan pemikiran hukumrealistis. Jadi dapat dikatakan ini sangat mungkin
untuk mencari atau menemukan sesuatu secara mendalam dan mengelaborasinya
secara lebih luas mengenai apa yangtelah ada, untuk membaca ulang dan
menginterpretasikan ulang bahan-bahan yang telah ada, dan itu untuk disebutkan
sebagai suatu kondisi atau paling tidak untuk meletakkannya dengan cara yang
berbeda).

Menurut penulis paparan orisinalitas penelitian diperlukan untuk menunjukkan

tingkat keorisinilan atau keaslian dari penelitian yang dilakukan dan juga sekaligus

dapat menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dari penelitian yang lain walaupun


                                                            
35
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, Sydney, h.127 
27 

obyek kajiannya sejenis, sama atau agak sama, namun dapat menunjukkan tingkat

perbedaan dari penelitian yang penulis lakukan.

Penelitian yang penulis lakukan tentang kebijakan formulasi tentang pidana

pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, berdasarkan hasil

penelusuran penulis terhadap beberapa penelitian terdahulu yang telah ada,

nampaknya penelitian yang penulis lakukan belum ada yang melakukan di Indonesia.

Beberapa penelitian yang sudah ada mengkaji tentang perlindungan anak,

seperti hasil penelitian disertasi dari Nurini Aprilianda dengan judul “Diversi Dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya Pencegahan Stigmatisasi Anak” Dalam

disertasi tersebut menitik beratkan pada stigmatisasi yang berlangsung dari tingkat

penyidikan, penuntuttan, persidangan di pengadilan hingga di tempat pembinan, yang

merugikan perkembangan jiwa anak sebagai pelaku tindak pidana di masa

mendatang, dan anak meneruskan perbuatan yang menyimpang dan melanggar

hukum.36 Sehingga melalui diversi maka anak yang telah melakukan tindak pidana

dapat terhindar dari status stigmatisasi.

Hasil penelitian disertasi yang dihasilkan oleh Eva Achjani Zulfa dengan judul

“Keadilan Restoratif di Indonesia (studi tentang kemungkinan penerapan pendekatan

Keadilan Restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana)”dalam penelitian ini

dipahami dari keberadaan Keadilan Restoratif yang dapat dipakai dalam penyelesaian

suatu tindak pidana. Merupakan alternatif jawaban atas sejumlah masalah yang
                                                            
36
Nurini Aprilianda, 2011, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya
Pencegahan Stigmatisasi Anak, (disertasi), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, h.269
28 

dihadapi dalam sistem peradilan pidana, seperti, proses administrasi peradilan yang

sulit, lama, dan mahal, penumpukan perkara atau putusan pengadilan yang tidak

menampung kepentingan korban.37

Penelitian Disertasi yang dilakukan Supriyanta yang berjudul “Sistem Peradilan

Pidana Anak Harus Mampu Membangun Citra sebagai Sebuah Sistem Peradilan

Pidana Anak yang Beradab”. Dalam penelitiannya Supriyanta menemukan model

yang bernama “family and community group conference”, yaitu keterlibatan dan

partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana yaitu tidak hanya melibatkan

korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku, dan warga masyarakat

lainnya, pejabat tertentu, dan para pendukung korban. Bahkan hasil penelitian yang

dilakukan dengan menitik beratkan pada pentingnya peran psikologi, dengan

memahami anak berdasarkan usia dan tahapan perkembangannya yang berpengaruh

dalam pemberian sanksi.38

Penelitian disertasi yang dilakukan Abiantoro Prakoso yang berjudul “Diskresi

Pada tahap Penyidikan Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Bagi Anak Nakal”.

Dalam penelitiannya Abiantoro Prakoso menemukan syarat-syarat yang diperlukan

untuk melakukan diskresi terhadap anak nakal, yaitu diantaranya mengutamakan

kepentingan anak, pelaku berumur 12 sampai 18 tahun, bukan recidivis, oelaku

                                                            
37
Eva Achjani Zukfa, 2009, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan
Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), (disertasi),
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.367
38
Supriyanta, 2012, Sistem Peradilan Pidana Anak Harus Mampu Membangun Citra sebagai
Sebuah Sistem Peradilan Pidana Anak yang Beradab, (disertasi), http://kontak.staff.uns.ac.id, diakses
terakhir 21 Februari 2014 
29 

mengakui kesalahannya, korban bersedia memaafkan dan bersedia menerima ganti

kerugian yang diderita, serta pelaku bersedia meminta maaf.39

Penelitian disertasi yang dilakukan Elfina Lebrine Sahetapy yang berjudul

“Kebijakan Kriminal Sebagai Sarana Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana

Perdagangan Orang”. Dalam penelitiannya Elfina, bahwa dalam rangka memberikan

perlindungan hukum terhadap anak, maka formulasi pengaturan pemenuhan hak-hak

anak harus dirumuskan secara jelas dan tegas sehingga menjadi salah satu faktor

penting untuk memberikan kepastian hukum serta penegakan hukum untuk

memberikan perlindungan bagi anak.40

Sementara dalam penelitian yang penulis lakukan menitik beratkan pada pidana

pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, karena di dalam Pasal 77

Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

nampaknya perumusan norma dari pidana pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut

Umum masih belum jelas dan terinci. Akibat dari itu, terjadi kekaburan di dalam

menginterpretasikan. Perumusan norma seperti itu dipandang penditng di dalam

melindungi hak-hak anak sebagai pelaku kejahatan. Berdasarkan atas uraian tersebut,

menurut pengamatan penulis belum ada penelitian tentang penjatuhan pidana

pengawasan terhadap anak yang melakukan kejahatan,sehingga dapat dikatakan

                                                            
39
 Abiantoro Prakoso, 2010, Diskresi Pada Tahap Penyidikan Dalam Mewujudkan Perlindungan
Hukum Bagi Anak Nakal, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Brawijaya,
Malang. 
40
Elfina Lebrine Sahetapy, 2009, Kebijakan Kriminal Sebagai Sarana Perlindungan Hukum
Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang
30 

penelitian ini memiliki keaslian atau orisinalitas yang belum pernah dilakukan oleh

orang lain.

1.6. Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang dimaksudkan di sini meliputi asas-asas hukum, konsep

hukum, doktrin, yurisprudensi yang terkait dengan pidana pengawasan terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum.

Perlunya memahami asas hukum karena di dalamnya terkandung prinsip-prinsip

antara lain:

1. Asas hukum merupakan fikiran-fikiran yang memberi arah, yang menjadi dasar
kepada tata hukum yang ada;
2. Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka
ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;
3. Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan maupun
yurisprudensi;
4. Asas hukum tidak bersifat transedental atau melampaui alam kenyataan yang
dapat disaksikan oleh pancaindra;
5. Asas hukum berkedudukan relatif dan melandasi fungsi pengendalian
masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;
6. Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan, penemuan
dan pelaksanaan hukum;
7. Asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-
pejabat penguasa, sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya
dalam hukum positif. 41

Paul Scholten dalam pandangannya yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo menulis

bahwa “asas hukum bukan merupakan peraturan, akan tetapi hukum tidak dapat

dipahami dengan baik tanpa asas-asas, karena asas hukum merupakan arah yang

datang dari putusan moral yang ditanamkan dalam hukum berupa pernyataan umum
                                                            
41
Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Diponogoro, Semarang, h.144 (selanjutnya disebut Muladi III)
31 

yang tidak dapat diabaikan. Mengingat dengan adanya asas hukum menyebabkan

suatu peraturan perundang-undangan lebih berkualitas”.42

Bambang Poernomo dalam pendapatnya “dengan mengenal, menghubungkan,

dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif, itu berarti menjalankan hukum

secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang

ditetapkan dalam politik hukum pidana”. 43

Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana baik materiil maupun formil,

berlakunya asas di pandang penting untuk diketahui, karena dengan asas membuat

hubungan dan susunan hukum pidana dapat berlaku, demikian pula dengan asas dapat

dipergunakan memecahkan suatu kasus yang terjadi.

Fuller telah menentukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi dalam

menentukan hukum yaitu:

1. Law system contains of rules, not only based on a verdict about particular
things;
2. The rule must be publish to public;
3. Unretroactive, it will break the integrity of a system;
4. Makes on commonly understood form;
5. Should not be conflict with another rule;
6. Should not require an act that exceeds what can be done;
7. Should not be frequently changed;
8. The rule should compability with the daily implementation.)44
(Diterjemahkan secara bebas:
1. Bahwa sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;

                                                            
42
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h.128 (selanjutnya
disebut Satjipto Rahardjo II)
43
Bambang Pornomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, h.56
(selanjutnya disebut Bambang Pornomo III) 
44
Lon L Fuller, 1971, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven.
32 

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;


