Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berpotensi sebagai generasi penerus
untuk melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia, sehingga berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang. Untuk itu anak dipandang perlu diberikan perlindungan
secara jasmani dan rohani, karena setiap anak yang berkonflik dengan hukum, senantisa
dijatuhi dengan pidana penjara, walaupun pidana penjara sudah tidak mendapatkan
kepercayaan di masyarakat, sehingga menimbulkan persoalan baik secara filosofis, yuridis,
teoritis dan sosiologis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apa
dasar pemikiran pembentuk Undang-Undang mencantukan pidana pengawasan di dalam
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Bagaimana pengaturan pidana pengawasan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dari perspektif ius constitutum? Bagaimana
sebaiknya formulasi sistem pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
dari perspektif ius constituendum? Penelitian terhadap ketiga permasalahan tersebut termasuk
penelitian normatif, dengan menggunakan teori Utility/Kemanfaatan, Teori Individualisasi
Pidana, Teori Keadilan, Teori Pengawasan, dan Teori Psikhologi Anak.
Hasil penelitian dapat dirumuskan, anak secara filosofisnya harus diberikan prioritas
yang terbaik, karena anak sebelum kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani
memerlukan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang memadai melalui
pencegahan perampasan kemerdekaan. Pidana pengawasan merupakan upaya memberikan
perlindungan dan melakukan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dan
sudah diatur di dalam Pasal 71 dan Pasal 77 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, namun belum dapat dijatuhkan. Di beberapa negara telah
mengatur norma tentang pidana pengawasan terhadap anak diantaranya adalah Portugal,
Malaysia, Jepang dan Polandia, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan yuridis. Nampaknya
rumusan dalam Pasal 77 belum jelas dirumuskan tempat dilaksanakannya pengawasan oleh
Penuntut Umum. Atas dasar itu, dapat diformulasikan rumusan norma (ayat) baru dengan
menambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 77 yaitu pengawasan dapat dilakukan pada tempat
yang disebut “rumah pembinaan” yang ditunjuk dan ditetapkan atas kerjasama Menteri
Pendidikan Dasar dan Menegah dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak yang pelaksanaannya dibawah kendali Departemen Kehakiman. Dengan demikian
melalui pidana pengawasan terhadap anak dari perspektif Ius Constituendum dapat mencapai
social welfare dan social defence,
Rekomendasi dari penelitian ini, hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak agar
lebih memperhatikan karakteristik pidana pengawasan, dibandingkan menjatuhkan pidana
penjara. Pada tataran substansi hukum, pemerintah sebaiknya membentuk pengadilan khusus
anak dengan mengeluarkan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang No.11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perumusan norma (ayat) baru dalam Pasal 77 tentang
rumah pembinaan anak agar segera dirumuskan menjadi norma (ayat) baru dalam Pasal 77
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kata Kunci: kebijakan formulasi, pidana pengawasan, anak
vii
ABSTRACT
Name : Ni Nyoman Juwita Arasawati
Study Program : Law Science
Dissertation Title : Formulation Policy of Children Criminal Supervision who
are in conflict with law
Child is a gift of God Almighty, potentially as the next generation to continue the ideals
of the struggle of the Indonesian nation, so they the right to live, grow and develop. For that
child protection is considered necessary to be given physically and mentally, because every
child in conflict with the law, is usually sentenced to imprisonment, although imprisonment is
not getting the trust in the community, so it raises the question whether philosophical,
juridical, theoretical and sociological
Based on this background, the problems are formulated as follows: What is the rationale
for Act forming mentioning supervision within the criminal law of Child Criminal Justice
System? How is the criminal supervision of children in conflict with the law from the
perspective of ius constitutum? How should the formulation of the penal system supervision
of children in conflict with the law from the perspective of ius constituendum? The study on
these three problems is normative research, using the theory of Utility / Benefits,
Individualization Theory of Criminal Justice Theory, Control Theory and Children
Psychology Theory.
The results of the study can be formulated; philosophically the child should be given the
best priority, as a child before his maturity both physically and spiritually requires special
care, including adequate legal protection through prevention of deprivation of liberty. Crime
control is an effort to provide protection and to provide guidance to children in conflict with
the law, and it is set out in Article 71 and Article 77 of Act No.11 of 2012 on the Child
Criminal Justice System, but has yet to be imposed. Some states have set the norms of
criminal supervision of a child among others Portugal, Malaysia, Japan and Poland, so it can
serve as a juridical reference. It seems that the formulation in Article 77 has not been clearly
defined point of implementation of oversight by the Public Prosecutor. On that basis, it can
be formulated the formulation of new norms by adding one (1) paragraph in Article 77 which
surveillance can be carried out at a place called "home training" that was designated on the
cooperation of the Minister of Basic and High Education with Minister of Women
Empowerment and child protection whose implementation under the control of the
Department of Justice. Thus through criminal supervision of children from the perspective of
Ius constituendum can achieve social welfare and social defense
Recommendations from this study, the judge in deciding conviction for the children
should put more attention to the characteristics of criminal surveillance, compared to impose
imprisonment. At the level of the substance of the law, the government should establish a
special court issued a child with the Implementing Regulations of the Act No.11 of 2012 on
the Child Criminal Justice System. The formulation of the new norm in Article 77 of the
children rehabilitation should be formulated to be the new norm in Article 77 of Law No.11
of 2012 on the Child Criminal Justice System.
