Anda di halaman 1dari 16

Monograf Balittas No.

7
KAPAS (BUKU 1)
BALAI PENELITIAN TANAMAN TEMBAKAU DAN SERAT
2001
ISSN : 0853-9308

KERAGAAN DAN KONSEP PERBAIKAN PENGEMBANGAN


KAPAS DI INDONESIA

Moch. Sahid dan S.A. Wahyuni*)

PENDAHULUAN

Tanaman kapas telah dikembangkan sejak jaman penjajahan Be1anda, dengan pola “tanam paksa”.
Pada saat itu tercatat bahwa luas areal kapas mencapai 82.120 ha (Hasmosoewignyo dalam Kemala et al.,
1975) sebagian besar (60%) berada di Jawa TImur dan Jawa Tengah. Penanaman kapas terus dilanjutkan
pada saat penjajahan Jepang, namun luasnya semakin berkurang, yaitu hanya sekitar 17.278 ha (Loebis
dalam Sulistyo dan Mawaini, 1991), hingga akhirnya kapas hampir tidak diusahakan lagi. Dibandingkan
dengan komoditas perkebunan. lainnya, kapas belum diusahakan dalam skala perkebunan besar.
Pada Pelita I pemerintah mulai kembali melakukan pengembangan tanaman kapas dengan
melakukan pembentukan beberapa organisasi pengelola kapas antara lain PPN Baru, PPN Serat, dan PPN
Perum Kapas. Hingga pada Pelita VI, luas areal tanam berkisar antara 15-36 ribu hektar dengan produksi
berkisar antara 2.500-6.500 ton serat kapas per tahun. Upaya untuk meningkatkan produksi kapas telah
dilakukan, antara lain melalui program Intensiftkasi Kapas Rakyat (IKR) yang dimulai sejak musim tanam
tahun 1978/1979 (awal Pelita III) dengan penanggungjawab Direktorat Jenderal Perkebunan.
Dalam pelaksanaannya, produksi kapas melalui program IKR tidak menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Areal dan produktivitasnya berfluktuasi dan cenderung menurun. Beberapa faktor yang
diduga menyebabkan rendahnya produktivitas kapas dan menurunnya areal tanam adalah penyediaan
sarana produksi yang tidak tepat waktu serta tingginya bunga bank. Untuk menanggulangi masalah
tersebut, mulai tabun 1990/1991 pemerintah menyediakan dana APBN dengan memberikan bantuan modal
awal secara “grant” kepada petani melalui kegiatan Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK)
di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditjenbun, 1993). Ide pokok program IKR pola P2WK adalah menyediakan
dana bergulir yang disalurkan kepada petani berupa sarana produksi tanpa beban bunga. Bantuan modal
awal dari APBN tersebut hanya berlangsung sampai MT 1993/1994 dan untuk membiayai IKR pada musim
tanam selanjutnya selain mengharapkan dari dana bergulir juga dari perusahaan pengelola serta sumber lain
yaitu OECF. Pencairan dana bergulir diadakan setiap tahun dan diproses oleh Proyek Peningkatan Produksi
Perkebunan (P4). Dana yang telah cair dibelikan sarana produksi berupa pupuk dan insektisida lewat
Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian sarana produksi tersebut disalurkan kepada kelompok tani untuk
disampaikan kepada petani. Keragaan program P2WK ternyata tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, karena areal dan produktivitas yang dicapai masih jauh di bawah target (Mukani dan
Wahyuni, 1993). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa program pengembangan kapas yang selama
ini dilakukan belum memenuhi harapan.

*) Masing-masing peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang.
KEBUTUHAN SERAT

Permintaan serat kapas untuk kebutuhan industri tekstil dipenuhi dari impor dan produksi dalam
negeri. Perkembangan impor dan produksi serat kapas dalam negeri selama empat Pelita disajikan pada
Tabel. 1.

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada Pelita III rata-rata tiap tahun produksi serat dalam negeri
dapat memenuhi 3% dari total serat kapas yang dibutuhkan. dan pada Pelita VI merosot menjadi 0,5%.
Kemerosotan ini.disebabkan produksi dalam negeri menurun, sedangkan jumlah pemakaiannya meningkat
seiring dengan penambahan mesin tekstil. Pada Pelita III rata-rata produksi per tahun 3.572 ton sedang
pada Pelita VI 2.535 ton atau mengalami penurunan produksi sekitar 30%. Sebaliknya perkembangan
mesin pemintal benang dan produksi benang terus meningkat seperti dapat dilihat pada Tabel 2 (API,
2000).