3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pandangan Lon L.Fuller di atas menegaskan bahwa kepastian hukum

merupakan dasar untuk dapat menjaga dan menjamin keselamatan setiap individu,

sehingga penggunaan asas menjadi ukuran legitimasi dalam prosedur pembentukan,


45
penemuan dan pelaksanaan hukum. Sehingga menurut Paton fungsi dari asas

hukum adalah “a principle is the broad reasen which lies at the base of a rule of law,

it has not exhausted itself in giving birth to that particular rule but is fertile. Principle

the means by which the law lives, grows, and develops, demonstrate that law is not

mere collection of rules” (Terjemahan secara bebas: suatu prinsip merupakan alasan

yang menjadi dasar dari aturan suatu hukum, hal ini tidak akan menyia-nyiakan

dirinya dengan melahirkan aturan tertentu yang tidak dapat berlaku. Suatu prinsip

akan berarti, bilamana ada hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang, yang dapat

menunjukkan bahwa hukum bukan semata hanya sekumpulan peraturan).46

Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana materiil, di dalam perumusan

perbuatan yang dilarang (kriminalisasi) ada 3 (tiga) permasalahan pokok yang terkait,

diantaranya asas legalitas, pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang

                                                            
45
Sudarto V, Op Cit, h.11
46
G.W. Paton, 1964, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford Univ Press,London, h.204
33 

 
47
diancamkan baik pidana maupun tindakan. Untuk membahas ketiga permasalahan

tersebut, dipandang perlu untuk memahami pengertian konsep terlebih dahulu.

Karena kata konsep dalam bahasa Latinnya “conception” yang dapat berarti

pengertian merupakan hal yang dimengerti, dan sesungguhnya pengertian bukanlah

definisi yang dalam bahasa Latinnya”definitio” yang berarti perumusan yang pada

hakekatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian. 48

Soetandyo Wignjosoebroto memandang hukum adalah sebuah konsep, dan

tidak ada konsep tunggal mengenai apa yang disebut dengan “hukum”. Sehingga ada

5 (lima) konsep hukum yang dikemukakan:

1. Hukum adalah asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan
menjadi bagian inheren sistem hukum alam;
2. Hukum menurut konsepnya adalah kaidah positip yang berlaku umum in
abstracto pada suatu waktu tertentu dan di suatu wiliayah tertentu, dan tersebut
sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang
berlegitimasi, yang lebih dikenal sebagai hukum nasional atau hukum negara;
3. Hukum adalah keputusan-keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam
proses-proses peradilan sebagai bagian dari upaya hakim dalam menyelesaikan
kasus atau perkara, yang kemungkinan juga berlaku sebagai preseden untuk
menyelesaikan perkara-prkara berikutnya;
4. Hukum adalah institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem
kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses pemulihan ketertiban dan
penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan
pola-pola perilaku yang baru;
5. Hukum adalah makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasi dan tersimak
dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat.49

                                                            
47
Muladi III, Loc. Cit
48
Soerjono Soekanto, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.6 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto IV)
49
Soetandyo Wignyosoebroto, 2008, Keragaman dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode
Penelitiannya, h.1 (selanjutnya disebut Soetandyo Wignyosoebroto, II)
34 

Pandangan John Chipman Gray dalam bukunya The Rule Egain Perpetuities

tentang konsep hukum yang dikutip oleh Achmad Ali bahwa:

a. Hukum dipandang sebagai “the commands of the sovereign” yaitu perintah-


perintah dari pemegang kedaulatan. Hal tersebut didasarkan pada pandangan
John Austin yang mengakui “hukum positif” sebagai satu-satunya hukum, yang
dapat ditemukan pada setiap komunitas manapun dan dibuat oleh pemegang
kedaulatan atau negara;
b. Hukum dari sifatnya adalah sebagai apa yang diputuskan oleh pengadilan,
merupakan suatu kebenaran, yang menerapkan kesadaran umum rakyat yang
telah ada sebelumnya. Hal tersebut didasarkan pada pandangan Von Savigny
yang mengindentikkan hukum sebagai volksrecht (hukum rakyat) sebagai
perwujudan dari volkgeist (jiwa rakyat) yang merupakan kesadaran umum
rakyat dan merupakan intuisi hidup dari rakyat;
c. Hukum dipandang sebagai “the Law is what the judges rule” yang memandang
hukum sebagai apa yang diputuskan oleh hakim. Pandangannya didasarkan
pada pendapatnya James C.Carter yang memandang hakim adalah yang
menemukan hukum, tidak menciptakan hukum.50

Antony Allott dalam pandangannya bahwa, hukum ditetapkan oleh suatu

otoritas yang berwenang dan sah di dalam suatu komunitas, yang memiliki posisi

yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan, karena suatu sistem hukum tidak

hanya mencakupi norma-norma belaka, melainkan juga institusi bersama fasilitas

yang dimilikinya serta proses yang dilakoni oleh institusi hukum tersebut. 51

Dua konsep hukum di atas selanjutnya penulis dapat gunakan untuk menjawab

segala persoalan hukum yang penulis angkat dalam disertasi tentang kebijakan

formulasi pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Seperti

konsep yang dikemukakan oleh Soetandyo dalam konsepnya yang kedua yaitu kaidah

                                                            
50
John Chipman Gray, 2005, p.82, terjemahan Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.399-403
51
Ibid., h.403-404
35 

positip yang berlaku umum pada waktu dan wilayah tertentu, yang diwujudkan dalam

perintah-perintah yang eksplisit dari sumber kekuasaan politik tertentu yang

berlegitimasi, dan terumus secara jelas untuk mencapai kepastian hukumnya.