Keywords: policy formulation, criminal supervision, child
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL LUAR ………………………………………………………… i
HALAMAN SAMPUL DALAM ……………………………………………………… ii
PRASYARAT GELAR…………………………………………………………………… iii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR/Ko-PROMOTOR ……………………… iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………… ……………………………… v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT…………………… ……………………………… vi
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………………… vii
ABSTRAK …………………………………………………………………………. xii
ABSTRACT …………………………………………………………………………. xiii
RINGKASAN ………………………………………………………………………… xiv
SUMMARY ………………………………………………………………………… xxv
DAFTAR ISI …………….……………………………………………………………… xxxv
DAFTAR TABEL……….……………………………………………………………….. xxxvi
DAFTAR SINGKATAN……….………………………………………………… xxxvii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
1.1.Latar Belakang Masalah ……………………………………………… 1
1.2.Rumusan Masalah ………………………………………………. 23
1.3.Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 24
1.3.1 Tujuan Umum ………………………………………………….. 24
1.3.1 Tujuan Khusus ……………………………………………….. 24
1.4.Manfaat Penelitian …………………………………………………… 25
1.5.Orisinalitas Penelitian ……………………………………………….. 26
1.6.Kajian Pustaka ………………………………………………………. 30
1.7.Kerangka Berpikir ……………………………………………………. 36
1.8.Metode Penelitian ……………………………………………………. 39
1.8.1 Jenis Penelitian ………………………………………………… 39
1.8.2 Pendekatan Penelitian …………………………………………. 41
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ………………………………………… 44
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum …………………………. 46
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ………………………………… 47
1.9. Sistimatika Penulisan …………………………………………………. 48
vii
BAB V FORMULASI SISTEM PIDANA PENGAWASAN TERHADAP ANAK
YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF
IUS CONSTITUENDUM ………………………………………………… 299
5.1 Grand Disegn Sistem Hukum Pidana Indonesia ……………………… 300
5.1.1 Faktor-Faktor Pembentukan Sistem Hukum Pidana
di Indonesia …………………………………………………. 300
5.1.2 Membangun Sistem Hukum Pidana di Indonesia ……………. 324
DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I
PENDAHULUAN
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya, serta ikut berperan menentukan sejarah bangsa, sekaligus sebagai
cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Atas dasar itu, negara wajib
Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke-19,
di mana anak dijadikan sebagai objek yang dipelajari secara ilmiah. Pelopornya
adalah Wilhelm Preyer dalam bukunya “die seele des kindes” (jiwa anak) pada tahun
begitu pula Dr. Maria Montessori (1870-1952) dari Italia meneliti masalah kejiwaan
anak dan mengembangkan satu metode mengajar yang berprinsip pada auto-
education.1
perhatian pada perkembangan kejiwaan anak, karena anak dipandang sebagai anak
dan tidak dapat disamakan dengan orang dewasa yang telah memiliki ciri dan norma
1
Wagiati Soetodjo, 2008, Hukum Pidana Anak, PT. Rafika Aditama, Bandung, h.6
1
2
tersendiri. Mengingat anak adalah tumpuan harapan masa depan bangsa, negara,
masyarakat, keluarga, dan oleh karena kondisinya sebagai anak, diperlukan perlakuan
khusus agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan
rohaninya.
ayat (2) yang menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Peran strategis anak sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa telah
yang pada dasarnya menekankan posisi anak sebagai mahluk manusia yang harus
mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan
mandat dari Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak yang
selanjutnya disebut KHA dalam Pasal 2 ayat (1) di mana dikatakan bahwa “setiap
anak berhak hidup sejahtera, perlindungan hukum untuk mencapai kesejahteraan anak
36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child pada
tanggal 25 Agustus 1990 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor
Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang -Undang No. 4
2008 Tentang Pornografi, serta Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang telah disahkan pada tanggal 3 Juli Tahun 2012 dan
berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan yaitu Tahun 2014. Atas dasar itu, peraturan
khususnya bagi anak baik yang berhadapan dengan hukum maupun yang berkonflik
dengan hukum.
Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka 2
adalah “anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”. Sementara anak yang berkonflik
dengan hukum menurut Pasal 1 angka 3 adalah “anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana”. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat, dengan
oleh masyarakat khususnya anak, nampaknya telah membawa perubahan sosial yang
mendasar dalam kehidupan anak, khususnya dalam perilakunya. Anak yang kurang
4
mendapat perhatian, kasih sayang, bimbingan, pembinaan dan pengawasan dari orang
tuanya, dapat terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang
sehat, dan dapat merugikan perkembangan mental anak sendiri, dan bahkan dapat
keamanan dan ketertiban semata, tetapi merupakan bahaya yang dapat mengancam
masa depan masyarakat dan bangsa. Akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh anak,
tentunya dapat membahayakan anak yaitu anak dapat dihukum. Walaupun kejahatan
yang telah dilakukan anak tidak semata-mata disebabkan dari anak sendiri, namun
dapat juga dari luar diri anak tersebut, dan bilamana dicermati perkembangannya baik
dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan tidak sebanding dengan
penanggulangan.
sistem peradilan pidana anak, yang tujuannya tidak hanya untuk menjatuhkan sanksi
bagi anak yang telah melakukan pelanggaran atau kejahatan. Namun yang perlu
diingat bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,
lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa, penjatuhan pidana merupakan sarana
mendukung mewujudkan kesejahteraan anak sebagai pelaku dari kejahatan. Hal ini
dapat berarti bahwa, pidana penjara bukanlah jalan keluar yang terbaik bagi anak,
Namun pada kenyataannya keadaan anak yang berkonflik dengan hukum masih
belum menggembirakan, karena pada tataran hukum, hak-hak yang diberikan kepada
Hak Anak yang menyebutkan bahwa “semua tindakan yang menyangkut anak yang
anak akan merupakan pertimbangan utama”. Begitu pula Pasal 37 huruf (b) dan (c)
menyebutkan:
(b) No child shall be deprived of his or her liberty unlawfully or orbitratily. The
arrest, detention or imprisonment of a child shall be in conformity with the
law and be used onley as aeasure of last resort and for the shortest
appropriate period of time
(Diterjemahkan secara bebas: bahwa tidak seorang anakpun dirampas
kemerdekaannya secara tidak sah dan sewenang-wenang, sehingga
penangkapan, penahanan ataupun pemidanaan seorang anak harus sesuai
dengan hukum dan diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka
waktu yang paling pendek).2
(c) Every child deprived of liberty shall be treated with humanity and respect
for the inherent dignity of the human person, and in a manner which takes
child deprived of liberty shall be separated from adults unless it is
considered in the child’s best interest not to do so and shall have the right to
maintain contact with his or her family through correspondence and visits,
save in exceptional circumstances”
(Diterjemahkan secara bebas: bahwa setiap anak yang dirampas
kemerdekaannya diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat
2
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.158
6
kedudukan anak yang berkonflik dengan hukum diakui secara hukum Internasional
yaitu:
Conflict with the Law) yaitu The United Nations Standard Minimum Rules for The
tujuan peradilan anak “The juvenile justice system shall emphasize the well-being of
the juvenile and shall ensure that eny rection to juvenile offenders shall always be in
3
Ibid.
4
Nandang Sambas, 2013, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak Serta Penerapannya, Graha Ilmu, Yogyakarta,h.55-56
7
proportion to the sircumstances of both the offenders and the offence” (terjemahan
secara bebas: sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan
Resolusi di atas, pada prinsipnya mengatur setiap remaja atau anak yang
5
Ibid., h.62-63
6
Ibid., h.60
8
Rumusan resolusi di atas, mempunyai tujuan yang sama dengan risalah pembentukan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu
merupakan bagian dari upaya perlindungan hak asasi anak sesuai dengan sila II dari
secara adil sesuai dengan harkat dan martabat manusia, dan mengakui tidak adanya
yang merupakan karunia Tuhan yang diberikan secara otomatis ketika terlahir ke
dunia ini.