Jumlah mata pintal dan produksi benang pada tahun 1996 bila dibanding tahun 1999 masing-masing
mengalami kenaikan 10% dan 13%. Dari Tabel 1 dan 2 dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan serat
dalam negeri meningkat, di sisi lain produksi serat dalam negeri terus menurun yaitu hanya sekitar 0,5%.
Indonesia pada saat ini menjadi negara pengimpor kapas terbesar di dunia, yang diikuti negara-negara:
Brasil. Cina, Meksiko, dan Itali. Negara pemasok serat kapas.Indonesia lebih dari 30 negara antara lain
Australia, Amerika Serikat, Cina, Pakistan, Tanzania, dan India.
KERAGAAN KAPAS INDONESIA

Program IKR yang dimulai sejak talum 1978/1979 bertujuan untuk meningkatkan produksi dan
pendapatan petani, membuka dan memperluas lapangan kerja, serta mengurangi ketergantungan dari serat
kapas impor. Pada talum pertama, IKR dikembangkan di empat propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur,
Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, dan pada tahun ketiga (1980/1981) dikembangkan juga di
Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara.
IKR di wilayah Jawa Tengah meliputi Kabupaten Brebes, Tegal. Pemalang, Demak, Kudus,
Grobogan, Blora, Rembang, Boyolali, Sragen, Wonogiri, Kebumen, serta Daerah Istimewa Yogyakarta
(Gunung Kidul). Jawa Timur: Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Mojokerto, Pacitan, Blitar, Malang,
Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, dan Banyuwangi. NTB: Lombok Barat, Lombok
Tengah, Lombok Timur, dan Sumbawa. NTT: Sikka, Ende, Flores Timur, Ngada, dan Manggarai. Sulawesi
Selatan: Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, dan
Sidrap. Di Sulawesi Tenggara: Kendari, Kolaka, Muna, dan Buton. Rata-rata areal, produksi, dan
produktivitas IKR tiap tahun selama empat Pelita dapat dilihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 terlibat bahwa penanaman kapas di Indonesia cenderung menurun. Produksi kapas di samping
dipengaruhi penurunan areal pengembangan juga dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas. Secara umum
tingkat produktivitas kapas di tingkat petani relatif rendah yaitu: 0,48-0,52 ton/ha. sedangkan penelitian
dapat mencapai 1,50-2,80 ton/ha kapas berbiji. Rendahnya produktivitas di tingkat petani disebabkan
pengembangan kapas sarat dengan permasalahan. BerdasaIkan hasil pengamatan, permasalahan dapat
dikelompokkan atas 3 bagian yaitu (1) fisik, (2) ekonomi, dan (3) sosial. Masalah fisik mencakup iklim
yang dicirikan dengan distribusi hujan setiap tahunnya tidak merata. pengusahaan kapas dilakukan pada
lahan-lahan marginal, serta beragamnya serangan hama dan penyakit. Masalah ekonomi mencakup tingkat
harga kapas yang statis dibanding harga komoditas yang lain, tingginya biaya produksi dengan
dihapuskannya subsidi pupuk dan insektisida. Masalah sosial mencakup aspek psikologis dimana petani
akan mengusahakan kapas bila kebutuhan pangannya telah terpenuhi. Sebagian besar petani mempunyai
persepsi komoditas kapas kurang menjamin daIam meningkatkan pendapatan, serta kerja sama antar
lembaga yang terkait belum maksimal.
Oleh karena itu, bila kondisi ini berlanjut maka produksi kapas dalam negeri tetap tidak mampu
mencukupi kebutuhan serat kapas dalam negeri yang terus meningkat Lebih-lebih bila dikaitkan dengan
laju pertumbuhan penduduk yang berkisar 1,95% per tahun dan makin membaiknya kesejahternan
masyarakat, berarti permintaan bahan sandang akan meningkat pula. Selain itu, prospek ekspor tekstil dan
produk tekstil Indonesia (TPT) yang semakin cerah dengan sendirinya makin menuntut tersedianya serat
kapas dalam jumlah yang sangat besar. Seperti tercermin pada pengembangan mesin pemintalan,
pertenunan, perajutan, penyempurnaan, dan garmen pada tahun 1996 sebanyak 7.232.529 meningkat
menjadi 7.781.054 pada tahun 1998 atau meningkat 8% dalam 2 tahun (Soeripto, 1999).