Selanjutnya konsep hukum lainnya yang dapat digunakan yaitu pandangan John

Austin yang mengakui “hukum positif” sebagai satu-satunya hukum yang dapat

dipakai sebagai dasar untuk menentukan penjatuhan pidana pengawasan terhadap

anak yang melakukan tindak pidana, karena dibuat oleh lembaga negara yang

berwenang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat melalui Undang-Undang No.11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sehingga konsep hukum tentang

penjatuhan pidana pengawasan yang diatur di dalam Pasal 71 dan Pasal 77 memiliki

legitimasi di dalam penjatuhan sanksi terhadap anak. Karena secara jelas ditentukan

di dalam Pasal 71 bahwa penjatuhan pidana pengawasan termasuk pidana pokok, dan

di dalam ayat (1) huruf b dirumuskan sebagai salah satu dari pidana bersyarat setelah

pembinaan di luar lembaga dan pelayanan masyarakat. Dan pelaksanaan pidana

pengawasan dapat dilakukan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua)

tahun, yang dilakukan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh

Pembimbing Kemasyarakatan.
36 

1.7. Kerangka Berfikir/Desain Penelitian


Bagan 1 (satu)

Latar Belakang Rumusan Masalah Kerangka Metoda Penelitian


Masalah Teoritik

1. Apa dasar  1. Jenis Penelitian: Hukum 
1. Persoalan
pemikiran  Normatif  (karena terjadi 
Filosofinya
pembentuk  norma kabur) 
Penjatuhan pidana Teori Utilitas
penjara terhadap undang‐undang  2. Jenis Pendekatan: 
anak bertentangan mencantumkan  pendekatan Undang‐
dengan nilai-nilai pidana pengawasan  Undang, pendekatan 
Pancasila (sila ke- di dalam SPPA?  konsep, pendekatan 
II), UUD 1945, 2. Bagaimana  perbandingan 
Prinsip-prinsip pengaturan pidana  Teori Keadilan, 3. Sumber bahan hukum: 
HAM pengawasan  Teori bahan hukum primer dan 
2. Persoalan terhadap anak yang  Pengawasan, sekunder 
Yuridisnya: berkonflik dengan  4. Teknik pengumpulan bahan 
Penjatuhan pidana hukum dari  hukum: dokumentasi dan 
penjara terhadap perspektif ius  wawancara  
anak bertentangan constitutum ? 
Teori 5. Teknik analisa bahan hukum: 
dengan peraturan
3. Bagaimana   preskriptif, avaluatif, 
perundang- Individualisasi
sebaiknya formulasi  argumentatif, dan 
undangan yang Pidana,
sistem pidana  interpretatif baik secara 
berlaku. Teori Psikologi
pengawasan  kreatif maupun ekstensif. 
3. Persoalan Anak.
Teoritisnya : terhadap anak yang 
Penjatuhan pidana berkonflik dengan 
penjara secara hukum dari 
kriminologis perspektif   ius 
menimbulkan constituendum?
stigma/labelisasi
4. Persoalan
Sosiologisnya:
Jumlah anak yang Hasil Penelitian
berkonflik dengan
hukum semakin
meningkat, Kesimpulan dan Rekomendasi
masyarakat
kehilangan
kepercayaan
terhadap fungsi
pidana penjara.
37 