Landasan yuridis seperti yang terurai di atas, disebutkan pula di dalam Undang-
bahwa “anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan negara, agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan
bangsa dan negara, untuk itu anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, maupun sosial”.
perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya”.
9
daya manusia Indonesia yang berkualitas, pembinaan secara terus menerus terhadap
anak dengan tanpa mengabaikan pertumbuhan dan perkembangan fisik mental anak
berkonflik dengan hukum, anak harus diberikan prioritas yang terbaik, sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan
beradab. Sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius,
Aparat negara lainnya yang menangani masalah anak yang berkonflik dengan
hukum adalah aparat Kepolisian dengan Undang-Undang Negara R.I Nomor 2 Tahun
7
Lamar T.Empecy and Mark C.Stafford, 1991, American Delinquency, Its Meaning and
Constraction, Thrind Edition Wadsworth Publishing Company, Belmont Californian, p.350
8
Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, IKIP,
Malang, h.78-79.
10
Undang-Undang Negara R.I No.18 Tahun 2003, dan Undang-Undang Negara R.I
dalam melaksanakan tugasnya berpegang pada tujuan, falsafah dasar, dan prinsip-
prinsip yang tertuang baik di dalam Pancasila melalui sila-silanya, maupun di dalam
1. Hak hidup maksudnya adalah hak untuk hidup menjamin anak untuk terbebas
dari berbagai bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh negara maupun
orang-orang ada disekitar anak tersebut.
2. Hak kelangsungan hidup dan perkembangan mencakup perkembangan fisik,
perkembangan mental, perkembangan sosial, perkembangan moral dan
spiritual, serta perkembangan budaya;
3. Prinsip kepentingan terbaik anak yang menyangkut prioritas, misalnya dalam
proses adopsi dan orang tua mengalami perceraian;
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak yaitu hak anak untuk didengar
dan ikut mengambil keputusan.9
Keempat prinsip di atas merupakan penegasan dari hak-hak anak yang diperoleh
berupa perlindungan anak oleh negara, dan juga peran serta pemerintah, masyarakat,
dan swasta dalam menjamin kehormatan hak-hak anak yang pada hakikatnya
telah mencari upaya lain dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari
penjatuhan pidana penjara yang berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non-
pembuat. Karena hukum pidana dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk
jalan terbaik karena yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan mengingat
anak adalah masa depan bangsa. Menurut Herbert L.Packer dalam bukunya “The
Limits of the Criminal Sanction” menyatakan the three basic problems of substance
3. What should be done with persons who are found to have committed criminal
offenses.14
(Diterjemahkan secara bebas: tiga masalah mendasar dari substansi dalam
hukum pidana: (1) tindakan apa yang bisa disebut sebagai tindak pidana, (2)
apa yang menentukan seseorang yang bisa disebut sebagai pelaku tindak
pidana; (3) apa yang harus dilakukan terhadap pelaku tindak pidana)
pokok di dalam hukum pidana, karena hukum pidana merupakan cermin suatu
masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu, bila nilai-
terhadap anak jangan hanya dilihat dari pidananya sebagai tujuan utama, tetapi harus
dilihat manfaat dari pidana yang dijatuhkan, karena kejahatan itu merupakan
“masalah kemanusiaan” dan “masalah sosial” yang tidak dapat diatasi semata-mata
dengan hukum pidana. Oleh sebab itu, mengingat anak merupakan generasi penerus
bangsa yang ke depannya masih banyak harus dilakukan, Muladi mengutip The
penjara, karena pelaku tetap diberi kesempatan untuk menjalani hidup dan
kehidupannya secara normal baik sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota
masyarakat dan warga negara dengan tetap berpijak pada konsistensi untuk
melaksanakan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak pengadilan.17
Sistem Peradilan Pidana Anak dalam upaya melakukan pembaruan hukum pidananya
telah menentukan bentuk sanksi alternatif sebagai salah satu jenis pidana baru berupa
“pidana pengawasan” yang dirumuskan di dalam Pasal 71 dan termasuk salah satu
dari pidana pokok, dalam posisinya sebagai pidana dengan syarat. Begitu pula
dirumuskan dalam Pasal 77 ayat (1) yaitu “pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan
kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun”. Selanjutnya ayat (2)
pada ayat (1), anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan
tersebut, walaupun dalam posisinya sebagai pidana pokok, tentu saja pidana
2012 telah diatur dalam Pasal 77-79. Hal ini sangatlah penting untuk dilakukan
mengingat sanksi atau pidana yang diancamkan dalam hukum pidana sifatnya sangat
17
Ibid., h.156
14
tajam, dan penggunaannya haruslah dibatasi dan harus dianggap sebagai ultimum
remidium, dalam arti hukum pidana harus digunakan apabila upaya dalam bidang
memberikan fleksibilitas lebih besar kepada hakim dalam menjatuhkan pidana sesuai
dengan berat ringannya tindak pidana, serta berdasarkan latar belakang anak
melakukan tindak pidana, agar tercapai suatu kemanfaatan dalam upaya memberikan
karena dalam penal policy harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya
tujuan dari kebijakan sosial yang berupa “social welfare” dan “social defence”.19
yaitu social welfare” dan “social defence” dalam arti mensejahterakan masyarakat
tindak pidana dengan kriteria tertentu (perbuatan dan keadaannya) diputuskan untuk
18
M.Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana(Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya) P.T.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.5. Depenalisasi adalah menghilangkan
ancaman pidana dari suatu perbuatan yang semula dilarang, tetapi memungkinkan diganti dengan
sanksi lain (administrasi). Dekriminalisasi adalah menghilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya
suatu perbuatan yang semula diancam pidana.
19
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.73. (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief VII)
15
bimbingan dari pejabat pengawas untuk menjadikan manusia yang baik dan berguna
bagi masyarakatnya. Ada upaya guna menghindari atau melindungi pelaku tindak
pidana tersebut dari kemungkinan pengaruh buruk yang bisa terjadi bila ditempatkan
normal, yang dapat menambah kesulitan bagi pelaku tindak pidana dalam
residivis. Sesuai dengan rumusan yang termuat di dalam Rules 17.1 huruf c dari The
Rumusan The Beijing Rules di atas, sesuai dengan tujuan diberlakukan pidana
Fase 1 (pertama) terhadap pelaku tindak pidana tidak dijatuhkan pidana dengan
ditentukan masa percobaan yang dalam prakteknya dilakukan pengawasan oleh
pejabat pengawas dalam rangka pembinaan.