KELEMBAGAAN TERKAIT DALAM PENGEMBANGAN KAPAS


DI INDONESIA

Seperti diuraikan di muka rendahnya produktivitas kapas disebabkan faktor fisik, ekonomi, dan sosial
serta belum optimalnya lembaga terkait dalam menangani kapas. Untuk membahas masalah tersebut perlu
dikaji: 1) petani dan kelompok tani, 2) penangkar benih, 3) pengelola, 4) lembaga penelitian, 5)
penyandang dana, dan 6) dinas perkebunan. Keterpaduan di antara lembaga terkait diharapkan program
IKR dapat mencapai sasaran sesuai dengan rencana dan saling menguntungkan yang dicirikan: a) setiap
pelaku usaha mendapat keuntungan yang wajar, b) mampu mendorong petani lebih mandiri, dan c)
menjamin keberlanjutan produksi.
1. Petani dan Kelompok Tani

Dalam program IKR, petani merupakan pelaku utama untuk suksesnya pengembangan kapas. Oleh
karena itu segala aktivitas yang dilakukan oleh pengelola, pembina, peneliti, dan penyandang dana
berorientasi pada meningkatnya pendapatan petani.
Menurut Sahid dan Wahyuni (1998), idealnya satu kelompok tani mengelola areal seluas 1020 ha,
dengan jumlah anggota berkisar antara 30-35 orang. Jumlah tersebut cukup efisien, sehingga ketua
kelompok dapat mengkoordinir anggotanya secara baik. Koordinasi meliputi kegiatan: penentuan calon
petani dan calon lahan (CP/CL), pembagian saprodi, pemeliharaan tanaman, pembelian hasil, dan
pengembalian kredit.
2. Penangkar Benih

Masalah benih kapas pada IKR tidak kunjung selesai. Usaha yang telah dilakukan seperti:
mengimpor benih, pengadaan “ginnery mini”, dan melakukan proyek perbenihan hasilnya belum
memuaskan. Kemungkinan dibentuknya suatu perusahaan yang bergerak dibidang perbenihan kapas
semacam Perum Sang Hyang Seri pada tanaman pangan telah disepakati pada pertemuan teknis kapas
tahun 1998 di Jakarta (Media Perkebunan, 1998), tetapi belum berhasil. Balittas hanya mampu menyiapkan
benih penjenis atau breeder seed (BS) dan benih dasar atau foundation seed (FS) kadang-kadang juga
menghasilkan benih pokok atau stock seed (SS) dan tidak membuat benih sebar atau extension seed (£S).
Karena sulitnya lahan penangkaran benih, dengan memanfaatkan lahan petani maju merupakan cara yang
paling mudah dan murah. Untuk menjamin mutu benih dan kemurnian varietas yang ditangkarkan di lahan
petani perlu pengawasan dari Balai Pengujian dan pengawaan Mutu Benih (BP2MB). Seleksi terhadap
tanaman “off type” menyebabkan populasi tanaman menurun dan tidak menutup kemungkinan terjadi
penurunan produktivitas. Kerugian akibat seleksi harus diperhitungkan sehingga petani tidak dirugikan.
3. Pengelola Kapas
Pada awalnya pengelola program IKR 1980-an adalah BUMN (eks. PTP. XVIII, XXIII, XXVI), PT
Kapas Indah Indonesia, dan PR Sukun. Kegiatan yang dilakukan mulai dari hulu sampai hilir, yang
meliputi penentuan CP/CL, pengadaan saprodi, pengurusan kredit, pembinaan kepada petani, pembelian
kapas, melakukan prosesing, dan memasarkan hasilnya.
Sejalan dengan penugasan tersebut dibangun pabrik pengupas kapas (“ginnery”) sebanyak 7 unit
dengan total kapasitas 86.000 ton kapas berbiji, seperti pada Tabel 4.