Penjelasan Kerangka Berpikir


Kerangka berpikir merupakan suatu rancangan atau rencana yang dibuat oleh
penulis untuk menentukan tahap-tahap dalam pelaksanaan penelitian dengan beranjak
dari latar belakang sampai menghasilkan serangkaian jawaban dari permasalahan
yang diangkat. Adapun rumusan atau isu hukum dalam penelitian disertasi ini dilatar
belakangi dari pandangan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Karena anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan
negara, dan negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua wajib untuk
memebrikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi sesuai dengan tugas
dan tanggungjawabnya.
Namun kenyataannya yang terjadi di masyarakat, masih terjadi penjatuhan
pidana penjara terhadap anak yang melakukan tindak pidana atau yang berkonflik
dengan hukum. Sehingga keadaan tersebut menimbulkan persoalan hukum baik
filosofis, yuridis, teoritis dan sosiologis. Persoalan filosofis terjadi oleh karena anak
yang dipenjara bertentangan dengan nilai-nilai dari Pancasila khususnya sila ke-II
yaitu “kemanusiaan”, dan nilai-nilai keadilan. Persoalan yuridisnya penjatuhan
pidana penjara bertentangan dengan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak,
The Beijing Rules, The Riyadh Guidelines, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945, Undang-Undang Republik Indonesia No.35 Tahun 2014, Undang-
Undang No.39 Tahun 1999, Undang-Undang Republik Indonesia, No.4 Tahun 1979,
Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 1995. Persoalan teoritisnya terjadi
bahwa penjatuhan pidana penjara secara kriminologis menimbulkan stigma atau
labelisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, selanjutnya persoalan
sosiologisnya terjadi oleh karena jumlah anak yang melakukan tindak pidana semakin
meningkat.
Berdasarkan persoalan hukum tersebut, sehingga dipandang penting untuk
dilakukan penelitian secara mendalam dengan mempertimbangkan persoalan-
38 

persoalan hukum secara filosofis, yuridis, teoritis, dan sosiologis. Untuk itu
diperlukan pemahaman secara mendalam terhadap adanya 3 (tiga) masalah atau fokus
penelitian yang meliputi: (1). Apa dasar pemikiran pembentuk undang-undang
mencantumkan pidana pengawasan di dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012?;
(2) Bagaimana pengaturan pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum dari perspektif ius constitutum?; (3) Bagaimana sebaiknya formulasi sistem
pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dari perspektif ius
constitutuendum?.
Untuk memahami ketiga rumusan masalah tersebut, maka dilakukan penelitian
hukum normatif dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penulismelalui
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative
approach),mengumpulkan bahan-bahan hukum yang disesuaikan dengan rumusan
masalah,
Selanjutnya hasil dari bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul, dianalisis
dengan menggunakan kajian-kajian pustaka, juga teori-teori yang sudah dipilih
sebagai pisau analisis diantaranya Teori Utilitas untuk menganalisis masalah pertama,
Teori Keadilan dan Teoi Pengawasan untuk menganalisis masalah kedua, Teori
Individualisasi Pidana dan Teori Psychologi Anak untuk menganalisis masalah
ketiga.
Selanjutnya bahan-bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer
yang berupa Undang-Undang yang terkait dengan anak, dan juga bahan hukum
sekunder, yang penulis kumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi.
Setelah bahan hukum terkumpul, maka peneliti analisa dengan menggunakan teknik
analisa preskriptif, evaluatif, argumentatif, serta interpretatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, diperoleh suatu
pemecahan masalah untuk selanjutnya dapat dirumuskan dalam kesimpulan, yang
nantinya dapat dijadikan dasar dalam memberikan rekomendasi untuk menanggulangi
39 

serta untuk meminimalkan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum melalui
penjatuhan pidana pengawasan.

1.8.Metode Penelitian
1.8.1.Jenis Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi, karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.52Kata penelitian sebenarnya

merupakan terjemahan dari istilah “research” yang di negeri Belanda digunakan

secara umum sekitar tahun 1930-an. Semula pengertian research hanya digunakan

untuk penelitian di bidang teknik dan ilmu alam. Kemudian istilah research juga

mulai digunakan dalam bidang ekonomi, ilmu-ilmu sosial dan terakhir dalam ilmu

hukum serta ilmu politik.53

Penelitian di dalam ilmu hukum yang menggunakan obyek berupa norma

(hukum),metode penelitiannya dapat dilakukan melalui proses menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi,54atau dapat juga disebut sebagai suatu penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya,

dengan logika keilmuan yang objeknya hukum itu sendiri.55

                                                            
52
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, h.1 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III)
53
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-28,
Alumni, Bandung, h.96
54
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.35
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III)
55
Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia
Publishing, Malang, h.57
40 

Seringkali pada penelitian hukum normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku

manusia yang dianggap pantas.56Demikian juga dapat disebut sebagai penelitian yang

mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,

perbandingan, namun tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.57

Penelitian tentang pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum tergolong dalam penelitian hukum normatif, karena berupa norma hukum

positif tertulis bentukan lembaga-lembaga perundang-undangan (Undang-Undang

Dasar, Kodifikasi, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990), dan norma hukum

tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis

buatan pihak-pihak yang berkepentingan (dokumen hukum, laporan hukum, catatan

hukum, dan rancangan undang-undang).58Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian

hukum normatif disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumentasi,59 karena

fokus kajian hukumnya adalah inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin

                                                            
56
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.118
57
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.101
58
Ibid, h.52
59
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta, h.13
41 

hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, serta taraf

sinkronisasi hukum.60

1.8.2.Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian disesuaikan dengan jenis

penelitian yang dilakukan,61Di dalam penelitian hukum, pendekatan-pendekatan yang

digunakan dapat berupa pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan

kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

komperatif (comperative approuach), dan pendekatan konseptual (conseptual

approuach).62 Oleh karena disertasi yang penulis bahas tentang kebijakan formulasi

tentang pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, yang

merupakan penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dipandang relevan

penulis gunakan untuk memecahkan permasalahan yang diangkat dalam disertasi ini

adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual

(conseptual approuach), dan pendekatan perbandingan (comperative approach).

(1) Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Digunakannya pendekatan ini karena penjatuhan pidana penjara terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum belum dapat menjamin perlindungan hak-hak anak

yang tertuang di dalam beberapa Undang-Undang tentang perlindungan anak. Peter

                                                            
60
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.83
61
Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan
ketiga,ed.Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.11
62
Peter Mahmud Marzuki, 2004, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h.93 (selanjutnya
disebut Peter Mahmud Marzuki I)
42 

Mahmud Marzuki dalam pendapatnya bahwa penelitian normatif adalah menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani,63Jadi isu hukum yang terjadi dalam disertasi ini adalah bahwa

hakim Indonesia dalam menjatuhkan pidana terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum lebih sering menggunakan pidana penjara dibandingkan dengan tindakan.

Keadaan tersebut tidak menurunkan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum,

namun justru semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Demikian pula

fungsi Lembaga Pemasyarakatan anak kurang mendukung dalam melaksanakan

pembinaan, sehingga tidak terjadi perubahan baik mental maupun moral setelah anak

mengakhiri hukumannya. Tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan Undang-

Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan maupun Undang-Undang No.11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(2) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Digunakannya pendekatan konsep dalam penelitian ini adalah untuk

menghindari kekosongan prinsip atau doktrin terkait dengan objek yang diteliti.

Walaupun penulis dapat merujuk prinsip-prinsip hukum yang dapat diketemukan

dalam pandangan-pandangan sarjana maupun dalam undang-undang, namun tidak

khusus sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Maka disini pentingnya suatu

konsep yang dibangun oleh seorang peneliti untuk dapat memecahkan permasalahan

dalam penelitian ini. Terkait dalam penelitian ini yaitu kebijakan formulasi pidana

                                                            
63
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h.93 (selanjutnya disebut
Peter Mahmud Marzuki II)
43 

pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, maka konsep yang dapat

dijelaskan lebih lanjut adalah konsep kebijakan hukum pidana, konsep pidana

pengawasan, konsep sistem peradilan pidana anak, konsep perlindungan hukum

terhadap anak.

(3) Pendekatan Perbandingan (Comperative Approach)

Menggunakan pendekatan perbandingan dalam penelitian ini untuk

mengadakan studi perbandingan hukum terkait dengan pidana pengawasan terhadap

anak. Mengingat pidana pengawasan merupakan sistem hukum yang baru diatur

dalam undang-undang, sehingga perlu untuk mencari suatu perbandingan hukum.

Menurut Van Apelddorn perbandingan hukum merupakan suatu ilmu bantu bagi ilmu

hukum dogmatik dalam arti bahwa untuk menimbang dan menilai aturan-aturan
64
hukum dan putusan-putusan pengadilan yang ada dengan sistem hukum lain.

Begitu juga menurut Getteridge perbandingan hukum merupakan suatu metode studi

dan penelitian hukum.65Oleh sebab itu pendekatan ini digunakan untuk memahami

pidana pengawasan terhadap anak yang berlaku di beberapa negara yang telah

melaksanakan pidana pengawasan. Adapun negara-negara yang dimaksud adalah

Portugal, Jepang, Malaysia, dan Polandia. Sehingga melalui pendekatan

perbandingan yang dilakukandapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan

kedua sistem hukum itu. Persamaan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang

                                                            
64
Ibid, h.173
65
Ibid.
44 

diselidiki, sedangkan perbedaan disebabkan oleh adanya perbedaan iklim, suasana,

dan sejarah masing-masing.66

1.8.3.Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber hukumnya

dari bahan-bahan hukum yang dipakai untuk menghasilkan argumentasi, teori dan

konsep baru sebagai preskripsi dalam memecahkan isu hukum yang

dihadapi.67Mengingat bahan hukum merupakan segala sesuatu yang dipakai atau

diperlukan dalam menganalisis hukum yang berlaku.68Untuk itu, bahan-bahan hukum

yang digunakan dalam penelitian ini dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier.