Fase 2 (kedua) apabila dalam masa percobaan melakukan pelanggaran terhadap
syarat-syarat yang telah ditentukan/tindak pidana maka si pelaku dihadapkan ke
depan persidangan dan ditentukan pidananya. Jadi di sini terdapat penundaan
20
Muladi, I, Op Cit, h.155
21
Nandang Sambas, Op.Cit., h.65
16
Hukum Pidana Portugal yang sejak tahun 1982 telah mengenal prova, dengan meniru
model probation di negara Anglo Saxon. Pidana yang dimaksudkan adalah sebagai
alternative to the prison sentence including the suspended sentence, artinya bahwa
Menurut Barda Nawawi Arief, dalam probation tidak ada pemidanaan yang
final, karena orang yang diberi probation direncanakan untuk dilakukan rehabilitasi
di bawah pengawasan dan bimbingan pekerja sosial yang terlatih untuk masa 1 (satu)
tahun sampai 3 (tiga) tahun.24 Sistem pemidanaan yang demikian menurut penulis
merupakan suatu penundaan hukuman terhadap anak yang telah melakukan tindak
pidana. Karena disamping bertujuan untuk menghindari adanya stigma terhadap anak,
juga ada kesan melindungi anak agar dapat menjalani kehidupannya secara normal
pidana terhadap pelaku, namun pengawasan tetap dilakukan dalam rangka melakukan
22
Slamet Siswanto, 2012, Pidana Pengawasan dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Tesis,
Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponogoro, Semarang, h.102
23
Ibid., h.186
24
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.73 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV)
17
pembinaan dan rehabilitasi. Jadi hakim belum menjatuhkan baik jenis pidananya
maupun lama pidana yang harus dijalankan. Berbeda halnya dengan rumusan Pasal
77 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
tidak ada penundaan pidana, namun pidana sudah dijatuhkan berupa pengawasan
yang dilakukan oleh Penuntut Umum, sedangkan tempat dilakukan pengawasan tidak
dalam Pasal 1 angka 20, 21 dan 22 telah disebutkan 3 (tiga) nama lembaga untuk
anak dalam pengawasan yang dimaksudkan dalam Pasal 77 tidak dapat dilakukan
dalam salah satu dari ketiga lembaga tersebut. Atas dasar itu, dipandang perlu untuk
merumuskan secara tegas tentang tempat dilakukan pengawasan terhadap anak, dan
agar tidak menimbulkan traumatik pada anak, bentuk-bentuk lembaga seperti tersebut
harus segera dirubah, disesuaikan dengan tujuannya yaitu memulihkan mental anak
resosialisasi terhadap terpidana, bahkan bersifat spiritual sesuai dengan sila pertama
Pancasila”. 25
Persoalan secara yuridis dapat timbul karena, selama ini penjatuhan pidana
terhadap anak, nampaknya anak masih diposisikan sebagai objek, sehingga cenderung
merugikan anak. Peran hakim dalam hal ini lebih banyak dibandingkan dengan peran
penyidik dan penuntut umum, karena masih digunakan model keadilan retributif yang
lebih menonjolkan penghukuman, dan belum diatur tentang diversi yaitu model
keadilan restoratif yang berupa pengalihan perkara anak di luar jalur peradilan
formal. Akibat dari hal tersebut, model keadilan retributif di masyarakat belum
pidana penjara sangat merugikan anak sebagai terpidana karena secara kriminologis
penjatuhan pidana penjara dapat menimbulkan “cap/label” atau “stigma” jahat pada
diri anak walaupun mereka telah dibina dan telah menjalani proses sosialisasi yang
masyarakatnya pada hakikatnya merupakan suatu proses alih budaya. Karena budaya
masyarakat yang selalu atau sering memberikan label kepada eks narapidana sebagai
25
Sudarto, 1974, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Suatu Dilema, BPHN, Jakarta, h.4
(selanjutnya disebut Sudarto I)
19
demikian berakibat negatif terhadap bekas narapidana karena, mereka merasa terisolir
tidak mempunyai kesempatan atau fasilitas sebagai warga masyarakat yang telah
bertobat sebagaimana layaknya warga masyarakat yang lainnya. Hal tersebut sudah
Keadaan seperti itu tidak hanya dirasakan oleh para narapidana, tetapi adanya
anggapan atau pandangan masyarakat dalam implikasinya yang lebih jauh justru
perlu dievaluasi adalah apakah hal seperti itu merupakan kegagalan bagi pemerintah
masyarakat bahwa pidana penjara tidak dapat merubah perilaku anak untuk menjadi
lebih baik, bahkan terjadi sebaliknya yaitu anak menjadi lebih jahat setelah menjalani
Tidak jarang para narapidana anak selama menjalani masa pidananya di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Tangerang telah mengalami atau menghadapi adanya
tekanan-tekanan emosi dalam berhubungan dengan para petugas di Lapas. Dan
setiap petugas lapas dalam melakukan hubungan interaksi sosial dengan para
narapidana anak, disadari atau tidak petugas lapas telah menempatan mereka
sebagai anak pesakitan yang sedang menjalani masa hukumannya.26
Kondisi Bapas yang sekarang sudah melebih dari daya tampung (overloaded),
dibarengi dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang menyebabkan belum dapat
membuat anak untuk merasa jera dan belum dapat menjamin anak dapat berubah.
Karena dalam lembaga tersebut tidak ada masukan yang lebih terhadap mental
26
Wagiati Soetodjo, Op Cit, h.127
20
spiritual anak, sehingga terhadap anak dapat mengalami hambatan dalam proses
pemulihan untuk anak menjadi lebih baik karena lingkungan dari lembaga yang
kondusif.
Sesungguhnya di dalam Bapas mungkin saja anak yang baik, namun berkumpul
bersama, tidur bersama, beraktifitas bersama dengan terpidana yang memang orang
jahat baik watak maupun perilakunya sehingga anak dapat terpengaruh. Ada
merupakan perguruan tinggi kejahatan atau disebut juga sebagai pabrik kejahatan.