Kapasitas “ginnery” seluruhnya setiap tahun 86.000 ton kapas berbiji tetapi rata-rata produksi setiap
tahun selama sepuluh tahun terakhir hanya sekitar 8.645 ton kapas berbiji (Tabel 4). Dari kenyataan ini
berarti pemanfaatan “ginnery” hanya sekitar 10% atau sekitar 1-2 buan operasi. Akibatnya biaya eksploitasi
dan upah tenaga kerja tidak efisien, biaya tetap dikeluarkan walaupun tidak berproduksi.
Karena berbagai kendala yang dihadapi, PT Perkebunan pada tahun 1990/1991 tidak lagi melanjutkan
tugasnya sebagai perusahaan pengelola kapas. Setelah itu beberapa perusahaan swasta mulai beminat dan
berperan sebagai perusahaan pengelola, seperti disajikan pada Tabel 5.
Dari Tabel 5 terlihat bahwa hanya 6 dari 2.318 perusahaan tekstil/kapas yang aktif dalam pengembangan
kapas atau sekitar 0,2%. Sebagian besar perusahaan tekstil lebih memilih mengimpor serat untuk keperluan
industri tekstil. Pemilihan ini didasari pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: serat kapas yang
diperoleh dijamin lebih tepat dalam jumlah, kualitas, dan lebih sesuai dengan mesin pemintal yang
digunakan (Soeripto, 1999). PT Nusafarm Intiland Corp. di samping memanfaatkan “ginnery” yang ada
juga mengadakan 13 unit “mini ginnery” dengan kapasitas 500 ton/unit/tahun. Maksud pengadaan
“ginnery” mini untuk memudahkan operasional di sentra-sentra pengembangan kapas. Sayangnya maksud
baik ini tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan karena sumber daya manusia untuk
mengoperasionalkan “ginnery” jumlahnya terbatas dan belum terampil, sehingga tetap menggunakan
“ginnery” yang ada.
Keterbatasan tenaga administrasi dan lapang yang dimiliki pengelola merupakan kendala dalam
menangani pengembangan kapas. Agar usaha tani kapas dapat dikelola secara efisien, setiap 400 ha perlu
diawasi oleh seorang teknisi. atau membina sekitar 20 kelompok tani (Sahid dan Wahyuni, 1998). Setiap
pengelola mempunyai wilayah tertentu disertai dengan kewajiban yang telah digariskan. Kebijaksanaan ini
cukup baik, sehingga tidak ada pengelola “gelap” di wilayah yang sama, penjualan kapas berbiji oleh petani
kepada pengelola yang tidak ikut membina dapat dihindari. Akibat adanya pengelola gelap, kredit petani
yang seharusnya dipotong saat pembelian kapas tidak dapat dilakukan. Terbatasnya tenaga di pengelola
juga berakibat terhadap kelambatan pengadaan saprodi (benih, pupuk, dan pestisida), akibatnya
pertumbuhan tanaman merana, dan terlambatnya pembelian kapas.

4. Lembaga Penelitian
Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balittas) satu-satunya unit kerja yang diserahi tugas
untuk melakukan penelitian tanaman kapas. Selama ini telah banyak hasil penelitian yang diperoleh seperti:
menemukan varietas-varietas baru yang unggul yaitu Kanesia 1 sampai Kanesia 7, paket pemupukan,
penentuan waktu tanam, dan pengendalian hama terpadu (PHT). Penelitian sosial ekonomi, kelembagaan,
dan pascapanen. Karena keterbatasan dana masih banyak masalah-masalah yang belum diteliti secara rinci.
seperti paket teknologi spesifIk lokasi, varietas genjah, dan paket teknologi yang sederhana dan murah.
Untuk memenuhi kebutuhan para pengguna teknologi dan mengatasi kendala yang ada, perlu kerja
sama antara pengelola dan Balittas. Pengelola sebagai penyandang dana, sedangkan Balittas menyediakan
sumber daya manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
5. Dinas Perkebunan
Semua aktivitas program IKR dikoordinir oleh Disbun Dalam mengkoordinir lembaga yang
menangani IKR tidak mudah karena sering kepentingan satu dan lainnya berlawanan. Misalnya masalah
harga, petani selalu menuntut agar dinaikkan, sementara pengelola selalu berusaha mempertahankan harga,
seperti pada tahun yang lalu. Harga kapas berbiji di Indonesia., ditentukan dengan SK Ditjenbun sehingga
bersifat statis. Ketetapan harga tidak pernah mengalami penurunan walaupun harga kapas internasional
menurun. Seperti yang terjadi tahun 2000, harga kapas internasional merosot dari US$1,2 (tahun 1998)
menjadi US$0,85 per kg serat (tahun 2000).