(1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan yang bersifat

mengikat, adapun yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar. Karena Undang-

Undang Dasar memiliki otoritas tertinggi karena semua peraturan di bawahnya

baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar.69Sedangkan bahan hukum lainnya adalah undang-undang, yang merupakan

hasil kesepakatan antara pemerintah dengan rakyat, sehingga mempunyai kekuatan

                                                            
66
Johnny Ibrahim, 2005, Op Cit, h.313
67
Peter Mahmud Marzuki II, Op.cit., h. 58
68
H.Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, PT Raja Grafindo, Jakarta, h.16
69
Peter Mahmud Marzuki II, Op.cit,, h.182
45 

mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara.70 Adapun peraturan yang

dimaksud adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang No.8

tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang

No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 11 tahun 2012

tentang Sistem Paradilan Pidana Anak, Undang-undang No.35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak, Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The

Rights of The Child.

(2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian kepustakaan yang

merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain dalam bentuk buku-buku

termasuk buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu

hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi

tinggi.71 Disamping buku termasuk jurnal atau makalah-makalah dan artikel yang

berkaitan dengan pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum.

(3) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi tentang

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus seperti

                                                            
70
Peter Mahmud Marzuki II, Loc Cit,
71
Peter Mahmud Marzuki II, Op Cit., h.183
46 

kamus bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, serta kamus-kamus keilmuan lainnya

seperti kamus istilah hukum.

1.8.4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian tentang pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum termasuk penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang erat hubungannya

dengan prinsip mengklasifikasikan, membandingkan dan menghubungkan. Sehingga

bahan-bahan hukum yang diperoleh dengan menggunakan metode sistematis melalui

pendekatan undang-undang, pendekatan perbandingan dan pendekatan konsep,

digunakan untuk memecahkan isu hukum yang terjadi yaitu bahwa penjatuhan pidana

penjara tidak dapat dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penulis

dapat mengkaitkan isu hukum tersebut dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-

undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Keputusan Presiden

No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Right of The Child.

Penulis juga membandingkan dengan undang-undang yang berlaku di negara-negara

lain seperti Portugal, Polandia, Malaysia, dan Jepang.

Agar isu hukumnya dapat terjawab, semua bahan-bahan hukum baik primer

maupun sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka dari perpustakaan di

beberapa perguruan tinggi dan instansi pemerintah maupun toko-toko buku. Melalui

media cetak dan elektronik juga internet yang diperoleh dengan cara men-download
47 

dari beberapa situs serta beberapa sumber lain yang relevan. Penulis kumpulkan

dengan melakukan langkah-langkah inventarisasi, pemahaman, penafsiran, juga

pengklasifikasian terhadap asas-asas hukum pidana, teori-teori hukum pidana, doktrin

hukum pidana, serta usulan hukum yang relefan dengan pidana pengawasan terhadap

anak yang berkonflik dengan hukum. Terhadap hal tersebut, dalam pengumpulan

bahan hukum penulis menyalin dengan memfotokopi, mengakses lewat internet, dan

menyimpannya dengan menggunakan alat komputer dalam bentuk harddisc atau

flshdisc, selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mengkaji dan menganalisis

permasalahan dalam penelitian ini.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka bahan-bahan hukum

yang sudah diperoleh diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah, dan kemudian

dianalisis secara preskriptif, evaluatif, argumentatif dan interpretatif baik secara

kreatif maupun ekstentif.

Seiring dengan itu, agar bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul dapat

digunakan untuk menganalisis tentang dasar pemikiran pembentuk undang-undang

mencantumkan pidana pengawasan di dalam sistem peradilan pidana anak, juga untuk

menganalisis pengaturan pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum dalam perspektif Ius Constitutum maupun Ius Constituendum. Maka penulis

disamping dengan menggunakan logika induktif yaitu suatu proses yang bertitik tolak

pada unsur-unsur yang bersifat konkrit menuju pada hal-hal yang bersifat abstrak.
48 