Hal ini didasarkan pada suatu argumentasi bahwa orang tidak mungkin menjadi baik
mencarikan formulasi jenis pidana sebagai alternatif pengganti pidana penjara yaitu:
pemidanaan yang tidak lagi hanya terfokus pada upaya untuk menderitakan, tetapi
27
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas Dipongoro, Semarang, Tanggal 24 Februari 1990, h.3
21
sudah mengarah pada upaya perbaikan-perbaikan kearah yang lebih manusiawi. Akan
tetapi justru pidana penjara yang dijatuhkan menimbulkan persoalan filosofis karena
ke-2 “kemanusiaan”, karena menurut penulis anak sebagai anak bangsa masih
pengasuhan orang tua dan anak-anak dari keluarga miskin memerlukan pilihan-
pilihan lain selain tinggal di lembaga pengasuhan anak untuk dapat tumbuh dalam
disuatu saat anak-anak tersebut dapat berguna bagi keluarganya, masyarakat dan
bangsanya.
Penjatuhan pidana penjara sudah tidak dapat diterima oleh masyarakat, karena
pada kenyataannya tidak dapat merubah perilaku anak yang melakukan tindak pidana
baik pada waktu anak masih dalam penjara maupun setelah ke luar dari penjara,
disamping itu juga, penjatuhan pidana penjara justru tidak menyebabkan menurunnya
jumlah tindka pidana yang dilakukan oleh anak. Secara sosiologis, tercatat di
Lembaga Pemasyarakatan sebanyak 6.717 kasus, dari jumlah tersebut kasus karena
pencurian cukup tinggi yaitu 4.211, dilanjutkan dengan kasus penganiayaan 663,
kasus karena narkoba 548, kekerasan dalam rumah tangga 544, kasus perjudian 239,
dan ketertiban umum 163, bahkan tercatat kasus kesusilaan 353.28 Dan catatan dari
28
Asrorun Ni’am Sholeh, Media Digital, Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak, Seminar
Internasional, Jakarta, h.39
22
hukuman mereka. Banyak anak dipenjara karena kejahatan kecil dan pelanggaran-
penyalahgunaan obat. 29
KPAI, yang penulis kutip tentang kasus kriminalitas anak sampai tahun 2014 tercatat
anak sebagai korban 53 %, anak sebagai pelaku 43 %, dan anak sebagai saksi 2%,
serta anak dalam proses peradilan 2 %.30 Catatan dari Komnas Perlindungan Anak
sampai pertengahan tahun 2014, terdapat 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak,
sedangkan catatan dari Polri tahun 2014 mencatat ada 697 kasus. Dari data tersebut
jumlah anak sebagai korban mencapai 859 orang.31 Sedangkan jumlah anak yang
berstatus sebagai narapidana adalah 3.282 orang dan sebagai tahanan 2.025 orang
yang sebagian besar dilakukan oleh anak laki-laki, dengan usia 13-18 tahun, bahkan
SMA 6 %. 32
29
UNICEF Indonesia, 2012, Kajian Perlindungan Anak Berbasis Sistem, http/www.goegle.com,
diakses terakhir 12 April 2015
30
Erlinda, Upaya Peningkatan Anak dari Bahaya Kekerasan, Pelecehan dan Eksploitasi, Jurnal
KPAI, diakses web.kominfo.go.id, 17 Januari 2014
31
Davit Setyawan, Indonesia Darurat Kejahatan Seksual Anak, Jurnal KPAI, terbitan 15 Agustus
2014, h.6, diakses www.kpai.go.id, 28 April 2015
32
Apong Herlina, 2013, Peran KPAI dalam Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi SPPA, Jurnal,
h.13
23
Jika dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat, maka suatu
pidana dapat dikatakan efektif jika pidana tersebut sejauh mungkin dapat
mencegah atau mengurangi kejahatan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada
seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara
dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan
kejahatan.33 Karena dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh sebuah
gambaran umum bahwa pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling
banyak dijatuhkan oleh hakim dibandingkan dengan jenis pidana lainnya. Di sisi
lainnya, kejahatan terus saja meningkat pesat. Sehingga tidak ada pengaruh
pencegahan atau setidaknya tidak ada korelasi antara banyaknya pidana penjara
yang dijatuhkan dengan menurunya jumlah kejahatan. 34
dengan hukum, tentunya yang diharapkan lebih bersifat substansi melalui kebijakan
33
Barda Nawawai Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Group, Jakarta, h.214 (selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief XII)
34
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
CV.Ananta, Semarang, h.106-107 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III)
24
Penelitian yang penulis laksanakan agar memiliki arah yang jelas, juga dapat
memecahkan masalah yang dirumuskan, maka dapat ditentukan tujuan dari penelitian
ini yaitu:
terhadap ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana dalam kaitannya dengan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dari perspektif ius constitutum.
efektif. Disamping juga sebagai masukan bagi para pihak yang tertarik
tidak ada sesuatu yang benar-benar baru, sebagaimana diungkapkan oleh Terry
Hutchinson bahwa:
Many law students are concerned about the degree of originality required in their
research project, especially at postgraduate level. It seems much easier for a
science student to discover new facts, than for a law student to came up with a
wholly original argument about law, after all, lawyers raw materials tend to be
written already-legislation and case law.
For this reason, it is timely to remind yourself that there really is nothing new
under the sun…..We all depand on others to some extend for what we do achieve,
and how we conceive legal realitis. So saying, it is possible to delve deeper and
expand on what exist already, to re-read and re-interpret existing sources, and
thus to say something nes, or at least to put it in a deffernt way. 35
(Diterjemahkan secara bebas: kebanyakan atau pada umumnya mahasiswa hukum
konsentrasi pada keaslian atau orisinalitas yang diwajibkan dalam proyek
penelitian mereka, khususnya di level postgraduate (master atau doctor). Itu
telihat lebih mudah bagi mahasiswa ilmu pasti/science untuk menemukan fakta-
fakta baru, daripada mahasiswa hukum untuk memunculkan sebuah argumentasi
yang benar-benar baru mengenai hukum, selebihnya produk hukum yang
dihasilkan seorang sarjana hukum selanjutnya telah harus dituliskan dalam bentuk
kasus hukum dan aturan.