6. Penyandang Dana
Untuk mengatasi kendala pembiayaan usaha tani kapas, maka mulai tahun 1990/1991 pemerintah
menyediakan dana APBN dengan memberikan bantuan modal awal secara “grant” kepada petani melalui
kegiatan P2WK (Ditjenbun, 1993). Ide pokok program IKR pola P2WK adalah disediakannya dana
bergulir. Dana bergulir adalah dana pengembalian dari petani IKR pada saat pembelian kapas berbiji oleh
pengelola yang disalurkan kepada petani berupa sarana produksi tanpa beban bunga. Bantuan modal awal
dari APBN tersebut hanya berlangsung sampai MT 1993/1994. Untuk membiayai IKR pada musim tanam
selanjutnya berasal dari dana bergulir dan pengelola serta sumber lain seperti: Kredit Koperasi Primer
untuk Anggotanya (KKPA), Wilayah Komoditas (Wilkom) Tk. I/Tk. II, dan Sentra Pengembangan
Agribisnis Komoditas Unggulan (Spaku). Pencairan dana bergulir diadakan setiap tahun diproses oleh
Proyek Peningkatan Produksi Perkebunan (P4). Dana yang telah cair dibelikan sarana produksi berupa
pupuk dan insektisida lewat Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian sarana produksi (saprodi) tersebut
disalurkan kepada kelompok tani untuk disampaikan kepada petani.
Dalam pelaksanaannya program dana bergulir tidak dapat berjalan sesuai rencana. Beberapa petani
tidak mampu mengembalikan sebagian atau seluruh pinjaman karena nilai produksinya lebih kecil dari nilai
hutangnya atau gagal panen (puso). Akibatnya nilai guliran dari tahun ke tahun makin kecil. Sering terjadi
juga petani tidak selalu mengambil seluruh paket kredit yang sudah disiapkan, baik macamnya atau
jumlahnya. Misal hanya mengambil benih dan pupuk atau pestisida saja., kekurangan saprodi ditanggulangi
sendiri, bahkan ada petani yang hanya meminta kredit benih saja. Kondisi ini perlu dikembangkan terus
untuk menuju pertanaman kapas secara swadaya.
Bila penanaman kapas secara swadaya dapat berkembang maka kekhawatiran pengelola mengenai
pengalihan saprodi ke tanaman di luar kapas bisa dihindari. Disbun tidak dipusingkan dengan kredit yang
tidak mulus pengembaliannya.

KONSEP PERBAIKAN PENGEMBANGAN KAPAS DI INDONESIA

Program pengembangan kapas di Indonesia sampai saat ini hasilnya belum memuaskan. Hal ini
diduga sistem yang diterapkan kurang sesuai, dan kinerja lembaga terkait belum optimal. Indikator yang
paling mudah adalah tidak ada kemajuan program IKR dan produktivitas yang rendah yaitu sekitar 0,5
ton/ha. Untuk memecahkan masalah tersebut dicoba memperbaiki kinerja lembaga-lembaga yang sudah
ada.
1. Mengembangkan Kapas Secara Swadaya
Wilayah pengembangan kapas seperti: Lamongan, Jeneponto, dan Bantaeng beberapa petani tidak
memanfaatkan seluruh paket IKR yang telah disiapkan, artinya sebagian saprodi dipenuhi secara swadaya.
Ada yang mengambil kredit benih dan pestisida, sedang pupuk membeli sendiri, bahkan ada yang hanya
meminta benih saja. Keadaan yang semacam ini perlu didorong agar semakin luas. Manfaat yang diperoleh
dengan sistem swadaya antara lain: 1) Kekuatiran pengelola tentang penggunaan saprodi kapas untuk
komoditas lain tidak terjadi, 2) Disbun (pemerintah) tidak dipusingkan dengan kredit dan tunggakan kredit
yang macet, 3) Undang-Undang Budi Daya Tanaman No. 12 dapat dilaksanakan karena petani memilih
sendiri komoditas yang ditanam.
Hal-hal yang perlu disiapkan adalah pengadaan benih kapas, karena hal ini tidak mungkin dilakukan
oleh petani. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, pengelola menyiapkan benih yang diperlukan petani,
dilakukan penyuluhan yang intensif oleh Disbun, dan alih teknologi usaha tani kapas oleh balai penelitian.

2. Penangkar Benih
Penangkar benih secara khusus pada tanaman kapas belum ada seperti pada tanaman padi yang
mempunyai Sang Hyang Seri. Untuk mengatasi hat tersebut benih penjenis dan benih dasar dilakukan oleh
Balittas sedangkan benih pokok dan benih sebar dilakukan oleh pengelola. Pemanfaatan lahan petani oleh
pengelola untuk penangkaran benih masih memungkinkan. Dipilih petani-petani maju sebagai penangkar
benih. Semua kerugian akibat seleksi, diperhitungkan oleh pengeIola sehingga petani tidak kena dampak
program pembenihan. Disyaratkan pengelola bekerja sama dengan BP2MB dalam melakukan seleksi
tanaman calon benih di lahan petani. Untuk memenuhi kebutuhan benih, pengelola harus menyediakan
lahan seluas 2% dari rencana areal tahun yang bersangkutan.

3. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas SDM


Kualitas SDM di kelompok tani dan pengelola dapat ditingkatkan melalui pelatihan atau kursus.
Contoh konkrit seperti dilakukan dalam Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) kapas
dengan instruktur dari Balittas. Pengamatan hama kapas yang dinyatakan sulit dilaksanakan, akhirnya dapat
dipahami, dihayati, dan dilaksanakan secara baik. Hama yang merupakan masalah terbesar dalam
mengusahakan tanaman kapas dapat diatasi. Kegiatan semacam ini terus dipertahankan dan dikembangkan.
Beberapa pengelola, PT Nusafarm Intiland Corp., PT Cikara, PT Garuda Putih, belum mempunyai
tenaga yang proporsional baik tenaga lapangan atau administrasi. Sebaiknya setiap 400 ha diawasi oleh
seorang koordinator tanaman yang mempunyai latar belakang pendidikan formal pertanian, sehingga akan
cepat menyesuaikan diri dengan bidang yang dikerjakan. Peningkatan wawasan dan keterampilan dapat
dilakukan melalui “job training”. Keberhasilan IKR masih memerlukan dukungan tenaga yang menangani:
perencanaan, evaluasi, administrasi, keuangan, transportasi, dan prosesing. Sedapat mungkin dihindari
areal penanaman kapas di satu kabupaten yang kurang dari 50 ha, untuk efisiensi pengelolaan.

4. Pertemuan Teknis secara Periodik

.
Klarifikasi kapas menurut Hill et al. (1960) dan Heyne (1988) adalah:

Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Dicotyledonae
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Gossypium
Spesies : Gossypium sp.

MORFOLOGI TANAMAN KAPAS


Akar Tanaman

Tanaman kapas umumnya dikembangbiakkan dari biji. Pada waktu berkecambah calon akar tunggang
tumbuh lebih dahulu masuk ke dalam tanah, diikuti oleh keping biji. Kapas mempunyai akar tunggang yang
panjang dan dalam, tergantung pada umur, besarnya tanaman. aerasi, dan stuktur tanah. Akar tunggang
sering lebih panjang daripada tanamannya sendiri.
Dari akar tunggang akan tumbuh akar-akar cabang. Akar cabang akan bercabang-cabang lagi, dan
membentuk akar-akar rambut. Kadang-kadang membentuk lapisan akar dan sering akar-akar tersebut
menembus permukaan tanah.

Batang
Tanaman kapas dalam keadaan normal tumbuh tegak. Batang berwama bijau tua, merah atau hijau
bernoktah merah. Batang umumnya berbulu dan ada pula yang tidak, serta ada yang ujignya berbulu,
pangkalnya tidak berbulu. Dari setiap roas, tumbuh daun dan cabang pada ketiaknya. Panjang dan jumJah
cabang berbeda-beda menurut jenis cabang dan dipengaruhi oleh lingkungannya.
Cabang vegetatif tumbuh pada batang pokok dekat leher akar dan biasanya tumbuh ke atas. Cabang-
cabang vegetatif baru dapat berbunga dan berbuah setelah tumbuh cabang generatif. Banyaknya cabang
vegetative bervariasi. biasanya sekitar 3-4 cabang.
Cabang generatif tumbuh pada batang pokok atau pada cabang vegetatif. Cabang generatif letaknya
mendatar dan langsung membentuk bunga. Semua bunga dan buah tumbuh pada cabang generatif. Cabang-
cabang buah yang pertama biasanya dihasilkan pada ketiak daun ke-6 sampai ke-8 ke atas pada batang
pokok. Jumlah cabang generatif antara 8-20 cabang (Balittas, 1993).

Daun
Bentuk daun pertama sampai kelima belum sempuma. kadang-kadang agak bulat atau panjang.
Setelah daun kelima bentuk daun semakin sempuma dan bentuknya sesuai dengan jenis kapas. Terdapat
paling sedikit 5 bentuk daun, yaitu bentuk entire, okra, twisted. barbadense, dan normal (Gambar 2).
Bentuk daun normal mempunyai 5 sudut daun (lekukan), kadang-kadang lebih atau kurang. Bentuknya
bundar seperti jantung, lekukan daun ada yang dalam dan ada pula yang dangkal.
Wama daun hijau, hijau kemerahan, dan merah. Daun berbulu ada yang lebat panjang, lebat pendek.
ada yang berbulu jarang, bahkan ada yang halus tidak berbulu. Di bagian bawah daun (pada tulang daun)
terdapat nektar dan ada pula yang tidak mengandung nektar (Balittas, 1993).