Karena fakta-fakta yang bersifat konkrit dapat digunakan untuk menyusun

kesimpulan yang berwujud konsep-konsep dari fakta tersebut. Juga melalui logika

deduktif yang bertitik tolak pada hal-hal yang bersifat abstraks untuk dapat diterapkan

pada konsep-konsep yang konkrit.72

Proses ini penulis lakukan dengan menghubungkan teori-teori hukum pidana

yang dapat dipakai dalam peristiwa atau kasus-kasus penjatuhan pidana terhadap

anak, dengan cara mengevaluasi secara berulang-ulang melalui

interpretasi/penjelasan secara kreatif dan ekstensif. Melalui argumentasi secara

komprehensip sesuai dengan penalaran hukum, juga secara preskriptif artinya semua

bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul, penulis rumuskan untuk dapat ditetapkan

suatu rumusan sebagai petunjuk atau ketentuan perihal yang sebaiknya atau

seyogyanya dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat terkait dengan

penjatuhan pidana pengawasan untuk dapat melindungi hak-hak anak yang berkonflik

dengan hukum. Karena dalam penelitian hukum yang bersifat preskriptif biasanya

diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan tertentu mengenai yang seyogyanya

dilakukan terhadap isu yang ada.73 Sehingga ke depannya ada perubahan makna

terhadap pemahaman penjatuhan pidana pengawasan.

1.9 Sistimatika Penulisan


Sistimatika dalam penulisan disertasi ini dibagi menjadi 6 (enam) bab yaitu:
1. Bab I pendahuluan, yang merupakan landasan dari penyusunan dan pembahasan
pada bab-bab berikutnya. Karena pada bab ini menguraikan tentang Latar
                                                            
72
 Sorjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, h.144
73
Peter Mahmud Marzuki II, Op Cit, h.22-23
49 

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,


Orisionalitas Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Berpikir, Metode Penelitian,
dan Sistematikan Penulisan.
2. Bab II kajian Teoritik dan Konseptual, merupakan pembahasan yang meliputi
konsep-konsep dan teori-teori diantaranya: Teori Keadilan, Teori
Utilitas/Kemanfaatan, Teori Pengawasan, Teori Individualisasi Pidana, dan Teori
Psikhologi Anak. Semua teori tersebut dipakai sebagai pisau analisis dalam
memecahkan ketiga rumusan masalah yang diangkat dalam disertasi ini.
3. Bab III merupakan pembahasan dari rumusan masalah pertama yaitu tentang
Dasar-Dasar Dicantumkannya Pidana Pengawasan dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak, yang terdiri dari empat sub bab diantaranya pada sub bab pertama
membahas tentang Ide Dasar/ Latar Belakang Pengaturan Pidana Pengawasan,
sub bab kedua membahas tentang Kedudukan Pidana Pengawasan dalam Sistem
Pemidanaan, selanjutnya sub bab ketiga membahas tentang Perbedaan Antara
Pidana Pengawasan dengan Pidana Penjara, dan sub bab keempat membahas
tentang Pidana Pengawasan dan Tujuan Pemidanaan,
4. Bab IV merupakan pembahasan dari rumusan masalah kedua yaitu Bagaimana
Pengaturan Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum
dari Perspektif Ius Constitutum, yang terdiri dari lima sub bab diantaranya pada
sub bab pertama membahas tentang Sistem Pemidanaan Menurut Hukum Pidana
Positif, sub bab kedua membahas tentang Pengaturan Pidana Pengawasan
Menurut Hukum Positif di Indonesia, sub bab ketiga membahas tentang Syarat-
Syarat dan Mekanisme Pidana Pengawasan dalam Undang-Undang No.11 Tahun
2012, kemudian sub bab keempat membahas tentang Analisis Kelebihan dan
Kelemahan Pidana Pengawasan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012, dan
sub bab kelima membahas tentang Pengaturan Pidana Pengawasan di Beberapa
Negara.
50 

5. Bab V merupakan pembahasan rumusan permasalahan ketiga yaitu Bagaimana


Sebaiknya Formulasi Sistem Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik
dengan Hukum dari Perspektif Ius Constituendum, yang terdiri dari tiga sub bab
diantaranya pada sub bab pertama membahas tentang Grand Design Sistem
Hukum Pidana Nasional, selanjutnya pada sub bab kedua membahas tentang
Pidana Pengawasan dalam Rancangan KUHP, dan pada sub bab ketiga
membahas tentang Pembaharuan (Legal Reform) terhadap Pidana Pengawasan.
6. Bab VI penutup yang terdiri dari dua sub bab yaitu kesimpulan yang merupakan
uraian dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan merupakan kesimpulan dari
hasil pembahasan terhadap ketiga pokok permasalahan dalam disertasi ini,
selanjutnya Rekomendasi yang dapat disampaikan untuk ditindak lanjutin oleh
para pihak yang terkait dan yang berwenang dalam mengambil keputusan tentang
Kebijakan Formulasi Pidana Pengawasan terhadap Anak yang Berkonflik dengan
Hukum.
 

51 

Anda mungkin juga menyukai