Untuk alasan ini, saatnya untuk mengingatkan diri kita bahwa disana tidak ada
sesuatu yang baru di bawah matahari….. kita semua bergantung dengan yang lain
untuk beberapa kemampuan yang kita hendak lakukan, dan bagaimana
merumuskan pemikiran hukumrealistis. Jadi dapat dikatakan ini sangat mungkin
untuk mencari atau menemukan sesuatu secara mendalam dan mengelaborasinya
secara lebih luas mengenai apa yangtelah ada, untuk membaca ulang dan
menginterpretasikan ulang bahan-bahan yang telah ada, dan itu untuk disebutkan
sebagai suatu kondisi atau paling tidak untuk meletakkannya dengan cara yang
berbeda).
tingkat keorisinilan atau keaslian dari penelitian yang dilakukan dan juga sekaligus
obyek kajiannya sejenis, sama atau agak sama, namun dapat menunjukkan tingkat
nampaknya penelitian yang penulis lakukan belum ada yang melakukan di Indonesia.
seperti hasil penelitian disertasi dari Nurini Aprilianda dengan judul “Diversi Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya Pencegahan Stigmatisasi Anak” Dalam
disertasi tersebut menitik beratkan pada stigmatisasi yang berlangsung dari tingkat
hukum.36 Sehingga melalui diversi maka anak yang telah melakukan tindak pidana
Hasil penelitian disertasi yang dihasilkan oleh Eva Achjani Zulfa dengan judul
dipahami dari keberadaan Keadilan Restoratif yang dapat dipakai dalam penyelesaian
suatu tindak pidana. Merupakan alternatif jawaban atas sejumlah masalah yang
36
Nurini Aprilianda, 2011, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya
Pencegahan Stigmatisasi Anak, (disertasi), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, h.269
28
dihadapi dalam sistem peradilan pidana, seperti, proses administrasi peradilan yang
sulit, lama, dan mahal, penumpukan perkara atau putusan pengadilan yang tidak
Pidana Anak Harus Mampu Membangun Citra sebagai Sebuah Sistem Peradilan
yang bernama “family and community group conference”, yaitu keterlibatan dan
partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana yaitu tidak hanya melibatkan
korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku, dan warga masyarakat
lainnya, pejabat tertentu, dan para pendukung korban. Bahkan hasil penelitian yang
Pada tahap Penyidikan Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Bagi Anak Nakal”.
37
Eva Achjani Zukfa, 2009, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan
Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), (disertasi),
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.367
38
Supriyanta, 2012, Sistem Peradilan Pidana Anak Harus Mampu Membangun Citra sebagai
Sebuah Sistem Peradilan Pidana Anak yang Beradab, (disertasi), http://kontak.staff.uns.ac.id, diakses
terakhir 21 Februari 2014
29
anak harus dirumuskan secara jelas dan tegas sehingga menjadi salah satu faktor
Sementara dalam penelitian yang penulis lakukan menitik beratkan pada pidana
pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, karena di dalam Pasal 77
nampaknya perumusan norma dari pidana pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut
Umum masih belum jelas dan terinci. Akibat dari itu, terjadi kekaburan di dalam
melindungi hak-hak anak sebagai pelaku kejahatan. Berdasarkan atas uraian tersebut,
39
Abiantoro Prakoso, 2010, Diskresi Pada Tahap Penyidikan Dalam Mewujudkan Perlindungan
Hukum Bagi Anak Nakal, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Brawijaya,
Malang.
40
Elfina Lebrine Sahetapy, 2009, Kebijakan Kriminal Sebagai Sarana Perlindungan Hukum
Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang
30
penelitian ini memiliki keaslian atau orisinalitas yang belum pernah dilakukan oleh
orang lain.
hukum, doktrin, yurisprudensi yang terkait dengan pidana pengawasan terhadap anak
antara lain:
1. Asas hukum merupakan fikiran-fikiran yang memberi arah, yang menjadi dasar
kepada tata hukum yang ada;
2. Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka
ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;
3. Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan maupun
yurisprudensi;
4. Asas hukum tidak bersifat transedental atau melampaui alam kenyataan yang
dapat disaksikan oleh pancaindra;
5. Asas hukum berkedudukan relatif dan melandasi fungsi pengendalian
masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;
6. Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan, penemuan
dan pelaksanaan hukum;
7. Asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-
pejabat penguasa, sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya
dalam hukum positif. 41
Paul Scholten dalam pandangannya yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo menulis
bahwa “asas hukum bukan merupakan peraturan, akan tetapi hukum tidak dapat
dipahami dengan baik tanpa asas-asas, karena asas hukum merupakan arah yang
datang dari putusan moral yang ditanamkan dalam hukum berupa pernyataan umum
41
Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Diponogoro, Semarang, h.144 (selanjutnya disebut Muladi III)
31
yang tidak dapat diabaikan. Mengingat dengan adanya asas hukum menyebabkan
dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif, itu berarti menjalankan hukum
secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang
Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana baik materiil maupun formil,
berlakunya asas di pandang penting untuk diketahui, karena dengan asas membuat
hubungan dan susunan hukum pidana dapat berlaku, demikian pula dengan asas dapat
1. Law system contains of rules, not only based on a verdict about particular
things;
2. The rule must be publish to public;
3. Unretroactive, it will break the integrity of a system;
4. Makes on commonly understood form;
5. Should not be conflict with another rule;
6. Should not require an act that exceeds what can be done;
7. Should not be frequently changed;
8. The rule should compability with the daily implementation.)44
(Diterjemahkan secara bebas:
1. Bahwa sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;
42
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h.128 (selanjutnya
disebut Satjipto Rahardjo II)
43
Bambang Pornomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, h.56
(selanjutnya disebut Bambang Pornomo III)
44
Lon L Fuller, 1971, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven.