Bunga

Tanaman kapas mulai berbunga sekitar 30-45 hari dan mulai mekar sekitar 45-60 hari tergantung jenis
dan varietas kapas. Bunga mulai mekar pada pagi hari (jam 6-7) dan layu pada siang harinya. Bunga
pertama mulai tumbuh pada batang di atas cabang vegetatif, berbentuk spiral dengan filotaksi 3/8 (Mauney,
1984). Tiap cabang generatif dapat tumbuh 6-8 bunga. Kuncup bunga berbentuk piramid kecil ada pula
yang melintir (frego) dan berwama hijau. Bagian-bagian bunga:
1. Tangkai bunga 5. Bakal buah
2. Dauo kelopak tambahan 6. Tangkai kepala putik
3. Daun kelopak 7. Kepala putik
4. Mahkota bunga 8. Tepung sari
Tangkai bunga yang menghubungkan buah dan cabang tanaman. kadang-kadang panjang atau pendek
sesuai ukuran buah.
Daun kelopak tambahan, bentuknya segi tiga, bergaris berwama hijau, nampak seperti kelopak bunga.
Melekat pada daun kelopak dan tangkai bunga, mengelilingi dan melindungi bagian-bagian bunga yang
lunak. Besamya bermacam-macam tergantung jenisnya.
Daun kelopak. tertutup oleh daun kelopak tambahan. Jumlah daun kelopak bunga sama dengan
mahkota bunga, yaitu 5 dan melekat mengelilingi dasar mahkota bunga.
Mahkota bunga, jumlahnya 5 buah dan terletak di dalam kelopak bunga. Mahkota bunga mempunyai
dasar sempit dan melebar pada bagian atas. Warna mahkota bunga bermacam-macam ada yang putih,
kuning muda, gading, dan ada yang kuning kemerahan. Setelah terjadi persarian mahkota bunga berubah
wama menjadi ungu kemerahan sampai biru kemerahan.
Dalam mahkota bunga terdapat ruangan yang mengandung tangkai dan kepala putik, bakal buah, dan
benang sari yang berlekatan satu sama lain dan membentuk sebuah tabung benang sari yang mengurung
tangkai putik sampai ujung (Darjanto dan Siti-Satifah, 1982). Benang sari berwama krem dan ada pula
yang berwama kuning (Balittas, 1993).
Bila tidak ada gangguan yang berarti pembungaan kapas mempunyai patron yang tetap, munculnya
bunga 1. ke-2. dan seterusnya sangat teratur. Misalnya bunga 1 (A1) muncul 1 bunga, sekitar 3 hari
kemudian muncul bunga ke-2 (Bl). sekitar 3 hari kemudian muncul bunga ke-3 (C) dan pada hari tersebut
muncu 12 bunga (Cl dan eJ) dan seterusnya (Gambar 4 menurut Lugard dalam Ditjenbun, 1978).
Buah
Bunga kapas mekar pada pagi hari (jam 6-7) dan kemudian kepala putik membuka (reseptit). Bagian
tangkai yang menganduug tepung sari juga segera membuka dan menghamburkan tepung sarinya. Tepung
sari dapat melekat pada kepala putik dan mampu bertahan sampai 12 jam. Tepung sari berkecambah dalam
waktu yang singkat dan mencapai bakal buah dalam waktu sekitar 12-30 jam setelah persarian (Stewart
dalam Mauney, 1984). Umumnya bunga kapas terjadi open pollinated, out crossing 35%.
Setelah terjadi persarian, maka buah segera terbentuk. Dari bunga sampai menjadi buah masak sekitar
40-70 hari. Buah yang masak akan retak dan terbuka. Kebanyakan buah terdiri dari 3 ruang dan kadang-
kadang 4-5 ruang.
Bentuk dan besar serta warna buah berbeda-beda ada yang bulat telur, bulat, dan ada yang segi tiga.
Berat buah bervariasi antara 3-6 gram/buah. Buah-buah yang besar umumnya terdapat pada buah-buah
yang terdapat di bagian bawah. Variasi ukuran buah terjadi baik antara varietas yang berbeda, atau terjadi
pada buah-buah yang letak buahnya berbeda. Warna buah ada hijau muda, hijau gelap berbintik-bintik yang
mengandung kelenjar minyak. Jumlah buah yang terbentuk tidak seluruhnya dapat dipanen, umumnya buah
yang dapat dipanen sekitar 10-20 buah/tanaman (Balittas, 1993).

Biji dan Serat


Di dalam kotak buah berisi serat dan biji secara teratur. Tiap ruang buah terdapat dua baris biji dan
rata-rata setiap ruang biji terdiri dari 9 biji. Bentuk biji bulat telur, berwama cokelat kehitaman, panjangnya
antara 6-12 mm, dengan berat 100 biji sekitar 6-17 gram.
Kulit luar biji ada yang berserat dan ada yang tidak. Serat melapisi kulit biji sangat pendek, ada yang
tebal dan halus, atau tebal dan kasar, tipis serta halus. Serat melekat erat pada biji, berwama putih atau
krem ada pula yang berwama keabu-abuan. Serat disebut "fuzz" (kabu-kabu).
Biji kapas tidak hanya dilapisi kabu-kabu, tetapi di luarnya terdapat lapisan serabut yang disebut serat
kapas (kapas). Kulit biji menebal membentuk lapisan serat berderet pada kulit bagian dalam. Pemanjangan
serat berlangsung sekitar 13-15 hari. Pada waktu buah masak kulit buah retak dan kapasnya/seratnya
menjadi kering dan siap dipungut. Bagian serat terpanjang terdapat pada puncak biji. Berat serat kapas
sekitar 1/3 berat kapas berbiji. Panjang serat bervariasi tergantung pada jenis dan varietas kapas. Panjang
serat yang dikembangkan di Indonesia sekitar 26-29 mm (Ditjenbun. 1977).

