Disusun oleh
NIM :D1A019314
Semester :3(TIGA)
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
Puji syukur Alhamdulillah haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas ini.sholawat dan
salam semoga Allah limpahkan kepada rasullullah Muhammad saw,karena atas berkat dan rahmat nya
lah saya diberikan kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan tugas dengan tepat waktu.
Terimakasih saya sampaikan atas bimbingan bapak Dr. Taufiq Ramdani S. Th.I., M.Sos. sebagai
dosen pengampu mata kuliah pendidikan agama islam.saya berharap tugas ini dapat bermanfaat dan
berguna untuk siapa saja yang membacanya. Saya juga berharap semoga tugas ini dapat diterima
dengan baik oleh bapak. Saya juga ingin meminta maaf jika dalam tugas ini terdapat kesalahan yang
sengaja maupun yang tidak disengaja mohon dimaafkan.sekian kata pengantar yang dapat saya
sampaikan sekian dan terimakasi.
NIM: D1A019314
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhan Dialah yang menciptakan langit dan bumi; Ia menjadikan bagi kamu
pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan menjadikan dari jenis binatang-binatang
ternak pasangan-pasangan (bagi binatang-binatang itu); dengan jalan yang demikian
dikembangkan-Nya (zuriat keturunan) kamu semua. Tiada sesuatupun yang sebanding
dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya dan pentadbiran)-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha
Melihat. (Ayat 11 : Surah asy-Syura)
Dia adalah Allah, Maha Esa. Dia adalah Maha Suci, Maha Tinggi dan Maha Besar
daripada apa yang difikirkan, digambarkan, dikhayalkan, diibaratkan, ditekakan,
dirasakan dan disifatkan. Bila Dia mengatakan yang Dia Melihat dan Mendengar maka
Melihat dan Mendengar-Nya tidak serupa dengan melihat dan mendengar yang tergambar
dalam fikiran dan perasaan manusia. Walaupun dibentangkan 20 Sifat-sifat yang
dikatakan sebagai Sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, tetapi sifat-sifat tersebut bukanlah
sifat-Nya Yang Hakiki. Dia tidak tertakluk kepada sempadan wajib, mungkin dan
mustahil. Wajib, mungkin dan mustahil adalah sempadan dalam ilmu. Sifat-sifat yang 20
itu muncul apabila ilmu mencuba untuk memperkenalkan-Nya. Perkenalan melalui ilmu
itu hanyalah sekadar untuk menafikan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya bukan untuk
menyatakan sifat-Nya Yang Hakiki. Dia lebih suci, lebih mulia dan lebih agung daripada
apa yang dikatakan oleh ilmu dan daripada apa yang diperkenalkan oleh makrifat. Tidak
ada ilmu dan tidak ada makrifat yang berkongsi kedudukan dengan keesaan-Nya. Maha
Esa bermaksud tidak ada ilmu dan tidak ada makrifat yang mengetahui dan mengenali-
Nya. Akal bukanlah alat untuk mengetahuinya dan hati juga bukanlah alat untuk
mengenali-Nya Yang Hakiki. Akal dan hati adalah alat untuk beriman kepada-Nya dan
mentaati-Nya. Bila akal dan hati sudah tunduk dengan segala kelemahan dan kerendahan,
lalu menyerah kepada-Nya baharulah akal dan hati itu dikatakan Islam. Kebenaran Hakiki
menyatakan bahawa Allah s.w.t Yang Maha Suci, Maha Tinggi, Maha Besar, melampaui
apa juga sifat yang disifatkan bagi-Nya. Dia melampaui tahap Wujud. Wujud merupakan
kenyataan pertama tentang Zat Allah s.w.t Yang Maha Tinggi. Kebanyakan sufi
menyamakan Wujud dengan Zat Yang Maha Suci. Perbezaan tahap Wujud dengan Zat
Allah s.w.t Yang Melampaui Segala Sesuatu sangat halus hinggakan kebanyakan manusia
gagal menyedarinya atau enggan menerima perbezaan tersebut. Ramai manusia
menyembah Wujud sebagai Tuhan dan gagal melampauinya untuk mencapai matlamat
sebenar penyembahan, ketaatan dan penyayangan yang melepasi tahap tersebut. Mereka
menganggap Wujud sebagai sumber kepada segala yang maujud dan penyebab kepada
segala kejadian. Mereka juga lupa bahawa Wujud bergantung dan berhajat kepada Zat-
Nya yang melampaui Wujud atau yang tidak wujud. Sebab itulah kefanaan yang
menyeluruh atau ketidakwujudan yang sejati tidak menemukan seseorang dengan
Kebenaran Hakiki. Kesatuan Wujud (wahdatul wujud) juga gagal menemui Kebenaran
Hakiki. Kebaqaan (kekekalan bersama Tuhan) juga gagal berbuat demikian. Kebenaran
Hakiki hanya ditemui dalam kesedaran yang sepenuhnya, menyedari bahawa:
“Katakanlah: ‘Tuhan kami adalah Allah!’ Kemudian teguhkan pendirian”. Kebenaran
Hakiki ditemui melalui iman yang teguh.
II.SAINS DAN TEKNOLOGI AL-QUR’AN DAN HADITS
Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama lain.
Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh
sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil
analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-
gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-
proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang
produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60). Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan
bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an
bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara
gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan
informasi stimulan mengenai fenomena awal yang diterima Nabi SAW mengandung
indikasipentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi alQur’an tentang fenomena
alam ini, menurut Ghulsyani,dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepadaPencipta
alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan
wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya
(Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan
Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat
kepada Tuhannya.Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari
pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan
yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah aya “… niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan
manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan
berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan,
dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20;
Yunus: 101; al-Anbiya’: 30)
1. Sahabat
2. Tabi’in
Tabi’in adalah orang-orang beriman yang hidup pada masa Rasulullah atau
setelah beliau wafat tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan bertemu serta
melihat para sahabat. Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan
mewariskan ilmu dari para sahabat Rasulullah Salah seorang terbaik dari
generasi Tabi’in adalah Uwais Al Qarn, yang pernah mendatangi rumah
Rasulullah untuk mendapatkan kemuliaan menjadi sahabat, tetapi tidak berhasil
bertemu dengan beliau. Uwais Al Qarn, pernah disebutkan secara langsung
melalui lisan Rasulullah sebagai orang yang asing di bumi tapi terkenal di
langit. Bahkan Rasulullah memerintahkan sahabatnya, Umar dan Ali, untuk
mencari Uwais dan meminta untuk di doakan, karena ia merupakan orang yang
memiliki doa yang diijabah oleh Allah.Adapun diantara orang-orang yang
tergolong generasi tabi’in lainnya yakni Umar bin Abdul Aziz, Urwah bin
Zubair, Ali Zainal Abidin bin Al Husein, Muhammad bin Al Hanafiyah, Hasan
Al Bashri dan yang lainnya.
3. Tabi’ut Tabi’in
Tabi’ut tabi’in adalah orang beriman yang hidup pada masa sahabat atau setelah
mereka wafat tetapi tidak bertemu dengan sahabat dan bertemu dengan generasi
tabi’in. tabi’ut tabi’in merupakan orang-orang yang belajar dan mewariskan
ilmu dari para tabi’in.Diantara orang-orang yang termasuk dalam generasi ini
adalah Imam Malik bin Anas, Sufyan bin Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al
Auza’i, Al Laits bin Saad dan yang lainnya. Merekalah generasi terbaik umat
maka selayaknya kita sebagai umat muslim yang datang belakangan untuk
mencontoh dan mengambil ilmu dari kitab-kitab yang telah mereka tuliskan.
Semoga kita bisa mengikuti para generasi terbaik umat
IV. PENGERTIAN SALAF MENURUT AL-HADITS
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( ُلَفN لس َّ َ ) اartinya yang terdahulu (nenek
moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti para pendahulu. Jika
dikatakan ( ) َسلَفُ ال َّرج ُِلsalaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah
mendahuluinya. Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi
pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat,
Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun
(generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ي ثُ َّمNْ ِاس قَرْ ن ِ ََّخ ْي ُر الن
م ثُ َّم الَّ ِذ ْينَ يَلُوْ نَهُ ْمNُْالَّ ِذ ْينَ يَلُوْ نَه. “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa
para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang
sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).” Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih
adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat
dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya Syaikh Mahmud
Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas
Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya
dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan
suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-
Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf,
maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya.
Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah,
maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in
dan Tabi’ut Tabi’in.[5] Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah
termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang
syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu
para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan
juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari
Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak
mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka
ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau
golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj
(sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang
lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf
dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj
menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan
perpecahan.[6] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)
[7] berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj
Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang
demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [8] D. Definisi
Ahlus Sunnah wal Jama’ah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: Mereka yang
menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus
Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik
atau buruk.[9] Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah
adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan
maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang
mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[10]
Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795
H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang
teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan
dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf
terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup
ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat
th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh
(wafat th. 187 H).”[11] Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas
kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah
kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak
mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi
kesepakatan Salaful Ummah.[12] Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi)
adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in
serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena
berkumpul di atas kebenaran. [13] Imam Abu Syammah asy-Syafi’i
rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada
jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya.
Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya
banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang
pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang
(melakukan kebathilan) sesudah mereka.”
Penegakan Hukum
suatu Negara antara lain: Kaidah hukum, Penegak hukum, Fasilitas dan
pada sistem politik Negara yang bersangkutan. Jika sistem politik Negara itu
penegak hukum dan fasilitas yang ada. Adapun warga Negara ikut saja
kehendak penguasa (lihat synopsis). Pada sistem politik demokratis juga tidak
semulus yang kita bayangkan. Meski warga Negara berdaulat, jika sistem
berfungsi maka bila kaidah itu berlaku secara yuridis, maka kemungkinan
besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regel), kalau secara
(dwang maat regel). Jika berlaku secara filosofi, maka kemungkinannya hany
hukum yang dicita-citakan yaitu ius constituendum.
Keadilan
Dengan kata lain hukum harus diterapkan secara adil. Keadilan hukum
manusia sangat penting. Keadilan hukum sangat didambakan oleh siapa saja
negara ada yang cenderung bertindak tidak adil secara hukum, termasuk