32
merupakan dasar untuk dapat menjaga dan menjamin keselamatan setiap individu,
hukum adalah “a principle is the broad reasen which lies at the base of a rule of law,
it has not exhausted itself in giving birth to that particular rule but is fertile. Principle
the means by which the law lives, grows, and develops, demonstrate that law is not
mere collection of rules” (Terjemahan secara bebas: suatu prinsip merupakan alasan
yang menjadi dasar dari aturan suatu hukum, hal ini tidak akan menyia-nyiakan
dirinya dengan melahirkan aturan tertentu yang tidak dapat berlaku. Suatu prinsip
akan berarti, bilamana ada hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang, yang dapat
Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana materiil, di dalam perumusan
perbuatan yang dilarang (kriminalisasi) ada 3 (tiga) permasalahan pokok yang terkait,
45
Sudarto V, Op Cit, h.11
46
G.W. Paton, 1964, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford Univ Press,London, h.204
33
47
diancamkan baik pidana maupun tindakan. Untuk membahas ketiga permasalahan
Karena kata konsep dalam bahasa Latinnya “conception” yang dapat berarti
definisi yang dalam bahasa Latinnya”definitio” yang berarti perumusan yang pada
tidak ada konsep tunggal mengenai apa yang disebut dengan “hukum”. Sehingga ada
1. Hukum adalah asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan
menjadi bagian inheren sistem hukum alam;
2. Hukum menurut konsepnya adalah kaidah positip yang berlaku umum in
abstracto pada suatu waktu tertentu dan di suatu wiliayah tertentu, dan tersebut
sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang
berlegitimasi, yang lebih dikenal sebagai hukum nasional atau hukum negara;
3. Hukum adalah keputusan-keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam
proses-proses peradilan sebagai bagian dari upaya hakim dalam menyelesaikan
kasus atau perkara, yang kemungkinan juga berlaku sebagai preseden untuk
menyelesaikan perkara-prkara berikutnya;
4. Hukum adalah institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem
kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses pemulihan ketertiban dan
penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan
pola-pola perilaku yang baru;
5. Hukum adalah makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasi dan tersimak
dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat.49
47
Muladi III, Loc. Cit
48
Soerjono Soekanto, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.6 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto IV)
49
Soetandyo Wignyosoebroto, 2008, Keragaman dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode
Penelitiannya, h.1 (selanjutnya disebut Soetandyo Wignyosoebroto, II)
34
Pandangan John Chipman Gray dalam bukunya The Rule Egain Perpetuities
otoritas yang berwenang dan sah di dalam suatu komunitas, yang memiliki posisi
yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan, karena suatu sistem hukum tidak
yang dimilikinya serta proses yang dilakoni oleh institusi hukum tersebut. 51
Dua konsep hukum di atas selanjutnya penulis dapat gunakan untuk menjawab
segala persoalan hukum yang penulis angkat dalam disertasi tentang kebijakan
formulasi pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Seperti
konsep yang dikemukakan oleh Soetandyo dalam konsepnya yang kedua yaitu kaidah
50
John Chipman Gray, 2005, p.82, terjemahan Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.399-403
51
Ibid., h.403-404
35
positip yang berlaku umum pada waktu dan wilayah tertentu, yang diwujudkan dalam
Selanjutnya konsep hukum lainnya yang dapat digunakan yaitu pandangan John
Austin yang mengakui “hukum positif” sebagai satu-satunya hukum yang dapat
anak yang melakukan tindak pidana, karena dibuat oleh lembaga negara yang
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sehingga konsep hukum tentang
penjatuhan pidana pengawasan yang diatur di dalam Pasal 71 dan Pasal 77 memiliki
legitimasi di dalam penjatuhan sanksi terhadap anak. Karena secara jelas ditentukan
di dalam Pasal 71 bahwa penjatuhan pidana pengawasan termasuk pidana pokok, dan
di dalam ayat (1) huruf b dirumuskan sebagai salah satu dari pidana bersyarat setelah
pengawasan dapat dilakukan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun, yang dilakukan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh
Pembimbing Kemasyarakatan.
36
1. Apa dasar 1. Jenis Penelitian: Hukum
1. Persoalan
pemikiran Normatif (karena terjadi
Filosofinya
pembentuk norma kabur)
Penjatuhan pidana Teori Utilitas
penjara terhadap undang‐undang 2. Jenis Pendekatan:
anak bertentangan mencantumkan pendekatan Undang‐
dengan nilai-nilai pidana pengawasan Undang, pendekatan
Pancasila (sila ke- di dalam SPPA? konsep, pendekatan
II), UUD 1945, 2. Bagaimana perbandingan
Prinsip-prinsip pengaturan pidana Teori Keadilan, 3. Sumber bahan hukum:
HAM pengawasan Teori bahan hukum primer dan
2. Persoalan terhadap anak yang Pengawasan, sekunder
Yuridisnya: berkonflik dengan 4. Teknik pengumpulan bahan
Penjatuhan pidana hukum dari hukum: dokumentasi dan
penjara terhadap perspektif ius wawancara
anak bertentangan constitutum ?
Teori 5. Teknik analisa bahan hukum:
dengan peraturan
3. Bagaimana preskriptif, avaluatif,
perundang- Individualisasi
sebaiknya formulasi argumentatif, dan
undangan yang Pidana,
sistem pidana interpretatif baik secara
berlaku. Teori Psikologi
pengawasan kreatif maupun ekstensif.
3. Persoalan Anak.
Teoritisnya : terhadap anak yang
Penjatuhan pidana berkonflik dengan
penjara secara hukum dari
kriminologis perspektif ius
menimbulkan constituendum?
stigma/labelisasi
4. Persoalan
Sosiologisnya:
Jumlah anak yang Hasil Penelitian
berkonflik dengan
hukum semakin
meningkat, Kesimpulan dan Rekomendasi
masyarakat
kehilangan
kepercayaan
terhadap fungsi
pidana penjara.
37
persoalan hukum secara filosofis, yuridis, teoritis, dan sosiologis. Untuk itu
diperlukan pemahaman secara mendalam terhadap adanya 3 (tiga) masalah atau fokus
penelitian yang meliputi: (1). Apa dasar pemikiran pembentuk undang-undang
mencantumkan pidana pengawasan di dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012?;
(2) Bagaimana pengaturan pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum dari perspektif ius constitutum?; (3) Bagaimana sebaiknya formulasi sistem
pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dari perspektif ius
constitutuendum?.
Untuk memahami ketiga rumusan masalah tersebut, maka dilakukan penelitian
hukum normatif dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penulismelalui
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative
approach),mengumpulkan bahan-bahan hukum yang disesuaikan dengan rumusan
masalah,
Selanjutnya hasil dari bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul, dianalisis
dengan menggunakan kajian-kajian pustaka, juga teori-teori yang sudah dipilih
sebagai pisau analisis diantaranya Teori Utilitas untuk menganalisis masalah pertama,
Teori Keadilan dan Teoi Pengawasan untuk menganalisis masalah kedua, Teori
Individualisasi Pidana dan Teori Psychologi Anak untuk menganalisis masalah
ketiga.
Selanjutnya bahan-bahan hukum yang bersumber dari bahan hukum primer
yang berupa Undang-Undang yang terkait dengan anak, dan juga bahan hukum
sekunder, yang penulis kumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi.
Setelah bahan hukum terkumpul, maka peneliti analisa dengan menggunakan teknik
analisa preskriptif, evaluatif, argumentatif, serta interpretatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, diperoleh suatu
pemecahan masalah untuk selanjutnya dapat dirumuskan dalam kesimpulan, yang
nantinya dapat dijadikan dasar dalam memberikan rekomendasi untuk menanggulangi
39
serta untuk meminimalkan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum melalui
penjatuhan pidana pengawasan.