Fase Pertumbuhan Kapas


Tanaman kapas dapat digolongkan menjadi 3 golongan berdasarkan umur, yaitu kapas dalam (umur
sekitar 170-180 hari), kapas tengahan/medium (umur sekitar 140-150 hari), dan kapas genjah (<130 hari).
Kapas yang ditanam di Indonesia umumnya termasuk kapas berumur medium/tengahan. Pertumbuhan
tanaman setiap kelompok berbeda, sebagai gambaran pertumbuhan tanaman kapas berumur dalam, mulai
benih sampai panen (Hadad dan Sitepu, 1973).

Untuk kapas berumur tengahan kapas dipanen antara 140-150 hari, sedangkan kapas berumur genjah
sekitar 130 hari. Umur panen kapas dipengaruhi pula pembahan iklim, makin kering panenan makin cepat.
Dari pengamatan di lapang, kapas tengahan dalam keadaan udara yang sangat kering bisa lebih cepat (130-
140 hari selesai dipanen) (Rusim-Mardjono et al., 2000).

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1983. Bertanam kapas. Kanisius. 80 hal.

ARS-USDA. 1968. Geneticts and cytology of cotton 1956-67. Report of Cooperative Research Under Southern
Regional Project S.1. Southern Cooperative, Series Bulletin 139. p. 84.

Balittas. 1993. Koleksi, konservasi, evaluasi, dan utilisasi plasma nutfah kapas. Laporan Hasil Penelitian ARMP
1992/1993. Balittas, Malang. p.39.

Darjanto dan Siti-Satifah. 1982. Biologi bunga dan teknik penyerbukan silang buatan. PT Gramedia Jakarta. 143 hal.

Ditjenbun. 1977. Varietas dan sifat-sifat serta kwalitas kapas di Indonesia. Ditjenbun, Deptan. 1977. 38 hal.

Ditjenbun. 1978. Pedoman bercocok tanam kapas. Direktorat Jenderal Perkebunan, Deptan. p. 106.

Endrizzi, J.E., E.L. Turcotte, and R.J. Kohel. 1984. Qualitative genetics, cytology, and cytogenetics. ARS- USDA and
Texas A & M University College Station, Texas. Cotton. American Society of Agronomy Inc. Publisher
Madison, Wisconsin, USA: 81-129.
Hadad, E.A clan D. Sitepu. 1973. Kemungkinan pertanaman kapas di Propinsi Sumatera Selatan. Pemberitaan LPTI
No. 15-16 Sept-Des. 1973: 48-64.
Heyne, K. 1988. Tumbuhan berguna Indonesia. Ditetjemahkan clan diterbitkan oleh Badan Litbang Kehutanan, Dephut
Jakarta. 1851 hal.
Hill, J.B., L.O. Overholts, H.W. Poopp, and A.R. Grove Jr. 1960. Botany. McGraw-Hill Book Company. Inc. New
York, Toronto London. P. 571.

Fryxell, PA. 1984. Taxonomy and germplasm resources ARS-USDA and Texas A & M University College Station,
Texas. Cotton. Number 24 in series Agronomy. American Society of Agronomy Inc. Publishers. Madison,
Wisconsin, USA: 27-57.
Lee, JA. 1984. Cotton as a world crop. ARS-USDA and North Carolina State University, Releigh, North Carolina.
Cotton Number 24 in series Agronomy. American Society of Agronomy Inc. Publisher, Madison, Wisconsin
USA: 1-25.
Mauney, lR. 1984. Anatomy and morfology of cultivated cottons. ARS-USDA Phoenix. Arizona. "Cotton" Number 24
in series Agronomy. American Society of Agronomy. Publisher Madison, Wisconsin USA: 59-79.
Poehlman, J.M 1977. Breeding field crops. University of Missouri. The Avi Publishing Company, Inc. Mestport,
Connecticut p. 428.
Rusim-Mardjono, M Sahid, H. Sudarmo, Suprijono, dan Sudamadji. 2000. Uji multilokasi galur-galur kapas berumur
genjah. Laporan Penelitian MTT 199912000. Balittas Malang.

Anda mungkin juga menyukai