1.8.Metode Penelitian
1.8.1.Jenis Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
secara umum sekitar tahun 1930-an. Semula pengertian research hanya digunakan
untuk penelitian di bidang teknik dan ilmu alam. Kemudian istilah research juga
mulai digunakan dalam bidang ekonomi, ilmu-ilmu sosial dan terakhir dalam ilmu
hukum yang dihadapi,54atau dapat juga disebut sebagai suatu penelitian ilmiah untuk
52
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, h.1 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III)
53
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-28,
Alumni, Bandung, h.96
54
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.35
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III)
55
Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia
Publishing, Malang, h.57
40
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang
manusia yang dianggap pantas.56Demikian juga dapat disebut sebagai penelitian yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,
hukum tergolong dalam penelitian hukum normatif, karena berupa norma hukum
Peradilan Pidana Anak, Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990), dan norma hukum
tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis
hukum normatif disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumentasi,59 karena
fokus kajian hukumnya adalah inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin
56
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.118
57
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.101
58
Ibid, h.52
59
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta, h.13
41
hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, serta taraf
sinkronisasi hukum.60
1.8.2.Pendekatan Penelitian
approuach).62 Oleh karena disertasi yang penulis bahas tentang kebijakan formulasi
tentang pidana pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, yang
penulis gunakan untuk memecahkan permasalahan yang diangkat dalam disertasi ini
yang berkonflik dengan hukum belum dapat menjamin perlindungan hak-hak anak
60
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.83
61
Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan
ketiga,ed.Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.11
62
Peter Mahmud Marzuki, 2004, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h.93 (selanjutnya
disebut Peter Mahmud Marzuki I)
42
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani,63Jadi isu hukum yang terjadi dalam disertasi ini adalah bahwa
hakim Indonesia dalam menjatuhkan pidana terhadap anak yang berkonflik dengan
Keadaan tersebut tidak menurunkan jumlah anak yang berkonflik dengan hukum,
namun justru semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Demikian pula
pembinaan, sehingga tidak terjadi perubahan baik mental maupun moral setelah anak
mengakhiri hukumannya. Tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan Undang-
menghindari kekosongan prinsip atau doktrin terkait dengan objek yang diteliti.
khusus sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Maka disini pentingnya suatu
konsep yang dibangun oleh seorang peneliti untuk dapat memecahkan permasalahan
dalam penelitian ini. Terkait dalam penelitian ini yaitu kebijakan formulasi pidana
63
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h.93 (selanjutnya disebut
Peter Mahmud Marzuki II)
43
pengawasan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, maka konsep yang dapat
dijelaskan lebih lanjut adalah konsep kebijakan hukum pidana, konsep pidana
terhadap anak.
anak. Mengingat pidana pengawasan merupakan sistem hukum yang baru diatur
Menurut Van Apelddorn perbandingan hukum merupakan suatu ilmu bantu bagi ilmu
hukum dogmatik dalam arti bahwa untuk menimbang dan menilai aturan-aturan
64
hukum dan putusan-putusan pengadilan yang ada dengan sistem hukum lain.
Begitu juga menurut Getteridge perbandingan hukum merupakan suatu metode studi
dan penelitian hukum.65Oleh sebab itu pendekatan ini digunakan untuk memahami
pidana pengawasan terhadap anak yang berlaku di beberapa negara yang telah
kedua sistem hukum itu. Persamaan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang
64
Ibid, h.173
65
Ibid.
44
dari bahan-bahan hukum yang dipakai untuk menghasilkan argumentasi, teori dan
yang digunakan dalam penelitian ini dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum
66
Johnny Ibrahim, 2005, Op Cit, h.313
67
Peter Mahmud Marzuki II, Op.cit., h. 58
68
H.Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, PT Raja Grafindo, Jakarta, h.16
69
Peter Mahmud Marzuki II, Op.cit,, h.182
45
No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Paradilan Pidana Anak, Undang-undang No.35 tahun 2014 tentang
merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain dalam bentuk buku-buku
termasuk buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu
tinggi.71 Disamping buku termasuk jurnal atau makalah-makalah dan artikel yang
hukum.
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus seperti
70
Peter Mahmud Marzuki II, Loc Cit,
71
Peter Mahmud Marzuki II, Op Cit., h.183
46
digunakan untuk memecahkan isu hukum yang terjadi yaitu bahwa penjatuhan pidana
penjara tidak dapat dijatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penulis
dapat mengkaitkan isu hukum tersebut dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1995
undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Keputusan Presiden
No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Right of The Child.
Agar isu hukumnya dapat terjawab, semua bahan-bahan hukum baik primer
beberapa perguruan tinggi dan instansi pemerintah maupun toko-toko buku. Melalui
media cetak dan elektronik juga internet yang diperoleh dengan cara men-download
47
dari beberapa situs serta beberapa sumber lain yang relevan. Penulis kumpulkan
hukum pidana, serta usulan hukum yang relefan dengan pidana pengawasan terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum. Terhadap hal tersebut, dalam pengumpulan
bahan hukum penulis menyalin dengan memfotokopi, mengakses lewat internet, dan
Seiring dengan itu, agar bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul dapat
mencantumkan pidana pengawasan di dalam sistem peradilan pidana anak, juga untuk
hukum dalam perspektif Ius Constitutum maupun Ius Constituendum. Maka penulis
disamping dengan menggunakan logika induktif yaitu suatu proses yang bertitik tolak
pada unsur-unsur yang bersifat konkrit menuju pada hal-hal yang bersifat abstrak.
48
kesimpulan yang berwujud konsep-konsep dari fakta tersebut. Juga melalui logika
deduktif yang bertitik tolak pada hal-hal yang bersifat abstraks untuk dapat diterapkan
yang dapat dipakai dalam peristiwa atau kasus-kasus penjatuhan pidana terhadap
komprehensip sesuai dengan penalaran hukum, juga secara preskriptif artinya semua
bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul, penulis rumuskan untuk dapat ditetapkan
suatu rumusan sebagai petunjuk atau ketentuan perihal yang sebaiknya atau
penjatuhan pidana pengawasan untuk dapat melindungi hak-hak anak yang berkonflik
dengan hukum. Karena dalam penelitian hukum yang bersifat preskriptif biasanya
dilakukan terhadap isu yang ada.73 Sehingga ke depannya ada perubahan makna
51